Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA TN.

D DENGAN DIAGNOSA BATU GINJAL


DEXTRA DILAKUKAN PEMBEDAHAN EXTENDED PYELOLITOTOMIDEXTRA DENGAN
TEKNIK GENERAL ANESTESI : ETT DI RUANG OK RSUD AMBARAWA

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata


Kuliah Metodologi Keperawatan Anestesi

Dosen Pengampu : Ns. Iswenti Novera, S. Kep,. M. Kep

Disusun Oleh Kelompok 3


1. Niva Suwira 2110070170047
2. Zikri Hidayat 2110070170067
3. Futi Hanna A’la 2110070170068
4. Inne Albina 2110070170072
5. Rhofi Rahmeidia 2110070170073
6. Asladina Zakiah 2110070170075
7. Ridwan Baihaqi 2110070170077
8. Gandy Al-Hafid 2110070170078
9. Fitra Aurelia Ronata 2110070170088

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM SARJANA TERAPAN FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kelompok 3 dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN ANESTESI PADA TN. D DENGAN DIAGNOSA BATU GINJAL
DEXTRA DILAKUKAN PEMBEDAHAN EXTENDED PYELOLITOTOMIDEXTRA
DENGAN TEKNIK GENERAL ANESTESI : ETT DI RUANG OK RSUD
AMBARAWA” dengan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen Ns.
Iswenti Novera, S.Kep., M.Kep pada mata kuliah Metodologi Keperawatan Anestesi. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Batu Ginjal bagi para
pembaca dan juga bagi kelompok.
Kelompok 4 mengucapkan terima kasih kepada dosen Ns. Iswenti Novera, S.Kep.,
M.Kep selaku dosen bidang studi Metodologi Keperawatan Anestesi yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kelompok juga
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun diharapkan.

Padang, 26 Oktober 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ..................................................................... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................................................... 1

1.3 TUJUAN PENULISAN ........................................................................................ 1

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................................... 3

2.1 KONSEP TEORI GENERAL ANESTESI ........................................................... 3

2.2 KONSEP TEORI BATU GINJAL ...................................................................... 6

2.3 KONSEP TEORI EXTENDED PYELOLITOTOMIDEXTRA ........................ 15

BAB III LANDASAN KASUS ..................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis) yang sudah dikenal
sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan ditemukannya batu pada kandung
kemih mummi. Batu saluran kemih dapat ditemukan sepanjang saluran kemih mulai
dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin
terbentuk di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang
terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu
buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentuk di dalam ventrikel
uretra. Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di
negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih
banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter), perbedaan ini
dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata
di seluruh dunia adalah 1-12% penduduk menderita batu saluran kemih. Penyebab
terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine,
gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain
yang masih belum terungkap. Batu ginjal atau kalkulus adalah batu yang terdapat di
saluran kemih, batu yang sering dijumpai tersusun dari kristal-kristal kalsium. Batu
ginjal atau kalkulus adalah bentuk deposit mineral, paling umum oksalat Ca2+ dan
fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal juga pembentuk batu dalam saluran kemih,
batu ini umumnya ditemukan pada pelvis dan kaliks ginjal. (Purnomo, 2000).
Riwayat penyakit batu ginjal seseorang dapat meningkatkan resiko timbulnya
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) dikemudian hari (Ariyanto, dkk., 2018). Hal ini cukup
menimbulkan kekhawatiran. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya PGK,
penderita penyakit batu ginjal harus melakukan pemeriksaan sejak awal merasakan
gejala-gejala batu ginjal.
Berdasarkan informasi di atas dan kasus yang telah kelompok 3 dapatkan yaitu
mengenai operasi batu ginjal dextra, maka kami berusaha mencari informasi dan
pengetahuan serta menuangkannya ke dalam makalah.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan batu ginjal?

1.2.2 Apakah penyebab dari batu ginjal?

1.2.3 Bagaimana pengkajian pada pasien batu ginjal?

1.2.4 Bagaimana diagnosa keperawatan anestesi pada kasus batu ginjal?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan batu ginjal

1.3.2 Untuk mengetahui apa penyebab batu ginjal

1.3.3 Untuk mengetahui pengkajian yang dilakukan pada kasus batu ginjal

1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana diagnose keperawatan anestesi pada pra, intra,
dan pasca anestesi

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Teori General Anestesi

1. Pengertian
General anestesi merupakan suatu tindakan yang bertujuan
menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia yang
bersifat reversibel dan dapat diprediksi. Teknik anestesi yang digunakan dalam
pembedahan dapat meningkatkan kecemasan pre operasi. Tingkat kecemasan
operasi menggunakan teknik anestesi general lebih tinggi dibandingkan dengan
teknik spinal. Kecemasan pre operasi mempengaruhi beberapa aspek dalam
perioperatif, diantaranya adalah kebutuhan obat premedikasi dan obat analgetik
yang harus diberikan kepada pasien saat induksi.

2. Indikasi
Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang lebih panjang,
misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
rekonstruksi tulang dan lain-lain. Selain itu, anestesi umum biasanya dilakukan
pada pembedahan yang luas (Potter & Perry, 2006).

3. Kontra Indikasi
Muhardi, dkk (2009) menyatakan bahwa kontraindikasi general anestesi
tergantung dari efek farmakologi obat anestetika terhadap organ tubuh, misalnya
pada kelainan:
a. Jantung : hindarkan pemakaian obat-obat yang mendespresi miokard
atau menurunkan aliran darah coroner
b. Hepar : hindarkan obat hepatotoksik, obat yang toksis terhadap hepar
atau dosis obat diturunkan
c. Ginjal : hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat yang
diekskresi melalui ginjal
d. Paru : hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru
e. Endokrin: hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf
simpatis pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan
peninggian gula darah.

