Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN.

K DENGAN BATU RENAL


DEXTRA DILAKUKAN TINDAKAN EXTENDED PYELOLITHOTHOMY DALAM
ANESTESI UMUM DI RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar Keperawatan Anestesi II


Dosen Pembimbing: Ns. Maryana, S.Psi, M.Kep
Pembimbing Lapangan : Imawan Dhany Atmoko, S.ST

Disusun Oleh :

Ayuningtyas Dian Utami (P07120215010)

Isna Siwi Pujamukti (P07120215021)

Yuni Apriliani Istiqamah (P07120215045)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN YOGYAKARTA
PRODI D IV KEPERAWATAN
TAHUN 2018
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN. K DENGAN BATU RENAL


DEXTRA DILAKUKAN TINDAKAN EXTENDED PYELOLITHOTHOMY DALAM
ANESTESI UMUM DI RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Diajukan untuk disetujui pada:


Hari : Sabtu
Tanggal : 22 Desember 2018
Tempat : IBS RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto

Mengetahui,
Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan

Ns. Maryana, S.Psi, M.Kep Imawan Dhany Atmoko, S.ST


NIP. 197504072002121002 NIP. 198206052008011010
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada Tn. K
Dengan Batu Renal Dextra dilakukan Tindakan Extended Pyelolithothomy dalam Anestesi
Umum di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto tanpa halangan apapun.

Penulisan asuhan keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik Klinik
Keperawatan Anestesi II Prodi D IV Keperawatan semester VII. Penulis menyadari bahwa
penulisan asuhan keperawatan ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Direktur RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto yang telah memberikan


kesempatan untuk melaksanakan praktik di RSU Prof Dr Margono Soekarjo Purwokert
2. Imawan Dhany Atmoko, S.ST, Rudatin Sri Haryanti, S.ST, Agus Triyanto, S.ST, S.Kep,
dan Triyanto Puji Widodo, S.ST selaku pembimbing lapangan di Instalasi Bedah Sentral
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
3. Ns. Maryana, S.SiT, S.Psi, S.Kep, M.Kep dan Ns. Ircham Syaifuddin, S.Kep., MM selaku
pembimbing akademik di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan asuhan keperawatan ini.
Dalam penulisan asuhan keperawatan ini penulis menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan
asuhan keperawatan ini. Semoga penulisan asuhan keperawatan ini bermanfaat bagi pembaca.

Purwokerto, 22 Desember 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman
Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi.
Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks
ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal
kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih
bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia
prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara
berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak
dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi
status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia
adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.
Batu dapat menyebabkan infeksi berulang, gangguan ginjal, atau hematuria.
Obstruksi akut menyebabkan kolik ginjal dengan nyeri pinggang yang berat, seringkali
menyebar ke selangkangan, dan kadang disertai mual, muntah, rasa tidak nyaman di
abdomen, disuria, nyeri tekan ginjal, dan hematuria.Penyebab terbentuknya batu saluran
kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi
saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap
(idiopatik) (Suharyanto, 2009).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mendapatkan gambaran lebih
jelas tentang bagaimana “Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada Tn. K Dengan Batu
Renal Dextra Dilakukan Tindakan Extended Pyelolithothomy Dalam Anestesi Umum Di
RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin mengetahui bagaimana asuhan
keperawatan perianestesi pada Tn. K dengan batu renal dextra dilakukan tindakan
extended pyelolithothomy dalam anestesi umum di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo
Purwokerto ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan anestesi ini adalah untuk
mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan
anestesi mulai dari pre operasi, intra operasi atau durante operasi dan post operasi,
pada klien dengan extended pyelithotomy dengan general anestesi.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran mengenai pengkajian asuhan keperawatan perianestesi
pada Tn. K dengan batu renal dextra dilakukan tindakan extended
pyelolithothomy dalam anestesi umum di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo
Purwokerto
b. Memberikan gambaran mengenai diagnosa keperawatan yang timbul pada
asuhan keperawatan perianestesi pada Tn. K dengan batu renal dextra dilakukan
tindakan extended pyelolithothomy dalam anestesi umum di RSUD Prof Dr
Margono Soekarjo Purwokerto
c. Memberikan gambaran mengenai perencanaan keperawatan pada asuhan
keperawatan perianestesi pada Tn. K dengan batu renal dextra dilakukan
tindakan extended pyelolithothomy dalam anestesi umum di RSUD Prof Dr
Margono Soekarjo Purwokerto
d. Memberikan gambaran mengenai implementasi keperawatan pada asuhan
keperawatan perianestesi pada Tn. K dengan batu renal dextra dilakukan
tindakan extended pyelolithothomy dalam anestesi umum di RSUD Prof Dr
Margono Soekarjo Purwokerto
e. Memberikan gambaran mengenai evaluasi keperawatan pada asuhan
keperawatan perianestesi pada Tn. K dengan batu renal dextra dilakukan
tindakan extended pyelolithothomy dalam anestesi umum di RSUD Prof Dr
Margono Soekarjo Purwokerto

D. Waktu dan Tempat


Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan perianestesi dilakukan pada tanggal 14
Desember 2018 tempat pelaksanaan asuhan keperawatan perianestesi dilakukan di
instalasi bedah sentral (IBS) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Traktus Urinarius
Sistem saluran kemih merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerapzat-zat yang
masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Speakman, 2008).
Susunan sistem saluran kemih terdiri dari : a) dua ginjal yang mmenghasilkan urin, b) dua
ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria
tempat urin dikumpulkan, dan d) satu uretra urin dikeluarkan dari vesika urinaria (Panahi, 2010)
2. Anatomi Renal
Renal terletak di dalam rongga retroperitoneal abdomen di samping vertebra lumbal atas.
Membentang dari setinggi vertebra Thoracal 11-12 sampai lumbal 3. Renal dextra lebih rendah
letaknya dari renal sinistra, karena tertekan oleh hepar. Renal mempunyai dua buahkutub yaitu
superior yang mempunyai glandula suprarenalalis, dan inferior. Renal juga mempunyai dua
permukaan: di anterior yang berlekuk dan di posterior yang rata. Selain iturenal mempunya dua
tepi: tepi lateral yang berbentuk cembung, dan tepi medial yang berbentuk cekung dan
mempunyai suatu hilus renalalis, tempat masuk keluarnya pembuluh darah arteridan vena, limfe,
dan saraf. Renal di lindungi oleh costa sebelas dan dua belas (bagian belakang) dan jaringan
penyokong ginjal. Bila di lihat dari dalam ke luar, ada capsula renalalisyang melekat pada renal,
capsula adipose yaitu lemak perirenalal, fascia renalalis, dan jugalemak pararenalal yang
berfungsi sebagai bantalan karenala lemak agar renal tetap pada tempatnya. Potongan frontal
renal mempunyai dua lapisan yaitu bagian terang di luar yang disebut cortex renalalis, serta
bagian dalam yang di sebut medulla renalalis dan terdiri ataspiramid-piramid renalalis. Di ujung
piramid renalalis terdapat papilla renalalis. Bagian cortex yang masuk ke piramid tersebut di
namakan columna renalalis. Satu lobus ginjal terdiri dari satupiramis renalalis dan satu columna
renalalis. Dalam satu renal, biasanya terdapat 5 sampai 11lobus. Papilla renalalis bermuara di
calyx minor lalu membentuk suatu calyx major. Dari situ, ada suatu bagian superior ureter yang
melebar yang di sebut pelvis renalalis. Jaringan ikat yang meliputi renal dikenal sebagai fascia
renalalis, terpisah dari capsula fibrosa renalalis oleh lemak perirenalal (corpus adiposum
perirenalale) yang di hilum renalale bersinambung dengan lemak dalam sinus renalalis.
Disebelah luar fascia renalalis terdapat lemak pararenalal (corpusadiposum pararenalale) yang
paling jelas disebelah dorsal renal.
B. Teori Batu Renal
1. Definisi
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada dikaliks,
infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan
merupakan batu saluran kemih yang paling sering terjadi (Purnomo, 2010).

