Anda di halaman 1dari 55

1

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA KLIEN DENGAN


BATU BULI DAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) DI
INTASLASI BEDAH SENTRAL (IBS)
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Alfun Hidayatulloh, S.Kep
NIM 122311101047

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
2

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan asuhan keperawatan perioperatif pada pasien dengan Batu


Buli dan BPH Femur di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi
Jember telah dilaksanakan pada:
Hari, tanggal : Jumat, 30 Desember 2016
Tempat: Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi

Jember, 30 Desember 2016


Mahasiswa

Alfun Hidayatulloh, S.Kep.


NIM 122311101047

Pembimbing Klinik Penanggung Jawab Mata Kuliah


Instalasi Bedah Sentral (IBS) Stase Keperawatan Bedah
RSD dr. Soebandi Jember PSIK Universitas Jember

H. Mustakim, S.Kep., Ns., MMKes. Ns. Mulia Hakam, M.Kep.,Sp.Kep.MB


NIP 19750225 199703 1 003 NIP 19810319 201404 1 001
3

LAPORAN PENDAHULUAN BATU BULI DAN BPH

1.1 Konsep Dasar Batu Buli


1.1.1 Anatomi Fisiologi Kandung Kemih (buli-buli)
Buli-buli merupakan organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor
yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah
merupakan otot sirkuler, dan yang paling luar adalah longitudinal mukosa vesika
terdiri dari sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis,
ureter dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus
uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Secara
anatomis buli-buli terdiri dari tiga permukaan, yaitu (1) permukaan superior yang
berbatasan dengan rongga peritoneum (2) permukaan inferoinferior dan (3)
permukaan posterior (Purnomo, 2011).

Gambar 1. Anatomi Buli-buli


4

Buli-buli berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian


mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Dalam menampung
urin, buli-buli mempunyai kapasitas yang maksimal, yang volumenya untuk orang
dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak
menurut formula dari koff adalah (Purnomo, 2011):

Kapasitas buli- buli = ( umur (tahun) + 2 ) x 30

Pada saat kosong, buli-buli terdapat di belakang simpisis pubis dan pada
saat penuh berada pada atas simpisis pubis sehingga dapat dipalpasi atau di
perkusi. Buli-buli yang terasa penuh memberikan rangsangan pada saraf afferen

dan menyebabkan aktivasi miksi di medulla spinalis segmen sacral S 2-4. Hal ini
akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli dan
relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses miksi (Purnomo, 2011).

1.1.2 Definisi
Batu buli-buli disebut juga batu vesica, vesical calculi, vesical stone,
bladder stone. Batu buli-buli atau vesikolitiasis adalah masa yang berbentuk
kristal yang terbentuk atas material mineral dan protein yang terdapat pada urin.
Batu saluran kemih pada dasarnya dapat terbentuk pada setiap bagian tetapi lebih
banyak pada saluran penampung terakhir. Pada orang dewasa batu saluran kencing
banyak mengenai sistem bagian atas (ginjal, pyelum) sedang pada anak-anak
sering pada sistem bagian bawah (buli-buli). Di negara berkembang batu buli-buli
terbanyak ditemukan pada anak laki-laki pre pubertas. Komponen yang terbanyak
penyusun batu buli-buli adalah garam calsium. Pada awalnya merupakan bentuk
yang sebesar biji padi tetapi kemudian dapat berkembang menjadi ukuran yang
lebih besar. Kadangkala juga merupakan batu yang mulitipel (De Jong, 2004;
Sudoyo et al, 2006).
5

1.1.3 Etiologi
Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu buli-
buli yaitu faktor instrinsik yang terdiri dari herediter (keturunan) penyakit ini
diduga diturunkan dari orang tuanya, umur, serta jenis kelamin, jumlah pasien
laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan.
Sedangkan faktor ekstrinsik terdiri dari keadaan geografi, iklim, temperatur,
asupan air, diet, dan pekerjaan. Geografi, kebanyakan didaerah pegunungan,
padang pasir, dan daerah tropis. Iklim, individu yang menetap di daerah beriklim
panas dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan ekskresi
kalsium dan oksalat) sehingga insiden batu saluran kemih akan meningkat.
Asupan air, kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. Diet, obat
sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan terbentuknya batu saluran
kemih, karena obat sitostatik bersifat meningkatkan asam urat dalam tubuh, diet
banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih. Dan pekerjaan, penyakit ini sering dijumpai pada orang yang
pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitasnya (De Jong, 2004; Sudoyo et
al, 2006).
Batu buli-buli atau vesikolitiasis sering terjadi pada pasien yang menderita
gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli yang aktivitasnya sebagai
inti batu. Gangguan miksi terjadi pada pasien-pasien hiperplasia prostat, striktura
uretra, divertikel buli-buli dan buli-buli neurogenik. Pada suatu studi dilaporkan
pada pasien dengan cidera spinal dimana ia mempunyai kelainan neurogenik
blader dalam delapan tahun, 36%nya berkembang menjadi batu buli-buli. Benda
asing tersebut dibedakan menjadi iatrogenic dan non iatrogenik. Benda iatrogenic
terdiri dari bekas jahitan, balon folley kateter yang pecah, kalsifikasi yang
disebabkan karena iritasi balon kateter, staples, uretral stens, peralatan
kontrasepsi, prostetik uretral stents. Noniatrogenik disebabkan adanya benda yang
terkandung pada buli-buli seusai pasien rekreasi atau alasan yang lain. Selain itu
batu buli-buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke buli-
6

buli yang banyak dijumpai pada anak-anak yang menderita kurang gizi atau yang
sering menderita dehidrasi atau diare. Infeksi pada saluran kemih akan
mempercepat timbulnya batu. Inflamasi pada buli-buli dapat disebabkan karena
hal sekunder misalnya sinar radiasi atau infeksi shiztomiasis yang juga merupakan
predisposisi batu buli-buli. Gangguan metabolik juga merupakan faktor
predisposisi terjadi pembentukan batu. Pada pasien ini batu umumnya terbentuk
dari bahan calsium dan struvit. Pada pasien yang mempunya predisposisi
dilakukan evaluasi ada tidaknya hal yang memicu statisnya urin, misalnya BPH.
Pada perempuan yang memakai celana ketat, dan cystocele (De Jong, 2004;
Sudoyo et al, 2006).

1.1.4 Patofisiologi
Pada umumnya batu buli-buli terbentuk dalam buli-buli, tetapi pada
beberapa kasus batu buli terbentuk di ginjal lalu turun menuju buli-buli, kemudian
terjadi penambahan deposisi batu untuk berkembang menjadi besar. Batu buli
yang turun dari ginjal pada umumnya berukuran kecil sehingga dapat melalui
ureter dan dapat dikeluarkan spontan melalui uretra (De Jong, 2004; Sudoyo et al,
2006).

