Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu spektrum proses
patofisiologik yang berbeda-beda serta berkaitan dengan kelainan fungsi ginjal
dan penurunan progresif laju filtrasi glomerolus (LFG) (Larry & Loscalzo,
2013, hlm. 106). Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut
sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya di eliminasi di urine menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan
ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik,
cairan, elektrolit, serta asam basa (Suharyanto & Madjid, 2009, hlm.183).
Masalah kesehatan yang yang berhubungan dengan ginjal dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Salah satu masalah ginjal yang dihadapi oleh
masyarakat di Negara maju maupun Negara berkembang adalah penyakit
ginjal kronik (Chronic Kidney Disease). Jumlah orang dengan gagal ginjal
yang dirawat dengan dialysis dan tranplantasi di Amerika Serikat
diproyeksikan meningkat 340.000 di tahun 1999 dan 651.000 di tahun 2010.
Data yang lain menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000 oranng Amerika
menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis. Artinya 1140 dalam
satu juta orang Amerika adalah pasien dialysis. Prevalensi pasien ESRD
sendiri berdasarkan data mortality WHO South East Asia Regioon pada
tahun 2010-2012 prevalensi penyakit ginjal terdapat 250.217 jiwa (WHO,
2013), sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
prevalensi gagal ginjal kronik Indonesia sebesar 3,8% atau naik sebesar 1,8%
dibandingkan dengan tahun 2013. Dan di ruang Flamboyan RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda pada bulan oktober tahun 2019 penyakit CKD
menduduki posisi pertama dari 10 penyakit terbesar. Dan berdasarkan
pengumpulan data serta wawancara oleh peneliti pada tanggal 16 desember
2019 didapatkan pasien CKD diruang Flamboyan berjumlah 8 orang, dengan

1
6 diantaranya sudah melakukan hemodialisa, 7 orang diantaranya mengeluh
mulut kering serta haus karena program pembatasan cairan.
Saat ini hemodialisisis menjadi terapi pengganti yang paling banyak
dipilih oleh pasien gagal ginjal kronik. Fungsi hemodialisis untuk mengatasai
ketidakseimbangan cairan dan membantu mengendalikan penyakit ginjal serta
meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik. Hemodialisis
idealnya dilakukan 10-12 jam per minggu agar tercapai adekuasi. Pasien
hemodialisis di Indonesia tidak menjalani hemodialisis setiap hari. Pasien
biasanya menjalani hemodialisis 2-3 kali seminggu dengan lama durasi tiap
hemodialisis 3 sampai 5 jam, artinya ketika pasien tidak menjalani
hemodialisis pada hari-hari diantara dua waktu dialisis pasien akan mengalami
masalah penumpukan cairan dalam tubuh. Agar tidak terjadi overhidrasi,
pasien tetap harus membatasi asupan cairan pada hari-hari ketika tidak
menjalani hemodialysis (interdialisis). Akibat pembatasan asupan cairan
pasien akan merasa haus.
Rasa haus adalah keinginan yang disadari terhadap kebutuhan akan
cairan tubuh. Rasa haus antara lain dipengaruhi oleh mulut kering yang pada
pasien GGK terjadi akibat pembatasan cairan. Rasa haus dapat mengakibatkan
pasien tidak mematuhi diet pembatasan asupan cairan sehingga pasien
mengalami kelebihan cairan atau overhidrasi. Ketidakpatuhan terhadap
pembatasan cairan akan semakin meningkatkan asupan cairan. Penelitian
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan
interdialytic weight gain (IDWG) atau peningkatan berat badan diantara waktu
dialisis (Istanti, 2013). Peningkatan IDWG identik dengan kelebihan cairan
tubuh Kelebihan cairan pada pasien perlu mendapatkan perhatian dan perlu
dilakukan pencegahan. Kelebihan cairan akan menurunkan kualitas hidup
pasien karena timbulnya berbagai komplikasi seperti permasalahan
kardiovaskuler. Penelitian di Yogyakarta juga menunjukkan terdapat
hubungan antara perubahan berat badan interdialisis dengan perubahan
tekanan darah post dialisis (Widiyanto, Hadi, & Wibowo, 2014). Riset lainnya
juga menunjukkan kecenderungan pasien hipervolumia mengalami hipertensi

2
intradialisis (Inrig, 2010). Kelebihan cairan bisa terjadi karena intake cairan
yang berlebihan akibat tidak dapat menahan rasa haus. Rasa haus harus
dimanajemen atau dikendalikan agar pasien patuh pada diet pembatasan intake
cairan. Berbagai penelitian menujukkan bahwa intervensi manajemen rasa
haus dapat dilakukan berbagai cara, yaitu dengan menyikat gigi, menghisap es
batu, berkumur dengan air biasa, berkumur dengan obat kumur, mengunyah
permen karet atau permen mint dan menggunakan fuit frozen atau buah yang
dibekukan.
Penelitian (Ardiyanti, 2015) yang melibatkan 16 responden pasien
gagal ginjal di RS. Telogorejo menunjukan bahwa kumur dengan obat kumur
rasa mint mampu menurunkan rasa haus pasien gagal ginjal kronik dengan
nilai P value 0,001. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh (Armiyati,2019)
bahwa berkumur dengan obat kumur rasa mint mampu menurunkan rasa haus
pasien gagal ginjal dengan lama waktu menahan haus 67,5 menit. Penelitian
diatas juga didukung oleh penelitian (Chen Yu, 2016) yang menunjukkan hasil
bahwa kumur dengan obat kumur dapat mengurangi mulut kering dan
meningkatkan produksi jumlah saliva. Berkumur dengan obat kumur rasa mint
dapat berpengaruh terhadap rasa haus responden akibat dari sifat atau
kandungan dari mint dan dari gerakan berkumur yang dapat meningkatkan
sekresi saliva. Salah satu kandungan kimia dari mint adalah menthol yang
mempunyai sensasi rasa dingin dan menyegarkan pada mulut (Putra, 2013,
hlm. 121). Sensasi dingin dari daun mint akan memberikan rasa nyaman serta
membuat nafas menjadi lebih segar. Kandungan antiseptik daun mint
merupakan anti bakteri yang alami sehingga daun mint dijadikan bahan obat
kumur (Laseduw, 2014).
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa kumur dengan obat kumur
rasa mint dapat mempengaruhi rasa haus pasien CKD. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan intervensi kumur dengan obat kumur rasa mint
terhadap rasa haus pasien gagal ginjal kronik di Ruangan Flamboyan RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

3
B. Rumusan Masalah
Apakah kumur dengan obat kumur rasa mint dapat menurunkan rasa haus
pasien gagal ginjal kronik di RSUD AWS Samarinda?

