Anda di halaman 1dari 82

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF GENERAL ANESTESI PADA Nn.

C DENGAN APENDISITIS

Di Ruang Operasi RSU BUNDA JAKARTA

DISUSUN OLEH KELOMPOK DUA DENGAN ANGGOTA :

1. ABDIAS ARIFATRIO PUTRA HORMAT


2. ABDUL ROJAK
3. ANISWARA CAHYA PRATAMA
4. AVIF NURRAKHMAN
5. BELINDA STELLA MONICA
6. CHECEN EMA VANESSA
7. HERZUDDIN ZAIN
8. NUR AZIZ ALI IMRON
9. NUR BETTY
10. PAULINA YUSTINA BHAJO GANY
11. RAJAK BAIHAQI
12. PRINALDI SIHOMBING
13. RONAL SUGIARTO
14. SANDRI SITUMEANG
15. RICHE NOVERA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah. yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah
tentang "Asuhan keperawatan pada Ny. C dengan Apendisitis perioperatif
dengan general anestesi di rumah sakit Umum bunda jakarta".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam
makalah ini.

Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap
semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.

Jakarta, 28 Oktober 2022.


LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Makalah Besar Pelatihan : Asuhan Keperawatan Perioperatif


Keperawatan Anastesi General Anestesi Pada Ny. C Dengan
Apendisitis

Kelompok :2

Pembimbing : Bayu Prasetyo Martha.


Dokter Anastesi : dr. Vera Sp., An.

Jakarta, 02/11/2022
Menyetujui,
Dokter Anastesi Pembimbing

( dr. Vera Sp., An. ) ( Bayu Prasetyo Martha . )

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menuntut para


pemberi pelayanan kesehatan agar memberikan pelayanan yang bermutu.
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, peningkatan mutu kualitas layanan merupakan salah satu
aspek yang sangat penting (Permenkes NO. HK.02.02/MENKES/251/
2015).
Salah satu aspek mutu layanan kesehatan di rumah sakit yaitu
pelayanan anestesi. Pelayanan anestesi meliputi anestesi umum atau
general anestesi (Brockwell, 2017).
American Society of Anesthesiologists (ASA) menjelaskan anestesi
umum sebagai “kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh obat,
meskipun pasien menerima rangsangan, bahkan dengan rangsangan yang
menyakitkan”. Anestesi umum modern melibatkan pemberian kombinasi
obat-obatan, seperti obat-obatan hipnotik, obat penghambat
neuromuskular, dan obat analgesik.
Salah satu masalah kesehatan yang dialamai diberbagai negara adalah
apendisitis. Apendisitis merupakan suatu peradangan yang terjadi di
saluran apendiks, salah satu bagian di usus besar dengan
bermanifestisikan nyeri perut, demam hingga terjadi mual muntah dan
memerlukan tindakan operasi (Maldonado, 2011).
Apendisitis merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai.
Insiden apendisitis lebih tinggi di negara maju dibandingkan negara
berkembang. Namun dalam tiga atau empat tahun terakhir angka
terjadinya apendisitis dikatakan telah menurun. Kejadian ini disebabkan
oleh perubahan pola makan (Craig, 2014).
Kejadian kasus apendisitis tertinggi adalah yang berusia 10 sampai 30
tahun (Kong et.all, 2012). Kejadian apendisitis mencapai 321 juta kasus
tiap tahun di dunia.
Statistik menunjukan bahwa rata-rata setiap tahunnya apendisitis
beserta komplikasinya menyerang 10 juta penduduk Indonesia.
Apendisitis sendiri jika terlambat didiagnosis dan diterapi mengakibatkan
fibrosis menyeluruh dinding apendiks dan terbentuknya jaringan parut
(Haryono,2012). Angka kesakitan apendisitis di Indonesia tembus hingga
95/1000 penduduk serta merupakan angka tertinggi di antara
negaranegara ASEAN. Survey 28 provinsi di Indonesia tahun 2008
menunjukan 3.251 kasus rawat inap apendisitis. Peningkatan terjadi
sangat signifikan dibandingkan jumlah kasus sebelumnya, yakni
sebanyak 1.236 orang (DEPKES RI, 2010).
Apendektomi merupakan pembedahan untuk mengangkat apendiks.
Dewasa ini terdapat dua tipe apendektomi yaitu apendektomi terbuka
open appendectomy dan apendektomi laparoskopik laparoscopic
appendectomy (Danwang, 2017).
Penggunaan laparoskopi telah merevolusi bidang bedah dengan
keuntungannya mengurangi morbiditas pada pemulihan dini. Prosedur
laparoskopi telah dilakukan di bawah anestesi umum (general anesthesia/
GA) karena perubahan pernapasan yang disebabkan oleh
pneumoperitoneum, yang merupakan bagian integral dari laparoskopi.
Kontrol ventilasi yang presisi dalam kondisi secara terkendali pada GA
telah membuktikan sangat ideal untuk prosedur tersebut (Jones, 2015).
Sehingga perlu pemilihan tehnik anestesi, pemberian asuhan
keperawatan perioperatif yang profesional agar komlikasi pasca anestesi
pada operasi apendiktomi dengan laparoskopi dapat dihindari.

B. Tujuan
Pada bagian ini, penulis mengambil kasus pada pasien Ny. C dengan
diagnosa medis Apendisitis akut yang akan dilakukan tindakan
Apentiktomi menggunakan tehnik Laparoskopi di ruang operasi Rumah
Sakit Umum Bunda Jakarta.

C. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan anestesi ini adalah
untuk mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan anestesi mulai dari pre operasi, intra operasi dan post
operasi pada pasien yang dilakukan Apendiktomi dengan Laparoskopi
menggunakan tehnik General Anestesi.
D. Tujuan Khusus
1. Memberikan gambaran mengenai pengkajian asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien Apendisitis dengan General Anestesi.
2. Memberikan gambaran mengenai diagnosa keperawatan yang timbul
pada asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Apendisitis
dengan General Anestesi.
3. Memberikan gambaran mengenai perencanaan keperawatan pada
asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Apendisitis dengan
General Anestesi.
4. Memberikan gambaran mengenai implementasi keperawatan pada
asuhan keperawatan perioperatif pada Apendisitis dengan General
Anestesi.
5. Memberikan gambaran mengenai evaluasi keperawatan pada asuhan
keperawatan perioperatif pada Apendisitis dengan General Anestesi.

E. Waktu dan Tempat


Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan perioperatif dilakukan pada
tanggal 20 Oktober 2022, tempat pelaksanaan asuhan keperawatan
perioperatif dilakukan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori

1. Anestesi Umum
a. Pengertian
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata
Yunani yaitu “an” dan “esthesia”, berarti “hilangnya rasa atau
hilangnya sensasi.” Para ahli saraf memberikan makna pada
istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis pada
bagian tubuh tertentu (Morgan,2013).
Anestesi umum atau general anestesi merupakan
tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang dapat pulih kembali (reversible). Anestesi
umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke
jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Anestesi
umum disebut juga sebagai narkose atau bius (Mangku dan
Senapathi, 2010).
Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver
Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses “eterisasi Morton
(1846), menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu
pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal
anestesi, berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah
keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik
minimal) yang reversible akibat pemberian obat obatan.
Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular,
anestes pre-rektal adalah sub bagian dari anestesi umum
(Morgan,2018).
Anestesi umum bekerja pada target yang berbeda-beda,
misalnya reseptor, sebagai contoh aminobutyric acid (GABA)
tipe A, dan glutamate receptors (misalnya N-methyl-D-
aspartate receptors) pada otak (Marhor, 2007).
Menurut Johanna 2010, sebagian besar anestesi bekerja
dengan meningkatkan neurotransmitter inhibisi gamma-
aminobutyric acid (GABA) atau menurunkan eksitasi reseptor
N-methyl-D -aspartat (NMDA).
1) Gamma-amino butyric acid, (GABA)
GABA adalah neurotransmitter inhibisi utama dalam
system saraf pusat mamalia. efek inhibisi cepat dimediasi
terutama melalui reseptor inotropik GABAA. anestesi
umum, barbiturat, propofol, etomidate, enfluran,
isoflurane, sevoflurane, dan desflurane adalah GABA agen
agonistik. Pada konsentrasi klinis efektif, anestesi ini
meningkatkan sensitivitas reseptor GABA,
memperpanjang efek inhibisi postsinap setelah pelepasan
GABA, dan meningkatkan inhibisi rangsangan saraf
postsinap.
Tetapi efek penghambatan beberapa agen GABAnergic
tidak berlaku untuk semua keadaan, seperti yang
ditunjukkan oleh efek prokonvulsi dari enfluran dan
anestesi sevoflurane. Pada anestesi dalam, kombinasi
hiperventilasi dan hipokapnia, telah dilaporkan memicu
terjadinya kejang dengan enflurane dan sevoflurane.

2) N-methyl-D-aspartate, (NMDA)
Neurotransmitter eksitasi utama dalam sistem saraf
pusat adalah glutamat, yang menghasilkan eksitasi
neuronal melalui reseptor glutamat yaitu reseptor NMDA.
Penghambatan reseptor NMDA penting untuk efek
anestesi contohnya ketamin, xenon, dan nitrous oxide
N2O (Evers Et.All , 2009).
Monitoring kedalaman anestesi berdasarkan EEG
menunjukkan hasil yang baik dengan agonis GABA, tetapi
tidak dengan obat anestesi yang bekerja pada reseptor
NMDA (Maksimow et.All , 2006).
Selain bekerja pada reseptor GABA tipe A dan
NMDA, anestesi umum juga bekerja pada reseptor
nicotinic acetylcholine, serta glycine receptors pada korda
spinalis. Perbedaan yang jelas harus dibuat antara cara
kerja dan mekanisme dari anestesi umum. Cara kerja dari
anestesi umum pada reseptor otak telah diketahui dengan
baik, namun proses dari bagaimana cara kerja ini berubah
menjadi anestesi umum (misalnya mekanisme dari anestesi
umum) masih belum dapat dimengerti (Mashour, 2006).

b. Teknik Anestesi Umum


Teknik anestesi umum menurut Mangku dan Senapathi
(2017), dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:

1) Anestesi umum inhalasi


Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui
alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Obat-obat
anestesi umum di antaranya nitrous oksida (N2O),
halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran.
Berdasarkan khasiatnya, obat-obat tersebut
dikombinasikan saat digunakan.
Menurut Goodman & Gilman (2017), cara pemberian
anestesi dengan obat-obatan inhalasi dibagi menjadi
empat, sebagai berikut :

a) Open drop method


Cara ini dapat digunakan untuk zat anestetik
yang menguap, peralatan sederhana dan tidak mahal.
Zat anestetik diteteskan pada kapas yang ditempelkan
di depan hidung sehingga kadar zat anestetik dihirup
tidak diketahui karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.

b) Semi open drop method


Cara ini hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik
digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan
pasien sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi
hipoksia, untuk menghindari hal tersebut, pada
masker dialirkan oksigen melalui pipa yang
ditempatkan di bawah masker.

c) Semi closed method


Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen
murni yang dapat ditentukan kadarnya, kemudian
dilewatkan pada penguap (vaporizer) sehingga kadar
zat anestetik dapat ditentukan. Sesudah dihisap
pasien, karbondioksida akan dibuang ke udara luar.
Keuntungan cara ini, kedalaman anestesi dapat diatur
dengan memberikan kadar tertentu zat anestetik,
sehingga hipoksia dapat dihindari dengan pemberian
O2.

d) Closed method
Cara ini hampir sama dengan semi closed,
hanya udara ekspansi dialirkan melalui absorben
(soda lime) yang dapat mengikat karbondioksida,
sehingga udara yang mengandung zat anestetik dapat
digunakan lagi.

2) Total Intravena Anestesi (TIVA)


Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral
langsung ke dalam pembuluh darah vena. Pada awal era
TIVA 1996, teknik anestesi intravena memiliki banyak
kekurangan dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi.
Pada teknik intravena, obat langsung masuk ke sirkulasi
tanpa perlu menjalani proses penyerapan, obat (tidak ada
proses equilibrium seperti pada peredaran agen anestesi
inhalasi). Perkembangan di era TIVA beralih ke teknik
TTVA, saat ini berfokus pada distribusi obat dengan dosis
dan konsentrasi yang tepat sesuai farmakokinetik dan
farmakodinamik. TIVA juga dikaitkan dengan insiden
mual dan muntah pascabedah (PONV) yang lebih rendah
dan berkurangnya risiko tercetusnya hipertermi maligna.