Gambar 2. Batu Buli-buli


7

Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada
tampat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu
pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti
pada hyperplasia prostate benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan
keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri
atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik
yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu
yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling
mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan
mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal
yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh
dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi
oleh pH larutan, adanya koloid di dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine,
laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam
saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Lebih dari 80% batu saluran
kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupan
dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat; sedangkan
sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat (batu
infeksi), batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis
pembentukan batu-batu diatas hampir sama, tetapi suasana didalam saluran kemih
yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Dalam hal ini
misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam asam, sedangkan batu
magnesium ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa (De Jong,
2004; Sudoyo et al, 2006).
8

Pada penderita yang berusia tua atau dewasa biasanya komposisi batu
merupakan batu asam urat yaitu lebih dari 50% dan batu paling banyak berlokasi
di vesika. Batu yang terdiri dari calsium oksalat biasanya berasal dari ginjal. Pada
batu yang ditemukan pada anak umumnya ditemukan pada daerah yang endemik
dan terdiri dari asam ammonium material, calsium oksalat, atau campuran
keduanya. Hal itu disebabkan karena susu bayi yang berasal dari ibu yang banyak
mengandung zat tersebut. Makanan yang mengandung rendah pospor menunjang
tingginya ekskresi amonia. Anak-anak yang sering makan makanan yang kaya
oksalat seperti sayur akan meningkatkan kristal urin dan protein hewan (diet
rendah sitrat). Batu buli-buli juga dapat terjadi pada pasien dengan trauma
vertebra/ spinal injury, adapun kandungan batu tersebut adalah batu struvit/Ca
fosfat. Batu buli-buli dapat bersifat single atau multiple dan sering berlokasi pada
divertikel dari ventrikel buli-buli dan biasanya berukuran besar atau kecil
sehingga menggangu kerja dari vesika. Gambaran fisik batu dapat halus maupun
keras. Batu pada vesika umumnya mobile, tetapi ada batu yang melekat pada
dinding vesika yaitu batu yang berasal dari adanya infeksi dari luka jahitan dan
tumor intra vesika (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).

1.1.5 Komposisi Batu


Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat
atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium ammonium fosfat, xanthin, sistein,
silikat dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan atau komposisi batu
sangat penting untuk pencegahan timbulnya batu yang residif. Berikut ini adalah
jenis batu saluran kemih meliputi (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006; Basler,
2007):
a. Batu Kalsium
Batu ini merupakan batu yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar 70- 80%
dari seluruh batu saluran kemih. Adapun kandungannya adalah kalsium
oksalat, kalsium fosfat atau campuran keduanya. Faktor terjadinya batu oksalat
adalah sebagi berikut:
9

1) Hiperkalsiuri merupakan kenaikan kadar kalsium dalam urin yang melebihi


250-300mg/24jam, disebabkan oleh peningkatan absorbsi kalsium melalui
usus, gangguan reabsorbsi kalsium oleh ginjal, dan peningkatan reabsorbsi
tulang karena hiperparatiroid atau tumor paratiroid.
2) Hiperoksaluri merupakan peningkatan ekskresi oksalat melebihi 45 gram/
hari, keadaan ini banyak diderita oleh penderita yang mengalami kelainan
usus karena post operasi dan diet kaya oksalat, misalnya teh, kopi instant,
minuman soft drinks, kokoa, jeruk, sitrun, dan sayuran yang berwarna hijau
terutama bayam.
3) Hiperurikosuri merupakan kadar asam urat di dalam urin melebihi 850mg/
24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin bertindak sebagai inti batu
terhadap pembentukan batu kalsium oksalat. Sumber asam urat dalam urin
berasal dari makanan yang mengandung banyak purin maupun berasal dari
metabolisme endogen.
4) Hipositraturia merupakan sitrat berikatan dengan kalsium di dalam urin
sehingga calsium tidak lagi terikat dengan oksalat maupun fosfat, karenanya
merupakan penghambat terjadinya batu tersebut. Kalsium sitrat mudah larut
sehingga hancur dan dikeluarkan melalui urin.
5) Hipomagnesia, magnesium juga merupakan penghambat seperti halnya
sitrat. Penyebab tersering dari hipomagnesia adalah inflamasi usus yang
diikuti gangguan absorbsi. Penyebab tersering hipomagnesuria ialah
penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease) yang diikuti dengan
gangguan malabsorbsi.
b. Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini
karena proses infeksi pada saluran kemih. Hal ini disebabkan karena infeksi
yang sebagian besar karena kuman pemecah urea, sehingga urea yang
menghasilkan suasana basa yang mempermudah mengendapnya magnesium
fosfat, ammonium, karbonat. Kuman tersebut diantaranya adalah Proteus spp,
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, dan stafilokokus.
c. Batu Asam urat merupakan batu yang terjadi pada 5-10% kasus batu. 75- 80%
adalah batu asam urat murni dan sisanya merupakan campuran dengan asam
10

oksalat. Batu ini banyak diderita oleh pasien dengan gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien yang mendapat terapi antikanker, dan banyak
menggunakan obat urikosurik diantaranya tiazid, salisilat, kegemukan,
peminum alkohol, diet tinggi protein. Adapun faktor predisposisi terjadinya
batu asam urat adalah urin yang terlalu asam, dehidrasi atau konsumsi air
minum yang kurang dan tingginya asam urat dalam darah.
d. Batu jenis lain diantaranya batu sistin, batu santin, dan batu silikat sangat
jarang dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolisme yaitu
kelainan absorbsi sistin di mukosa usus. Pemakaian antasida yang mengandung
silikat berlebihan dalam jangka waktu yang lama dapat memungkinkan
terbentuknya batu silikat.

