Anda di halaman 1dari 65

Case

Report Seasson

Anestesi Umum

Oleh:
Nadia Khair 1940312051
Nugraha Adya Putra Tarsa 1940312070

Preseptor :
dr. Yose Wizano Sp.An, KAKV

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidyah-Nya,
sehingga penulisa dapat menyelesaikan CRS dengan berjudul “ Anestesi Umum” ini yang
ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik dibagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP DR. M. Djamil Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yose Wizano Sp.An, KAKV selaku
preseptor. Penulis menyadari bahwa ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi kesempurnaan CRS ini.
Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman tentang diagnosis dan penatalaksanaan kasus ini terutama bagi penulis dan bagi
rekan-rekan sejawat lainnya.

Padang , Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anestesi Umum
2.2 Indikasi dan KontraindikasiAnestesi Umum
2.3 Stadium Anestesi Umum
2.4 Jenis Anestesi Umum
2.5 Teknik Anestesi Umum
2.6 Evaluasi Pra Operatif
2.7 Persiapan Pra Operatif
2.8 Monitoring Intra Operatif
BAB 3 Laporan Kasus
BAB 4 Diskusi
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi merupakan suatu keadaan yang menggabungkan amnesia,
analgesia, dan narkosis untuk memungkinkan dilakukannya operasi tanpa rasa
sakit, istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada
tahun 1846. Anestesi umum merupakan salah satu teknik anestesi yang
menyebabkan perubahan keadaan fisiologis reversibel seperti kehilangan
kesadaran, analgesi imobilitas, dan amnesia. Anestesi umum yang ideal dapat
menyediakan induksi yang cepat dan tenang, kehilangan kesadaran yang dapat
diprediksi, kondisi intraoperatif yang stabil, efek samping yang minimal,
pemulihan refleks proteksi dan fungsi psikomotor yang cepat dan lancar. Anestesi
umum telah mengalami banyak perkembangan dan modifikasi.1
Anestesi umum sering dilakukan pada operasi-operasi mayor dan operasi
yang bersifat lifesaving yang tidak mungkin dilakukan tanpa anestesi umum.
Teknik ini dapat digunakan untuk operasi di regio tubuh manapun, misalkan pada
bagian abdomen, toraks, dan otak. Setiap tahun diperkirakan puluhan juta pasien
mendapatkan anestesi umum dalam proses terapinya. Anestesia umum memiliki 3
komponen yaitu hilangnya kesadaran, analgesia dan relaksasi otot.1,2
Anestesi umum menimbulkan depresi yang meluas pada otak dengan
meningkatkan aktivitas neurotransmitter inhibitorik dan menurunkan aktivitas
neurotransmitter eksitatorik. Keadaan yang terjadi akibat administrasi obat
anestetik umum ke dalam tubuh meliputi hilangnya kesadaran, amnesia, analgesia,
dan imobilitas, masing-masing dimediasi oleh efek pada reseptor neurotransmitter
dan jalur neuron yang berbeda-beda. Anestesi umum juga memiliki beberapa efek
samping yang dapat membuat pasien tidak nyaman setelah operasi seperti
kejadian mual muntah, nyeri, agitasi, delirium, obstruksi jalan napas, dan
hipotermia.1,2
Teknik pelaksanan anestesi umum juga termasuk pengendalian
pernapasan, dan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.
Tahapan ini terdiri atas tahap induksi, maintenance, dan pemulihan.1 Anestesi
memiliki peran yang besar terhadap pelayanan kesehatan dan mempengaruhi
dampak signifikan pada kesehatan global dan beban penyakit global.2 Tujuan
dibuatnya makalah ini adalah untuk membahas mengenai anestesia umum

1
1.2 Batasan Masalah
Case Report Seasson ini membahas mengenai Anestesi Umum.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Case Report Seasson ini adalah untuk menambah
pengetahuan mengenai Anestesi Umum
1.4 Metode Penulisan
Penulisan ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
beberapa literatur berupa buku teks, jurnal dan makalah ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi Umum


Anestesi umum adalah istilah kolektif untuk beberapa respon farmakologi
kompleks meliputi amnesia, kehilangan kesadaran, dan imobilitas yang diinduksi
oleh golongan obat anestetik umum.2 General anesthesia atau anestesia umum
adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral yang disertai dengan hilangnya
kesadaran yang aman dan reversible, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesia umum memiliki 3
komponen yaitu hilangnya kesadaran, analgesia dan relaksasi otot.2
Anestesi umum bekerja di sistem saraf pusat dan mampu memberikan efek
analgesia (hilangnya sensasi nyeri) atau efek anestesia (analgesia yang disertai
dengan hilangnya kesadaran). Anestesi umum menimbulkan efek anestesia pada
seluruh tubuh sehingga dapat digunakan untuk operasi di regio tubuh manapun,
seperti pada bagian abdomen, toraks, dan otak. Anestesi umum digunakan pada
operasi yang membutuhkan relaksasi dalam untuk periode waktu yang lama,
operasi yang menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah banyak atau yang
menggangu jalan napas, dan operasi pada pasien yang tidak kooperatif. Teknik
anestesia umum sering dilakukan pada operasi-operasi mayor, seperti operasi
jantung, prosedur knee and hip replacement, dan berbagai tipe operasi untuk
menatalaksana kanker. Sebagian besar operasi tersebut bersifat lifesaving dan
tidak mungkin dilakukan tanpa anestesi umum.2,3

2.2 Indikasi dan Kontrandikasi Anestesi Umum3


Indikasi Anestesi umum adalah:
a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum

Kontraindikasi anestesi umum adalah


a) Gangguan kardivaskular yang berat
b) Hipertensi berat atau tak terkontrol (diastolik >110 mmHg)
c) Diabetes tak terkontrol
d) Infeksi akut
e) Sepsis

Kontraindikasi absolut anestesi umum adalah


a) Dekompresi kordis derajat III-IV
b) AV blok derajat II-total (tidak ada gelombang P)

Kontraindikasi relatif anestesi umum adalah


a) Hipertensi berat/tidak terkontrol (diastolik>110)
b) Diabetes Mellitus tak terkontrol
c) Infeksi akut
d) Sepsis

2.3 Stadium Anestesi Umum


Komponen dalam anestesi umum adalah 1
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan mefasilitasi intubasi
trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

Stadium anastesia menurut Guedel tahun 1937 yang mana mengklasifikasikan


stadium anestesia berdasarkan efek ether. 1
Klasifikasi Guedel meliputi:
a. Stadium I (analgesi)
Dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran,
ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
Tindakan pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar
dapat dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi)
Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak/involunter,
pasien tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, pernapasan jadi
irreguler kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat,
inkontinensia urin dan alvi, muntah, serta aritmia dapat terjadi dan pupil
dilatasi.
c. Stadium III (pembedahan)
Dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.
Pada stadium ini otot skeletal akan relaks, pernapasan jadi teratur,
pembedahan dapat dimulai. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
− Plana I : (mata berputar kemudian terfiksasi)
Pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
− Plana 2 : (refleks kornea dan refleks laring hilang)
Pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
− Plana 3 : (dilatasi pupil, refleks cahaya hilang)
Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus otot
semakin menurun).
− Plana 4 : (kelumpuhan otot interkostal, pernapasan menjadi dangkal)
Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (paralisis medulla oblongata)
Pada stadium ini anestesi menjadi terlalu dalam, terjadi depresi berat semua
sistem tubuh, termasuk batang otak. Dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak
dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan.

Keuntungan anestesi umum adalah


a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama operasib.
b. Efek amnesia, meniadakan memori buruk pasien yang didapat
akibat ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin
memberikan trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang lama
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Kerugian anestesi umum adalah


a. Sangat mempengaruhi fisiologi, hampir semua regulasi tubuh
menjadi tumpul dibawah anestesi umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama

2.4 Jenis Anestesi Umum1


1. Anastesi Intravena
Merupakan anestesia umum yang dilakukan dengan menyuntikan obat
anestesia parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena.
2. Anastesi Inhalasi
Anestesi Inhalasi merupakan anestesia umum dengan memberikan
kombinasi obat anestesia inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
menguap melalui alat/media anestesia langsung ke udara inspirasi.
3. Anestesi Kombinasi
Teknik anestesi dengan menggunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesia intravena maupun obat anestesia inhalasi, atau kombinasi teknik
anestesia umum dengan anestesia regional untuk mencapai trias anestesia
secara optimal.

2.5 Teknik Anestesi Umum 1,2


Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan Teknik sebagai berikut
1. Total Intravenous Anesthesia (TIVA)
Teknik anestesi dimana obat anestesinya diberikan hanya melalui jalur
intravena.
 Indikasi TIVA:
1. Obat tunggal atau kombinasi untuk anestesi pembedahan singkat
2. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP
 Cara pemberian TIVA:
1. Suntikan tunggal untuk operasi singkat
2. Suntikan berulang sesuai kebutuhan
3. Diteteskan lewat infus

 Kelebihan TIVA :
1. Dapat dikombinasi dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat
dalam pemakaiannya
2. Tidak mengganggu jalan napas pada pasien
3. Mudah dilakukan

2. Anastesi Umum dengan Facemask (Sungkup Muka)


Face mask memungkinkan untuk memasukkan gas-gas dari sistem pernapasan
ke pasien tanpa adanya kontak alat dengan trakea. Face mask dibuat dari karet atau
plastik. Mask yang transparan memudahkan untuk pemantauan mulut untuk
mengetahui ada tidaknya muntah atau sekresi.
 Indikasi Teknik Face Mask:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut
2. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik ASA I atau ASA II)
3. Lambung harus kosong

3. Anestesi Umum dengan Intubasi Endotracheal Tube (ETT)


Anestesi umum yang diikuti dengan pemberian ventilasi mekanik dengan
menggunakan endotracheal tube
 Kelebihan Intubasi ETT :
1. Pengamanan total jalan nafas (terutama jika menggunakan cuff)
2. Kemudahan pengisapan sekret
 Kekurangan Intubasi ETT :
1. Invasif dan dapat traumatik bagi pasien dengan jalan nafas
hiperreaktif dapat mencetuskan asma
2. Penempatan yang terlalu dalam dapat menyebabkan endobronchial
intubation sehingga terjadi atelektasis satu paru
 Komplikasi Intubasi ETT
1. Spasme laring (lariongspasme) akibat rangsangan nosiseptif pada
ujung saraf jalan napas terutama sekitar laring akibat anestesi tidak
adekuat.
2. Bradikardi akibat tertekannya saraf eferen vagus yang berujung di
jantung.

