Anda di halaman 1dari 12

BAB III

DISKUSI KASUS

Seorang laki–laki berusia 35 tahun dengan berat badan 65 kg, dengan


riwayat kecelakaan lalu lintas dirujuk dari rumah sakit lain datang ke instalasi
rawat darurat. Pasien jatuh sendiri dari sepeda motor saat dibonceng oleh
temannya. Pasien pingsan, tidak ada muntah, tidak ada kejang. Kemudian pasien
dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Selama perawatan
pasien mengeluh nyeri dada sebelah kanan dan nyeri perut. Pemeriksaan fisik
didapatkan TD 86/48 mmHg, N 100 x/menit, Pernapasan 40 x/menit, GCS
E4M6V5. Di rumah sakit tersebut pasien mendapat O 2 10 liter/menit, infus RL
sekitar 5000mL, obat–obatan (injeksi piracetam, injeksi remopain dan injeksi
cefotaxim), pemasangan kateter urin, pemeriksaan darah (Hb 12,5g/dL) dan foto
toraks.

Pada pemeriksaan awal (primary survey ) ketika diterima di ruang


resusitasi instalasi rawat darurat (18:45), jalan napas bebas sumbatan, terpasang
collar brace di leher, tampak jejas maksilofasial. Pernapasan spontan dan simetris.
Jejas dan krepitasi terapa di dinding dada. Perkusi dada redup di kedua sisi. Suara
napas vesikular melemah di kedua sisi. Tekanan darah 95/60mmHg, nadi 110
x/menit, bunyi jantung S1/S2 tunggal, tidak terdengar murmur. GCS pasien
E4M6V4, pupil bulat isokor, refleks cahaya baik, dan tidak terdapat lateralisasi.
Pada regio frontal kanan terdapat vulnus appertum. Jejas tampak pada aksila
kanan, flank kanan, pedis kanan dan kiri. Berdasarkan masalah yang dirumuskan,
yaitu syok hipovolemik kelas III, hematotoraks kanan dan kiri, flail chest kanan
dan kiri, kontusio paru, dan fraktur iga multipel kanan dan kiri; pada pasien
dilakukan pemberian O2 dengan Jackson Rees 10 liter/menit dilanjutkan dengan
intubasi dengan ETT no. 7,5 cuff, infus cairan melalui 2 akses diberikan RL 5000
mL, NaCl 1500 mL, Gelofusin 1000 mL, transfusi whole blood (3 unit), morfin
intravena 1 mg, foto toraks segera, insersi chest tube, dan USG FAST. Pada foto
toraks tampak fraktur iga multipel bilateral (fraktur kosta 1,2,4,5,6,7 kanan lateral,
fraktur kosta 2,3,4,5,6,7,8,10 kiri poterior), fraktur klavikula kanan, kontusio paru
kanan dan kiri, hematotoraks kanan dan kiri. Pada USG FAST tidak didapatkan
cairan bebas di Morissons pouch, paracollic gutter kanan dan kiri, splenorenal dan
perivesika. Pada sisi toraks tampak efusi pleura kanan. Setelah dilakukan insersi
chest tube, dari sisi kanan keluar udara dan cairan serosanguinus 500 mL; dan dari
sisi kiri keluar udara dan cairan serosanguinus 200 mL.

Pada pemeriksaan lanjut (secondary survey) dari anamnesis didapatkan


keterangan bahwa pasien mengalami kecelakaan lalu lintas ketika mengendarai
sepeda motor dan jatuh sendiri. Setelah jatuh pasien mengalami nyeri dada
sebelah kanan namun tidak mengalami muntah. Pasien dibawa ke RS terdekat.
Kemudian pasien dirujuk dengan diagnosis cedera otak ringan dan kontusio toraks
kanan. Tidak ada yang memeriksa kepala pasien. Pasien tidak memiliki riwayat
minum obat–obatan dan alkohol. Pasien tampak lemah dengan tekanan darah
118/73mmHg, nadi 99 x/menit, pernapasan dikendalikan ventilator. Pada
pemeriksaan toraks tampak simetris, teraba krepitaso, sonor, vesikuler melemah,
dan terdengar ronki atau wheezing. Abdomen normal. Akral hangat, kering, dan
tampak merah.