1.1.6 Tanda Gejala


Pasien yang mempunyai batu buli sering asimtomatik, tetapi pada
anamnesis biasanya dilaporkan bahwa penderita mengeluh nyeri suprapubik,
disuria, gross hematuri terminal, perasaan ingin kencing, sering kencing di malam
hari, perasaan tidak enak saat kencing, dan kencing tiba-tiba terhenti kemudian
menjadi lancar kembali dengan perubahan posisi tubuh. Gejala lain yang
umumnya terjadi dalam menyertai nyeri yaitu nyeri menjalar dari ujung penis,
scrotum, perineum, punggung dan panggul, perasaan tidak nyaman tersebut biasa
bersifat tumpul atau tajam, disamping sering menarik-narik penisnya pada anak
laki-laki dan menggosok-gosok vulva pada anak perempuan. Rasa sakit diperberat
saat pasien sedang beraktivitas, karena akan timbul nyeri yang tersensitisasi akibat
batu memasuki leher vesika. Pasien anak dengan batu buli sering disertai dengan
priapism dan disertai ngompol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesika urinaria
tampak penuh pada inspeksi, ketika dipalpasi didapatkan blader distended pada
retensi akut. Adapun tanda yang dapat dilihat adalah hematuri mikroskopik atau
bahkan gross hematuri, pyuria, bakteri yang positif pada pemeriksaan kultur urin
(De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).
11

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang meliputi (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006):
a. Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urin sering dilakukan karena tidak mahal dan hasilnya dapat
menggambarkan jenis batu dalam waktu yang singkat. Pada pemeriksaan
dipstick, batu buli berhubungan dengan hasil pemeriksaan yang positif jika
mengandung nitrat, leukosit esterase dan darah. Batu buli sering menyebabkan
disuri dan nyeri hebat, oleh sebab itu banyak pasien sering mengurangi
konsumsi air minum sehingga urin akan pekat. Pada orang dewasa, batu buli
akan menyebabkan urin asam. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan adanya
sel darah merah dan pyuria( leukosit), dan adanya kristal yang menyusun batu
buli. Pemeriksaan urin juga berguna untuk memberikan antibiotik yang
rasional jika dicurigai adanya infeksi.
b. Pemeriksaan Imaging
1) Urografi
Pemeriksaan radiologis yang digunakan harus dapat memvisualisasikan
saluran kemih yaitu ginjal, ureter dan vesika urinaria (KUB). Tetapi
pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hanya dapat menunjukkan
batu yang radioopaque. Batu asam urat dan ammonium urat merupakan batu
yang radiolucent. Tetapi batu tersebut terkadang dilapisi oleh selaput yang
berupa calsium sehingga gambaran akhirnya radioopaque. Pelapisan adalah
hal yang sering, biasanya lapisan tersebut berupa sisa metabolik, infeksi dan
disebabkan hematuri sebelumnya.
Gambar 3. BOF
12

2) Cystogram/ intravenous pyelografi


Jika pada pemeriksaan secara klinik dan foto KUB tidak dapat menunjukkan
adanya batu, maka langkah selanjutnya adalah dengan pemeriksaan IVP.
Adanya batu akan ditunjukkan dengan adanya filling defek.

Gambar 4. IVP
3) Ultrasonografi (USG)
Batu buli akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic, efektif untuk melihat
batu yang radiopaque atau radiolucent.

Gambar 5. USG
13

4) CT scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk banyak kasus pada pasien yang nyeri perut,
massa di pelvis, suspect abses, dan menunjukkan adanya batu buli-buli yang
tidak dapat ditunjukkan pada IVP. Batu akan terlihat sebagian batu yang keruh.
5) MRI
Pemeriksaan ini akan menunjukkan adanya lubang hitam yang semestinya
tidak ada pada buli yang seharusnya terisi penuh, ini diassosiasikan sebagai
batu.
6) Sistoskopi
Pada pemeriksaan ini dokter akan memasukkan semacam alat endoskopi
melalui uretra yang ada pada penis, kemudian masuk kedalam blader.

Gambar 6. Sistoskopi

1.1.8 Pengobatan
a. Konservatif
Terapi ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Memberikan minum yang berlebihan
disertai diuretik. Dengan produksi air kemih yang lebih banyak diharapkan
dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih. Pengobatan simptomatik
mengusahakan agar nyeri, khususnya kolik, yang terjadi menghilang dengan
pemberian simpatolitik. Dan berolahraga secara teratur. Adanya batu struvit
menunjukkan terjadinya infeksi saluran kemih, karena itu diberikan antibiotik.
14

Batu strufit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila
diberikan pengobatan dengan pengasaman urin dan pemberian antiurease,
seperti Acetohidroxamic acid. Ini untuk menghambat bakteri urease dan
menurunkan kadar ammonium urin. Pengobatan yang efektif untuk pasien
yang mempunyai batu asam urat pada saluran kemih adalah dengan alkalinisasi
supaya batu asam yang terbentuk akan dilarutkan. Pelarutan batu akan terjadi
apabila pH urin menjadi lebih tinggi atau berjumlah 6,2. Sehingga dengan
pemberian bikarbonas natrikus disertai dengan makanan alkalis, batu asam urat
diharapkan larut. Potasium Sitrat (polycitra K, Urocit K) pada dosis 60 mEQ
dalam 3-4 dosis perhari pemberian digunakan untuk terapi pilihan. Tetapi
terapi yang berlebihan menggunakan sediaan ini akan memicu terbentuknya
deposit calsium pospat pada permukaan batu sehingga membuat terapi tidak
efektif lagi. Atau dengan usaha menurunkan produksi kadar asam urat air
kemih dan darah dengan bantuan alopurinol, usaha ini cukup memberi hasil
yang baik. Dengan dosis awal 300 mg perhari, baik diberikan setelah makan
(De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).
b. Litotripsi
Litotripsi merupakan tindakan endourologi untuk mengambil dan atau
menghancurkan batu buli.
Peralatan yang duigunakan:
1) Roser
2) Doek steril
3) Panendoskopi
4) Kasa steril
5) Handscoon steril
6) Kom
7) Tempat sampah
8) Jel
9) Toples
10) Aligator lithotrite
11) Teleskop dan bridge
15

12) Lithotriptor
13) Folley kateter
14) Obturator
15) Sistoskopi
16) Pinset anatomi
17) Pinset sirugis
18) Clam
19) Spuit
20) Bengkok
Teknik operasi untuk batu < 1,5 cm :
1) Setelah dibius, pasien diletakkan pada posisi lithotomi
2) Disinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10%

3) Persempit lapangan operasi dengan doek steril


4) Kalibrasi atau dilatasi urethra dengan roser sampai 27 F
5) Panendoskopi kondisi uretra dan buli dengan sheath no 25 F
6) Teleskop dan bridge dilepas
7) Buli diisi irigan sampai penuh, pasang aligator lithotrite dengan teleskop
30º mulai lithotripsi.
8) Lithotripsi dihentikan kalau ukuran fragmen sudah dapat melewati sheath
9) Evakuasi fragmen dengan ellik evakuator
10) Sistoskopi untuk melihat apakah batu sudah keluar semua dan mengetahui
adanya komplikasi tindakan.
11) Keluarkan lithotriptor dan keluarkan sheath dengan sebelumnya memasang
obturator.
12) Pasang folley kateter F 16 dan dilepas setelah 24 jam
Teknik Operasi untuk batu < 2,5 cm :
1) Setelah dibius, pasien diletakkan pada posisii lithotomi
2) Disinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10%
3) Persempit lapangan operasi dengan doek steril
4) Kalibrasi atau dilatasi urethra dengan roser sampai 27 F
5) Panendoskopi untuk melihat kondisi uretra dan buli
16

