C DENGAN APENDISITIS
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam
makalah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap
semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
Kelompok :2
Jakarta, 02/11/2022
Menyetujui,
Dokter Anastesi Pembimbing
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Pada bagian ini, penulis mengambil kasus pada pasien Ny. C dengan
diagnosa medis Apendisitis akut yang akan dilakukan tindakan
Apentiktomi menggunakan tehnik Laparoskopi di ruang operasi Rumah
Sakit Umum Bunda Jakarta.
C. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan anestesi ini adalah
untuk mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan anestesi mulai dari pre operasi, intra operasi dan post
operasi pada pasien yang dilakukan Apendiktomi dengan Laparoskopi
menggunakan tehnik General Anestesi.
D. Tujuan Khusus
1. Memberikan gambaran mengenai pengkajian asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien Apendisitis dengan General Anestesi.
2. Memberikan gambaran mengenai diagnosa keperawatan yang timbul
pada asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Apendisitis
dengan General Anestesi.
3. Memberikan gambaran mengenai perencanaan keperawatan pada
asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Apendisitis dengan
General Anestesi.
4. Memberikan gambaran mengenai implementasi keperawatan pada
asuhan keperawatan perioperatif pada Apendisitis dengan General
Anestesi.
5. Memberikan gambaran mengenai evaluasi keperawatan pada asuhan
keperawatan perioperatif pada Apendisitis dengan General Anestesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Anestesi Umum
a. Pengertian
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata
Yunani yaitu “an” dan “esthesia”, berarti “hilangnya rasa atau
hilangnya sensasi.” Para ahli saraf memberikan makna pada
istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis pada
bagian tubuh tertentu (Morgan,2013).
Anestesi umum atau general anestesi merupakan
tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang dapat pulih kembali (reversible). Anestesi
umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke
jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Anestesi
umum disebut juga sebagai narkose atau bius (Mangku dan
Senapathi, 2010).
Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver
Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses “eterisasi Morton
(1846), menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu
pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal
anestesi, berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah
keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik
minimal) yang reversible akibat pemberian obat obatan.
Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular,
anestes pre-rektal adalah sub bagian dari anestesi umum
(Morgan,2018).
Anestesi umum bekerja pada target yang berbeda-beda,
misalnya reseptor, sebagai contoh aminobutyric acid (GABA)
tipe A, dan glutamate receptors (misalnya N-methyl-D-
aspartate receptors) pada otak (Marhor, 2007).
Menurut Johanna 2010, sebagian besar anestesi bekerja
dengan meningkatkan neurotransmitter inhibisi gamma-
aminobutyric acid (GABA) atau menurunkan eksitasi reseptor
N-methyl-D -aspartat (NMDA).
1) Gamma-amino butyric acid, (GABA)
GABA adalah neurotransmitter inhibisi utama dalam
system saraf pusat mamalia. efek inhibisi cepat dimediasi
terutama melalui reseptor inotropik GABAA. anestesi
umum, barbiturat, propofol, etomidate, enfluran,
isoflurane, sevoflurane, dan desflurane adalah GABA agen
agonistik. Pada konsentrasi klinis efektif, anestesi ini
meningkatkan sensitivitas reseptor GABA,
memperpanjang efek inhibisi postsinap setelah pelepasan
GABA, dan meningkatkan inhibisi rangsangan saraf
postsinap.
Tetapi efek penghambatan beberapa agen GABAnergic
tidak berlaku untuk semua keadaan, seperti yang
ditunjukkan oleh efek prokonvulsi dari enfluran dan
anestesi sevoflurane. Pada anestesi dalam, kombinasi
hiperventilasi dan hipokapnia, telah dilaporkan memicu
terjadinya kejang dengan enflurane dan sevoflurane.
2) N-methyl-D-aspartate, (NMDA)
Neurotransmitter eksitasi utama dalam sistem saraf
pusat adalah glutamat, yang menghasilkan eksitasi
neuronal melalui reseptor glutamat yaitu reseptor NMDA.
Penghambatan reseptor NMDA penting untuk efek
anestesi contohnya ketamin, xenon, dan nitrous oxide
N2O (Evers Et.All , 2009).
Monitoring kedalaman anestesi berdasarkan EEG
menunjukkan hasil yang baik dengan agonis GABA, tetapi
tidak dengan obat anestesi yang bekerja pada reseptor
NMDA (Maksimow et.All , 2006).