Pengkajian pasien selanjutnya adalah masalah hematotoraks kanan dan


kiri, syok hipovolemik klas III, flail chest kanan dan kiri, kontusio paru, fraktur
iga multipel kanan dan kiri, dan cedera otak ringan. Selanjutnya pada pasien
direncanakan CT–scan kepala, konsul ortopedi, bedah saraf dan bedah toraks,
perawatan di ICU, infus rumatan RL, fisioterapi dada, pemberian nebulizer, dan
mempertahankan tekanan negatif chest tube –18 s/d –20 cmH2O.
BAB IV

PEMBAHASAN

Penatalaksanaan awal pasien di ruang resusitasi pada umumnya sesuai


dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu mulai dari tahapan primary
survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan penunjang. Pasien dalam
keadaan cukup stabil (tanda vital). Pemeriksaan foto toraks menunjukkan ada
fraktur iga multipel, kontusio paru dan hemotoraks serta pemeriksaan FAST
menunjukan tidak ada cairan di rongga abdomen dan ditemukan efusi pleura
kanan. Pasien dilakukan pemasangan chest tube kanan dan kiri dan pasca tindakan
dirawat di ruang observasi intensif. Setelah beberapa hari dirawat di ICU
diputuskan untuk dilakukan pemasangan fiksasi interna.

Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah (1) syok
hipovolemik kelas III, hematotoraks kanan dan kiri, (3) flail chest kanan dan kiri,
(4) kontusio paru dan (5) fraktur iga kanan dan kiri. Tindakan yang dilakukan
pada saat pertama kali pasien diterima di instalasi gawat darurat sudah cukup
memadai, terutama (1) collar brace yang telah terpasang sebelumnya dari rumah
sakit luar, (2) pemberian cairan dan transfusi darah untuk mengatasi syok dan
anemia, (3) tindakan intubasi untuk mempertahankan jalan napas dan mengurangi
beban otot pernapasan serta pemberian O2 untuk oksigenasi (4) pemasagan chest
tube untuk mengevakuasi cairan di rongga pleura sehingga masalah restriksi dapat
dikurangi dan pemberian morfin untuk mengatasi rasa nyeri. Setelah tindakan
resusitasi dilakukan maka masuk tahapan secondary survey guna menentukan
diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh diikuti
dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Seharusnya pemeriksaan foto
toraks dan USG dilakukan setelah seluruh pemeriksaan fisis dikerjakan. Pada
pasien ini kedua pemeriksaan itu dilakukan lebih awal kemungkinan untuk
menentukan masalah (diagnosis) sesungguhnya secepat mungkin sehingga
komplikasi yang mungkin terjadi dapat segera dicegah. Pemeriksaan laboratorium
memang dilakukan setelah secondary survey dikerjakan termasuk pemeriksaan
analisis gas darah. Analisis gas darah diperlukan untuk menetukan apakah pasien
dengan trauma toraks harus dilakukan intubasi atau tidak.

Pertama kali pasien datang ke ruang resusitasi trakhea dan dilakukan


tindakan intubasi. Tindakan ini dilakukan karena kedua paru pasien sudah
mengalami gangguan akibat fraktur iga multipel dengan demikian diharapkan
fungsi ventilasi penatalaksanaan pasien trauma dengan fraktur iga multipel. masih
dapat dipertahankan. Dahulu pasien dengan fraktur iga multipel rutin dilakukan
intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik, termasuk juga pada pasien dengan
flail segment. Meskipun saat ini penelitian menunjukkan bahwa fraktur iga
multipel yang diberikan continuous positive airway pressure (CPAP) dan
analgesia regional (epidural atau blok saraf interkosta) secara bermakna
menurunkan lama perawatan dan komplikasi dibandingkan pasien yang diintubasi
dan mendapat ventilasi mekanik. Hal ini karena pasien yang tidak disedasi dan
tanpa ventilasi mekanik dapat melakukan fisioterapi dan mobilisasi serta
menurunkan kejadian sepsis.10 Indikasi intubasi trakhea pada pasien dengan flail
chest, yaitu : (1) syok berat, (2) sistolik <70mmHg), (3) GCS <8, (4) pasien yang
membutuhkan pembedahan (segera), (5) fungsi pernapasan yang tidak adekuat,
(6) penggunaan otot bantu napas, pernapasan >35/menit atau <8/menit, saturasi
O2 <90% dengan O2 15L/menit dengan masker PaCO2 >55mmHg. Hasil
pemeriksaan fisis toraks pasien ini menunjukkan ada kelainan di paru berupa
penurunan suara napas baik paru kanan maupun paru kiri, sehingga sebenarnya
diagnosis atau masalah fraktur iga multipel, hematotoraks maupun emfisema
subkutis sudah dapat ditentukan. Pemeriksaan fisis harus dilakukan lebih seksama
untuk menentukan apakah pada pasien ini hanya terdapat fraktur iga biasa atau
fraktur iga segmental. Pada pasien ini agak sulit menentukan agak sudah terdapat
fraktur
Parameter Nilai
Hb 7,8 g/dL
Ht 21,6 l%
Lekosit 14.000/mm3
Trombosit 206.000/mm3
BUN 13 mg/dL
Kreatinin 0,9 mg/dL
SGOT 77 IU/L
SGPT 42 IU/L
Glukosa 119 mg/dL
Na 134,5 mEq/L
Cl 103,5 mEq/L
K 3,46 mEq/L
Ca 0,73 mEq/L

