Disusun Oleh :
Nida Rahmawati
24 20 1427
YOGYAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Nida Rahmawati
24201427
Disahkan oleh
(Ani Mashunatul Mahmudah, S.Kep., Ns., M.Kep) (Cahayani Utami Putri, S.Kep., Ns)
LAPORAN PENDAHULUAN
BATU URETER
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Brunner & Suddarth (2016) batu saluran kemih dapat menimbulkan
berbagi gejala tergantung pada letak batu, tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi
saluran kemih. Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien batu saluran
kemih:
1. Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non
kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih
sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar. (Prabowo &
Pranata, 2014).
2. Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami desakan
berkemih (Brunner & Suddarth, 2016).
3. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada pasien
karena nyeri (Brunner & Suddarth, 2016).
4. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda demam
(Prabowo & Pranata, 2014).
5. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi (Prabowo & Pranata, 2014).
E. PHATWAY
F. PATOFISIOLOGI
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin(stasis urin), yaitu pada
sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan kronis pada pelvikalises
(stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika seperti pada hiperplasia
prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu (Purnomo, 2011). Batu terdiri atas kristal-
kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut di
dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metasable (tetap
terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi
membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan
menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun
ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu
menghambat saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran
kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada
agregat itu sehingga mebentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih
(Purnomo, 2011).
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam
urine, konsentrasi solut di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau
adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai batu (Purnomo,
2011). Batu yang paling umum adalah batu struvite (magnesium amonium fosfat),
kalsium oksalat,urat, sistin, dan silika.
G. PENATALAKSANAAN
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih parah. Indikasi untuk
melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan
obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial. Batu dapat
dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan
endourologi, bedah laparaskopi, atau pembedahan terbuka.
1. Pengobatan Dengan Obat Kimia
Obat kimia menjadi pilihan utama untuk mengobati batu ginjal karena biaya
pengobatan terjangkau dan akses dalam mendapatkan obat kimia tersebut juga
cukup mudah. Sebagai terapi utama obat kimia yang sering digunakan ialah obat
golongan diuretik, kalium sitrat, dan juga Xanthine Oksidase Inhibitor
(Allopurinol). Tujuan dari pengobatan kimia yaitu untuk batu yang kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum,
dan minum banyak supaya mendorong batu keluar dari saluran kemih (Purnomo, et
al., 2011). Obat golongan diuretik yang sering digunakan ialah diuretik thiazid,
obat ini digunakan untuk terapi batu kalsium dengan kadar kalsium yang tinggi di
dalam tubuh. Kalium sitrat digunakan untuk terapi batu kalsium dengan kadar
kalsium normal. Sedangkan allopurinol digunakan untuk terapi batu asam urat.
2. Pengobatan Dengan Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan alam yang telah digunakan
sebagai pengobatan secara tradisional berdasarkan pengalaman (Katno & Pramono,
2009). Obat tradisional yang digunakan dalam pengobatan batu ginjal masih jarang
ditemukan. Obat tradisional yang sering dipakai dan banyak dipasaran ialah
batugin elixir® (produk lokal) dan juga cystone® (produk impor). Batugin elixir®
memiliki mekanisme kerja dalam memecahkan atau menghancurkan batu urin atau
batu saluran kemih sehingga lebih mempermudah pengeluaran dari dalam tubuh.
Cystone® bekerja dengan menghambat pembentukan pertumbuhan kristal struvite.
3. Tindakan
Batu yang berdiameter lebih besar (yaitu, ≥ 7 mm) yang tidak mungkin lewat
secara spontan memerlukan beberapa jenis prosedur pembedahan. Dalam beberapa
kasus, pasien dengan batu berukuran besar perlu menjalani rawat inap di rumah
sakit. Namun, kebanyakan pasien dengan kolik ginjal akut dapat diobati secara
rawat jalan. Sekitar 15-20% pasien memerlukan intervensi invasif karena ukuran
batu yang besar, penyumbatan, infeksi, atau nyeri yang sulit diatasi. Teknik yang
tersedia untuk ahli urologi saat batu tersebut gagal melewati traktus urinarius
secara spontan meliputi Penempatan stent, Nefrostomi perkutan, Extracorporeal
shockwave lithotripsy (ESWL), Ureteroscopi (URS), Nephrostolithotomi Perkutan,
Open nephrostomy Anatrophic nephrolithotomy (Turk, et al., 2015).
a. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang digunakan untuk memecah batu ginjal,
batu ureter proksimal, atau batu kandung kemih tanpa melalui tindakan invasif
dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan batu yang sedang
keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.
b. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih, yaitu berupa tindakan memecah batu dan mengeluarkannya
dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran
kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit
(perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan,
memakai egi hidrolik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi itu adalah :
1) PNL (Percutaneous Nephron Litholapaxy) : Yaitu mengeluarkan batu yang
berada dalam saluran ginjal, dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau
dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
2) Litotripsi : Yaitu memecah buli-buli (kandung kemih) atau batu uretra
dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli.
Pemecahan batu dikeluarkan dengan Evakuator Elik. (
3) Ureteroskopi atau Uretero-renoskopi : Yaitu memasukkan alat ureteroskopi
per-uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pelokaliks ginjal.
Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun
sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi/ureter.
4) Ekstraksi Dormia : Yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menyaringnya
dengan alat keranjang dormia.
c. Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang
berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.
d. Bedah Terbuka
Di klinik atau rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas yang memadai
untuk tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, maka pengambilan
batu saluran kemih masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka antara lain adalah pielolitotomi atau nefrolitotomi, ureterolithotomi,
vesicolithotomi, uretholithotomi, dan nefrektomi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu
radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat
bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan
batu asam urat bersifat non opak (radio lusen) (Purnomo, 2011).
2. Pielografi Intra Vena
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu
IVU dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak
dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika IVU belum dapat menjelaskan keadaan
sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya
adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Purnomo, 2011).
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVU, yaitu pada
keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan
pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di
ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis,
pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Purnomo, 2011).
I. PENCEGAHAN
1. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan oksalat).
2. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu.
a. Sitrat (kalium sitrat 20 meq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau lemon
sesudah makan malam).
b. Batu ginjal tunggal (meningkatkan masukan cairan, mengontrol secara berkala
pembentukan batu baru)
3. Pengaturan diet
a. Meningkatkan masukan cairan dengan menjaga asupan cairan diatas 2L per hari
(Lotan et al., 2013) Lebih banyak urin yang dikeluarkan maka akan mengurangi
supersaturasi kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat (Meschi, Nouvenne
and Borghi, 2011).
b. Hindari masukan minum gas (soft drinks) lebih 1L per minggu.
c. Batasi masukan natrium (80 sampai 100 mq/hari)
d. Tingkatkan konsumsi buah-buahan segar, serat dari sereal gandum dan
magnesium serta kurangi konsumsi daging dapat kurangi resiko pembentukan
batu ginjal (Turney et al., 2014).
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
yang sistematis dan pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Oleh karena itu
pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat
penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan
pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu (Nursalam, 2009 : 26).
Berikut ini adalah pengkajian pada klien dengan batu ginjal :
a. Pengumpulan data
1) Identitas Data klien, mencakup : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis,
No RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, dan ruangan tempat klien
dirawat.
2) Riwayat Kesehatan Klien
Riwayat kesehatan pada klien dengan batu ginjal sebagai berikut : a)
Keluhan Utama Alasan spesifik untuk kunjungan klien ke klinik atau rumah
sakit. Biasa klien dengan batu ginjal mengeluhkan adanya nyeri padang
pinggang. b) Riwayat Kesehatan Sekarang Merupakan pengembangan dari
keluhan utama dan data yang menyertai dengan menggunakan pendekatan
PQRST, yaitu :
P: Paliatif / Propokative: Merupakan hal atau faktor yang mencetuskan
terjadinya penyakit, hal yang memperberat atau memperingan. Pada klien
dengan urolithiasis biasanya klien mengeluh nyeri pada bagian pinggang
dan menjalar kesaluran kemih. Q: Qualitas: Kualitas dari suatu keluhan atau
penyakit yang dirasakan. Pada klien dengan urolithiasis biasanya nyeri yang
di rasakan seperti menusuk - nusuk.
