Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Batu saluran kemih khususnya batu ginjal masih merupakan


penyakit yang sering dijumpai di bidang urologi, khususnya di negara
berkembang. Penyakit ini merupakan penyebab morbiditas yang tinggi
karena memiliki angka kekambuhan yang tinggi dan sering menimbulkan
komplikasi pada penderita. Oleh karena itu, dibutuhkan terapi yang tepat
dan menyeluruh terutama dalam bidang pembedahan untuk mengatasi batu
ginjal dan mengurangi morbiditas pada penderita.
Angka kejadian batu ginjal mencapai 114-720 per 100.000
individu dengan prevalensi total 1,7-14,8% berdasarkan data epidemiologi
dari Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat (Romero et al, 2010; Khan et al,
2016). The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
menunjukkan bahwa prevalensi batu ginjal telah meningkat tiga kali lipat
dalam tiga dekade terakhir di Amerika Serikat, dari 3,2% pada periode
1976-1980 menjadi 8,8% pada 2007-2010. Di Inggris, prevalensi terkena
batu ginjal semasa hidup meningkat sebesar 63% pada periode 2000-2010,
dari 7,14% menjadi 11,62% (Ghani et al, 2013; Khan et al, 2016). Di
Jerman, angka kejadian batu ginjal mencapai 750.000 kasus per tahun
pada tahun 2011 dan diperkirakan terus meningkat. Walaupun sebagian
besar penderita hanya mengalami satu kali episode batu, 25% dari mereka
bisa mengalami episode batu berulang (Knoll, 2011).
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas (riset kesehatan dasar),
prevalensi batu ginjal tertinggi ada di daerah DI Yogyakarta (1,2%),
diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah masing
masing sebesar 0,8%. Sementara di Bali, prevalensi batu ginjal sekitar
0,7%. Penderita batu ginjal terbanyak ada pada kelompok umur 55-64
tahun (1,3%), diikuti kelompok umur 65-74 tahun (1,2%), dan di atas 75
tahun (1,1%) (Trihono, 2013). Penanganan pembedahan batu ginjal
awalnya dikerjakan melalui operasi terbuka. Extended pyelolithotomy
yang dipelopori oleh Gil-Vernet pada tahun 1965 menjadi prosedur pilihan
intervensi bedah hingga tahun 1980. Seiring dengan kemajuan zaman dan
teknologi, operasi terbuka mulai digantikan posisinya oleh operasi
minimal invasif. Di negara maju, insidens operasi terbuka dilaporkan
hanya sebesar 1,5%, sementara pada negara berkembang, operasi terbuka
telah mengalami penurunan insidens dari 26% menjadi 3,5% pada
beberapa tahun terakhir (El-Husseiny et al, 2012). Namun demikian,
operasi terbuka masih merupakan pilihan utama terapi batu ginjal,
terutama di negara-negara berkembang karena biaya tindakannya relatif
lebih murah dibandingkan operasi minimal invasif.
Operasi terbuka memiliki angka bersihan batu yang tinggi, mampu
mengatasi komplikasi intraoperatif yang tidak dapat diatasi dengan operasi
minimal invasif, serta memerlukan lebih sedikit prosedur tambahan seperti
SWL pasca operasi (Cakici et al, 2017; Zhang et al, 2017). Saat ini,
pilihan intervensi bedah batu ginjal telah bergeser menjadi operasi
minimal invasif, seperti shockwave lithotripsy (SWL), retrograde
intrarenal surgery (RIRS), dan percutaneous nephrolithotomy (PCNL)
(Raheem et al, 2017).
Secara keseluruhan, prevalensi batu ginjal sekitar 6-9% pada pria
dan 3-4% pada wanita. Penelitian terbaru menunjukkan prevalensi dan
insiden batu ginjal terus meningkat di seluruh dunia. Perubahan diet dan
iklim memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan dan insiden
batu ginjal Retrograde Intrarena Surgery ( RIRS ) adalah sebuah prosedur,
baik untuk diagnostic maupun operasi, hingga kedalam ginjla. Untuk
prosedur ini, dokter tidak memerlukan sayatan, karena alat  RIRS
(Telescope) yang digunakan akan masuk melalui lubang alami tubuh
( Natural Orifice ). Pada alat RIRS (Telesscope) ini sudah dilengkap
dengan working channel, sehingga instrumennya dapat masuk melalui
portal yang sama dengan telescope.
Perkembangan teknologi dan tehnik operasi dalam dunia minimal
invasive surgery, membuat tindakan operasi dilakukan tanpa membuat
sayatan di tubuh pasien. Untuk melakukan tindakan operasi memanfaatkan
lubang alami tubuh Telescope RIRS yang dimasukkan lewat lubang alami
saluran kencing bias menjangkau ke seluruh bagian ginjal. Dalam prosedur
RIRS ( Scope) dimasukkan melalui Urethra ( Lubang untuk berkemih )
kedalam kandung kemih ( Buli ), kemudian masuk ke ureter malaui lubang
ureter, menuju bagian ginjal yang berfungsi untuk urine-collecting,
telescope diarahkan secara mundur pada upper track hingga mencapai
ginjal ( intrarenal ). RIRS memungkinkan diakukan untuk membuang
batu. Batu yang terlihat dapat dimanipulasi dengan dihancurkan sehingga
dapat keluar dari saluran kemih.
Keuntungan dari RIRS dibanding tehnik operasi lain seperti
pembedahan terbuka dengan sayatan maupun PCNL (PERCUTANEOUS
NEPHROLITHOTOMY) adalah  meminimalkan rasa nyeri paska
operasi dan pemulihan yang lebih cepat sehingga waktu tinggal dirumah
sakitnya juga lebih pendek, dengan komplikasi yang lebih rendah
dibanding tehnik operasi yang lain.

