LAPORAN PENDAHULUAN
oleh
Alfun Hidayatulloh, S.Kep
NIM 122311101047
LEMBAR PENGESAHAN
Pada saat kosong, buli-buli terdapat di belakang simpisis pubis dan pada
saat penuh berada pada atas simpisis pubis sehingga dapat dipalpasi atau di
perkusi. Buli-buli yang terasa penuh memberikan rangsangan pada saraf afferen
dan menyebabkan aktivasi miksi di medulla spinalis segmen sacral S 2-4. Hal ini
akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli dan
relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses miksi (Purnomo, 2011).
1.1.2 Definisi
Batu buli-buli disebut juga batu vesica, vesical calculi, vesical stone,
bladder stone. Batu buli-buli atau vesikolitiasis adalah masa yang berbentuk
kristal yang terbentuk atas material mineral dan protein yang terdapat pada urin.
Batu saluran kemih pada dasarnya dapat terbentuk pada setiap bagian tetapi lebih
banyak pada saluran penampung terakhir. Pada orang dewasa batu saluran kencing
banyak mengenai sistem bagian atas (ginjal, pyelum) sedang pada anak-anak
sering pada sistem bagian bawah (buli-buli). Di negara berkembang batu buli-buli
terbanyak ditemukan pada anak laki-laki pre pubertas. Komponen yang terbanyak
penyusun batu buli-buli adalah garam calsium. Pada awalnya merupakan bentuk
yang sebesar biji padi tetapi kemudian dapat berkembang menjadi ukuran yang
lebih besar. Kadangkala juga merupakan batu yang mulitipel (De Jong, 2004;
Sudoyo et al, 2006).
5
1.1.3 Etiologi
Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu buli-
buli yaitu faktor instrinsik yang terdiri dari herediter (keturunan) penyakit ini
diduga diturunkan dari orang tuanya, umur, serta jenis kelamin, jumlah pasien
laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan.
Sedangkan faktor ekstrinsik terdiri dari keadaan geografi, iklim, temperatur,
asupan air, diet, dan pekerjaan. Geografi, kebanyakan didaerah pegunungan,
padang pasir, dan daerah tropis. Iklim, individu yang menetap di daerah beriklim
panas dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan ekskresi
kalsium dan oksalat) sehingga insiden batu saluran kemih akan meningkat.
Asupan air, kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. Diet, obat
sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan terbentuknya batu saluran
kemih, karena obat sitostatik bersifat meningkatkan asam urat dalam tubuh, diet
banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih. Dan pekerjaan, penyakit ini sering dijumpai pada orang yang
pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitasnya (De Jong, 2004; Sudoyo et
al, 2006).
Batu buli-buli atau vesikolitiasis sering terjadi pada pasien yang menderita
gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli yang aktivitasnya sebagai
inti batu. Gangguan miksi terjadi pada pasien-pasien hiperplasia prostat, striktura
uretra, divertikel buli-buli dan buli-buli neurogenik. Pada suatu studi dilaporkan
pada pasien dengan cidera spinal dimana ia mempunyai kelainan neurogenik
blader dalam delapan tahun, 36%nya berkembang menjadi batu buli-buli. Benda
asing tersebut dibedakan menjadi iatrogenic dan non iatrogenik. Benda iatrogenic
terdiri dari bekas jahitan, balon folley kateter yang pecah, kalsifikasi yang
disebabkan karena iritasi balon kateter, staples, uretral stens, peralatan
kontrasepsi, prostetik uretral stents. Noniatrogenik disebabkan adanya benda yang
terkandung pada buli-buli seusai pasien rekreasi atau alasan yang lain. Selain itu
batu buli-buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke buli-
6
buli yang banyak dijumpai pada anak-anak yang menderita kurang gizi atau yang
sering menderita dehidrasi atau diare. Infeksi pada saluran kemih akan
mempercepat timbulnya batu. Inflamasi pada buli-buli dapat disebabkan karena
hal sekunder misalnya sinar radiasi atau infeksi shiztomiasis yang juga merupakan
predisposisi batu buli-buli. Gangguan metabolik juga merupakan faktor
predisposisi terjadi pembentukan batu. Pada pasien ini batu umumnya terbentuk
dari bahan calsium dan struvit. Pada pasien yang mempunya predisposisi
dilakukan evaluasi ada tidaknya hal yang memicu statisnya urin, misalnya BPH.