Batu Ginjal merupakan keadaan tidak normal dalam ginjal, yang mengandung
komponen kristal dan matriks organick. Batu ginjal adalah suatu penyakit dimana terjadi
pembentukan batu dalamkolises dan atau pelvis. Batu ginjal dapat terbentuk karena
pengendapan garamurat, oksalat atau kalsium (Purnomo, 2010).

2. Etiologi
Menurut Kartika S. W. (2013) ada beberapa faktor
yang menyebabkanterbentuknya batu pada ginjal, yaitu :
a. Faktor dari dalam (intrinsik), seperti keturunan, usia (lebih banyak pada usia
30-50 tahun, dan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada perempuan.
b. Faktor dari luar (ekstrinsik), seperti geografi, cuaca dan suhu, asupan air (bila
jumlah air dan kadar mineral kalsium pada air yang diminumkurang), diet
banyak purin, oksalat (teh, kopi, minuman soda, dan sayuran ber arna hijau
terutama bayam), kalsium (daging, susu, kaldu, ikan asin,dan jeroan), dan
pekerjaan (kurang bergerak).
Berapa penyebab lain adalah :
a. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal danakan
menjadi inti pembentukan batu saluran kencing.
b. Stasis obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah pembentukan batu
saluran kencing.
c. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
sedangkan asupan air kurang dan tingginya kadar mineral dalam airminum
meningkatkan insiden batu saluran kemih.
d. Idiopatik (Arif Muttaqin, 2011)
C. Extended Pyelithotomy
Extended pyelolithotomy (Gil Vernet metode) adalah teknik yang dapat
digunakan untuk mengangkat batu ginjal yang kompleks pada pelvis renalis dan yang
telah meluas pada beberapa kaliks. Dengan menggunakan metode ini pendekatan
melalui insisi parenkim ginjal dapat dihindari sehingga resiko yang menyebabkan
memburuknya fungsi ginjal postoperasi dapat dikurangi. Kasus-kasus dimana pelvis
renalis terletak intra renal atau jika ukuran batu besar dapat dilakukan insisi extended
pyelolithotomy (Gil-Vernet) untuk membantu mengangkat batu. Teknik ini
memungkinkan juga untuk mengangkat batu ginjal yang complex dan sisa-sisa batu di
dalam kaliks yang masih tertinggal mungkin dapat diangkat melalui Nephrotomy
Radial
Pada metode ini ginjal harus termobilisasi secara penuh. Sebuah vena yang
terus berjalan dari bagian posterior fascia Gerota ke bagian posterior dinding
abdomen berada pada bagian tengah ginjal dan vena ini harus teridentifikasi dan
dibekukan untuk menghindari perdarahan. Sebuah metode yang tepat untuk
mendukung ginjal setelah itu ialah di dalam sebuah netting sling (jaring). Jaringan
lemak pada pelvis renalis dilepaskan dengan cara digunting, sisanya ditutup ke
dinding pelvis renalis. Kemudian retractor Gil-Vernet diletakkan di bawah parenkim
ginjal agar dapat membebaskan pelvis renalis. Pada tahap ini harus dilakukan dengan
hati-hati agar tidak mencederai cabang dari arteri renalis. Setelah itu pelvis renalis
dibuka secara transversal. Insisi sebaiknya dibuat agak jauh dari pelviureteric junction
untuk mengurangi resiko devaskularisasi pada junction yang dapat menyebabkan
stenosis. Panjang dan arah insisi dapat bervariasi sesuai dengan bentuk anatomi intra
renal dan batu yang ada di dalamnya. Kemudian batu diangkat dengan memasukkan
curved McDonnell’s dissector dibelakang batu untuk membantu mengungkit batu
sehingga batu dapat dikeluarkan (Edha, 2010).
D. Teori Anestesi Umum
1. Pengertian
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap
berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan.
2. Indikasi
a. Infant & anak usia muda
b. Dewasa yang memilih anestesi umum
c. Pembedahannya luas / eskstensif
d. Penderita sakit mental
e. Pembedahan lama
f. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
g. Riwayat penderita alergi obat anestesi local
h. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia
3. Kontra Indikasi
Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan, (harus
hindarkan pemaiakaian obat).
a. Hepar : obat hepatotoksik, dosis dikurangi/ obat yang toksis terhadap
hepar/dosis obat diturunkan
b. Jantung : obat-obat yang mendespresi miokard/ menurunkan aliran darah
coroner
c. Ginjal : obat yg diekskresikan di ginjal
Beberapa obat yang memerlukan penyesuaian dosis pada penderita
gangguan ginjal antara lain alopurinol, lithium, acyclovir, amantadine,
fexofenadine, gabapentin, metoklopramind, ranitidin, rivaroxaban, dan
fesoterodine. Beberapa antimikroba yang banyak digunakan yang memerlukan
penyesuaian dosis pada penderita gangguan ginjal antara lain cephalexin,
amoksisilin, cefuroxime, ciprofloxacin, klaritomisin, levofloxacin,
nitrofurantoin, piperacillin/tazobactam, tetrasiklin, serta
trimetoprim/sulfametoksazol.
d. Paru : obat yg merangsang sekresi Paru
e. Endokrin : hindari obat yg meningkatkan kadar gula darah/hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis diabetes penyakit
basedow, karena bisa menyebabkan peninggian gula darah.
4. Persiapan Pada Hari Operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
a. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa
pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop
ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan
NGT untuk dekompresi lambung.
b. Pengosongan kandung kemih
c. Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
d. Pemeriksaan fisik ulang
e. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
f. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secara
intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi
5. Status Fisik Pra Anestesi
Mangku dan Senapathi (2010), menyampaikan bahwa persiapan pre anestesi
merupakan langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesi
untuk mempersiapkan pasien baik psikis maupun fisik pasien agar pasien siap dan
optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang
akan direncanakan. American Society of Anesthesiologist (ASA) menyusun
klasifikasi status fisik pra anestesi:
a. ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi
b. ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain, contoh pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan leukositosis
dan febris.
c. ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab, contoh pasien appendicitis perforasi
dengan septisemia, atau pasien ileus obstruktif dengan iskemia miokardium.
d. ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya, contoh pasien dengan syok atau dekompensasi
kordis.
e. ASA 5 : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun di operasi atau
tidak, contoh pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemorargik
karena ruptur hepatic
f. ASA E: Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = Emergency), misalnya ASA IE atau IIE.
6. Stadium
Guedel membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu:
a. Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien
tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne
dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi dan
muntah. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan
kematian.
c. Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1) Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
2) Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah,
pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan
refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
3) Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, reflex laring dan
peritoneum tidak ada, relaksaai otot lurik hamper sempurna (tonus otot
semakin menurun).
4) Plana 4 : pernapasan tiak teratur oleh perut karena otot intercostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, reflex sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan
darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan.
7. Tekhnik Anestesi Umum
Menurut Mangku dan Senapathi (2010), anestesi umum dilakukan dengan
beberapa teknik yaitu anestesi umum intavena, anestesi umum inhalasi, dan
anestesi imbang.
a. Anestesi Umum Intravena
Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat
beberapa jenis obat anestesi. Obat yang digunakan di Indonesia hanya
beberapa jenis obat saja seperti tiopenton, diazepam, dehidrobenzoperidol,
fentanil, ketamin dan propofol. Kelebihan teknik anestesi umum intravena
diantaranya adalah kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat
dititrasi dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan, tidak
menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar
jalan nafas atau paru-paru, anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-
alat atau mesin yang khusus. Tujuan teknik anestesi umum intravena adalah
untuk induksi anestesi, induksi dan pemeliharaan anestesi pada tindakan
pembedahan singkat, menambah efek hipnosis pada anestesi atau analgesia
lokal, dan menimbulkan sedasi pada tindakan medis (Latief, Kartini, Suryadi,
dan Dahlan, 2010).
Variasi anestesi umum intravena adalah sebagai berikut:
1) Anestesi Intravena Klasik
Anestesi intravena klasik menggunakan kombinasi obat ketamin
hidroklorida dengan sedatif misalnya diazepam, midazolam, atau