C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh kumur dengan obat kumur rasa mint
terhadap rasa haus pasien gagal ginjal kronik di RSUD AWS Samarinda

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


1. Pengertian
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses
patofisiologis dengan etiologi beragam yang mengakibatkan fungsi ginjal
menurun secara progresif dan irreversibel sehingga tubuh tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik dan berakibat pada terjadinya uremia
(S.C, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu keadaan kehilangan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel. The Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/ DOQI) of the National Kidney
Foundation mendefinisikan bahwa PGK merupakan kerusakan ginjal atau
2
penurunan laju filtrat glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/ min/1,73 m
yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Lewis, L., Dirksen, & R.,
Heitkemper, M, & Bucher, 2011)
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
PGK adalah suatu kondisi sakit yang disebabkan kerusakan pada ginjal
yang irreversibel, sehingga menyebabkan ginjal kehilangan fungsinya
yang terjadi lebih dari 3 bulan dengan batasan karakteristik nilai LFG

kurang dari 60 mL/mnt/1,73 m2

2. Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation dalam (Lewis et al., 2011)
klasifikasi PGK berdasarkan derajat LFG adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Klasifikasi PGK berdasarkan derajat LFG

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)

1 Kerusakan gijal dengan LFG normal atau ↑ ≥90


2 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG ringan 60-

5
3 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG sedang 30-
4 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG berat 15-
5 PGK <15
Sumber: National Kidney Foundation dalam (Lewis et al., 2011)

3. Etiologi
PGK dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor utama penyebab
PGK di Indonesia menurut PERNEFRI (2011), berdasarkan prosentase
kejadian tertinggi adalah penyakit ginjal hipertensi (34%), nefropati
diabetika (27%), glumerulopati primer (14%), nefropati obstruksi (8%),
pielonefritis kronik (6%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus (1%),
tidak diketahui (1%), dan disebabkan karena lain-lain (6%).
4. Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital di
dalam tubuh. Fungsi tersebut adalah menyaring darah dari kelebihan
cairan, garam, dan produk sisa untuk menjaga komposisi tubuh
agar tetap stabil. Mengingat fungsi ginjal yang sangat penting, maka
apabila terjadi gangguan pada ginjal akan berdampak signifikan terhadap
keberlangsungan hidup manusia (Desitasari, Utami, G. T., & Misrawati.,
2013)
Adanya faktor-faktor yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal
seperti hipertensi, diabetes mellitus, glomerulonefritis, dan lain-lain akan
menyebabkan fungsi glomerulus menurun karena adanya tekanan yang
kuat pada glomerulus sehingga glomerulus menjadi radang. Leukosit
bermigrasi ke glomerulus dan berakumulasi yang terkadang mengisi
seluruh glomerulus ketika glomerulus radang. Reaksi peradangan ini dapat
menyebabkan sumbatan total ataupun parsial glomerulus, sehingga hal
tersebut menyebabkan permeabilitas membran glomerulus yang tidak
tersumbat meningkat. Peningkatan permeabilitas membran glomerulus
memungkinkan molekul berukuran besar seperti protein ikut keluar
bersama dengan urin. Bersamaan dengan hal tersebut, ruptur terjadi
sehingga memungkinkan banyak eritrosit masuk ke dalam filtrat
glomerulus (Guyton, 2012).

6
Endapan fibrin mulai terbentuk di sekitar interstisium karena adanya
jejas. Mikroaneurisma terjadi karena kerusakan dinding vaskuler dan
peningkatan tekanan darah sekunder akibat obstruksi dan hipertensi.
Kerusakan nefron akhirnya terjadi yang akan memicu hiperfungsi
kompensasi pada nefron yang belum cidera. Kondisi tersebut pada
akhirnya membuat glomerulus yang sehat menanggung beban kerja
berlebihan, sehingga mengalami sklerosis dan nekrosis. Keadaan tersebut
membuat fungsi ginjal sebagai penyaring zat-zat toksik untuk
dieskresikan ke luar tubuh tidak berjalan. Zat-zat toksik yang
menumpuk tersebut akan berisiko membawa kematian pada semua organ
penting di dalam tubuh (Kowalak, 2012).
5. Manifestasi Klinik
Surrena, Gaghardi, Scott, dkk. (2010), mengemukakan bahwa
manifestasi klinik dari PGK adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini berupa
hipertensi, pitting edema pada kaki, tangan, dan tulang duduk, edema
periorbital, perikarditis, efusi perikardial, hiperkalemia, dan
hiperlipidemia.
b. Sistem integument
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain
warna kulit cenderung seperti perunggu keabu-abuan, kulit kering
bersisik, pruritis berat, echymosis, purpura, kuku tipis dan rapuh,
rambut kasar dan menipis
c. Sistem pulmonal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain
nyeri pleuritis, napas pendek, tachipnea, napas kussmaul.
d. Sistem gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal dapat muncul manifestasi klinik
seperti napas bau amonia, ulserasi di mulut dan perdarahan,

