Anda di halaman 1dari 10

BABI

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan suatu keadaan timbulnya peradangan pada saluran appendiks


yang ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah. Apendisitis merupakan kasus nyeri
perut yang sering terjadi dan membutuhkan operasi. Insiden tertinggi biasanya terjadi pada
usia 20-30 tahun. Menurut jenis kelamin kejadian pada usia 20-30 tahun laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan.

Apendisitis merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai. Insiden
apendisitis lebih tinggi di negara maju dibandingkan negara berkembang. Namun dalam tiga
atau empat tahun terakhir angka terjadinya apendisitis dikatakan telah menurun. Kejadian ini
mungkin disebabkan oleh perubahan pola makan. Menurut data epidemiologi, insiden
apendisitis memiliki rasio 3:2 apabila dibanding laki-laki dengan Wanita.

Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Penanganan pada kasus appendisitis berupa pemberian antibiotik
serta pembedahan, yaitu appendiktomi. Namun, sebelum dilakukan pembedahan, perlu
diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mengurangi insiden terjadinya infeksi luka pasca
operasi di abdomen. Tindakan pembedahan ini, memerlukan tatalaksana anestesi yang tepat.
Oleh karena itu, tatalaksana perioperative anestesi pada kasus appendisitis penting dibahas
dalam makalah ini dalam bentuk tinjauan Pustaka
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Apendiks

Apendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis, serta berisi massa cairan
limfoid, Apendiks berasal dari aspek posteromedial caccum di sebelah inferior taut iliocaecal.
Apendiks memiliki mesenterium triangular yang pendek (mesoappendiks) yang berasal dari
sisi posterior ileum terminalis. Mesoappendiks menempel pada caecum dan bagian proximal
appendiks, Posisi appendiks lebih sering ditemukan retrocneca.

Apendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah flexura colica dextra dalam
keadaan bebas. Dasar apendiks terletak di sebelah dalam titik yang menghubungkan spina
iliaca anterior superior (SIAS) dextra dengan umbilicus (titik McBurney). Vaskularisasi
appendiks berasal dari arteri appendicularis yang merupakan cabang dari arteri ileocolica.
Arteri ini berjalan di antara lapisan mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari
caccum dan appendiks untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh linfatik appendiks
berjalan ke nodi lymphatici profunda mesoappendiks dan ke nodi Iympathici ileocolici yang
terletak di sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior di mana serabut saraf simpatisnya berasal
dari bagian thoracal bawah pada medulla spinalis, sedangkan serabut saraf parasimpatisnya
berasal dari nervus vagus.

Gambar 2.1. Anatomi Apendiks (Moore, 2013)


2.2 Etiologi dan Patofisiologi Apendisitis
Apendisitis disebabkan oleh adanya obstruksi lumen appendiks atau akibat infeksi
bakteri. Obstruksi lumen appendiks bisa disebabkan oleh adanya beberapa mekanisme yang
bervariasi sehingga menimbulkan retensi pada mukosa appendiks

Jika infeksi bakteri terjadi, maka tekanan intraluminal meningkat sehingga terjadi
gangguan aliran limfa ke apendiks dan menimbulkan edema pada appendiks. Proses ini
menimbulkan peradangan dan nyeri tekan pada abdomen bagian bawah kanan. Hal ini
disebut sebagai catarrhal apendisitis. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka edema appendiks
serta timbulnya kongesti vaskular pada apendiks akan membentuk abses multipel pada
dinding apendiks sehingga menjadi apendiksitis pada apendiks akibat infark pada bagian
mesoappendiks dan appendiks sehingga appendiks menjadi berwarna merah kehitaman
disertai area nekrosis berwarna hitam. Hal ini disebut sebagai apendiksitis gangrenous. Jika
terjadi perforasi pada appendiks, dapat menyebabkan peritonitis
2.3 Manifestasi Klinis Apendisitis

