Anda di halaman 1dari 12

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)


REFLEKSI KASUS
MANAJEMEN NYERI PERIOPERATIF
PADA PASIEN APPENDICITIS AKUT

I. PENGALAMAN
Seorang perempuan 22 tahun dirawat di bangsal dahlia RS jogja dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah. Nyeri perut dirasakan hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu SMRS namun
memberat selama 1 minggu SMRS disertai. Tidak ada keluhan demam, mual dan muntah
disangkal, BAK baik, BAB baik, makan minum susah. Pemeriksaan fisik saat di bangsal, pasein
tenang, kesadaran E4 V5 M6, kepala, leher, thorax dalam batas normal, abdomen supel, bunyi
usus (+), nyeri tekan mc.burney (+), obturator sign (-), psoas sign (-), extermitas hangat, nadi
kuat, CRT < 2. Pasien didiagnosis abdominal pain ec. Susp Appendicitis akut dd ISK dd BSK,
kemudian diberikan terapi Inj.Ketorolac 1 A/ IM dan Inj. Ketorolac 1 A/ IV (ekstra), Inj.
Ondansentron 1A/IV dan Infus RL 20tpm. Kemudian dikonsulkan dokter bedah dan dilakukan
operasi pada tanggal5 maret 2016. Riwayat hipertensi, DM, asma, riwayat alergi disangkal. Pada
pemeriksaan didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 86x/menit,
respirasi 20x/menit dan suhu 36.3. Status Fisik ASA I.
Pasien direncanakan Laparotomy appendektomi menggunakan General Anestesi.
Setelah pasien masuk kamar operasi, pasien dipasang monitor, dilakukan general anastesi dengan
teknik intubasi dengan prremedikasi Fentanyl dan induksi Propofol. Setelah itu dimasukan obat
Ketorolac dan Ondansentron serta pemeliharaan menggunakan Sevoflurane, O2, dan N2O.
Setelah operasi pasien diberikan terapi Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam dan Ketorolac 30mg/12
jam.
II.

PERMASALAHAN
Bagaimana manajemen nyeri preoperatif, durante operatif, dan postoperatif yang tepat?

Hal.01.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS
III.

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

PEMBAHASAN
Definisi Nyeri
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut diatas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai kerusakan jaringan
yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri selain menimbulkan penderitaaan juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,
defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan
seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan
untuk imobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang
dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai
penuntun diagnostik karena dengan adanya nyeri didaerah tertentu, proses yang terjadi pada
sesorang dapat diketahui.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu
sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua
sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti :
Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa
Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga meningkatkan
kepekaan nyeri
Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi
Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme
Hal.02.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

Mekanisme nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh
sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis,
batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan
jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang
mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan
derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan
kimiawi pada akhirnosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor
(nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih
hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E akan mereduksi ambang aktivasi
nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik
di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan
berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi
Sensitisasi Sentral
Hal.03.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)


Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga

dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi
perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik
setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla
spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan
pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap
rangsangan nyeri.
Nosiseptor (Reseptor Nyeri)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral
dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius
yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,
nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk
melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak
(skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak
dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi.
Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa
menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah
kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut
berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat
beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa
terjadai pada 20 sampai 30 menit.
Hal.04.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)


Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu

dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya
bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like.
Serat serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan
menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia
mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor Abeta..
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptornyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.
Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan
nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik,
dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya
dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi
Perjalanan nyeri (Nociceptive Pathways)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut
sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer
sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).
A. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif
dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer
B. Proses Transmisi
Hal.05.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)


Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi

melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut
mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian
ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organorgan yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan
melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron
dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus
dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
C. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin,
noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu
posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada
setiap orang.
D. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik
Penilaian Nyeri
Derajat nyeri. Beberapa cara digunakan untuk menilai derajat nyeri cara yang sederhana
dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul terutama sewaktu melakukan aktifitas seharihari dan menghilang sewaktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktifitas terganggu yang hanya hilang apabila
penderita tidur.
Hal.06.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur atau sering terjaga karena nyerinya.
Pada saat ini sering juga digunakan penilaian derajat nyeri secara semi-kuantitatif
dengan memberikan penggaris dengan skala 0-10, pada swkala 0 berarti tidak nyeri dan 10
untuk nyeri maksimal. Cara tersebut popular disebut Visual Analogue Scale (VAS).
Penggolongan Nyeri
Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Menurut jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik


Menurut timbulnya : nyeri akut dan nyeri kronik
Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non-onkologik
Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang, berat

Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mengawali pemeriksaan dengan seksama


Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
Mengajak penderita berpartisi aktif dalam perawatan
Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pengobatan nyeri


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jangan memberikan obat sebelum benar-benar membutuhkan


Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat
Memakai modalitas pengobatan dengan benar
Memakai modalitas pengobatan multimodal
Harus konsisten tidak boleh berubah-ubah dan terputus-putus
Usahakan per-oral
Pada nyeri kronis ikuti 3-step ladder analgesic WHO
Tentukan jenis obat dan dosis secara individual
Cermati secara seksama perubahan keadaan penderita

Modalitas Pengobatan Nyeri


Hal.07.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS
1.
2.
3.
4.
5.