7
anoreksia, mual dan muntah, cegukkan, konstipasi atau diare,
perdarahan saluran cerna.
e. Sistem neurologic
Manifestasi klinik yang dapat muncul dari sistem ini antara lain
kelemahan dan kelelahan, bingung, ketidakmampuan konsentrasi,
disorientasi, tremor, kejang, perubahan perilaku.
f. Sistem musculoskeletal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain
kram otot, kehilangan kekuatan otot, nyeri tulang, fraktur, dan foot
drop.
g. Sistem reproduksi
Manifestasi klinik yang dapat muncul dari sistem ini antara lain
amenorea, atropi testis, infertilitas, dan penurunan libido.
h. Distibusi metabolic
Tanda yang dapat muncul dari terganggunya distribusi
metabolik karena PGK antara lain akan terjadi peningkatan BUN dan
serum kreatinin yang meningkat sebagai akibat adanya penurunan
LFG.
i. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
PGK dapat bermanifestasi klinik seperti terjadi peningkatan
kadar kalium (hiperkalemia), sedangkan natrium cenderung rendah
atau normal. Asidosis metabolik dapat terjadi karena adanya
akumulas amonia di dalam darah.
j. Sistem hematologi
Pada sistem hematologi, PGK akan bermanifestasi klinik seperti
anemia, trombositopenia, dan lain-lain.
6. Penatalaksanaan
Penanganan awal PGK difokuskan pada pengendalian gejala,
pencegahan terhadap komplikasi, dan memperlambat terjadinya progresi
PGK. Obat dapat dipakai untuk mengendalikan hipertensi, mengatur
elektrolit, dan mengendalikan volume cairan intravaskuler (Baradero,

8
Dayrit, & Siswadi, 2009). Dan menurut (Azis, Witjaksono, & Rajidi,
2008) prinsip dari penatalaksanaan pasien PGK adalah sebagai berikut:
a. Mengobati penyakit dasar dari tanda dan gejala yang ada.
b. Mengobati penyakit penyerta.
c. Menghambat terjadinya progresifitas kerusakan ginjal.
d. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit kardiovaskuler.
e. Pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi.
f. Persiapan dan pemilihan terapi pengganti ginjal.

Prinsip-prinsip di atas menurut Lewis et al., (2011), dapat dicapai


dengan dua pendekatan, yaitu dengan manajemen farmakologi (dengan
menggunakan obat-obatan) dan manajemen nutrisi. Manajemen tersebut,
antara lain:
a. Hiperkalemi diatasi dengan jalan membatasi asupan kalium melalui
makanan dan obat-obatan. Untuk akut hiperkalemia dapat dilakukan
koreksi dengan pemberian intra vena glukosa dioplos dengan insulin,
sedangkan untuk selanjutnya dapat diberikan kalitake.
b. Hipertensi dapat diatasi dengan mengurangi berat badan jika pasien
mengalami obesitas, menjalani pola hidup yang sehat dengan
olahraga dan tanpa alkohol, diet rendah garam, dan dengan obat-
obatan antihipertensi seperti ACE inhibitor dan Angiotensin receptor
blocker.
c. Anemia dapat diatasi dengan pemberian exogenous erytropoietin
(EPO), pemberian tablet besi, atau dengan tranfusi darah.
d. Pembatasan asupan protein.
Protein yang dianjurkan untuk pasien PGK adalah protein yang
memiliki nilai biologis tinggi, seprti produk susu, telur, daging, dan
produk hewani lainnya (Surrena, Gaghardi, Scott et al., 2010).
Jumlah protein harian yang direkomendasikan adalah 1,2 gram/Kg
berat badan ideal (Lewis et al., 2011)

9
e. Pembatasan cairan.
Pembatasan cairan hanya dilakukan pada pasien ESRD.
Program pembatasan cairan tidak diberlakukan sebelum ESRD.
Penatalaksanaan overhidrasi pada kasus ini biasanya menggunakan
obat diuretik (Lewis et al., 2011) Jumlah cairan yang diizinkan masuk
dalam 24 jam untuk penderita PGK yang menjalankan program
pembatasan cairan adalah sebanyak urin out put dalam 24 jam
terakhir +500 sampai 600 ml (Insensible Water loss/IWL)
(Tanujiarso, Ismonah, & Supriadi., 2014) Salah satu bentuk
kehilangan cairan tubuh adalah melalui IWL. IWL meliputi
kehilangan cairan dari evaporasi yang terjadi melalui kulit dan paru
selama respirasi. Jumlah cairan yang dikeluarkan adalah 600 ml dari
kulit, 300 ml dari paru, dan 200 ml dalam bentuk feses yang berasal
dari saluran gastrointestinal (Taylor, Lillis, LeMone et al., 2011).
Berdasarkan teori tersebut, (Lewis et al., 2011) merumuskan jumlah
cairan yang boleh masuk dalam 24 jam pada penderita PGK
sebanyak urin out put + 600 sampai 1000 ml
f. Pembatasan natrium dan kalium serta fosfat.
1) Pembatasan natrium
Jumlah natrium yang boleh dikonsumsi oleh penderita PGK
setiap harinya adalah 2 sampai 4 gram. Perlu diperhatikan bahwa
natrium dengan garam natrium klorida tidak sama kandungan
natriumnya. Satu gram natrium klorida mengandung 400 mg
natrium.
2) Pembatasan kalium
Pembatasan kalium untuk penderita PGK tergantung
kemampuan ginjal dalam mengekskresikan kalium. Pembatasan
kalium dalam sehari adalah 2 sampai 3 gram, yang mana 39 mg
kalium sama dengan 1 mEq kalium. Beberapa jenis makanan yang
banyak mengandung kalium antara lain jeruk, pisang, melon,
tomat, buah-buahan yang berwarna kuning, dan sebagainya.