3) Anestesi balanced atau anestesi imbang


Konsep balanced anestesia di dunia modern saat ini
adalah kombinasi obat anestesi yang akan bersinergi
memberikan efek yang diinginkan seperti hipnosis atas
analgesia dengan penekanan efek samping yang tidak
diharapkan. Saat ini, istilah balanced anesthesia banyak
digunakan untuk kombinasi beberapa obat anestesi dan
ajuvan anestesi, termasuk penggunaan anestesi inhalasi.
Dengan balanced anesthesia, target utama anestesi dapat
tercapai, dengan efek samping yang minim, masa
pemulihan yang lebih baik, serta memiliki efisiensi harga
yang baik.

c. Komplikasi Anestesi Umum


Pulih dari anestesi umum idelnya secara bertahap dan
tanpa keluhan. Sebagian besar pasien mengalami pemulihan
dari anestesi tanpa kejadian-kejadian khusus tetapi sejumlah
kecil pasien dengan jumlah yang tidak dapat diperkirakan
mengalami komplikasi (Gwinnutt, 2017). Komplikasi
pascaanestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan
Dachlan, 2017) :

1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada
ekspirasi (tidak ada suara napas) paling sering dialami
pada pasien pasca anestesi umum yang belum sadar karena
lidah jatuh menutup faring atau edema laring. Penyebab
lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien
menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda
asing, darah atau sekret.
Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis
(hiperkapnea, hiperkarbia) atau saturasi O2 yang menurun
(hipoksemia) yang disebabkan pernapasan pasien yang
lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernapasan lambat
dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dan
dangkal karena pelumpuh otot yang masih bekerja.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis,
hipertensi, takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi
dan henti jantung.

2) Gangguan kardiovaskular
Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai
pada pasien dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan
hipotensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh nyeri akibat
pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan,
atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia,
atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark
miokard, disritmia, edema paru, atau perdarahan otak.
Hipotensi disebabkan akibat aliran isian balik vena
(venous return) menurun yang disebabkan perdarahan,
terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi
miokardium kurang kuat, atau tahanan vaskular perifer
menurun. Hipotensi harus segera ditangani agar tidak
terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan
hipoksemia dan kerusakan jaringan.

3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80%
pasien yang menjalani pembedahan dan anestesi. Beberapa
pasien lebih memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan
mual dan muntah pasca bedah (Gwinnutt, 2011). Mual dan
muntah pasca bedah merupakan efek samping yang umum
terjadi setelah sedasi dan anestesi umum. Insidensinya
paling tinggi dengan anestesi berbasis narkotika dan
dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee,
2017).
a) Mekanisme terjadinya mual
Hemoreceptor trigger zone (CRTZ) terletak di
ujung ekor ventrikel keempat di area postrema, dan
nucleus tractus solitarius (NTS), yang terletak di area
postrema dan pons bawah. CRTZ menerima masukan
dari aferen vagal dalam saluran pencernaan dari hasil
sel-sel enterochromaffin di lambung dan usus yang
melepaskan serotonin, berikatan dengan reseptor 5-
hydroxytryptamine tipe 3 (5-HT3). Selain menerima
input vagal, area postrema dapat mendeteksi racun
emetogenik, metabolit, dan obat-obatan yang beredar
dalam darah dan cairan serebrospinal karena tidak
memiliki penghalang darah-otak. CRTZ mem-
proyeksikan neuron ke NTS, yang menerima input dari
aferen vagal dan dari sistem vestibular dan limbik.
NTS memicu muntah dengan menstimulasi nukleus
rostral, nukleus ambigu, grup pernapasan ventral, dan
nukleus motorik dorsal vagus. Oleh karena itu, area
postrema memiliki peran penting dalam mekanisme
sentral muntah (Pierre dan Whelan, 2017 dan
Diemunsch, Joshi, dan Brichant, 2009).

4) Menggigil
Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien
pascaanestesi umum pada sistem termoregulasi. Hal
tersebut terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi dapat terjadi akibat suhu ruang operasi yang
dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi dingin,
bedah abdomen luas dan lama.

a) Mekanisme terjadinya menggigil


Rangsangan hipotalamik terhadap menggigil
terletak pada hipotalamus posterior dekat dinding
ventrikle ketiga. Pusat ini teraktifasi ketika suhu tubuh
turun bahkan hanya beberapa derajat dibawah nilai
suhu kritis. Pusat ini kemudian meneruskan sinyal
yang mengakibabkan menggigil melalui traktus
bilateral turun ke batang otak, ke dalam kolumna
lateralis medulla spinalis dan akhirnya ke neuron
motorik anterior. Sinyal tersebut meningkatkan tonus
otot rangka di seluruh tubuh, ketika tonus meningkat
terjadi dan proses menggigil dimulai. Selama proses
menggigil maksimum pembentukan panas tubuh dapat
meningkat sebesar 4-5 kali normal energi sehingga
tubuh membutuhkan konsumsi energi dan oksigen
lebih tinggi agar tubuh kembali hangat.

B. Tatalaksana Anestesi Umum


1. Pre oksigenasi
Pemberian pre oksigenasi dengan oksigen murni, melalui
sungkup muka. Sebagai prosedur awal dalam induksi anestesi
yang akan menjalani tindakan pembedahan tertentu serta
pemasangan jalan napas buatan. Oksigen diberikan melalui
sungkup beberapa menit sebelum induksi anestesi. Dengan cara
ini, kapasitas residual fungsional (FRC) meningkat dan cadangan
oksigen pasien dibersihkan dari nitrogen (denitrogenisasi).
Dengan target lebih dari 90% FRC normal, yaitu sebanyak 2 liter,
diisi dengan oksigen. Mengingat keperluan oksigen normal
berkisar antara 200-250 mL/menit, pasien yang sudah
mendapatkan praoksigenasi dapat memiliki cadangan oksigen 5-8
menit.

2. Induksi Anestesi
Induksi anestesi umumnya dilakukan intravena. Dalam kondisi
akses intravena belum terpasang, induksi dapat dilakukan dengan
agen inhalasi. Sevofluran dapat ditoleransi sebagai agen anestesi
untuk induksi inhalasi pada anak maupun orang dewasa. Selain
obat induksi, sebagian besar pasien mendapat opioid, yang bekerja
sinergis untuk mencapai derajat anestesi yang diinginkan. Opioid
mengurangi respons simpatis terhadap rangsang nyeri akibat
intubasi atau insisi kulit.
Selanjutnya dari proses induksi adalah mengamankan jalan
napas. Berbagai cara dapat dilakukan, seperti triple airway
maneuver sampai penggunaan supraglotic device (misalnya
laryngeal mask) dan intubasi endotrakeal.

3. Pemeliharaan/ Rumatan Anestesi


Kedalaman anestesi dipertahankan dengan agen inhalasi atau
intravena kontinu, baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi.
Fase rumatan biasanya merupakan bagian paling stabil dari
seluruh tahapan anestesi. Kedalaman anestesi dapat berubah dan
tingkat kedalaman yang diperlukan dapat berbeda antara satu
operasi dengan operasi lainnya. Tingkat kedalaman anestesi yang
memuaskan untuk operasi pada kulit ekstremitas, misalnya dapat
berbeda dengan operasi besar pada abdomen.
Termoregulasi juga menjadi tantangan tersendiri selama
anestesi umum. Anestesi menyebabkan respons termogenesis
seperti menggigil akan hilang. Ditambah dengan vasodilatasi yang
disebakan oleh obat anestesi dan terpaparnya sebagian tubuh
dengan udara luar, hipotermia selama pembedahan sangat
mungkin terjadi. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencegah
hipotermia, misalnya dengan penghangatan eksternal. Pada pasien
neonatus atau bayi, ruangan umumnya dihangatkan terlebih
dahulu. Dapat dengan menggunakan penghangat ruangan atau
lampu penghangat eksternal. Hipotermia berat dapat
menyebabkan koagulopati, pemulihan kesadaran tertunda, atau
aritmia (Morgan, 2013).

4. Monitoring Anestesi Care


Istilah monitored anesthesia care (MAC) telah didefinisikan
oleh ASA pada 1980-an untuk menggantikan istilah “Standby
Anesthesia”. Oleh ASA, MAC saat ini didefinisikan sebagai
layanan anestesi spesifik di mana anestesiolog diminta untuk
berpartisipasi dalam perawatan pasien yang menjalani diagnostik
atau prosedur terapeutik.
Kapnograft adalah komponen pemantauan penting dari MAC
untuk mendeteksi apnea sedini mungkin. Sedasi adalah sebuah
tahapan, yang berkisar dari minimal (ansiolisis), hingga sedang
juga disebut sedasi sadar, di mana pasien tetap tertidur tetapi
mudah dibangunkan, hingga sedasi yang dalam di mana pasien
dapat terangsang hanya oleh rangsangan sakit.
Obat sedatif yang ideal harus secara konsisten efektif dan
memiliki onser yang cepat, titrasi yang mudah, dapat dieleminasi
dengan baik, dan efek sampingnya minimal, termasuk efek
samping depresi kardiovaskular dan pernapasan (Morgan, 2013).

C. Anatomi Apendiks
Apendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis,
serta berisi massa cairan limfoid, Apendiks berasal dari aspek
posteromedial caccum di sebelah inferior atau iliocaecal. Apendiks
memiliki mesenterium triangular yang pendek (mesoappendiks) yang
berasal dari sisi posterior ileum terminalis. Mesoappendiks menempel
pada caecum dan bagian proximal appendiks, Posisi appendiks lebih
sering ditemukan retrocneca.
Apendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah
flexura colica dextra dalam keadaan bebas. Dasar apendiks terletak di
sebelah dalam titik yang menghubungkan spina iliaca anterior
superior (SIAS) dextra dengan umbilicus (titik McBurney).
Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendicularis yang
merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri ini berjalan di antara
lapisan mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari
caccum dan appendiks untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh
linfatik appendiks berjalan ke nodi lymphatici profunda
mesoappendiks dan ke nodi Iympathici ileocolici yang terletak di
sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari
saraf simpatis dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior di
mana serabut saraf simpatisnya berasal dari bagian thoracal bawah
pada medulla spinalis, sedangkan serabut saraf parasimpatisnya
berasal dari nervus vagus.

Gambar 2.1. Anatomi Apendiks (Moore, 2013)

1. Etiologi dan Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis disebabkan oleh adanya obstruksi lumen
appendiks akibat fekalid dan benda asing. Atau juga dapat
diakibatkan infeksi bakteri, virus, parasit, cacing di lumen
apendiks. Obstruksi lumen appendiks bisa disebabkan oleh
adanya beberapa mekanisme yang bervariasi tergantung dari
etiologinya sehingga menimbulkan retensi pada mukosa apendiks
(Moore, 2013).
Proses ini menimbulkan peradangan dan nyeri tekan pada
abdomen bagian bawah kanan. Hal ini disebut sebagai catarrhal
apendisitis. Edema apendiks menimbulkan kongesti vaskular
pada apendiks akan membentuk abses multipel pada dinding
apendiks sehingga menjadi apendiksitis pada apendiks akibat
infark pada bagian mesoappendiks dan appendiks sehingga
appendiks menjadi berwarna merah kehitaman disertai area
nekrosis berwarna hitam. Hal ini disebut sebagai apendiksitis
gangrenous. Jika terjadi perforasi pada appendiks, dapat
menyebabkan peritonitis (Moore, 2013).