3
4. Teknik
a. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
1. Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain
2. Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik
opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia
regional
3. Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh
otot atau general anestesi atau dengan cara analgesia regional

5. Komplikasi

Menurut Butterworth, Mackey & Wasnick (2013), Pramono (2015) dan


Gwinnutt (2011) komplikasi pasca general anestesi yang dapat terjadi yaitu:

a. Komplikasi pernapasan

Komplikasi paru pasca operasi atau post operative pulmonary


complication (PPC) merupakan komplikasi terkait dengan sistem pernafasan.
Komplikasi ini merupakan keadaan yang dapat menyebabkan perawatan
lanjut setelah operasi seperti perawatan di unit perawatan intensif atau
memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit setelahoperasi (Hadder,
2013). Pasien pasca general anestesi dapat mengalami gangguan komplikasi
pernapasan yaitu :

b. Hipoventilasi

4
Hipoventilasi dapat terjadi akibat adanya seperti: kelebihan cairan
atau emboli paru, henti jantung, atelektasis, komplikasi yang mendasarinya
penyakit pernapasan seperti asma atau COPD. Pasien yang mengalami
hipoventilasi berlanjut akan menyebabkan komplikasi hiposekmia akibat
kurangnya suplai oksigen yang ada dalam darah (Hadder, 2013).

c. Ateletaksis paru

Atelektasis paru, kolaps atau gangguan fungsi paru merupakan


keadaan yang sering terjadi pada pasien pasca general anestesi. Atelektasis
menghasilkan pengurangan kapasitas residu fungsional, yang berkurang
terhirup volume oksigen. Atelektasis dapat menyebabkan komplikasi
pneumotoraks (Kuukasjärvi, Laurikka & Tarkka 2010).

d. Aspirasi Paru

Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi pasien pasca general anestesi
umum. Faktor-faktor risiko ini termasuk operasi darurat, anestesi umum, ahli
anestesi dan pasien yang tidak berpengalaman alasan tergantung seperti
kurang puasa, pengosongan lambung tertunda atau hipersekresi lambung
(Murola, 2014)

e. Komplikasi Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi yaitu: hipotensi,
aritmia, bradikardi, dan hipertensi pulmonal. Hipotensi disebabkan akibat
hipovolemia yang disebabkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika,
penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
relaksasi hipersensitivitas obat induksi, obat pelumpuh otot dan reaksi
transfusi (Butterworth, Mackey & Wasnick 2013).

f. Komplikasi Neurologi

Cedera saraf perifer yang paling sering terjadi adalah neuropati ulnar.
Gejala-gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah
prosedur pembedahan dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada
pada bangsal rumah sakit saat pasien sedang tertidur. Cedera saraf perifer
lainnya lebih berhubungan dekat dengan pengaturan posisi atau prosedur
pembedahan. Cedera ini terjadi pada saraf peroneus, pleksus 15 brakialis,

5
atau saraf femoralis dan skiatika. Kemudian penekanan eksternal pada saraf
dapat membahayakan perfusinya, merusak integritas selularnya, dan pada
akhirnya menimbulkan edema, iskemia, dan nekrosis (Pramono, 2015).

g. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi
akibat adanya hipovolemia, perdarahan, mual muntah pada saat intra anestesi
(Akhtar, dkk, 2013). Gangguan hipovolemia dapat mengakibatkan terjadinya
takikardi, ketidakedekauatan urine output serta hipotensi (Gwinnut, 2011).
h. Komplikasi Gastrointestinal
Mual muntah pasca general anestesi atau PONV (post operative
nausea and vomitus) merupakan komplikasi terbanyak pasca-anestesia.
Keadaan ini terjadi akibat penggunaan anestesi inhalasi sehingga
menimbulkan mual muntah pasca bedah (Butterworth, 2013). Kondisi ini
menyebabkan penundaan pemulangan pasien dari rumah sakit sehingga
meningkatkan biaya perawatan pasien sehingga PONV harus ditangani
secara serius untuk mencegah terjadinya komplikasi yang dapat terjadi.

2.2 Konsep Teori Batu Ginjal


1. Pengertian

Batu ginjal atau yang dikenal dengan Urolithiasis, Kidney Stone,


Nephrocalcinosis, Renal Calculi, Hiperkalsuria, dan Hiperuricosuria. Batu
ginjal dapat terjadi dibagian mana saja pada sistem perkemihan. Namun, yang
paling banyak ditemukan adalah di dalam ginjal. Batu ginjal adalah
pengkristalan mineral yang mengelilingi zat organik, misalnya nanah, darah,
atau sel yang sudah mati. Biasanya, batu (kalkuli) terdiri atas garam kalsium
(oksalat dan fosfat) atau magnesium fosfat dan asam urat (Baradero, Dayrit, &
Siswandi, 2009). Batu ginjal adalah salah satu penyakit di dalam ginjal, yang
disebabkan oleh batu yang mengandung komponen kristal dan berada dalam
pelvis ginjal penyebab terbanyak kelainan saluran kemih (Adi Putra & Fauzi,
2016)

2. Klasifikasi

1) Batu Kalsium
Batu kalsium: 80% dari batu ginjal. Batu kalsium dibedakanmenjadi

6
kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Kalsium oksalat merupakan 80% dari
semua batu kalsium dengan faktor risiko termasuk volume urin rendah,
hiperkalsiuria,hyperuricosuria, hyperoxaluria, dan hypocitraturia. Kalsium
fosfat (hidroksi apatit)merupakan 20% dari semua batu kalsium dengan
faktor risiko termasuk rendah volume urin, hiperkalsiuria, hipokitraturia, pH
urin tinggi, dan kondisi terkait termasuk primer hiperparatiroidisme dan
asidosis tubulus ginjal

2) Batu Asam Urat

Batu asam urat: 10% hingga 20% dari batu ginjal.Disebabkan oleh
karena pH urin <5,5, maupun hyperuricosuria.