Apendisitis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, Anamnesis dapat ditegakkan dari gejala yang ditimbulkannya. Nyeri abdomen
merupakan gejala utamanya. Nyeri abdomennya dirasakan mulai dari periumbilikal atau
epigastrik hingga menjalar ke kuadran kanan bawah abdomen dan nyerinya dapat bersifat
menetap (ligath sign). Pasien biasanya dalam posisi berbaring dengan memfleksikan
panggulnya. Gejala penyertanya dapat berupa mual, muntah, anorexia, demam subfebris.
Durasi gejala ini <48 jam pada 80% kasus pasien dewasa.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya.nyeri tekan pada titik McBurney serta
nyeri tekan dengan defans muskuler. Selain itu, dapat ditemukan tanda rebound phenomenon
(menekan perut pada bagian kiri dan dilepas secara mendadak, dirasakan nyeri pada perut
bagian bawah), rovsing sign (menekan daerah colon descendens kearah colon transversum,
didapatkan nyeri perut kanan bawah), tenhom sign (menarik testis bagian kanan, didapatkan
nyeri perut kanan bawah), psoas sign (mengangkat tungkai kanan dalam posisi ekstensi,
didapatkan nyeri perut kanan bawah), serta obturator sign (memifleksikan dan endorotasi
sendi panggul kanan, didapatkan nyeri pada perut kanan bawah). Pada pemeriksaan rectal
toucher, juga didapatkan adanya nyeri pada arah jam 10 atau 11.

Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukositosis. Pada pemeriksaan C-


reactive Protein, didapatkan >1 mg/dL yang mengindikasikan terjadinya apendisitis akut.
Pada hasil urinalisis, dapat ditemukan piuria ringan, sedangkan adanya piuria berat
mengindikasikan terjadinya infeksi saluran kemih (ISK). Pada hasil USG, dapat ditemukan
adanya struktur tubular yang bersifat non kompresif dengan diameternya 7-9 mm pada
appendisitis akut. USG juga dianjurkan pada pasien anak-anak dengan appendisitis akut.
Pada pemeriksaan imaging, USG masih menjadi lini pertama pada pasien apendisitis.

2.4 Penanganan Apendisitis

Apabila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah
operasi. Tindakan operasi tersebut dikenal sebangai apendisitomi. Pada kondisi dini,
pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat kekambuhannya
mencapai 35%. Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 — 10
hari.
BAB III
TATALAKSANA PERIOPERATIF ANESTESI PADA KASUS APENDISITIS

3.1 Evaluasi Perioperatif


Sebelum dilakukan tindakan operasi pada appendisitis baik pada orang dewasa
maupun anak-anak, sangat penting dilakukan persiapan preoperatif. Tujuan dilakukannya
evaluasi ini adalah memperkirakan keadaan fisik dan psikis dari pasien, menghindari kejadian
salah identitas serta salah operasi, mengetahui adanya kelainan yang berhubungan dengan
anestesi Seperti adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik
berupa dyspnea atau urtikaria) pada pasien dengan apendisitis akut, mengetahui riwayat
operasi pasien serta pengobatan pasien sebelumnya, mengetahui tahapan risiko anestesi
(status ASA) dan kemungkinan perbaikan status preoperasi (pemeriksaan tambahan dan
terapi yang diperlukan), mengetahui pemilihan jenis anestesi yang digunakan serta penjelasan
persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien dan mengetahui pemberian obat-obatan
premedikasi yang digunakan sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi yang akan
digunakan pada pasien.

Evaluasi preoperatif yang dilakukan, meliputi anamnesis kepada pasien dengan


menanyakan keluhan utama yang dialami pasien saat ini serta AMPLE (Allergy, Medication,
Past Medical History, Last Meal, events leading (history of accident), pemeriksaan fisik
dengan 6B (Brain, Breath, Blood, Bowel, Bladder, Bone/Body), serta pemeriksaan penunjang
(darah lengkap, C-reactive Protein, USG, dan lainnya untuk mendukung diagnosis kerja dari
apendisits). Selanjutnya dokter anestesi juga harus menjelaskan kepada pasien mengenai
manajemen anestesi yang akan dilakukan yang tercermin dalam informed consent serta
memberitahukan kepada pasien untuk puasa sebelum dilakukan operasi jika pasien tersebut
setuju untuk dioperasi untuk menghindari terjadi regurgitasi pada esofagus serta aspirasi