2. Manifestasi Klinis Apendisitis


Apendisitis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, Anamnesis dapat
ditegakkan dari gejala yang ditimbulkannya. Nyeri abdomen
merupakan gejala utamanya. Nyeri abdomennya dirasakan mulai
dari periumbilikal atau epigastrik hingga menjalar ke kuadran
kanan bawah abdomen dan nyerinya dapat bersifat menetap
(ligath sign). Pasien biasanya dalam posisi berbaring dengan
memfleksikan panggulnya. Gejala penyertanya dapat berupa
mual, muntah, anorexia, demam subfebris. Durasi gejala ini <48
jam pada 80% kasus pasien dewasa (Moore, 2013).
Nyeri tekan pada titik McBurney serta nyeri tekan dengan
defans muskuler. Selain itu, dapat ditemukan tanda rebound
phenomenon (menekan perut pada bagian kiri dan dilepas secara
mendadak, dirasakan nyeri pada perut bagian bawah), rovsing
sign (menekan daerah colon descendens kearah colon
transversum, didapatkan nyeri perut kanan bawah), tenhom sign
(menarik testis bagian kanan, didapatkan nyeri perut kanan
bawah), psoas sign (mengangkat tungkai kanan dalam posisi
ekstensi, didapatkan nyeri perut kanan bawah), serta obturator
sign (memifleksikan dan endorotasi sendi panggul kanan,
didapatkan nyeri pada perut kanan bawah). Pada pemeriksaan
rectal toucher, juga didapatkan adanya nyeri pada arah jam 10
atau 11 (Moore, 2013).
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan
leukositosis. Pada pemeriksaan C-reactive Protein, didapatkan >1
mg/dL yang mengindikasikan terjadinya apendisitis akut. Pada
hasil urinalisis, dapat ditemukan piuria ringan, sedangkan adanya
piuria berat mengindikasikan terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK). Pada hasil USG, dapat ditemukan adanya struktur tubular
yang bersifat non kompresif dengan diameternya 7-9 mm pada
appendisitis akut. USG juga dianjurkan pada pasien anak-anak
dengan appendisitis akut. Pada pemeriksaan imaging, USG masih
menjadi lini pertama pada pasien apendisitis (Moore, 2013).

3. Penanganan Apendisitis
Apabila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan
standar untuk apendisitis adalah operasi. Tindakan operasi
tersebut dikenal sebangai apendiktomi. Pada kondisi dini,
pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian
tingkat kekambuhannya mencapai 35%. Setelah dilakukan
pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 — 10 hari.

D. Tatalasanan Perioperatif Anestesi Pada Kasus Apendiksitis

1. Evaluasi Perioperatif
Fase perioperatif dimulai saat keputusan untuk melakukan
pembedahan dibuat dan berakhir ketika klien atau pasien
dipindahkan ke meja operasi. Tindakan operasi pada appendisitis
baik pada orang dewasa maupun anak-anak, sangat penting
dilakukan persiapan preoperatif. Tujuan dilakukannya evaluasi ini
adalah memperkirakan keadaan fisik dan psikis dari pasien,
menghindari kejadian salah identitas serta salah operasi,
mengetahui adanya kelainan yang berhubungan dengan anestesi
sebelumnya. Evaluasi meliputi :

a. Evaluasi perioperatif ditinjau dari segi fisik


1) Anamnesa
Pada kasus apendisitis, perlu ditanyakan kepada
pasiennya mengenai nyeri perut yang dirasakannya, awal
mula timbulnya nyeri tersebut, serta gejala penyerta yang
dialaminya (mual, muntah, anorexia, demam subfebris).
Tanyakan kepada pasien mengenai riwayat penyakit
terdahulu yang dialaminya untuk mengetahui apakah ada
penyulit lain yang bisa menyebabkan timbulnya
appendisitis. Anamnesa tambahan dengan metode
AMPLE:
a) Allergy, tanyakan pada pasien ataupun kelurga
mengenai apakah pasien mempunyai riwayat alergi
obat ataupun makanan
b) Medication, tayakan mengenai obat apa saja yang
sedang dikonsumsi pasien saat ini
c) Past Medical History/ Pregnency, ditanyakan apakah
pasien mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, hipertensi, asma, dan penyakit
jantung, serta ditanyakan apabila pasien perempuan
apakah sedang hamil atau tidak
d) Last Meal, tanyakan kepada pasien kapan minum dan
makan terakhir
e) History of accident, tanyakan bagaiman kondisi
lingkungan yang berhubungan saat kejadian terjadi.
2) Pemeriksaan fisik dengan 6B
a) Brain, pengkajian tingkat kesadaran menggunakan
GCS/ Glasgow Coma Scale, ada tidaknya gejala
peningkatan tekanan intra kranial
b) Breath, pengkajian pernafasan: meliputi inspeksi
bentuk dada, pergerakan pola nafas pasien, auskultasi
ada tidaknya suara nafas tambahan, bersihan jalan
nafas
c) Blood, sistem kardiovaskuler meliputi tekanan darah,
laju nadi dan kekuatanya, status hidrasi dan volum
cairan pasien, kadar hemoglobin pasien
d) Bowel, status dari pencernaan pasien. Ada tidaknya
dilatasi gaster, aktifitas usus, ada tidaknya gangguan
hepar, dan organ pencernaan lainya dari feses pasien
e) Bladder, penilaian berupa kwantitas dan kwalitas
produksu urine, ada tidaknya gejala kerusakan ginjal,
menilai status hidrasi dari produksi urine pasien
f) Bone/ Body, ada tidaknya gangguan mobilitas, status
neurologi dari muskuloskeletal pasien, ada tidaknya
nyeri ekstremitas, perdarahan dan sianosis. Dikutip
dari American Society of Post Anestesi Nurse
( ASPAN) dalam (Bardero, et al,. 2005)

3) Pemeriksaan Hemostasis
Pada pemerisaan faal hemostasis untuk menilai
fungsi pembekuan darah, mencegah kehilangan darah
secara masif pada proses perdarahan. Didalamnya
hemostasis terdapat faktor pembekuan sebagai fungsi
utama penghentian perdarahan. Diantara pengkajian dan
faktor-faktor koagulasi :
a) Anamnesis riwayat penyakit dan keluarga tentang
ada tidaknya perdarahan sukar membeku
b) Tes menilai pembentukan trombin terdiri
- PT (Prothrombin Time)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya
kelainan perdarahan dan untuk menilai
pengobatan yang dilakukan untuk mencegah
perdarahan
- aPTT (Activated Partial Thromboplastin Test)
Uji lama waktu pembekuan darah di alur dasar
(intrinsic pathway). Uji aPTT biasanya dipanel
dengan uji PT untuk mengetahui adanya
kelainan perdarahan dan kemungkinan
perdarahan yang banyak saat tindakan
pembedahan
- INR
INR dipakai untuk memantau efek antikoagulan
oral pada penderita, dipakai untuk mengetahui
apakah dosis obat antikoagulan oral yang
dipakai telah optimal atau belum

c) Manfaat pemeriksaan waktu protrombin, yaitu :


- Mendiagnosa perdarahan yang tidak jelas
penyebabnya atau pembekuan darah abnormal
atau memar
- Sebagai tes skrining pada pemeriksaan faal
hemostasis.
- Memantau atau melihat apakah obat pengencer
darah seperti warfarin bekerja, jika tes ini
dilakukan dengan tujuan tersebut maka PT dapat
dilakukan setiap hari pada awalnya. Ketika dosis
obat yang benar sudah dapat ditentukan, maka
tidak perlu melakukan banyak tes lagi.

- Memeriksa rendahnya tingkat faktor


pembekuan darah. Kurangnya beberapa faktor
pembekuan dapat menyebabkan gangguan
perdarahan seperti hemofilia.
- Memeriksa tingkat rendahnya vitamin K.
Vitamin K dibutuhkan untuk membuat faktor-
faktor pembekuan protrombin dan lainnya.
4) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan LAB yang dilakukan adalah jumlah
leukosit darah. Pada kebanyakan kasus terdapat
leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi
berupa perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya
SY menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit darah
yang tinggi merupakan indikator yang dapat menentukan
derajat keparahan apendisitis.
5) Ultrasonografi
USG juga dapat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis perforasi dengan adanya abses. Apendisitis
akut ditandai dengan
a) adanya perbedaan 20 densitas pada lapisan apendiks
vermiformis / hilangnya lapisan normal (target sign)
b) penebalan dinding apendiks vermiformis
c) hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis
d) peningkatan ekogenitas lemak sekitar
e) adanya penimbunan cairan

6) Alvarado Skor
Untuk membantu diagnosis apendisitis akut, Alvarado
(1986) mempublikasikan sistem skoring yang saat ini
digunakan secara luas di seluruh dunia. Dalam skoring ini,
terdapat delapan parameter yang digunakan. Interpretasi
dari skor Alvarado yaitu : pasien dengan skor ≥7 berisiko
tinggi mengalami apendisitis akut, sedangkan pasien
dengan skor dibawah 7 risiko rendah

Kriteria Nilai
Migrasi nyeri ke regio kanan bawah 1
Anoreksia 1
Mual-Muntah 1
Nyeri dalam tekan Mc Burny 2
Rebound Tenderness 1
Demam (≥ 37,3o C) 1
Leukositosis (> 10.000 2
Shift to Left (> 75 %) 1

Interpretasi:
< 5 = bukan apendisitis
5-6 = kemungkinan rendah apendisitis
7-8 = kemungkinan apendisitis
9-10= Pasti apendisitis

7) Evaluasi kesulitan intubasi dengan (LEMON)


Morbiditas akibat anestesi (kerusakan gigi, aspirasi
paru, trauma jalan nafas, trakeostomi tanpa antisipasi
sebelumnya, anoxic brain injury, cardiopulmonary arrest
dan kematian) merupakan akibat serius dari kesulitan atau
kegagalan dalam manejemen jalan napas (Benumof,1991;
Cheney,2002; Hagberg dkk.,2005).

a) L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh
bagian wajah. Apakah ada hal- hal yang dapat
menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun
intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar,
protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil
b) E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang
menemukan jarak thyromental Langkah ini
merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran
mandibula terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm,
namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit
untuk dilakukan intubasi. Pasien normal bisa
membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi
seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3
jari pasien antara ujung mentum, tulang hioid dan 2
jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan
3-3- 2:
- Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses
oral
- Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang
mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat
dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.
- Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak
laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila lebih dari
2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah,
sehingga mungkin menyulitkan dalam hal
visualisasi glottis.
c) M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati
adalah sistem skor medis yang digunakan dibidang
anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan
bisa menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang
sedang menjalani proses pembedahan. Hasil
menentukan tingkat yg dibedakan dari I sampai IV.
Klasifikasi mallampati ditentukan oleh
pengamatan visual dari rongga mulut (Nuckton TJ,
2006). Klasifikasi Mallampati :
- Mallampati 1 : Palatumole, ufula, dinding posterial
urofaring, pilar tonsil
- Mallampati 2 : Palatumole, sebagian ufula, dinding
posterial ufula
- Mallampati 3 : Palatumole, dasar ufula
- Mallampati 4 : Palatudurum saja
d) O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus
selalu kita pertimbangkan sebagai akibat adanya
obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya
obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice),
adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau
obstruksi) dan adanya stridor
e) N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus
dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan
Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi leher
fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan
kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini
untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto -
oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu
garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai
normalnya adalah 35 derajat (Magboul M,2004)
Tahun 1984, Cormack dan Lehane membuat skala
yang menggambarkan derajat visualisasi laring pada
saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai
pada saat visualisasi laring yang paling baik, dengan
pasien berada dalam posisi sniffing yang optimal,
keadaan relaksasi otot yang baik, teknik laringoskopi
yang benar, dan bergantung pada keterampilan serta
kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.
(Klock,2007).
2.2 Gambar Mallampati pada laringoskopi (Klock,2007).

Selanjutnya dokter anestesi juga harus menjelaskan kepada


pasien mengenai manajemen anestesi yang akan dilakukan yang
tercermin dalam informed consent serta memberitahukan kepada
pasien untuk puasa sebelum dilakukan operasi jika pasien tersebut
setuju untuk dioperasi untuk menghindari terjadi regurgitasi pada
esofagus serta aspirasi.

2. Penentuan status ASA


Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat perkiraan
risiko anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat
dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap adanya brain-dead organ
donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan
tingkat mortalitas perioperatif. Klasifikasi status fisik ASA
digunakan dalam perencanaan manajemen anestesi serta teknik
monitoring. Dalam klasifikasi ASA Miller et, al. 2003
mengklasifikasikan kondisi fisik seseorang sebelum pembedahan:

a. ASA I :Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau


psikiatri
b. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang, tanpa keterbatasan aktivitas sehari-hari
c. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik berat, serta aktivitas
fisik normal yang terbatas
d. ASA IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam
nyawa dengan maupun tanpa operasi
e. ASA V : Pasien dengan penyakit berat yang memiliki harapan
hidup kecil dengan atau tanpa operasi
f. ASA VI : Pasien dengan kematian batang otak yang organ
tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor (brain-dead organ
donor).
Semakin tinggi status ASA pasien maka gangguan
sistemik pasien tersebut akan semakin berat. Hal ini
menyebabkan respon organ-organ tubuh terhadap obat atau
agen anestesi tersebut semakin lambat, sehingga berdampak
pada semakin lama pulih sadar pasien (Setiawan, 2010).