Selain bekerja pada reseptor GABA tipe A dan
NMDA, anestesi umum juga bekerja pada reseptor
nicotinic acetylcholine, serta glycine receptors pada korda
spinalis. Perbedaan yang jelas harus dibuat antara cara
kerja dan mekanisme dari anestesi umum. Cara kerja dari
anestesi umum pada reseptor otak telah diketahui dengan
baik, namun proses dari bagaimana cara kerja ini berubah
menjadi anestesi umum (misalnya mekanisme dari anestesi
umum) masih belum dapat dimengerti (Mashour, 2006).
d) Closed method
Cara ini hampir sama dengan semi closed,
hanya udara ekspansi dialirkan melalui absorben
(soda lime) yang dapat mengikat karbondioksida,
sehingga udara yang mengandung zat anestetik dapat
digunakan lagi.
1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada
ekspirasi (tidak ada suara napas) paling sering dialami
pada pasien pasca anestesi umum yang belum sadar karena
lidah jatuh menutup faring atau edema laring. Penyebab
lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien
menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda
asing, darah atau sekret.
Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis
(hiperkapnea, hiperkarbia) atau saturasi O2 yang menurun
(hipoksemia) yang disebabkan pernapasan pasien yang
lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernapasan lambat
dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dan
dangkal karena pelumpuh otot yang masih bekerja.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis,
hipertensi, takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi
dan henti jantung.
2) Gangguan kardiovaskular
Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai
pada pasien dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan
hipotensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh nyeri akibat
pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan,
atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia,
atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark
miokard, disritmia, edema paru, atau perdarahan otak.
Hipotensi disebabkan akibat aliran isian balik vena
(venous return) menurun yang disebabkan perdarahan,
terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi
miokardium kurang kuat, atau tahanan vaskular perifer
menurun. Hipotensi harus segera ditangani agar tidak
terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan
hipoksemia dan kerusakan jaringan.
3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80%
pasien yang menjalani pembedahan dan anestesi. Beberapa
pasien lebih memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan
mual dan muntah pasca bedah (Gwinnutt, 2011). Mual dan
muntah pasca bedah merupakan efek samping yang umum
terjadi setelah sedasi dan anestesi umum. Insidensinya
paling tinggi dengan anestesi berbasis narkotika dan
dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee,
2017).
a) Mekanisme terjadinya mual
Hemoreceptor trigger zone (CRTZ) terletak di
ujung ekor ventrikel keempat di area postrema, dan
nucleus tractus solitarius (NTS), yang terletak di area
postrema dan pons bawah. CRTZ menerima masukan
dari aferen vagal dalam saluran pencernaan dari hasil
sel-sel enterochromaffin di lambung dan usus yang
melepaskan serotonin, berikatan dengan reseptor 5-
hydroxytryptamine tipe 3 (5-HT3). Selain menerima
input vagal, area postrema dapat mendeteksi racun
emetogenik, metabolit, dan obat-obatan yang beredar
dalam darah dan cairan serebrospinal karena tidak
memiliki penghalang darah-otak. CRTZ mem-
proyeksikan neuron ke NTS, yang menerima input dari
aferen vagal dan dari sistem vestibular dan limbik.
NTS memicu muntah dengan menstimulasi nukleus
rostral, nukleus ambigu, grup pernapasan ventral, dan
nukleus motorik dorsal vagus. Oleh karena itu, area
postrema memiliki peran penting dalam mekanisme
sentral muntah (Pierre dan Whelan, 2017 dan
Diemunsch, Joshi, dan Brichant, 2009).
4) Menggigil
Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien
pascaanestesi umum pada sistem termoregulasi. Hal
tersebut terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi dapat terjadi akibat suhu ruang operasi yang
dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi dingin,
bedah abdomen luas dan lama.
2. Induksi Anestesi
Induksi anestesi umumnya dilakukan intravena. Dalam kondisi
akses intravena belum terpasang, induksi dapat dilakukan dengan
agen inhalasi. Sevofluran dapat ditoleransi sebagai agen anestesi
untuk induksi inhalasi pada anak maupun orang dewasa. Selain
obat induksi, sebagian besar pasien mendapat opioid, yang bekerja
sinergis untuk mencapai derajat anestesi yang diinginkan. Opioid
mengurangi respons simpatis terhadap rangsang nyeri akibat
intubasi atau insisi kulit.