4. Anestesi Umum dengan Insersi Laryngeal Mask Airway (LMA)


Anestesi umum yang diikuti dengan pemberian ventilasi mekanik dengan
menggunakan laryngeal mask airway
 Indikasi Insesrsi LMA :
1. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ETT untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ETT, ketika
pemakaian ETT menjadi suatu indikasi.
2. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
3. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
 Kontraindikasi Insersi LMA :
1. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada
emergency adalah pengecualian).
2. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan
pengembangan lambung.
3. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
4. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi
dapat memicu terjadinya laryngospasme.2
 Keuntungan menggunakan LMA
1. Tidak melewati pita suara sehingga kurang iritatif dan traumatik
terhadap saluran napas
 Kerugian menggunakan LMA
1. Jalan napas tak sepenuhnya terlindungi
2. Karena esofagus terhalang, maka tidak dapat dilakukan pemasangan
pipa nasogstrik.

2.6 Evaluasi Pra-Operatif Anestesi Umum


1. Anamnesis1
− Identitas pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat dan pekerjaan
− Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita oleh pasien yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti asma,
diabetes melitus, alergi, penyakit jantung dan kelainan
kardiovaskular, stroke, hipertensi, penyakit hati, penyakit ginjal,
kejang, batuk pilek, demam.
− Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
− Riwayat operasi dan jenis anestesi yang pernah dialami, berapa kali
dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat
itu.
− Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya
anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau
narkotik.

2. Pemeriksaan Fisik
 Tinggi badan dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama pembedahan dan pasca
pembedahan.
 Airway : periksa tanda tanda adanya sumbatan jalan nafas bebas,
fraktur, deformitas., tumor, gigi palsu, trismus, persendian temporo
mandibula.
 Breathing : periksa frekuensi pernafasan, pola pernafasan, simteris atau
tidak
 Blood : periksa perfusi pada akral, tekanan darah, dan denyut nadi,
adanya tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau
ortopnu, sianosis, hipertensi
 Brain : periksa keadaan umum dan kesadaran untuk pasien non-trauma,
untuk pasien dengan trauma capitis periksa tingkat kesadaran dengan
menggunakan GCS (Glass Glow Coma Scale), atau parameter lainnya
yaitu menggunakan AVPU.
 Bladder dan Bowel : periksa apakah terdapat kelainan BAK dan BAB,
mulai dari frekuensi hingga jam terakhir pasien BAK dan BAB.
 Bone : periksa apakah terdapat fraktur dan udem
 Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang
dapat membuat tekanan intraabdominal meningkat sehingga dapat
menyebabkan regurgitasi.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit.
 Hematologi : hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit
 Hemostasis : PT, APTT
 Kimia klinik : total protein, albumin, globulin, bilirubin, kalsium,
ureum, kreatinin, GDS, SGOT, SGPT
 Elektrolit : natrium, kalium, klorida
 Urine : protein, reduksi, sedimen
 Foto thoraks
 EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan
adanya iskemia miokard
 Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru

Evaluasi dan persiapan pra-operatif akan memudahkan kita untuk


memilih rencana anestesi yang efektif dengan sedikit risiko dan
komplikasi. Landasan evaluasi dan persiapan pra-operatif yang efektif
adalah dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menilai kondisi pasien. Pada pasien yang tidak dilakukan
persiapan dan evaluasi pre-operative yang baik cenderung akan
menyebabkan penundaan operasi, pembatalan operasi, komplikasi operasi,
dan peningkatan biaya post operasi.1
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan optimal, sedangkan pada operasi
cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari. Klasifikasi yang lazim
digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang berasal dari
The American Society of Anesthesiologist (ASA).3,4
 ASA I
Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
 ASA II
Pasien dengan kelainan sistemik ringan. Penyakit ringan saja tanpa
batasan aktivitas fungsional.
Contoh: pasien perokok saat ini, peminum alkohol sosial,
kehamilan, obesitas (30<BM <40), wellcontrolled DM / Hipertensi,
penyakit paru-paru ringan
 ASA III
Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik yang parah.
Keterbatasan fungsional substantif; Satu atau lebih penyakit
moderat/sedang hingga penyakit berat.
Contoh: DM tidak terkontrol atau hipertensi, PPOK, obesitas
morbid (BMI ≥40), hepatitis aktif, ketergantungan alkohol atau
penyalahgunaan, implan alat pacu jantung, pengurangan moderat
fraksi ejeksi, ESRD menjalani secara teratur dijadwalkan dialisis,
bayi prematur PCA <60 minggu, sejarah (> 3 bulan) dari MI, CVA,
TIA, atau CAD / stent.
 ASA IV
Pasien dengan kelainan sistemik berat yang merupakan ancaman
konstan bagi kehidupan pasien tersebut.
Contoh: (<3 bulan) MI, CVA, TIA, atau CAD / stent, iskemia
jantung yang sedang berlangsung atau disfungsi katup yang berat,
penurunan berat fraksi ejeksi, sepsis, DIC, ARD atau ESRD yang
tidak menjalani dialisis secara teratur.
 ASA V
Pasien sekarat yang tidak diharapkan untuk bertahan hidup tanpa
operasi
Contoh: ruptur aneurisma / dada, trauma besar, berdarah
intrakranial dengan efek massa, usus iskemik dalam menghadapi
kelainan jantung yang signifikan atau beberapa organ / disfungsi
system
 ASA VI
Seorang pasien mati otak menyatakan organnya diambil untuk
tujuan donor

2.7 Persiapan Pra operatif Anestesi Umum4


Langkah lanjut ini bertujuan untuk mempersiapkan pasien, baik secara psikis
maupun fisik pasien agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur
anestesia dan diagnostik atau pembedahan yang akan direncanakan.
1. Persiapan di poliklinik dan di rumah untuk pasien rawat jalan
 Persiapan psikis
Tujuan yaitu untuk menenangkan pasien dan kelaurga. Berikan
penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar mengerti perihal
rencana anestesi
dan pembedahan yang direncanakan sehingga dengan demikian
diharapkan pasien dan keluarganya bisa tenang.
 Persiapan fisik
Menginformasikan dan menginstruksikan pasien untuk :
1) Menghentikan kebiasaan seperti : merokok, minuman keras dan
obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesia atau
minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
Tabel 1. Rekomendasi Puasa
Usia Makanan padat Cairan jernih tanpa
susu formula / partakel
ASI
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam

5) Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau


orang tua atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan
penyulit yang tidak diinginkannya
6) Membuat surat persetujuan tindakan medik
7) Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian
khusus kamar operas. Untuk pasien rawatan, pasien dimandikan
pagi hari menjelang ke kamar bedah, pakaian diganti dengan
pakaian khusus kamar bedah
8) Persiapan lain yang bersifat khusus praanestesia seperti tranfusi,
dialisis, fisioterapi dan lain-lainnya sesuai dengan prosedur tetap
tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien

2. Persiapan di ruang perawatan


 Persiapan psikis
1) Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar
mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan
keluarganya bisa tenang.
2) Berikan obat sedatif pada pasien yang menderita stres yang
berlebihan atau pada pasien tidak kooperatif, misalnya pada pasien
pediatrik
3) Pemberian obat sedatif dapat dilakukan secara:
 Oral, pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60-
90 menit sebelum ke IBS
 Rektal, (khusus untuk pasien pediatrik) pada pagi hari sebelum
ke IBS.
 Persiapan fisik
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman
keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
Usia Makanan padat Cairan jernih tanpa
susu formula / partakel
ASI
< 6 bulan 4 jam 2 jam
7 – 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam

5) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar bedah, pakaian


diganti dengan pakaian khusus kamar bedah dan kalau perlu pasien
diisi label
6) Membuat surat persetujuan tindakan medik
7) Persiapan lain yang bersifat khusus praanestesia seperti tranfusi,
dialisis, fisioterapi dan lain-lainnya sesuai dengan prosedur tetap
tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien

3. Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral


 Di kamar persiapan dilakukan:
1) Evaluasi ulang status pasien dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya
2) Konsultasi ditempat apabila diperlukan
3) Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi
4) Memberikan premedikasi
5) Memasang infus
 Premedikasi3
Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk mencegah semua penyulit yang dapat timbul
selama dan sesudah anestesia maupun pembedahan, membantu
induksi anestesi, pemeliharaan, dan pemulihan yang baik.
Tujuan pemberian obat premedikasi adalah:
1. Mengurangi rasa cemas, memberikan efek sedasi psikis
dan amnesia, misalnya: diazepam, alprazolam, dan
midazolam.
2. Memberi efek analgesia dan memudahkan induksi,
misalnya: morfin, petidin, fentanil, sufentanil, alfentanil
dan remifentanil.
3. Memberi efek antisialoque, misalnya: sulfas atropin,
glikopirolat, dan skopolamin.
4. Mencegah terjadinya resiko aspirasi lambung dengan
mengurangi volume cairan lambung dan menaikkan pH
cairan lambung, misalnya: ranitidin, antasida, dan proton
pump inhibitor (PPI).
5. Mencegah Postoperative Nausea and Vomiting (PONV),
misalnya: ondansetron, tropisetron, granisetron,
ramosetron, dan metoklopramide.
6. Mencegah reaksi alergi, misalnya: dexamethason.
7. Mencegah refleks yang tidak diinginkan, misalnya:
lidokain
8. Sebagai profilaksis seperti untuk mencegah infeksi,
mencegah trombosis vena dalam, mencegah gagal ginjal,
mencegah komplikasi jantung
9. Mengurangi sekresi saluran napas
10. Mengurangi mual muntah
11. Menyebabkan amnesia

Rasa takut dan nyeri mengaktifkan saraf simpatis untuk


menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang mengenai setiap
sistem dalam tubuh. Banyak dari perubahan ini yang disebabkan oleh
suplai darah ke jaringan, sebagian karena stimulasi eferen simpatis yang ke
pembuluh darah dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi.
Impuls adrenergik dari rasa takut timbul di korteks serebri dan dapat
ditekan dengan tidur atau dengan sedatif yang mencegah kemampuan
untuk menjadi takut bila ada penyebab takut yang sesuai. Tanda akhir dari
reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak jantung
dan
tekanan darah.5
Premedikasi ini diberikan harus berdasarkan pada keadaan psikis
dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah kunjungan anestesi
dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu dengan memperhitungkan: Umur pasien, berat
badan, derajat kecemasan, riwayat anestesi sebelumnya (terutama pada
anak), riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien
pernah dianestesi sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu
yang kemungkinan dapat mempengarungi jalannya anestesi (misalnya
MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotik tertentu), perkiraan lama operasi,
macamnya operasi (misalnya terencana, darurat pasien rawat inap atau
rawat jalan), rencana obat anestesi yang akan digunakan.