Pada kasus appendisitis, lebih sering ditemukan ke


dalam klasifikasi ASA II. Hal ini disebabkan oleh perubahan
fisiologi tubuh yang akut, perubahan nilai laboratorium yang
akut dan berisiko komlikasi perforasi lumen apendiks yang
dapat mengakibatkan peritonitis. Status ASA pada pasien
appendisitis dapat berubah menjadi ASA III atau IV, jika ada
penyulit komplikasi yang lain seperti gangguan pada sistem
liver, ginjal, paru-paru, dan organ sistem lainnya (Johanna
2010).

3. Informed Consent Bedah


Informed consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal
dan dapat melindungi dokter dari tuntutan. Dalam hal ini, perlu
dipastikan bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang
cukup mengenai prosedur yang akan dilakukan beserta risikonya.
Jika pasien tersebut setuju untuk dilakukan tindakan
appendektomi, maka operasi tersebut dapat segera dilaksanakan,
Jika pasien tersebut tidak setuju, maka dapat diberikan obat
antibiotik untuk mengatasi infeksi pada appendiks tersebut.
Pemberian antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan
appendisilis tanpa komplikasi. Akan tetapi, tindakan operasi
masih merupakan gold standard dalam penanganan appendisitis
(PERMENKES No.209, 2008).

4. Informed Consent Anestesi


Informed consent atau persetujuan Medik/ Informed consent
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien sesuai dengan pasal
Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989. Di mana
pasal menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik,
tindakan anestesi yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Informed consent anestesi mencakup informasi pengertian
anestesi, jenis dan tindakan anesetesi yang akan diterima pasien
tersebut (Guwandi, 2005).

5. Premedikasi
Morgan 2013 menjelaskan, premedikasi adalah pemberian
obat selama 1-2 jam sebelum dilakukan induksi anestesi kepada
pasien dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan, serta bangun dari anesthesia. Di samping itu,
premedikasi juga bertujuan untuk meredakan kecemasan,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah,
membuat pasien menjadi hipnotik, serta mengurangi reflek yang
membahayakan. Pemberian premedikasi dapat diberikan secara
suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi anestesia),
atau suntikan intravena (5-10 menit sebelum induksi anestesia),
Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan
kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.
Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada
pasien dapat dijabarkan pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.2
Obat Premedikasi
No Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedative :
Diazepam 5 – 10 mg
Diphenhydramine 1 mg/kgBB
Promethazine 1 mg/kgBB
Midazolam 0,05 – 0,1 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanyl 1-2 µg/kgBB
3 Antikholinergik :
Sulfas Atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik :
Ondansentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa

6. Pemilihan Teknik Anestesi


Dalam pemilihan teknik anestesi, perlu dipertimbangkan
faktor-faktor yang berperan dalam keamanan dan kenyamanan
pasien.
a. Usia pasien
Pada usia bayi dan anak, lebih baik dilakukan teknik
general anesteshia oleh karena pasien usia demikian lebih
sering tidak kooperatif. Sedangkan pada pasien dewasa,
jika digunakan untuk tindakan singkat, dapat dilakukan
teknik anestesi regional atau general anesteshia.
b. Status fisik pasien
Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu, sangat
penting untuk ditanyakan beserta komplikasi sebelum
maupun pasca pembedahan yang dialami pasien saat itu.
Pada pasien dengan adanya penyulit gangguan
kardiovaskular yang berat, hindari penggunaan general
anesthesia karena dapat mengakibatkan depresi nafas serta
gangguan hemodinamik pada kardiovaskular. Oleh sebab
itu, sebaiknya dipilih menggunakan anestesi lokal atau
regional.
Pada pasien yang tidak kooperatif atau mengalami
gangguan psikiatri lainnya, sebaiknya dilakukan general
anesteshia.
c. Pada pasien obesitas dengan leher pendek dan besar
sehingga menimbulkan risiko gangguan sumbatan jalan
nafas, scbaiknya dipilih teknik anestesi regional.

7. Posisi pembedahan
Posisi miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
general anesthesia dengan endotrakea untuk menjamin ventilasi
selama pembedahan. Akan tetapi, pada posisi demikian, dapat
juga digunakan pada anestesi regional.

8. Keterampilan dan pengalaman dokter bedah


Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan Kebutuhan dokter bedah, seperti teknik
hipotensif untuk mengurangi pendarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lainnya.

9. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi


Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesi
sangat menentukan pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak
melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman
dan keterampilan.

10. Keinginan pasien


Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat
diperhatikan dan dipertimbangkan bila keadaan pasien
memungkinkan dan membahayakan keberhasilan operasi.

11. Bahaya kebakaran dan ledakan


Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak
eksploratif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan
memakai alat elektrokauter,

E. Durante Operasi dan Monitoring

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid,


koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan
dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa,
sedangkan cairan koloid mengandung zat high molecular weight
seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid berfungsi
untuk menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan dapat digunakan
untuk Sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang
digantikan. Untuk kehilangan cairan terutama yang melibatkan air,
penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis
maintenance. Jika melibatkan air dan elektrolit, penggantian dengan
cairan elektrolit isotonik, disebut sebagai cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah
cairan isotonik, maka cairan jenis replacement yang umum digunakan
adalah larutan Ringer Laktat. Meskiput sedikit mengandung
hipotonik, cairan ini menyediakan sekitar 100 mL frec water per liter
dan cenderung dapat menurunkan serum natrium sebanyak 130
mEg/L. Ringer Laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan cairan yang
paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
pada durante operasi ini biasanya digantikan dengan cairan RL
sebanyak 3 hingga 4 kali dari jumlah volume darah yang hilang.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit
dan estimated blood volume (EBV), Pasien dengan hematokrit normal
biasanya ditransfusi apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari
volume darah. Waktu yang tepat untuk transfuse ditentukan oleh
kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. CARI TAHU
NYA ABL (ALLOWED BLOOD LOSE)
Resusitasi bertujuan untuk menghentikan sumber perdarahan
dan mengembalikan volume darah intravaskular pada kejadian
perdarahan. Hal ini menyebabkan oksigenasi jaringan tidak terganggu
selama volume darah di dalam tubuh tetap terjaga meski dengan kadar
hemoglobin yang rendah. Jumlah cairan resusitasi yang bisa diberikan
kepada pasien bergantung pada jumlah perdarahannya hingga suatu
titik di mana perlu dilakukan transfusi darah untuk menyelamatkan
hidup pasien. Estimasi kehilangan darah dan pengukuran kadar
hemoglobin merupakan petunjuk utama untuk transfusi darah.
Menurut health technology assessment (HTA) Indonesia 2003 tentang
Indikasi dan Skrining Transfusi Komponen Darah yang dikeluarkan
oleh Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan Depkes RI, transfusi
sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin
(Hb) <7 gr/dL, terutama pad anemia akut, Transfusi dapat ditunda jika
pasien asimptomatik dan/ atau penyakitnya memiliki terapi spesifik
lain. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7–10
g/dL apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium.
Nilai hemoglobin pasien terutama dalam perawatan kritis itu
sangat penting, karena menjadi bukti klinis yang berkenaan dengan
bahaya dari anemia yang berkelanjutan dan overtransfusion. Dokter
sebaiknya menyadari adanya variabilitas nilai hemoglobin yang
didapatkan dari laboratorium. Penyebab variabilitas pra-analisis
meliputi fisiologi pasien, waktu pengambilan sampel, penggunaan
tourniquet, penanganan sampel serta faktor-faktor analisis seperti
metode pengukuran. Untuk mengurangi variabilitas tersebut, dokter
sebaiknya berusaha menjaga konsistensi di antara faktor-faktor
pengukuran, misalnya dengan mengambil darah dari sumber yang
sama dan pada posisi pasien yang sama.
Penghitungan EBL biasanya mengandalkan penilaian visual
dokter anestesi bersama dokter bedah sehingga sulit untuk
distandarisasi.3 EBL menjadi kurang akurat bila dokter cenderung
menaksir lebih sedikit (underestimate) pada kehilangan darah yang
banyak dan menaksir lebih banyak (overestimate) pada kehilangan
darah yang sedikit. Akibatnya kemungkinan besar bisa terjadi
undertransfusion atau overtransfusion. Meskipun simulasi dan
pelatihan untuk memperbaiki keterampilan estimasi kehilangan darah
telah dilakukan, keterampilan tersebut untuk jangka panjang makin
berkurang, selain keterkaitan yang lemah antara tingkat pengalaman
dan akurasi estimasi. Penghitungan EBL juga terganggu oleh cairan-
cairan tidak sejenis yang ikut terserap oleh kassa dan media absorbsi
lainnya, yakni antara lain cairan kristaloid, koloid, asites, cairan
amnion, darah transfusi dan sebagainya. Banyak rumus yang bisa
digunakan untuk menghitung allowable blood loss (ABL). Tidak ada
kesepakatan umum mengenai rumus manakah yang paling akurat.
Rumus ABL berguna sebagai panduan penghitungan EBL yang kerap
dijadikan pertimbangan untuk keputusan transfusi, selain untuk
memperkirakan saat yang tepat untuk pemeriksaan kadar hemoglobin
intraoperatif sebagai marker (penanda) untuk transfusi darah
Kadar hemoglobin dapat diukur dengan berbagai metode
pengukuran, mulai dari cara yang paling sederhana hingga
menggunakan instrumen yang canggih. Flow cytometry banyak
digunakan sebagai metode baku di laboratorium klinik dengan
instrumen Hematology Analyzer. Seiring perkembangan kemajuan
teknologi pemeriksaan darah, instrumen point of care testing (POCT)
menjadi alat diagnostik yang makin populer digunakan di berbagai
tempat di rumah sakit, terutama dalam setting perawatan kritis seperti
unit perawatan intensif (ICU), ruang operasi dan unit gawat darurat.
Instrumen POCT dapat mempermudah pengukuran kadar
hemoglobin, mulai dari cara pengambilan sampel yang mudah,
jumlah sampel yang sedikit dan instrumen dapat dibawa ke mana-
mana. Beragam instrumen POCT untuk pengukuran kadar
hemoglobin telah beredar di pasaran saat ini, misalnya HemoCue®
Maximum ABL calculation
Rumus EBV: berat badan (kg) x rata rata volum darah / ABV
(ml/kg)
Rumus ABL= [EBV x (Hi-Hf)]/Hi
Dimana:
 EBV=Estimated Blood Volume (estimasi volume darah)
 Hi= initial hemoglobin (Hb awal)
 Hf= final hemoglobin (Hb target)
Average blood volumes
 Premature Neonates 95 mL/kg
 Full Term Neonates 85 mL/kg
 Infants 80 mL/kg
 Adult Men 75 mL/kg
 Adult Women 65 mL/kg
Nilai normal Hct
 Men 42-52%
 Women 37-47%
Jika pasien dengan obesitas, menggunakan rumus IBW atau
ABW akan memberikan akurasi lebih dari pada berat badan
aktualnya.
Contoh : sebelum Tindakan operasi, berapa estimated blood
volume (EBV) pasien perempuan dewasa dengan berat badan 50 kg?,
kemudian berapa allowable blood loss (ABL) jika nilai lab Hct adalah
45?
Dari contoh diatas, EBV = 50kg x 65 (adult woman’s blood
volume) = 3250 Hct awal (Hi / initial hematokrit) = 45%, nilai paling
rendah Hct yang dapat diterima The final lowest acceptable Hct (Hf)
= 30% (penilaian secara klinisi dalam hal ini yang menentukan
sampai berapa rendah nilai Hct pasien boleh turun, 30 % digunakan
pada kasus ini, tapi dalam kenyataanya bisa berbeda beda tergantung
dari setiap kasus yang dihadapi.) jadi dalam kasus ini:
(3250 x (45 – 30))/45 = 1083 menggunakan perhitungan kasar
ini, pasien dalam contoh ini bisa kehilangan darah sampai 1083 mL
tanpa membutuhkan transfusi.
Mengganti kehilangan darah : “idealnya, kehilangan darah
harus digantikan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga volume
intravaskuler (normovolumia) sampai bahaya anemia melebihi resiko
dari transfusi. Dalam poin ini, kehilangan darah masif digantikan
dengan transfusi sel darah merah untuk menjaga konsentrasi Hb
diantara 7 – 10 g/dL atau hematokrit 21 – 30%. Hb dibawah 7 gr/dL,
cardiac output akan meningkat dengan signifikan untuk menjaga
sirkulasi oxygen normal” (Morgan & Mikhail, 1996)
Proses monitoring sangat perlu dilakukan oleh dokter anestesi
dan perawat anestesi dalam membantu mempertahankan kondisi
pasien. Standard monitoring intraoperatif yang digunakan, diadopsi
dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring APA AJA?.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anastesi walaupun pada
kondisi emergensi, appopriate life support harus diutamakan. Standar
ini ditujukan tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah
satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang
atau tidak lazim, beberapa metode monitoring ini mungkin tidak
praktis secara klinis dan penggunaan yang sesuai dengan metode
monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis
selanjutnya. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor
pasien selama anestesi, adalah :