A. Anamnesis

Pada kasus apendisitis, perlu ditanyakan kepada pasiennya mengenai nyeri perut yang
dirasakannya, awal mula timbulnya nyeri tersebut, serta gejala penyerta yang dialaminya
(mual, muntah, anorexia, demam subfebris). Di samping itu, perlu juga ditanyakan kepada
pasien mengenai riwayat penyakit terdahulu yang dialaminya untuk mengetahui apakah ada
penyulit lain yang bisa menyebabkan timbulnya appendisitis. Riwayat makanan juga perlu
ditanyakan untuk mengetahui penyebab limbulnya appendisits, apakah berasal dari feecalith
atau dari infeksi hematogen. Riwayat lainnya seperti riwayat pengobatan serta riwayat
operasi sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk mengetahui kemungkinan penyulit atau
komplikasi lainnya yang dapat dialami pasien appendisitis.

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan kepada pasien dengan apendisitis, meliputi
tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu, skala nyeri), pemeriksaan paru-
paru, pemeriksaan jantung, pemeriksaan abdomen, serta pemeriksaan sistem muskuloskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting dilakukan terutama pada pengguanan anestesi regional
sehingga bisa diketahui adanya deficit neurologis sebelum dilakukan anestesi regional.

Pemeriksaan airway juga perlu dilakukan untuk mengetahui jalan nafas pasien.
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, Ieher pendek, serta kaku
pada otot, juga sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah ada penyulitan dalam
melakukan intubasi ketika dilakukan general anesthesia baik pada pasien anak-anak maupun
orang dewasa. Kesesuaian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien
dengan abnormalitas wajah yang signifikan.

Dalam kasus apendisitis, pemeriksaan fisik lebih diutamakan pada pemeriksaan


abdomen serta nyeri pada titik MeBurney. Pada pemeriksaan abdomen, hampir keseluruhan
dalam batas normal, Tetapi, akan ada nyeri tekan pada titik McBurney di regio kuadran
bawah kanan abdomen mengindikasikan bahwa pasien tersebut menderita apendisitis.

Skor Mallampati juga perlu dilakukan untuk mengetahui level kesulitan pada intubasi
pasien yang sedang menjalani proses pembedahan dengan general anesthesia. Skor ini dapat
diklasifikasikan menjadi 4 jenis :
Mallampati I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
Mallampati II : Terlihat palatum mole dan durum, serta bagian atas tonsil dan uvula.
Mallampati III : Terlihat palatum mole dan durum, serta dasar uvula.
Mallampati IV : Hanya terlihat palatum durum,

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam preoperasi pada kasus appendisitis
meliputi darah lengkap, C-reactive protein, serta USG, Pada pemeriksaan darah lengkap,
dapat ditemukan leukosit mengalami peningkatan (eukositosis). Hal ini disebabkan oleh
karena adanya proses infeksi yang terjadi pada daerah appendiks sehingga dapat
menimbulkan peradangan, Pada hasil C-reactive protein, dapat ditemukan » 1 mg/dL yang
mengindikasikan terjadi appendisitis. Pada USG, dapat ditemukan juga adanya pembesaran
pada appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non kompresif, diameternya 7-9 mm.