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik


Modalitas kognitif-behavioural melalui pendekatan psikososial
Modalitas invasif melalui pendekatan perioperative dan radioterapi
Modalitas psikoterapi
Modalitas farmakoterapi

Modalitas Farmakoterapi
Garis besar stategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-Step Ladder . Tiga
langkah anak tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama menggunakan obat analgesik non-opioid
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua yaitu ditambahakan obat opioid
lemah misalnya kodein
3. Apabila belum mereda juga dissarankan menggunakan opioid keras seperti morfin
Pada dasarnya prinsip WHO Three-Step Ladder dapat diterapkan untuk nyeri akut
maupun kronik, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga keatas 1-2-3
2. Pada nyeri akut mengikuti langkkah tangga kebawah 3-2-1
Pada setiap langkah apabila dianggap perlu dapat ditambahakn adjuvan (obat pembantu)
yang bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang
menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri
tertentu.
Opioid untuk Nyeri Akut Pasca Bedah dan Trauma
Obat opioid dikategorikan menjadi agonis dan campuran agonis/Antagonis.
1. Agonis seperti morfin menghasilkan respon maksimum untuk mengatasi nyeri. Preparat
agonis parsial menghasilkan efek kurang dari respon maksimum dan mungkin terjadi efek
kemunduran (withdrawal) untuk pasien toleran opioid. Morfin dipertimbangkan sebagai
standar keaktifan opioid agonis, berlawanan dengan opioid lainnya diukur.
2. Campuran Agonis/Antagonis memperlihatkan batas efek dari pereda nyeri, peningkatan
dosis tidak menambah kemampuan menghilangkan nyeri. Ada juga efek plateau (tanpa
peningkatan) berkenaan dengan depresi respirasi. Pemberian obat agonis/antagonis juga
mungkin mempercepat efek kemunduran (withdrawal) untuk pasien yang toleran opioid.
Cara pemberian opioid
Hal.08.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

1. Pemberian oral Jarang diberikan pasca bedah karena pasien dipuasakan. Stasis lambung
pasca pembedahan juga mengganggu absorbsi obat.
2. Pemberian rektal Kelebihan : ekstraksi melalui hati minimal dan tidak bergantung pada
pengosongan lambung dan tidak dipengaruhi mual dan muntah. Kelemahan : resisten, mula
kerja lambat, dan absorbsi bervariasi.
3. Pemberian sublingual Boprenofen telah banyak dipakai dengan cara ini karena sangat
lipofilik, tidak merangsang mukosa.
4. Pemberian intranasal Cepat diabsorbsi karena mukosa hidung kaya pembuluh darah.
Opioid yang dapat dipergunakan dengan cara ini antara lain butorfal dan sufentanil.
5. Pemberian transdermal Cocok untuk obat yang lepas lambat (sustained release).
Analgesia pasca bedah dapat diberikan dengan fentanyl transdermal dengan patch
(tempelan). Fentanyl terbukti baik untuk nyeri kronik dan lama efek berlangsung sampai 3
jam.
6. Pemberian Intramuskular Untuk analgesia pasca bedah kurang efektif
7. Pemberian subcutan Menunjukan absorbsi paling lambat menyebabkan sifat analgesi
tidak adekuat.
8. Pemberian intravena Menunjukan mula kerja cepat dan efeknya dapat diramalka. Metode
pemberian IV mempunyai 2 prinsip yaitu bolus dan infus.
a) Bolus Opioid agonis dosis kecil (misal morfin 0.05-0.1 mg/kgBB) diberikan IV setiap
10-15 menit secara titrasi sampai mendapatkan efek analgesia.
b) Infus kontinue Pemberian dimulai dengan muatan permulaan (loading) dan kemudian
pethidin 50-100 mg diberikan selama 30-60 menit: morfin 5-15 mg : fentanyl 150 mg. Infus
pemeliharaan pethidin 15-50 mg ; morfin 1-5 mg perjam ; dan fentanyl 39-120 mg/jam.
Kecepatan infus pemeliharaan perlu disesuaikan untuk mendapatkan analgesi yang adekuat
dengan efek samping minimal.
Opioid Intratekal dan Epidural
Cukup efektif untuk kontrol nyeri pasca bedah. Tidak ada blokade simpatikus sensorik
atau motorik dan resiko hipotensi sangat minimal. Dosis jauh lebih kecil dibanding pemberian
parenteral. Pada pemberian epidural opioid berdifusi melalui dura dan masuk ke LCS.
1. Opioid intratekal
Diberikan dosis tunggal (morfin 0,1-0,2 mg) atau dikombinasikan dengan anestetik lokal.
Morfin IT dapat memberikan analgesia yang baik setelah 15-45 menit dengan masa kerja
Hal.09.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