1. Frekuensi nafas serta kedalaman nafas


2. Denyut nadi, jantung, serta kualitasnya
3. Warna membran mukosa dan capillary refill time
4. Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas
reflek palpebra)
5. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
6. Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, serta denyut
nadi.
Pemantauan Hemodinamik Pasien Tidak Langsung (Non Invasif)
 Kesadaran : secara kuantitatif dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS)
 Tekanan Darah : Metode osilotonometri (NIBP). Alat
pengukur tekanan darah tidak langsung (non invasif) bekerja
secara otomatis. Mengukur getaran pulsasi arteri yang ditekan
manset. Sangat akurat untuk mengukur tekanan darah arteri
rata-rata. Tingkat ketelitian + 15 mmHg (2 kPa) pada 95 %
pasien normotensi
 Tekanan Vena Jugularis : Peninggian tekanan vena jugularis
dapat diperkirakan dari distensi vena jugularis eksterna Vena-
vena leher akan mengalami distensi bila kepala ditempatkan
sejajar dengan lantai diatas tempat tidur dan vena-vena leher
akan kolaps bila ditempatkan pada ketinggian 30-40 derajat.
Atrium kanan terletak + 5 cm dibawah sudut Louis, tempat
pertemuan manubrium dengan korpus sternum. Derajat
distensi vena leher diukur dengan membuat garis khayal dari
miniskus distensi vena leher (tempat vena kolaps) sampai
kesudut Louis. Tekanan vena sentralis dapat diperkirakan
dengan menambahkan angka 5 cm dari distensi sudut Louis
 Capillary Refill Time (CRT) : Capillary refill time (CRT)
adalah tes yang dilakukan dengan cepat pada daerah kuku
untuk menilai jumlah aliran darah (perfusi) ke jaringan dan
untuk menilai ada tidaknya dehidrasi
 Suhu tubuh
 Produksi Urin : Walaupun produksi urin sebagian besar
menggambarkan kecukupan perfusi ginjal, namun produksi
urin sering juga digunakan sebagai petunjuk adekuatnya curah
jantung. Curah jantung dipengaruhi oleh tekanan darah,
volume darah, tingkat hidrasi dan obat-obatan yang sedang
digunakan. Bila perfusi ginjal cukup, produksi urin akan lebih
dari 0,5 ml/ kg BB/ jam
 Elektrokardiogram : Elektrokardiogram adalah alat perekam
aktifitas listrik jantung yang dihasikan oleh sel-sel miokard,
dapat digunakan untuk menegakkan kelainan jantung. Intra
operatif rutin digunakan untuk mendeteksi disritmia, iskemia
miokard, gangguan konduksi, malfungsi pacemaker, dan
gangguan elektrolit
 Oksimetri Nadi : adalah alat pemantau nadi dan saturasi
oksigen darah arteri secara non invasif. Oksimetri nadi wajib
digunakan pada setiap operasi pasien yang menggunakan
anestesi, tidak ada kontraindikasi. Prinsip kerja oksimetri nadi
adalah menggabungkan oksimetri dan pletismograf untuk
mengukur saturasi oksigen darah arteri, yang menggambarkan
saturasi oksigen dengan molekul hemoglobin
 Kapnograf : Kapnograf adalah alat yang sangat bernilai
digunakan untuk memantau fungsi pernapasan dan jantung
selama pasien teranestesi terutama pada anestesi umum, tidak
ada kontraindikasi pemakaian. Mekanisme kerja kapnograf
sama dengan oksimetri nadi diatur oleh hukum Lambert –
Beer, sinar infra merah akan diabsorbsi oleh CO2. Adaptor
kapnograf ditempatkan pada sirkuit pernapasan yang
terhubung dengan monitor. Kapnograf adalah alat terpercaya
untuk mendeteksi keberhasilan intubasi trakea, tetapi tidak
bisa digunakan untuk memprediksi kedalam intubasi bronkus
 Ekokardiografi : Alat noninvasif untuk memeriksa
pembuluhpembuluh darah besar dan jantung dengan
menggunakan gelombang ultrasound. Gelombang ultrasound
dihasilkan oleh elemen piezoelektrik yang bekerja sebagai
transmitter dan receiver. Bila gelombang ultrasound mengenai
permukaan jaringan yang diperiksa akan dikirimkan gambaran
yang sesuai dengan daya serap masing-masing jaringan.
Ekokardiografi sudah menjadi alat yang sangat berharga untuk
menegakkan diagnosis penyakit jantung. Pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal (TTE) dan ekokardiografi
transesofagus (TEE) sangat bermanfaat digunakan untuk
menilai fungsi jantung perioperatif oleh dokter anestesia, baik
sebelum operasi dan paska operasi
 Bentuk Gelombang Nadi : Perangkat pendeteksi bentuk nadi
(pulse contour devices) adalah alat yang dapat digunakan
untuk mendeteksi tekanan arteri untuk memperkirakan curah
jantung dan parameter dinamis lainnya, seperti tekanan nadi
dan variasi volume sekuncup pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanis. Perangkat ini akan mengukur luas bagian
algoritme tekanan sistolik arteri dari akhir tekanan diastolik
ejeksi ventrikel. Perangkat pendeteksi bentuk nadi ini
bermanfaat digunakan untuk menilai respon terapi cairan pada
pasien hipotensi
 Dopler Esophagus : Pemeriksaan dopler esofagus merupakan
bagian integral dari pemeriksaan ekokardiografi perioperatif.
Prinsip kerja dopler esofagus adalah mendeteksi kecepatan
aliran darah aorta torakal yang menurun. Pergerakan relatif
aliran darah aorta akan menyilang probe dopler esofagus.
Ketika aliran sel darah merah bergerak mendekati transduser
frekuensi pantulan yang dihasilkan transmisi probe tinggi
begitu pula sebaliknya ketika aliran darah menjauhi transduser
frekuensi pantulan yang dihasilkan transmisi probe rendah

Monitoring Hemodinamik Pasien Langsung (Invasif)


 Tekanan darah
 Tekanan Vena Sentralis
 Kateter Arteri Pulmonalis
 Monitoring Hemodinamik Pasien Khusus (Aliran Darah
Regional)
 Elektroensefalogram
 Evoked potentials (EP)
 Stimulasi saraf tepi
 Tonometri lambung
 Saturasi oksigen jugular bulb (SJ02)
F. Manajemen Anestesi Pasca Operasi

Evaluasi post juga harus dilakukan dalam 24-48 jam setelah


operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien, Kunjungan ini
meliputi review dari rekam medis, anamnesis terakhir terkait keluhan
subjektif post Operasi pada pasien, pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang. Komplikasi yang
kemungkinan akan dialami pasien seperti muntah, nyeri tenggorokan,
kerusakan rigi, cedera saraf, cedera pada daerah okular, pneumonia,
serta perubahan status mental, juga harus diperhatikan.

PERSIAPAN ALAT?
OBAT?
MONITORING  SETTING VENTI
PROSES BANGUN
Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut (Latief, 2007):
Persiapan Alat (STATICS):
a. Scope : Laringoscope, Stetoscope
b. Tubes : Endotrakheal Tube (ETT)
sesuai ukuran
c. Airway : Pipa orofaring / OPA atau
hidung-faring/NPA
d. Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
e. Introducer : Mandrin / Stylet, Magill
Forcep
f. Conector : Penyambung antara pipa dan
pipa dan peralatan anestesi.
g. Suction : Penghisap lendir siap pakai.
h. Bag dan masker oksigen (biasanya satu
paket dengan mesin anestesi yang siap
pakai, lengkap dengan sirkuit dan
sumber gas)
i. Sarung tangan steril
j. Xylocain jelly/ Spray 10%
k. Gunting plester
l. Spuit 20 cc untuk mengisi cuff 13)
Bantal kecil setinggi 12 cm 14)
m. Obat- obatan (premedikasi,
induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan
emergency).
Persiapan mesin anestesi :
a) Pastikan mesin ventilator telah terkoneksi dengan sumber tegangan listrik.
b) Pasang pipa corogated (pipa koneksi) pada saluran (outlet) yang ada pada listrik dngan
benar
c) Hidupkan tombol power (on) untuk melakukan setting dan untuk memastikan
mesin ventilator telah terkoneksi pada sumber tegangan listrik dengan benar.
d) Pastikan vaporizer isoflorance, sevoflurance sudah terisi
e) Cek flow meter O2 dan flow meter N2O pastikan dalam keadaan menutup sebelum
digunakan
f) Cek sambungan atau konektor O2 dan N2O dari central ke unit soft lander, pastikan
sudah terpasang dengan benar dan tepat
g) Lakukan pengecekan gauge pressure pada mesin anastesi kiri berlawanan dengan
jarum jam untuk membuka dan pastikan bobbin berputar dengan baik pada 4-5
liter per menit
h) Cek safety valve dengan membuka kran N2O berlawanan jam sampai 3-5 lpm.
Jika valve masih masih baik maka ketika kran dibuka level yang sama
i) Cek soda lime atau (absorber) maksimal ½ wadah masih belum berubah warna.
j) Cek Breathing Circuit dan Bag, evaluasi adanya kebocoran dengan cara menutup
ujung Breathing Circuit yang telah terpasang pada mesin anetesi kemudian tutup
APL Valve dan biarkan bag mengembang sedikit. Tekan bag beberapa kali dan
rasakan tekanan bag turun atau tetap bertambah. Jika tekanan turun maka dapat
dipastikan ada kebocoran dan jika tidak buka kembali ujung circuit.
k) Setting volume tidal, respirasi rate, waktu inspirasi dan ekspiasi, PEEP, presure max
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
l) Cek aliran udara yang keluar melalui ujung pipa koneksi
m) mesin telah siap digunakan
Persiapan
1) Pasien (pada umumnya diwakili oleh orang tua/wali)
a) Pemeriksaan pra bedah
b) Pemeriksaan penunjang
- penjelasan rencana, kondisi pasien, dan potensi penyulit tindakan
anestesi dan pembedahan , ijin persetujuan Tindakan anestesi, kondisi
penderita optimal untuk prosedur Tindakan, puasa, medikasi sesuai
kasusnya
c) Premedikasi pra anestesi sesuai usia dan kasusnya
d) Adanya sumber oksigen
2) Obat dan Alat:
a) Obat darurat: - Sulfas atropine 0.25 mg - Lidocaine 2% - Efedrin -
Adrenaline
b) Obat Premedikasi : medikasi pra anestesi dapat diberikan sesuai
kebutuhan, antara lain obat golongan sedatif-tranquilizer, analgetik opioid,
anti emetik, H-2 antagonis. Obat-obat penyakit co-morbid boleh diberikan
sebelum jadwal puasa yang harus dilakukan. jalur pemberian dapat diberikan
melalui oral, IV, IM, rektal, intranasal
c) Obat induksi: - Opioid (sesuai kebutuhan) - Propofol - Ketamine
d) Obat pelumpuh otot (bila perlu intubasi atau relaksasi)
e) Obat rumatan anestesi: - Obat anestesi inhalasi - Obat anestesi intravena -
Suplemen opioid
f) Obat pemulihan pelumpuh otot
g) Obat untuk mengurangi nyeri: - Parasetamol - NSAID - Opioid
h)Alat intubasi: - ETT nomor sesuai dengan perhitungan 2.5-3.5 disiapkan 1
nomor diatas dan dibawahnya. - Laringoskop sesuai ukuran, daun lurus. -
Oropharing sesuai usia
i) Mesin anestesi: - Sungkup muka sesuai umur - Sirkuit nafas: sistem circle
pediatri atau sistem Mapleson
j) Suction cath no sesuai dengan umur
k) NG tube no sesuai dengan umur
l) Transfusion set atau pediatric set
m) IV cath no disesuaikan dengan umur
n) Opsite infus
o) 3 way stop cock
p) Oropharing 1 buah
q) Sungkup muka
r) Set Suction 1 buah
s) Plester 1 buah
t) Oksigen
u)Spuit ukuran 10cc, 5cc, 3cc sesuai kebutuhan
v) Dianjurkan ada matras penghangat
w)Dianjurkan ada penghangat cairan infus
x) Selimut dan topi untuk mencegah hypothermia

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

Data pengkajian keperawatan dan pemeriksaan fisik didapat pada


tanggal 20 Oktober 2022 di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Data
anamnesa sudah mendapat persetujuan dari pasien dan data resume medis
sudah mendapat persetujuan dari pihak rumah sakit.