Jenis-jenis Obat Premedikasi 2,3,4


1. Memberi Efek Analgesia
− Morfin
Dosis morfin untuk premedikasi 0,05-0,2 mg/kgBB secara IM. Dosis
anestesi intraoperatif 0,1-1 mg/kgBB secara IV. Dosis untuk analgesia post
operatif yaitu 0,05-0,2 mg/kgBB secara IM dan 0,03-0,15 mg/kgBB secara
IV (dapat dilihat pada tabel 3). Onset kerja morfin dalam waktu 15-30
menit secara IM dan IV, mencapai puncak 45-90 menit dengan durasi
kerja selama 4 jam. Morfin dapat digunakan sebagai analgetik, euforia,
dan sedasi. Gejala lain setelah pemberian morfin seperti mual, muntah,
kekeringan pada mulut, dan gatal.
− Fentanil
Fentanil merupakan Agonis opioid sintetik yang strukturnya mirip dengan
meperidine yang memiliki efek analgesik 75-125 kali lebih poten
dibanding morfin. Fentanil lebih larut dalam lemak dibanding morfin
sehingga onsetnya lebih cepat. Dosis fentanil untuk anestesi intraoperatif
2-150 μg/kgBB secara IV. Untuk analgesia post operatif 0,5-1,5 μg/kgBB
secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Onset kerja fentanil dalam waktu 5
menit dengan durasi kerja selama 30 menit – 1 jam.
− Sufentanil
Sufentanil merupakan analog thenyl dari fentanil. Sufentanik mempunyai
kekuatan analgetik 5-10 kali dari fentanil. Efek samping yang biasa terjadi
adalah terjadinya spasme otot skeletal pada pemberian injeksi intratekal.
Dosis sufentanil untuk premedikasi adalah 2-5 μg/kgBB secara IV. Dosis
untuk anestesi intraoperatif 0,25-30 μg/kgBB secara IV. Sufentanil
memiliki onset kerja dalam waktu 1-2 menit dengan durasi kerja selama 15
menit.

2. Mengurangi Sekresi Saliva (Antisialoque)


− Antikolinergik
Antikolinergik digunakan untuk mencegah hipersalivasi yang disebabkan
oleh obat anestesi lokal pada jalan napas atas. Selain itu, antikolinergik
juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi cairan
lambung. Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi adalah sebagai
antisialoque dan sedasi serta amnesia.
⚫ Atropin
Atropin sebagai premedikasi diberikan secara IV atau IM dalam dosis
0,01-0,02 mg/kgBB hingga pada dosis dewasa yang umum sekitar 0,4-
0,6 mg/kgBB dosis IV. Onset kerja atropin dalam waktu 1 menit
dengan durasi kerja atropin selama 30-60 menit.

3. Mencegah Mual dan Muntah Post Operatif


− 5-HT3 Reseptor Antagonis
⚫ Ondansetron
Indikasi pemakaian ondansetron adalah sebagai profilaksis mual dan
muntah. Efek samping seperti sakit kepala mengantuk dan gangguan
saluran cerna. Dosis ondansentron 0,15 mg/kgBB secara oral dan
0,05- 0,15 mg/kgBB secara intravena diberikan 30 menit sebelum
operasi. Onset kerja ondansentron dalam waktu 1-1,5 jam secara oral
dan 30-60 menit secara intravena dengan durasi kerja selama 3-4 jam.

4. Mencegah Reaksi Alergi


Obat anestesi merupakan salah satu pemicu alergi walaupun jarang terjadi,
namun jika terjadi alergi ini memiliki reaksi yang fatal.Obat anestesi yang
biasa menyebabkan alergi (petidin, propofol, atracurium) memiliki
mekanisme kerja yang menyebabkan pelepasan histamin sehingga
menimbulkan reaksi alergi. Salah satu obat yang biasa digunakan untuk
mencegah reaksi alergi adalah anti histamin atau kortikosteroid
⚫ Dexamethason
Dexamethason merupakan golongan kortikosteroid sintetik turunan
dari prednisolon dan isomer dari bethametason. Dosis dexamethason
sebagai anti inflamasi yaitu 0,75 mg setara dengan 20 mg kortisol.
Dexamethason dapat diberikan secara oral ataupun IV. Dosis
dexamethason 0,25 mg/kgBB secara IV. Durasi kerja selama 36-72
jam. Dexamethason juga dapat digunakan untuk mengobati edema
laringeal post intubasi dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB secara IV.

5. Mencegah Terjadinya Resiko Aspirasi Lambung dengan Mengurangi


Volume Cairan Lambung dan Menaikkan pH Cairan Lambung

Aspirasi dapat terjadi selama induksi, pada ruang operasi atau pada saat
transfer pasien. Aspirasi juga bisa disebabkan karena bronkospasme. Oleh
karena itu puasa sangat dianjurkan dan merupakan aspek penting sebelum
dilakukannya operasi.
Tabel 2. Rekomendasi Puasa Untuk Mengurangi Resiko Aspirasi

Jenis minuman Waktu puasa minimal (untuk semua umur)

Air putih 2 jam


ASI 4 jam

Makanan bayi 6 jam


Susu formula 6 jam

Makanan berat 6 jam

− Antagonis Reseptor Histamin


Golongan ini memblok kemampuan histamin untuk menginduksi sekresi
asam gaster dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi, sehingga dapat
meningkatkan pH gaster. Antagonisme dari reseptor histamin terjadi dalam
cara yang selektif dan kompetitif.
⚫ Cimetidin
Cimetidin dapat menghambat berbagai fungsi sistem enzim oksidase
hepar sehingga dapat memperpanjang waktu paruh dari berbagai
obat, termasuk diazepam, chlordiazepoxide, theophylline, propanolol
dan lidokain. Biasanya diberikan dengan dosis 300-800 mg oral dan
300 mg secara IV. Dosis 300 mg per oral (3-4 mg/kgBB) ini
diberikan 1,5- 2 jam sebelum induksi anestesi. Cimetidin memiliki
onset kerja dalam waktu 1-2 jam dengan durasi kerja selama 4-8 jam.
− Proton Pump Inhibitor (PPI)
⚫ Omeprazole
Omeprazole adalah golongan PPI yang menekan sekresi cairan
lambung dengan cara berikatan pada pompa proton sel parietal guna
meningkatkan pH dan menurunkan volume asam lambung. Efek
sampingnya adalah sakit kepala, agitasi dan kebingungan karena
omeprazole melewati SDO. Efek gastrointestinal menyebabkan nyeri
perut, mual, muntah. Dosis pada orang dewasa 40 mg/24 jam (0,5-1
mg/kgBB) secara oral maupun IV. Pada anak <20 kg 10 mg, anak
>20 kg dosisnya 20 mg.

6. Mengurangi Rasa Cemas, Memberikan Efek Sedasi Psikis dan Amnesia


− Golongan Benzodiazepin
 Diazepam
Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi, dan
membuat amnesia penderita yang berefek sedikit mendepresi
pernafasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi. Secara
spesifik mual dan muntah biasanya tidak berkaitan dengan pemberian
benzodiazepin pada pemberian preoperatif. Pemberian diazepam dapat
dilakukan secara intramuskuler (IM) atau intravena (IV). Pemberian
secara IM dapat menyebabkan rasa sakit pada tempat penyuntikan.
Dosis premedikasi diazepam adalah 0,2-0,5 mg/kgBB diberikan
secara oral. Dosis sedasi 0,04-0,2 mg/kgBB diberikan secara IV.
Dosis induksi diberikan 0,3-0,6 mg/kgBB secara IV. Onset kerja
diazepam dalam waktu 15-30 menit dengan durasi kerja selama 21-37
jam.
 Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang paling sering
digunakan. Midazolam dianggap pemulihannya lebih cepat dan
memberikan efek sedasi maksimal jika diberikan dalam dosis yang
besar atau ketika dikombinasikan dengan obat lain. Dosis midazolam
untuk premedikasi yakni 0,07-0,15 mg/kgBB secara IM. Dosis sedasi
0,01-0,1 mg/kgBB secara IV. Dosis induksi 0,1 0,4 mg/kgBB secara
IV. Onset kerja midazolam dalam waktu 30-60 detik secara IV. Efek
puncak 3-5 menit dan durasi kerja selama 15-80 menit. Midazolam
0,5 mg/kgBB secara oral diberikan 30 menit sebelum induksi anestesi.
Midazolam pada dosis 0,15-0,27 mg/kgBB secara IV dapat
menurunkan tekanan intrakranial (TIK). Midazolam dosis 0,15 secara
IV dapat menurunkan ventilasi. Apneu dapat terjadi pada pemberian
injeksi yang cepat dengan dosis >0,15 mg/kgBB secara IV.
Midazolam dosis 0,2 mg/kgBB secara IV dapat menurunkan tekanan
darah dan meningkatkan laju jantung.
 Lorazepam
Lorazepam menghasilkan efek amnesia yang lebih dominan dari
golongan lainnya dengan masa kerjanya juga lebih lama dibanding
yang lainnya. Dosis lorazepam untuk premedikasi adalah 0,053
mg/kgBB secara oral, atau 0,03-0,05 mg/kgBB secara IM. Dosis
sedasi 0,03-0,04 mg/kgBB secara IV. Secara IM onset kerja diazepam
dalam waktu 2-4 jam. Sedangkan pada pemberian IV onsetnya dalam
waktu 1-2 menit. Durasi kerja selama 6-10 jam. Onset kerja
lorazepam lebih lama daripada midazolam dan diazepam.3,4,5

− Golongan Barbiturat
Obat golongan barbiturat terbagi atas tiopental, methohexical dan
pentobarbital. Obat-obatan ini digunakan secara primer untuk efek
sedatifnya.
 Tiopental
Tiopental dimetabolisme di hati tiap jam. Pada penyuntikan tiopental,
mula-mula timbul hiperalgesia diikuti anelgesia bila dosis terus
ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik yang kuat. Dosis sedasi
0,5-1,5 mg/kgBB secara IV. Onset kerja dalam waktu 30-45 detik
dengan durasi kerja selama 5-10 menit secara IV.
 Methohexical
Kelarutan methohexical dalam lemak lebih sedikit sehingga
metabolismenya lebih cepat daripada tiopental Dosis sedasi
methohexical 0,2-0,4 mg/kgBB secara IV. Onset kerjanya dalam
waktu 5,6 menit dengan durasi kerja selama 3,9 jam.
 Pentobarbital
Dosis premedikasi pentobarbital adalah 2-.4 mg/kgBB secara oral dan
IM. Dosis 3-5 mg/kgBB secara rektal pada anak. Onset kerja
pentobarbital dalam waktu 20-60 menit secara oral dan rektal, 10-20
menit secara IM, dan 5 menit secara IV. Dengan durasi kerja selama
1- 4 jam secara oral dan rektal.