Pada perempuan yang memakai celana ketat, dan cystocele (De Jong, 2004;
Sudoyo et al, 2006).
1.1.4 Patofisiologi
Pada umumnya batu buli-buli terbentuk dalam buli-buli, tetapi pada
beberapa kasus batu buli terbentuk di ginjal lalu turun menuju buli-buli, kemudian
terjadi penambahan deposisi batu untuk berkembang menjadi besar. Batu buli
yang turun dari ginjal pada umumnya berukuran kecil sehingga dapat melalui
ureter dan dapat dikeluarkan spontan melalui uretra (De Jong, 2004; Sudoyo et al,
2006).
Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada
tampat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu
pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti
pada hyperplasia prostate benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan
keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri
atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik
yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu
yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling
mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan
mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal
yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh
dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi
oleh pH larutan, adanya koloid di dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine,
laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam
saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Lebih dari 80% batu saluran
kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupan
dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat; sedangkan
sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat (batu
infeksi), batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis
pembentukan batu-batu diatas hampir sama, tetapi suasana didalam saluran kemih
yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Dalam hal ini
misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam asam, sedangkan batu
magnesium ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa (De Jong,
2004; Sudoyo et al, 2006).
8
Pada penderita yang berusia tua atau dewasa biasanya komposisi batu
merupakan batu asam urat yaitu lebih dari 50% dan batu paling banyak berlokasi
di vesika. Batu yang terdiri dari calsium oksalat biasanya berasal dari ginjal. Pada
batu yang ditemukan pada anak umumnya ditemukan pada daerah yang endemik
dan terdiri dari asam ammonium material, calsium oksalat, atau campuran
keduanya. Hal itu disebabkan karena susu bayi yang berasal dari ibu yang banyak
mengandung zat tersebut. Makanan yang mengandung rendah pospor menunjang
tingginya ekskresi amonia. Anak-anak yang sering makan makanan yang kaya
oksalat seperti sayur akan meningkatkan kristal urin dan protein hewan (diet
rendah sitrat). Batu buli-buli juga dapat terjadi pada pasien dengan trauma
vertebra/ spinal injury, adapun kandungan batu tersebut adalah batu struvit/Ca
fosfat. Batu buli-buli dapat bersifat single atau multiple dan sering berlokasi pada
divertikel dari ventrikel buli-buli dan biasanya berukuran besar atau kecil
sehingga menggangu kerja dari vesika. Gambaran fisik batu dapat halus maupun
keras. Batu pada vesika umumnya mobile, tetapi ada batu yang melekat pada
dinding vesika yaitu batu yang berasal dari adanya infeksi dari luka jahitan dan
tumor intra vesika (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).
oksalat. Batu ini banyak diderita oleh pasien dengan gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien yang mendapat terapi antikanker, dan banyak
menggunakan obat urikosurik diantaranya tiazid, salisilat, kegemukan,
peminum alkohol, diet tinggi protein. Adapun faktor predisposisi terjadinya
batu asam urat adalah urin yang terlalu asam, dehidrasi atau konsumsi air
minum yang kurang dan tingginya asam urat dalam darah.
d. Batu jenis lain diantaranya batu sistin, batu santin, dan batu silikat sangat
jarang dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolisme yaitu
kelainan absorbsi sistin di mukosa usus. Pemakaian antasida yang mengandung
silikat berlebihan dalam jangka waktu yang lama dapat memungkinkan
terbentuknya batu silikat.
Gambar 4. IVP
3) Ultrasonografi (USG)
Batu buli akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic, efektif untuk melihat
batu yang radiopaque atau radiolucent.
Gambar 5. USG
13
4) CT scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk banyak kasus pada pasien yang nyeri perut,
massa di pelvis, suspect abses, dan menunjukkan adanya batu buli-buli yang
tidak dapat ditunjukkan pada IVP. Batu akan terlihat sebagian batu yang keruh.
5) MRI
Pemeriksaan ini akan menunjukkan adanya lubang hitam yang semestinya
tidak ada pada buli yang seharusnya terisi penuh, ini diassosiasikan sebagai
batu.