Berdasarkan persyaratan tugas akhir pada panal exspert maka


penulis mendapat kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.I
Dengan DJ Stand dan batu multiple renal sinistra di Ruang Intalasi Bedah
Sentral RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda”.
B. Rumusan Masalah

1. Apa Definisi Batu Ginjal ?


2. Bagaimana Anatomi Dan Letak Batu Pada Ginjal ?
3. Bagaimana Etiologi Batu Ginjal ?
4. Apa SajaFaktor Risiko Yang Menyebabkan Batu Ginjal ?
5. Bagaimana Patofisiologi Batu Ginjal?
6. Bagaimana Tanda Gejala Batu Ginjal?
7. Apa Saja Komplikasi Batu Ginjal?
8. Bagaimana Pathways Batu Ginjal?
9. Apa Saja Pemeriksaan Diagnostik Pada Batu Ginjal
10. Bagaimana Penatalaksanaa Batu Ginjal?
11. Bagaimana Pencegahan Batu Ginjal?
C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Dan Memahami Definisi Batu Ginjal


2. Untuk Mengetahui Dan Memahami Anatomi Dan Letak Batu Pada
Ginjal ?
3. Untuk Mengetahui Dan Memahami Etiologi Batu Ginjal ?
4. Untuk Mengetahui Dan Memahami Faktor Risiko Yang Menyebabkan
Batu Ginjal ?
5. Untuk Mengetahui Dan Memahami Patofisiologi Batu Ginjal?
6. Untuk Mengetahui Dan Memahami Tanda Gejala Batu Ginjal?
7. Untuk Mengetahui Dan Memahami Komplikasi Batu Ginjal?
8. Untuk Mengetahui Dan Memahami Pathways Batu Ginjal?
9. Untuk Mengetahui Dan Memahami Pemeriksaan Diagnostik Pada
Batu Ginjal
10. Untuk Mengetahui Dan Memahami Penatalaksanaa Batu Ginjal?
11. Untuk Mengetahui Dan Memahami Pencegahan Batu Ginjal?
D. Ruang Lingkup Bahasan

Ruang lingkup bahasan pada Laporan kasus ini adalah pelaksanaan


proses Asuhan Keperawatan Pada Tn. I Dengan Batu Multilpe Renal
Sinistra dengan tindakan Rotrograde Internal Surgery (RIRS) di Ruang
Intalasi Bedah Sentral RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda yang
dilaksanakan pada tanggal 09 sampai 13 Desember 2019.
E. Metode Penulisan

Dalam penyusunan Laporan kasus ini penulis menggunakan metode


deskriptif dengan studi kasus yaitu pengelolaan asuhan Keperawatan
secara komperehensif pada klien dengan Batu ginjal dengan tindakan
Retrograde Interenal Surgery (RIRS).
Adapun data – data yang terhimpun dalam penyusunan Laporan kasus
ini penulis peroleh dengan cara :
1. Wawancara
Diskusi dengan tenaga kesehatan yang terkait, pembimbing
dokter, teman sejawat.
2. Observasi
Teknik ini adalah dengan cara mengamati perilaku keadaan umum
klien.
3. Studi Kepustakaan
Meliputi literature – literature yang berkaitan atau berhubungan
dengan Laporan kasus ini.
4. Studi Dokumentasi
Didapatkan dari rekan medik baik berupa catatan perawat maupun
instruksi dokter sebagai penunjang pelengkap data – data yang
ada.
5. Pemeriksaan
Fisik
1) Inspeksi yaitu memeriksa dengan cara melihat klien secara
keseluruhan.
2) Palpasi yaitu memeriksa dengan meraba klien dari kepala
hingga kaki.
3) Auskultasi yaitu memeriksa dengan mendengarkan melalui
Stetoschope bunyi paru dan abdomen.
4) Perkusi yaitu memeriksa dengan mengetuk daerah paru – paru,
abdomen, dan tubuh klien yang lainnya.
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu memeriksa darah, urine,
ataupun yang lainnya untuk mengetahui adanya kelainan pada
tubuh klien baik bakteri, virus atau ketidaknormalan
F. Sistemika Penulisan

Dalam menyusun Laporan kasus ini penulis membagi daerah


dalam lima bab, yaitu: BAB I tediri dari pendahuluan yang berisi Latar
Belakang, Ruang Lingkup Bahasan, Tujuan Penulisan dan Sistematika
Penulisan. BAB II berisikan dasar teoritis yang meliputi dua bagian, yaitu
bagian pertama konsep dasar penyakit yang terdiri dari pengertian,
etiologi, Patofisiologi, tanda dan gejala, penatalaksanaan dan komplikasi.
Bagian kedua adalah Asuhan Keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara
teoritis. BAB III tinjauan kasus, yang menerangkan tentang kasus yang
terjadi dan dilakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan
Batu Ginjal dengan tindakan RIRS, dengan penerapan proses keperawatan
yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan,
tindakan perawatan dan evaluasi hasil dari apa yang diharapkan. BAB IV
penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran – saran mengenai Asuhan
keperawatan pada klien dengan Batu Ginjal dengan tindakan RIRS.
BAB II

TEORI BATU GINJAL

A. Pengertian

Batu ginjal adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di
dalam pelvis atau calyces ginjal atau di saluran kemih (Pratomo, 2007).
Batu ginjal adalah istilah umum batu ginjal disembarang tempat. Batu ini
terdiri dari atas garam kalsium, asam urat, oksalat, sistin, xantin, dan
struvite (Patofisiologi Keperawatan, 2000).
Nefrolitiasis adalah adanya timbunan zat padat yang membatu pada
ginjal, mengandung komponen kristal, dan matriks organic (Soeparman,
2001). Nefrolitiasis atau batu ginjal adalah sebuah material solid yang
terbentuk di ginjal ketika zat atau substasi normal di urin menjadi sangat
tinggi konsentrasinya. Berdasarkan anatomi dari ginjal, lokasi batu ginjal
biasanya khas dijumpai pada bagian pelvis dan kaliks. Sekitar 80% kasus
batu terbentuk secara unilateral artinya hanya ditemukan batu di salah satu
bagian ginjal saja. Batu cenderung berukuran kecil dengan rata-rata
diameter 2 sampai 3 mm dan bisa berbentuk halus atau bergerigi.
Terkadang penambahan progresif garam dapat menyebabkan terbentuknya
struktur bercabang yang dikenal straghorn stone atau membentuk cetakan
sistem kaliks dan pelvis ginjal. Penyebab terpenting adalah meningkatnya
konsentrasi konstituen batu di dalam urine, sehingga kelarutan konstituen
tersebut didalam urine terlampaui (supersaturasi). Batu bisa berada pada
ginjal atau berjalan melewati saluran kemih. Penyakit ini bagian dari
penyakit urolitiasis atau bisa disebut Batu Saluran Kemih (BSK). Lokasi
dari batu bisa terkena di beberapa tempat yaitu di ginjal, ureter dan
kandung kemih. Ginjal merupakan tempat tersering terjadinya batu
dibandingkan dengan tempat saluran kemih yang lainnya.
B. Anatomi Dan Letak Batu Pada Ginjal
Pada orang dewasa normal ginjal terletak retroperitoneal di dinding
posterior abdomen. Posisi ginjal kanan terletak lebih inferior dibandingkan
dengan ginjal kiri yang dikarenakan terdapat organ hati di bagian batas
superior. Ginjal kiri terletak setinggi T12-L3 dan ginjal kanan lebih rendah
dari ginjal kiri. Organ ini memiliki panjang sekitar 10cm, lebar 5cm,
dengan ketebalan 2,5cm.

