Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

PEMBAHASAN

HHS biasanya terjadi pada pasien DM, yang mempunyai penyakit penyerta
yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi
menjadi enam kategori: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis,
penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering
(57,1%) dari HHS. Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering
menyebabkan HHS (21%).
Pada kasus ini, berdasarkan anamnesa pasien diketahui bahwa pasien tidak
mengetahui adanya riwayat DM Tipe II baik dari riwayat penyakit dahulu maupun
riwayat keluarga. Pasien memiliki kegemaran untuk mengonsumsi makanan manis.
Terlebih saat pemeriksaan didapatkan adanya tanda dan gejala infeksi yang disertai
leukositosis. Saat dihitung nilai Quick-SOFA pada pasien ini adalah 2, yang berarti
adanya disfungsi organ yang dapat menyebabkan sepsis. Untuk mencegah pasien
menjadi sepsis, maka diberikan penanganan terhadap infeksi saluran kemih yang
dialami.
Penderita dengan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) biasanya
menunjukkan gejala kelemahan, gangguan penglihatan maupun kram kaki, kadang
disertai mual dan muntah, tetapi lebih jarang jika dibandingkan pasien dengan
ketoasidosis diabetikum. Gejala klinis yang bisa dijumpai adalah dehidrasi berat yang
dapat dilihat dari penurunan turgor jaringan, mukosa pipi yang kering, mata cowong,
ekstrimitas dingin dan denyut nadi yang cepat. Bisa disertai subfebris ataupun tidak.
Gejala yang lebih berat dapat berupa gejala neurologis seperti letargi, kebingungan,
hemiparesis (tidak jarang terdiagnosa sebagai cerebrovascular accident), kejang
maupun koma (Stoner, 2005; Kitabchi, 2009).
Pasien datang dengan keluhan mual, muntah dan nyeri saat berkemih,
meskipun saat masuk GCS 456, namun saat pemeriksaan fisik didaptkan tekanan
darah pasien 90/60, nadi 110 x/menit,suhu aksila 37,9’C RR 24 x/menit, dangkal,
pemeriksaan fisik ditemukan dalam batal normal. Tanda dehidrasi dan proses
infeksi ditemukan pada kasus ini, namun tidak disertai adanya tanda asidosis
(nafas kussmaul (-)).
Temuan khas laboratorium penderita dengan HHS termasuk kenaikan kadar
glukosa darah dan osmolaritas serum di atas 320 mOsm/kg air dengan pH di atas
7.30 tanpa disertai ketonemia. Kadar sodium dapat meningkat ataupun normal,
sedangkan kreatinin, blood urea nitrogen (BUN) dan kadar hematokrit hampir
selalu meningkat (Kitabchi, 2009; Gouveia, 2013).
Pada penderita didapatkan kadar glukosa meningkat GDA 635 mg/dl, pH
tidak dapat diperiksa, Keton urin negatif, peningkatan hemoglobin dan
hematocrit Hb 15,8 g/dl, Hct 49,1%, peningkatan Bun 127 mg/dl, peningkatan
creatinin 1,8 mg/dL dan kenaikan kadar natrium 150,1 mEq/L.
Patogenesis terjadinya HHS tidak sejelas pada DKA. Kondisi yang
mengawali HHS adalah berupa glucosuric diuresis. Pada kondisi normal ginjal
akan bekerja sebagai katub pengaman untuk mengeliminasi glukosa diatas nilai
ambang tertentu dan mencegah akumulasi glukosa darah selanjutnya. Akan tetapi
penurunan volume intravascular ataupun penurunan glomerular filtration rate
(GFR) akibat adanya penyakit ginjal akan menyebabkan peningkatan kadar
glukosa semakin besar. Kehilangan air lebih banyak dibandingkan sodium akan
menyebabkan hiperosmolaritas. Insulin tetap ada, bahkan cenderung dalam
jumlah yang besar, cukup banyak untuk mencegah terjadinya lipolisis berlebihan
dan ketoasidosis, tetapi tidak cukup adekuat untuk menurunkan kadar glukosa
(Kitabchi, 2009).
Pada penderita didapatkan gangguan pada fungsi ginjal, disertai dengan
adanya hipernatremia yang memungkinkan adanya gangguan pada eliminasi
glukosa sehingga menyebabkan kondisi glukosuria dan menjadi awal dari
kejadian HHS. Dan pada pasien ini juga terdeteksi adanya suatu infeksi saluran
kemih yang memicu timbulnya HHS.
Pengelolaan HHS di pusat RS Dr Soetomo dilakukan dalam dua fase. Fase
pertama meliputi rehidrasi menggunakan Nacl 0,9% atau RL sejumlah 2 liter
dalam 2 jam, kemudian dilanjutkan 80 tetes per menit selama 4 jam, kemudian
dilanjutkan 30 tetes per menit selama 18 jam, kemudian dilanjutkan 20 tetes per
menit dalam 24 jam. Pengontrolan gula darah dengan insulin rapid acting dengan
rumus minus satu secara intravena. Pemberian infus kalium jika didapatkan
hipokalemi dan antibiotik dengan keputusan rasional dan dosis yang adekuat. Fase
kedua dimulai apabila glukosa darah telah mencapai <250 mg/dl atau reduksi urin
negative, meliputi pemberian cairan maintenance NaCL 0,9% ataupun nutrisi
parenteral perifer jika dibutuhkan, pengontrolan gula darah dengan insulin rapid
acting subkutan dengan dosis sesuai rumus kali dua (Tjokroprawiro, 2015)
Pada penderita diberikan infus Nacl 0,9% 2 Liter dalam 2 jam pertama,
dilanjutkan 80 tetes permenit selama 4 jam, dilanjutkan 30 tetes permenit selama
18 jam, diteruskan selanjutnya dengan 20 tetes permenit dalam setiap 24 jam,
Insulin rapid acting 4 IU setiap jam intravena diulang sebanyak 5 kali. Diberikan
juga pengobatan terhadap infeksi saluran kemih pada pasien yaitu dengan
antibotik intravena golongan quinolon yaitu Ciprofloxacin 2x400 mg.
HHS mempunyai prognosa buruk akibat angka mortalitasnya yang tinggi
jika tidak terdeteksi dengan baik atau tidak mendapatkan tatalaksana dengan
memamdai, dengan penyebab kematian utama adalah faktor pencetus maupun
penyakit dasar (Jameson, 2009; Akamizu, 2012) sedangkan HHS sendiri memiliki
angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan DKA jika didapatkan kondisi
usia tua, dehidrasi berat, hemodinamik yang tidak stabil, pencetus yang tidak
jelas, dan derajat kesadaran yang berat ( Kitabchi, 2009)
Pada penderita ini memiliki prognosa yang buruk karena tingkat
compliance pasien sangat buruk karena pasien memilih untuk pulang paksa saat
perawatan, meskipun secara klinis pasien datang dengan dehidrasi sedang,
perbaikan hemodinamik yang progresif dan penurunan kesadaran yang tidak
berat.

Anda mungkin juga menyukai