Selanjutnya dari proses induksi adalah mengamankan jalan
napas. Berbagai cara dapat dilakukan, seperti triple airway
maneuver sampai penggunaan supraglotic device (misalnya
laryngeal mask) dan intubasi endotrakeal.
C. Anatomi Apendiks
Apendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis,
serta berisi massa cairan limfoid, Apendiks berasal dari aspek
posteromedial caccum di sebelah inferior atau iliocaecal. Apendiks
memiliki mesenterium triangular yang pendek (mesoappendiks) yang
berasal dari sisi posterior ileum terminalis. Mesoappendiks menempel
pada caecum dan bagian proximal appendiks, Posisi appendiks lebih
sering ditemukan retrocneca.
Apendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah
flexura colica dextra dalam keadaan bebas. Dasar apendiks terletak di
sebelah dalam titik yang menghubungkan spina iliaca anterior
superior (SIAS) dextra dengan umbilicus (titik McBurney).
Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendicularis yang
merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri ini berjalan di antara
lapisan mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari
caccum dan appendiks untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh
linfatik appendiks berjalan ke nodi lymphatici profunda
mesoappendiks dan ke nodi Iympathici ileocolici yang terletak di
sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari
saraf simpatis dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior di
mana serabut saraf simpatisnya berasal dari bagian thoracal bawah
pada medulla spinalis, sedangkan serabut saraf parasimpatisnya
berasal dari nervus vagus.
3. Penanganan Apendisitis
Apabila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan
standar untuk apendisitis adalah operasi. Tindakan operasi
tersebut dikenal sebangai apendiktomi. Pada kondisi dini,
pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian
tingkat kekambuhannya mencapai 35%. Setelah dilakukan
pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 — 10 hari.
1. Evaluasi Perioperatif
Fase perioperatif dimulai saat keputusan untuk melakukan
pembedahan dibuat dan berakhir ketika klien atau pasien
dipindahkan ke meja operasi. Tindakan operasi pada appendisitis
baik pada orang dewasa maupun anak-anak, sangat penting
dilakukan persiapan preoperatif. Tujuan dilakukannya evaluasi ini
adalah memperkirakan keadaan fisik dan psikis dari pasien,
menghindari kejadian salah identitas serta salah operasi,
mengetahui adanya kelainan yang berhubungan dengan anestesi
sebelumnya. Evaluasi meliputi :
3) Pemeriksaan Hemostasis
Pada pemerisaan faal hemostasis untuk menilai
fungsi pembekuan darah, mencegah kehilangan darah
secara masif pada proses perdarahan. Didalamnya
hemostasis terdapat faktor pembekuan sebagai fungsi
utama penghentian perdarahan. Diantara pengkajian dan
faktor-faktor koagulasi :
a) Anamnesis riwayat penyakit dan keluarga tentang
ada tidaknya perdarahan sukar membeku
b) Tes menilai pembentukan trombin terdiri
- PT (Prothrombin Time)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya
kelainan perdarahan dan untuk menilai
pengobatan yang dilakukan untuk mencegah
perdarahan
- aPTT (Activated Partial Thromboplastin Test)
Uji lama waktu pembekuan darah di alur dasar
(intrinsic pathway). Uji aPTT biasanya dipanel
dengan uji PT untuk mengetahui adanya
kelainan perdarahan dan kemungkinan
perdarahan yang banyak saat tindakan
pembedahan
- INR
INR dipakai untuk memantau efek antikoagulan
oral pada penderita, dipakai untuk mengetahui
apakah dosis obat antikoagulan oral yang
dipakai telah optimal atau belum
6) Alvarado Skor
Untuk membantu diagnosis apendisitis akut, Alvarado
(1986) mempublikasikan sistem skoring yang saat ini
digunakan secara luas di seluruh dunia. Dalam skoring ini,
terdapat delapan parameter yang digunakan. Interpretasi
dari skor Alvarado yaitu : pasien dengan skor ≥7 berisiko
tinggi mengalami apendisitis akut, sedangkan pasien
dengan skor dibawah 7 risiko rendah
Kriteria Nilai
Migrasi nyeri ke regio kanan bawah 1
Anoreksia 1
Mual-Muntah 1
Nyeri dalam tekan Mc Burny 2
Rebound Tenderness 1
Demam (≥ 37,3o C) 1
Leukositosis (> 10.000 2
Shift to Left (> 75 %) 1
Interpretasi:
< 5 = bukan apendisitis
5-6 = kemungkinan rendah apendisitis
7-8 = kemungkinan apendisitis
9-10= Pasti apendisitis
a) L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh
bagian wajah. Apakah ada hal- hal yang dapat
menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun
intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar,
protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil
b) E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang
menemukan jarak thyromental Langkah ini
merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran
mandibula terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm,
namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit
untuk dilakukan intubasi. Pasien normal bisa
membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi
seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3
jari pasien antara ujung mentum, tulang hioid dan 2
jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan
3-3- 2:
- Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses
oral
- Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang
mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat
dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.
- Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak
laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila lebih dari
2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah,
sehingga mungkin menyulitkan dalam hal
visualisasi glottis.
c) M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati
adalah sistem skor medis yang digunakan dibidang
anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan
bisa menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang
sedang menjalani proses pembedahan. Hasil
menentukan tingkat yg dibedakan dari I sampai IV.
Klasifikasi mallampati ditentukan oleh
pengamatan visual dari rongga mulut (Nuckton TJ,
2006). Klasifikasi Mallampati :
- Mallampati 1 : Palatumole, ufula, dinding posterial
urofaring, pilar tonsil
- Mallampati 2 : Palatumole, sebagian ufula, dinding
posterial ufula
- Mallampati 3 : Palatumole, dasar ufula
- Mallampati 4 : Palatudurum saja
d) O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus
selalu kita pertimbangkan sebagai akibat adanya
obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya
obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice),
adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau
obstruksi) dan adanya stridor
e) N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus
dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan
Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi leher
fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan
kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini
untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto -
oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu
garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai
normalnya adalah 35 derajat (Magboul M,2004)
Tahun 1984, Cormack dan Lehane membuat skala
yang menggambarkan derajat visualisasi laring pada
saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai
pada saat visualisasi laring yang paling baik, dengan
pasien berada dalam posisi sniffing yang optimal,
keadaan relaksasi otot yang baik, teknik laringoskopi
yang benar, dan bergantung pada keterampilan serta
kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.
(Klock,2007).
2.2 Gambar Mallampati pada laringoskopi (Klock,2007).
5. Premedikasi
Morgan 2013 menjelaskan, premedikasi adalah pemberian
obat selama 1-2 jam sebelum dilakukan induksi anestesi kepada
pasien dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan, serta bangun dari anesthesia. Di samping itu,
premedikasi juga bertujuan untuk meredakan kecemasan,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah,
membuat pasien menjadi hipnotik, serta mengurangi reflek yang
membahayakan. Pemberian premedikasi dapat diberikan secara
suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi anestesia),
atau suntikan intravena (5-10 menit sebelum induksi anestesia),
Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan
kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.
Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada
pasien dapat dijabarkan pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.2
Obat Premedikasi
No Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedative :
Diazepam 5 – 10 mg
Diphenhydramine 1 mg/kgBB
Promethazine 1 mg/kgBB
Midazolam 0,05 – 0,1 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanyl 1-2 µg/kgBB
3 Antikholinergik :
Sulfas Atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik :
Ondansentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
7. Posisi pembedahan
Posisi miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
general anesthesia dengan endotrakea untuk menjamin ventilasi
selama pembedahan. Akan tetapi, pada posisi demikian, dapat
juga digunakan pada anestesi regional.
PERSIAPAN ALAT?
OBAT?
MONITORING SETTING VENTI
PROSES BANGUN
Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut (Latief, 2007):
Persiapan Alat (STATICS):
a. Scope : Laringoscope, Stetoscope
b. Tubes : Endotrakheal Tube (ETT)
sesuai ukuran
c. Airway : Pipa orofaring / OPA atau
hidung-faring/NPA
d. Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
e. Introducer : Mandrin / Stylet, Magill
Forcep
f. Conector : Penyambung antara pipa dan
pipa dan peralatan anestesi.
g. Suction : Penghisap lendir siap pakai.
h. Bag dan masker oksigen (biasanya satu
paket dengan mesin anestesi yang siap
pakai, lengkap dengan sirkuit dan
sumber gas)
i. Sarung tangan steril
j. Xylocain jelly/ Spray 10%
k. Gunting plester
l. Spuit 20 cc untuk mengisi cuff 13)
Bantal kecil setinggi 12 cm 14)
m. Obat- obatan (premedikasi,
induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan
emergency).