7. Mencegah Refleks yang Tidak Diinginkan (Laringospasme, Bronkospasme)


Bronkospasme intraoperatif dapat disebabkan oleh pelepasan histamin
karena obat, anestesi ringan, stimulasi parasimpatomimetik (adanya tuba
endotrakeal dan rangsangan operasi), aspirasi dan anafilaksis oleh karena
obat beta bloker.vLaringospasme adalah spasme pada otot laring yang
disebabkan oleh stimulasi sensorik pada nervus laringeal superior pada saat
intubasi maupun ekstubasi.
 Lidokain
Lidokain merupakan obat yang dimetabolisme di hati dan merupakan
anestesi lokal golongan amida. Dosis lidokain untuk mecegah
terjadinya refleks yang tidak diinginkan adalah 1-1,5 mg/kgBB secara
IV. Onset kerja sangat cepat dengan durasi kerja selama 60-180 menit.
Maximum dosis tunggal yaitu 300 mg atau 500 mg dengan epinefrin

2.8 Prosedur dan Monitoring Intra Operatif


Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya disiapkan: “STATICS”
S : Scope (stetoskop, laringoskop)
 Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
 Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih
luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis,
pita suara dan trakea. Laringoskop terdiri atas dua macam yaitu blade
lengkung (Machintosh) digunakan untuk laringoskopi pada pasien
dewasa., blade lurus (Miller, Magill) digunakan untuk laringoskopi
pada bayi dan anak anak

Gambar 1. Jenis Laringoskop1

2
T : Tube (pipa endotraceal, LMA),
 Pipa Endotrakeal : Endotracheal tube dikerjakan pada pasien yang
memiliki kemungkinan kontaminasi pada jalan nafas, posisi
pembedahan yang sulit, pembedahan di mulut atau muka dan
pembedahan yang lama.

Gambar 2. Ukuran ETT1


 Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask
atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien
dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang
membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama. LMA
terdiri dari 2 macam yaitu sungkup laring standar dengan satu pipa
napas, dan sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas
standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan
dengan esophagus. Untuk jenis LMA dapat berupa
− LMA ProSeal, yang memungkinkan lewatnya saluran lambung
untuk mendekompresi lambung
− I-Gel, yang menggunakan gel occluder
− LMA intubasi Fastrach, yang dirancang untuk memfasilitasi
intubasi endotrakeal melalui perangkat LMA
− LMA CTrach, yang menggabungkan kamera untuk memfasilitasi
intubasi endotrakeal
Gambar 3. Insersi LMA1

Gambar 4. Ukuran LMA1

A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa oropharing),
 Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas pasien.

Gambar 5. Facemask 1
 Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway) : menahan
pangkal lidah dari dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien
yang masih bernapas spontan, selain itu alat ini juga membantu saat
dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa

endotrakheal (ETT).
Gambar 6. Oral pharyngeal airway 2

 Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway) : digunakan pada


pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas orofaring atau
apabila secara teknis tidak mungkin memasang alat bantu jalan napas
orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat
daerah mulut).

Gambar 7. Nasopharyngeal airway 2

T : Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi supaya tidak
terlepas.

I : Inducer (stilet/ forceps Magill),


 Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa.
 Forseps intubasi (Mc gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal
nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

C : Connection.
Connection merupakan hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan sungkup
muka, serta penghubung-penghubung yang lain,

S : Suction
Suction berguna untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir,
ludah, dan lain-lainnya.

Induksi Anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.1,6

Induksi Inhalasi
Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2 macam, yaitu7,8:
 Obat anestesia umum yang berupa gas
− Nitrous oksida (N2O)
− Siklopropan
 Obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah menguap
− Derivat halogen hidrokarbon : Halothan, Trikhloroetilen, Khloroform
− Derivat eter : Dietil eter, Metoksifluran, Enfluran, Isofluran

a) Halotan
Halotan berbentuk cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar
dan tidak mudah meledak atau terbakar meskipun dicampur dengan oksigen,
tidak iritatif dan mudah rusak bila terkena cahaya, tetapi stabil disimpan
memakai botol warna gelap. Dosis untuk induksi inhalasi adalah 2-4%, dosis
untuk induksi anak 1.5 – 2%. Pada induksi inhalasi kedalaman yang cukup
terjadi setelah 10 menit. Dosis untuk pemeliharaan adalah 1 – 2%, dan dapat
dikurangi bila digunakan juga N2O atau narkotik. Pemeliharaan pada anak 0.5
– 2%. Waktu pulih sadar sekitar 10 menit setelah obat dihentikan.Koefisien
partisis darah/gas yaitu 2:3, dan MAC yaitu 0,74. Pada penggunaan klinis
diperlukan alat penguap (vaporizer)
 Farmakokinetik
a. Absorbsi
Obat anestesi inhalasi di absorbsi di paru, setelah itu di distribusikan ke
seluruh tubuh.
b. Metabolisme
Metabolism obat anestesi inhalasi secara oksidasi dan reduksi di dalam
reticulum endoplasma hepar.
c. Eksresi
Eliminasi sebagian besar secara ekshalasi lewat paru, sebagian kecil
melalui urin. Hasil metabolism sebagian besar diekskresi lewat urin
sebagian kecil diekskresi lewat paru.1,4
 Efek terhadap sistem organ :
 Menimbulkan depresi pada SSP di semua komponen otak. Depresi
pusat kesadaran menimbulkan hipnotik, depresi pada pusat sensorik
menimbulkan khasiat analgesia dan depresi pada pusat motorik
menimbulkan kelemahan otot.
 Menurunkan tekan darah akibat depresi pada otot jantung,menurunkan
laju jantung, meningkatkan kepekaan jantung terhadap katekolamin
sehingga bisa diritmia, dan dapat menyebabkan vasodilatasi umum.
 Menimbulkan depresi pusat nafas, sehingga pola nafas menjadi cepat
dan dangkal, dan menyebabkan dilatasi bronkus.
 Menurunkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus
pengeluaran urin, secara sementara
 Penggunaan Klinik
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan
anak-anak yang tidak kooperatif, halotan digunakan untuk induksi
bersama- sama dengan N2O secara inhalasi. Diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus halotan, misalnya fluotec, halomix, copper kettle,
dragger dan lain- lainnya.
 Kontra indikasi
 Pasien dengan gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
 Operasi kraniotomi.
 Keuntungan dan Kelemahan
 Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak intattif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya relatif cepat, tidak menimbulkan
mual muntah dan tidak meledak atau cepat terbakar.
 Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah terjadi
kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus
dikombinasikan dengan obat lain. Selain itu juga menimbulkan
hipotensi, gangguan irama jantung dan hepatotoksik, serta
menimbulkan menggigil pasca anestesia.

b) Enfluran
Enfluran adalah obat anestesi inhalasi yang bebentuk cair, tidak mudah
terbakar, tidak berwarna, tidak iritatif, lebih stabil dibandingkan halotan,
induksi lebih cepat dibanding halotan, tidak terpengaruh cahaya dan tidak
bereaksi dengan logam. Enfluran merupakan golongan eter halogeneted
dengan koefisien partisi darah/gas yaitu 1,8 dan MAC yaitu 1,7. Untuk
induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3%
bersama dengan N2O. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 1- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali
berkisar antara 0,5-1%.
 Farmakodinamik
Setelah diabsorbsi dari paru ke dalam darah, enfluran akan didistribusikan
ke seluruh tubuh. Kelarutan enfluran dalam lemak lebih rendah
dibandingkan halotan. Ekskresi melalui paru dan sebagian kecil melalui
urin.
 Efek Terhadap Sistem Organ :
◼ Menyebabkan depresi yang berujung kepada hipnotik, perubahan
EEG bentuk epileptiform, dan meningkatkan aliran darah otak dan
tekanan intrakranial. Tidak dianjurkan pemakaiannya pada pasien
yang mempunyai riwayat epilepsy
◼ Menimbulkan depresi kontraktilitas miokard, disritmia jarang terjadi,
tidak meningkatkan sensitifitas miokard terhadap katekolamin.
Hipotensi dapat terjadi akibat menurunnya curah jantung. Selain itu
dapat meningkatkan kepekaan jantung walaupun terhadap
katekolamin ringan.
◼ Menurunkan frekuensi nafas dan depresi fungsi mukosiliar.
◼ Menurunkan aliran darah ginjal, menurunkan laju filtrasi glomerolus
dan akhirnya menurunkan urin output/diuresis.
◼ Gangguan fungsi hati ringan yang sifatnya reversible
◼ Menimbulkan depresi tonus otot uterus, namun respon uterus
terhadap oksitosin tetap baik selama dosis enfluran rendah.
 Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan. Diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus enfluran.
 Kontra Indikasi
Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.
 Keuntungan dan Kelemahan
Enfluran memiliki keuntungan dalam induksi cepat dan lancar, tidak iritatif
terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak
menimbulkan mual muntah, dan tidak menimbulkan menggigil serta tidak
mudah meledak atau terbakar. Namun, batas keamanan sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga harus
dikombinasikan dengan obat lain dan bisa menimbulkan hipotensi.

c) Isofluran (Forane)
Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran, merupakan cairan tidak
berwarna dan berbau tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas jika dipakai
dengan konsentrasi tinggi menggunakan sungkup muka. Tidak mudah
terbakar, tidak terpengaruh cahaya dan proses induksi dan pemulihannya
relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada
saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran. Isofluran
memiliki koefisien partisi darah/gas yaitu 1,4 dengan MAC yaitu 1,2. Untuk
induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3%
bersamasama dengan N2O.Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan
konsentrasinya berkisar antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali
berkisar antara 0,5-1%
 Farmakodinamik
Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran kurang dari 1 jam akan sadar
kembali sekitar 7 menit setelah obat dihentikan. Sedangkan pada tindakan
5-6jam, kembali sadar sekitar 11 menit setelah obat dihentikan.
 Efek Terhadap Sistem Organ
 Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain.
 Dapat menimbulkan efek berupa iritasi refleks jalan nafas atas.
 Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat
motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi
dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi
 Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan :
 Induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan nafas,
pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan mual
muntah, dan tidak menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak
atau terbakar.
 Penurunan konsumsi oksigen otak sehingga isofluran merupakan obat
pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak berperngaruh
pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek
metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali.
 Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama anestesi. Sehingga
obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan
kardiovaskuler.
Kelemahan:
Batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan
relaksasinya kurang, sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain

d) Desfluran
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
sama dengan isofluran, dimana merupakan ion atom khlor menggantikan ion
flour dari isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan
agen volatile yang lain. Desfluran tidak berbau dan bersifat tidak mudah
meledak. Koefisien partisi dara/gas yaitu 1,3 dengan MAC yaitu 6. Desfluran
memerlukan alat penguap khusus (TEC-6).
 Efek Terhadap Sistem Organ
 Menurunkan resistensi vascular sistemik, menyebabkan turunnya
tekanan darah.
 Menyebabkan menurunnya volume tidal dan meningkatnya frekuensi
nafas sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan CO2. Desfluran
bersifat iritatif, sehingga tidak ideal untuk induksi.
 Penggunaan Klinik
Digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesia umum. Disamping efek hipnotik, desfluran juga mempunyai efek
analgetik yang ringan dan relaksasi otot ringan.1,4
 Kontra Indikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
 Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungannya hamper sama dengan isoflurane. Sedangkan
kelemahannya yaitu batas keamanannya sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain

e) Sevofluran
Sevofluran merupakan golongan f;our halogeneted, memiliki koefisien partisi
otak/darah yaitu 1,7 dengan MAC yaitu 2, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu
tempat gelap), dan tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam
kuat atau panas. Obat ini tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas sehingga
baik untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat
dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini.
Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3,0-
5,0% bersama-sama dengan N2O. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas
spontan, konsentrasinya berkisar antara 2,0-3,0%, sedangkan untuk nafas
kendali berkisar antara 0,5-1%.
 Efek Terhadap Sistem Organ :
 Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan isofluran.
 Relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia.
 Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun, sehingga
tekanan darah sedikit menurun. Menyebabkan penurunan laju jantung.
 Menimbulkan depresi pernapasan dan dapat memicu bronkhospasme.
 Menurunkan aliran darah ke hepar paling kecil dibandingkan dengan
enfluran dan halotan.
 Kontra Indikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
 Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosajalan nafas, pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen
volatil lain. Namun, batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain.