10
3) Pembatasan fosfat
Pembatasan fosfat dalam sehari adalah 1 gram. Beberapa
contoh makanan yang banyak mengandung fosfat antara lain
daging, susu, es krim, keju, yogurt, dan lain sebagainya. Banyak
makanan yang mengandung tinggi fosfat mengandung tinggi
protein. Semenjak program hemodialisis dilakukan dan pasien
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung
protein, maka pengikat fosfat penting diberikan untuk
mengontrol jumlah fosfat yang beredar dalam tubuh.
7. Komplikasi
Masalah umum yang sering dihadapi pasien PGK adalah
ketidakpatuhan dalam pengobatan. Salah satu ketidakpatuhan yang paling
sering ditemui pada pasien PGK adalah ketidakpatuhan terhadap
pembatasan intake cairan. Ketidakpatuhan terhadap pembatasan intake
cairan akan mengakibatkan berbagai masalah antara lain: edema, sesak
napas, hipertensi, dan gangguan jantung, serta yang paling serius
adalah kematian (N. W. Arfany, Armiyati, & Kusuma, 2015)

B. Tinjauan Umum Tentang Rasa Haus


1. Pengertian
Haus merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Para ahli
memiliki pendapat mengenai definisi haus. Beberapa pendapat ahli
tentang definisi haus, antara lain:
a. Haus adalah keinginan individu untuk memenuhi kebutuhan cairan
tubuh yang dilakukan secara sadar (Guyton A C, 2012)
b. Haus adalah keinginan akan cairan yang menghasilkan naluri dasar
untuk minum (Said & Hanan, 2013).
c. Haus merupakan sensasi yang disebabkan oleh mulut dan
tenggorokan yang kering berhubungan dengan keinginan akan cairan
(Kara, 2013)

11
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
haus adalah keinginan akan air (minum) yang muncul sebagai akibat
tubuh mengalami kekurangan cairan.

2. Factor Yang Mempengaruhi Rasa Haus (Dipsogenic Factor)


Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh manusia diatur oleh
mekanisme rasa haus, pusat reseptor stimulus fisiologis utama yang
mengendalikan rasa haus ada dihipotalamus di otak. Faktor yang
mempengaruhi munculnya atau timbulnya rasa haus diantaranya karena
adanya peningkatan konsentrasi plasma, penurunan volume darah,
membran mukosa dan mulut yang kering, angiotensin II, kehilanga
kalium, dan faktor-faktor psikologis. Sel reseptor osmoreseptor secara
terus-menerus memantau osmolalitas, apabila tubuh kehilangan cairan
banyak osmoreseptor akan bekerja mendeteksi kehilangan cairan dan
mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan seseorang
merasa haus dan muncul keinginan untuk minum (Potter dan Perry, 2006).
Faktor lain yang memicu munculnya rasa haus menurut Arfany,
Armiyati dan Kusumo (2015) dan Ardiyanti, Armiyati dan Arif (2015)
adalah prosedur hemodialisis pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
yang tidak dilakukan setiap hari akan memicu munculnya masalah
penumpukan cairan diantara sesi dialisis. Hal ini yang akan menyebabkan
berat badan pasien bertambah, tekanan darah meningkat, sesak nafas,
gangguan jantung, dan edema karena ginjal tidak mampu mengeluarkan
cairan. Retensi natrium dan air terjadi akibat hilangnya fungsi ginjal,
sehingga fungsi tubulus juga hilang yang mengakibatkan sekresi urine
encer dan terjadi dehidrasi (O' challaghan, 2009, hlm. 95 : Ardiyanti,
2015). Keadaan dehidrasi ini menyebabkan peningkatan osmolalitas,
sehingga sel akan mengkerut dan muncul perasaan haus (Kowalak, 2011).
Sedangkan menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2011) faktor
keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam-basa dipengaruhi oleh
beberapa hal berikut :

12
a. Usia
Kebutuhan cairan tubuh manusia dipengaruhi oleh usia seseorang,
antara bayi, anak, dan orang dewasa kebutuhan cairan tubuh yang
harus dipenuhi berbeda-beda karena dalam masa pertumbuhan bayi
dan anak mengalami perpindahan cairan lebih besar dan laju
metabolisme lebih tinggi dari pada orang dewasa yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan kehilangan cairan. Secara tidak langsung
kehilangan cairan pada bayi dipengaruhi oleh belum matangnya organ
ginjal sehingga kemampuan menyimpan air rendah dibandingkan
dengan orang dewasa, dan pernapasan bayi yang lebih cepat serta
besarnya area permukaan tubuh bayi secara proporsional lebih besar
dari orang dewasa. Lebih cepatnya perpindahan cairan disertai
hilangnya cairan akibat penyakit pada anak-anak akan terjadi
ketidakseimbangan cairan jauh lebih cepat dari dewasa. Kehilangan
cairan pada usia lanjut dipengaruhi oleh proses penuaan dan
kecenderungan terhadap penyakit. Proses penuaan terjadi perubahan
normal yang meningkatkan risiko dehidrasi, meliputi; respon haus
yang kurang dirasakan sering kali terjadi, kadar hormon antidiuretik
yang normal atau meningkat tetapi pada nefron terjadi penurunan
kemampuan menyimpan air sebagai respon terhadap ADH,
peningkatan kadar natriuretik atrial. Selain itu, adanya kecenderungan
terhadap penyakit jantung, ginjal, dan regimen obat multipel, risiko
terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit lebih signifikan
(Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
Menurut Kemenkes RI (2014) kategori usia dibedakan menjadi
bayi (0 tahun), balita (1-4 tahun), prasekolah (5-6 tahun), anak usia
sekolah (7-12 tahun), remaja (<15 tahun), dewasa awal (15-44 tahun),
dewasa akhir (45-59 tahun), usia lanjut (≥60 tahun).
b. Jenis Kelamin dan Berat Badan
Total air dalam tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran
tubuh. Seseorang yang mempunyai lemak tubuh berlebih maka cairan