Persiapan mesin anestesi :
a) Pastikan mesin ventilator telah terkoneksi dengan sumber tegangan listrik.
b) Pasang pipa corogated (pipa koneksi) pada saluran (outlet) yang ada pada listrik dngan
benar
c) Hidupkan tombol power (on) untuk melakukan setting dan untuk memastikan
mesin ventilator telah terkoneksi pada sumber tegangan listrik dengan benar.
d) Pastikan vaporizer isoflorance, sevoflurance sudah terisi
e) Cek flow meter O2 dan flow meter N2O pastikan dalam keadaan menutup sebelum
digunakan
f) Cek sambungan atau konektor O2 dan N2O dari central ke unit soft lander, pastikan
sudah terpasang dengan benar dan tepat
g) Lakukan pengecekan gauge pressure pada mesin anastesi kiri berlawanan dengan
jarum jam untuk membuka dan pastikan bobbin berputar dengan baik pada 4-5
liter per menit
h) Cek safety valve dengan membuka kran N2O berlawanan jam sampai 3-5 lpm.
Jika valve masih masih baik maka ketika kran dibuka level yang sama
i) Cek soda lime atau (absorber) maksimal ½ wadah masih belum berubah warna.
j) Cek Breathing Circuit dan Bag, evaluasi adanya kebocoran dengan cara menutup
ujung Breathing Circuit yang telah terpasang pada mesin anetesi kemudian tutup
APL Valve dan biarkan bag mengembang sedikit. Tekan bag beberapa kali dan
rasakan tekanan bag turun atau tetap bertambah. Jika tekanan turun maka dapat
dipastikan ada kebocoran dan jika tidak buka kembali ujung circuit.
k) Setting volume tidal, respirasi rate, waktu inspirasi dan ekspiasi, PEEP, presure max
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
l) Cek aliran udara yang keluar melalui ujung pipa koneksi
m) mesin telah siap digunakan
Persiapan
1) Pasien (pada umumnya diwakili oleh orang tua/wali)
a) Pemeriksaan pra bedah
b) Pemeriksaan penunjang
- penjelasan rencana, kondisi pasien, dan potensi penyulit tindakan
anestesi dan pembedahan , ijin persetujuan Tindakan anestesi, kondisi
penderita optimal untuk prosedur Tindakan, puasa, medikasi sesuai
kasusnya
c) Premedikasi pra anestesi sesuai usia dan kasusnya
d) Adanya sumber oksigen
2) Obat dan Alat:
a) Obat darurat: - Sulfas atropine 0.25 mg - Lidocaine 2% - Efedrin -
Adrenaline
b) Obat Premedikasi : medikasi pra anestesi dapat diberikan sesuai
kebutuhan, antara lain obat golongan sedatif-tranquilizer, analgetik opioid,
anti emetik, H-2 antagonis. Obat-obat penyakit co-morbid boleh diberikan
sebelum jadwal puasa yang harus dilakukan. jalur pemberian dapat diberikan
melalui oral, IV, IM, rektal, intranasal
c) Obat induksi: - Opioid (sesuai kebutuhan) - Propofol - Ketamine
d) Obat pelumpuh otot (bila perlu intubasi atau relaksasi)
e) Obat rumatan anestesi: - Obat anestesi inhalasi - Obat anestesi intravena -
Suplemen opioid
f) Obat pemulihan pelumpuh otot
g) Obat untuk mengurangi nyeri: - Parasetamol - NSAID - Opioid