f) Nitrous Oksida (N2O)


N2O adalah anestesi lemah dan harus diberikan dengan konsentrasi besar
(lebih dari 65%) agar efektif. Paling sedikit 20% atau 30% oksigen harus
diberikan sebagai campuran, karena konsentrasi N2O lebih besar dari 70-80%
dapat menyebabkan hipoksia. N2O memiliki koefisien partisi darah/gas yaitu
0,46 dengan MAC yaitu 105. N2O tidak dapat menghasilkan anestesia yang
adekuat kecuali dikombinasikan dengan zat anestesi yang lain, meskipun
demikian, karakteristik tertentu membuatnya menjadi zat anestesi yang
menarik, yaitu koefisien partisi darah / gas yang rendah, efek anagesi pada
konsentrasi subanestetik, kecilnya efek kardiovaskuler yang bermakna klinis,
toksisitasnya minimal dan tidak mengiritasi jalan napas sehingga ditoleransi
baik untuk induksi dengan masker.
Pemberian N2O akan menyebabkan peningkatan konsentrasi alveolar dari
zat anestesi lain dengan cepat, oleh karana sifat ―efek gas kedua dan ―efek
konsentrasi‖ dari N2O. Efek konsentrasi terjadi saat gas diberikan
dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gas diinhalasi, maka
semakin cepat peningkatan tekanan arterial gas tersebut. Efek anestesi N2O
dan zat anestesi lain bersifat additif, sehingga pemberian N2O dapat secara
substansial mengurangi jumlah zat anestesi lain yang seharusnya digunakan.
Pengambilan cepat volume N2O yang besar, menmbulkan suat keadaan
vakum di alveolus, sehingga memaksa lebih banyak gas segar (N2O Bersama
dengan agen inhalasi lain) masuk ke dalam paru-paru.Seorang pasien
menerima 70-75% N2O akan menyerap sampai 1.000 ml/menit N2O saat fase
awal induksi. Pemindahan volume N2O dari paru ke darah, menyebabkan
aliran gas segar seperti disedot masuk dari mesin anestesi ke dalam paru-paru,
sehingga meningkatkan laju gas lain. Pasien menerima hanya 10-25% N2O,
pengambilan N2O oleh darah hanya 150 ml/menit, hal ini tidak menghasilkan
perubahan yang signifikan pada laju penyerapan agen/gas lain. Efek gas
kedua terjadi saat agen inhalasi kedua diberikan bersama dengan N2O. efek
ini berkaiatan dengan pengambilan N2O yang cepat, sekitar 1.000 ml/menit
saat induksi anestesi. Analgesia yang dihasilkan oleh 50% N2O kira-kira
sama dengan 10 mg morfin. MAC bangun N2O adalah 65% diatas
konsentrasi tersebut pasien tidak sadar atau lupa terhadap Tindakan
pembedahan.
 Farmakokinetik
Absorbsi dan eliminasi nitorus oksida relatif lebih cepat
dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya, hal ini terutama
disebabkan oleh koefisien partisi gas darah yang rendah dari N2O. total
ambilan N2O oleh tubuh manusia diteliti oleh Severinghause. Pada menit
pertama, N2O (75%) dengan cepat akan diabsorbsi kira-kira 1.000

3
ml/menit. Setelah 5 menit, tingkat absorbsi turun menjadi 600 ml/menit,

3
setelah 10 menit turun menjadi 350 ml/menit dan setelah 50 menit tingkat
absorbsinya kira-kira 100 ml/menit, kemudian pelan-pelan menurn dan
akhirnya mencapi nol. Konsentrasi N2O yang diabsorbsi tergantung antara
lain oleh konsentrasi inspirasi gas, ventilasi alveolar dan ambilan oleh
sirkulasi, seperti koefisien partisi darah/gas dan aliran darah (curah jantung).
Jaringan dengan aliran darah besar/banyak seperti otak, jantung,
hati dan ginjal akan menerima N2O lebih banyak sehingga akan menyerap
volume gas yang lebih besar. Jaringan lain dengan suplai darah sedikit
seperti jaringan lemak dan otot menyerap hanya sedikit N2O, ambilan dan
penyerapan yang cepat menyebabkan tidak terdapatnya simpanan N2O
dalam jaringan tersebut sehingga tidak menghalangi pulihnya pasien saat
pemberian N2O dihentikan. N2O akan didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh. Konsentrasi di jaringan adalah berbanding lurus dengan perfusi per
unit volume dari jaringan, lamanya paparan dan koefisien partisi darah /
jaringan zat tersebut.
N2O tidak atau sedikit mengalami biotransformasi dalam tubuh,
namun telah ditemukan bakteri anaerob yang memetabolisir N2O dan
menghasilkan radikal-radikal bebas meskipun tidak terdapat bukti bahwa
radikal-radikal bebas tersebut menimbulkan kerusakan organ yang
spesifik. N2O dieliminasi melalui paru-paru dan sebagian kecil
diekskresikan lewat kulit.
Kira-kira sebanyak 1500 ml N2O dikeluarkan pada menit pertama
oleh pasien yang menerima N2O : O2 dengan rasio 75% : 25%. Jumlah
tersebut menurun menjadi 1.200 ml pada menit ke dua dan 1.000 ml pada
menit ke tiga. Pada saat N2O dihentikan pemberiannya, N2O berdifusi
keluar dari darah dan masuk ke alveoli secepat difusinya ke dalam darah
saat induksi. Jika pasien dibiarkan menghirup udara atmosfir saja pada saat
tersebut 53 akan mengalami hipoksia difusi. Selama beberapa menit
pertama pasien menghirup udara atmosfir, sejumlah besar volume N2O
berdifusi melalui darah ke dalam paru-paru dan dikeluarkan lewat paru-
paru. Difusi N2O yang cepat dan dalam jumlah besar ke dalam alveoli
akan menyebabkna pengenceran dan mendesak O2 keluar dari alveoli.,
sehingga mudah terjadi hipoksia dan juga menyebabkan terjadinya
pemindahan volume CO2 yang lebih besar dari darah, sehinga akan
menurunkan tekanan CO2 dalam darah dan akan memperberat hipoksia.
Efek hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian 100% O2 selam
minimal 3-5 menit pada akhir operasi
 Efek Terhadap Sistem Organ
 Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai khasiat hipnotik.
 Depresi ringan kontraktilitas miokard terjadi pada rasio N2O : O2 = 80%
: 20%. N2O tidak menyebabkan perubahan laju jantung dan curah
jantung secara langsung.
 Pengaruh terhadap sistem pernapasan minimal. N2O tidak mengiritasi
epitel paru sehingga dapat diberikan pada pasien dengan asma tanpa
meningkatkan resiko terjadinya spasme bronkus.
 N2O tidak mempengaruhi tonus dan motilitas saluran cerna. Pada
gangguan fungsi hepar, N2O tetap dapat digunakan.
 N2O tidak menyebabkan relaksasi otot rangka. Karena tonus otot tetap
tidak berubah sehingga dalam penggunaannya mutlak memerlukan
obat pelumpuh otot.
 Pemakaian jangka panjang secara terus menerus lebih dari 24 jam bisa
menimbulkan depresi pada fungsi hemato-poietik.
 Penggunaan Klinik
Digunakan sebagai obat dasar dari anestesia umum inhalasi dan selalu
dikombinasikan dengan oksigen dengan perbandingan N2O : O2 = 70 : 30
(untuk pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan
oksigen yang lebih banyak), atau 50 : 50 (untuk pasien yan gberesiko
tinggi). Oleh karena N2O hanya bersifat analgesia lemah, maka dalam
penggunaannya selalu dikombinasikan dengan obat lain
 Efek Samping
Walaupun nitrous oksida dikatakan sebagai obat anestetik non toksik dan
mempunyai pengaruh yang sangat minimal pada sistem organ seperti
tersebut di atas, kadang-kadang terjadi juga efek samping seperti berikut
1. Nitrous oksida akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat
tiopenton terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.
2. Kehilangan pendengaran pasca anestesia, hal ini disebabkan adanya
perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi perubahan
tekanan pada rongga telinga tengah.
3. Pemanjangan proses pemulihan anestesia akibat difusinya ke rongga
tubuh seperti pneumotorak.
4. Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum tulang
sehingga menyebabkan anemia aplastik.
5. Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada umur 8 hari – 6
minggu, yang dianggap periode kritis.
6. Hipoksia difusi pasca anestesia. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sifat
difusinya yang luas sehingga proses evaluasinya terlambat. Oleh karena itu
pada akhir anestesia, oksigenasinya harus diperhatikan.