13
tubuh yang dimilikinya akan sedikit karena sel lemak tidak
mengandung air dan jaringan tanpa lemak tinggi akan kandungan air.
Secara proporsional wanita mempunyai lemak tubuh lebih banyak dan
cairan lebih sedikit dari pria (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
c. Suhu Lingkungan
Kehilangan cairan tubuh pada manusia dipengaruhi oleh suhu
lingkungan, dimana suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan
kehilangan cairan melalui keringat sebagai upaya tubuh untuk
menghilangkan panas (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
d. Gaya Hidup
Keseimbangan cairan dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang,
faktor yang mempengaruhi gaya hidup seperti diet karena pada kondisi
malnutrisi berat terjadi penurunan kadar albumin serum dan bisa
terjadi edema disebabkan berkurangnya aliran osmotik cairan ke
kompartemen pembuluh darah, asupan kalori yang tidak adekuat juga
akan membuat cadangan lemak dalam tubuh dipecah dan asam lemak
dilepaskan yang dapat meningkatkan risiko asidosis. Faktor yang
kedua adalah olah raga, saat olah raga tubuh banyak kehilangan cairan
dan elektrolit karena ketika seseorang sedang berolah raga cairan dan
elektrolit dalam tubuh akan keluar lewat keringat. Faktor yang ketiga
adalah stres, saat stres terjadi peningkatan produksi ADH yang bisa
mengakibatkan penurunan produksi urine dan respon tubuh dalam
menghadapi stres adalah meningkatkan volume darah, metabolisme
selular, kadar konsentrasi glukosa darah, dan kadar katekolamin.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keseimbangan cairan adalah
konsumsi alkohol berlebih dapat mempengaruhi keseimbangan
elektrolit, risiko penurunan kadar kalsium, magnesium, fosfat, dan
terjadi asidosis akibat peningkatan pemecahan cadangan lemak dalam
tubuh (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

14
3. Fisiologi Munculnya Rasa Haus
Munculnya rasa haus merupakan fenomena penting yang dialami
tubuh manusia sebagai salah satu sinyal akan kebutuhan air di dalam
tubuh. Jumlah air dalam tubuh harus seimbang antara yang masuk dan
yang keluar. Jika jumlah air yang keluar lebih banyak dibanding yang
masuk, maka rasa haus akan muncul (Guyton A C, 2012)
Peningkatan konsentrasi plasma dan penurunan volume darah
merupakan stimulus utama munculnya rasa haus. Osmoreseptor yang
merupakan sel-sel reseptor yang berada di pusat pengendali rasa haus di
hipotalamus akan memantau osmolalitas darah secara terus menerus.
Apabila tubuh kehilangan cairan terlalu banyak, maka osmoreseptor akan
mendeteksi kehilangan tersebut dan akan mengaktifkan pusat rasa haus.
Akibat adanya rangsangan tersebut, maka seseorang akan merasakan haus
dan kemudian mencari air. Selain itu, kondisi membran mukosa mulut dan
faring yang kering, pembentukan Angiotensin II, kehilangan kalium, dan
kondisi psikologis seseorang juga mempengaruhi rasa haus yang
dirasakan seseorang (A Potter, & Perry, 2010).
Rasa haus segera akan hilang ketika seseorang minum air
bahkan sebelum air tersebut diabsorpsi dari traktus gastrointestinalis.
Seseorang yang memiliki fistula esofagus (esofagus yang memiliki lubang
sehingga air tidak akan pernah sampai tepat di traktus gastrointestinalis),
rasa haus akan tetap berkurang setalah tindakan minum yang dilakukan
seseorang, tetapi rasa haus akan datang kembali setelah 15 menit atau
lebih. Apabila air benar- benar masuk ke lambung, maka peregangan
lambung dan bagian traktus gastrointestinalis bagian atas masih akan
memberikan efek pengurangan rasa haus lebih lanjut untuk sementara
waktu (Guyton A C, 2012)
4. Manajemen Haus
Pembatasan asupan cairan penting dilakukan bagi seseorang yang
mengalami retensi cairan (kelebihan volume cairan) akibat dari gagal
ginjal, gagal jantung kongestif, SIADH, dan penyakit kronik lain (Kozier,

15
Erb, Berman dan Snyder, 2011). Manajemen cairan yang tepat perlu
dilakukan pada pasien dengan pembatasan cairan.
Manajemen cairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari
puasa sampai dengan pembatasan asupan cairan tertentu yang tepat sesuai
program dari dokter. Pada kondisi dengan penyakit kronik tertentu seperti
gagal ginjal kronik, pembatasan asupan cairan dirasa sulit untuk dilakukan
oleh beberapa pasien, terutama saat mengalami kehausan (Kozier, Erb,
Berman dan Snyder, 2011).
Menurut (Salomo, 2006, hlm. 185 ; Arfany, 2015), beberapa cara
yang dapat dilakukan dalam mengurangi haus pada pasien yang menjalani
hemodialisis, diantaranya :
a. Mengulum es batu.
Salah satu cara atau strategi yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan kebutuhan asupan cairan diantaranya adalah dengan
memberikan secara sering sedikit asupan cairan (air), memberikan es
batu atau es batang (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011). Sesuai
penelitian yang telah dilakukan oleh Arfany, Armiyati dan Kusumo
(2015), menyebutkan bahwa dengan mengulum es batu selama 5 menit
efektif dapat menurunkan rasa haus pasien PGK. Alasannya
disebutkan bahwa dengan mengulum es batu, lama kelamaan es batu
akan mencair dan es batu yang mencair dalam mulut dapat
memberikan efek dingin serta menyegarkan sehingga keluhan haus
pasien menjadi berkurang. Serta dengan mengulum es batu akan
membuat mukosa dalam mulut lembab setelah es batu mencair,
sehingga mulut pasien tidak kering yang dapat memicu munculnya
rasa haus (Igbokwe dan Obika, 2008).
Pasien dengan pembatasan asupan cairan dengan mengulum es
batu sangat bermanfaat mengurangi haus. Air yang terkandung
didalam es batu membantu memberikan efek dingin yang dapat
menyegarkan dan mengatasi haus pasien yang sedang menjalani
hemodialisa (Arfany, Armiyati dan Kusumo, 2015), Conchon dan