sampai 24 jam. Komplikasi berupa : pruritus, retensi urin, mual dan muntah, serta depresi
nafas. Depresi nafas umumnya terjadi 6 jam setelah obat dimasukan ke LCS menyebar ke
pusat pernafasan secara lambat. Nalokson 0,1-,4 mg IV dapat menawarkan hampir semua
komplikasi opioid.
2. Opioid Epidural
Efek ED opioid tergantung kelarutan lemak (lipid solubility), berat molekul, kadar plasma
sebelumnya, atminten dan charper binding, volume suntikan.
Hal yang perlu diperhatikan pada opioid ED :
a) Obat pilihan. Morfin sangat bermanfaat untuk mengatasi nyeri pasca bedah yang luas
seperti torakotomi atau laparotomi. Morfin menyebar ekstensif dalam LCS karena
karakter hidrofilik. Obat yang bersifat hidrofilik menyebar terbatas dan digunakan untuk
kontrol nyeri segmental saja.
b) Metode pemberian. Bolus atau infus kontinue.
c) Penting untuk melakukan titrasi untuk kedua dosis inisial dan volume infus.
Efek samping opioid ED terdiri dari pruritus, mual muntah, retensi urin, dan depresi
nafas. Depresi nafas dapat terjadi 1 jam setelah absorbsi sistemik. Nalokson infus 5-10
mikrogram/kg/jam menghilangkan depresi pernafasan, muntah serta pruritus. Mual juga muntah
juga dapat digunakan droperidol 0,6-1,25 mg IV tiap 3-4 jam.
Analgesi Non-Narkotik
1. NSAID memiliki kemampuan analgesia, antiinflamasi, dan antipiretik. Obat ini dapat
menginhibisi produksi prostaglandin yang merupakan zat endogen potensial hiperalgesi.
Dapat diberikan secara peroral, rektal, intramuskular, atau intravena.
2. Ketorolac Keaktifan ketorolac 30 mg IM equivalen dengan 10 mg morfin atau 100 mg
pethidin. Efek analgesia dimulai 10 menit setelah penyuntikan dan berlangsung 4-6 jam.
3. Klonidin Dapat diberikan pasca bedah tetapi dikombinasikan dengan opioid atau
analgesik lokal hingga kualitas analgesia yang didapat signifikan. Pemerian klonidin 4-6
mikrogram/kgBB/IV sesaat sebelum operasi selesai menghasilkan analgesia pasca bedah
dan mencegah menggigil setara dengan pemberian pethidin 0.3 mg IV. Klonidin dapat
diberikan peroral, intramuskular, intravena, dan transdermal.
Obat-obat pembantu (Adjuvan)
Hal.010.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS
1.
2.
3.
4.

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

Kortikosteroid bersifat anti-inflamasi, anti emetik, meningkatkan nafsu makan.


Antikonvulsan meringankan nyeri neuropatik yang sifatnya menusuk dan membakar.
Antidepresan mengurangi nyeri neuropatik, dapat memperkuat sifat analgesi dari morfin.
Neuroleptik membantu sindrom nyeri kronik, memiliki sifat anti-emetik, anxiolitik, dan

anti konstipasi.
5. Psikostimulan mengurangi sedasi akibat opioid

IV.

KESIMPULAN
Manajemen nyeri perioperatif sangat diperlukan untuk mengurangi respon tubuh
terhadap nyeri baik berupa respon endokrin, respon kardiovaskuler, maupun respon

terhadap sistem organ lain.


Manajemen nyeri dapat dilakukan dengan berbagai modalitas. Dapat berupa modalitas

fisik, kognitif-behavioral, invasif, psikoterapi, maupun farmakoterapi.


Modalitas farmakoterapi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder

Pada

mulanya, langkah pertama menggunakan obat analgesik non-opioid, apabila masih


tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua yaitu ditambahakan obat opioid lemah
misalnya kodein, apabila belum mereda juga dissarankan menggunakan opioid keras

seperti morfin.
WHO Three-Step Ladder dapat diterapkan untuk nyeri akut maupun kronik, yaitu :
Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga keatas 1-2-3, pada nyeri akut mengikuti
langkkah tangga kebawah 3-2-1
Pada pasien diatas sebelum operasi di IGD pasien diberikan ketorolac 30 mg secara IM
dan diberikan extra ketorolac merupakan suatu modalitas farmakologis untuk
mengurangi sensasi nyeri, kemudian karena nyeri tidak berkurang dilakukan modalitas
invasif berupa operatif untuk menghilangkan kausa nyeri, durante operatif pasien juga
diberikan premedikasi dengan analgetik golongan opioid yaitu fentanyl dan durante
operatif diberikan ketorolac 30 mg IV, pasca operasi pasien diberikan terapi nyeri
dengan modalitas farmakologi ketorolac 30mg IV/ 12 jam.

V.

DAFTAR PUSTAKA
1. Latif, Said A, dkk. 2007. Petunjuk praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
intensif FK-UI. Jakartra : FK Universitas Indonesia.
Hal.011.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

REFKAS

Septian Wisnu Sewaka (20100310145)

2. Mangku, Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Index Penerbit.

Yogyakarta, 9 Maret 2016


Perseptor,

dr. Basuki Rahmat, Sp. An

Hal.012.

Anda mungkin juga menyukai