Tabel 1. Hasil Lab

Tabel 2. Hasil analisis gas darah

19.001) 21.152) 01.002)


pH 7,391 7,34 7,39
PCO2 35,2 41,0 38,0
PO2 274,4 266,0 268,0
HCO3 21,5 22,1 24,0
BE -3,6 -3,7 -2,0

SaO2 99% 100% 100%


1. O2 Jackson Rees 10 L/min
2. PCV 14, Trig 3, PC 13, PEEP 10, FiO2 100%  RR 15, VT 415, MV 6,8
3. PCV 16, Trig 3, PC 13, PEEP 10, FiO2 80%  RR 16, VT 384, MV 6,5

Iga segmental baik di dada kanan maiupun kiri. Hal ini dapat terjadi
karena waktu dilakukan palpasi pasien merasakan nyeri atau fraktur segmental
yang terjadi masih terfiksasi dengan baik oleh otot–otot. Karenanya pemeriksaan
tambahan seperti foto toraks sangat membantu memecahkan masalah ini.

Hasil pemeriksaan foto toraks pasien ini ditemukan pula ada fraktur iga
multipel, hemotoraks dan kontusio paru. Foto toraks diperlukan karena sebagian
besar pasien dengan trauma dada merupakan cedera multipel sehingga
pemeriksaan fisis kadangkala menjadi sulit dilakukan. Seringkali dijumpai kasus
trauma toraks dengan pneumotoraks atau hemotoraks yang tidak terdiagnosis pada
saat penilaian awal.11 Pemeriksaan foto toraks pada pasien dengan fraktur iga
diilakukan dalam 10 menit setelah pasien pertama kali datang tanpa menghambat
pertolongan pada pasien. Interpretasi yang cepat dan akurat hasil foto toraks
diperlukan untuk menghindari hilangnya petunjuk yang dapat menyelamatkan
nyawa pasien. Sensitifitas foto toraks dalam mendeteksi fraktur iga berkisar 20–
50%. Pemeriksaan foto toraks yang harus dilakukan adalah dari posisi lateral dan
frontal.2 Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan foto toraks lateral sehingga
diagnosis hanya fraktur iga multiple saja dan kemungkinan terjadinya fraktur iga
segmental masih belum dapat disingkirkan. Foto toraks lateral mungkin tidak
dilakukan karena fraktur iga terjadi bilateral sehingga pasien tidak mungkin
dimiringkan saat dilakukan pemeriksaan. Untuk menegakkan diagnosis fraktur iga
segmental maka pemeriksaan dengan CT–scan toraks merupakan pilihan pada
pasien ini.

Flail chest pada pasien ini tidak dapat disingkirkan karena pemeriksaan
fisis dan hasil foto toraks masih belum dapat menyingkirkan hal tersebut. Foto
toraks kurang memberikan hasil yang memuaskan karena fraktur iga yang banyak
dan posisi fraktur terletak di lateral dan posterior. Untuk menentukan apakah
terdapat fraktur iga segmental sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT–scan toraks
yang dapat menentukan jumlah, jenis dan letak fraktur iga.12,18 Flail chest terjadi
akibat lepasnya hubungan antar - tulang pada fraktur iga segmental yang dapat
menyebabkan pernapasan paradoksal. Pada saat inspirasi dada akan bergerak ke
arah dalam mengikuti tekanan negatif dan pada saat ekspirasi bagian fraktur
segmental akan terangkat. Pada tahap awal kematian yang terjadi akibat flail chest
kebanyakan disebabkan oleh hemotoraks massif dan kontusio paru, sedangkan
pada tahap lanjut disebabkan oleh acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Untuk itu penanganan secepatnya perlu dilakukan dengan memberikan analgetik
dan pemberian ventilasi yang adekuat.

Hasil pemeriksaan foto toraks juga didapatkan ada fraktur klavikula kanan.
Fraktur klavikula umumnya terjadi akibat kecelakaan lalu lintas terutama para
pengguna kendaraan roda dua. Fraktur klavikula pada umumnya akan sembuh
sendiri dengan penanganan konservatif dengan pemasangan collar–and–cuff sling
dan hanya sedikit yang memerlukan tindakan bedah.14,15,16 Pasien ini tidak
dapat dilakukan pemasangan sling karena akan mengganggu pernapasan dan
meningkatkan komplikasi.