Gambar 2.1
Anatomy Ginjal (Tampak Posterior)

Pada bagian batas superior bersentuhan dengan diafragma dan


posteroinferior dari ginjal berhubungan dengan otot quadrates lumborum
dan dilalui oleh saraf dan pembuluh darah subkostal serta saraf
iliohipogastrik dan ilioinguinal. Dilihat dari aspek anterior pada ginjal
kanan terdapat hati yang dipisahkan oleh hepatorenal recess, duodenum,
ascending colon dan bagian ginjal kiri terdapat lambung, spleen, pancreas,
jejunum, descending colon. Masing masing ginjal memiliki beberapa
bagian anterior surface, posterior surface, lateral margin, medial margin,
superior pole dan inferior pole
Gambar 2.2
Topografi Ginjal (Tampak Anterior)

Pada batas medial terdapat cekungan secara vertikal yang disebut


hilum. Hilum membentuk suatu ruangan yang dinamakan dengan sinus
yang memperantarai tempat keluar masuknya pembuluh darah, saraf,
renal pelvis dan kaliks. Renal pelvis merupakan muara dari 2 atau 3
saluran kaliks major cabang dari 2 atau 3 saluran kaliks minor pada bagian
aspek internal dari ginjal kemudian dari pelvis akan berujung pada ureter.
Bagian eksternal ginjal diselubungi lapisan yang dinamakan kapsul dan
bagian internal ginjal terdiri dari 2 bagian yaitu korteks atau bagian terluar
dan medula. Bagian medula terdapat piramidal ginjal yang berisi unit
fungsional dari ginjal yaitu nefron dan berujung pada collecting system
yaitu renal papilla dan kaliks.

Gambar 2.3
Anatomi Ginjal

Kaliks dan pelvis merupakan tempat yang paling sering terdapat batu
dan bisa menjadi progresif menjadi persatuan batu di kaliks dengan batu di
pelvis yang disebabkan karena adanya penambahan garam berlebih yang
dikenal sebagai straghorn stone yang membentuk cetakan seperti struktur
kaliks dan pelvis. Sebuah batu bisa melewati daerah pelvis bahkan
bermigrasi ke daerah ureter dan bladder sehingga bisa menyebabkan
obstruksi aliran urin.

Gambar 2.4
Lokasi Batu di Ginjal
C. Etiologi
Penyebab terbentuknya suatu batu sering tidak diketahui, terutama
pada kasus batu yang mengandung kalsium. Penyebab pembentukan batu
yang paling berperan yaitu bergabungnya faktor predisposisi. Penyebab
terpenting adalah meningkatnya konsentrasi konstituen batu didalam urin
sehingga kelarutan konstituen tersebut di dalam urin terlampaui.
Berdasarkan Tabel 2.1, 50% pasien yang mengalami batu kalsium
memperlihatkan hiperkalsiuria yang tidak berkaitan dengan hiperkalsemia.
Sekitar 5% sampai 10% pasien terdapat hiperkalsemia yang diakibatkan
intoksikasi vitamin D atau sarkoidosis sehingga terjadi hiperkalsiuria, pada
20% subkelompok ini terjadi ekresi berlebihan asam urat melalui urin,
yang mempermudah terbentuknya batu kalsium, asam urat dari urin
diperkiraan membentuk nidus bagi pengendapan kalsium. Pada 5% terjadi
hiperoksaluria dan sisanya tidak diketahui ada kelainan metabolik.
Penyebab batu ginjal tipe lain relatif lebih dipahami. Batu magnesium
amonium fosfat (struvit) hampir selalu terjadi pada pasien dengan urin
alkalis menetap akibat Urinary Tract Infection (UTI). Secara khusus,
bakteri pemecah urea seperti Proteus Vulgaris dan Staphylococcus
mempermudah untuk terjadinya batu. Selain itu bakteri mungkin berfungsi
sebagai nidus untuk terbentuknya semua jenis batu. Pada avitaminosis A,
skuama yang terlepas dari epitel metaplastik sistem penyalur kemih
berfungsi sebagai nidus.
Gout dan penyakit berkaitan dengan percepatan pergantian sel, seperti
leukimia menyebabkan tingginya asam urat didalam urin dan
kemungkinan terbentuknya batu asam urat. Sekitar separuh pasien dengan
batu asam urat tidak mengalami hiperurisemia tetapi memperlihatkan
kecenderungan mengeluarkan urin dengan kadar PH rendah atau dalam
keadaan asam (<5,5) dan memudahkan terbentuknya batu. Batu sistin
hampir selalu berkaitan dengan kelainan genetik transport asam amino
tertentu, termasuk sistin di ginjal. Berbeda dengan batu struvit, baik batu
sistin maupun batu asam urat lebih besar kemungkinannya terbentuk
apabila urin relatif asam.