h)Alat intubasi: - ETT nomor sesuai dengan perhitungan 2.5-3.5 disiapkan 1
nomor diatas dan dibawahnya. - Laringoskop sesuai ukuran, daun lurus. -
Oropharing sesuai usia
i) Mesin anestesi: - Sungkup muka sesuai umur - Sirkuit nafas: sistem circle
pediatri atau sistem Mapleson
j) Suction cath no sesuai dengan umur
k) NG tube no sesuai dengan umur
l) Transfusion set atau pediatric set
m) IV cath no disesuaikan dengan umur
n) Opsite infus
o) 3 way stop cock
p) Oropharing 1 buah
q) Sungkup muka
r) Set Suction 1 buah
s) Plester 1 buah
t) Oksigen
u)Spuit ukuran 10cc, 5cc, 3cc sesuai kebutuhan
v) Dianjurkan ada matras penghangat
w)Dianjurkan ada penghangat cairan infus
x) Selimut dan topi untuk mencegah hypothermia
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama Pasien : Nn.C
b. Tgl. Lahir/Umur : 08/07/1999 (23Tahun)
c. Agama : Katholik
d. Alamat : Jakarta
e. No. CM : 00-40-79-34
f. Diagnosa Medis : Appendisitis Akut
g. Jenis Tindakan : Laparaskopi appendictomy
h. Asal Pasien : IGD
i. Diagnosa Pra Anestesi : Nyeri Akut
j. Rencana Tindakan : General Anastesi (ETT)
k. Tanggal Tindakan : 20/10/2022, Jam: 16:00 WIB
a. Bebas : Ya
b. Alat Jalan Nafas ( jika ada ) : -
c. Protrusi Mandibula : Ya
d. Buka Mulut 3 jari : Ya
e. Jarak Menthyoid 3 jari : Ya
f. Jarak Hyothyroid 2 jari : Ya
g. Malampathy : I
h. Leher Pendek : Tidak
i. Gerak Leher : Bebas
j. Obesitas : Tidak
k. Massa : Tidak
l. Gigi Geligi : goyang ¿, gigi palsu ¿
m. Jalan Nafas Sulit : Tidak
n. Ventilasi Sulit : Tidak
C. RIWAYAT PSIKOSOSIAL/SPIRITUAL
1. Status Emosional : Bingung
2. Tingkat Kecemasan : Cemas
3. Skala Cemas : Keseriusan tidak berfokus
4. Skala Nyeri Menurut VAS (Visual Analog Scale)
1. Midozolam 1mg/ IV
2. Fentanyl 100 mcg/ IV
3. Recofol 70 mg/ IV
4. Roculax 30 mg/ IV
5. Lignovel 40 mg (Lidokain) / IV
INTRA OPERASI
2/3 jam = ¼ PP + M + SO
= 177 + 118 + 354
= 649 cc
= 767 cc
e. Total cairan masuk
Infus : 500 cc
Transfuse : 0 cc
f. Total cairan keluar
1) Urine : 250 cc
2) Perdarahan : 10 cc
F. POST OPERASI
1. Pasien pindah ke : Ruang Recover Room, Jam: 18.15 WIB
2. Keluhan saat di RR : Nyeri luka operasi dan Menggigil,
3. Keadaan Umum : Sedang
4. TTV :S: 36,3C, N: 103 x/mnt, RR: 18 x/mnt, TD: 122/87
mmHg, SpO2:100 %
5. Kesadaran : Compos Mentis
H. ANALISA DATA
PRE OPERASI
DO: informasi
-Skala HARS: 3 (Keseriusan tidak
berfokus)
-Mengungkapkan kecemasan
-Menanyakan tentang anestesi Respon pasien
INTRA OPERASI
No. Analisa Data Masalah Etiologi
1 DS : Bersihan jalan tidak efektif Pengaruh sedasi
-Pasien terpapar agen anestesi (D0001)
selama operasi dengan Skala Sistem saraf
RASS: -4 (Sedasi Dalam) otonom/reseptor
-Pasien dalam pengaruh anestesi spesifikasi kelenjar
(midazolam 1mg ,Fentanyl
saliva
100mcg, Propofol 80mg, Roculax
30mg, Agen Sevofluran 2Vol %).