6) Sistoskopi
Pada pemeriksaan ini dokter akan memasukkan semacam alat endoskopi
melalui uretra yang ada pada penis, kemudian masuk kedalam blader.
Gambar 6. Sistoskopi
1.1.8 Pengobatan
a. Konservatif
Terapi ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Memberikan minum yang berlebihan
disertai diuretik. Dengan produksi air kemih yang lebih banyak diharapkan
dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih. Pengobatan simptomatik
mengusahakan agar nyeri, khususnya kolik, yang terjadi menghilang dengan
pemberian simpatolitik. Dan berolahraga secara teratur. Adanya batu struvit
menunjukkan terjadinya infeksi saluran kemih, karena itu diberikan antibiotik.
14
Batu strufit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila
diberikan pengobatan dengan pengasaman urin dan pemberian antiurease,
seperti Acetohidroxamic acid. Ini untuk menghambat bakteri urease dan
menurunkan kadar ammonium urin. Pengobatan yang efektif untuk pasien
yang mempunyai batu asam urat pada saluran kemih adalah dengan alkalinisasi
supaya batu asam yang terbentuk akan dilarutkan. Pelarutan batu akan terjadi
apabila pH urin menjadi lebih tinggi atau berjumlah 6,2. Sehingga dengan
pemberian bikarbonas natrikus disertai dengan makanan alkalis, batu asam urat
diharapkan larut. Potasium Sitrat (polycitra K, Urocit K) pada dosis 60 mEQ
dalam 3-4 dosis perhari pemberian digunakan untuk terapi pilihan. Tetapi
terapi yang berlebihan menggunakan sediaan ini akan memicu terbentuknya
deposit calsium pospat pada permukaan batu sehingga membuat terapi tidak
efektif lagi. Atau dengan usaha menurunkan produksi kadar asam urat air
kemih dan darah dengan bantuan alopurinol, usaha ini cukup memberi hasil
yang baik. Dengan dosis awal 300 mg perhari, baik diberikan setelah makan
(De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).
b. Litotripsi
Litotripsi merupakan tindakan endourologi untuk mengambil dan atau
menghancurkan batu buli.
Peralatan yang duigunakan:
1) Roser
2) Doek steril
3) Panendoskopi
4) Kasa steril
5) Handscoon steril
6) Kom
7) Tempat sampah
8) Jel
9) Toples
10) Aligator lithotrite
11) Teleskop dan bridge
15
12) Lithotriptor
13) Folley kateter
14) Obturator
15) Sistoskopi
16) Pinset anatomi
17) Pinset sirugis
18) Clam
19) Spuit
20) Bengkok
Teknik operasi untuk batu < 1,5 cm :
1) Setelah dibius, pasien diletakkan pada posisi lithotomi
2) Disinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10%
Gambar 7. Litotripsi
c. Terapi pembedahan
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotriptor, alat gelombang kejut
atau bila cara non bedah tidak berhasil. Walaupun demikian kita harus
memerlukan suatu indikasi. Misalnya apabila batu kandung kemih selalu
menyebabkan gangguan miksi yang hebat sehingga perlu diadakan tindakan
pengeluarannya. Litotriptor hanya mampu memecahkan batu dalam batas
ukuran 3 cm kebawah. Batu diatas ukuran ini dapat ditangani dengan batu kejut
atau sistolitotomi (De Jong, 2004; Sudoyo et al, 2006).
17
vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan
bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh
volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat
melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma
tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5
akibatnya mungkin bahwa caira prostat menetralkan keasaman cairan dan lain
tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas
sperma (Wibowo dan Paryana, 2009 ).
1.2.3 Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Smeltzer dan Bare (2002)
menyebutkan bahwa beberapa bukti yang dapat menyebabkan BPH adalah
hormon yang menyebabkan hyperplasia jaringan dan penuaan. Beberapa bukti
lain menyebutkan bahwa penyebab BPH ini berhubungan dengan adanya
beberapa teori, yaitu Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron (DHT) adalah hormon pria yang aktif dalam kelenjar prostat.
Hormon ini dibuat ketika enzim 5-alpha reduktase mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron, yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.DHT adalah
metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dalam sel prostat merupakan faktor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel
yang dapat menyebabkan gangguan pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada
berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
5alfa–reduktase dan jumlah
24
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
b. Teori Hormon (Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron) Penurunan
kadar testosteron sering terjadi pada pria dengan usia lanjut. Penurunan
produksi testosteron dan konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa di perifer dapat merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma.