dehidrobenzperidol yang memberikan efek hipnotik dan anestesi. Indikasi
anestesi intravena klasik yaitu pada operasi kecil dan sedang yang tidak
memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung
singkat, dengan pengecualian operasi di daerah jalan nafas dan intra
okuler. Sedangkan kontra indikasinya pada pasien yang rentan terhadap
obat-obat simpatomimetik (penderita diabetes mellitus, hipertensi,
tirotoksikosis, dan paeokromo sitoma), pasien yang menderita hipertensi
intra kranial, pasien yang menderita glaucoma, operasi intra okuler.
2) Total Intravenous Anesthesia (TIVA)
TIVA menggunakan kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat
hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias
anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Indikasi TIVA yaitu pada operasi yang memerlukan relaksasi lapangan
oporasi optimal. Tidak ada kontra indikasi yang absolut pada TIVA,
pilihan obat disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Induksi
biasanya dengan suntikan bolus obat, disusul mempertahankan infus
secara kontinyu. Infus altesin dan etomidat terbukti merupakan agen
TIVA yang berguna tetapi ditarik kembali karena efek sampingnya. Agen
anestesi yang lebih mutakhir seperti propofol, memberikan harapan
kembali kepopuleran teknik intravena total ini (Boulton danThomas,
2012).
3) Anestesi Analgesia Neurolept
Anestesi analgesia neurolept menggunakan kombinasi obat neuroleptik
dengan analgetik opioid secara intravena yang memberikan efek hipnotik
ringan dan analgesia ringan. Indikasi pada teknik ini yaitu pada tindakan
endoskopi dan sebagai suplemen tindakan anestesi lokal. Teknik ini
kontra indikasi pada penderita parkinson, penyakit paru obstruktif, dan
kontra indikasi relatif pada bayi dan anak-anak.
b. Anestesi Umum Inhalasi
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi. Ada tiga teknik anestesi umum inhalasi
yaitu inhalasi sungkup muka, inhalasi sungkup laring, inhalasi pipa
endotrakea. Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada
anestesi umum tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien
anak-anak. Obat-obat yang digunakan pada anestesi umum inhalasi antara lain
N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Pemakaian N2O
sebagai analgetik harus selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan
perbandingan N2O:O2 70%:30%, 60%:40%, atau 50%:50% sesuai dengan
kondisi pasien. Kemudahan dalam pemberian dan efek yang dapat dimonitor
membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktik anestesi umum. Tidak seperti
anestetik intravena, anestesi umum inhalasi dapat menilai konsentrasi anestesi
inhalasi pada jaringan dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-
obat ini. Sebagai tambahan, penggunaan gas volatil anestesi lebih murah
penggunaanya untuk anestesi umum. Hal yang harus sangat diperhatikan dari
anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis yang
mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi, dengan memantau konsentrasi
jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien.
c. Anestesi Umum Imbang
Anestesi imbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik anetesia umum dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang. Teknik anestesi umum dengan
analgesia regional kerap kali juga dilakukan untuk mencapai trias anestesi
secara optimal dan berimbang misalnya dalam operasi besar dan lama seperti
kraniotomi dan torakotomi.
8. Prosedur
a. Induksi Anestesi
Induksi anestesi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi. Cara pemberian anestesi umum:
4) Parenteral (intramuscular/intravena).
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anestesi. Untuk
tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
5) Per rectal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
Yang termasuk induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut,
miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi
tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat menyebabkan
kejadian kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-tanda vital.
6) Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik
melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentuka
kekuatan daya anestesi. Zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah dapat member anestesi yang adekuat.
a) N2O (nitrous oksida) gas ini bersifat anestetik lemah
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 % untuk
menghindari hipoksia difusi.
b) Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O. pada nafas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada nafas kendali
sekitar 0,5 – 1 vol %. Kontraindikasi pemakaian halotan adalah
penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang 3
bulan atau pasien yang terlalu gemuk.
c) Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic.
Enfluran lebih iritatik dibanding halotan.
d) Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial, serta efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal
e) Sevofluran, sevofluran memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup
stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihhentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh.
b. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika
konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya
jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal.
Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan
pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi fentanil 10- 50
μg/ kgBB. Rumatan inhalasi bisanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5- 2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4% atau
sevofluran 2-4% tergantung pernapasan pasien spontan, dibantu atau
dikendalikan.
c. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi
bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini
disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat
yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi)
difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah
meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke
alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah
menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET).
Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan
setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli
dan naiknya tekanan intra cranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun
waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang
mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita
adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle
relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase.
E. Aldrete Score
1. Pengertian
Monitoring pasca anestesi adalah suatu kegiatan pemantauan status fisiologis
pasien selama masa pemulihan pasca anestesi
Aldrete score adalah penilaian pemulihan pasien saat dipindahkan dari ruang
pemulihan ke ruang rawat inao setelah memenuhi kriteria aldrete score > 9 untuk
pasien dewasa
Steward Score adalah penilaian pasien saat dipindahkan dari ruang pemulihan
ke ruang rawat inao setelah memenuhi kriteria Stiwerd Score > 5 pasien bayi/anak.
2. Tujuan
Mendukung keputusan memulangkan pasien atau memindahkan pasien ke ruang
perawatan atau intensif
3. Kebijakan
a. Catat waktu masuk ruang pulih dalam lembar pemantauan anestesi
b. Lakukan pencatatan data kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
nafas, saturasi oksigen dan skor nyeri VAS tiap 15 menit dan minimal sampai
dengan 2 jam pertama
c. Lakukan penilaian aldrete score yang meliputi kesadaran, tekanan darah,
pernafasan, aktivitas dan warna kulit
d. Lakukan penilaian steward score (khusus pasien anak/bayi) yang meliputi
kesadaran, pernafasan dan pergerakan
e. Untuk pasien dewasa :
1) Bila aldrete score ≥ 9 : pasien boleh pindah ke ruangan, khusus untuk
parameter kesadaran nilainya harus 2
2) Aldrete score > 10 : pasien boleh pulang atas persetujuan dokter DPJP
3) Untuk pasien tertentu dengan komplikasi langsung dipindah ke ICU
f. Untuk pasien anak :
1) Steward score > 5 : pasien anak boleh pulang
2) Steward score 10 : pasien bayi dan anak menangis kuat, bisa makan minum
bebas, muntah-muntah, bisa mobilisasi bebas dan dapat menoleransi nyeri
(pasien boleh pulang)
g. Bila ditemukan penyulit (menggigil, mual, atau muntah, hipotensi, kesakitan)
selama di ruang pemulihan, lapor DPJP anestesi dan catat terapi
4. Aldrete Score
AKTIVITAS
 Dapat menggerakkan keempat ekstermitas 2
 Dapat menggerakan dua ekstermitas 1
 Tidak dapat menggerakkan ekstermitas 0
INSPIRASI
 Bernafas dalam, batuk/menangis 2
 Dispneu/bernafas tidak adekuat 1
 Apneu 0
SIRKULASI
 TD < 20% dari pre anestesi 2
 TD 20-50% dari pre anestesi 1
 TDS > 50% dari pre anestesi 0
KESADARAN
 Sadar penuh 2
 Respon verbal/nyeri 1
 Tidak respon 0
SATURASI
 > 90% udara ruang biasa 2
 Butuh suplai oksigen agar SpO2 > 90% 1
 < 90% walaupun dengan suplai oksigen 0
Total Score

F. Asuhan Keperawatan Perianestesi


1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi.
Pengkajian pre anestesi meliputi :
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien, pemeriksaan
sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler (bleeding),sistem
persyarafan (brain), sistem perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem
tulang, otot dan integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT scan, USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk
menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan
evaluasi pre anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
Tujuan : Cemas berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan.
b) Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan
c) Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat
d) Pasien taampak tenang dan kooperatif
e) Tanda-tanda vital normal.
Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat kecemasan
b) Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.
c) Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
d) Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
e) Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
f) Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
g) Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.
Evaluasi :
a) Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau anestesi.
b) Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi.
c) Pasien lebih tenang.
d) Ekspresi wajah cerah.
e) Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra anestesi meliputi:
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit
sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnose keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intraanestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
1) Dx : Pola napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuscular dampak sekunder
dari obat pelumpuh otot pernapasan dan obat general anestesi.
Tujuan : Pola napas pasien menadi efektif/normal.
Kriteria hasil :
a) Frekuensi napas normal.
b) Irama napas sesuai yang diharapkan.
c) Ekspansi dada simetris.
d) Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya sumbatan.
e) Tidak menggunakan obat tambahan.
f) Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%.
Rencana tindakan:
a) Bersihkan secret pada jalan napas.
b) Jaga patensi jalan napas.
c) Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.
d) Monitor perfusi jaringan perifer.
e) Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.
f) Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.
Evaluasi :
a) Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.
b) Napas spontan, irama dan ritme teratur.
2) Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
a) Pasien mampu menelan.
b) Bunyi paru bersih.
c) Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
a) Atur posisi pasien.
b) Pantau tanda-tanda aspirasi.
c) Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah, kemampuan
menelan.
d) Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
e) Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
a) Tidak ada muntah.
b) Mampu menelan.
c) Napas normal tidak ada suara paru tambahan.
3) Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
Tujuan : Pasien aman selama dan setelah pembedahan.
Kriteria hasil :
a) Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.
b) Pasien sadar setelah anestesi selesai.
c) Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan.
d) Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi.
e) Pasien aman tidak jatuh
Rencana tindakan:
a) Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu gunakan tali pengikat.
b) Jaga posisi pasien imobile.
c) Atur meja operasi atau tubuh pasien untuk meningkatkan fungsi fisiologis
dan psikologis.
d) Cegah resiko injuri jatuh.
e) Pasang pengaman tempat tidur ketika melakukan transportasi pasien.
f) Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul.
Evaluasi :
a) Pasien aman selama dan setelah pembiusan.
b) Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital stabil.
c) Pasien aman tidak jatuh.
d) Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang rawat.
3. Post Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan
pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post
anestesi meliputi :
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnose keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi tertahan
efek dari general anestesi.
Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif.
Kriteria hasil :
a) Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama.
b) Suara napas bersih.
c) Tidak sianosis.
Rencana tindakan:
a) Atur posisi pasien.
b) Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas.
c) Ajarkan dan anjurkan batuk efektif.
d) Pantau respirasi dan status oksigenasi.
e) Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.
f) Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam.
g) Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan
hemodinamik.
Evaluasi :
a) Jalan napas efektif
b) Napas pasien spontan dan teratur.
c) Tidak ada tanda-tanda sianosis.
d) Status hemodinamik pasien stabil.
2) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
Tujuan : Mual muntah berkurang.
Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan mual berkurang.
b) Pasien tidak muntah.
c) Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.
d) Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.
Rencana tindakan:
a) Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.
b) Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.
c) Pantau turgor kulit.
d) Pantau masukan dan keluaran cairan.
e) Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
a) Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual.
b) Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.
c) Nadi teratur dan kuat
d) Status hemodinamik stabil.
3) Dx: Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
b) Pasien mampu istirahat.
c) Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
a) Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.
b) Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.
c) Ajarkan tehnik relaksasi.
d) Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
a) Rasa nyeri berkurang atau hilang.
b) Hemodinamik normal.
c) Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.
4) Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.
Tujuan : Pasien menunjukan termoregulasi.
Kriteria hasil :
a) Kulit hangat dan suhu tubuh dalam batas normal.
b) Perubahan warna kulit tidak ada.
c) Pasien tidak menggigil kedinginan.
Rencana tindakan:
a) Mempertahankan suhu tubuh selama pembiusan atau operasi sesuai yang
diharapkan.
b) Pantau tanda-tanda vital.
c) Beri penghangat.
Evaluasi :
a) Suhu tubuh normal.
b) Tanda-tanda vital stabil.
c) Pasien tidak menggigil.
d) Warna kulit tidak ada perubahan.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI

A. Pengkajian

Hari/tanggal : Jumat, 14 Desember 2018

Jam : 08.00 WIB

Tempat : IBS RSUD Prof Dr.Margono Soekarjo

Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi dokumen

Sumber data : Klien, tim kesehatan, status kesehatan klien

Oleh : Ayuningtyas Dian Utami

Isna Siwi Pujamukti

Yuni Apriliani Istiqamah

Identitas Pasien :

Nama : Tn. K

Umur : 68 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Alamat : Banjarwaru, Cilacap

Pendidikan : SMP

Diagnosa medis : Batu Renal Dextra + CKD + Susp Bronchopneumonia

Rencana tindakan : Extended Pyelolithothomy

Berat Badan : 38 kg

Tinggi Badan : 160 cm

No. Rekam Medis : 020748XX


TAHAP PRE ANESTESI

1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan merasa nyeri :
P : Nyeri pada pinggang diperberat saat beraktivitas
Q : Seperti ditusuk-tusuk
R : Pinggang sebelah kanan
S : Skala nyeri 5
T : Hilang timbul
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dibawa ke RSUD Prof Dr. Margono karena mengeluhkan nyeri
pada pinggang kanan sejak sebulan lalu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan dirinya menderita CKD dan sudah melakukan
hemodialisa sebanyak 4 kali. Hemodialisa terakhir dilakukan pada
tanggal 11 Desember 2018. Selain itu klien juga mengatakan pernah
dirawat di rumah sakit, karena menderita sakit pernapasan yaitu TBC.
Klien juga memiliki riwayat penyakit asthma. Pasien riwayat terakhir
mengkonsumsi obat anti TBC terakhir tahun 2008 di Cilacap.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga Klien mengatakan tidak ada anggota keluarga lain yang
mengalami penyakit serupa dengan klien. Tidak ada anggota keluarga
yang mempunyai penyakit menular dan keturunan seperti TBC, asma,
diabetes mellitus, dll

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis (E4,V5,M6) GCS = 15
c. AMPLE
Alergi : Tidak ada
Medication : Amlodipine 5 mg p.o, ventolin inhaler 100 mcg/puff
Post illness : TBC
Last meal : pukul 00.00 WIB
Environment :-
d. Tanda Vital :
TD : 144/102 mmHg
N : 85 x/mnt
RR : 22 x/mnt
e. Pemeriksaan Fisik
 Kepala
bentuk kepala mechochepal, kulit kepala nampak bersih, tidak ada lesi,
tidak ada nyeri tekan
 Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor 3/3
 Telinga
bentuk simestris, tidak ada gangguan fungsi pendengaran tidak ada nyeri
tekan
 Hidung
Simetris, tidak ada secret, tidak ada nyeri tekan
 Mulut : mulut klien bersih, tidak ada gigi palsu, gigi kotor, mukosa
bibir kering, tidak terdapat stomatitis, skore mallampati grade 1
 Leher : tidak ada pembesaran tiroid , tidak ada pembengkakan vena
jugularis, tidak ada nyeri tekan
 Kulit : kering , tidak ada lesi, tidak ada bekas luka, turgor kulit tidak
elastis
 Dada
1) Paru-paru
Inspeksi : tidak ada retraksi dada, pergerakan dada kanan dan
kiri tidak sama, tidak ada lesi
Palpasi : ekspansi dada kurang maksimal, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : suara dull pada ICS ke1-3 dada sebelah kiri , serta ICS
1- 4 pada dada kanan. Suara sonor pada ICS ke 4-6
dada kiri dan ICS 5-6 dada kanan
Auskultasi : suara ronchi pada dada bagian kiri
2) Jantung
Inspeksi : simetris, tidak tampak kardiomegali
Palpasi : tidak ada pergeseran ictus cordis, ictus cordis teraba
sama kanan dan kiri
Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung, suara redup
Auskultasi : suara jantung S1, S2, regular tidak ada suara tambahan
 Abdomen
Inspeksi : tidak ada distensi abdomen
Auskultasi : bising usus 6x/menit
Perkusi : kuadran 1-4 timpani,
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada pinggang bagian kanan
 Genitalia : terpasang kateter nomor 16 sejak tanggal 14 Desember
2018, jenis kelamin laki-laki
 Ekstremitas
1) Atas
Inspeksi : terpasang infus RL 20 tpm pada tangan sebelah kiri,
tidak ada edema, tidak ada kelainan jari
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
2) Bawah
Inspeksi : tidak ada edema, tidak terdapat bekas luka terpasang
AV Shunt pada kaki sebelah kanak
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3. Pemeriksaan psikologis
Pasien mengatakan sedikit cemas, pasien belum pernah menjalani pembedahan
sebelumnya.
4. Kebutuhan Cairan
a. Monitoring cairan
Kebutuhan cairan pasien selama operasi yang harus terpenuhi
1) Rumus maintenance (M): 2cc/kgBB
2cc/38kg = 76 ml
2) Rumus pengganti puasa (PP):
Lama puasa (jam) x maintenance
8 jam x 76 cc = 608 ml
3) Rumus stress operasi (SO):
Jenis operasi (b/s/k) x BB
6 x 76 = 456 ml
b. Prinsip pemberian cairan durante operasi (Jam I-IV)
1) Jam I : M + ½ PP + SO = 76 ml + 304 ml + 456 ml = 836 ml
2) Jam II dan III : M + ¼ PP + SO = 76 ml + 152 ml+ 456 ml= 684 ml
3) Jam IV : M + SO = 76 ml + 456 ml = 532 ml
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
11 Desember 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 10.0 g/dL 11.2-17.3
Leukosit 10350 /uL 3800-10600
Hematokrit 32 40-52
Eritrosit 3.6 % 4.4-5.9
Trombosit 188.000 /uL 150.000-440.000
MCV 87.8 fL 80-100
MCH 27.6 pg 26-34
MCHC 31.4 % 32-36
Hitung Jenis
Basofil 0.5 % 0-1
Eosinofil 0.2 % 2-4
Limfosit 14.1 % 25-40
Monosit 5.4 % 2-9
Kimia Klinik
Tanggal 10 Desember 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
SGOT 17 U/L 15-37
SGPT 10 U/L 16-63
Ureum Darah 104.90 mg/dL 14.98-13.52
Kreatinin Darah 3.07 mg/dL 0.70-1.30
Glukosa Sewaktu 154 mg/dL <-200
Natrium 136 mEq/L 134-146
Kalium 5.5 mEq/L 3.4-4.5
Chlorida 100 mEq/L 96-108
Kimia Klinik
12 Desember 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Albumin 2.73 g/dL 3.40-5.00
Insulin 4.88 g/dL 2.70-3.20
b. Hasil Pemeriksaan EKG 10 Desember 2018
Sinus Rhytme, tidak ada gangguan pada jantung
c. Hasil Pemeriksaan Foto Thorax 10 Desember 2018
Cor : Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Corak vaskuler meningkat
Tampak bercak pada suprahiller kanan
Hemidiafragma kanan setinggi kosta 10 posterior
Kesan :
Cor tak membesar
Infiltrat pada suprahiller kanan : curiga bronchopneumonia
6. Kesimpulan : Status Fisik ASA 3
7. Rencana Anestesi
General anestesi dengan ETT
a. Persiapan pasien
1) Mengecek kelengkapan status pasien
2) Mengklarifikasi pasien puasa dari jam berapa
3) Memposisikan pasien
4) Mengecek TTV
5) Mengklarifikasi riwayat asma, DM, HT dan alergi
b. Pesiapan mesin
1) Mengecek sumber gas apakah sudah terpasang dan tidak ada kebocoran
2) Mengecek isi volatil agent
3) Mengecek kondisi absorben
4) Mengecek apakah ada kebocoan mesin
c. Persiapan alat :
1) S (Scope) : Laryngoscope dan stesoscope
2) T (Tube) : ETT No 7
3) A (Aiway) : OPA
4) T (Tape) : Plester ± 20 cm 2 lembar
5) I (Introducer) : Mandring dan stilet
6) C (Conector)
7) S (Suction) : Kanul dan selang suction
d. Persiapan obat
1) Induksi : Propofol 100 mg
2) Analgetik : Fentanyl 50 mcg
3) Pelumpuh otot : Recuronium 35 mg
4) Pre medikasi : Ondansetron 40 mg
5) Emegency :
a) Epinefrin 25 mg
b) Dexametasone 4 mg
c) Atropin 1mg
d) Ephidrine 50 mg
TAHAP INTRA ANESTESI

1. Jenis Pembedahan : Pyelolithotomi


2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Intubasi (ETT Oral)
4. Ukuran ETT : ETT Kingking No. 7
5. Laringioskop Manchintosh
6. Mulai Anestesi : Pukul 8.30 WIB
7. Mulai Operasi : Pukul 8.40 WIB
8. Posisi : Lateral
9. Premedikasi : Fentanyl 50 mcg/IV
10. Induksi : Propofol 100 mg/IV
11. Pelumpuh otot : Recuronium 35 mg
12. Medikasi tambahan :
a. Ondansentron 4 mg
b. Dexametason 1 g
13. Maintanance : Sevoflurane 2 vol%, N20:O2 50:50 (2 lt : 2 lt)
14. Respirasi : kontrol
15. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml, Asering 500 ml, Tetofusion 500
ml, NaCl 100 ml
16. Urin output : 200 ml
17. Pemantauan Tanda-Tanda Vital
TD N SPO2 (%) RR
Jam
(mmHg) (x/mnt) (x/mnt)
08.30 134/97 90 100 21
08.45 140/90 92 100 20
09.00 100/75 76 99 19
09.15 130/90 89 100 21
09.30 115/65 80 100 19
09.45 100/80 82 100 19
10.00 129/95 99 100 20
18. Selesai operasi : 09.40 WIB
19. Selesai anestesi : 09. 50 WIB
TAHAP POST ANESTESI

1. Pasien masuk ruang ICU pukul 10.00 WIB


2. Kesadaran koma (E1M 1V1) GCS = 3
3. Observasi tanda- tanda vital (terlampir)
4. Mual (-), muntah (-), pusing (-), Nyeri (-)
5. Jalan nafas per oral, nafas dibantu terapi, SpO2 100%
6. Suara nafas tambahan Ronkhi
7. Posisi pasien pasca anestesi: supinasi
8. Perdarahan 100 cc
9. Penilaian Aldrete Skore
AKTIVITAS
 Dapat menggerakkan keempat ekstermitas 2
 Dapat menggerakan dua ekstermitas 1
 Tidak dapat menggerakkan ekstermitas 0
INSPIRASI
 Bernafas dalam, batuk/menangis 2
 Dispneu/bernafas tidak adekuat 1
 Apneu 0
SIRKULASI
 TD < 20% dari pre anestesi 2
 TD 20-50% dari pre anestesi 1
 TDS > 50% dari pre anestesi 0
KESADARAN
 Sadar penuh 2
 Respon verbal/nyeri 1
 Tidak respon 0
SATURASI
 > 90% udara ruang biasa 2
 Butuh suplai oksigen agar SpO2 > 90% 1
 < 90% walaupun dengan suplai oksigen 0
Total Score 4
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI

A. Analisa Data
Hari, tanggal : 14 Desember 2018
Pukul : 08.00 WIB
No. Data Masalah Etiologi
1. Pre Anestesi Nyeri akut Agen cedera
S: biologis
- Pasien mengatakan
P : Nyeri pada pinggang di perberat saat
beraktivitas
Q : Seperti ditusuk-tusuk
R : Pinggang sebelah kanan
S : Skala nyeri 5
T : hilang timbul
O:
- Pasien terlihat menahan sakit dan sesekali
memegangi bagian yang terasa sakit di
pinggangnya
TD : 144/102mmHg;
N : 85 x/mnt;
RR : 22 x/mnt
2. S : Pasien mengatakan sedikit cemas, pasien Ansietas Kurang
belum pernah menjalani pembedahan sebelumnya pengetahuan
O: masalah
- Pasien tampak gelisah pembiusan/
TD :144/102mmHg; operasi
N : 85 x/mnt;
RR : 22 x/mnt
3. Intra Anestesi Pola nafas Disfungsi
S:- tidak efektif neuromuskular
O: dampak
- penurunan ventilasi sekunder obat
- RR : 20 x/menit pelumpuh otot
- terpasang ETT pernapasan/
- pasien di berikan muscle relaxan obat general
Rocuronium 35mg anestesi.
4. S:- Resiko Vasodilatasi
O: gangguan pembuluh
- N : 92x/menit keseimbangan darah dampak
- RR : 20 x/menit cairan dan obat anestesi
- akral dingin elektrolit
- bibir tampak kering
5. Post Anestesi Bersihan Mukus
S:- jalan nafas banyak,
O: tidak efektif sekresi
- nafas spontan dengan bantuan alat tertahan efek
- terdengar suara ronchi. dari obat
general
anestesi
6. S:- Resiko cedera Efek agen
O : - pasien post general anestesi farmakologis
- kesadaran pasien koma (anestesi
- pasien lansia usia 68 tahun umum)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis ditandai dengan pasien mengatakan merasa
nyeri di bagian pinggang sebelah kanan seperti ditusuk-tusuk dengan skala 5
terasa hilang timbul dan diperberat saat beraktivitas.
2. Ansietas b.d kurang pengetahuan masalah pembiusan/ operasi ditandai dengan
pasien tampak gelisah, pasien mengatakan sedikit cemas, pasien belum pernah
menjalani pembedahan sebelumnya.
3. Pola nafas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskuler dampak sekunder obat
pelumpuh otot pernapasan/ obat general anestesi di tandai dengan penurunan
ventilasi, RR : 22 x/menit, terpasang ETT, pasien di berikan muscle relaxan
Rocuronium 35mg
4. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d vasodilatasi pembuluh
darah dampak obat anestesi di tandai dengan N: 92x/menit, RR: 20x/menit, akral
dingin, bibir tampak kering.
5. Bersihan napas tidak efektif b.d mukus banyak tertahan efek dari obat general
anestesi di tandai dengan napas spontan dengan bantuan alat, terdengar suara
ronchi.
6. Resiko cedera b.d efek agen farmakologis (anestesi umum) ditandai dengan pasien
post general anestesi, kesadaran pasien koma, pasien lansia usia 68 tahun.
C. Rencana dan Implementasi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Pre Anestesi Setelah dilakukan asuhan keperawatan nyeri  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Nyeri akut b.d agen berkurang dengan kriteria hasil: termasuk lokasi, karakteristik, durasi frekuensi,
cedera biologis  Pasien melaporkan skala nyeri berkurang kualitas dan faktor presipitasi
(dari 5 ke 3)  Observasi reaksi nonverbal dan
 Pasien terlihat tenang ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
Siwi mengetahui pengalaman nyeri pasien
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi nafas
dalam

Siwi
2. Cemas b/d kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan cemas  Kaji tingkat kecemasan
pengetahuan berkurang/hilang dengan kriteria hasil:  Orientasikan dengan tim anestesi/kamar
masalah pembiusan/  Pasien menyatakan siap dilakukan operasi
operasi pembiusan  Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang
 Pasien mengkomunikasikan perasaan akan dilakukan
negatif secara tepat  Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan
 Pasien tampak tenang dan kooperatif perasaan
 TTV normal  Dampingi pasien untuk mengurangi cemas
 Ajarkan teknik relaksasi
Ayu  Kolaborasi untuk pemberian obat penenang

Ayu
3. Intra Anestesi Setelah selesai tindakan anestesi/ pembiusan pola  Bersihkan sekret pada jalan nafas:
Pola nafas tidak napas pasien menjadi efektif atau normal di tandai hidung,oral,trachea (ETT)
efektif b/d disfungsi dengan:  Jaga jalan nafas
neuromuskuler  Frekuensi nafas normal  Pasang peralatan oksigen
dampak sekunder  Irama nafas sesuai yang diharapkan  Monitor aliran oksigen
obat pelumpuh otot  Bernafas mudah, tidak didapatkan nafas  Monitor ritme, irama, kedalaman dan usaha
pernapasan/ obat pendek respirasi
general anestesi.  Auskultasi suara nafas vesikuler  Monitor pola nafas tachipnea, apnea
 Monitor tanda hipoventilasi
Yuni
Yuni
4. Resiko gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan  Kaji tingkat kekurangan volume cairan.
keseimbangan keseimbangan cairan dalam ruangan intrasel dan  Kolaborasi untuk pemberian cairan dan
cairan dan elektrolit ekstrasel tubuh tercukupi dengan kriteria hasil: elektrolit.
b/d vasodilatasi  Akral kulit hangat  Monitor masukan dan keluaran cairan dan
pembuluh darah  Haemodinamik dalam batas normal elektrolit.
obat anestesi  Monitor haemodinamik.
TD 120-140/80-90 mmHg, nadi 80-100  Monitor perdarahan.
x/menit, RR 12-20 x/menit
 Masukan cairan dan keluaran cairan Siwi
seimbang

Siwi
5. Post Anestesi Setelah pasien sadar dari efek anestesi umum  Atur posisi pasien
Bersihan napas tidak bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil :  Pantau tanda-tanda ketidakefektifan dan pola
efektif b/d mukus  Pola nafas normal: frekuensi kedalaman, nafas
banyak tertahan efek dan irama  Pantau respirasi dan status oksigen
dari obat general  Suara napas bersih  Buka jalan nafas
anestesi  Tidak sianosis  Bersihkan sekresi
 Auskultasi suara nafas
Yuni
Yuni
6. Resiko cedera b.d Pasien aman setelah pembiusan dengan kriteria - Tingkatkan keamanan dan ketajaman
hasil :
efek agen - Jaga posisi imobil
- Pasien tenang
farmakologis - Pasien sadar setelah anestesi selesai (AS=8- - Ubah tempat atau tubuh pasien untuk
10)
(anestesi umum) meningkatkan fungsi fisiologis dan psikologis
- Kemampuan untuk melakukan gerakan yang
bertujuan - Cegah resiko jatuh
- Kemampuan untuk bergerak atau
berkomunikasi - Pasang pengaman tempat tidur
- Pasien aman tidak jatuh
- Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang
timbul
Ayu
Ayu

D. Implementasi dan Evaluasi

Tanggal,
Diagnosa Implementasi Evalusi Paraf
waktu
14 Pre Anestesi  mengkaji nyeri termasuk S : Pasien mengatakan nyeri sedikit berkurang setelah
Desember Nyeri akut b.d agen lokasi, karakteristik, durasi nafas dalam
2018, cedera biologis frekuensi, kualitas dan faktor O : pasien tampak lebih tenang
08.15 WIB presipitasi A : nyeri akut teratasi sebagian Siwi
 Mengobservasi reaksi P : observasi reaksi nonverbal pasien
nonverbal dan
ketidaknyamanan
 Mengajarkan tentang teknik
non farmakologi nafas dalam
14 Cemas b.d kurang  Mengorientasikan dengan tim S : Pasien mengatakan siap dan setuju dilakukan
Desember pengetahuan anestesi/kamar operasi pembiusan dan operasi
2018, masalah  Menjelaskan jenis prosedur O : Pasien tampak lebih tenang
08.20 WIB pembiusan/operasi TD :134/97mmHg;
tindakan anestesi yang akan N : 90 x/mnt; Yuni
dilakukan RR : 21 x/mnt
 Memberi dorongan pasien A : Cemas teratasi
untuk mengungkapkan P : Monitor TTV
perasaan
 Mendampingi pasien untuk
mengurangi cemas
 Mengajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
14 Intra Anestesi  Menjaga jalan nafas S:-
Desember Pola nafas tidak  Memasang peralatan oksigen O:
2018, efektif b.d disfungsi  Memonitor aliran oksigen  Pola nafas efektif dengan bantuan mesin
08.40 WIB neuromuskuler  Memonitor ritme, irama, (ventilator mekanik)
dampak sekunder kedalaman dan usaha respirasi  TD : 140/90 mmHg
obat pelumpuh otot  Memonitor pola nafas  RR : 20x/menit Ayu
pernapasan/ obat  N : 92x/menit
general anestesi. A : Pola nafas tidak efektif teratasi
P:
 jaga jalan napas
 monitor pola nafas, monitor oksigenasi
14 Resiko gangguan  Mengkaji tingkat kekurangan S : -
Desember keseimbangan volume cairan. O:
2018, cairan dan elektrolit  Berkolaborasi untuk  akral dingin
09.15 WIB b.d vasodilatasi pemberian cairan dan  cairan masuk : 850 cc
pembuluh darah elektrolit.  cairan keluar : 300 cc
obat anestesi  Memonitor masukan dan  TD : 130/90 mmHg
keluaran cairan dan elektrolit.  RR : 21x/menit
 Memonitor haemodinamik.  N : 89x/menit
 Memonitor perdarahan A: Resiko gangguan keseimbangan dan elektrolit teratasi Siwi
sebagian.
P:
 Kolaborasi untuk pemberian cairan dan elektrolit.
 Monitor masukan dan keluaran cairan dan
elektrolit.
 Monitor haemodinamik
14 Post Anestesi  Atur posisi pasien S:-
Desember Bersihan napas  Pantau tanda-tanda ketidak O :
2018, tidak efektif efektifan dan pola nafas  suara nafas bersih
10.00 WIB b.dmukus banyak  Pantau respirasi dan status  jalan nafas efektif.
tertahan efek dari oksigen  nafas spontan dengan bantuan alat Ayu
obat general  Buka jalan nafas  tidak terjadi sianosis
anestesi  Bersihkan sekresi  TD : 129/95 mmHg
 Auskultasi suara nafas  RR : 20x/menit
 N : 99x/menit
A : Bersihan nafas tidak efektif teratasi
P : Lanjut monitor secara intensif di ruang ICU.
14 Resiko cedera b.d  Tingkatkan keamanan dan S : -
Desember efek agen ketajaman O : kesadaran koma, pasien aman setelah pembiusan dan
2018, farmakologis  Jaga posisi imobil tidak jatuh
10.15 WIB (anestesi umum)  Cegah resiko jatuh A :resiko cedera teratasi sebagian

 Pasang pengaman tempat tidur P :lanjutkan intervensi Yuni

 Pantau penggunaan obat


anestesi dan efek yang timbul
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asuhan keperawatan merupakan serangkaian tindakan atau proses keperawatan anestesi
yang diberikan kepada seorang pasien pada sebuah pelayanan kesehatan dengan cara mengikuti
aturan dan kaidah keperawatan dan berdasarkan pada masalah kesehatan pasien. Asuhan
keperawatan peri anestesi meliputi pra anestesi, intra anestesi dan post anestesi. peran dari
seorang perawat anestesi dalam asuhan keperawatan anestesi adalah sebagai pelaksana atau
pemberi asuhan keperawatan.
Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Perianestesi pada Tn. K dengan Batu Renal Dextra
dilakukan Tindakan Extended Pyelolithothomy dalam Anestesi Umum di RSUD Prof Dr
Margono Soekarjo Purwokerto didapatkan 6 diagnosa keperawatan anestesi yaitu :
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis, masalah teratasi dengan 2 tujuan semua tercapai
2. Ansietas b.d kurang pengetahuan masalah pembiusan/ operasi, masalah teratasi
dengan 4 tujuan semua tercapai
3. Pola nafas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskuler dampak sekunder obat pelumpuh
otot pernapasan/ obat general anestesi, , masalah teratasi dengan 4 tujuan semua
tercapai
4. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d vasodilatasi pembuluh darah,
masalah teratasi dengan 2 tujuan semua tercapai
5. Bersihan napas tidak efektif b.d mukus banyak tertahan efek dari obat general
anestesi, masalah teratasi dengan 3 tujuan semua tercapai
6. Resiko cedera b.d efek agen farmakologis (anestesi umum), masalah teratasi sebagian
dengan 2 tujuan tercapai
B. Saran
Seorang perawat anestesi harus mahir dalam melakukan pengkajian, merumuskan
diagnosa, menetapkan intervesi, melaksanakan implementasi dan mengevaluasi respon
pasien pasien pada tahap pre anestesi, intra anestesi hingga post anestesi
DAFTAR PUSTAKA

Edha, Chifa. 2010. Batu Sthragon Pada Ginjal. http://edhasroom.blogspot.com/2010/12/batu-


staghorn-pada-ginjal.html (Diakses pada tanggal 22 desember 2018 pukul 11.22 WIB)
Judith.M.Wilkison dan Nancy. R. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed 9. Jakarta:
EGC
Latief, S. A., Kartini, A., Suryadi, M., Dahlan, R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Mangku, G. dan Senapathi, T. GA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi Dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba Medika.
Nahdi TF. Jurnal Medula, Volume. 1 Nomor. 4 / Oktober 2013
Prabowo dan Pranata, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Purnomo, B.B. 2010. Pedoman Diagnosis & Terapi SMF Urologi Lab Ilmu Bedah. Malang:
Universitas Kedokteran Brawijaya.
Sandy Wahap, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober 2012.
Suharyanto, Tato, & Mudjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba Medika. Jakarta

Wijayaningsih, Kartika Sari. 2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : Trans Info
Medika.

Anda mungkin juga menyukai