Induksi Intravena1,2
a) Barbiturat
Barbiturat menekan RAS (reticular activating system) di batang otak, yang
mengontrol kesadaran. Mekanisme kerja utama barbiturat diyakini melalui
pengikatan dengan reseptor asam γ-aminobutyric tipe A (GABA).
Barbiturat mempotensiasi aksi GABA dalam meningkatkan durasi
pembukaan saluran ion khusus klorida. Pada dosis klinis barbiturat lebih
kuat mempengaruhi fungsi sinaps dari pada akson serabut saraf.
Mekanisme kerjanya pada sistem saraf pusat terbagi menjadi dua kategori
yaitu 1) Meningkatkan kerja sinaptik neurotransmiter inhibitor (GABA),
Memblokade aksi sinaptik neurotransmiter eksitasi (glutamat dan
asetilkolin) Contoh obat yang tergolong barbiturat adalah tiopental,
metoheksital, fenobarbital
 Farmakokinetik :
a. Absorbsi
Sebelum pengenalan propofol, tiopental, tiamin, dan metoheksital
sering diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum pada
orang dewasa dan anak-anak. Pulih sadar setelah pemberian intra
vena dosis tunggal thiopental, thiamylal dan methohexytal
mencerminkan proses redistribusi dari obat-obat tersebut dari otak ke
jaringan inaktif. Metoheksital dubur telah digunakan untuk induksi
pada anak-anak.
b. Distribusi
Durasi dosis induksi tiopental, tiamin, dan metoheksital ditentukan
oleh redistribusi, bukan oleh metabolisme atau eliminasi. Walaupun
thiopental sangat terikat dengan protein (80%) Thiopental memiliki
kelarutan lemak dan fraksi nonionisasi tinggi (60%) sehingga
berperan dalam penyerapan otak yang cepat (dalam 30 detik).
Redistribusi menurunkan konsentrasi plasma dan otak hingga 10%
dari level puncak dalam 20 hingga 30 menit. Profil farmakokinetik
ini berkorelasi dengan pengalaman klinis — pasien biasanya
kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik dan bangun dalam waktu
20 menit. Dosis induksi minimal thiopental tergantung pada berat
badan dan usia. Pada usia lanjut, di mana proses redistribusi berjalan
lebih
lambat, diperlukan dosis yang lebih kecil. Berbeda distribusi yang
terjadi secara cepat selama beberapa menit, eliminasi thiopental
berkepanjangan (eliminasi rentang paruh 10-12 jam). Thiamylal dan
methohexital memiliki pola distribusi yang serupa, sedangkan
barbiturat yang kurang larut dalam lemak memiliki waktu paruh
distribusi yang lebih lama dan durasi kerja setelah dosis tidur.
Pemberian berulang barbiturat yang sangat larut dalam lemak (mis.,
Infus thiopental untuk "koma barbiturat" dan perlindungan otak)
menjenuhkan kompartemen perifer, meminimalkan efek redistribusi
dan memberikan durasi tindakan yang lebih tergantung pada
eliminasi.
c. Metabolisme
Barbiturat pada prinsipnya merupakan biotransformasi melalui
oksidasi hati menjadi metabolit yang tidak aktif dan larut dalam air
dan dieksresikan melalui ginjal, kecuali methohexital yang
dieksresikan melalui feses. Metoheksital dibersihkan oleh hati lebih
cepat daripada thiopental.
d. Ekskresi
Kecuali untuk zat-zat yang tidak terikat protein dan kurang larut
dalam lemak seperti fenobarbital, ekskresi ginjal pada ginjal hanya
terjadi pada produk akhir biotransformasi hati yang larut dalam air.
Metohoxital diekskresikan dalam tinja.

Tabel 2. Penggunaan dan dosis barbiturat


Obat Penggunaan Jalur Konsentrasi Dosis
(%) (mg/kgBB)
Thiopental, Sedasi IV 2,5 0,5-1,5
thiamylal
Methohexical Sedasi IV 1 0,2-0,4
Secobarbital, Premedikasi Oral 5 2-42
Pentobarbital IM 2-42
Rectal 3
suppositor
y
1
IV, intravenous, IM, Intramuscular.
2
Maximum dose 15 mg.
3
Not recommended for children.
 Efek pada Sistem Organ :
A. Kardiovaskular
Dosis induksi bolus barbiturat iv menyebabkan penurunan tekanan
darah dan peningkatan denyut jantung. Depresi pada pusat
vasomotor medulla menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah
kapasitans perifer sehingga terjadi pooling darah di perifer yang
akan diikuti dengan takikardi sebagai refl ek vagolitik sentral dan
respon terhadap penurunan tekanan darah. Cardiac output tetap
terjaga karena adanya peningkatan denyut jantung dan
kontraktilitas otot jantung karena adanya kompensasi dari reflek
baroresptor.
B. Respirasi
Barbiturat menekan pusat ventilasi meduler, sehingga mengurangi
respons ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia yang akhirnya
dapat menyebabkan apnea. Saat bangun, volume tidal dan laju
pernapasan menurun. Sedasi dalam barbiturat sering menyebabkan
obstruksi jalan nafas atas, apnea (pada dosis induksi). Volume tidal
dan laju respirasi menurun saat induksi dengan barbiturat.
Barbiturat menekan refleks jalan nafas tidak komplet terhadap
respon laringoskopi dan intubasi yang dapat menyebabkan
bronkospasme (pada pasien ashma) maupun laringospasme pada
pasien yang masih teranestesi dangkal.
C. Cerebral
Barbiturat menyempitkan pembuluh darah otak, menyebabkan
penurunan aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan
intrakranial.Tekanan intrakranial yang berkurang sampai batas
yang lebih besar daripada tekanan darah arteri,dapat menyebabkan
tekanan perfusi otak (CPP) meningkat. Barbiturat dapat
menyebabkan depresi sistem saraf pusat mulai dari sedasi ringan
hingga tidak sadar, tergantung pada dosis yang diberikan.
Barbiturat menurunkan konsumsi oksigen otak (hingga 50% dari
normal). Tingkatan depresi sistem saraf pusat TIVA (Total
Intravenous Anesthesia) oleh barbiturat dari sedasi ringan hingga
hilangnya kesadaran tergantung pada dosis yang diberikan.
Barbiturat tidak memiliki efek analgesia dan relaksasi otot.
D. Renal
Barbiturat mengurangi aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus terkait secara proporsional dengan penurunan tekanan
darah.
E. Hepatic
Dapat mengakibatkan aliran darah hati menurun. Paparan kronis
terhadap barbiturat menyebabkan induksi enzim hati dan
peningkatan laju metabolisme. Barbiturat mendorong pembentukan
asam aminolevulinic yang merangsang pembentukan porfirin
(mediator pembentukan heme). Hal ini dapat memicu terjadinya
porfiria intermiten akut. Di sisi lain, pengikatan barbiturat ke
sistem enzim sitokrom P-450 mengganggu biotransformasi obat
lain (misalnya antidepresan trisiklik).
F. Imunologis
Tiobarbiturat yang mengandung belerang menyebabkan pelepasan
sel mast histamin in vitro, sedangkan oxybarbiturates tidak. Reaksi
alergi anafilaksis atau anafilaktoid sangat jarang terjadi.

b) Benzodiazepin
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dalam sistem saraf pusat
seperti barbiturat tetapi mengikat ke situs atau lokasi yang berbeda dengan
benzodiazepin. Ikatan benzodiazepin dengan reseptor GABA dapat
meningkatkan frekuensi pembukaan salura ion klorida yang terkait.
Flumazenil (sebuah imidazobenzodiazepine) adalah antagonis reseptor
benzodiazepin spesifik yang secara efektif membalikkan sebagian besar efek
sistem saraf pusat dari benzodiazepine.
Midazolam mempunyai keunggulan dibandingkan diazepam dan
lorazepam untuk induksi anestesi, karena ia mempunyai onset yang lebih
cepat. Kecepatan onset midazolam dan barbiturat lainnya ketika digunakan
untuk induksi anestesi ditentukan oleh dosis, kecepatan injeksi, tingkat
premedikasi sebelumnya, umur, status fisik ASA dan kombinasi obat
anestetik lain yang digunakan. Pada pasien yang sehat yang telah diberi
premedikas sebelumnya, midazolam 0,2 mg/kg dengan kecepatan injeksi 5-15
detik akan menginduksi pasien dalam waktu 28 detik. Pasien dengan usia
lebih dari 55 tahun dan dengan status fisik ASA III memerlukan pengurangan
dosis midazolam sebesar 20% atau lebih untuk induksi anestesi.
 Farmakokinetik
a. Absorbsi
Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral dan intravena (atau,
lebih jarang, secara intramuskuler) untuk memberikan sedasi (atau,
yang lebih jarang, untuk menginduksi anestesi umum). Diazepam dan
lorazepam diserap dengan baik dari saluran pencernaan, dengan kadar
plasma puncak biasanya dicapai dalam 1 dan 2 jam, masing-masing.
Suntikan midazolam dan lorazepam diserap dengan baik setelah
injeksi
intramuskuler, dengan level puncak dicapai masing-masing dalam 30
dan 90 menit, sedangkan suntikan diazepam intramuskular terasa
menyakitkan dan tidak dapat diserap.
b. Distribusi
Diazepam relatif larut dalam lemak dan siap menembus sawar darah-
otak. Meskipun midazolam larut dalam air pada pH rendah, cincin
imidazolnya mendekati pH fisiologis yang meningkatkan kelarutannya
di dalam lemak. Redistribusi cukup cepat pada benzodiazepin
(distribusi awal waktu paruhnya 3-10 menit). Seperti pada barbiturat,
redistribusi berperan dalam terminasi efek obat. Midazolam dapat
digunakan sebagai agen induksi, yang dapat menyamai onset cepat dan
durasi pendeknya propofol atau bahkan thiopental. Midazolam sangat
terikat dengan protein (90-98%).
c. Metabolisme
Benzodiazepine bergantung pada hati untuk biotransformasi menjadi
produk akhir glukuronid yang larut dalam air. Metabolit fase I
diazepam aktif secara farmakologis. Ekstraksi hati yang lambat dan
volume distribusi yang besar (Vd) menyebabkan eliminasi waktu
paruh yang panjang untuk diazepam (30 jam). Meskipun lorazepam
juga memiliki rasio ekstraksi hati yang rendah, kelarutan lemaknya
yang lebih rendah membatasi Vd-nya, menghasilkan waktu paruh
eliminasi yang lebih pendek (15 jam). Vd midazolam serupa dengan
diazepam, tetapi eliminasi waktu paruhnya pendek (2 jam) karena
tingginya rasio ekstraksi hepatiknya. Meskipun demikian, durasi klinis
lorazepam seringkali cukup lama karena peningkatan afinitas reseptor.
Perbedaan antara lorazepam dan diazepam menggarisbawahi
rendahnya utilitas paruh farmakokinetik individu dalam memandu
praktik klinis. Midazolam memiliki waktu paruh eliminasi yang
terpendek (2 jam) karena peningkatan rasio ekstraksi hati.
d. Ekskresi
Metabolit benzodiazepin diekskresikan terutama dalam urin. Sirkulasi
enterohepatik menghasilkan puncak sekunder dalam konsentrasi
plasma diazepam 6 hingga 12 jam setelah pemberian.
 Efek pada sistem organ
 Benzodiazepin menurunkan sedikit tekanan darah arteri, curah
jantung, dan resistensi pembuluh darah perifer, dan kadang-kadang
meningkatkan denyut jantung.
 Menekan respons ventilasi terhadap CO2.
 Mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan tekanan
intrakranial tetapi tidak sebesar barbiturat
 Efektif dalam mengendalikan kejang grand mal.
 Benzodiazepin tidak memiliki sifat analgesik langsung.