6) Buli diisi irigan sampai penuh


7) Set panendoskopi dikeluarkan semuanya
8) Masukkan lithotriptor type hendrickson dengan teleskop 70º, kemudian
dilakukan lithotripsy
9) Lithotripsi dengan hendrickson dihentikan kalau ukuran fragmen batu
mengecil <1,5cm, dan lithotripsi dilanjutkan dengan aligator.
10) Evakuasi fragmen dengan ellik evakuator
11) Sistoskopi untuk melihat apakah batu sudah keluar semua dan mengetahui
adanya komplikasi tindakan
12) Keluarkan lithotriptor dan keluarkan sheath dengan sebelumnya memasang
obturator
13) Pasang folley kateter F 16, dilepas setelah 24 jam.

Gambar 7. Litotripsi
c. Terapi pembedahan
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotriptor, alat gelombang kejut
atau bila cara non bedah tidak berhasil. Walaupun demikian kita harus
memerlukan suatu indikasi. Misalnya apabila batu kandung kemih selalu
menyebabkan gangguan miksi yang hebat sehingga perlu diadakan tindakan
pengeluarannya. Litotriptor hanya mampu memecahkan batu dalam batas
ukuran 3 cm kebawah. Batu diatas ukuran ini dapat ditangani dengan batu kejut
atau sistolitotomi (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).
17

1) Transurethral Cystolitholapaxy: tehnik ini dilakukan setelah adanya batu


ditunjukkan dengan sistoskopi, kemudian diberikan energi untuk membuat
nya menjadi fragmen yang akan dipindahkan dari dalam buli dengan alat
sistoskopi. Energi yang digunakan dapat berupa energi mekanik (pneumatic
jack hummer), ultrasonic dan elektrohidraulik dan laser (De Jong, 2004;
Sudoyo et al, 2006).
2) Percutaneus Suprapubic cystolithopaxy: tehnik ini selain digunakan untuk
dewasa juga digunakan untuk anak- anak, tehnik percutaneus menggunakan
endoskopi untuk membuat fragmen batu lebih cepat hancur lalu
dievakuasi.sering tehnik ini digunalan bersama tehnik yang pertama denagn
tujuan stabilisasi batu dan mencegah irigasi yang ditimbulkan oleh debris

pada batu (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).


3) Suprapubic Cystostomy: tehnik ini digunakan untuk memindah batu dengan
ukuran besar, juga di indikasikan untuk membuang prostate, dan
diverculotomy. Pengambilkan prostate secara terbuka diindikasikan jika
beratnya kira- kira 80-100gr. Keuntungan tehnik ini adalah cepat, lebih
mudah untuk memindahkan batu dalam jumlah banyak, memindah batu
yang melekat pada mukosa buli dan kemampuannya untuk memindah batu
yang besar dengan sisi kasar. Tetapi kerugian penggunaan tehnik ini adalah
pasien merasa nyeri post operasi, lebih lama dirawat di rumah sakit, lebih
lama menggunakan kateter (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).

Gambar 8. Suprapubic Cystostomy


18

1.2 Konsep Dasar BPH


1.2.1 Anatomi
Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra
posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang
sering disebut sebagai otot dasar panggul (Wibowo & Paryana, 2009).

Gambar 8. Anatomi Kelenjar Prostat


Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan ototpolos.
Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat
dibungkus oleh kapsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang
tebal. Diantara fascia prostatica dan kapsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvicyang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital,
dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum.
Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut
fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya.
Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat (Purnomo, 2011).
19

Gambar 9. Anatomi prostat


Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50 kelenjar
yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan
lobus medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah
duktus ejakulatorius, lobus lateral yangterletak dikanan uretra, lobus anterior atau
isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan
lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos,
selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius,
banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan
terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus
medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada
waktu berkemih. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah
walnut atau buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4
cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian-
20

bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan


stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler (Wibowo dan Paryana, 2009).

Gambar 10. Bagian Prostat


Vaskularisasi pada prostat berasal dari arteri dan vena. Arteri vesikal
inferior,arteri pudendal interna, dan arteri hemoroid menyuplai darah ke prostat.
Sedangkan vena dari prostat akan berlanjut ke pleksus periprostatik yang
terhubung dengan venadorsal dalam dari penis dan vena iliaka interna (Wibowo
dan Paryana, 2009).
21

Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari


pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut
parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus.
Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam
uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi
pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat
banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan
tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran
kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior
dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menyerupai susu untuk
menetralisir keasaman vagina selama senggama dan meningkatkan motilitas
sperma yang optimum pada pH 6,0 sampai 6,5. Cairan ini dialirkan melalui
duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat
merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat (Purnomo, 2011).
Purnomo (2011) mengatakan bahwa fisiologi prostat adalah suatu alat
tubuh yang tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat
endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah
bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen, oleh karena itu
pada orang tua bagian tengahlahyang mengalami hiperplasi karena sekresi
androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar
prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH
5. Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar
prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan
prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan
70% volume cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan
menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret
22

vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan
bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh
volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat
melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma
tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5
akibatnya mungkin bahwa caira prostat menetralkan keasaman cairan dan lain
tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas
sperma (Wibowo dan Paryana, 2009 ).

1.1.2 Definisi BPH


Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter)
dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002). Price &
Wilson (2006) menjelaskan bahwa BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan
uretra parsprostatika (Price dan Wilson, 2006).
BPH sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai
dengan prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa
bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (Baradero dan Dayrit,
2007). Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa Benigna
Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh
pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin dengan menutupi
orifisium uretra akibat terjadinya dilatasi ureter dan ginjal, sehingga menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
23

Gambar 12. BPH

1.2.3 Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Smeltzer dan Bare (2002)
menyebutkan bahwa beberapa bukti yang dapat menyebabkan BPH adalah
hormon yang menyebabkan hyperplasia jaringan dan penuaan. Beberapa bukti
lain menyebutkan bahwa penyebab BPH ini berhubungan dengan adanya
beberapa teori, yaitu Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron (DHT) adalah hormon pria yang aktif dalam kelenjar prostat.
Hormon ini dibuat ketika enzim 5-alpha reduktase mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron, yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.DHT adalah
metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dalam sel prostat merupakan faktor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel
yang dapat menyebabkan gangguan pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada
berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
5alfa–reduktase dan jumlah
24

reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
b. Teori Hormon (Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron) Penurunan
kadar testosteron sering terjadi pada pria dengan usia lanjut. Penurunan
produksi testosteron dan konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa di perifer dapat merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma.
Estrogen berberan dalam perkembangan stroma yang awalnya terjadi akibat
proliferasi sel oleh testosteron. Pada keadaan normal hormon gonadotropin
hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan
mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan
terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan
menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen yang dapat
berpengaruh pada estrogen dan testosteron.
c. Faktor interaksi Stroma dan Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar
pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
d. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Apoptosis pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
25

sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
e. Teori Sel Stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormon
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-
sel BPH dipercayai sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