Tindakan pemeriksaan (FAST) focused assessment with sonography in


trauma pada pasien ini sudah sesuai dengan prosedur penatalaksanaan trauma
toraks. Hasil pemeriksaan FAST menunjukkan tidak ada cairan di rongga
abdomen dan ditemukan efusi pleura kanan. Pemeriksaan ini dilakukan pada
pasien dengan trauma dada untuk menilai apakah ada cedera di organ lain dengan
menilai jumlah cairan seperti efusi perikardium dan cairan intraperitoneal.
Pemeriksaan FAST cukup sensitif dan spesifik sehingga dapat digunakan untuk
menentukan tindakan bedah.

Kontusio paru pada pasien ini terjadi kemungkinan akibat ekstravasasi


darah ke dalam alveoli dan bronkus akibat cedera. Kontusio paru adalah cedera
parenkim paru yang menyebabkan edema dan perdarahan interstisial, biasanya
akibat proses akselerasi–deselerasi. Darah akan masuk ke dalam alveoli dan
bronkus sehingga terjadi gangguan difusi berupa perubahan rasio ventilasi dan
perfusi, terjadi pergeseran shunt dari kanan ke kiri dan gangguan ventilasi.4,18
Mortalitas pasien dengan kontusio paru berkisar 10–25% dan sering terjadi akibat
trauma tumpul toraks. Kontusio paru dapat mengganggu pertukaran gas dan
menyebabkan shunting. Pasien dengan kontusio paru merupakan predisposisi
mendapatkan pneumonia dan ARDS akibat pelepasan sitokin inflamasi dari
daerah kontusio paru tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ventilasi noninvasif pada


fraktur iga multipel (lebih dari 3 tulang iga) yang disebabkan oleh trauma tumpul
yang kurang dari 24 jam setelah cedera dan terdapat gangguan batuk akibat rasa
nyeri atau kelainan paru, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
pasien sama yang diberikan ventilasi mekanik. Pasien dengan fraktur iga multipel
dengan CPAP dan analgetik regional lebih baik dibandingkan dengan pemberian
ventilasi mekanik dengan PEEP dalam hal lama rawat dan komplikasi pneumonia
serta pasien dengan ventilasi noninvasif akan lebih cepat melakukan mobilisasi.

Masalah hemotoraks bilateral pada pasien ini diatasi dengan pemasangan


chest tube kanan dan kiri. Tindakan ini sesuai dengan tata laksana penanganan
pasien trauma toraks dan harus dilakukan karena akan mengancam jiwa.
Diagnosis homotoraks ditegakkan pemeriksaan fisis yaitu ditemukan suara napas
yang menurun dengan perkusi redup, hasil foto toraks dan syok. Saat dilakukan
pemasangan chest tube ke luar darah dalam jumlah yang cukup banyak. Fraktur
iga sering menyebabkan pneumotoraks yang disebakan oleh rusaknya parenkim
paru sehingga terjadi peningkatan tekanan intraalveolar. Sedangkan hemotoraks
terjadi akibat robeknya pembuluh darah parenkim paru, pembuluh darah
interkosta atau cedera pada jantung dan pembuluh darah besar. Jika terjadi
perdarahan yang berasal dari pembuluh darah interkosta, mamari atau pulmoner
maka tindakan bedah harus dilakukan.

Pemasangan chest tube pada pneumotoraks traumatik yang diakibatkan


oleh trauma tumpul baik ringan maupun sedang tanpa cedera yang bermakna
ataupun dalam penggunaan intermittent positive pressure ventilation (IPPV)
bukan merupakan hal yang utama. Hal ini karena sebagian pneumotoraks besar
udara yang ada akan diserap dengan sendiri. Pasien dengan traumatik
pneumotoraks dalam 24 jam harus diberikan analgetik, pemantauan tanda vital
dan oxymetry. Pemeriksaan foto toraks ulang harus dilakukan setelah 6 jam dan
chest tube harus dipasang jika peneumotoraks bertambah luas. Bagaimanapun
juga pemasangan chest tube harus segera dilakukan bila pada saat pengamatan
terjadi gangguan respirasi ataupun pemberian intermittent positive pressure
ventilation (IPPV) tidak memberikan hasil yang baik karena paru bertambah
kolaps. Pada kasus traumatik pneumotoraks dengan cedera yang bermakna dan
tanpa ada gangguan respirasi, kebanyakan akan membaik dengan sendirinya
sehingga risiko akibat pemasangan chest tube dapat dihindarkan.

