PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai. Insiden
apendisitis lebih tinggi di negara maju dibandingkan negara berkembang. Namun dalam tiga
atau empat tahun terakhir angka terjadinya apendisitis dikatakan telah menurun. Kejadian ini
mungkin disebabkan oleh perubahan pola makan. Menurut data epidemiologi, insiden
apendisitis memiliki rasio 3:2 apabila dibanding laki-laki dengan Wanita.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Apendiks
Apendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis, serta berisi massa cairan
limfoid, Apendiks berasal dari aspek posteromedial caccum di sebelah inferior taut iliocaecal.
Apendiks memiliki mesenterium triangular yang pendek (mesoappendiks) yang berasal dari
sisi posterior ileum terminalis. Mesoappendiks menempel pada caecum dan bagian proximal
appendiks, Posisi appendiks lebih sering ditemukan retrocneca.
Apendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah flexura colica dextra dalam
keadaan bebas. Dasar apendiks terletak di sebelah dalam titik yang menghubungkan spina
iliaca anterior superior (SIAS) dextra dengan umbilicus (titik McBurney). Vaskularisasi
appendiks berasal dari arteri appendicularis yang merupakan cabang dari arteri ileocolica.
Arteri ini berjalan di antara lapisan mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari
caccum dan appendiks untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh linfatik appendiks
berjalan ke nodi lymphatici profunda mesoappendiks dan ke nodi Iympathici ileocolici yang
terletak di sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior di mana serabut saraf simpatisnya berasal
dari bagian thoracal bawah pada medulla spinalis, sedangkan serabut saraf parasimpatisnya
berasal dari nervus vagus.
Jika infeksi bakteri terjadi, maka tekanan intraluminal meningkat sehingga terjadi
gangguan aliran limfa ke apendiks dan menimbulkan edema pada appendiks. Proses ini
menimbulkan peradangan dan nyeri tekan pada abdomen bagian bawah kanan. Hal ini
disebut sebagai catarrhal apendisitis. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka edema appendiks
serta timbulnya kongesti vaskular pada apendiks akan membentuk abses multipel pada
dinding apendiks sehingga menjadi apendiksitis pada apendiks akibat infark pada bagian
mesoappendiks dan appendiks sehingga appendiks menjadi berwarna merah kehitaman
disertai area nekrosis berwarna hitam. Hal ini disebut sebagai apendiksitis gangrenous. Jika
terjadi perforasi pada appendiks, dapat menyebabkan peritonitis
2.3 Manifestasi Klinis Apendisitis
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya.nyeri tekan pada titik McBurney serta
nyeri tekan dengan defans muskuler. Selain itu, dapat ditemukan tanda rebound phenomenon
(menekan perut pada bagian kiri dan dilepas secara mendadak, dirasakan nyeri pada perut
bagian bawah), rovsing sign (menekan daerah colon descendens kearah colon transversum,
didapatkan nyeri perut kanan bawah), tenhom sign (menarik testis bagian kanan, didapatkan
nyeri perut kanan bawah), psoas sign (mengangkat tungkai kanan dalam posisi ekstensi,
didapatkan nyeri perut kanan bawah), serta obturator sign (memifleksikan dan endorotasi
sendi panggul kanan, didapatkan nyeri pada perut kanan bawah). Pada pemeriksaan rectal
toucher, juga didapatkan adanya nyeri pada arah jam 10 atau 11.
Apabila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah
operasi. Tindakan operasi tersebut dikenal sebangai apendisitomi. Pada kondisi dini,
pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat kekambuhannya
mencapai 35%. Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 — 10
hari.
BAB III
TATALAKSANA PERIOPERATIF ANESTESI PADA KASUS APENDISITIS
A. Anamnesis
Pada kasus apendisitis, perlu ditanyakan kepada pasiennya mengenai nyeri perut yang
dirasakannya, awal mula timbulnya nyeri tersebut, serta gejala penyerta yang dialaminya
(mual, muntah, anorexia, demam subfebris). Di samping itu, perlu juga ditanyakan kepada
pasien mengenai riwayat penyakit terdahulu yang dialaminya untuk mengetahui apakah ada
penyulit lain yang bisa menyebabkan timbulnya appendisitis. Riwayat makanan juga perlu
ditanyakan untuk mengetahui penyebab limbulnya appendisits, apakah berasal dari feecalith
atau dari infeksi hematogen. Riwayat lainnya seperti riwayat pengobatan serta riwayat
operasi sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk mengetahui kemungkinan penyulit atau
komplikasi lainnya yang dapat dialami pasien appendisitis.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan kepada pasien dengan apendisitis, meliputi
tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu, skala nyeri), pemeriksaan paru-
paru, pemeriksaan jantung, pemeriksaan abdomen, serta pemeriksaan sistem muskuloskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting dilakukan terutama pada pengguanan anestesi regional
sehingga bisa diketahui adanya deficit neurologis sebelum dilakukan anestesi regional.
Pemeriksaan airway juga perlu dilakukan untuk mengetahui jalan nafas pasien.