16
Fonseca (2014), dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa dengan
penggunaan 10 ml es batu dengan cara dikulum oleh pasien
postoperatif terbukti efektif dapat mengurangi rasa haus pada periode
pemulihan di recovery room (RR). Penggunaan es batu 20% lebih
efektif daripada air pada suhu ruangan untuk meringankan kehausan.
Konsumsi jumlah es batu yang dikulum dalam mengurangi rasa haus
juga harus dipertimbangkan, hitung cairan setengah dari volume es
batu (jika es batu dalam wadah ukuran 200 ml, maka volume yang
harus dihitung berjumlah 100 ml) (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,
2011)
b. Mengunyah permen karet
Permen karet rendah gula terbukti bisa meningkatkan jumlah
sekresi saliva untuk mengurangi haus dan mulut kering (xerostomia)
dengan jumlah sekresi saliva rata-rata 2,7-2,8 mL per menit (Arfany,
Armiyati dan Kusumo, 2015). Penelitian ini sejalan dengan yang
dilakukan Veerman (2005), bahwa dengan mengunyah permen karet
adalah sebuah terapi alternatif yang bisa digunakan untuk merangsang
kelenjar ludah pada pasien dengan hemodialisis. Mengunyah permen
karet dapat mengurangi rasa haus sebesar 60% dibandingkan dengan
pemberian terapi pengganti saliva hanya 15%.
c. Berkumur
Salah satu fungsi berkumur adalah untuk membersihkan rongga
mulut. Akan tetapi pada keadaan PGK, berkumur berguna membasahi
rongga mulut yang berfungsi menghindarkan mulut kering yang pada
akhirnya mengurangi rasa haus. Gerakan mulut saat berkumur
membuat kontraksi pada otot-otot daerah bibir, lidah, dan pipi.
Kontraksi ini yang bisa merangsang kelenjar saliva di mulut untuk
memproduksi saliva (Pratama, 2014). Peningkatan produksi saliva di
mulut menyebabkan hilangnya rasa haus dan mulut kering karena
sinyal yang diterima oleh hipotalamus dari osmoreseptor bahwa
kebutuhan cairan terpenuhi (Potter dan Perry, 2006).

17
Daun mint atau nama latinnya adalah mentha arvensis L
mempunyai kandungan kimia antara lain: minyak atsiri 12%, mentol
80-90%, menthon, d-piperition, heksanolfenil-asetat, etil amil
karbinol, dan neomentol (Lukas, 2007). Sensasi dingin dari daun mint
akan memberikan rasa nyaman serta membuat nafas menjadi lebih
segar. Kandungan antiseptik daun mint merupakan anti bakteri yang
alami sehingga daun mint dijadikan bahan obat kumur (Laseduw,
2014). Gerakan berkumur dapat meningkatkan rangsangan sekresi
saliva terutama pada kelenjar parotis karena pada saat berkumur
mengakibatkan bekerjanya otot-otot pengunyahan. Gerakan berkumur
dapat menyebabkan reflek liur sederhana yang terjadi ketika
kemoreseptor dan reseptor tekan di dalam rongga mulut berespon
terhadap keberadaan obat kumur rasa mint, kemudian impuls serat-
serat aferen yang membawa informasi ke pusat liur (saliva) yang
terletak di medula batang otak, seperti samua pusat otak yang
mengontrol aktivitas pencernaan. Pusat liur selanjutnya mengirim
impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar liur untuk
meningkatkan sekresi saliva sehingga rasa haus akan berkurang
(Sherwood, 2011, hlm. 651).
Menurut Barorotul Kamalia (2013) alternative yang ditawarkan
untuk membantu mengatasi rasa haus pada klien dengan CKD yaitu
Berkumur dengan menggunakan obat kumur yang juga dapat
menghindari terjadinya bibir kering serta Hindari makanan dengan
rasa asin dan pedas. Rasa asin dan pedas akan meningkatkan rasa haus,
sedangkan rasa asin akan cenderung meningkatkan tekanan darah.
Terapi berkumur dilakukan sehari 2 kali dengan menggunakan obat
kumur rasa mint. Usahakan agar tidak tertelan (Neliya, S.W, 2012)
dan kumur selama 30 detik (Yunie Armiyati, 2019).

18
d. Frozen Grapes
Menurut Dudek (2014) buah anggur merupakan salah satu buah
yang mempunyai sedikit kandungan kalium, sehingga buah anggur
aman untuk dikonsumsi bagi penderita PGK. Buah anggur yang
ditempatkan dalam pendingin akan menjadi anggur beku (frozen
grapes) yang hampir sama dengan es batu. Sensasi dingin yang
ditimbulkan oleh frozen grapes dapat memberikan efek dingin dan
segar di mulut ketika dimakan. Kandungan air yang terdapat dalam
buah anggur saat dibekukan akan bertahan lama di dalam mulut,
sehingga dapat menurunkan sensasi rasa haus.
e. Sikat Gigi
Menyikat gigi merupakan aktifitas rutin yang biasa dilakukan oleh
setiap individu, sikat gigi dilakukan sebagai upaya untuk memelihara
kesehatan mulut, gigi, dan gusi yang dapat memberikan efek rasa segar
di mulut dan mencegah menumpuknya sisa makanan pada sela-sela
gigi yang menyebabkan terjadinya karies gigi. Menyikat gigi bisa
dilakukan dengan menambahkan pasta gigi untuk membantu
melembabkan permukaan mukosa mulut yang dapat mencegah
terjadinya kekeringan pada mulut (xerostomia) (Winatha, 2014).
Xerostomia merupakan perasaan mulut kering, biasanya dialami pada
pasien PGK, xerostomia biasanya muncul karena terjadi penurunan
aliran saliva pada rongga mulut, xerostomia juga diduga sebagai salah
satu faktor yang mendorong pasien PGK ingin minum, pasien PGK
yang mengalami xerostomia dapat mengalami masalah gangguan
kesehatan mulut seperti bau mulut dan stomatitis (Bruzda-Zwiech,
Szczepanska dan Zwiech, 2013).