Tabel 2.1
Pravalensi Dan Etiologi Tipe Batu Ginjal
Batu Etiologi Presentasi Batu
Kalsium - Hiperkalsiuria idopatik (50%) 75%
oksalat dan - Hiperkalsemia dan
kalsium hiperkalsiuria (10%)
fosfat - Hiperoksaluria (5%)
- Hiperurikosuria (20%)
Struvit - Tidak diketahui terdapat 10-15%
kelainan metabolit (15%-20%)
Asam urat - Infeksi ginjal 6%
- Terkait dengan hiperurisemia
- Terkait dengan hiperurikosuria
Sistin - Idiopatik 1-2%

Dikutip dari : Robbins Buku Ajar Patologi


D. Factor Risiko
Faktor risiko terjadinya nefrolitiasis yaitu kelebihan kalsium, fosfat,
oksalat, dan asam urat di dalam urin, riwayat keluarga batu ginjal, dan
obesitas. Asupan makanan dan cairan memiliki peran penting dalam
pembentukan batu ginjal. Penggunaan air bersih sangat berpengaruh
terhadap tebentuknya batu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Dwi Nur Patria Kresna air sadah dapat menyebabkan pengendapan mineral
yakni CaCO3 dan MgCO3 yang berujung pada kristalisasi. Faktor usia,
jenis kelamin, ras, lokasi geografis, cuaca dan genetik sangat berpengaruh
pada penyakit ini. Suatu kondisi klinis juga bias mengakibatkan
terbentuknya batu ginjal termasuk obesitas, diabetes melitus, hipertensi,
gagal ginjal kronis dan penyakit kardio vascular.
1. Usia
Pembentukan batu akan meningkat sesuai umur dan mencapai
maksimal pada tingkat dewasa dibandingkan dengan anak-anak,
karena nefron pada anak-anak kurang berkembang yang ditandai oleh
pendeknya ukuran dan berkurangnya volume tubulus proksimal
maupun di lengkung henle sehingga berkurangnya pembentukan
kristal yang berlebih. Semakin bertambahnya umur menyebabkan
gangguan peredaran darah seperti hipertensi dan juga peningkatan
kolesterol. Hipertensi dapat menyebabkan pengapuran ginjal yang
dapat berubah menjadi batu sedangkan kolesterol tinggi merangsang
agregasi dengan kristal kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga
mempermudah terbentuknya batu.
2. Jenis Kelamin
Nefrolitiasis lebih rentan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan yang dikarenakan struktur anatomi dari pria lebih
panjang, sehingga lebih banyak kemungkinan susbtansi pembentuk
batu mengendap dan menjadi batu. Peranan hormon seks berpengaruh
terhadap pembentukan batu kalsium oksalat. Hormon androgen pada
pria akan meningkatkan terbentuknya batu dibandingkan dengan
hormon esterogen pada perempuan yang bisa menurunkan eksresi
oksalat, konsentrasi oksalat plasma, dan endapan kristal kalsium
plasma. Kadar kalsium air kemih pada perempuan sebagai bahan
utama pembentuk batu lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki
dan kadar sitrat air kemih sebagai bahan penghambat terjadinya batu
pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki sehingga lebih
cenderung tinggi pada laki-laki dibanding perempuan untuk terjadinya
pembentukan suatu batu
3. Geografis, Iklim dan Temperatur
Negara yang beriklim tropis dengan ciri utamanya adalah suhu dan
memiliki kelembaban yang tinggi. Suhu lingkungan kerja tinggi atau
lingkungan kerja panas, kondisi tersebut sangat mempengaruhi pada
kondisi pekerja. Faktor geografis, iklim, dan temperatur dari suatu
daerah juga berpengaruh begitu juga dengan individu yang menetap di
daerah beriklim panas dengan paparan ultraviolet tinggi akan
cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D
yang bisa memicu peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat serta
menyebabkan pengeluaran keringat yang banyak sehingga
menurunkan produksi urin. Jika produksi urin menurun kepekatan urin
akan meningkat dan zat-zat yang terkandung dalam urin akan
meningkat konsentrasinya.
4. Terlalu lama duduk
Duduk terlalu lama dapat mengakibatkan nefrolitiasis yang
dikarenakan kurang aktifitas dari tulang-tulang sehingga tulang
cenderung melepaskan banyak kalsium

E. Patofisiologi
Nefrolitiasis merupakan kristalisasi dari mineral dan matriks seperti
pus darah, jaringan yang tidak vital dan tumor. Komposisi dari batu ginjal
bervariasi, kira-kira tiga perempat dari batu adalah kalsium, fosfat, asam
urin dan cistien.peningkatan konsentrasi larutan akibat dari intake yang
rendah dan juga peningkatan bahan-bahan organic akibat infeksi saluran
kemih atau urin ststis sehingga membuat tempat untuk pembentukan batu.
Ditambah dengan adanya infeksi meningkatkan kebasaan urin oleh
produksi ammonium yang berakibat presipitasi kalsium dan magnesium
pospat.
Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang kemudian dijadikan dalam beberapa teori ;
1. Teori supersaturasi
Tingkat kejenuhan kompone-komponen pembentuk batu ginjal
mendukung terjadinya kristalisasi. Kristal yang banyak menetap
menyebabkan terjadinya agresi kristal kemudian timbul menjadi batu.
2. Teori matriks
Matriks merupakan mukoprotein yang terdiri dari 65% protein,
10% heksose, 3-5 heksosamin dan 10% air. Adapun matriks
menyebabkan penempelan kristal-kristal sehingga menjadi batu.
3. Teori kurang inhibitor
Pada kondisi normal kalsium dan fosfat hadir dalam jumlah yang
melampui daya kelarutan, sehingga diperlukan zat penghambat
pengendapat. Phospat mukopolisakarida dan dipospat merupakan
penghambatan pembentukan kristal. Bila terjadi kekurangan zat ini
maka akan mudah terjadi pengendapan.
4. Teori epistaxis
Merupakan pembentukan baru oleh beberapa zat secra- bersama-
sama, salauh satu batu merupakan inti dari batu yang merupakan
pembentuk pada lapisan luarnya. Contohnya ekskresi asam urayt
yanga berlebihan dalam urin akan mendukung pembentukan batu
kalsium dengan bahan urat sebagai inti pengendapan kalsium.
5. Teori kombinasi
Batu terbentuk karena kombinasi dari berbagai macam teori di atas
F. Tanda Gejala
1. Nyeri dan pegal di daerah pinggang
Lokasi nyeri tergantung dari dimana batu itu berada. Bila pada
piala ginjal rasa nyeri adalah akibat dari hidronefrosis yang rasanya
lebih tumpul dan sifatnya konstan. Terutama timbul pada
costoverteral.
2. Hematuria
Darah dari ginjal berwarna coklat tua, dapat terjadi karena adanya
trauma yang disebabkan oleh adanya batu atau terjadi kolik.
3. Infeksi
Batu dapat mengakibatkan gejala infeksi traktus urinarius maupun
infeksi asistemik yang dapat menyebabkan disfungsi ginjal yang
progresif.
4. Kencing panas dan nyeri
5. Adanya nyeri tekan pada daerah ginjal