A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama Pasien : Nn.C
b. Tgl. Lahir/Umur : 08/07/1999 (23Tahun)
c. Agama : Katholik
d. Alamat : Jakarta
e. No. CM : 00-40-79-34
f. Diagnosa Medis : Appendisitis Akut
g. Jenis Tindakan : Laparaskopi appendictomy
h. Asal Pasien : IGD
i. Diagnosa Pra Anestesi : Nyeri Akut
j. Rencana Tindakan : General Anastesi (ETT)
k. Tanggal Tindakan : 20/10/2022, Jam: 16:00 WIB

B. ASESMEN PRA OPERASI


1. Keluhan Utama
Pasien mengatakan nyeri perut sebelah kanan bawah, nyeri
dirasakan seperti panas dan teriris-iris, nyeri sejak kemaren sore
tanggal 19/10/2022 dan dirasakan menetap, Nyeri menjalar dari
hipogastrik kanan ke pinggang belakang, nyeri saat beraktifitas,
buang air kecil dan besar dan saat manuver abdomen, skala nyeri
diangka 4-6, membaik saat beristirahat.
2. Riwayat Penyakit

Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit.

3. Riwayat Operasi/ Anestesi


Pasien mengatakan tidak pernah dioperasi ataupun dilakukan anestesi
sebelumnya.
4. Riwayat Alergi : Disangkal
5. Obat yang dikonsumsi: Disangkal
6. Riwayat Merokok : Disangkal
7. Alkohol : Disangkal
8. Kesadaran : Compos Mentis
9. TTV : S: 37,6C, N:102 x, RR: 18 x, TD: 126/87
10. TB/BB : 163cm/ 59kg
BB 59 59
11. BMI : 2 = 2= = 22,3
TB 1,63 2,65
12. Golongan Darah :O
13. Evaluasi Jalan Nafas :

a. Bebas : Ya
b. Alat Jalan Nafas ( jika ada ) : -
c. Protrusi Mandibula : Ya
d. Buka Mulut 3 jari : Ya
e. Jarak Menthyoid 3 jari : Ya
f. Jarak Hyothyroid 2 jari : Ya
g. Malampathy : I
h. Leher Pendek : Tidak
i. Gerak Leher : Bebas
j. Obesitas : Tidak
k. Massa : Tidak
l. Gigi Geligi : goyang ¿, gigi palsu ¿
m. Jalan Nafas Sulit : Tidak
n. Ventilasi Sulit : Tidak

C. RIWAYAT PSIKOSOSIAL/SPIRITUAL
1. Status Emosional : Bingung
2. Tingkat Kecemasan : Cemas
3. Skala Cemas : Keseriusan tidak berfokus
4. Skala Nyeri Menurut VAS (Visual Analog Scale)

0  1-3 ☑ 4-6  7-9  10


5. Sistem Fungsi Organ
a. B1 (Breathing) Sistem Pernafasan
Inspeksi: Bentuk dada Normo chest, laju nafas: 18x/ menit. Cek
penggunaan otot bantu nafas (otot sternokleidomastoideus) ☑
tidak terlihat. Cek Pernafasan cuping hidung ☑tidak ada. Cek
penggunaan alat bantu nafas ☑tidak ada
Palpasi: Vocal premitus (pasien mengatakan 77) ☑ Teraba
getaran di seluruh lapang paru
Perkusi dada: sonor
Auskultasi: Suara nafas: Vesikuler, suara nafas tambahan ( – )

b. B2 (Circulation) Sistem Peredaran Darah


Inspeksi: CRT (Capillary Refill Time) ☑< 2 detik,. sianosis
(warna kebiruan) ¿ konjungtiva klien, konjungtiva ☑ merah
muda.
Palpasi: Akral ☑Hangat, laju nadi 102x/ menit, teraba nadi ulnaris
teraba kuat, tekanan darah 127/87 mmHg.

c. B3 (Neurologi) Sistem Persyarafan


Glasgow Coma Scale (GCS) = E4 M6 V5 (Composmentis).

d. B4 (Bladder) Sistem Perkemihan


Alat kemaluan= tidak ada keputihan
Palpasi: Tidak ada distensi kandung kemih.
e. B5 (Bowel) Sistem Pencernaan
Inspeksi: bentuk abdomen simetris, tidak ada distensi abdomen,
tidak accites, tidak ada muntah,
Auskultasi: peristaltik usus 15x/menit.
f. B6 (Bone) Sistem Muskuluskeletal dan Integumen
Inspeksi: warna kulit sawo matang, pergerakan sendi bebas dan
kekuatan otot penuh, tidak ada fraktur, tidak ada lesi. Namun
mengatakan nyeri saat berpindah atau saat ingin buang air kecil
dan besar dalam posisi berjongkok.
Palpasi: turgor kulit elastis
6. Gambar Laboratorium:
7. USG: Sugestive appendicitis akut (ukuran 32x7 mm), non perforasi.

D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI


1. Persiapan Alat
a. Mesin Anestesi Siap Pakai
b. Suction Pump
c. Alat Statics
d. Laringoscope
2. Persiapan Obat GAK PAKE PREMED?
a. Induksi :
Fentanyl 100 mcg, lignovel 40 mg, propofol 80 mg, rocuronium
30 mg
b. Gas anestesi :
Sevoflurance 2 vol%, O2:N2O = 0,4 lt : 0,4 lt
3. Evaluasi Pra Anestesi / Proses Sign In
a. Makan Terakhir : 09.00
b. Minum Terakhir : 11.00
c. Vital Sign :TD : 115/68 mmHg HR : 93 x/mnt RR : 18 X/mnt
T: 36 Spo2 : 100 %
d. Akses Intra Vena : No : 20 Lokasi (Vena metakarpal dextra)
Tetesan 20 tpm
4. Daftar Tilik Keselamatan Pasien
a. Identifikasi Pasien
b. EKG
c. Waspada titik tekanan
d. Mata terlindungi
e. Persetujuan tindakan
f. Suction
g. Obat – obatan
h. Profilaksis
i. Puasa dijalankan dengan baik
j. Puls Oxymeter
k. Sabuk Pengaman
l. Mesin anestesi
m. Stetoscope
n. NIPB
o. Selimut Penghangat dan Urine Kateter
E. INDUKSI

1. Midozolam 1mg/ IV
2. Fentanyl 100 mcg/ IV
3. Recofol 70 mg/ IV
4. Roculax 30 mg/ IV
5. Lignovel 40 mg (Lidokain) / IV
INTRA OPERASI

1. Anestesi dimulai jam : 16.30


2. Pembedahan dimulai jam : 16. 50
3. Operasi selesai : 18: 00 WIB
4. Jenis anestesi : Umum/General Anestesi
5. ASA :ASA 1 (ASA 2 HIPOKALEMIA 3.3)
6. Mall ampati :I
7. Posisi operasi : Terlentang
8. Pemasangan alat-alat : ETT jenis kingking No. 7, OPA No 80
9. Kebutuhaan cairan
a. Maintenance (M) = 2cc/kgbb
= 2 x 59
= 118 cc
b. Cairan Pengganti Puasa (PP) = Lama Puasa x (M)
= 6 x 118 = 708 cc

c. Stres Operasi (SO) = 6 x BB


= 6 x 59
= 354 cc

d. Kebutuhan cairan 1 jam = ½ PP + M + SO


= 354 +118 + 354
= 826 cc

2/3 jam = ¼ PP + M + SO
= 177 + 118 + 354
= 649 cc

e. Estimasi Blood Volum (EBV) = 65% x 59


= 3835cc

d. Estimasi Blood Loos (EBL) = 20% x EBV


= 20 % x 3835

= 767 cc
e. Total cairan masuk
Infus : 500 cc
Transfuse : 0 cc
f. Total cairan keluar
1) Urine : 250 cc
2) Perdarahan : 10 cc

F. POST OPERASI
1. Pasien pindah ke : Ruang Recover Room, Jam: 18.15 WIB
2. Keluhan saat di RR : Nyeri luka operasi dan Menggigil,
3. Keadaan Umum : Sedang
4. TTV :S: 36,3C, N: 103 x/mnt, RR: 18 x/mnt, TD: 122/87
mmHg, SpO2:100 %
5. Kesadaran : Compos Mentis

G. MONITORING DI RUANG RECOVERY ROOM


1. Masuk RR Pkl : 18.15. Keluar RR Pkl : 20.00.
2. Nama Tindakan : Post LO APP
3. Kondisi Umum saat masuk RR : Terjaga
4. Tingkat Kesadaran : GCS : E 4 M 6 V 5
5. Perfusi : Dingin
6. Pernafasan saat masuk RR : Nasal Oksigen 3 l/mnt
7. Saat Keluar RR : Tanpa alat bantu
8. Risiko luka tekan : Rendah
9. Vaskularisasi Ekstrimitas : Merah / baik
10. Posisi : Supine
ALDRETTE SCORE
NILA 2 KELUAR
0” 5” 15” 30” 1’ 3’
I ’ RR
TD +/- 2O
mmHg dari
normal
TD +/- 2O-50 2
Sirkulasi
mmHg dari 1 2 2 2 2 2 2
normal 0
TD +/- >5O
mmHg dari
normal
Sadar penuh
Respon
2
terhadap
Kesadaran 1 1 2 2 2 2 2
panggilan
0
Tidak ada
respon
SpO2 >92%
(dengan udara
bebas)
SpO2 >90% 2
Oksigenasi (dengan udara 1 2 2 2 2 2 2
bebas) 0
SpO2 <90%
(dengan udara
bebas)
Bisa menarik
nafas dalam
dan batuk
bebas 2
Pernafasan Dispneu atau 1 2 2 2 2 2 2
limitasi 0
bernafas
Apnea / tidak
bernafas
Menggerakkan
Aktifitas
4 ekstrimitas
Menggerakkan 2
2 ekstrimitas 1 2 2 2 2 2 2
Tidak mampu 0
menggerakkan
ekstrimitas
1
Jumlah total 9 10 10 10 2
0

Gambar: Pemantauan Anestesi


Gambar: Pemantauan pasien diruang Recover Room

H. ANALISA DATA

PRE OPERASI

No. Analisa Data Masalah Etiologi


1. DS : Nyeri akut (D0077) Proses infalamsi
-pasien mengatakan nyeri perut
kanan bawah Merangsang saraf
reseptor
DO :
-pasien tampak meringis Nyeri
kesakitan,
-P : nyeri saat bergerak
-Q : nyeri seperti tertusuk dan
terasa panas
-R : perut kanan bawah
menjalar kebagian belakang
-S : skala nyeri 4-6
-T : nyeri terus menerus sejak
kemaren sore,
-Alfarado Score = 7
(kemungkinan besar
Apendisitis)
- Mc Burny’s Sign( Nyeri regio
kanan bawah) = (+)
-nyeri lepas / blumberg’s sign
= (+)
TD : 126/87 mmhg
N : 102 x/menit
RR : 18x/menit

2. DS: Ansietas (D.0080) Rencana Tindakan


- Pasien mengatakan cemas
dan baru pertama kalai
menjalani operasi
Kurang terpapar

DO: informasi
-Skala HARS: 3 (Keseriusan tidak
berfokus)
-Mengungkapkan kecemasan
-Menanyakan tentang anestesi Respon pasien

yang akan dijalani menjadi cemas

-TD : 125/89, N: 106x, RR:


18x, Spo2: 100%,

INTRA OPERASI
No. Analisa Data Masalah Etiologi
1 DS : Bersihan jalan tidak efektif Pengaruh sedasi
-Pasien terpapar agen anestesi (D0001)
selama operasi dengan Skala Sistem saraf
RASS: -4 (Sedasi Dalam) otonom/reseptor
-Pasien dalam pengaruh anestesi spesifikasi kelenjar
(midazolam 1mg ,Fentanyl
saliva
100mcg, Propofol 80mg, Roculax
30mg, Agen Sevofluran 2Vol %).
Produksi saliva
meningkat
DO : pasien terpasang ETT no
7, terpasang OPA no 4,
terpasang NGT
-KU sedang, kes DPO
- RASS (Richmond Agitation –
Sedation Scale) Scor : - 4 (Sedasi
Dalam, tidak berespon pada
pemberian stimulasi yang
diberikan)
-TD : 96/59 mmhg
-N : 110x/menit
-RR :12x/menit
-Spo2 : 100%
Pergerakan dinding dada
simetris
TV : 500
RR : 13
PEEP : 3
I : E = 1:2
Etco2 : 32
Terapi :
- midazolam 1mg
- fentanyl 100 mcg
- recofol 70 mg
- roculax 30 mg
- lignovel 40 mg
IVFD asering 20 tpm
Inhalasi : sevoflurane 2vol%
N2O : O2 = 0,4 lt : 0,4 lt

2. DS : Risiko Jatuh (D.0143) Agen Farmakologi


-Pasien dalam pengaruh anestesi
(midazolam 1mg ,Fentanyl
100mcg, Propofol 80mg, Roculax
30mg, Agen Sevofluran 2Vol %) Penurunan Respon
-Pasien terpapar agen anestesi Motorik
selama operasi dengan Skala
RASS: -4 (Sedasi Dalam)

DO :
-Posisi Operasi Head down Risiko Jatuh
- Pasien terpapar agen Anestesi :
- midazolam 1mg
- fentanyl 100 mcg
- recofol 70 mg
- roculax 30 mg
- lignovel 40 mg

-KU sedang, kes DPO


- RASS (Richmond Agitation –
Sedation Scale) Scor : - 4 (Sedasi
Dalam, tidak berespon pada
pemberian stimulasi yang
diberikan)

-TD : 96/59 mmhg


-N : 110x/menit
-RR :12x/menit
-Spo2 : 100%
-Pergerakan dinding dada
simetris
-TV : 500
-RR : 13
-PEEP : 3
-I : E = 1:2
-Etco2 : 32

POST OPERASI

No. Analisa Data Masalah Etiologi


1. DS : Nyeri akut (D0077) Post operasi
-pasien mengatakan nyeri pada
bagian luka operasi Pembedahan
-P : nyeri saat bergerak laparascopy
-Q : nyeri seperti tersayat
-R : perut kanan bawah Luka insisi

-S : skala nyeri 4
-T : nyeri terus menerus
Nyeri akut

DO :
-pasien tampak meringis, ku
sedang , kes CM , akral hangat
-TD : 122/87 mmHg
-N : 103x/menit
-S : 37,Spo2 : 100%.
2. DS: Hipotermia (D.0131) Terpapar lingkungan
-Pasien mengatakan dingin
kedinginan

DO: Penurunan laju


-Pasien Post operasi terpapar metabolisme
lingkungasn operasi sekitar
1jam 30 menit dengan suhu
ruangan 18 derajat Kehilangan panas

- Akral teraba dingin tubuh

- Pasien menunjukan gejala


sifering.
-Suhu tubuh : 36,4 derajat,
Hipotermia

Mekanime tubuh
untuk meningkatkan
dengan menggigil

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Pre Operasi:
1. Nyeri akut Berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)
2. Ansietas Berhubungan dengan Kurang terpapar informasi (D.0080)
Intra Operasi:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Berhubungan dengan efek agen farmakologi
(D.0001)
2. Risiko Jatuh Berhubungan dengan Agen Farmakologi Anestesi umum (D.0143)
Post Operasi:
1. Nyeri akut Berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077)
2. Hipotermia Berhubungan dengan Terpapar Lingkungan Dingin (D.0131)
PRA ANESTESI

TANGGAL / DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


JAM
Kamis, 1. Nyeri akut bd agen (L.08063 Kontrol Nyeri) (I.08238 = management nyeri)
20/10/2022 pencedera fisiologis
Jam: 16:00 (D.0077) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
selama 1 x 30 menit diharapkan tingkat 1.1.1 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, dan
nyeri cukup menurun dengan kriteria insensitas nyeri
hasil:
1.1.2 Identifikasi skala nyeri
1. Perilaku gelisah cukup menurun
(4)
Terapeutik
2. Tekanan darah cukup membaik
1.1.3 Fasilitasi istirahat tidur
(4)
1.1.4 Kontrol lingkungan yang mempengaruhi nyeri (suhu,
3. Meringis cukup menurun (4)
kebisingan, pencahayaan)
1.1.5 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
nyeri dengan tehnik nafas dalam
1.1.6 Ajarkan tehnik distraksi dengan berdoa
1.1.7 Lakukan kompres hangat
Edukasi
1.1.8 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
1.1.9 Ajarkan untuk memonitiring nyeri secara mandiri

Kolaborasi
1.1.10 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik

Kamis, 2. Ansietas Tingkat Ansietas (L.09093) Reduksi Ansietas (I.09314)


20/10/2022 Berhubungan dengan
Jam: 16:00 Kurang terpapar Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
informasi (D.0080) selama 1 x 30 menit diharapkan tingkat 1.1.1 Identifikasi tingkat ansietas
ansietas cukup menurun dengan kriteria 1.1.2 Monitoring tanda-tanda ansietas
hasil:
Terapeutik

1. Verbalisasi kebingungan:
1.1.3 Ciptakan suasana terapeutik yang menenagkan dan
cukup menurun (4)
hangat
2. Verbalisasi khawatir: Cukup
1.1.4 Temani pasien untuk mengurani kecemasan
menurun (4)
1.1.5 Latih kegiatan untuk mengurang kecemasan dengan
3. Perilaku gelisah: Menurun (5)
berdoa
Edukasi
1.1.6 Ajarkan tehnik nafas dalam
1.1.7 Jelaskan tentang prosedur tindakan secara sederhana
dan menenangkan
1.1.8 Jelaskan tindakan anestesi secara sederhana dan
menenagkan

Kolaborasi
1.1.9 Kolaborasi pemberian anti ansietas agen (Midazolam)
TANGGAL / JAM DIAGNOSA IMPLEMENTASI EVALUASI
SOAP
Kamis, 20/10/2022 1. Nyeri akut bd (Jam 16:00) S=
Jam 16:00 agen pencedera 1.1.1 Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, pasien mengatakan nyeri perut kanan
fisiologis frekuensi, dan insensitas nyeri bawah berkurang
(D0077) - Respon: Pasien mengatakan nyeri P : nyeri saat bergerak
diperut kanan bawah sejak kemaren dan Q : nyeri seperti tertusuk
dirasakan menetap, nyeri menjalar dari R : perut kanan bawah
hipogastrik kanan ke pinggang belakang, S : skala nyeri 3
nyeri saat beraktifitas, buang air kecil
T : nyeri terus menerus
dan besar dan saat manuver abdomen,
skala nyeri diangka 4-6, membaik saat
beristirahat O=
(16:03) KU: sedang, kes: cm, akral: hangat,
1.1.2 Mengidentifikasi skala nyeri pasien tampak memegang area perut
- Respon: Mengatakan skala nyeri 5 yang sakit
(16:06) TD : 126/87 mmhg
1.1.3 memfasilitasi pasien untuk istirahat tidur N : 98x/menit
- Respon: Pasien mematuhinya RR : 16x/menit, Spo2 : 100 %
(16:07)
1.1.4 Melakukan kontrol lingkungan yang A : Masalah nyeri akut belum teratasi
mempengaruhi nyeri (suhu, kebisingan, P : Lanjutkan Intervensi: 1.1.1, 1.1.2,
pencahayaan) 1.1.3, 1.1.4, 1.1.5, 1.1.6, 1.1.7, 1.1.8.
- Respon: Pasien dipindahkan ke Dan menambahkan intervensi
tempat hangat, pencahayaan cukup keperawatan dengan kode:
dan bebas dari kebisingan (I.08247) Tehnik Distraksi
(16:10)
1.1.5 Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk Terapeutik
mengurangi nyeri dengan tehnik nafas dalam 1.1.9 Gunakan Tehnik Distraksi
- Respon: Pasien mau melakukan (berupa melihat gambar dan menonton
video melalui heand phone)
instruksi yang diberikan Edukasi
(16:18) 1.1.10 Anjurkan menggunakan tehnik
1.1.6 Mengajarkan tehnik distraksi dengan berdoa distraksi selama menunggu operasi
- Respon: Pasien mau melakukan 1.1.11 Jelaskan manfaat dalam tehnik
instruksi yang diberikan distraksi yang digunakan
(16:28) 1.1.12 Anjurkan tehnik distraksi
1.1.7 Menjelaskan penyebab, periode dan pemicu menarik nafas dalam sesara
nyeri berkelanjutan
- Pasien mengatakan memahami akukan penambahan intervensi
proses terjadinya nyeri keperawatan
Edukasi rencana tindakan operasi

(16:30) I=
1.1.8 Mengajarkan untuk memonitiring nyeri - Beri motivasi dan tehnik nafas
secara mandiri dalam
- Tingkatkan pencegahan nyeri
- Respon: pasien mengerti dan akan dengan meningkatkan tindakan
melakukanya terapeutik keperawatan
- Monitorng terapi analgetik dan
(16:29) pemberian narkotik selama
1.1.9 Berkolaborasi dengan dokter untuk pemantauan
pemberian analgetik
-Respon: Nyeri berkurang, skala 3 E=
- Nyeri masih dirasakan dengan
skala nyeri 3

R=
- Lakukan penilaian ulang nyeri
- Lakukan serah terima dengan
perawat lain
Kamis, 20/10/2022 2. Ansietas (16:02)
Jam 16:00 Berhubungan 1.1.1 Mengidentifikasi tingkat ansietas S=
dengan Kurang - Respon: mengatakan cemas - Pasien mengatakan cemas
terpapar (16:07) berkurang
informasi 1.1.2 Memonitoring tanda-tanda ansietas
(D.0080) - Respon: mengatakan cemas karena O=

akan dibius dan menjalani operasi - Menunjukan kecemasan berkurang


2.
(16:08) dengan tanda kegelisahan

1.1.3 Menciptakan suasana terapeutik yang berkurang


- Pasien berprilaku tenang
menenagkan dan hangat - Skala HARS: 1
- Respon: Pasien menerima kehadiran - TD: 120/70, N:90x, Spo2: 100%,
perawat dan cukup merasa tenang RR: 19x
(16:10)
1.1.4 Menemani pasien untuk mengurani A=
kecemasan Masalah keperawatan Ansietas pasien
- Respon: pasien cukup tenang teratasi
(16:13)
1.1.5 Melatih kegiatan untuk mengurang P=

kecemasan dengan berdoa Hentikan intervensi

- Respon: Pasien mengikuti dan


mengatakan cemas berkurang
(16:015)
1.1.6 Mengajarkan tehnik nafas dalam
- Respon: Pasien mengikuti dan
mengatakan cemas berkurang

(16:20)
1.1.7 Menjelaskan tentang prosedur tindakan
secara sederhana dan menenangkan
- Respon: Pasien memahami
penjelasan dan mengatakan cemas
berkurang. Dapat menjelaskan
kembali secara sederhana

(16:22)
1.1.8 Menjelaskan tindakan anestesi secara
sederhana dan menenagkan
- Respon: Pasien memahami
penjelasan dan mengatakan cemas
berkurang. Dapat menjelaskan
kembali secara sederhana

(16:27)
1.1.9 Berkolaborasi pemberian anti ansietas agen
(Midazolam)
- Respon: pasien tenang
INTRA ANESTESI