1.2.4 Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium:
a. Stadium I: ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
b. Stadium II: ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III: setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV: retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flowin continent).
Pembagian berdasarkan tingkat keparahan penderita BPH
dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom
Score) untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya
penyakit Sjamsuhidajat (2005).
26

Tabel 1. Tingkatan Keparahan BPH


No Keluhan pada bulan Tidak <1x <dari Kadang- >dari Hampir
terakhir pernah dalam 5 setengah kadang setengah Selalu
kali sekitar
(50%)

1 Seberapa sering anda 0 1 2 3 4 5


merasa tidak puas saat
selesai berkemih?
2 Seberapa sering 0 1 2 3 4 5
anda harus kencing dalam
waktu <2 jam setelah
selesai berkemih?
3 Seberapa sering 0 1 2 3 4 5
anda mendapatkan
kencing anda terputus-putus?
4 Seberapa sering 0 1 2 3 4 5
anda mendapatkan bahwa
anda sulit menahan kencing?
5 Seberapa sering pancaran 0 1 2 3 4 5
kencing anda lemah?
6 Seberapa sering anda 0 1 2 3 4 5
harus mengedan untuk
mulai berkemih?
7 Seberapa sering anda 0 1 2 3 4 5
harus bangun untuk
berkemih sejak mulai
tidur pada malam hari
hingga bangun di pagi
hari?
Total IPSS Score :
1. Ringan (Mild) : 0 – 7
2. Sedang (Moderate) : 8-19
3. Berat (Severe) : 20 - 35

1.2.5 Tanda dan gejala


Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh BPH salah satunya adalah
adanya obstuksi. Obstruksi prostat ini dapat menimbulkan keluhan pada saluran
kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Purnomo (2011) mengatakan bahwa
manifestasi klinis BPH adalah keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala
pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
27

Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:


1) Gejala obstruksi meliputi retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), straining/harus mengejan, hesitansi (sulit
memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi/terminal dribling);
2) Gejala iritasi meliputi frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang ke petugas kesehatan biasanya diawali dengan keluhan penyakit
hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal.
Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak ada nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal
dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
28

Gambar 13. Tanda gejala BPH

1.2.6 Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prosta
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostatmeningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
29

destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi


lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin.
Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri (Baradero et al, 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang
menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka
pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi
juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria (Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradox (keadaan dimana tekanan vesika urinaria
menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan terjadi obstruksi). Retensi
kronik menyebabkan refluk vesika ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi
pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis
(peradangan kandung kemih) dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (inflamasi pada pelvis ginjal dan parenkim ginjal yang disebabkan
karena adanya infeksi oleh bakteri) (Sjamsuhidajat 2005; De jong, 2004).
30

1.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
sebagai berikut (Sjamsuhidajat 2005; De jong, 2004).
a. Anamnesa.
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms) antara lain : hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi,
terminaldribbling, terasa adasisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan
gejalairitatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Rectal touch atau pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya
prostat.Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) 0 – 1 cm …………. = grade 0
b) 1 – 2 cm …………. = grade 1
c) 2 – 3 cm …………. = grade 2
d) 3 – 4 cm …………. = grade 3
e) > 4 cm…………… = grade 4
2) Clinical grading
Patokan banyaknya sisa urine dilakukan dengan cara pagi hari pasien
bangun tidur disuruh kencing sampai selesai kemudian masukkan kateter
VU mengukur sisa urine
a) Sisa urine 0 cc …………. = normal
b) Sisa urine 0 – 50 cc …… = grade 1
c) Sisa urine 50 – 150 cc…. = grade 2
d) Sisa urine > 150 cc ……. = grade 3
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
31

d. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara objektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:
1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
e. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (buik overzich foto) untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
2) USG (ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli–buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan suprapubik.

Gambar 14. Hasil USG pada pasien BPH

3) IVP (Pielografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal


dan adanya hidronefrosis.
1.2.6 Komplikasi
Sjamsuhidajat (2005) dan De Jong (2004) menyebutkan bahwa komplikasi
BPH adalah sebagai berikut:
a. retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi;
b. infeksi saluran kemih;
32

c. involusi kontraksi kandung kemih;


d. refluk kandung kemih;
e. hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat;
f. gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi;
g. hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis;
h. hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.

1.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan tergantung dengan penyebab,
keparahan obstruksi, dan kondisi pasien (Smeltzer dan Bare, 2002).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Anjurkan pasien
agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu
lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung
kemih. Pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan, pemeriksaan
laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin.
33

1) Residual urin: jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
2) Pancaran urin (flow rate): dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Baradero et al (2007) megatakan bahwa tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada pasien BPH adalah sebgai berikut:
1) mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra;
2) mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik);
3) mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone atau disebut dengan dehidrotestosteron (DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut


Purnomo (2011) diantaranya adalah sebagai penghambat adrenergenik alfa,
penghambat enzin 5 alfa reduktase, dan fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai diantaranya adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin).
Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot
polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan
pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan
dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang
34

mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada


beberapa obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan,
obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit atau 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan
pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka atau fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus.
Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
c. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang,
hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan
fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi
tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Smeltzer dan Bare (2002)
mengatakan bahwa intervensi bedah yang dapat dilakukan
meliputi pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.

1) Pembedahan terbuka
Beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah
sbegai berikut:
35

a) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari
atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala
ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan
darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain
yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy
terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi di lakukan dekat dengan rektum. Komplikasi yang mungkin
terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk
kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah
yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
2) Pembedahan endourologi
Pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai
tenaga elektrik diantaranya:
36

a) Transurethral Prostatic Resection (TURP): tindakan operasi yang paling


banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak
tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat
terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP
yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus
dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP
antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan
waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak
enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero et al, 2007).
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP): tindakan ini dilakukan apabila
volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan
TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal atau
kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan
instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami
ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
c) Terapi invasive minimal: dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap
tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral
Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD),
Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan
stent uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011).
d) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT): dilakukan dengan cara
pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
37

ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars


prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.
e) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD): tehnik ini dilakukan dilatasi
(pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan
balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien
dengan prostat kecil, 23 kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya
sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
f) Transuretral Needle Ablation (TUNA): teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani
TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang
terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
g) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain
itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi.