3) Batu Sistin

Batu sistin: 1% dari batu ginjal yang disebabkan oleh kesalahan


metabolisme bawaan, cystinuria, autosomalrecessive (gangguan yang
menghasilkan reabsorpsi tubular ginjal abnormal dari asam amino sistin,
ornithine, lysine, dan arginine).

4) Batu Struvite
Batu struvite: 1% hingga 5% dari batu ginjal, juga dikenal sebagai
batu infeksi; terdiri dari magnesium,amonium, dan fosfat. Bbatu ini sering
disebut sebagai batu staghorn dan dapat dikaitkan dengan organisme
pemecah urea, seperti spesies Proteus, Pseudomonas, dan Klebsiella. E coli
bukan organisme penghasil urease. (Turk, et al., 2015).

3. Etiologi

Terdapat penyebab terjadinya batu ginjal, menurut (Soenanto, 2005)


diantaranya:

1) Genetik
Ada orang-orang tertentu memiliki kelainan atau gangguan organ ginjal
sejak dilahirkan, meskipun kasusnya relatif sedikit. Anak yang sejak kecil
mengalami gangguan metabolisme khususnya dibagian ginjal yaitu air seninya
memiliki kecenderungan mudah mengendapkan garam membuat mudah
terbentuk batu. Karena fungsi ginjalnya tidak dapat bekerja secara normal maka
kelancaran proses pengeluaran air juga mudah mengalami gangguan, misalnya

7
banyak zat kapur dalam air kemih sehingga mudah mengendapkan batu.

2) Makanan
Sebagian besar kasus penyakit batu ginjal discbabkan oleh faktor
makanan dan minuman Makanan-makanan tertentu memang mengandung
bahan kimia yang berefek pada pengendapan air kemih, misalnya kalsium
tinggi, seperti oksalat dan fosfat. Kedua bahan tersebut mudah mengkristal di
ginjal. Demikian juga pada makanan yang kadar asam uratnya tinggi. Orang
yang mengkonsumsi air (khususnya air putih) dalam jumlah yang sedikit sangat
beresiko terkena penyakit batu ginjal. Ini dikarenakan terjadi kekurangan cairan
di ginjal sehingga air seni menjadi pekat, lalu mudah membentuk batu. Selain
faktor makan dan minum, suplemen vitamin ikut berperan dalam pembenrtukan
batu ginjal, misalnya kekurangan vitamin A atau terlalu banyak mengkonsumsi
vitamin D.

3) Aktivitas
Faktor pekerjaan dan olahraga dapat mempengaruhi penyakit batu ginjal.
Resiko terkena penyakit ini pada orang yang pekerjaannya banyak duduk lebih
tinggi dari pada orang yang banyak berdiri atau bergerak dan orang yang kurang
berolah raga. Karena tubuh kurang bergerak (baik olahraga mupun aktifitas
bekerja) menyebabkan peredaran darah maupun aliran seni menjadi kurang
lancar. Bahkan tidak hanya penyakit ginjal yang diderita, penyakit lain bisa
dengan gampang menyerang.
Ada beberapa penyebab terbentuknya batu ginjal lainnya yaitu
hiperkalsiuria, hiperurikosuria, hipositraturia, dan hiperoksaluria. Hal tersebut
dapat dipicu oleh berbagai macam faktor seperti faktor keturunan, makanan, dan
obat-obatan.
a. Hiperkalsiuria merupakan penyebab pembentukan batu kalsium.
Hiperkalsiuria disebabkan peningkatan penyerapan kalsium usus, menurunnya
reabsorbsi kalsium di ginjal dan peningkatan mobilisasi kalsium dari tulang.
Hiperkalsiuria juga merupakan gangguan heterogen pada hiperabsorbsi kalsium
usus dependen atau independen dari 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(𝑂𝐻)2𝐷].
Peningkatan konsentrasi serum 1,25(OH)2D-dependent mengakibatkan
terbentuknya batu ginjal akibat hiperkalsiuria (Sakhaee et al., 2012).
b. Hiperurikosuria terdeteksi dari 10% pembentuk batu kalsium.