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, Ieher pendek, serta kaku
pada otot, juga sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah ada penyulitan dalam
melakukan intubasi ketika dilakukan general anesthesia baik pada pasien anak-anak maupun
orang dewasa. Kesesuaian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien
dengan abnormalitas wajah yang signifikan.
Skor Mallampati juga perlu dilakukan untuk mengetahui level kesulitan pada intubasi
pasien yang sedang menjalani proses pembedahan dengan general anesthesia. Skor ini dapat
diklasifikasikan menjadi 4 jenis :
Mallampati I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
Mallampati II : Terlihat palatum mole dan durum, serta bagian atas tonsil dan uvula.
Mallampati III : Terlihat palatum mole dan durum, serta dasar uvula.
Mallampati IV : Hanya terlihat palatum durum,
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam preoperasi pada kasus appendisitis
meliputi darah lengkap, C-reactive protein, serta USG, Pada pemeriksaan darah lengkap,
dapat ditemukan leukosit mengalami peningkatan (eukositosis). Hal ini disebabkan oleh
karena adanya proses infeksi yang terjadi pada daerah appendiks sehingga dapat
menimbulkan peradangan, Pada hasil C-reactive protein, dapat ditemukan » 1 mg/dL yang
mengindikasikan terjadi appendisitis. Pada USG, dapat ditemukan juga adanya pembesaran
pada appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non kompresif, diameternya 7-9 mm.
Jika pasien tersebut setuju untuk dilakukan tindakan appendektomi, maka operasi
tersebut dapat segera dilaksanakan, Jika pasien tersebut tidak setuju, maka dapat diberikan
obat antibiotik untuk mengatasi infeksi pada appendiks tersebut. Pemberian antibiotik dapat
diberikan pada pasien dengan appendisilis tanpa komplikasi. Akan tetapi, tindakan operasi
masih merupakan gold standard dalam penanganan appendisitis.
3.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat selama 1-2 jam sebelum dilakukan induksi
anestesi kepada pasien dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, serta bangun dari anesthesia. Di samping itu, premedikasi juga bertujuan untuk
meredakan kecemasan, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah, membuat pasien menjadi
hipnotik, serta mengurangi reflek yang membahayakan. Pemberian premedikasi dapat
diberikan secara suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi anestesia), atau
suntikan intravena (5-10 menit sebelum induksi anestesia), Komposisi dan dosis obat
premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.
Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada pasien dapat dijabarkan pada
tabel di bawah ini :
Tabel 3.2
Obat Premedikasi
No Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedative :
Diazepam 5 – 10 mg
Diphenhydramine 1 mg/kgBB
Promethazine 1 mg/kgBB
Midazolam 0,05 – 0,1 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanyl 1-2 µg/kgBB
3 Antikholinergik :
Sulfas Atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik :
Ondansentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan cairan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga
disebut cairan jenis maintenance. Jika melibatkan air dan elektrolit, penggantian dengan
cairan elektrolit isotonik, disebut sebagai cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah cairan isotonik, maka
cairan jenis replacement yang umum digunakan adalah larutan Ringer Laktat. Meskiput
sedikit mengandung hipotonik, cairan ini menyediakan sekitar 100 mL frec water per liter
dan cenderung dapat menurunkan serum natrium sebanyak 130 mEg/L. Ringer Laktat
umumnya memiliki cfck yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
pada durante operasi ini biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali dari
jumlah volume darah yang hilang.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood
volume (EBV), Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi apabila kehilangan
lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfuse ditentukan oleh
kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan.
Proses monitoring sangat perlu dilakukan oleh dokter anestesi dalam membantu
mempertahankan kondisi pasien. Standard monitoring intraoperatif yang digunakan, diadopsi
dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring. Standard ini diterapkan di semua
perawatan anastesi walaupun pada kondisi emergensi, appopriate life support harus
diutamakan. Standar ini ditujukan tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah
satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim,
beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan penggunaan yang
sesuai dengan metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis
selanjutnya. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi,
adalah :
- Frekuensi nafas serta kedalaman nafas
- Denyut nadi, jantung, serta kualitasnya
- Warna membran mukosa dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, serta denyut nadi
Evaluasi post operatif juga harus dilakukan dalam 24-48 jam setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien, Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis,
anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post Operasi pada pasien, pemeriksaan fisik
secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang. Komplikasi yang kemungkinan akan
dialami pasien seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan rigi, cedera saraf, cedera pada
daerah okular, pneumonia, serta perubahan status mental, juga harus diperhatikan.
BABIV
SIMPULAN
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan
Operasi pada anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun, Penyebab tersering
timbulnya apendisitis adalah infeksi (lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda), serta
adanya fecalith (lebih sering pada usia tua). Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, dapat ditemukan
gejala nyeri abdomen, mual, muntah, anorexia, serta demam subfebris. Pada pemeriksaan
fisik, ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah. Di samping itu dapat ditemukan
tanda rebound phenomenon, rovsing sign, tenhorn sign, psoas sign, serta obturator sign. Pada
pemeriksaan penunjang, dapat ditemukan Icukositosis pada hasil darah lengkap, C-reactive
protein > 1 mg/dL, piuria ringan pada hasil urinalisis, serta adanya pembesaran appendiks
dengan diameternya 7-9 mm pada hasil USG.