1.2.9 Transurethral Resection of Prostatic (TUR P)


Transurethral Resectionof Prostatic (TURP) adalah prosedur bedah yang
paling umum dan dapat dilakukan malalui endoskopi pada pasien dengan BPH
(Smaltzer dan Bare, 2002).TURP merupakan tindakan operasi yang paling banyak
dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan
cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah
(Marzalek et al, 2009). TURP adalah sebuah sebuah penghilangan bagian dari
prostat yang menekan uretra, dengan cara pembedahan yang dilakukan oleh
dokter bedah dengan memasukkan instrument up penis melalui uretra dan
memotong jaringan prostat sampai bagian ini terbuka dengan baik, serta jaringan
yang dipotong akan mengalir keluar melalui kateter. Tidak ada sayatan yang
38

dibuat dalam operasi ini, dan akan sembuh dengan membutuhkan waktu 8-12
minggu (Quinte Health Care, ____ ). Dari beberapa pengertian diatas dpat
disimpulkan bahwa Transurethral Resectionof Prostatic (TURP) adalah sebuah
prosedur bedah yang paling sering dilakukan pada pasien BPH, tanpa
pembedahan dengan menggunakan cairan irigan yang dimasukkan menggunakan
instumen up penis melalui uretra dan memotong jaringan prostat sampai terbuka
dan mengalirkannya melalui kateter.

Gambar 15. TUR P

Indikasi dilakukannya TURP adalah gejala-gejala BPH sedang sampai


gejala yang berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan
apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP selesai dilakukan maka pengalirannya
menggunakan kateter threeway.
Saat ini tindakan TURP merupakan standar tindakan operasi yang paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia. Selama 20 tahun terakhir perkembangan
kesehatan khususnya pilihan tindakan TURP banyak dipilih oleh dokter bedah di
Eropa dibandingkan prosedur Transurethral Microwave Thermotherapy(TUMT)
atau prosedur laser, dan terjadi penurunan jumlah kasus komplikasi pembedahan
39

di Amerika Serikat akibat pilihan operasi dengan menggunakan TURP. Adapun


keuntungan dan kerugian TURP menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah
sebagai berikut.
a. Keuntungan menggunakan TURP
1) Menghindari insisi pembedahan
2) Lebih aman pada pasien dengan risiko bedah
3) Hospitalisasi dan pemulihan lebih singkat
4) Angka morbiditas lebih rendah yaitu 0,99%.
5) Nyeri yang ditimbulkan relative sedikit
6) Prostat fibrous mudah diangkat
7) Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
b. Kerugian menggunakan TURP
1) Membutuhkan dokter bedah yang ahli
2) Risiko merusak uretra
3) Tidak dianjurkan untuk BPH besar
4) Alat yang digunakan mahal
5) Obstruksi kambuhan trauma uretral dapat terjadi striktur uretral (dysuria,
mengejan, aliran urin lemah).

Peralatan yang perlu dipersiapkan untuk prosedur TUR P adalah sebagai


berikut.
a. (Set dasar)
1) Desinfeksi Klem 1
2) Doek Klem 5
3) Krom 1
b. Set tambahan
1) Linen set TUR
2) Handschoen (sesuai ukuran operator)
3) Desinfektan bethadin 1%
4) Kasa, deper, cucing, bengkok, korentang pada tempatnya
40

c. Alat/ Set khusus


1) Kran air untuk spoel (irrigator)
2) Selang irigasi (pipa air dengan luer lock)
3) Kabel lampu storz (kabel cahaya fiber optik)
4) Kabel ces diathermi endoscopy
5) Sikat steril
6) Jelly k-y
7) Bugie roser 3 biji (no.21, 23, 25)
8) Sheath no.27
9) Working elemen yang sudah di set dengan cutting loop no.27 (no.24, 27)
beserta optiknya (30°) (0° atau 30°)/ telescope
10) Elix evacuator + balon karet
11) Three way catheter 24 F
12) Urobag
13) Spuit 20 cc
14) Blood set
15) Kamera + kabel.
.
Prosedur pelaksanaan TUR P,sebagai berikut.
a. Persiapan Pre Operasi
1) Mengkaji kecemasan klien, memberikan informasi yang akurat pada
klienterkait kondisi saat ini dan pentingnya tindakan operasi
2) Klien dilarang merokok beberapa minggu sebelum operasi dan klien
dianjurkan untuk makan-makanan bergizi, dan menghindari makanan
berlemak.
3) Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
4) Pemeriksaan EKG
5) Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG
6) Pemeriksaan Uroflowmetri bagi penderita yang tidak memakai kateter.
7) Pemasangan infus dan puasa
8) Pencukuran rambut pubis dan lavemen
41

9) Pemberian Antibiotik
10) Surat Persetujuan Operasi (Informed Consent).
b. Prosedur Operasi
1) Pasang foto pada light box
2) Lakukan SGG(Scrubbing, Gowning, dan Gloving)
3) Setelah dilakukan anestesi general pasien diletakkan dalam posisi lithotomi
4) Untuk menghindari komplikasi orchitis dilakukan vasektomi tanpa Pisau
(VTP)
5) Dilakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis scrotum dan
sebagian dari kedua paha dan perut sebatas umbilicus
6) Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan duk panjang
berlubang untuk bagian supra pubis ke kranial.
7) Dilatasi uretra dengan bougie roser 25 F sampai 29 F
8) Sheath 24F / 27F dengan obturator dimasukkan lewat uretra sampai masuk
buli-buli.
9) Obturator dilepas, diganti optik 30 dan cutting loop sesuai dengan ukuran
sheatnya.
10) Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan divertikel buli
11) Working element ditarik keluar untuk mengevaluasi prostat (panjangnya
prostat yang menutup uretra, leher buli dan verumontanu )
12) Selanjutnya dilakukan reseksi prostat sambil merawat perdarahan
13) Sebaiknya adenoma prostat dapat direseksi semuanya, waktu reseksi
paling lama 60 menit (bila menggunakan irigan aquades) dan waktu bisa
lebih lama bila menggunakan irigan glisin. Hal ini untuk menghindari
terjadinya Sindroma TUR.
14) Bila terjadi pembukaan sinus, operasi dihentikan, untuk menghindari
sindroma TUR
15) Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan ellik evakuator sampai
bersih, selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
16) Setelah selesai, dipasang three way kateter 24F dan dipasang Spoel NaCl
0,9% atau Aquades.
42