8
Berdasarkan fisikokimia batu kalsium terbentuk akibat supersaturasi kemih
dengan monosodium koloid kristalisasi kalsium oksalat yang diinduksi oleh urat
(Sakhaee et al., 2012).
c. Hipositraturia Sitrat merupakan inhibitor endogen pembentukan batu
kalsium. Rendahnya ekskresi sitrat urin ditemukan pada 20-60% nefrolitiasis.
Penentu utama ekskresi sitrat urin adalah keseimbangan asam basa.
Hipositraturia umumnya terjadi dengan asidosis metabolik. Peran
penghambatan sitrat juga melibatkan pembentukan larutan kompleks dan
pengurangan kejenuhan (Sakhaee et al., 2012).
d. Hiperoksaluria Oksalat dan kalsium dapat meningkatkan supersaturasi
kalsium oksalat pada kemih. Hiperoksaluria merupakan 10-50% pembentuk
batu kalsium. Hiperoksaluria disebabkan oleh produksi oksalat yang berlebih
akibat dari gangguan metabolisme, peningkatan penyerapan oksalat usus,
peningkatan asupan makanan dan bioavailabilitas, dan urin pH. Urin yang sangat
asam (pH 5,5) dan urin yang sangat basa (pH 6,7) dapat mempengaruhi
pembentukan batu kalsium. Dengan pH yang terlalu asam maka urin menjadi
jenuh dengan asam urat yang berperan dalam kristalisasi kalsium oksalat.
Sedangkan urin yang sangat alkalin dapat meningkatkan monohidrogen fosfat
yang dalam kombinasi dengan kalsium berubah menjadi termodinamika brusit
yang tidak stabil dan akhirnya terbentuk hidroksiapatit (Sakhaee et al., 2012).

4. Anatomi

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium


(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar
(transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati
dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga
disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12
hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7
cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat
kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya
antara 120-150 gram
Ginjal Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap
ke dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar
dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada

9
ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan
ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dexter yang besar. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua
ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal)
yang membantu meredam guncangan. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput
tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang
berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna
coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut
yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang
terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir
medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah,
pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks
renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga
kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut
piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun
dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks
dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari
kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price, 1995: 773).
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2
juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron
terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan
diri keduktus pengumpul. (Price, 1995) Unit nephron dimulai dari pembuluh
darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah
melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat
(urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian
dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar
ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. Nefron
berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang
masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang.
Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran

10
lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir ya yang kemudian diekskresikan disebut
urin.

5. Fisiologi
Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar dalam
pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal
yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah, pengatur
keseimbangan asam basa darah dan pengatur eksresi bahan buangan atau
kelebihan garam . Proses pengaturan kebutuhan keseimbangan air ini diawali
oleh kemampuan bagian glomerulus sebagai penyaring cairan. Cairan yang
tersaring kemudian mengalir melalui tubulus renalis yang sel – selnya menyerap
semua bahan yang dibutuhkan (Damayanti, dkk., 2015).
Ginjal yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan penyakit
gagal ginjal. Gagal ginjal ( renal atau kidney failure ) adalah kasus penurunan
fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronik (menahun).
Gagal ginjal akut apabila terjadi penurunan fungsi ginjal berlangsung secara tiba-
tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya dapat segera
diatasi. Sedangkan gagal ginjal kronik gejalanya muncul secara bertahap,
biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi
ginjal tersebut tidak dirasakan dan berlanjut hingga tahap parah (Alam dan
Hadibroto., 2008).
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresi zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson., 2012). Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal
kemudian akan mengambil zat - zat yang berbahaya dari darah. Zat – zat yang
diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan
dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di
kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan
memungkinkan, maka urin yang ditampung di kandung kemih akan dikeluarkan
lewat uretra (Sherwood., 2011). Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam

11
pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi dan sekresi Pembentukan urin
dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari
kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali
protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus
dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi
secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi kemudian direabsorpsi
parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi (Sherwood., 2011).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan tetapi pegganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:
1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis
2) Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests). Pada keadaan
tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

6. Patofisiologi

Adanya kalkuli dalam traktus urinarius disebabkan oleh dua fenomena


dasar. Fenomena pertama adalah supersaturasi urin oleh konstituen pembentuk
batu, termasuk kalsium, oksalat, dan asam urat. Kristal atau benda asing dapat
bertindak sebagai matriks kalkuli, dimana ion dari bentuk kristal super jenuh
membentuk struktur kristal mikroskopis. Kalkuli yang terbentuk memunculkan
gejala saat mereka membentur ureter waktu menuju vesica urinaria (Dave,
2017). Fenomena kedua, yang kemungkinan besar berperan dalam pembentukan
kalkuli kalsium oksalat, adalah adanya pengendapan bahan kalkuli matriks
kalsium di papilla renalis, yang biasanya merupakan plakat Randall (yang selalu

12
terdiri dari kalsium fosfat). Kalsium fosfat mengendap di membran dasar dari
Loop of Henle yang tipis, mengikis ke interstitium, dan kemudian terakumulasi
di ruang subepitel papilla renalis. Deposit subepitel, yang telah lama dikenal
sebagai plak Randall, akhirnya terkikis melalui urothelium papiler. Matriks batu,
kalsium fosfat, dan kalsium oksalat secara bertahap diendapkan pada substrat
untuk membentuk kalkulus pada traktus urinarius (Evan, et al., 2007).

7. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik bisa dibagi atas:
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(natrium, kalium, klorida)

8. Komplikasi

Komplikasi pada batu ginjal dibedakan menjadi komplikasi akut dan


komplikasi jangka panjang.

• Komplikasi Akut

Kematian, kehilangan fungsi ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan


invensi sekunder yang tidak direncanakan.

• Komplikasi Jangka Panjang

Struktura, obstruksi, hidronefrotis, berlanjut dangan atau tanpa


pionefrosis, dan berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena.

9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu


saluran kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan.
Pemeriksaan laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran

13
kemih. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan
urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, dan hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk
diintervensi, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin,
uji koagulaPemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu


saluran kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan.
Pemeriksaan laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran
kemih. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan
urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, dan hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk
diintervensi, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin.
Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria, leukosuria,
bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Hanya pasien dengan risiko
tinggi terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik lebih
lanjut.

Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan apabila didapatkan sampel


batu pada pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang dianjurkan menggunakan
sinar X terdifraksi atau spektroskopi inframerah. Selain pemeriksaan di atas,
dapat juga dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar
vitamin D, bila dicurigai hiperparatiroid primer

10. Penatalaksanaan Medis

Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu,


menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi,
dan mengurangi obstruksi yang terjadi. Menurut Adi Putra (2016)
penatalaksaan penyakit batu ginjal di bagi menjadi dua terapi yaitu terapi
farmakologi dan terapi non farmakologi. Perjalanan penyakit batu ginjal yang
asimptomatik dengan ukuran kecil masih belum jelas dan risiko progresi
penyakit masih belum jelas. Hingga saat ini, masih belum ada konsensus
mengenai durasi follow-up, waktu dan tipe intervensi. Pilihan tata laksana batu
ginjal adalah kemolisis atau pengangkatan batu secara aktif.

14
2.3 Konsep Teori Extended Pyelolitotomidextra
1. Pengertian

Operasi batu ginjal yang konvensional dilakukan dengan pembedahan


terbuka, yaitu pyelolithotomy atau nephrolithotomy. Pyelolitotomy merupakan
teknik mengambil batu ginjal dari pyelum ginjal melalui pembedahan terbuka,
teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Heinecke pada tahun
1879. Nephrolithotomy merupakan teknik mengambil batu ginjal
dari korteks ginjal melalui pembedahan terbuka, teknik ini diperkenalkan
pertama kali oleh Le Dentu pada tahun 1881. Gil-Vernet memperkenalkan
teknik extended pyelolithotomy pada tahun 1965 dimana dengan teknik ini
mampu mengeluarkan batu ginjal yang lebih besar melalui pyelum ginjal. Smith
dan Boyce memperkenalkan tenik anatrophic nephrolithotomy untuk
mengeluarkan batu ginjal yang sangat besar (staghorn stone).
Teknik nephrolithotomy selain memiliki risiko perdarahan banyak juga dapat
menurunkan fungsi ginjal sebesar 20-50% dari semula.

2. Indikasi

a) Batu ginjal yang berada di pyelum dengan batu sekunder yang dapat
diambil melului pyelum

b) Batu besar di panggul ginjal

c) Untuk menghilangkan batu secara operasi, jika kondisi saluran kemih


tidak memungkinkan untuk dikeluarkan secara alami

3. Komplikasi

a) Perdarahan dari saluran kencing dengan ruptur jahitan

b) Kebocoran urin dari luka akibat pecahnya jahitan pada panggul

c) Pneumotoraks dan gangguan paru lainnya

15
BAB III
LANDASAN KASUS
3.1 Kasus
Pre Anestesi
Pasien bernama Tn. D berumur 54 tahun, jenis kelamin laki- laki beragama Islam,
pendidikan terakhir S2. Pekerjaan Pengusaha dan sedang di RSUD Ambarawa (11
Desember 2018). Hasil anamnesa dari IGD: agama Islam, pendidikan terakhir S2 Pekerjaan
pengusaha, suku Jawa sudah menikah, golongan darah A dan bertempat tinggal di
Yogyakarta.

Diagosa pre operasi Batu Ginjal Dextra dengan tindakan operasi Extended
pyelolitotomidextra. Klien dibawa ke IGD RSUD Ambarawa pada tanggal 11 Desember
2018 dan dilakukan pengkajian pre anestesi pada tanggal 12 Desember 2018 pukul 11.10
Wib. Pasien mengeluh susah buang air kecil. BAK disetai dengan mengejan. Pasien
mengatakan perut terasa begah dengan keluhan susah BAK dan harus mengejan saat buang
air kecil dan pasien juga mengatakan nyeri pada pinggang sebelah kanan. Selain Itu, pasien
tampak gelisah serta meringgis dan banyak mengajukan bertanya. Sebelumnya juga pasien
mengalami CKD stage V namun saat ditanya pasien tidak mengetahui tentang penyakitnya.
Pasien mengatakan tidak mengetahui penyebab batu ginjal. Pasien hanya mengatakan sudah
menjalani cuci darah selama kurang lebih 1 tahun, cuci darah seminggu dua kali pada hari
senin dan kamis di RSUD Soedirman Kebumen. Tidak ada keluarga yang mengalami
penyakit yang sama dengan pasien. Keluarga pasien tidak memiliki penyakit hipertensi,
asma, penyakit jantung, gula darah. Keluarga juga mengatakan Tn. D tidak memiliki
kebiasaan mengonsumsi rokok dan alkohol. Tn. D juga tidak memiliki riwayat alergi obat,
makanan, serta minuman dan tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Sebelum sakit:
Pasien mengatakan sering minum kratingdeng saat masih muda untuk menambah energi
agar lebih semangat dan tidak mudah capek saat bekerja. Pola eliminasi sebelum sakit:
BAK tidak ada masalah, BAK sehari 4-5 kali. BAB sehari sekali ataudua hari sekali. Selama
Sakit: Pasien terpasang DC ukuran 16 sejak tanggal 12 Desember 2018. Pasien mengeluhkan
susah BAK dan dipasang selang kateter. BAB pasien tidak mengalami masalah. BAB
sehari sekali atau dua hari sekali. Keadaan umum dan tanda vital dengan kesadaran
Composmentis, BB: 90 kg, GCS: E4.V5.M6 TB: 172cm RR: 22 x/mnt IMT: 30,4 N: 90
x/mnt TD: 144/82mmHg. Hasil pemeriksaan 6B : Breath (B1) :wajah normal, gigi lengkap,
Tn. D dapat membuka mulut <3 cm, Jarak Thyro - Mental < 6 cm, Malampati skor : pilar
faring, uvula dan palatum mole terlihat, pemeriksaan tonsil di dapatkan T1, kelenjar tiroid