G. Komplikasi
Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat
menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasen yang berada pada tahap ini
dapat mengalami retensi uin sehingga pada fase lanjut ini dapat
menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat
menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal
ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005;
Purnomo,2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat
menyebabkan infeksi ginjal yang akan belanjut menjadi urepsepsis dan
merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan
mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah keseluruh
tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001;Prabowo &Pranata,
2014).
H. Pathways
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Urin
a. PH lebih dari 7,6
b. Sediment sel darah merah lebih dari 90%
c. Biakan urin
d. Ekskresi kalsium fosfor, asam urat
2. Darah
a. Hb turun
b. Leukositosis
c. Urium krestinin
d. Kalsium, fosfor, asam urat
3. Radiologist
Foto BNO/NP untuk melihat lokasi batu dan besar batu
4. USG abdomen
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Pengurangan nyeri
Tujuan dari penanganan kolik renal atau ureteral adalah
untuk mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan.
Morfin atau meperiden untuk mencegah syok dan sinkop akibat
nyeri yang luar biasa, mandi air panas atau hangat di area panggul,
pemberian cairan, kecuali untuk klien muntah atau menderita gagal
jantung kongestif. Tujuan dari pemberian cairan adalah untuk
mengurangi konsentrasi kristaloid urine, mengecerkan urine, dan
menjamin haluaran yang besar serta meningkatkan tekanan
hidrostatik pada ruang di belakang batu sehingga mendorong
masase batu ke bawah.
b. Pengangkatan batu
Adanya pemeriksaan sitoskopik dan pemasangan kateter
ureter kecil dapat menghilangkan batu yang obstruktif. Jika batu
terangkat, maka bisa dilakukan analisa kimiawi yang menentukan
kandungan batu.
c. Terapi nutrisi dan medikasi
Tujuan terapi adalah untuk membuat pengenceran karena
batu sering terbentuk dan membatasi makanan yang memberikan
kontribusi pada pembentukan batu serta anjurkan klien untuk
bergerak agar mengurangi pelepasan kalsium dari tulang.
Pemberian terapi diet rendah protein, rendah garam adalah untuk
memperlambat pertumbuhan batu ginjal atau membantu mencegah
pembentukan batu ginjal.
1) Batu kalsium: kurangi diet yang mengandung kalsium dan
fosfor; obat untuk mengasamkan urine, seperti amonium
klorida, Lithostat.
2) Batu fosfat: diet rendah fosfor, seperti jel aluminium
hidroksida.
3) Batu urat: diet rendah purin, seperti alopurinol (Zyloprim).
4) Batu sistin: diet rendah protein, seperti penisilamin.
5) Batu oksalat: pertahankan keenceran urin dan batasi masukan
oksalat, seperti banyak mengkonsumsi sayuran berdaun hijau,
buncis, coklat, teh dan kopi.
d. Metode pengangkatan batu
1) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Batu ginjal dengan ukuran kurang dari 2 cm pilihan
terapinya adalah ESWL. ESWL merupakan terapi noninvasive
untuk memecah batu menggunakan tenaga pulsasi akustik dari
luar tubuh pasien. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen
kecil sehingga dapat dikeluarkan melalui saluran kemih.
2) Percutaneous Nefrolitomi (PNCL)
Batu gnjal dengan ukuran lebih dari 2 cm atau batu
staghorn pilihan terapinya adalah PNCL. PNCL merupakan
tindakan minimal invasive yang bertujuan mengangkat batu
ginjal melalui akses perkutaneus untuk mencapai pelviokalis.
Tindakan dimulai dengan pemasangan kateter ureter
dilanjutkan dengan pungsi perkutan dengan guiding C-ARM
atau USG menuju target lokasi batu, selanjutnya dilakukan
dilatasi dan memasukkan nefroskop ke system pelviokalis
untuk mencapai batu dan selanjutnya diikuti dengan tindakan
litotripsi guna menghancurkan batu.
3) Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS)
Batu ginjal dengan ukuran kurang dari 1 cm yang letaknya
pada pole bawah ginjal dan juga untuk batu ginjal dengan
ukuran lebih dari 2 cm dimana PNCL tidak bias dilakukan
maka dilakukan tindakan RIRS. RIRS merupakan procedure
operasi batu ginjal dengan menggunakan Uretroskop Fleksibel.
Tindakan ini dimulai dengan menggunakan hydrophilic safety
guidewire hingga pelvis renalis dengan bantuan fluoroskopi.
Uretroskop Fleksibel dimasukkan kedalam pelvis renalis dan
batu ginjal dipecah dengan bantuan laserholmium.
4) Pengangkatan bedah
Dilakukan 1%-2% pasien dengan indikasi batu tersebut
tidak berespon terhadap bentuk penanganan lain atau
mengkoreksi setiap abnormalitas anatomik dalam ginjal untuk
memperbaiki drainase urine. Teknik pembedahan ginjal
endoskopik menyembuhkan 90% batu. Kadang-kadang, batu
staghorn kaliks dapat diangkat melalui operasi terbuka,
terutama bila terdapat keadaan lain yang mendukung
pendekatan semacam ini. Pengobatan sesuai dengan komposisi
kimia batu, yaitu batu kalsium, kandungan batu kalsium pada
klien batu ginjal adalah hal yang paling sering terjadi yang
berkombinasi dengan fosfat atau substansi lain. Pada klien ini,
pengurangan kandungan kalsium dan fosfor dalam diet dapat
membantu mencegah pembentukan batu lebih lanjut. Urine
dapat menjadi asam dengan pemakaian medikasi seperti
amonium klorida atau asam asetohidroksamik (Lithostat).
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Meningkatkan asupan cairan bertujuan untuk meningkatkan aliran
urine dan membantu mendorong batu. Asupan cairan dalam jumlah
yang besar pada orang-orang yang rentan mengalami batu ginjal
dapat mencegah pembentukan batu. Minum air putih sebanyak-
banyaknya atau sekurang-kurangnya dua liter setiap hari, agar
garam-garam yang ada di kantung kemih tidak keruh dan
mengkristal.
b. Modifikasi makanan, dapat mengurangi kadar bahan pembentuk
batu, bila kandungan batu sudah teridentifikasi.
c. Batasi konsumsi makanan yang banyak mengandung zat kalsium
oksalat dan asam urat.
d. Mengubah pH urine sedemikian untuk meningkatkan pemecahan
batu.
K. Pencegahan
Kesulitan dari pencegahan penyakit batu ginjal adalah gejala penyakit
ini muncul ketika keadaan sudah parah, atau ketika batu ginjal sudah
terbentuk besar dan banyak. Rasa sakit mulai timbul ketika batu ginjal
sudah mencapai saluran kencing (Alam, 2008). Gejala awal dari batu
ginjal adalah adanya rasa sakit yang biasanya dimulai pada lambung atau
di daerah samping perut dan perlahan-lahan rasa sakit bergerak menuju
daerah pangkal paha. Batu ginjal yang sudah terbentuk tersebut dapat
menyebabkan rasa nyeri yang sangat ketika batu tersebut dipaksa keluar
dari saluran kencing. Hal ini biasanya terjadi ketika batu ginjal yang cukup
besar sudah masuk ke dalam ureter, yang menyebabkan terjadinya tekanan
dari air kencing yang terhambat dan menyebabkan sensasi yang sangat
menyakitkan.
Dalam kasus yang ekstrim, air kencing bisa berwarna merah karena
bercampur dengan darah akibat dari kerusakan ureter. Hal ini bisa
mengakibatkan keadaan menjadi lebih parah karena timbulnya komplikasi
seperti infeksi yang lebih lanjut. Selain itu kekurangan darah juga dapat
menjadi masalah serius karena perdarahan terus terjadi akibat kerusakan
ureter. Untuk menghindari hal ini maka perlu dilakukan pencegahan
terbentuknya batu ginjal (Alam, 2008). Adapun beberapa cara untuk
mencegah terbentuknya batu ginjal, yaitu:
1. Mengurangi minuman yang berkalsium tinggi atau minuman
bervitamin C tinggi. Pengkonsumsian yang terlalu sering akan
mengakibatkan infeksi pada ginjal dan mengakibatkan batu ginjal.
2. Mengurangi makanan atau minuman bersuplemen.
3. Mengurangi makanan yang bisa menyebabkan asam urat, seperti
jeroan sapi, kambing, dan lain sebagainya. Makanan ini banyak
mengandung enzim yang bisa menimbulkan endapan pada ginjal.
4. Hindari diet ketat. Pada umumnya orang menjalankan diet ketat
supaya langsing. Masalahnya, diet ketat seperti itu bisa menimbulkan
kristal pada ginjal.
5. Perbanyak minum air putih minimal 2 liter per hari.
6. Hindari menahan kencing terlalu lama.
7. Berolahraga secara teratur.
8. Mengurangi konsumsi Vitamin D secara berlebihan.
9. Hindari makanan dengan kadar oksalat, natrium, kalsium yang tinggi
dan protein hewan dengan purin tinggi, karena dapat memicu
terbentuknya batu ginjal / kandung kemih.
10. Deteksi dini dari batu ginjal akan membantu mencegah kerusakan
saluran kencing lebih lanjut dan lebih serius. Segera konsultasikan
dengan dokter dan segeralah melakukan pengobatan yang sesuai
dengan kondisi saat ini.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