D. Penentuan status ASA


Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat perkiraan risiko anestesi karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap adanya brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan
dengan tingkat mortalitas perioperatif. Klasifikasi status fisik ASA digunakan dalam
perencanaan manajemen anestesi serta teknik monitoring.
ASA I :Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa keterbatasan aktivitas
sehari-hari
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik berat, serta aktivitas fisik normal yang terbatas
ASA IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa
operasi
ASA V : Pasien dengan penyakit berat yang memiliki harapan hidup kecil dengan atau tanpa
operasi
ASA VI : Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk
tujuan donor (brain-dead organ donor)
Pada kasus appendisitis, lebih sering ditemukan ke dalam klasifikasi ASA II. Hal ini
disebabkan oleh karena appendisitis tidak sering dapat mengalami gangguan sistemik yang
berat dan penyulit yang sering ditemukan berupa leukositosis, Akan tetapi, status ASA pada
pasien appendisitis dapat berubah menjadi ASA III atau IV, jika ada mengalami penyulit
komplikasi yang lain seperti gangguan pada sistem liver, ginjal, paru-paru, dan organ sistem
lainnya.
E. Informed Consent
Informed consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter dari tuntutan. Dalam hal ini, perlu dipastikan bahwa pasien sudah mendapatkan
informasi yang cukup mengenai prosedur yang akan dilakukan beserta risikonya.

Jika pasien tersebut setuju untuk dilakukan tindakan appendektomi, maka operasi
tersebut dapat segera dilaksanakan, Jika pasien tersebut tidak setuju, maka dapat diberikan
obat antibiotik untuk mengatasi infeksi pada appendiks tersebut. Pemberian antibiotik dapat
diberikan pada pasien dengan appendisilis tanpa komplikasi. Akan tetapi, tindakan operasi
masih merupakan gold standard dalam penanganan appendisitis.

3.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat selama 1-2 jam sebelum dilakukan induksi
anestesi kepada pasien dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, serta bangun dari anesthesia. Di samping itu, premedikasi juga bertujuan untuk
meredakan kecemasan, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah, membuat pasien menjadi
hipnotik, serta mengurangi reflek yang membahayakan. Pemberian premedikasi dapat
diberikan secara suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi anestesia), atau
suntikan intravena (5-10 menit sebelum induksi anestesia), Komposisi dan dosis obat
premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.

Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada pasien dapat dijabarkan pada
tabel di bawah ini :

Tabel 3.2
Obat Premedikasi
No Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedative :
Diazepam 5 – 10 mg
Diphenhydramine 1 mg/kgBB
Promethazine 1 mg/kgBB
Midazolam 0,05 – 0,1 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanyl 1-2 µg/kgBB
3 Antikholinergik :
Sulfas Atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik :
Ondansentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa

3.3 Pemilihan Teknik Anestesi


Dalam pemilihan teknik anestesi, perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang berperan
dalam keamanan dan kenyamanan pasien.
1. Usia pasien
Pada usia bayi dan anak, lebih baik dilakukan teknik general anesteshia oleh karena
pasien usia demikian lebih sering tidak kooperatif. Sedangkan pada pasien dewasa,
jika digunakan untuk tindakan singkat, dapat dilakukan teknik anestesi regional atau
general anesteshia.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu, sangat penting untuk ditanyakan beserta
komplikasi sebelum maupun pasca pembedahan yang dialami pasien saat itu.
penggunaan anestesi regional sebaiknya dihindari pada pasien dengan diabetik
neuropati karena dapat memperburuk gejala yang ada.
b. Pada pasien dengan adanya penyulit gangguan kardiovaskular yang berat, hindari
penggunaan general anesthesia karena dapat mengakibatkan depresi nafas serta
gangguan hemodinamik pada kardiovaskular. Oleh sebab itu, sebaiknya dipilih
menggunakan anestesi lokal atau regional.
c. Pada pasien yang tidak kooperatif atau mengalami gangguan psikiatri lainnya,
sebaiknya dilakukan general anesteshia.
d. Pada pasien obesitas dengan leher pendek dan besar sehingga menimbulkan risiko
gangguan sumbatan jalan nafas, scbaiknya dipilih teknik anestesi regional.
3. Posisi pembedahan
Posisi miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan general anesthesia dengan
endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Akan tetapi, pada posisi
demikian, dapat juga digunakan pada anestesi regional.
4. Keterampilan dan pengalaman dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
Kebutuhan dokter bedah, seperti teknik hipotensif untuk mengurangi pendarahan,
relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lainnya.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesi sangat menentukan pilihan
teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada
pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memungkinkan dan membahayakan
keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan
utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter,