Tabel 3. Penggunaan dan dosis benzodiazepin


Obat Penggunaan Jalur Dosis
(mg/kgBB)
Diazepam Premedikasi Oral 0,2-0,52
Sedasi IV 0,04-0,2
Induksi IV 0,3-0,6
Midazolam Premedikasi IM 0,07-0,15
Sedasi IV 0,01-0,1
Induksi IV 0,1-0,4
Lorazepam Premedikasi Oral 0,053
IM 0,03-0,053
Sedasi IV 0,03-0,043
1
IV, intravenous, IM, Intramuscular.
2
Maximum dose 15 mg.
3
Not recommended for children.

c) Ketamin
Ketamin memiliki banyak efek di seluruh sistem saraf pusat, dan dikenal
baik untuk menghambat saluran N-metil-d-aspartat (NMDA) dan saluran
kationik teraktivasi hiperpolarisasi neuronal (HCN1). Di antara agen anestetik
lainnya ketamin mempunyai keunggulan dengan menimbulkan efek hipnotik
dan analgesi sekaligus berkaitan dengan dosis yang diberikan. Ketamin
memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat, menghambat reflex
polisinaptik di medulla spinalis dan neurotransmiter eksitasi di area tertentu
otak. Ketamin memutus hubungan thalamus (penghubung impuls sensoris
dari sistem aktivasi retikuler ke korteks serebri) dengan korteks limbus
(berperan pada sensasi waspada), secara klinis disebut juga anestesi disosiasi,
di mana pasien tampak sadar (mata terbuka, reflek menelan dan kontraksi
otot) tetapi tidak mampu mengolah dan merespon input sensorisnya.
Ketamine secara fungsional ―mendisosiasi‖ impuls sensorik dari korteks
limbik (yang terlibat dengan sensasi). Secara klinis, keadaan anestesi
disosiatif ini dapat menyebabkan pasien tampak sadar (misalnya, membuka
mata,
menelan, kontraktur otot) tetapi tidak dapat memproses atau menanggapi
input sensorik. Ketamin mungkin memiliki tindakan tambahan pada jalur
analgesik endogen. Ketamin memiliki efek pada suasana hati, dan infus agen
ini sekarang banyak digunakan untuk mengobati depresi berat yang resisten
terhadap pengobatan, terutama ketika pasien memiliki ide bunuh diri.
Dosis ketamin infus kecil juga digunakan untuk melengkapi anestesi
umum dan untuk mengurangi kebutuhan opioid selama dan setelah prosedur
pembedahan. Infus ketamin dosis rendah telah digunakan untuk analgesia
pada pasien pasca operasi dan orang lain Didahului dengan premedikasi
benzodiazepin, ketamin 1-2 mg/kg IV dapat digunakan untuk induksi anestesi
dengan durasi sekitar 10-20 menit setelah dosis tunggal induksi, dengan
tambahan waktu 60-90 menit untuk pulih sadar dengan orientasi yang utuh.
Efek analgesik mulai timbul pada dosis sub anestetik antara 0,1-0,5 mg/kg IV
dan konsentrasi plasma antara 85-160 ng/ml. Dosis rendah dengan infus
sebesar 4 μg/kg/mnt IV telah dilaporkan dapat menghasilkan efek analgesi
post operatif yang sama dengan infus morphin 2 mg/jam IV yang refrakter
terhadap pendekatan analgesik konvensional.
 Farmakokinetik :
e. Absorbsi
Ketamin dapat diberikan secara oral, nasal, rektal, subkutan, dan
epidural, tetapi dalam praktik klinis biasanya secara umum ketamin
diberikan secara intravena atau intramuskuler. Kadar plasma puncak
biasanya dicapai dalam 10 hingga 15 menit setelah injeksi
intramuskuler.
f. Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak dan kurang terikat dengan protein
dibandingkan dengan thiopental, sehingga uptake-nya oleh otak dan
proses redistribusinya berlangsung cepat Ketamin sangat larut dalam
lemak dan, bersama dengan peningkatan aliran darah otak dan
keluaran jantung yang diinduksi ketamin, menghasilkan penyerapan
otak yang cepat dan redistribusi berikutnya (waktu paruh distribusi
adalah 10-15 menit). Kebangkitan atau terminasi terjadi disebabkan
oleh redistribusi dari otak ke kompartemen perifer.
g. Metabolisme
Ketamin dimetabolisme menjadi beberapa metabolit, salah satunya
(norketamin) yang mempertahankan aktivitas atau masih memiliki
efek
anestesi. Penyerapan hati yang besar (rasio ekstraksi hati 0,9)
menyebabkan waktu paruh eliminasi yang relatif singkat (2 jam).
h. Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan ke dalam
ginjal.
 Efek pada sistem organ :
a. Kardiovaskular
Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan
curah jantung. terutama setelah injeksi bolus yang cepat. Efek ini
disebabkan oleh stimulasi pusat sistem saraf simpatis dan
penghambatan pengambilan kembali norepinefrin setelah dilepaskan
di terminal saraf. Menyertai perubahan ini adalah peningkatan tekanan
arteri paru dan kerja miokard. Untuk alasan ini, ketamin harus
diberikan secara hati-hati kepada pasien dengan penyakit arteri
koroner, hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung kongestif, atau
aneurisma arteri. Efek depresan miokard langsung dari dosis besar
ketamin, mungkin karena penghambatan transien kalsium.
b. Pernafasan
Dorongan ventilasi minimal atau ventilatory drive dipengaruhi oleh
dosis induksi ketamin, meskipun dengan pemberian bolus IV yang
cepat ataupun kombinasi ketamin dengan opioid dapat menghasilkan
apnea. Ketamine rasemik adalah bronkodilator yang kuat,
menjadikannya agen induksi yang baik untuk pasien asma; Namun, S
(+) ketamin menghasilkan bronkodilasi minimal. Refleks jalan nafas
atas sebagian besar tetap utuh, tetapi obstruksi jalan nafas parsial dapat
terjadi, dan pasien dengan peningkatan risiko aspirasi (kondisi
lambung penuh) harus diintubasi selama anestesi umum ketamin.
Peningkatan salivasi yang terkait dengan ketamin dapat dilemahkan
dengan premedikasi dengan agen antikolinergik seperti glikopirrolat.
c. Otak
Ketamin diduga dapat meningkatkan konsumsi oksigen otak, aliran
darah otak, dan tekanan intrakranial. Efek ini tampaknya menghalangi
penggunaannya pada pasien dengan lesi intrakranial yang menempati
ruang seperti terjadi dengan trauma kepala. Namun, publikasi atau
penelitian terbaru menemukan bukti yang meyakinkan bahwa saat
dikombinasikan dengan benzodiazepine (atau agen lain yang bekerja
pada sistem reseptor GABA yang sama) dan ventilasi terkontrol

4
(dalam

4
teknik yang mengecualikan nitro oksida), ketamin tidak terkait dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Aktivitas mioklonik dikaitkan
dengan peningkatan aktivitas listrik subkortikal, yang tidak terlihat
pada EEG permukaan. Efek samping psikotomimetik yang tidak
diinginkan (misalnya, mimpi dan delirium yang mengganggu) selama
kemunculan dan pemulihan lebih jarang terjadi pada anak-anak, pada
pasien yang menggunakan benzodiazepine, atau pada mereka yang
menerima ketamin yang dikombinasikan dengan propofol dalam
teknik anestesi intravena total (TIVA).

d) Etomidat
Etomidate menekan sistem pengaktif retikuler dan meniru efek penghambatan
GABA. Secara khusus, etomidat — terutama isomer R (+) — tampaknya
berikatan dengan subunit dari reseptor GABAA, meningkatkan afinitas
reseptor untuk GABA. Etomidate mungkin memiliki efek disinhibisi pada
bagian-bagian sistem saraf yang mengontrol aktivitas motorik
ekstrapiramidal. Disinhibisi ini menawarkan penjelasan potensial untuk efek
gerakan mioklonus 30% hingga 60% dengan induksi anestesi etomidat. Dosis
induksi 0,2-0,4 mg/kg menghasilkan durasi efek hipnosis sekitar 5-15 menit,
dengan sedikit perubahan pada status kardiovaskuler pada pasien yang sehat
maupun dengan penyakit katup atau penyakit jantung iskemik. Etomidat dapat
menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan angka kejadian PONV yang tinggi.
 Farmakokinetik
a. Absorbsi
Etomidate hanya tersedia dan hanya dapat diberikan secara pemberian
intravena dan digunakan terutama untuk induksi anestesi umum.
Terkadang juga digunakan untuk sedasi dalam sesaat sebelum
melakukan blokade retrobulbar.
b. Distribusi
Meskipun sangat terikat protein, etomidat dicirikan oleh onset aksi
yang sangat cepat dikarenakan etomidat sangat larut dalam lemak dan
fraksi non ionisasinya tinggi pada pH fisiologis. Proses redistribusi
berperan dalam lamanya durasi etomidat. Redistribusi bertanggung
jawab untuk menurunkan konsentrasi plasma ke tingkat pencerahan.
Kinetika plasma etomidat dijelaskan dengan baik oleh model dua
kompartemen.
c. Metabolisme
Enzim mikrosomal hati dan esterase plasma dengan cepat
menghidrolisis etomidat menjadi metabolit tidak aktif.
d. Distribusi
Produk akhir hidrolisis etomidat terutama diekskresikan dalam urin.
 Efek pada Sistem Organ
a. Kardiovaskular
Etomidate memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular.
Menurunkan secara minimal tahanan pembuluh darah perifer sehingga
terjadi sedikit penurunan tekanan darah arteri. Kontraktilitas miokard
dan curah jantung biasanya tidak berubah. Etomidate tidak
melepaskan histamin.
b. Respirasi
Ventilasi lebih sedikit dipengaruhi oleh etomidate dibandingkan
dengan barbiturat atau benzodiazepin. Pada dosis induksi tidak
menyebabkan apnea kecuali bila dikombinasikan dengan opioid.
c. Cerebral
Etomidate menurunkan laju metabolisme otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial. Karena hanya sedikit mempengaruhi
kardiovaskuler, tekanan perfusi otak dipertahankan dengan baik. Mual
dan muntah pasca operasi lebih sering terjadi setelah etomidat
daripada mengikuti propofol atau induksi barbiturat. Etomidate tidak
memiliki sifat analgesik.
d. Endokrin
Dosis induksi etomidate secara sementara menghambat enzim yang
terlibat dalam sintesis kortisol dan aldosteron. Ketika diresapi untuk
sedasi di unit perawatan intensif (ICU), infus jangka panjang etomidat
dan efek etomidat dilaporkan menghasilkan penekanan adrenokortikal
yang konsisten sehingga akan dapat meningkatkan angka kematian
pada pasien yang sakit kritis (terutama septik).