Estrogen berberan dalam perkembangan stroma yang awalnya terjadi akibat
proliferasi sel oleh testosteron. Pada keadaan normal hormon gonadotropin
hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan
mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan
terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan
menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen yang dapat
berpengaruh pada estrogen dan testosteron.
c. Faktor interaksi Stroma dan Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar
pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
d. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Apoptosis pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
25
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
e. Teori Sel Stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormon
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-
sel BPH dipercayai sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
1.2.4 Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium:
a. Stadium I: ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
b. Stadium II: ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III: setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV: retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flowin continent).
Pembagian berdasarkan tingkat keparahan penderita BPH
dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom
Score) untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya
penyakit Sjamsuhidajat (2005).
26
1.2.6 Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prosta
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostatmeningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
29
d. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara objektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:
1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
e. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (buik overzich foto) untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
2) USG (ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli–buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan suprapubik.
1.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan tergantung dengan penyebab,
keparahan obstruksi, dan kondisi pasien (Smeltzer dan Bare, 2002).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Anjurkan pasien
agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu
lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung
kemih. Pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan, pemeriksaan
laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin.
33
1) Residual urin: jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
2) Pancaran urin (flow rate): dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa
Baradero et al (2007) megatakan bahwa tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada pasien BPH adalah sebgai berikut:
1) mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra;
2) mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik);
3) mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone atau disebut dengan dehidrotestosteron (DHT).
1) Pembedahan terbuka
Beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah
sbegai berikut:
35
a) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari
atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala
ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan
darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain
yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy
terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi di lakukan dekat dengan rektum. Komplikasi yang mungkin
terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk
kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah
yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
2) Pembedahan endourologi
Pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai
tenaga elektrik diantaranya:
36
dibuat dalam operasi ini, dan akan sembuh dengan membutuhkan waktu 8-12
minggu (Quinte Health Care, ____ ). Dari beberapa pengertian diatas dpat
disimpulkan bahwa Transurethral Resectionof Prostatic (TURP) adalah sebuah
prosedur bedah yang paling sering dilakukan pada pasien BPH, tanpa
pembedahan dengan menggunakan cairan irigan yang dimasukkan menggunakan
instumen up penis melalui uretra dan memotong jaringan prostat sampai terbuka
dan mengalirkannya melalui kateter.
9) Pemberian Antibiotik
10) Surat Persetujuan Operasi (Informed Consent).
b. Prosedur Operasi
1) Pasang foto pada light box
2) Lakukan SGG(Scrubbing, Gowning, dan Gloving)
3) Setelah dilakukan anestesi general pasien diletakkan dalam posisi lithotomi
4) Untuk menghindari komplikasi orchitis dilakukan vasektomi tanpa Pisau
(VTP)
5) Dilakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis scrotum dan
sebagian dari kedua paha dan perut sebatas umbilicus
6) Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan duk panjang
berlubang untuk bagian supra pubis ke kranial.
7) Dilatasi uretra dengan bougie roser 25 F sampai 29 F
8) Sheath 24F / 27F dengan obturator dimasukkan lewat uretra sampai masuk
buli-buli.
9) Obturator dilepas, diganti optik 30 dan cutting loop sesuai dengan ukuran
sheatnya.
10) Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan divertikel buli
11) Working element ditarik keluar untuk mengevaluasi prostat (panjangnya
prostat yang menutup uretra, leher buli dan verumontanu )
12) Selanjutnya dilakukan reseksi prostat sambil merawat perdarahan
13) Sebaiknya adenoma prostat dapat direseksi semuanya, waktu reseksi
paling lama 60 menit (bila menggunakan irigan aquades) dan waktu bisa
lebih lama bila menggunakan irigan glisin. Hal ini untuk menghindari
terjadinya Sindroma TUR.
14) Bila terjadi pembukaan sinus, operasi dihentikan, untuk menghindari
sindroma TUR
15) Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan ellik evakuator sampai
bersih, selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
16) Setelah selesai, dipasang three way kateter 24F dan dipasang Spoel NaCl
0,9% atau Aquades.