16
normal, tidak ada obstruksi jalan napas, leher simetris dan tidak pendek. Saat penata
menginstruksikan untuk menggerakkan rahang ke depan, ektensi leher dan kepala dapat
melakukan sesuai instruksi. Pemeriksaan thorax: thorax dalam batas normal. bentuk dada
simetris, pola napas normal, tidak ada penggunaan otot bantu napas, perkusi paru sonor dan
suara napas vesikuler. Inspeksi Pulmo: Tampak pengembangan paru kanan dan kiri sama,
fremitus raba kanan kiri sama, perkusi pulmo: sonor, suara nafas vesicular +/+, RR
22x/menit. B2 (Blood): Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada
pembesaran vena jugularis, Inspeksi jantung Ictus cordis tidak tampak. Batas jantung kesan
tidak melebar, bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, mur-mur (-). Inspeksi abdomen
tampak axites, bisingusus (+) 10x/menit, hepar tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, timpani
pada kuadran kiri atas. B3 (Brain) : Tn. D dapat melakukan reflek fisiologis bisep, trisep
brakhialis, patella dan aciles, saat dilakukan pemeriksaan reflek patologis Tn. D dapat
melakukan reflek Babinski, chaddok, schaeffer, Oppenheim dan Gordon. B4 (Bowl) :
peristaltic usus 10 x/menit, tidak ada nyeri tekan pada kuadran kanan bawah, tidak ada
bunyi borborygmi, tidak ada pembesaran hati, distensi maupun asites. B5 (Blader) : saat ini
pasien sulit dapat buang air kecil secara spontan, terpasang kateter, gagal ginjal maupun
infeksi saluran kemih, dan retensi urin.. B6 (Bone) : tidak ada kelainan tulang belakang,
otot tangan kanan dan kiri simetris, tidak ada deformitas maupun fraktur. Pasien
mengatakan sudah pernah menjalani operasi sebelumnya. Operasi yang pernah dijalani
yaitu operasi batu ginjal (kiri) tetapi pasien tetap merasa takut akan menjalani operasi.
Tanda-tanda vital pasien TD : Nadi 90x/ menit, TD : 144/92 mmHg. Ekstremitas edema -/-
, echimosis +/+ multiple. Hasil laboratorium didapatkan hemoglobin (Hb) 14.4 g/dL,
hematokrit 42%, leukosit 23100/mm3, Trombosit 7000/mm3 Protrombin Time 12,7
International Normalized Ratio 1.06 Activated Partial Tromboplastin Time 25.5 .
pemeriksaan radiologi DBN.
Intra Anestesi
Pasien tiba di IBS pukul 11.15 WIB. Serah terima pasien dengan petugas ruangan,
periksa status pasien termasuk informed consent, hasil lab, hasil pemeriksaan penunjang
dan obat-obatan yang telah diberikan di ruang perawatan. Melakukan pemeriksaan airway
pasien: Jalan napas paten, tidak ada obstruksi jalan napas Prosedur anestesi umum
dilakukan dengan pemantauan dokter spesialis anestesi meliputi: fentanyl 100 mcg
dimasukkan IV secara pelan, dilanjutkan sedacum (midazolam) 2,5 mg, selanjutnya
propofol 100 mg dan memasukkan obat Tramus (atrakurium) 25 mg IV. Mengintubasi
dengan ETT (ukuran 7,8). Jam 13.00 TD 155/83mmHg N: 94x/mnt SaO2: 99% Pasien

17
masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja operasi, loading cairan infus RL sudah
terpasang pada tangan kanan, aliran lancar. Jam 13.10 TD: 149/80 mmHg N: 87x/mnt
SaO2: 99% Pemberian obat IV, Fentanil 100 mcg, Sedakum 2,5 mg, Propofol 100 mg,
Atrakurium 25 mg. Jam 13.15 TD: 148/91 mmHg N: 91x/mnt SaO2: 95% pasien tertidur,
reflek bulu mata tidak ada. Jam 13.18 TD: 149/92 mmHg N: 90 x/mnt SaO2: 98% O2: 6
lt/mnt Sevo: 2 vol%, memberikan ventilasi pasien. Jam 13.26 TD: 149/89 mmHg N:
89x/mnt SaO2: 93 O2: 6 lt/mnt sevo: 2 vol% pemasangan intubasi ETT. Jam 13.28 TD:
147/89 mmHg N: 86x/mnt SaO2: 100% memberikan ventilasi dengan N2O 3,6 lpm, O2
3,4 lpm, sevoflurant 2 vol melalui ETT mengikuti nafas pasien, hingga 3-5 menit atau
saturasi pasien. Jam 14.00 TD: 151/99 mmHg N: 89 x/mnt SaO2: 100% Cairan RL diganti
dengan tutofusin. Jam 14.05 TD: 162/104mmHg N: 91x/mnt SaO2: 100%. Jam 14.40 TD:
155/87 mmHg N: 90x/menit SaO2: 99, diberikan Ondansentron 4 mg rute IV dan ketorolak
30 mg rute IV. Jam 15.15 Operasi selesai, sevofluran dimatikan, gas N2O dimatikan TD:
154/83mmHg N: 93x/mnt SaO2: 100% O2: 7 lt/mnt 1 vol% Jam 15.20 TD: 153/86mmHg
N: 85x/mnt SaO2: 99% O2: 3 lt/mnt Ekstubasi sadar Jam 15.22 TD: 156/85 mmHg N:
91x/mnt SaO2: 100% Suction. Jam 15.30 TD: 154/76mmHg N: 89x/mnt SaO2: 100%
pasien dipindahkan ke ruang RR.
Post Anestesi
Pasien keluar dari ruang RR pukul 16.00 WIB. Kesadaran pasien compos mentis,
Observasi tanda-tanda vital TD 140/80 mmHg, N: 80 x/menit SpO2: 99%. Pasien
mengatakan mual, namun tidak muntah. Pasien mengatakan tidak pusing. Pasien
mengatakan tidak nyeri. Pasien terpasang oksigen nasal kanul 2 lpm. Posisi pasien pasca
anestesi: supinasi. Aldrete skor 9.
3.2 Standar I Pengkajian
1) Pengumpulan Data
a. Identitas
1) Identitas Pasien
No. RM : X2-YY-2X
Nama : Tn. D
Umur : 54
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : S2
Pekerjaan : Pengusaha
Suku Bangsa : Jawa / indonesia
Status perkawinan : Sudah Menikah
Golongan darah : A+