D. Analisa Data
Analisa Data Etiologi masalah
DS : P: nyeri baik Agen pencedera Nyeri akut
saat diam maupun fisiologis
bergerak
Q : Teriris-iris
R : di pinggang
S : Skala 5
T : Hilang-timbul

DO : Pasien tampak
tegang
TD : 120/90 mmHg
N : 88x/i
Hasil rongten batu
renal multiple
DS : pasien Krisis situasional Cemas
Pre Op
mengatakan khwatir
terhadap operasi yang
akan dilakukan
Skala 1
(mengungkapkan
kerisauan)
DO : Terlihat wajah
tegang

DS : Tindakan Resiko
DO : dilakukan Pembedahan perdarahan
tindakan RIRS (
DS :- Procedure Invasif Resiko Infeksi
DO : dilakukan
tindakan RIRS
Hasil Lab Leukosit
11.75 (4.80-10.80)
Intra Op

Ds : - Terpapar suhu Hipotermi


Do : Suhu : 35,5 c lingkungan
Akral dingin rendah
Pasien
menggigil
DS : - Kondisi Pasca Resiko Jatuh
DO : Pasien post op operasi
Post Op
(anastesi umum)
:kesadaran samnolen
Skala morse 35
(risiko sedang)

E. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut b/d Agen Pencedera Fisiologis
2. Ansietas b/d Krisis Situasional
3. Risiko Pendarahan d/d tindakan operasi
4. Risiko Infeksi d/d procedure invasif
5. Hipotermi b/d terpapar suhu lingkungan rendah
6. Risiko Jatuh d/d kondisi pasca operasi