42
ASUHAN KEPERAWATAN
c. Pemeriksaan fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser padakeadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
2) Rectal touch atau pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) 1. 0 – 1 cm …………. = grade 0
b) 2. 1 – 2 cm …………. = grade 1
c) 3. 2 – 3 cm …………. = grade 2
d) 4. 3 – 4 cm …………. = grade 3
e) 5. > 4 cm…………… = grade 4
3) Clinical grading
Patokan banyaknya sisa urine dilakukan dengan cara pagi hari pasien
bangun tidur disuruh kencing sampai selesai kemudian masukkan
kateter VU mengukur sisa urine
1. Sisa urine 0 cc …………. = normal
2. Sisa urine 0 – 50 cc …… = grade 1
3. Sisa urine 50 – 150 cc…. = grade 2
4. Sisa urine > 150 cc ……. = grade 3
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
49
b. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih
2) Retensi urin b.d sumbata
3) Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan yang akan
dilakukan, krisis situational
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terkait
kondisi yang dialami/prosedur pembedahan
b. Intra Operatif
1) Resiko cedera berhubungan dengan tindakan operasi
2) Resiko syok berhubungan dengan tindakan operasi
c. Pasca Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, pemasangan kateter, dan
spasme kandung kemih
2) Risiko infeksi berhubungan dengan insisi operasi
3) Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan paskaoperatif dan masa
penyembuhan
51
c. Perencanaan Keperawatan
1. Pre Operasi
Diagnosa
No Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Mampu mengontrol Paint management
berhubungan tindakan nyeri (tahu penyebab a. Kaji nyeri secara komprehensif a. Mengetahui kondisi umum pasien dan
dengan fraktur keperawatan nyeri, mampu (lokasi, karakteristik, durasi, pertimbangan tindakan selanjutnya
tulang, spasme selama 1x24 jam menggunakan tehnik frekuensi, kualitas, dan faktor b. Pasien memahami keadaan sakitnya
otot, edema, diharapkan nyeri nonfarmakologi untuk presipitasi) c. Respon nonverbal terkadang lebih
kerusakan dapat berkurang mengurangi nyeri, b. Beri penjelasan mengenai menggambarkan apa yang pasien
jaringan lunak mencari bantuan) penyebab nyeri rasakan
NOC: 2. Melaporkan bahwa c. Observasi reaksi nonverbal dari d. Mempertahankan posisi fungsional
1. Pain level nyeri berkurang ketidaknyamanan tulang
2. Pain control dengan menggunakan d. Segera immobilisasi daerah fraktur e. Memperlancar arus balik vena
3. Comfort level manajemen nyeri e. Tinggikan dan dukung ekstremitas f. Mengatasi nyeri misalnya kompres
3. Mampu mengenali yang terkena hangat, mengatur posisi untuk
nyeri (skala, f. Ajarkan pasien tentang alternative mencegah kesalahan posisi pada
intensitas, frekuensi, lain untuk mengatasi dan tulang/jaringan yang cedera
dan tanda nyeri) mengurangi rasa nyeri g. Memfokuskan kembali perhatian,
4. Menyatakan rasa g. Ajarkan teknik manajemen stress meningkatkan rasa kontrol dan
nyaman setelah nyeri misalnya relaksasi nafas dalam meningkatkan kemampuan koping
berkurang h. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam manajemen nyeri yang mungkin
lain dalam pemberian obat analgeik menetap untuk periode lebih lama
sesuai indikasi h. Mengontrol atau mengurangi nyeri
pasien
52
2. Intra operasi
Diagnosa
No Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1. Resiko cedera Setelah dilakukan Tidak ada komplikasi NIC
berhubungan tindakan perawatan pembedahan pada Surgical precaution
dengan tindakan sealama 1x24 jam jaringan daerah sekitar 1. Tidurkan klien pada meja 1. Mencegah jatuhnya klien.
operasi pasien akan Risiko cedera berkurang operasi dengan posisi sesuai 2. Dapat mengetahuipemakaian
terhindar dari risiko atau hilang kebutuhan instrumen, jarum dan kasa.
cedera 2. Monitor penggunaan instrumen 3. Dengan tertinggalnya benda asing
NOC 3. Pastikantidak ada instrumen dalam tubuh klien dapat
Surgical precaution yang tertinggal dalam tubuh menimbulkan bahaya.
klien
2 Resiko syok Setelah dilakukan a. Tidak ada hematuria NIC :
berhubungan tindakan dan hematemesis Bleeding Precautions
dengan keperawatan b. Kehilangan darah a. Monitor tanda-tanda vital a. Mengetahui kondisi umum pasien
hipovolemia selama1 x24 jam, yang terlihat b. Monitor ketat tanda-tanda b. Mencegah terjadinya perdarahan
pasien tidak beresiko c. Tekanan darah dalam perdarahan berlebihan yang tidak terlihat
syok batas normal baik c. Monitor kebutuhan cairan c. Untuk mempertahankan
sistol maupun diastole pasien keseimbangan cairan tubuh pasien
NOC : d. Tidak ada perdarahan d. Prosedur pembedahan terkadang
- Blood lose severity pervagina maupun d. Lindungi pasien dari trauma dapat menyebabkan perdarahan yang
- Blood koagulation internal bleeding atau prosesur pembedahan yang berlebihan
e. Hemoglobin dan dapat menyebabkan perdarahan e. Kadar Hb dan Ht menjadi indikasi
hematokrit dalam berlebihan berkurangnya volume darah
batas normal e. Catat nilai Hb dan Ht sebelum f. Mengganti volume darah yang
dan sesudah terjadinya hilang
perdarahan
f. Kolaborasi dalam pemberian
transfusi darah
53
3. Post Operasi
Diagnosa
No Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1. Nyeri Setelah dilakukan a. Mampu mengontrol NIC :
berhubungan tindakan nyeri (tahu penyebab Pain Management
dengan insisi keperawatan nyeri, mampu a. Kaji karakteristik pasien secara a. Membantu dalam menentukan status
bedah, selama 1 x 24 menggunakan teknik PQRST nyeri pasien dan menjadi data dasar
pemasangan jam, nyeri yang nonfarmakologi untuk intervensi dan monitoring
kateter, dan dirasakan pasien untuk mengurangi keberhasilan intervensi
spasme kandung berkurang. nyeri) b. Lakukan manajemen nyeri sesuai b. Meningkatkan rasa nyaman dengan
kemih b. Melaporkan bahwa skala nyeri misalnya pengaturan mengurangi sensasi tekan pada area
NOC : nyeri berkurang posisi fisiologis yang sakit
- Pain level dengan c. Ajarkan teknik relaksasi seperti c. Peningkatan suplai oksigen pada
- Pain control menggunakan nafas dalam pada saat rasa nyeri area nyeri dapat membantu
- Comfort level manajemen nyeri datang menurunkan rasa nyeri
c. Mampu mengenali d. Ajarkan metode distraksi d. Pengalihan rasa nyeri dengan cara
nyeri (skala, distraksi dapat meningkatkan respon
intensitas, frekuensi pengeluaran endorphin untuk
dan tanda nyeri) memutus reseptor rasa nyeri
d. Menyatakan rasa e. Beri manajemen sentuhan berupa e. Meningkatkan respon aliran darah
nyaman setelah nyeri pemijatan ringat pada area sekitar pada area nyeri dan merupakan salah
berkurang nyeri satu metode pengalihan perhatian
f. Beri kompres hangat pada area nyeri f. Meningkatkan respon aliran darah
pada area nyeri
g. Kolaborasi dengan pemberian g. Mempertahankan kadar obat dan
analgesik secara periodic menghindari puncak periode nyeri
54
2. Risiko infeksi Setelah dilakukan a. tidak ada tanda a. Monitor tanda dan gejala infeksi a. Untuk mencegah terjadinya infeksi
berhubungan tindakan infeksi sistenik dan lokal, Monitor
dengan insisi keperawatan b. penyembuhan luka kerentanan terhadap infeksi
operasi selama 3 x baik b. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah b. Mendeteksi adanya infeksi
24jam, resiko c. Dorong masukkan nutrisi yang c. Nutrisi yang baik, cairan yang
ineksi terkontrol cukup, masukan cairan, dan istirahat cukup, serta istirahat yang cukup
NOC : dapat meningkatkan sistem imun
Risk Control tubuh sehingga mencegah terjadiny
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, SC., Bare B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta : EGC.
Sudoyo, A. W. et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.