5. Instrument pengukuran rasa haus


a. Visual analogy scale (VAS)
Instrumen ini telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu.
Igbokwe dan Obika (2008), melakukan uji reliabilitas terhadap

19
instrumen ini dan hasil VAS menunjukkan reliabel untuk mengukur
rasa haus dengan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,96.
Gambar 2.1
Instrumen Untuk Pengukuran Haus Menurut Visual Analog
Scale (VAS)

0 10
Tidak haus Sangat haus sekali

Sumber: (Stafford, Wendland, O'Dea dan Norman, 2012)

Gambar 2.2
Instrumen Untuk Pengukuran Haus Dan Kategori Haus
Menurut Visual Analog Scale (VAS)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Haus Sangat haus


sekali

Haus Ringan Haus Sedang Haus Berat

Sumber: (Kara, 2013; Stafford, Wendland, O'Dea dan Norman, 2012)

b. Thirst Distres Scale (TDS)


Instrumen ini sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji
reliabliitas menunjukkan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,78
(Kara, 2013)

20
Item yang ditanyakan dalam TDS adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2
Thirst Distres Scale

No Item pertanyaan

1. Rasa haus saya menyebabkan saya merasa tidak nyaman


2. Rasa haus saya membuat saya minum sangat banyak
3. Saya sangat tidak nyaman ketika saya haus
4. Mulut saya terasa sangat kering ketika saya haus
5. Saliva saya sangat sedikit ketika saya haus
6. Ketika saya kurang minum, saya akan sangat kehausan
Sumber: (Kara, 2013)
TDS digunakan untuk mengukur haus pasien yang dihubungkan
dengan ketidaknyamanan pasien sejak dialisis terakhir. Masing-masing
item pertanyaan TDS diberikan skala Likert dengan rentang dari 1
(sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Jumlah skor yang
mungkin didapatkan adalah 6-30, yang mana semakin tinggi skor
berarti sangat stres terhadap rasa haus.
c. Dialysis Thirst Inventory (DTI)
Instrumen ini dapat digunakan untuk mengukur haus sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan hemodialisis. DTI merupakan sebuah
kuesioner yang telah divalidasi yang terdiri dari 5 item, yang mana
setiap item memiliki 5 point yang berasal dari skala Likert (tidak
pernah = 1 sampai sangat sering = 5). Respon dari kelima item tersebut
kemudian dijumlahkan, yang mana hasilnya berupa skor sebagai
berikut: 5 = tidak pernah haus, 10 hampir tidak pernah haus, 15 =
kadang-kadang, 20 = hampir sering haus, dan 25 = sangat sering
haus (Said & & Mohammed, 2013 ) . Beberapa pertanyaan DTI dapat
dilihat pada tabel berikut.

21
Tabel 2.3
Dialysis Thirst Inventory

No Item pertanyaan

1. Haus adalah masalah untuk saya


2. Saya merasa haus sepanjang hari
3. Saya merasa haus sepanjang malam
4. Kehidupan sosial saya dipengaruhi oleh haus saya
5. Saya haus sebelum sesi dialysis
6. Saya haus selama sesi dialysis
7. Saya haus setelah sesi dialisis

Sumber: Said & Mohammed (2013)

Masing-masing dari item pertanyaan diberikan skala Likert dengan


tipe skala (1 = tidak pernah hingga 5 = sangat sering). Laporan pasien
yang mengatakan “tidak pernah dan “hampir tidak pernah”
C. Mekanisme
1. Identifikasi Pertanyaan
b. Analisa PICOT
P ( Problem and Patient ) : Pasien Penderita gagal ginjal
I ( Intervention ) : Kumur Dengan Obat Kumur Rasa Mint
C ( Comparation ) : Mengulum ice dan mengunyah permen
karet
O (Outcame) : Rasa Haus
T ( Time ) : Dilakukan selama 2 kali dalam sehari
selama 3 hari dari tanggal 30 Desember
2019 – 1 Januari 2020

c. Pertanyaan Klinis
Apakah Intervensi Kumur Dengan Obat Kumur Rasa Mint dapat
menurunkan rasa haus pasien gagal ginjal kronik?

22
1. Ekstraksi Data dan Critical Appraisal
Tabel 2.4
Ekstraksi Data dan Critical Appraisal

Sampel Komenta
Desain/seleksi Hasil Level
No Penelitian (karakteristik,u Intervensi Reviewer
responden temuan/kesimpulan penelitian
kuran, setting)
1. Anis Ardiyanti, Populasi dalam Jenis Intervensi yang Terdapat pengaruh RCT Kekuatan: penelitian
Yunie Armiyati, penelitian ini penelitian: dilakukan kumur dengan obat (Randomized ini merupakan
M. Syamsul Arif yaitu semua quasy adalah kumur kumur rasa mint atau controlled penelitian quasi
SN (2015) pasien ginjal experiment dengan obat obat kumur rasa mint clinical eksperiment
kronik yang Rancangan kumur rasa mint mampu menurunkan trials) Kelemahan: factor-
Pengaruh menjalani HD penelitian: one rasa haus pasien faktor perancu hasil
Kumur Dengan (51 Pasien). group pretest- penyakit ginjal kronik penelitian sebaiknya
Obat Kumur Sampel postest yang menjalani HD dimasukkan sebagai
Rasa Mint penelitian Metode dengan P Value 0,001 kriteria eksklusi dan
Terhadap Rasa yaitu 16 pasien sampling: penjelasan metode
Haus Pada simple random penelitian tidak
Passion Penyakit sampling dijelakan secara renci
Ginjalkronik dalam jurnal
Yang Menjalani
Hemodialis Di
SMC RS
Telogorejo
2 Yuni armiyati, Populasi dalam Jenis Intervensi yang Ada perbedaan (Randomized Kekuatan :
khoiriyah, penelitian ini penelitian: dilakukan bermakna skor rasa haus controlled Penelitian ini
akhmad mustofa ialah pasien quasy adalah pada 3 sebelum dan sesuah clinical merupakan penelitian
(2019) GGK yang experiment kelompok, dilakukan intervensi. trials) quasy eksperimen
Optimizing Of menjalani HD Rancangan kumur dengan Tidak ada perbedaan Kelemahan:

23
Thirst di RS Roemani penelitian: obat kumur rasa signifikan dalam durasi Peneliti tidak
Management On Muhammadiya pretest-postes mint, kumur air menahan haus antara 3 menanyakan kapan
CKD Patient h Semarang designt matang dan intervensi tersebut terakhir pasien minum
Undergoing Sampel dalam Metode mengulum es dengan (p=0,061) sebelum diberikan
Hemodialysis penelitian ini sampling: batu
By Sipping Ice ialah 27 purposive
Cube pasien. sampling