Produksi saliva
meningkat
DO : pasien terpasang ETT no
7, terpasang OPA no 4,
terpasang NGT
-KU sedang, kes DPO
- RASS (Richmond Agitation –
Sedation Scale) Scor : - 4 (Sedasi
Dalam, tidak berespon pada
pemberian stimulasi yang
diberikan)
-TD : 96/59 mmhg
-N : 110x/menit
-RR :12x/menit
-Spo2 : 100%
Pergerakan dinding dada
simetris
TV : 500
RR : 13
PEEP : 3
I : E = 1:2
Etco2 : 32
Terapi :
- midazolam 1mg
- fentanyl 100 mcg
- recofol 70 mg
- roculax 30 mg
- lignovel 40 mg
IVFD asering 20 tpm
Inhalasi : sevoflurane 2vol%
N2O : O2 = 0,4 lt : 0,4 lt
DO :
-Posisi Operasi Head down Risiko Jatuh
- Pasien terpapar agen Anestesi :
- midazolam 1mg
- fentanyl 100 mcg
- recofol 70 mg
- roculax 30 mg
- lignovel 40 mg
POST OPERASI
-S : skala nyeri 4
-T : nyeri terus menerus
Nyeri akut
DO :
-pasien tampak meringis, ku
sedang , kes CM , akral hangat
-TD : 122/87 mmHg
-N : 103x/menit
-S : 37,Spo2 : 100%.
2. DS: Hipotermia (D.0131) Terpapar lingkungan
-Pasien mengatakan dingin
kedinginan
Mekanime tubuh
untuk meningkatkan
dengan menggigil
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi:
1. Nyeri akut Berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)
2. Ansietas Berhubungan dengan Kurang terpapar informasi (D.0080)
Intra Operasi:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Berhubungan dengan efek agen farmakologi
(D.0001)
2. Risiko Jatuh Berhubungan dengan Agen Farmakologi Anestesi umum (D.0143)
Post Operasi:
1. Nyeri akut Berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077)
2. Hipotermia Berhubungan dengan Terpapar Lingkungan Dingin (D.0131)
PRA ANESTESI
Kolaborasi
1.1.10 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
1. Verbalisasi kebingungan:
1.1.3 Ciptakan suasana terapeutik yang menenagkan dan
cukup menurun (4)
hangat
2. Verbalisasi khawatir: Cukup
1.1.4 Temani pasien untuk mengurani kecemasan
menurun (4)
1.1.5 Latih kegiatan untuk mengurang kecemasan dengan
3. Perilaku gelisah: Menurun (5)
berdoa
Edukasi
1.1.6 Ajarkan tehnik nafas dalam
1.1.7 Jelaskan tentang prosedur tindakan secara sederhana
dan menenangkan
1.1.8 Jelaskan tindakan anestesi secara sederhana dan
menenagkan
Kolaborasi
1.1.9 Kolaborasi pemberian anti ansietas agen (Midazolam)
TANGGAL / JAM DIAGNOSA IMPLEMENTASI EVALUASI
SOAP
Kamis, 20/10/2022 1. Nyeri akut bd (Jam 16:00) S=
Jam 16:00 agen pencedera 1.1.1 Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, pasien mengatakan nyeri perut kanan
fisiologis frekuensi, dan insensitas nyeri bawah berkurang
(D0077) - Respon: Pasien mengatakan nyeri P : nyeri saat bergerak
diperut kanan bawah sejak kemaren dan Q : nyeri seperti tertusuk
dirasakan menetap, nyeri menjalar dari R : perut kanan bawah
hipogastrik kanan ke pinggang belakang, S : skala nyeri 3
nyeri saat beraktifitas, buang air kecil
T : nyeri terus menerus
dan besar dan saat manuver abdomen,
skala nyeri diangka 4-6, membaik saat
beristirahat O=
(16:03) KU: sedang, kes: cm, akral: hangat,
1.1.2 Mengidentifikasi skala nyeri pasien tampak memegang area perut
- Respon: Mengatakan skala nyeri 5 yang sakit
(16:06) TD : 126/87 mmhg
1.1.3 memfasilitasi pasien untuk istirahat tidur N : 98x/menit
- Respon: Pasien mematuhinya RR : 16x/menit, Spo2 : 100 %
(16:07)
1.1.4 Melakukan kontrol lingkungan yang A : Masalah nyeri akut belum teratasi
mempengaruhi nyeri (suhu, kebisingan, P : Lanjutkan Intervensi: 1.1.1, 1.1.2,
pencahayaan) 1.1.3, 1.1.4, 1.1.5, 1.1.6, 1.1.7, 1.1.8.