18
Alamat : Yogyakarta
Diagnosa medis : Batu Ginjal Dextra
Tindakan Operasi : Extended pylolitotomidextra
Tanggal MRS : 11 Desember 2018
Tanggal pengkajian : 12 Desember 2018
Jam Pengkajian : 11.10 WIB
Jaminan : BPJS

2) Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. H
Umur : 50 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : S2
Pekerjaan : PNS
Suku Bangsa : Jawa/ Indonesia
Hubungan dg Klien : Istri
Alamat : Yogyakarta
b. Alasan Masuk Rumah Sakit
Pasien masuk dengan keluhan susah buang air kecil dan BAK disertai
dengan mengejan
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Perut teras begah dengan keluhan susah BAK dan harus mengenjan
saat buang air kecil (BAK)

2) Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya pasien mengalami CKD stage V namun saat ditanya
pasien tidak mengetahui tentang penyakitnya. Pasien mengatakan tidak
mengetahui penyebab batu ginjal. Pasien hanya mengatakan sudah
menjalani cuci darah selama kurang lebih 1 tahun, cuci darah seminggu 2
kali pada hari senin dan kamis di RSUD Soedriman Kebumen
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak mengalami riwayat penyakit yang sama dengan pasien,
keluarga tidak memiliki penyakit hipertensi, asma, penyakit jantung, gula
darah.
4) Riwayat pengobatan/konsumsi obat
Keluarga pasien mengatakan pasien sedang tidak mengonsumsi obat.
5) Riwayat Alergi
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memiliki riwayat alergi
obat-obatan, minuman, dan makanan

19
6) Kebiasaan
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memiliki kebiasaan
seperti merokok ataupun minum alkohol

2) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Dari pemeriksaan, didapatkan hasil berupa kesadaran pasien
Composmetis dengan GCS 15 yang terdiri dari E4V5M6, TB/BB 172 CM/90
Kg, TD 144/82 mmHg, RR 22 x/menit, Nadi 90 x/menit, BMI 30,4, pasien
tampak gelisah dan pucat.
PQRST nyeri:
P : Nyeri akibat penyakit yang diderita pasien.
Q : Nyeri seperti tertekan
R : Nyeri dirasakan pada pinggang kanan bagian bawah.
T : Nyeri mulai dirasakan menetap.
b) Pemeriksaan 6 B
1. B1 (BREATH)
Kepala dan Leher
Inspeksi : Kepala, wajah, dan leher tampak simetris, tidak tampak
lesi/jejas
Palpasi : Tidak teraba masa pada kepala dan leher. Tidak ada
kemampuan membuka mulut < 3 cm, jarak tyro mental < 6 cm.
Thoraks
Inspeksi : Dada tampak simetris dan tidak terlihat adanya jejas
Palpasi : Tidak teraba masa pada bagian thoraks
Perkusi : Perkusi pada thoraks normal (sonor)
Auskultasi : Suara nafas pulmo normal (vesicular +/+) RR 22 x/menit, tidak
ditemukan obstruksi jalur nafas, bentuk leher simetris
2. B2 (BLOOD)
Inspeksi : Konjugtiva non anemis, sklera non iterik
Palpasi : Tampak axietas, bising usus (+) 10 x/menit, hepar tidak teraba,
tidak ada nyeri tekan, timpani pada kuadran kiri atas.
3. B3 (BRAIN)
Kesadaran : Composmentis, GCS: E4V5M6

20
4. B4 (BOWEL)
Auskultasi: peristaltic usus ada dan baik dengan frekuensi (+) 10 x/menit.
Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada titik Mc. Burney
5. B5 (BLADER)
Sulit buang air kecil, terpasang kateter, memiliki riwayat penyakit ginjal
6. B6 ( BONE )
Pemeriksaan tulang belakang : Tidak memiliki kelainan tulang belakang
Pemeriksaan ekstremitas atas :
Inspeksi : otot antar sisi kiri dan kanan simetris, tidak ditemukan fraktur ataupun
jejas
Pemeriksaan ekstremitas bawah :
Inspeksi : otot antar sisi kiri dan kanan simetris, tidak ditemukan fraktur ataupun
jejas
2. Data Penunjang Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HB 12,7 g/dl
Leukosit 9.150 /uL 5.000-10.000
Hematokrit 38 % Pr 37-43
Trombosit 363.000 /uL 150.000-400.000
PT 13,8 detik
APTT 27,8 detik
GDS 95 mg/dL <200
Ureum 24 mg/dL 13-
Kreatinin 0,8 mg/dL 0,6 – 1,2
SGOT 25 U/L <40
SGPT 16 U/L <40

b. Pemeriksaan Radiologi: Rontgen Abdomen


c. Therapi Saat ini :
d. Kesimpulan status fisik (ASA):
ASA II
e. Pertimbangan Anestesi
1) Faktor penyulit:
Tidak ada faktor penyulit
2) Jenis Anestesi: general anestesi
Indikasi: Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi

21
besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang
lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu,
bedah rekonstruksi tulang dan lain-lain. Selain itu, anestesi umum biasanya
dilakukan pada pembedahan yang luas (Potter & Perry, 2006). Indikasi
dilakukan untuk tindakkan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien
dan waktu pengerjaan bedah yang lebih panjang.
3) Teknik
Anestesi: intubasi (ETT)
Indikasi:
1. Menjaga patensi jalan napas
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Mencegah aspirasi dan regurgitasi

No Symptom Etiologi Problem


I. PRE ANESTESI
1 DS: Agen pencedera fisik Nyeri Akut
1. Pasien mengatakan
nyeri pada pinggang
kanan
2. Pasien mengatakan perut
terasa begah dengan
keluhan susah BAK dan
harus mengejan saat
buang air kecil (gelisah)
DO:
1. Pasien tampak meringis
kesakitan
2. Lokasi nyeri berada
pada pinggang kanan
3. TD: 144/ 92 mmhg
4. RR: 22 x/menit
5. N: 90 x/menit
6. Tampak gelisah dan
banyak mengajukan
pertanyaan
2 DS: Kurang terpapar informasi atau Ansietas
1. Pasien mengatakan defisit pengetahuan
takut akan menjalankan
operasi walaupun
sebelumnya pasien
pernah menjalani
operasi sebelumnya
DO:

22
1. Tampak gelisah dan
banyak bertanya

II. INTRA ANESTESI


No Symptom Etiologi Problem

1 DS: - Proses penuaan dan berat badan Hipotermia


ekstream
DO:
1. TD:162/104 mmHg
(takikardi) dengan
selama tindakan
intubasi SaO2 antara
100%
2. Berat badan 90 Kg
3. Wajah pasien tampak
pucat
4. Kulit teraba dingin

III. PASCA ANESTESI

No Symptom Etiologi Problem

1 DS: Defisit Gangguan rasa nyaman


1. Pasien mengeluh mual Pengetahuan/ketidakadekuatan
namun tidak muntah sumber daya pengetahuan
2. Pasien mengatakan
tidak pusing
3. Pasien mengatakan
tidak nyeri

DO:
1. TD: 140/80 mmHg
2. N: 80 x/menit
3. SpO2: 99%
4. Pasien terpasang
oksigen nasal kanul 2
lpm

3.3 Standar II Perumusan Masalah dan Standar III Perencanaan Intervensi

1) Pra Anestesi
No Masalah/Diagnosa Intervensi

23
1 Ansietas Observasi
1. Identifikasi saat tingkat ansietas
berubah (kondisi)
2. Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik
1. Pahami situasi yang membuat ansietas
2. Gunakan pendekatan yang tenang dan
menyakinkan
3. Diskusikan perencanaan realistis
tentang peristiwa yang akan datang
Edukasi
1. Jelaskan prosedur termasuk sensasi
yang mungkin dialami
2. Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis
3. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
presepsi
4. Latih teknik relaksasi dengan latihan
pernapasan

2 Nyeri akut Observasi


1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (terapi pijat,
aromaterapi, kompres hangat/dingin)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (suhu ruangan, pencahayaan,
dan kebisingan)
3. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan,
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (kompres air
hangat/dingin)

2) Intra Anestesi
No Masalah/Diagnosa Intervensi

24
1 Hipotermia Observasi
1. Monitor warna dan suhu kulit
2. Monitor adanya menggigil
3. Monitor intake dan output cairan
4. Monitor status pernapasan
Terapeutik
1. Lakukan pendinginan eksternal
(memberikan selimut)

3) Pasca Anestesi
No Masalah/Diagnosa Intervensi
1 Gangguan rasa nyaman Observasi
1. Identifikasi gejala yang tidak
menyenangkan (mual)
2. Identifikasi pemahaman tentang
kondisi, situasi, dan perasaan
Terapeutik
1. Berikan posisi yang nyaman
2. Berikan kompres dingin atau hangat
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman
4. Berikan pemijatan
5. Berikan terapi akupresur
6. Diskusikan mengenai situasi dan
pilihan terapi atau pengobatan yang
diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan mengenai kondisi dan pilihan
terapi atau pengobatan
2. Ajarkan terapi relaksasi dengan latihan
pernapasan

25
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 13. (terjemahan).
Jakarta: Kedokteran EGC
PPNI, (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definsi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: SDKI DPP PPNI.
PPNI, (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definsi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: SIKI DPP PPNI.
Hasanah, Uswatun., Mengenal Penyakit Ginjal,. (2016). Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, Vol,
14 (28),.
Fauzi, Ahmad., Marco, M, A, P., (2016). Nefrolitiasis. 5(2), 69-73
Sakhaee, K., Maalouf, N. M., & Sinnott, B. (2012). Kidney stones 2012: pathogenesis,
diagnosis, and management. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism, 97(6), 1847-1860.

26

Anda mungkin juga menyukai