3 I- Chen Yu. Yu Populasi dalam Jenis Intervensi yang Kumur menggunakan (Randomized Kekuatan: penelitian
Fang Tsai, Ji- penelitian ini penelitian: dilakukan air murni dan obat controlled ini merupakan
Tseng Fang, yaitu 3 pusat quasy adalah pada 3 kumur setelah makan clinical penelitian quasy
Mei-Ming dialiser di experiment kelompok, dapat mengakibatkan trials) ekperimen
Yeh,Jia-Anda Taiwan. Rancangan kumur dengan produksi saliva. Namun Kelemahan: bau dan
Fang (2016) Sampel dalam penelitian: obat kumur kumur dengan air murni rasa dari obat kumur
Effect of penelitian ini pretest-postest licorice, kumur tidak mengurangi licorice tidak dapat
mouthwashinter yaitu 122 Metode air murni dan xerotomia (mulut ditutupi
vantions on sampel sampling: tidak ada kumur kering) sedanglan
xerostomia and purposive kumur dengan obat
unstimulated sampling kumur dapat
whole saliva mengurangi mulut
flow rate among kering serta peningkatan
hemodialysis produksi saliva
patient; a
randomized
controlled study

24
D. Manajemen
Penulis akan menjelaskan prosedur tindakan kepada responden
kemudian melakukan pengukuran rasa haus dan setelah itu melakukan
intervensi kumur dengan obat kumur rasa mint.
1. Kiteria pasien
Inklusi
 Pasien penderita CKD on HD dan/ non HD
 Pasien yang mendapatkan program pembatasan air minum
 Pasien yang merasa haus
 Pasien Kooperatif
 Pasien Sadar
Eksklusi
 Pasien yang mengundurkan diri dalam intervensi
 Pasien yang mendapatkan kanker mulut dan kanker leher
 Pasien yang alergi terhadap obat kumur rasa mint
2. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan intervensi kumur dengan obat kumur rasa mint
yaitu mulai tanggal 30 Desember 2019 – 1 Januari 2020
3. Teknik/Cara
Kumur dengan obat kumur rasa mint adalah Terapi yang
menggunakan media obat kumur rasa mint yang bertujuan untuk
mengurangi rasa haus yang dilakukan selama 30 detik sebanyak 2 kali
dalam sehari setelah makan yaitu pada jam 07.00 dan 13.00. sebelum
intervensi diberikan dilakukan terlebih dahulu pengukuran skala haus
pasien, dan setelah intervensi diberikan dilakukan kembali pengukuran
skala haus pasien dengan menggunakan instrument VAS (Visual
Analog Scale).

25
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH

A. Rancangan Desain Inovatif


Jenis desain inovatif ini merupakan desain quasi experiment dan rancangan
desain inovatif yang digunakan adalah pre test and post test without control
group. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan intervensi
kumur dengan obat kumur rasa mint diberikan.
B. Responden
Responden dalam penelitan ini yaitu pasien penderita gagal ginjal kronik yang
dirawat diruang Flamboyan di RSUD AWS Samarinda
C. Jenis Intervensi
Intervensi yang dilakukan yaitu kumur dengan obat kumur rasa mint untuk
menurunkan rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik
D. Tujuan
Tujuan dari intervensi yang dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh
intervensi kumur dengan obat kumur rasa mint terhadap perubahan rasa haus
pada pasien penderita gagal ginjal kronik.
E. Waktu
Waktu pelaksanaan dari intervensi yang diberikan dari tanggal 30 Desember
2019 sampai dengan 1 Januari 2020
F. Setting
Intervensi akan dilakukan pada 2 pasien diruang Flamboyan RSUD AWS
Samarinda sesuai dengan kriteria inkulusi yang telah ditetapkan. Intervensi ini
akan diberikan kepada pasien 2 kali sehari dikamar tidur masing-masing
pasien.
G. Media/Alat Yang Digunakan
Obat kumur rasa mint, air, gelas, tisu, bengkok dan lembar kuesioner VAS
(Visual Analog Scale).

26
H. SOP (Standar Operasional Prosedur)

Tabel 3.1
SOP (Standar Operasional Prosedur) Kumur Dengan Obat Kumur Rasa Mint

Topik Penerapan terapi modalitas berupa terapi obat kumur rasa mint
terhadap rasa haus pada pasien CKD

Pengertian Terapi yang menggunakan media obat kumur rasa mint yang
bertujuan untuk mengalihkan rasa haus.  Manajemen rasa haus
dapat dilakukan salah satunya dengan cara berkumur
menggunakan obat kumur dengan rasa mint. Daun mint atau
nama latinnya adalah mentha arvensis L mempunyai kandungan
kimia antara lain: minyak atsiri 12%, mentol 80-90%, menthon,
d-piperition, heksanolfenil-asetat, etil amil karbinol, dan
neomentol (Lukas, 2007)

Tujuan 1. Obat kumur mint untuk menghilangkan rasa haus pada


pasien

2. Sensasi dingin dari daun mint akan memberikan rasa


nyaman serta membuat nafas menjadi lebih segar.
Kandungan antiseptik daun mint merupakan anti bakteri
yang alami sehingga daun mint dijadikan bahan obat
kumur (Laseduw, 2014).
Waktu Kumur selama 30 detik sebanyak 2 kali dalam sehari setelah
makan yaitu pada jam 07.00 dan 13.00

Pelaksana Anis Agustina

Prosedur A. Persiapan Alat

27
Penatalaksanaan
Terapi obat
1. Persiapan obat kumur mint
kumur mint

2. Sediakan tempat bengkok

3. Sediakan tisu

4. Air

5. Gelas

6. Lembar kuesioner VAS (Visual Analog Scale)

B. Langkah-langkah

Langkah-langkah terapi obat kumur mint:

1. Duduklah dengan santai


2. Siapkan obat kumur rasa mint 20 ml

3. Kumur-kumur obat kumur rasa mint selama 30 detik

4. Buang air kumur ketempat yang sudah disediakan

5. Lap mulut dengan tisu

C. Evaluasi

1. Dokumentasi

28
29

Anda mungkin juga menyukai