e) Propofol
Propofol mengikat reseptor GABA-A, sehingga meningkatkan afinitas ikatan
GABA dengan reseptor GABA, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran saraf. Injeksi propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat
dikurangi dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya atau dengan
mencampurkan lidokain dengan 18 ml propofol sebelum penyuntikkan.
Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan pertumbuhan bakteri,
sehingga harus digunakan dengan tehnik yang steril dan tidak boleh dipakai
setelah 6 jam pembukaan ampul. Induksi anestesi dengan propofol
berlangsung dengan lembut dengan hanya sedikit menimbulkan efek samping
eksitasi. Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada usia dan status fisik pasien serta
penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi anestesi dalam waktu 30
detik. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus diberikan dosis
induksi yang lebih rendah.
 Farmakokinetik
a. Absorbsi
Propofol hanya tersedia untuk pemberian intravena untuk induksi
anestesi umum dan untuk sedasi sedang hingga dalam.
b. Distribusi
Propofol memiliki onset aksi yang cepat begitu pula dengan durasinya
yang pendek pada pemberian bolus dosis tunggal dikarenakan
pendeknya distribusi waktu paruhnya (2-8 menit). Pada lansia
direkomendasikan pengurangan dosis induksi dan laju infus propofol
yang diberikan, karena Vd mereka yang lebih kecil. Pemulihan dari
propofol lebih cepat dan disertai dengan lebih sedikit "mabuk"
daripada pemulihan dari metoheksital, tiopental, ketamin, atau
etomidat. Ini membuatnya menjadi anestesi yang baik untuk operasi
rawat jalan. Usia juga merupakan faktor kunci yang menentukan
tingkat infus propofol yang diperlukan untuk TIVA. Dokter harus
memasukkan usia dan berat pasien dan konsentrasi target yang
diinginkan.
c. Metabolisme
Propofol dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit inaktif dan
dieksresikan melalui ginjal. Laju klirens propofol (20-30 ml/kg/mnt)
melampaui aliran darah hepar, sehingga diduga propofol juga
dimetabolisme di organ yang lain seperti paru (ekstra hepatik).
Pembersihan propofol melebihi aliran darah hati, menyiratkan adanya
metabolisme ekstrahepatik. Tingkat clearance yang sangat tinggi ini
mungkin berkontribusi untuk pemulihan cepat setelah infus terus
menerus. Konjugasi dalam hati menghasilkan metabolit tidak aktif
yang dihilangkan dengan pembersihan ginjal. Farmakokinetik
propofol tampaknya tidak dipengaruhi oleh obesitas, sirosis, atau
gagal ginjal. Penggunaan infus propofol untuk sedasi jangka panjang
pada anak- anak yang sakit kritis atau pasien bedah saraf dewasa muda
telah
dikaitkan dengan kasus lipemia sporadis, asidosis metabolik, dan
kematian, yang disebut sindrom infus propofol.
d. Ekskresi
Meskipun metabolit propofol terutama diekskresikan dalam urin,
penyakit ginjal tahap akhir tidak mempengaruhi pembersihan obat
induk.
 Efek pada Sistem Organ :
 Efek kardiovaskular utama dari propofol adalah penurunan
tekanan darah arteri karena penurunan resistensi vaskular sistemik
(penghambatan aktivitas vasokonstriktor simpatis), preload, dan
kontraktilitas jantung..
 Propofol secara nyata merusak respons baroreflex arteri normal
terhadap hipotensi. Perubahan denyut jantung dan curah jantung
biasanya bersifat sementara dan tidak signifikan pada pasien yang
sehat, tetapi mungkin parah pada pasien pada usia ekstrem,
mereka yang menerima penghambat β-adrenergik
 Propofol adalah depresan pernapasan berat yang biasanya
menyebabkan apnea setelah dosis induksi.
 Propofol mengurangi aliran darah otak, volume darah otak, dan
tekanan intrakranial. Pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial, propofol dapat menyebabkan penurunan CPP (<50
mm Hg) yang kritis.

f) Fospropofol
 Fospropofol adalah produk yang larut dalam air yang dimetabolisme in
vivo menjadi propofol, fosfat, dan formaldehida.
 Zat ini dirilis di Amerika Serikat (2008) dan negara-negara lain
berdasarkan studi yang menunjukkan bahwa itu menghasilkan amnesia
yang lebih lengkap dan sedasi sadar yang lebih baik untuk endoskopi
daripada midazolam plus fentanyl.
 Fospropofol memiliki onset yang lebih lambat dan pemulihan yang lebih
lambat daripada propofol.

g) Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah agonis α2-adrenergik yang dapat digunakan untuk
ansiolisis, sedasi, dan analgesia. Sebenarnya, itu bukan anestesi pada
manusia; Namun, ahli anestesi telah menggunakannya dalam kombinasi
dengan agen
lain untuk menghasilkan anestesi. Ini juga telah digunakan dalam kombinasi
dengan anestesi lokal untuk memperpanjang blok regional. Agen ini dapat
digunakan untuk premedikasi dengan pemberian nasal (1-2 mcg / kg) atau
oral (2,5-4 mcg / kg) pada anak-anak di mana obat ini sangat baik
dibandingkan dengan midazolam oral. Paling umum, dexmedetomidine
digunakan untuk sedasi procedural (misalnya, selama prosedur kraniotomi
terjaga atau intubasi fiberoptik), sedasi ICU (misalnya, pasien berventilasi
pulih dari operasi jantung), atau sebagai suplemen untuk anestesi umum untuk
mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif atau untuk mengurangi
kemungkinan munculnya delirium (paling sering pada anak-anak) setelah
anestesi inhalasi. Ini juga telah digunakan untuk mengobati penghentian
alkohol dan efek samping dari keracunan kokain. Biasanya, sedasi
dexmedetomidine intravena pada orang dewasa yang terjaga dimulai dengan
dosis pemuatan 1 mcg / kg yang diberikan lebih dari 5 hingga 10 menit diikuti
dengan infus pemeliharaan 0,2 hingga 1,4 mcg / kg / jam. Dexmedetomidine
memiliki redistribusi yang sangat cepat dan waktu paruh eliminasi yang
relatif singkat. Ini dimetabolisme di hati oleh sistem CYP450 dan melalui
glukuronidasi. Hampir semua metabolit diekskresikan dalam urin.

Gambar 8. Dosis ketamin, Etomidat dan Propofol1


Gambar 9. Kesimpulan Efek Obat Anestesi pada Sistem Organ1

Obat Pelumpuh Otot7,9


Tabel 4. Obat Pelumpuh Otot
Dosis Awal Dosis Rumatan Durasi Efek Samping
(mg/kg) (mg/kg) (menit)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokuranin 0,40-0,60 0,10 30-60 Histamin +, hipotensi
2. Pankuronium 0,08-0,12 0,15-0,20 30-60 Vagolitik, takikardi
3. Metakurin 0,20-0,40 0,05 40-60 Histamin -, hipotenso
4. Pipekuronium 0,05-0,12 0,01-0,0015 40-60 Kardiovaskular stabil
5. Doksakurium 0,02-0,08 0,005-0,010 45-60 Kardiovaskular stabil
6. Alkurium 0,15-0,30 0,05 40-60 Vagolitik, takikardia
Non Depol Intermediate
1. Gallamin 4-6 0,5 30-60 Histamin +, hipotensi
2. Atrakurium 0,5-0,6 0,1 20-45 Aman untuk hepar
3. Vekuronium 0,1-0,2 0,015-0,02 25-45
4. Rokuronium 0,6-0,1 0,10-0,15 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,20 0,02 30-45 Isomer Atrakuronium
Non Depol Short Acting
1. Mivakurium 0,20-0,25 0,05 10-15 Histamin +, hipotensi
2. Ropacuronium 1,5-2,0 0,3-0,5 15-30
Depol Short Acting
1. Suksinilkolin 1 3-10 sda
 Pilihan Pelumpuh Otot
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miastenia gravis : dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetric : semua dapat digunakan kecuali galamin.
 Tanda-Tanda Kekurangan Pelumpuh Otot
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.

2.8 Monitoring Anestesi Umum10


Monitoring harus dilakukan terus menerus dalam tindakan anestesi hal ini
berupa mengenai kondisi atau keadaan pasien. Berbagai aspek yang harus
dimonitoring diantari lain adalah sebagai berikut :
1. Kardiovaskuler : nadi (monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anestesi),tekanan darah, banyaknya
perdarahan
2. Respirasi : dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi interkostal atau
supraklavikula.
3. Suhu tubuh : Ini dikarenakan tubuh tidak mampu mempertahankan suhu
tubuh. Obat anestesi mendepresi pusat pengatur suhu, sehingga mudah turun
naik dengan suhu lingkungan.
4. Monitoring ginjal : untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal
5. Monitoring blockade neuromuscular : tujuannya untuk mengetahui apakah
relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai anestei apakah tonus otot sudah
kembali normal
6. Monitoring sistem saraf : yaitu dengan memeriksa respon pupil terhadap
cahaya, respon terhadap trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah
relaksasi cukup atau tidak.

Monitoring Pasca-Operatif
Setelah perawatan pasca bedah kembali ke ruang perawatan, ICU, atau
dapat rawat jalan. Semua pasien yang tidak memerlukan ICU harus dipantau di
ruang pulih. Untuk pemantauan standard itu sesuai dengan kriteria Alderette, dan
pemantauan khusus sesuai dengan berdasarkan penemuan prabedah.
Penyebab utama tingginya morbiditas pasca anestesia yaitu analgesia yang
tidak adekuat dan hipoksia. Selian itu waspai juga PONV. Kemungkinan penyebab
hipoksia pasca anestesi adalah efek pelumpuh otot belum sepenuhnya hilang,
depresi nafas akibat opoid, kesadaran belum sepenuhnya pulih lidak jatuh ke
belakang, sekresi jalan meningkat sedangkan refleks batuk menurun, nyeri yang
memacu aktivitas simpatis, edema pada jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh
darah atau hematoma jaringan lunak leher, dan kelumpuhan pita suara.
BAB 3
LAPORAN KASUS

4
BAB 4
DISKUSI

4
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Chronic Pain Managament. In : Clinical
Anesthesiology, 6th ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2018.
2. Miller R, Pardo MC. Basic of anesthesia. 9th Edition. New York: elseiver; 2020.
3. American Society of Anesthesiologists (ASA). Relative Value Guide : A
Guide for Anesthesia Values. 2019
4. In American Society of Anesthesiologist. 2018. ASA Physical Status
Classification System. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441940/.
5. Longnecker ED, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Preparing For
Anesthesia: Premedication. Anesthesiology. McGraw-Hill Companies,Inc;
2018.
6. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 14th edition. Singapore
: Mc Graw Hill Lange. 2018
7. Hemmings, Egan. Pharmacology and Physiology for Anesthesia 2nd Edition.
Elsevier. 2018
8. Mashour, Kristin. Oxford Textbook of Neuroscience and Anaesthesiology.
Oxford. 2019
9. Yentis, Hirsch, James. Anaesthesia, Intensive Care and Perioperative Medicine
An Encyclopedia of Principlea and Practice A-Z 6th Edition. Elsevier. 2019
10. Smith, Aitkenhead. Textbook of Anaesthesia 7th Edition. Newyork :
Elsevier.2019

50

Anda mungkin juga menyukai