G. Intervensi Keperawatan
No Dx Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawata Hasil
n
Dx I Nyeri akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (I.08238)
D.0077 b/d Agen (L.08066) Observasi :
(Pre op) cedera Setelah dilakukan - Identifikasi lokasi
fisiologis tindakkan keperawatan karakteristik, durasi,
selama 1x8 jam frekuensi, kualitas dan
diharapkan tingkat intensitas nyeri
nyeri dapat menurun - Identifikasi skala nyeri
dengan kriteria hasil : - Identivikasi nyeri non
1) Keluhan nyeri verbal
(5) menurun - Identifikasi factor yang
2) Meringis (5) memperberat nyeri
menurun - Identifikasi peyebab
3) Sikap protektif dan keyakianan tentang
(5) menurun nyeri
4) Gelisah (5) - Identifikasi pengaruh
menurun nyeri terhadap kualitas
5) Kesulitan tidur hidup monitor
(5) menurun keberhasian terapi
6) Fungsi komplementer yang
berkemih (5) sudah diberikan
membaik - Monitor efek
- samping penggunaan
analgetik
Terapetik :
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
menggurangi nyeri
- Kontrl lingkungan
yang memperberat
nyeri
- Fasilitasi isitrahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sember nyeri
dalam pemilihan
strategis meredakan
neri .
Edukasi :
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri.
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan eknik
non farmakologis
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
analgesic jika perlu
Dx 2 Ansietas b/d Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas (I09314)
(D.0080 Krisis (L.09093) Observasi :
) Situasional Setelah dilakukan - Identifikasi saat tingkat
(Pre Op) tindakan keperawatan ansietas berubah
selama 1x4 jam - Identifikasi
diharapkan tingkat kemampuan
ansietas menurun mengambil keputusan
dengan kriteria hasil : - Monitor tanda-tanda
1) Verbalisasi ansietas
kebingungan (5) Terapetik :
menurun - Ciptakan suasana
2) Verbalisasi terapetik untuk
khawatir akibat menumbuhkan
kondisi yang kepercayan
dihadapi (5) - Temani pasien untuk
menurun mengurangi
3) Perilaku gelisah kecemasan, jika
(5) menurun memungkinkan
4) Perilaku tegang - Pahami situasi yang
(5) menurun membuat ansietas
- Dengarkan dengan
penuh perhatian
- Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
- Tempatkan barang
peribadi yang
memberikan
kenyamanan
- Motivasi
mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
- Diskusikan
perencanaan realistis
tentang peristiwa yang
akan datang
Edukasi :
- Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
- Informasikan secara
factual mengenai
diagnose, pengobatan
dan prognosis
- Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
- Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
- Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi
ketegangan
- Latih penggunaan
mekanisme pertahanan
diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
obat anti ansietas, jika
perlu

Dx 3 Risiko Tingkat pendarahan Pencegahan pendarahan


(D.0012 Pendarahan (L.02017) (I.02067)
) d/d tindakan Setelah dilakukan Obsevasi :
(Intra operasi tindakkan keperawatan - Monitor tanda dan
Op) selama 1x4 jam gejala pendarahan
diharapkan tingkat - Monitor
pendarahan menurun hematokrit/haemoglobi
dengan kriteria hasil : n sebelum dan setelah
1) Kelembapan kehilangan darah
membrane - Monitor tanda-tanda
mukosa (5) vital ortostatik
meningkat - Monitor koagulasi
2) Kelembapan Terapetik :
kulit (5) - Pertahankan bed rest
meningkat selama pendarahan
3) Kongnitif (5) - Batasi tindakan invasif,
meningkat jika perlu
4) Hematemesis - Gunakan Kasur
(5)menurun pencegah decubitus
5) Hematuria - Hindari pengukuran
(5)menurun suhu rektal
6) Pendarahan Edukasi
pasca oprasi (5) - Jelaskan tanda dan
menurun gejala pendarahan
7) Suhu tubuh - Anjurkan
(5)membaik menggunakan kaus
kaki saat ambulasi
- Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan untuk
menghindari kontipasi
- Anjurkan menghindri
aspirin atau
antikoagulan
- Anjurkan
meningkatkan asupan
makanan dan vitamin
K
- Anjurkan segera
melapor jika terjadi
pendarahan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
obat pengontrol
pendarahan jika perlu
- Kolaborasi pemberian
produk darah, jika
perlu
- Koaborasi pemberian
pelunaknan tinja, jika
perlu
Dx 4 Resiko Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi (I.14539)
(D.0142 Infeksi d/d (L.14137) Observasi :
) procedure Setelah dilakukan - Monitor tanda dan
(Intra invasif tindakkan keperawatan gejala infeksi local dan
Op) selama 1x8 jam sistemik
diharapkan tingkat Terapetik :
infeksi dapat menurun - Batasi jumlah
dengan kriteria hasil : pengunjung
1) Kebersihan - Berikan perawatan
tangan (5) kulit pada area edema
meningkat - Cuci tangan sebelum
2) Kebersihan dan sesudah kontak
badan (5) dengan pasien dan
meningkat lingkungan pasien
3) Kemerahan (5) - Pertahakan teknik
menurun aseptic pada pasien
4) Nyeri (5) resiko tinggi
menurun Edukasi :
5) Bengkak (5) - Jelaskan tanda dan
menurun gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
- Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atau luka oprasi
- Ajarkan meningkatkan
asupan nutrisi
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
imunisassi , jika perlu
Dx 5 Hipotermi Termoregulasi(L.14134 Manajemen Hipotermia
(D.0131 d/d Terpapar ) (I.14507)
) suhu Setelah dilakukan Observasi :
(post lingkungan tindakkan keperawatan - Monitor suhu tubuh
op) rendah selama 1x8 jam - Identifikasi penyebab
diharapkan suhu tubuh hipotermia
membaik dengan - Monitor tanda dan
kriteria hasil : gejala akibat
1) Meengigil (5) hipotermia
menurun Terapetik :
2) Pucat (5) - Sedikan lingkungan
menurun yang hangat
3) Takipnea (5) - Ganti pakaian dan
menurun laken yang basah
4) Hipoksia(5) - Lakuan penghangatan
menurun pasif (mis, selimut,
5) Suhu tubuh (5) pakaian tebal)
membaik - Lakukan penghangatan
Suhu kulit (5) aktif eksternal (selimut
membaik hangat)
- Lakukan penghangatan
aktif internal (mis.
Infus cairan hangat,
oksigen hangat)
Edukasi :
Anjurkan makan/minum
hangat
Dx 6 Risiko Jatuh Tingkat Jatuh Pencegahan Jatuh (I.14540)
(D.0143 d/d kondisi (L.14138) Observasi :