Selain pemasangan chest tube, mengatasi rasa nyeri yang terjadi akibat
fraktur iga merupakan hal yang penting pada pasien ini. Dengan mengatasi rasa
nyeri maka pola pernapasan pasien dapat diatur sehingga komplikasi yang akan
timbul seperti pneumonia, atelektasis dan gagal napas dapat dicegah. Pasien ini
diberikan morfin secara teratur karena selain menghilangkan rasa nyeri juga
mempunyai efek sedasi. Pemberian tramadol juga dimungkinkan karena obat ini
merupakan golongan analgesik opioid lemah dan bisa digunakan untuk mengatasi
rasa nyeri derajat sedang hingga berat

Pada pasien terjadi emfisema subkutis yang kemungkinan disebabkan oleh


robeknya pleura parietal oleh fragmen iga sehingga udara luar masuk dari rongga
pleura. Pemberian tekanan setempat dan pembebatan (strapping) biasanya dapat
mengatasi emfisema subkutis. Penangan emfisema subkutis tergantung dari berat
dan luasnya karena kebanyakan emfisema subkutis dapat sembuh sendiri tanpa
meninggalkan bekas yang serius. Berbagai macam tindakan dapat dilakukan untuk
mengatasi emfisema subkutis mulai dari konservatif yaitu dengan pengawasan dan
pemberian oksigen dan hindari penggunaan tekanan ventilasi positif hingga
tindakan dekompresi yang invasif. Ada beberapa teknik invasif untuk mengatasi
emfisema subkutis mulai dari melakukan pemasangan beberapa jarum,
pemasangan angiokateter, insisi subkutis hingga pemasangan drain.
Pasien dilakukan tindakan bedah berupa pemasangan fiksasi interna tulang
iga yang patah. Sebenarnya pada pasien ini bisa juga dilakukan perawatan
konservatif, seperti intubasi dan ventilasi mekanik tetapi hal tersebut tidak banyak
membantu Tindakan bedah harus dilakukan karena sudah terjadi cedera toraks,
kontusio paru dan gangguan respirasi. Waktu yang tepat kapan seharusnya
dilakukan fiksasi fraktur pada trauma dada sampai saat ini masih menjadi
perdebatan. Fiksasi yang dilakukan pada saat awal menurunkan kejadian inflamasi
di daerah cedera, menurunkan rasa nyeri dan penggunaan opiat. Penelitian
menunjukkan bahwa fiksasi akan mengurangi komplikasi paru dan mempercepat
mobilisasi. Tetapi morbiditi dan mortaliti tetap tinggi jika trauma dada disertai
dengan trauma di organ lain, seperti kepala, akibat keluarnya sumsum tulang yang
mempengaruhi sistem pulmoner dan susunan saraf pusat. Fiksasi hanya dapat
dilakukan jika semua proses resusitasi telah dilaksanakan dengan baik.

Fraktur iga yang terjadi pada pasien ini begitu banyak sehingga jika telah
masuk tahap penyembuhan kemungkinan akan terjadi deformiti, atelektasis dan
pengurangan volume paru. Tindakan yang dilakukan sedini mungkin diharapkan
akan memperbaiki bentuk dinding dada, mengurangi kecacatan dan
mempertahankan fungsi paru. Selain itu pemasangan fiksasi interna, ahli bedah
dapat sekalian membersihkan rongga pleura dari darah dan bekuan darah sehingga
terjadinya empyema dan fibrosis pleura dapat dicegah. Pasien yang dilakukan
pembedahan dirawat di ICU lebih singkat dibandingkan pasien yang hanya
dilakukan perawatan konservatif. Demikian pula dengan penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat dan proses penyapihan lebih cepat pada pasien yang
dilakukan pembedahan.27,28 Pasien ini telah dilakukan clipping iga ke–5 dan ke–
6 kiri dan iga ke–6 dan ke–7 kanan dan selanjutnya dirawat di ICU. Pasien
dirawat selama 5 hari di ICU dan diekstubasi pada hari ke–4 pasca bedah.
Gambar 3. Foto toraks pada saat masuk ke rumah
sakit. Tam-pak fraktur iga multipel kanan dan kiri,
emfisema subkutis

Gambar 6. Dua jenis fiksasi interna untuk fraktur iga


yaitu (A) judet plates dan (B) Sanchezplates.

Gambar 4. Foto toraks tanggal pasca pemasangan chest


tube kanan dan kiri dan pasca intubasi.

Gambar 5. Foto toraks tanggal pasca bedah dengan pe-


masangan clipping costae.

Anda mungkin juga menyukai