- Respon: Pasien dipindahkan ke Dan menambahkan intervensi
tempat hangat, pencahayaan cukup keperawatan dengan kode:
dan bebas dari kebisingan (I.08247) Tehnik Distraksi
(16:10)
1.1.5 Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk Terapeutik
mengurangi nyeri dengan tehnik nafas dalam 1.1.9 Gunakan Tehnik Distraksi
- Respon: Pasien mau melakukan (berupa melihat gambar dan menonton
video melalui heand phone)
instruksi yang diberikan Edukasi
(16:18) 1.1.10 Anjurkan menggunakan tehnik
1.1.6 Mengajarkan tehnik distraksi dengan berdoa distraksi selama menunggu operasi
- Respon: Pasien mau melakukan 1.1.11 Jelaskan manfaat dalam tehnik
instruksi yang diberikan distraksi yang digunakan
(16:28) 1.1.12 Anjurkan tehnik distraksi
1.1.7 Menjelaskan penyebab, periode dan pemicu menarik nafas dalam sesara
nyeri berkelanjutan
- Pasien mengatakan memahami akukan penambahan intervensi
proses terjadinya nyeri keperawatan
Edukasi rencana tindakan operasi
(16:30) I=
1.1.8 Mengajarkan untuk memonitiring nyeri - Beri motivasi dan tehnik nafas
secara mandiri dalam
- Tingkatkan pencegahan nyeri
- Respon: pasien mengerti dan akan dengan meningkatkan tindakan
melakukanya terapeutik keperawatan
- Monitorng terapi analgetik dan
(16:29) pemberian narkotik selama
1.1.9 Berkolaborasi dengan dokter untuk pemantauan
pemberian analgetik
-Respon: Nyeri berkurang, skala 3 E=
- Nyeri masih dirasakan dengan
skala nyeri 3
R=
- Lakukan penilaian ulang nyeri
- Lakukan serah terima dengan
perawat lain
Kamis, 20/10/2022 2. Ansietas (16:02)
Jam 16:00 Berhubungan 1.1.1 Mengidentifikasi tingkat ansietas S=
dengan Kurang - Respon: mengatakan cemas - Pasien mengatakan cemas
terpapar (16:07) berkurang
informasi 1.1.2 Memonitoring tanda-tanda ansietas
(D.0080) - Respon: mengatakan cemas karena O=
(16:20)
1.1.7 Menjelaskan tentang prosedur tindakan
secara sederhana dan menenangkan
- Respon: Pasien memahami
penjelasan dan mengatakan cemas
berkurang. Dapat menjelaskan
kembali secara sederhana
(16:22)
1.1.8 Menjelaskan tindakan anestesi secara
sederhana dan menenagkan
- Respon: Pasien memahami
penjelasan dan mengatakan cemas
berkurang. Dapat menjelaskan
kembali secara sederhana
(16:27)
1.1.9 Berkolaborasi pemberian anti ansietas agen
(Midazolam)
- Respon: pasien tenang
INTRA ANESTESI
Kolaborasi
1.1.10 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
(18:40)
1.1.9 Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
-Respon: Nyeri berkurang, skala 2
Kamis, 2. Hipotermia (jam 18:30) S=
20/10/2022 Berhubungan 1.1.1 Memonitiring suhu tubuh pasien Mengatakan Menggigil berkurang
(jam 18:20 – Dengan - Respon: termoregulasi: 36,4 O=
20:00) Terpapar (18:33) -Termoregulasi: 37 derajat
Lingkungan 1.1.2 Mengidentifikasi penyebab hipotermia -Dasar kuku tidak sianosis
Suhu Rendah - Respon: Penyebab karenan lingkungan dingin dan agen -Akral hangat
(D.0131) volatil gas anestesi -Gerakan menggigil tidak ada
(18:34)
1.1.3 Memonitoring tanda gejala hipotermia A=
- Respon: pasien menggigil Masalah keperawatan Hipotermia Teratasi
(18:25)
1.1.4 Menyediakan lingkungan hangat P=
(18:30)
1.1.5 Mengganti selimut dan pakaian pasien yang terkena cairan
- Respon: Baju sudah diganti dan tidak basah
(18:30)
1.1.6 Melakukan penghangatan pasif (berikan selimut)
- Respon: Menggigil pasien mulai berkurang
(18:32)
1.1.7 Melakukan penghangantan aktif (selimut hangat, blanked
warmer, Blower)
- Respon: Menggigil pasien mulai berkurang
(18:40)
1.1.8 Menganjurkan minum hangat
- Respon: pasien memahami instruksi.
BAB IV
SIMPULAN