3.4 Durante Operasi dan Monitoring


Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan
atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid mengandung zat high molecular weight seperti
protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik
koloid plasma dan dapat digunakan untuk Sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan
kristaloid cepat menyeimbangkan dengan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan cairan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga
disebut cairan jenis maintenance. Jika melibatkan air dan elektrolit, penggantian dengan
cairan elektrolit isotonik, disebut sebagai cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah cairan isotonik, maka
cairan jenis replacement yang umum digunakan adalah larutan Ringer Laktat. Meskiput
sedikit mengandung hipotonik, cairan ini menyediakan sekitar 100 mL frec water per liter
dan cenderung dapat menurunkan serum natrium sebanyak 130 mEg/L. Ringer Laktat
umumnya memiliki cfck yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
pada durante operasi ini biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali dari
jumlah volume darah yang hilang.

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood
volume (EBV), Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi apabila kehilangan
lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfuse ditentukan oleh
kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan.

Proses monitoring sangat perlu dilakukan oleh dokter anestesi dalam membantu
mempertahankan kondisi pasien. Standard monitoring intraoperatif yang digunakan, diadopsi
dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring. Standard ini diterapkan di semua
perawatan anastesi walaupun pada kondisi emergensi, appopriate life support harus
diutamakan. Standar ini ditujukan tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah
satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim,
beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan penggunaan yang
sesuai dengan metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis
selanjutnya. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi,
adalah :
- Frekuensi nafas serta kedalaman nafas
- Denyut nadi, jantung, serta kualitasnya
- Warna membran mukosa dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, serta denyut nadi

3.5 Manajemen Anestesi Pasca Operasi


Pada pasien dengan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan
dengan general anesteshia. Hal ini disebabkan oleh karena pasien dengan regional anestesi
masih dalam kondisi sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan
circulation lebih sedikit dibandingkan dengan general anesthesia, Meskipun demikian, perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dan frekuensi nafas hingga
pasien tersebut stabil. Fungsi neuromuskular juga harus dinilai untuk mengetahui adanya
kaku pada otot terutama pada otot di daerah abdomen pasca appendektomi.

Evaluasi post operatif juga harus dilakukan dalam 24-48 jam setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien, Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis,
anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post Operasi pada pasien, pemeriksaan fisik
secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang. Komplikasi yang kemungkinan akan
dialami pasien seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan rigi, cedera saraf, cedera pada
daerah okular, pneumonia, serta perubahan status mental, juga harus diperhatikan.
BABIV
SIMPULAN

Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan
Operasi pada anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun, Penyebab tersering
timbulnya apendisitis adalah infeksi (lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda), serta
adanya fecalith (lebih sering pada usia tua). Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, dapat ditemukan
gejala nyeri abdomen, mual, muntah, anorexia, serta demam subfebris. Pada pemeriksaan
fisik, ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah. Di samping itu dapat ditemukan
tanda rebound phenomenon, rovsing sign, tenhorn sign, psoas sign, serta obturator sign. Pada
pemeriksaan penunjang, dapat ditemukan Icukositosis pada hasil darah lengkap, C-reactive
protein > 1 mg/dL, piuria ringan pada hasil urinalisis, serta adanya pembesaran appendiks
dengan diameternya 7-9 mm pada hasil USG.

Tatalaksana anestesi perioperatif pada kasus apendisitis, meliputi evaluasi pre-operatif


(anamncsis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang), pemberian obat pre-medikasi,
pemilihan teknik anestesi (anestesi regional blok subarachnoid atau general anesthesia), serta
durante operasi dan monitoring (meliputi monitoring tanda- tanda vital, cairan, serta
pendarahan). Manajemen anestesi pasca operasi meliputi evaluasi post operatif (review dari
rekam medis, anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post operasi pada pasien,
pemeriksaan fisik secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang) dan monitoring
(kesadaran, respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna,
aktivitas motorik, sulvu tubuh, serta nyeri).

Anda mungkin juga menyukai