) pasca operasi Setelah dilakukan - Identifikasi factor resiko

(post tindakkan keperawatan jatuh

op) selama 1x8 jam - Identifikasi resiko jatuh


setidaknya sekali setiap shif
diharapkan tingkat
atau kebijakan insitusi
jatuh dapat menurun
- Identivikasi factor
dengan kriteria hasil :
lingkungan yang
1) Jatuh dari
meningkatkan resko jatuh
tempat tidur (5)
- Hitung resiko jatuh dengan
menurun menggunkan skala mores
2) Jatuh saat Terapetik :
dipindahkan - Orentasikan ruangan pada
(5) menurun pasien dan keluarga
- Pastiakn roda tempat tidur
dan kursiroda terkunci
- Pasang handrail tempat tidur
- Atur tempat tidur mekanis
pada posisi terendah
- Tempatkan pasien resiko
tinggi jatuh dekat dengan
pemantauan perawat
- Gunakan alatbantu berjalan
Edukasi :
- Anjurkan memanggil
perawat jika membutuhkan
bantuan berpindah
- Anjurkan konsentrasi untuk
menjaga keseimbangan
tubuh.
TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama : Ruang :

No. Reg : Tanggal :

No Hari/Tanggal Tindakan Keperawatan Evaluasi Tindakan TTD


/Jam
1 Selasa 1.1. Mengidentifikasi, Ds:
10-12-2020 local, karakteristik, - klien mengatakan
Pukul : 09.00 frekuensi durasi, nyeri pada pinggang
PRE OP kualitas nyeri yang dan nyeri saat
dirasakan berkemih
- P: nyeri saat istrahat
maupun berkemih
Q: teriris-iris
R: pada pinggang
kiri
S: skala nyeri 5
T: hilang timbul
Do:
- Klien terlihat
tegang
- TD: 120/90 mmhg
- N: 88 x/mnt

1.3 Memberikan terapi non Ds: Pasien mengatakan


farmakologis untuk masih nyeri
mengurangi nyeri Do: klien melakukan
relakasi nafas dalam

2.1 Memonitor tanda-tanda


Ds: Pasien mengatakan
ansietas khawatir terhadap
operasi yang akan
dilakukan
Do:
- Skala 1
(mengungkapkan
kekawatiran )
- Pasien tampak
tegang

Ds: Klien mengatakan


2.7 Mendengarkan keluhan
ini adalah oprasi ke
klien 2 nya
Do:
2.8 Menemani pasien
- klien
untuk mengurangi mengungkapkan
perasannya
kecemasan
- pasien melakukan
2.9 Menganjurkan pasien relaksasi nafas
dalam
melakukan relaksasi
- pasien tampak
nafas dalam tegang

1.3 Menanyakan nyeri dan Ds: skala nyeri 3


Do: Pasien tampak
melihat ekspresi wajah
tanang dan tidak
pasien meringis

10-12-2019
Ds:-
Jumat 3.1 Memonitor tanda dan
Do: pendarahan tidak
Pukul 09.00 gejala pendarahan ada
INTRA
3.2 Memonitor nilai Hb
Ds: -
Do: Hb : 14,6
3.3 Memonitor tanda-tanda
Ds: -
vital Do:
- TD: 110/70
mmHg
- N : 74 x/mnt
- RR : 15 x/mnt
- terpasang ETT
no. 7,5
- terpasang
ventilator

Ds:-
4.4 Mencuci tangan
Do:Melakukan cuci
sebelum dan sedudah tangan bedah dan
cuci tangan steril
kontak dengan pasien
sesuai SOP yang
dan lingkungan sudah ditentukan

4.5 Mempertahankan Ds: -


Do:
teknik aseptic
- Tindakan RIRS
dengan tindakan
steril dan alat
yang steril
- Mempertahanka
n teknik aseptic
dan steril selama
pembedahan

10-12-2019
Ds: -
Jumat 5.1 Memonitor suhu tubuh
Do: Akral dingin , Suhu
POST OP 35,5 drajat Celsius,
pasien tampak
10.30
mengiggil

Ds:-
5.2 Memonitor penyebab
Do: Post oprasi, dengan
hipotermi suhu kamar oprasi
20 derajat Celsius
5.3 Melakukan
Ds: -
penghangatan pasif Do: Memberikan
selimut dan alat
10.30
penghangat tubuh
2.3 Menghitung resiko Ds:-
Do: skala mores 35
jatuh menggunakan
10.40 skala
Ds: -
2.4 Memastikan roda
Do: roda tempat tidur
tempat tidur terkunci klien selalu terkunci
Ds: -
2.5 Memasang Handril
Do: Handril terpasang
tempat tidur
11.20
Ds: -
5.1 Memonitor suhu tubuh Do: suhu 36,3 drajat
Celsius, pasien
tidak mengigil

Ds: -
Do: pasien post op
2.1 Mengidentifikasi factor (anastesi umum),
kesadaran
resiko jatuh
somnolen
E2V3M4
DAFTAR PUSTAKA

Alam, S & Hardibroto, I., 2008. Gagal Ginjal. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Colella,J, Kochis, E, Galli, B, Munver,R. (2005).
Urolithiasis/Nephrolithiasis:What’s It All About?, Urologic
Nurshing,25(6),pp.427-475
Corwin.2000. Buku Saku Patofisiologi.Jakarta: EGC.
Prabowo, E.,& Pranata, A.E. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan system
perkemihan pendekatan NANDA, NIC dan NOC. Yogyakarta:Nuha Medika
Portis A.J.,& Sundaram, C.P. (2001). Diagnosis and initial management of kidney
stone. American Family Physican. Vol.63.No,7: 1329-1338
Purnomo B.(2012). Dasar-Dasar Urologi. Ed.3. Jakarta. Sagung Seto

Soeparman, D . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Robbins, Stanley LA, Vinay K. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Vol.2.
Jakarta: EGC, 2012:544-551

Anda mungkin juga menyukai