TANGGAL / DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


JAM
Kamis, 1.Bersihan jalan napas (L.01001) Bersihan Jalan Nafas (I.01012) Management jalan nafas buatan
20/10/2022 tidak efektif bd efek agen Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
(16:30-18:15) farmakologi (D0001) selama 1 x 60 menit diharapkan bersihan 1.1.1. Monitor pola nafas pasien (frekuensi, usaha nafas dan
jalan nafas meningkat dengan kriteria kedalaman)
hasil:
1.1.2. Monitor bunyi nafas tambahan (gurgling, mengi, ronkhi,
1. Dispnea: Berkurang (5)
wheezing dan snoring)
2. Sianosis: Berkurang (5)
1.1.3. Monitor sputum / sekret (jumlah, warna dan aroma)
3. Gelisah: Berkurang (5)
Terapeutik
4. Mengi: Berkurang (5)
1.1.4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
5. Wheezing: Berkurang (5)
1.1.5. Lakukan penghisapan lendir kurang darii 15 detik
1.1.6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisalan
endotrakeal
Kolaborasi
1.1.7. Kolaborasi pemberian obat jika perlujika perlu
Kamis, 2.Risiko Jatuh Tingkat Jatuh (L.141138) Pencegahan Jatuh (I.14540)
20/10/2022 Berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
(16:30-18:15 Agen Farmakologi selama 1 x 60 menit diharapkan bersihan 1.1.1 Identifikasi Faktor risiko jatuh
Anestesi umum (D.0143) jalan nafas meningkat dengan kriteria 1.1.2 Identifikasi lingkungan
hasil:
1. Jatuh dari tempat tidur: Tidak Terapeutik
terjadi (5) 1.1.3 Pastikan tempat tidur terkunci
2. Jatuh saat dipindahkan: Tidak 1.1.4 Temani pasien
terjadi (5) 1.1.5 Minta bantuan saat memindahkan pasien
3. Pemeliharaan Lingkungan: 1.1.6 Lakukan pemasangan sabuk pengaman saat operasi berjalan
Meningkat (5)
TANGGAL / DIAGNOSA IMPLEMENTASI EVALUASI
JAM SOAP
Kamis, 1.Bersihan jalan napas (Jam 16:31) S=
20/10/2022 tidak efektif bd efek 1.1.1 Memonitor pola nafas pasien (frekuensi, usaha nafas dan Pasien terpapar agen anestesi selama operasi dengan
Jam (16:30- agen farmakologi kedalaman) Skala RASS: -4 (Sedasi Dalam)
(D0001) - Respon: Laju nafas 12x dengan ventilator
18:15)
anestesi O=
(16:35) ku under sedasi Skala RASS: -4, pasien terpasang
1.1.2 Memonitor bunyi nafas tambahan (gurgling, mengi, ronkhi, ETT no 7 jenis kingking , terpasang OPA no 4,
wheezing dan snoring) terpasang NGT, ronchi (-), wheezing (-)
- Respon: Tidak didapati bunyi nafas
tambahan TV : 400 – 500 ml
(16:40-17:30) RR : 12- 15x
1.1.3 Memonitor sputum / sekret (jumlah, warna dan aroma) PEEP : 3mmHg
- Respon: tidak didapati produksi sputum I : E = 1:2
(16:30-18:00) Etco2 : 30mmHg
1.1.4 Mempertahankan kepatenan jalan nafas Terapi maintance:
- Respon: Jalan nafas paten, menggunakan - roculax 10 mg
ETT no.7, Cuff:10cc, Tidal Volume: - propofol 30 mg
500ml, Spo2: 100%, Tidak ada tanda -Fentanyl 25 mcg
sianosis, TD: 100/70, Laju Nadi: 70x IVFD asering 20 tpm
(18:00) Inhalasi maintanace : sevoflurane 2vol%
1.1.5 Melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik N2O : O2 = 0,4 : 0,4
- Respon: jalan nafas paten
(17:45) A=
1.1.6 Melakukan hiperoksigenasi sebelum penghisalan Masalah keperawatan bersihan jalan nafas teratasi
endotrakeal
- Respon: ETCo2: 35, Tidal volum:400ml, P=
RR:25x manual, tidak ditemukan kebiruan Hentikan intervensi
diwajah/leher, Spo2: 100%
1.1.7 Berkolaborasi pemberian obat Cortidek 5mg
- Respon: pasien stabil
Kamis, 2.Risiko Jatuh (Jam 16:30)
20/10/2022 Berhubungan dengan 1.1.1 Mengidentifikasi Faktor risiko jatuh S=
Jam (16:30- Agen Farmakologi - Respon: Lingkungan aman, bed terkunci Pasien terpapar agen anestesi selama operasi dengan
18:15) Anestesi umum dengan baik, posisi pasien saat operasi Head Skala RASS: -4 (Sedasi Dalam)
(D.0143) Down
(16:33) O=
1.1.2 Mengidentifikasi lingkungan - pasien aman, tempat tidur terkunci, sabuk
- Respon: Lingkungan aman, bed terkunci pengaman terpasang selama operasi
dengan baik, posisi pasien saat operasi Head
Down A=
(16:33) Masalah keperawatan risiko jatuh teratasi
1.1.3 Memastikan tempat tidur terkunci
- Respon: Tempat tidur terkunci baik P=
(16:30- 18:30) Hentikan intervensi
1.1.4 Menemani pasien
- Respon: selama operasi perawat bergantian
menemani pasien selama operasi
(18:10)
1.1.5 Meminta bantuan saat memindahkan pasien
- Respon: pasien aman selama dipindahkan
(16:30)
1.1.6 Melakukan pemasangan sabuk pengaman saat operasi
berjalan
- Respon: pasien aman, tempat tidur
terkunci, sabuk pengaman terpasang
selama operasi
POST ANESTESI

TANGGAL / DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


JAM
Kamis, 1.Nyeri akut bd agen 1.1 L.08063 Kontrol Nyeri (I.08238 = management nyeri)
20/10/2022 pencedera fisik (D0077)

(jam 18:20 – Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


20:00) selama 1 x 30 menit diharapkan tingkat 1.1.1 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, dan
nyeri cukup menurun dengan kriteria insensitas nyeri
hasil:
1.1.2 Identifikasi skala nyeri
1. Perilaku gelisah: Menurun (5)
2. Tekanan darah: Membaik (5)
Terapeutik
3. Meringis: Menurun (5)
1.1.3 Fasilitasi istirahat tidur
1.1.4 Kontrol lingkungan yang mempengaruhi nyeri (suhu,
kebisingan, pencahayaan)
1.1.5 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
dengan tehnik nafas dalam
1.1.6 Ajarkan tehnik distraksi dengan berdoa
1.1.7 Lakukan kompres hangat
Edukasi
1.1.8 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
1.1.9 Ajarkan untuk memonitiring nyeri secara mandiri

Kolaborasi
1.1.10 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik

Kamis, 2. Hipotermia 1.2 Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipotermia (I.14507)


20/10/2022 Berhubungan Dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
(jam 18:20 – Terpapar Lingkungan selama 1 x 60 menit diharapkan tingkat 1.1.1 Monitiring suhu tubuh pasien
20:00) Suhu Rendah nyeri cukup menurun dengan kriteria 1.1.2 Identifikasi penyebab hipotermia
hasil:
(D.0131) 1.1.3 Monitoring tanda gejala hipotermia
1. Menggigil: Menurun (5)
2. Kulit Kemerahan: Menurun (5) Terapeutik
3. Kejang: Menurun (5) 1.1.4 Sediakan lingkungan hangat
4. Takikardi: Menurun (5) 1.1.5 Ganti selimut dan pakaian pasien yang terkena cairan
5. Dasar kuku Sianosis: Menurun (5) 1.1.6 Lakukan penghangatan pasif (berikan selimut)
1.1.7 Lakukan penghangantan aktif (selimut hangat, blanked warmer,
Blower)
Edukasi
1.1.8 Anjurkan minum hangat
Kolaborasi
1.1.9 Kolaborasi pemberian obat (petidin: memperoduksi prostaglandin
dengan edek Warm)

TANGGAL / DIAGNOSA IMPLEMENTASI SOAP


JAM
Kamis, 1.Nyeri akut bd agen (Jam 18:20) S=
20/10/2022 pencedera fisik 1.1.1 Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, dan -Pasien mengatakan nyeri luka bekas operasi
(jam 18:20 – (D0077) insensitas nyeri berkurang
20:00) -Respon: Pasien mengatakan nyeri diperut kanan bawah sejak
kemaren dan dirasakan menetap, nyeri menjalar dari hipogastrik P: Nyeri saat bergerak berkurang
kanan ke pinggang belakang, nyeri saat beraktifitas, buang air Q : nyeri seperti tersayat
kecil dan besar dan saat manuver abdomen, skala nyeri diangka 4- R : nyeri di abdoemn
6, membaik saat beristirahat
S : skala nyeri 2
(18:23)
T : berkurang
1.1.2 Mengidentifikasi skala nyeri
-Respon: Mengatakan skala nyeri 2 O=
(18:26) -ku lemah, kesadaran composmentis, GCS 15
1.1.3 Memfasilitasi pasien untuk istirahat tidur -TD : 122/87 mmhg
-Respon: Pasien mematuhinya -N : 103x/menit
(18:37) -S : 37
1.1.4 Melakukan kontrol lingkungan yang mempengaruhi nyeri -Spo2 : 100% dg nasal kanul 3lpm
(suhu, kebisingan, pencahayaan) Post operasi, luka sayatan
-Respon: Pasien dipindahkan ke tempat hangat,
pencahayaan cukup dan bebas dari kebisingan A=
(18:30) Masalah keperawatan Nyeri akut teratasi
1.1.5 Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
nyeri dengan tehnik nafas dalam P=
-Respon: Pasien mau melakukan instruksi yang diberikan Hentikan intervensi
(18:35)
1.1.6 Mengajarkan tehnik distraksi dengan berdoa
- Respon: Pasien mau melakukan instruksi yang diberikan
(18:38)
1.1.7 Menjelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
-Pasien mengatakan memahami proses terjadinya nyeri
(18:40)
1.1.8 Mengajarkan untuk memonitiring nyeri secara mandiri
-Respon: pasien mengerti dan akan melakukanya

(18:40)
1.1.9 Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
-Respon: Nyeri berkurang, skala 2
Kamis, 2. Hipotermia (jam 18:30) S=
20/10/2022 Berhubungan 1.1.1 Memonitiring suhu tubuh pasien Mengatakan Menggigil berkurang
(jam 18:20 – Dengan - Respon: termoregulasi: 36,4 O=
20:00) Terpapar (18:33) -Termoregulasi: 37 derajat
Lingkungan 1.1.2 Mengidentifikasi penyebab hipotermia -Dasar kuku tidak sianosis
Suhu Rendah - Respon: Penyebab karenan lingkungan dingin dan agen -Akral hangat
(D.0131) volatil gas anestesi -Gerakan menggigil tidak ada
(18:34)
1.1.3 Memonitoring tanda gejala hipotermia A=
- Respon: pasien menggigil Masalah keperawatan Hipotermia Teratasi
(18:25)
1.1.4 Menyediakan lingkungan hangat P=

- Respon: Suhu ruangan 26 derajat Hentikan intervensi.

(18:30)
1.1.5 Mengganti selimut dan pakaian pasien yang terkena cairan
- Respon: Baju sudah diganti dan tidak basah
(18:30)
1.1.6 Melakukan penghangatan pasif (berikan selimut)
- Respon: Menggigil pasien mulai berkurang
(18:32)
1.1.7 Melakukan penghangantan aktif (selimut hangat, blanked
warmer, Blower)
- Respon: Menggigil pasien mulai berkurang
(18:40)
1.1.8 Menganjurkan minum hangat
- Respon: pasien memahami instruksi.
BAB IV
SIMPULAN

Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan


membutuhkan Operasi pada anak-anak dan orang dewasa di bawah umur
50 tahun, Penyebab tersering timbulnya apendisitis adalah infeksi (lebih
sering pada anak-anak dan dewasa muda), serta adanya fecalith (lebih
sering pada usia tua). Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis, dapat ditemukan gejala nyeri abdomen, mual, muntah,
anorexia, serta demam subfebris. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah. Di samping itu dapat
ditemukan tanda rebound phenomenon, rovsing sign, tenhorn sign, psoas
sign, serta obturator sign. Pada pemeriksaan penunjang, dapat ditemukan
Icukositosis pada hasil darah lengkap, C-reactive protein > 1 mg/dL, piuria
ringan pada hasil urinalisis, serta adanya pembesaran appendiks dengan
diameternya 7-9 mm pada hasil USG.

Tatalaksana anestesi perioperatif pada kasus apendisitis, meliputi


evaluasi pre-operatif (anamncsis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang), pemberian obat pre-medikasi, pemilihan teknik anestesi
(anestesi regional blok subarachnoid atau general anesthesia), serta durante
operasi dan monitoring (meliputi monitoring tanda- tanda vital, cairan,
serta pendarahan). Manajemen anestesi pasca operasi meliputi evaluasi
post operatif (review dari rekam medis, anamnesis terakhir terkait keluhan
subjektif post operasi pada pasien, pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
serta pemeriksaan penunjang) dan monitoring (kesadaran, respirasi,
sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas
motorik, sulvu tubuh, serta nyeri).
DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Aitkenhead’s. Smith&Aitkenhead’s Textbook of


Anesthsia Churchill Livingstone. 2013.

Isfandyarie, Anny. Malpraktek dan Resiko Medik dalam


Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,
2005

Anda mungkin juga menyukai