c. Perawatan post Operasi


1) Pasien akan ditempatkan di recovery room selama kurang lebih 1-2 jam
untuk memonitor efek anastesi
2) Asupan cairan dan obat-obatan diberikan melalui infus
3) perawat perlu melakukan Continuous Bladder Irrigation(CBI) untuk
mencegah terjadinya bekuan darah
4) Lakukan manajemen nyeri dengan teknik rekalsasi nafas dalam dan
lakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekret pada saluaran nafas
5) Lakukan latihan ankle pump (10 kali per jam)
6) Hari pertama post operasi klien dperbolehkan duduk namun dalam waktu
singkat, anjurkan klien untuk banyak minum, anjurkan klien untuk
melakukan ankle pump.
7) Klien tidak diperbolehkan untuk minum-minuman beralkhohol dan
makanan pedas
8) Klien dianjurkan untk banyak minum dan makan makanan yang tinggi
serat untuk menghindari sembelit
9) Hindari berolahraga selama 4-6 minggu
10) Hindari bekerja berat seperti mengangkat beban berat kurang lebih 10 kg
selama satu bulan
11) Lakukan latihan dengan mengencangkan otot-otot paha dan pantat lalu
menariknya ke atas kemudian tahan dan 2-3 detik, ulangi 10 kali sehari

Komplikasi yang ditimbulkan TUR P meliputi:


a. Ejakulasi retrograde (60-90%)
b. Infeksi saluran kemih (2%)
c. Persistent urinary retention ketika pulang dari rumah sakit dengan terpasang
kateter (2.5%)
d. Striktur bladder (2- 10%)
e. Hiponatremia
43
44
45

ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian Fokus


a. Anamnesa
a) Data demografi
Dikaji terkait data nama, umur, usia, jenis kelamin (laki-laki), pekerjaan
(pekerjaanberisiko tinggi terjadinya BPH adalah orang yang pekerjaanya
mengangkat barang-barang berat), ras (Orang dari ras kulit hitam memiliki
risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH dibanding ras lain), penddikan,
dan status perkawinan
b) Riwayat Penyakit Klien
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH: pancar urin lemah,
intermitensi, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan
disuria. Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal
yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala
untuk pertama kali atau berulang.
Dikaji riwayat penyakit dahulu klien yaitu penyakit yang dapat
menyebabkan BPH salah satunya adalah pasien pernah mengalami ISK atau
pembedahan prostat atau hernia sebelumnya
c) Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH adalah sering miksi pada
siang hari dan nokturia, urgensi, disuria, dan rasa tidak puas saat miksi.
b. Pola Fungsi Kesehatan
Pengkajian pada klien dengan BPH menurut 11 Pola Fungsional Gordon
adalah sebagai berikut :
1) Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan
bahwa sakit yang dideritanya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu
mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya? Dan apa
penyebab sakitnya saat ini?
46

2) Pola nutrisi dan metabolik


Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
3) Pola eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran
urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi
berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH
yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas,
warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4) Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga merasa nyeri pada
prostat dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh
keluarga.
5) Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan
oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat
mengganggu kenyamanan klien.
47

6) Pola konsep diri dan persepsi diri


Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
7) Pola kognitif- perseptual
Psien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami
hal itu.
8) Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang diderita
nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan
lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan
keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran selama klien
sakit?
9) Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi
saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
10) Pola pertahanan diri dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa
melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan
tingkah laku dan kegelisahan klien.
11) Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan
dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK yang
sering keluar tanpa disadari.
48

c. Pemeriksaan fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser padakeadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
2) Rectal touch atau pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) 1. 0 – 1 cm …………. = grade 0
b) 2. 1 – 2 cm …………. = grade 1
c) 3. 2 – 3 cm …………. = grade 2
d) 4. 3 – 4 cm …………. = grade 3
e) 5. > 4 cm…………… = grade 4
3) Clinical grading
Patokan banyaknya sisa urine dilakukan dengan cara pagi hari pasien
bangun tidur disuruh kencing sampai selesai kemudian masukkan
kateter VU mengukur sisa urine
1. Sisa urine 0 cc …………. = normal
2. Sisa urine 0 – 50 cc …… = grade 1
3. Sisa urine 50 – 150 cc…. = grade 2
4. Sisa urine > 150 cc ……. = grade 3

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
49

3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai


kewaspadaanadanya keganasan.
4) Pemeriksaan Uroflowmetri: Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya
pancaran urin. Secara objektif pancaran urin dapat diperiksa dengan
uroflowmeter dengan penilaian:
a) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
5) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a) BOF (Buik Overzich Foto ): untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
b) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli–buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan suprapubik.
c) IVP (Pielografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal
dan adanya hidronefrosis.
50

b. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih
2) Retensi urin b.d sumbata
3) Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan yang akan
dilakukan, krisis situational
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terkait
kondisi yang dialami/prosedur pembedahan
b. Intra Operatif
1) Resiko cedera berhubungan dengan tindakan operasi
2) Resiko syok berhubungan dengan tindakan operasi
c. Pasca Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, pemasangan kateter, dan
spasme kandung kemih
2) Risiko infeksi berhubungan dengan insisi operasi
3) Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan paskaoperatif dan masa
penyembuhan
51

c. Perencanaan Keperawatan
1. Pre Operasi
Diagnosa
No Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Mampu mengontrol Paint management
berhubungan tindakan nyeri (tahu penyebab a. Kaji nyeri secara komprehensif a. Mengetahui kondisi umum pasien dan
dengan fraktur keperawatan nyeri, mampu (lokasi, karakteristik, durasi, pertimbangan tindakan selanjutnya
tulang, spasme selama 1x24 jam menggunakan tehnik frekuensi, kualitas, dan faktor b. Pasien memahami keadaan sakitnya
otot, edema, diharapkan nyeri nonfarmakologi untuk presipitasi) c. Respon nonverbal terkadang lebih
kerusakan dapat berkurang mengurangi nyeri, b. Beri penjelasan mengenai menggambarkan apa yang pasien
jaringan lunak mencari bantuan) penyebab nyeri rasakan
NOC: 2. Melaporkan bahwa c. Observasi reaksi nonverbal dari d. Mempertahankan posisi fungsional
1. Pain level nyeri berkurang ketidaknyamanan tulang
2. Pain control dengan menggunakan d. Segera immobilisasi daerah fraktur e. Memperlancar arus balik vena
3. Comfort level manajemen nyeri e. Tinggikan dan dukung ekstremitas f. Mengatasi nyeri misalnya kompres
3. Mampu mengenali yang terkena hangat, mengatur posisi untuk
nyeri (skala, f. Ajarkan pasien tentang alternative mencegah kesalahan posisi pada
intensitas, frekuensi, lain untuk mengatasi dan tulang/jaringan yang cedera
dan tanda nyeri) mengurangi rasa nyeri g. Memfokuskan kembali perhatian,
4. Menyatakan rasa g. Ajarkan teknik manajemen stress meningkatkan rasa kontrol dan
nyaman setelah nyeri misalnya relaksasi nafas dalam meningkatkan kemampuan koping
berkurang h. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam manajemen nyeri yang mungkin
lain dalam pemberian obat analgeik menetap untuk periode lebih lama
sesuai indikasi h. Mengontrol atau mengurangi nyeri
pasien
52