R: Region : Daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan. Pada klien
dengan urolithiasis biasanya nyeri dirasakan pada daerah pinggang.
S: Severity :Derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut. Skala
nyeri biasanya 7.
Time : Waktu dimana keluhan dirasakan, time juga menunjukan lamanya
atau kekerapan. Keluhan nyeri pada klien dengan urolithiasi biasanya
dirasakan kadang-kadang.
3) Riwayat Kesehatan Yang Lalu
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya tidak ada pengaruh penyakit keturunan dalam keluarga seperti
jantung, DM, Hipertensi.
b. Data Biologis dan Fisiologis
Meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Pola Nutrisi
Dikaji mengenai makanan pokok, frekuensi makan, makanan pantangan
dan nafsu makan, serta diet yang diberikan.
2) Pola Eliminasi
Dikaji mengenai pola BAK dan BAB klien, pada BAK yang dikaji
mengenai frekuensi berkemih, jumlah, warna, bau serta keluhan saat
berkemih, sedangkan pada pola BAB yang dikaji mengenai frekuensi,
konsistensi, warna dan bau serta keluhan-keluhan yang dirasakan. Pada
klien dengan batu ginjal biasanya BAK sedikit karena adanya sumbatan
atau batu ginjal dalam perut.
3) Pola Istirahat dan Tidur
Dikaji pola tidur klien, mengenai waktu tidur, lama tidur, kebiasaan
mengantar tidur serta kesulitan dalam hal tidur. Pada klien dengan batu
ginjal biasanya mengalami gangguan pola istirahat tidur karena adanya
nyeri.
4) Pola Aktivitas
Dikaji perubahan pola aktivitas klien.
5) Pola Personal Hygiene
Dikaji kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan personal hygiene
(mandi, oral hygiene, gunting kuku, keramas). Pada klien dengan batu
ginjal biasanya ia jarang mandi karna nyeri di bagian pinggang.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
2) Mata
Pada klien dengan batu ginjal pada pemeriksaan mata, penglihatan klien
baik, mata simetris kiri dan kanan, sklera tidak ikterik.
3) Telinga
Pada klien dengan batu ginjal tidak ada gangguan pendengaran, tidak
adanya serumen, telinga klien simetris, dan klien tidak merasa nyeri ketika
di palpasi.
4) Hidung
Klien dengan batu ginjal biasanya pemeriksaan hidung simetris, bersih,
tidak ada sekret, tidak ada pembengkakan.
5) Mulut
Klien dengan batu ginjal kebersihan mulut baik, mukosa bibir kering.
6) Leher
Klien dengan batu ginjal tidak ada pembengkakan kelenjer tiroid.
7) Thorak
Paru- paru
Inspeksi :Klien dengan batu ginjal dadanya simetris kiri kanan.
Palpasi : Pada klien dengan batu ginjal saat dilakuan palpasi tidak teraba
massa. Perkusi : Pada klien dengan batu ginjal saat diperkusi di atas lapang
paru bunyinya normal.
Auskultasi : klien dengan batu ginjal suara nafasnya normal.
Jantung
Inspeksi :Klien dengan batu ginjal ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi :Klien dengan batu ginjal ictus cordis tidak teraba.
Perkusi :Suara jantung dengan kasus batu ginjal berbunyi normal.
Abdomen
Inspeksi :Klien dengan batu ginjal abdomen tidak membesar atau menonjol,
tidak terdapat luka operasi tertutup perban, dan terdapat streatmarc
Auskultasi :Peristaltik normal.
Palpasi :Klien dengan batu ginjal tidak ada nyeri tekan.
Perkusi :Klien dengan batu ginjal suara abdomen nya normal (Timpani).
8) Ekstermitas
Klien dengan batu ginjal biasanya ekstremitasnya dalam keadaan normal.
9) Genitalia
Pada klien dengan batu ginjal klien tidak ada mengalami gangguan pada
genitalia.
d. Data Psikologis Konsep diri terdiri atas lima komponen yaitu :
1) Citra tubuh
Sikap ini mencakup persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang
disukai dan tidak disukai.
2) Ideal diri
Persepsi klien terhadap tubuh, posisi, status, tugas, peran, lingkungan dan
terhadap penyakitnya.
3) Harga diri Penilaian/penghargaan orang lain, hubungan klien dengan orang
lain.
4) Identitas diri Status dan posisi klien sebelum dirawat dan kepuasan klien
terhadap status dan posisinya.
5) Peran
Seperangkat perilaku/tugas yang dilakukan dalam keluarga dan kemampuan
klien dalam melaksanakan tugas.
e. Data Sosial dan Budaya
Dikaji mengenai hubungan atau komunikasi klien dengan keluarga, tetangga,
masyarakat dan tim kesehatan termasuk gaya hidup, faktor sosial kultural dan
support sistem.
f. Stresor
Setiap faktor yang menentukan stress atau menganggu keseimbangan.
Seseorang yang mempunyai stresor akan mempersulit dalam proses suatu
penyembuhan penyakit.
g. Koping Mekanisme Suatu cara bagaimana seseorang untuk mengurangi atau
menghilangkan stres yang dihadapi.
h. Harapan dan pemahaman klien tentang kondisi kesehatan
Perlu dikaji agar tim kesehatan dapat memberikan bantuan dengan efisien.
i. Data Spiritual
Pada data spiritual ini menyangkut masalah keyakinan terhadap tuhan Yang
Maha Esa, sumber kekuatan, sumber kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan
dan kegiatan keagamaan yang ingin dilakukan selama sakit serta harapan klien
akan kesembuhan penyakitnya.
j. Data Penunjang
1) Farmakoterapi : Dikaji obat yang diprogramkan serta jadwal pemberian
obat.
2) Prosedur Diagnostik Medik.
3) Pemeriksaan Laboratorium
k. Analisa Data
Proses analisa merupakan kegiatan terakhir dari tahap pengkajian setelah
dilakukan pengumpulan data dan validasi data dengan mengidentivikasi pola
atau masalah yang mengalami gangguan yang dimulai dari pengkajian pola
fungsi kesehatan (Hidayat, 2008:104).
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan proses penyakit
4. Ansietas berhubungan dengan proses pembedahan
5. Defisiensi pengetahuan.
L. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri akan berkurang
sampai hilang.
Kriteria hasil: Melaporkan nyeri berkurang sampai hilang; tampak rileks, mampu
tidur atau istirahat dengan tepat.
Intervensi dan rasional
a. Monitor dan mendokumentasi lokasi nyeri, lamanya intensitas (skala 0- 10)
dan penyebaran
Rasional : nyeri tiba-tiba dan hebat dapat mencetuskan ketakutan, gelisah dan
ansietas berat.
b. Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan karakteristik nyeri
Rasional : membantu dalam meningkatkan kemampuan koping pasien dan
dapat menurunkan ansietas.
c. Berikan tindakan nyaman, pijatan punggung
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurukan ketegangan otot dan
meningkatkan koping
d. Bantu atau dorong teknik nafas dalam
Rasional : mengarahkan kembali perhatian dan membant dalam relaksasi otot.
e. Kolaborasi pemberian obat analgetik
Rasional : menurunkan reflek spasme dapat menurunkan kolik dan nyeri.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan. Diharapkan termoregulasi
membaik
kriteria hasil : Termoregulasi 1. Menggigil menurun 2. Kulit merah menurun. 3.
Pucat menurun. 4. Suhu tubuh membaik. 5. Suhu kulit membaik. 6. Tekanan darah
membaik
Intervensi :
Manajemen Hipertermia :
a. Monitor suhu tubuh.
b. Sediakan lingkungan yang dingin.
c. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
d. Berikan cairan oral.
e. Anjurkan tirah baring.
f. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena.
3. Gangguan eliminasi urin berhubugan dengan proses
penyakit
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keprawatan diharapkan gangguan eliminasi
teratasi
Kriteria hasil :
a. Pengeluaran urine tanpa nyeri, kesulitan di awal, atau urgensi
b. Bau, jumlah dan warna urine dalam rentang yang diharapkan
Intervensi
Manajemen Eliminasi Urine
a. Monitor intake dan output
b. Monitor derajat distensi bladder.
c. Instruksian pada pasien dan keluarga untuk menctat output urine.
d. Stimulacy refles bladder dengan ompres dingin pada abdomen.
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
Kriteria hasil : Klien menyatakan paham kondisi dan hubungan tanda gejala dengan
proses penyakit
Intervensi dan rasional
a. Kaji tingkat ansietas klien
Rasional : untuk mengetahui tanda- tanda yang menyebabkan cemas bertambah
b. Beri penjelasan setiap melakukan tindakan
Rasional : menjalin kepercayaan antara klien dengan tenaga kesehatan
c. Berikan penkes tentang penyakitnya
Rasional : menambah pengetahuan klien
5. Defisinensi pengetahuan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan pasoen
teratasi
Kriteria hasil : Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan, Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
Intervensi :
Pendidikan Kesehatan
Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit
yang spesifik.
Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan
anatomi fisiologi, dengan cara yang tepat.
Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.
M. IMLEMENTASI
Implementasi Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Terdapat 3 tahap dalam
tindakan keperawatan, yaitu persiapan, perencanaan dan dokumentasi (Nursalam,
2009 : 127). Kegiatan implementasi pada klien dengan batu ginjal adalah membantunya
mencapai kebutuhan dasar seperti :
a. Melakukan pengakajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mamantau status atau masalah yang ada.
b. Melakukan penyuluhan untuk membantu klien mamperoleh pengetahuan baru
mangenai kesehatan mereka sendiri atau penatalaksanaan penyimpangan.
c. Membantu klien membuat keputusan tentang perawatan kesehatan dirinya
sendiri.
d. Konsultasi dan rujuk pada profesional perawatan kesehatan lainnya untuk
memperoleh arahan yang tepat. 5. Memberikan tindakan perawatan spesifik
untuk menghilangkan, mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan.
N. EVALUASI
Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yan menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan
mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan
keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan (Nursalam,
2009 : 135)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2016. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.
Cameron MA, Sakhaee K, O. W. 2011, „Nephrolithiasis in Children‟, Advances in Chronic
Kidney Disease, 18(5), pp. 370–375. doi: 10.1053/j.ackd.2011.07.002.
Chen, Y. K., Lin, H. C., Chen, C. S. and Yeh, S. Der. 2008, „Seasonal variations in urinary
calculi attacks and their association with climate: A population based study‟, Journal
of Urology, 179(2), pp. 564–569. doi: 10.1016/j.juro.2007.09.067.s
Lotan, Y., Buendia Jiménez, I., Lenoir-Wijnkoop, I., Daudon, M., Molinier, L.,
Meschi, T., Nouvenne, A. and Borghi, L. 2011, „Lifestyle recommendations to reduce the
risk of kidney stones‟, Urologic Clinics of North America. Elsevier Inc, 38(3), pp.
313–320. doi: 10.1016/j.ucl.2011.04.002.
Panigrahi, P. N., Dey, S. and Jena, S. C. 2016, „Urolithiasis: Critical Analysis of Mechanism
of Renal Stone Formation and Use of Medicinal Plants as Antiurolithiatic Agents‟,
Asian Journal of Animal and Veterinary Advances. Science Alert, 11(1), pp. 9–16.
doi: 10.3923/ajava.2016.9.16.
Purnomo, B. B. 2011, Dasar dasar urologi. 3rd edn. Sagung Seto.
Prabowo, & Pranata. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Prstojevic, J. K., Junuzovic, D., Hasanbegovic, M., Lepara, Z. and Selimovic, M. 2014,
„Characteristics of calculi in the urinary tract.‟, Materia socio-medica, 26(5), pp. 297–
302. doi: 10.5455/msm.2014.26.297-302.
Ram, J., Moteriya, P. and Chanda, S. 2015, „An overview of some promising medicinal
plants with in vitro anti-urolithiatic activity‟, 5(5), pp. 23–28.
Sja‟bani, M. 2014, Ilmu Penyakit Dalam : Batu Saluran Kemih. VI. Edited by S. Setiati.
Jakarta Pusat: Interna Publishing.
Turney, B. W., Appleby, P. N., Reynard, J. M., Noble, J. G., Key, T. J. and Allen, N. E. 2014,
„Diet and risk of kidney stones in the Oxford cohort of the European Prospective
Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)‟, European Journal of Epidemiology,
29(5), pp. 363–369. doi: 10.1007/s10654-014-9904-5.