2. Intra operasi
Diagnosa
No Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1. Resiko cedera Setelah dilakukan Tidak ada komplikasi NIC
berhubungan tindakan perawatan pembedahan pada Surgical precaution
dengan tindakan sealama 1x24 jam jaringan daerah sekitar 1. Tidurkan klien pada meja 1. Mencegah jatuhnya klien.
operasi pasien akan Risiko cedera berkurang operasi dengan posisi sesuai 2. Dapat mengetahuipemakaian
terhindar dari risiko atau hilang kebutuhan instrumen, jarum dan kasa.
cedera 2. Monitor penggunaan instrumen 3. Dengan tertinggalnya benda asing
NOC 3. Pastikantidak ada instrumen dalam tubuh klien dapat
Surgical precaution yang tertinggal dalam tubuh menimbulkan bahaya.
klien
2 Resiko syok Setelah dilakukan a. Tidak ada hematuria NIC :
berhubungan tindakan dan hematemesis Bleeding Precautions
dengan keperawatan b. Kehilangan darah a. Monitor tanda-tanda vital a. Mengetahui kondisi umum pasien
hipovolemia selama1 x24 jam, yang terlihat b. Monitor ketat tanda-tanda b. Mencegah terjadinya perdarahan
pasien tidak beresiko c. Tekanan darah dalam perdarahan berlebihan yang tidak terlihat
syok batas normal baik c. Monitor kebutuhan cairan c. Untuk mempertahankan
sistol maupun diastole pasien keseimbangan cairan tubuh pasien
NOC : d. Tidak ada perdarahan d. Prosedur pembedahan terkadang
- Blood lose severity pervagina maupun d. Lindungi pasien dari trauma dapat menyebabkan perdarahan yang
- Blood koagulation internal bleeding atau prosesur pembedahan yang berlebihan
e. Hemoglobin dan dapat menyebabkan perdarahan e. Kadar Hb dan Ht menjadi indikasi
hematokrit dalam berlebihan berkurangnya volume darah
batas normal e. Catat nilai Hb dan Ht sebelum f. Mengganti volume darah yang
dan sesudah terjadinya hilang
perdarahan
f. Kolaborasi dalam pemberian
transfusi darah
53

3. Post Operasi
Diagnosa
No Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1. Nyeri Setelah dilakukan a. Mampu mengontrol NIC :
berhubungan tindakan nyeri (tahu penyebab Pain Management
dengan insisi keperawatan nyeri, mampu a. Kaji karakteristik pasien secara a. Membantu dalam menentukan status
bedah, selama 1 x 24 menggunakan teknik PQRST nyeri pasien dan menjadi data dasar
pemasangan jam, nyeri yang nonfarmakologi untuk intervensi dan monitoring
kateter, dan dirasakan pasien untuk mengurangi keberhasilan intervensi
spasme kandung berkurang. nyeri) b. Lakukan manajemen nyeri sesuai b. Meningkatkan rasa nyaman dengan
kemih b. Melaporkan bahwa skala nyeri misalnya pengaturan mengurangi sensasi tekan pada area
NOC : nyeri berkurang posisi fisiologis yang sakit
- Pain level dengan c. Ajarkan teknik relaksasi seperti c. Peningkatan suplai oksigen pada
- Pain control menggunakan nafas dalam pada saat rasa nyeri area nyeri dapat membantu
- Comfort level manajemen nyeri datang menurunkan rasa nyeri
c. Mampu mengenali d. Ajarkan metode distraksi d. Pengalihan rasa nyeri dengan cara
nyeri (skala, distraksi dapat meningkatkan respon
intensitas, frekuensi pengeluaran endorphin untuk
dan tanda nyeri) memutus reseptor rasa nyeri
d. Menyatakan rasa e. Beri manajemen sentuhan berupa e. Meningkatkan respon aliran darah
nyaman setelah nyeri pemijatan ringat pada area sekitar pada area nyeri dan merupakan salah
berkurang nyeri satu metode pengalihan perhatian
f. Beri kompres hangat pada area nyeri f. Meningkatkan respon aliran darah
pada area nyeri
g. Kolaborasi dengan pemberian g. Mempertahankan kadar obat dan
analgesik secara periodic menghindari puncak periode nyeri
54

2. Risiko infeksi Setelah dilakukan a. tidak ada tanda a. Monitor tanda dan gejala infeksi a. Untuk mencegah terjadinya infeksi
berhubungan tindakan infeksi sistenik dan lokal, Monitor
dengan insisi keperawatan b. penyembuhan luka kerentanan terhadap infeksi
operasi selama 3 x baik b. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah b. Mendeteksi adanya infeksi
24jam, resiko c. Dorong masukkan nutrisi yang c. Nutrisi yang baik, cairan yang
ineksi terkontrol cukup, masukan cairan, dan istirahat cukup, serta istirahat yang cukup
NOC : dapat meningkatkan sistem imun
Risk Control tubuh sehingga mencegah terjadiny
infeksi.

d. Laporkan kecurigaan infeksi, d. Agar segera dapat diambil tindakan


Laporkan kultur positif untuk mencegah infeksi semakin
buruk.
55

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M. et al. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem


Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC.

Basler, J. 2007. Bladder Stones. Emedicine Journal. Sited by


http://www.emedicine.com. [diakses pada 8 November 2015].

De Jong, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.

Marszalek, M. et al. 2009. Transurethral Resection of the Prostate. http://eu-


acme.org/europeanurology/upload_articles/Marszalek.pdf. [diakses pada 8
November 2015].

NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta: EGC.

Price, S & Wilson, L, 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta: EGC.

Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto.

Smeltzer, SC., Bare B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta : EGC.

Sudoyo, A. W. et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Sjamsuhidajat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Quint Health Care (QHC). tanpa tahun. Transurethral Resection of Prostate


(TURP). http://www.qhc.on.ca/photos/custom/QHCTransurethral
%20Resection%2 0of%20Prostate%20(TURP).pdf. [diakses pada 8
November 2015].

Wibowo, D dan Paryana, W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Wilkison, J. M. dan Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosis


NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai