Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Proses kelahiran adalah proses alami yang seharusnya menjadi pengalaman

yang positif bagi ibu dan keluarga. Tetapi ada kalanya proses kelahiran tidak dapat

dilakukan secara normal atau melalui jalan lahir ibu karena beberapa hal. Salah satu

cara yang semakin umum dilakukan jika proses persalinan secara normal tidak

memungkinkan adalah dengan bedah caesar (caesarean-section atau C-section) yaitu

dengan membuat insisi pada abdomen ibu untuk mengeluarkan bayi.

Operasi sectio caesarea (SC) adalah metode pelahiran janin melalui insisi

di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus. Lebih dari 85% operasi SC di

Amerika Serikat dilakukan karena riwayat seksio, distosia persalinan, distress janin

dan presentasi bokong. Komplikasi yang timbul tidak diragukan lagi adalah

morbiditas ibu yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelahiran

pervaginam. Penyebab utama dari komplikasi tersebut adalah terjadinya

endomiometritis, perdarahan, infeksi saluran kemih, infeksi panggul, infeksi luka

operasi dan tromboembolisme (Leveno, 2009). Handerson dalam Muttaqin & Sari

(2009) mengatakan bahwa sectio caesarea adalah pengeluaran janin melalui insisi

abdomen. Teknik ini digunakan jika kondisi ibu menimbulkan atau telah terjadi

distress pada janin. Sebagian kelainan yang sering memicu tindakan ini adalah

malposisi janin, plasenta previa, diabetes ibu, dan disproporsi sefalopelvis janin dan

ibu. SC dapat merupakan prosedur elektif atau darurat.

1
Anestesi muncul sebagai salah satu ilmu yag paling berkembang di dunia

kedokteran. Perkembangan anestasi selalu selaras dengan dunia bedah, keduannya

saling mendukung tampa bias meninggalkan satu sama lain.

Anestesi spinal adalah blok ragional yang dilakukan dengan jalan

menyuntikan obat anestetik local ke dakam ruang subarachnoid melalui tindakan

fungsi lumbal.

Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun1885 dan pada tahun 1898 baru

menggunakan 3 ml kokai 0,5% intratekal untuk anestesi spinal. Dan sekarang teknik

I ni dapat digunakann untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah,

perineum dan ekstremitas bawah.

Beberap hal yang haru diperhatikan dalam menentukan pasien yang akan

dilakukan anestessi spinal, meliputi kondisi pasien, farmaakologi obat-obatan yang

akan digunakan,serta hal-hal yang mempengaruhi tinggi blok.

Komplikasi dari spinal anestesi yang mungkin terjadi nyeri saat

penyuntikan, vasodilatasi pembuluh darah,sakit kepala,retensi urine, meningitis,

cedara pembuluh darah dan saraf, PDPH (Post Dural Puncture Headhace) pasian

akan merasakan sakit kepala ketika berdiri dan mereda saat berbaring ini terjadi

karena bocornya cairan cerebro spinal akibat penusukan dura.

Berdasarkan uraian diatas, maka kami tertarik untuk mengangkat asuhan

keperawatanyang berjudul “Asuhan keperawatan pada Ny.Cdengan sectio caesaria

dengan spinal analgesia di Instalasi Bedah Sentral RS PGI CIKINI Jakarta”.

2
B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Sebagai penata anetesi herus memahami dan mengetahui mengenai bagai mana

menerapkaan dan mempersiapkan asuhan keperawatan praanestesi, intra anestesi

dan post anestesi

2. Tujuan Khusus

a. Memahami tindakan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien post operasi

b. Merumuskan diagnosa keperawatan

c. Menentukan prioritas masalah dari diagnosa keperawatan

d. Menentukan tujuan dan rencana tindakan keperawatan

e. Menentukan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan

f. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan

g. Memberikan asuhan keperawatan

C. METODE PENULISAN

Penyusunan laporan studi kasus ini menggunakan metode deskriptif yaitu

suatu metode yang menggambarkan kelompok dalam mengamati dan merawat kasus

yang dipilih dalam bentuk laporan penerapan asuhan keperawatan melalui pendekatan

proses keperawatan secara komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual.

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

2. Mengumpulkan data melalui komunikasi secara lisan langsung dengan klien (auto

anamnesa) dan komunikasi dengan keluarga klien (allo anamnesa).

3. Pemeriksaan Fisik

3
a. Inspeksi: Untuk mengetahui keadaan fisik atau psikologi klien dengan cara

melihat.

b. Palpasi : Untuk mengetahui kelainan yang ada dengan cara meraba atau

menekan.

c. Perkusi : Untuk mengetahui apa yang ada dibawah jaringan dengan cara

mengetuk

d. Auskultasi : Untuk mendapatkan data dengan cara menggunakan stetoskop.

4. Studi Dokumentasi rekem medi pasien.

4
BAB II

TINJUAUAN TEORI

1.1 Definisi

A. Anestesi

Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara

sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar

anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.

Anestesi umumadalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara

akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara

sentral.Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan

bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional

semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan

yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang

minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon

stress secara lebih sempurna. Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik

penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang

belakang atau anestesi spinal. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik

lokal ke dalam ruang subarakhnoid.Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk

bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum,

bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan operasi

ortopedi ekstremitas inferior.

5
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90%

tingkat keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi

spinal memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih. Namun

demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya. Hasil

yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal juga disertai

pengetahuan tentang anestesi spinal mulai dari anatomi, fisiologi, farmakologi,

dan aplikasi dari anestesi spinal. Maka dari itu, makalah ini akan membahas

mengenai anestesi spinal terutama patofisiologi anestesi spinal.

1.2. Indikasi anestesi spinal

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektukm dan perineum

4. Bedah obstetri dan ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi

dengan anestesi umum ringan.

1.3. Kontraindikasi anestesi spinal

Kontraindikasi absolute Kontraindikasi relatif

Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)

Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan

Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan

6
Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan

antikoagulan psikis

Tekanan intrakranial meninggi Bedah lama

Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung

Kurang pengalaman Nyeri punggung kronis

1.4. Komplikasi tindakan

1. Hipotensi berat akibat blok simpatik terjadi venous pooling dan dapat

menurunkan curah balik ke jantung sehingga menyebabka penurunan

curah jantung dan tekanan darah.

2. Bradikardia terjadi akibat blok sampai T2-3 dan dapat terjadi tanpa

disertai hippotensi atau hipoksia.

3. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat

kendali nafas.

4. Trauma pembuluh darah

5. Trauma saraf

6. Mual dan muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi, atau spinal total

1.4. Komplikasi pasca tindakan

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

7
4. Retensio urin

5. Meningitis

2.1 Anatomi

Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral

(Gambar 16–1). Ada 7 cervical (bhb.dg.tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, dan 5

ruas verbrae lumbalis dan 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu

satu sama lain (Gambar 16–2). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi

sebagai tulang penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang

belakang juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya.

Di sepanjang medulla spinalismelekat 31pasang nervus spinalis melalui

radix anterior atau motorik danradix posterior atau sensorik. Masing–masing radix

melekatpada medulla spinalis melalui sederetan radices(radix kecil),yang terdapat

di sepanjang segmen medulla spinalis yangsesuai. setiap radix mempunyai sebuah

ganglion radixposterior, yang axon sel–selnya memberikan serabut–serabutsaraf

perifer dan pusat.

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan

ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis

tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah

lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu

turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf

spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung

tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.

8
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang

saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5

pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co)7.

Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih

panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,

segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal

tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar

saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna

vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan

sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang),

sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari

kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang

memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai

kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.

9
Gambar 1. Medula Spinalis

Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang

dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di

medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan

dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea

medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya

antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus

(jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang)

dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang

10
berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di

dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam

mengenai informasi yang disampaikannya.

Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal

dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat

mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang

terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis

sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea.

Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior),

kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-

badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis

mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka.

Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar

eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.

Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui

akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk

ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar

meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-

neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar

dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia

grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral.

11
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf

spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung

serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan

medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer,

sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan

ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf

secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di

dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka

berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang

berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat

pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam

kabel yang sama.

Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu

traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang

bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara

umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat

mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)

informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan

raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot

dan sendi.

12
Gambar 2. Traktus Desnden dan Asenden

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-

gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota

gerak.

2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas

neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena

itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau

aktivitas refleks.

3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural

sebagai respon terhadap stimulus verbal.

13
4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan

gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot

ekstensor atau otot-otot antigravitasi.

5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor,

menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas

postural yang berhubungan dengan keseimbangan.

6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

Gambar 3. Jaras kortikospinalis

14
Gambar 4. Jaras Traktus kortiko-bulbar

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan

berperan dalam diskriminasi lokasi.

2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan

ringan.

15
3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.

4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan

perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan

posisi dan perpindahan.

5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan

lama.

Gambar 5. Jaras Spinotalamikus

Setelah keluar dari foramen intervertebrale, masing–masing nervus

spinalis segera bercabang dua menjadi ramusanterior yang besar dan ramus

posterior yang lebihkecil, yangkeduanya mengandung serabut–serabut motorik

dan sensorik.

16
Gambar 6. Jaras Dorsalcolumna medial lemiscal

Gambar 7. Jaras Spinoserebelar

17
Spinal cord pada umumnya berakhir setinggi L2 pada dewasa dan L3 pada

anak-anak. Fungsi dural yang dilakukan diatas segment tersebut berhubungan

dengan resiko kerusakan spinal cord dan sebaiknya tidak dilakukan. Secara

anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah

daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif

lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi

interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka

titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4-

5.

Neuron simpatis preganglion dan postganglion

Saraf simpatis berbeda dengan saraf motorik skeletal dalam hal berikut:

setiap jaras simpatis dari medula spinalis ke jaringan yang terangsang terdiri atas

dua neuron,yaitu neuron praganglion dan posganglion. Badan sel setiap neuron

preganglion terletak di kornu intermediolateral medula spinalis dan serabut-

serabutnya bejalan melewati radiks anterior medula menuju saraf spinal terkait.

18
Gambar 8. Jaras saraf simpatis

Di semua ketinggian medula, beberapa serabut postganglion berjalan

kembali dari rantai simpatis menuju saraf-saraf spinal melalui rami abu-abu.srabut

simpatis ini semuanya menrupakan serabut tipe C yang sangat kecil,dan serabut

tersebut dengan menggunakan saraf skeleta menyebar ke seluruh bagian tubuh.

Serabut ini mengatur pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot piloerktal

rambut. Kira-kira 8 persen serabut dan saraf skeletal adalah serabut simpatis, hal

ini menunjukkan betapa pentingnya serabut simpatis.

Jaras simpatis yang berasal dari berbagai segmen medula spinalis tak perlu

didistribusikan ke bagian tubuh yang sama seperti halnya saraf-saraf spinal

somatik dari segmen yang sama. Justru saraf simpatis dari medula pada segmen T-

19
1 umumnya melewati rantai simpatis naik untuk berakhir di daerah kepala, dari

T-2 untuk berakhir di daerah leher dari T-3,T-4,T-5 dan T-6 di daerah thoraks,

dari T-7,T-8, T-9,T-10, dan T-11 ke abdomen, dan dari T-12, L-1 dan L-2 ke

daerah tungkai. Pembagian ini kuran lebih demikian dan sebagian besar tumpang

tindih.Di medula adrenal serabut-serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel

neuron khusus yang menyekresikan epinefrine dan norepinefrine ke dalam aliran

darah.

Gambar 9. Target organ saraf simpatis dan parasimpatis

Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal

sebelum bercampur dengan CSF.

 Kulit

 Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah

mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus

20
 Ligament Supraspinosa

 Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara

prosesusspinosus

 Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic

yang berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.

 Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah

 Duramater

 Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang

dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan

CSF dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.

Gambar 10. Sagital section through lumbar vertebra

21
Gambar 11. Dermatom tubuh

Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris

yang berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom

tubuh yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus

mencapai segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah

pembedahan tersebut.

22
Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan

Pembedahan Ketinggian segmen dermatom kulit

Tungkai bawah T12

Panggul T10

Uterus-vagina T10

Buli-buli, prostat T10

Testis ovarium T8

Intraabdomen bawah T6

Intraabdomen atas T4

Paha dan tungkai bawah L1

2.2 Anestesi Spinal

Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia

spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang

subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5

dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan

blokade saraf simpatis. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya

adalah analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid,

anestesi subarakhnoid dan anestesi lumbal. Teknik ini sederhana, cukup efektif

dan mudah dikerjakan.

Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan

anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah,

23
perineum dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons

stress terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan

kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas

pasien bedah dengan risiko tinggi.

2.3 Farmakologi Obat Anestetik Lokal

Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau

blokade saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan

transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.

Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf

secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat

anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat

yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak

neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga

mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah.

Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan

alkaloid larut lemak dan garam larut air. Rumus bangun terdiri dari bagian kepala

cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan cincin hidrokarbon

sebagai penghubung, bagian ekor amino tersier bersifat hidrofilik. Bagian

aromatik mempengaruhi kelarutan dalam air dan rantai penghubung menentukan

jalur metabolisme obat anestetik lokal. Struktur umum dari obat anestetik lokal

tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu membran sel saraf. Jika

dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari dua lapisan lemak dan

24
satu lapisan protein di luar dan dalam, maka struktur obat anestetik lokal gugus

hidrofilik berguna untuk transport ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna

untuk migrasi ke dalam sel saraf.

Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni

golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain,

tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain,

etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada

kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil

dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa

dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan golongan amida

dimetabolisme di hati. Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan

ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan bupivakain.

Tabel 2. Jenis anestesi lokal

Prokain Lidokain Bupivakain

Golongan Ester Amida Amida

Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit

Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam

Metabolisme Plasma Hepar Hepar

25
Dosis maksimal 12 6 2

(mg/kgBB)

Potensi 1 3 15

Toksisitas 1 2 10

2.3 Farmakokinetik dalam plasma

Berat jenis cairan serebrospinal pada suhu 37ºC ialah 1,003-1,008.

Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinal disebut

isobarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal

disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari cairan

serebrospinal disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah

jenis hiperbarik yaitu campuran antara anestetik lokal dengan dekstrosa.

2.3.1 Absorpsi

Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada

aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:

1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya

vaskularisasi tempat suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal >

kaudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.

2. Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan

vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan

26
penurunan absorpsi sampai 50% dan peningkatan pengambilan neuronal,

sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, da

meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan biasanya dari

obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan

kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor

adrenergik alfa 2.

3. Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih

lambat terjadi absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik

yang dimilikinya.

2.3.2 Distribusi

Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor-

faktor:

1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,

ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat

(fase α), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi

jaringan moderat (otot dan saluran cerna).

2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung

mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang

tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.

3. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal

karena massa dari otot yang besar.

27
2.3.3Fiksasi

Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat.

Hal ini menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma

mengurangi toksisitasnya karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma

yang bebas berdifusi ke dalam jaringan yang dapat menghasilkan efek toksik.

Namun obat yang berikatan dengan protein juga masih mampu berdifusi kedalam

plasma mengikuti gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat protein

memiliki keseimbangan yang sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan

demikian, ikatan dengan protein tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut

obat.

2.3.4 Metabolisme dan ekskresi

Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan

strukturnya:

1. Golongan ester

Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma).

Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolitnya yang larut air

diekskresikan melalui urin.

2. Golongan amida

Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal P-450 di hati. Kecepatan

metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolisme

lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit diekskresi lewat urin dan sebagian

kecil diekskresikan dalam bentuk utuh.

28
2.4 Farmakokinetik dalam cairan serebrospinal

Setelah penyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid

maka akan terjadi proses difusi obat ke dalam cairan serebrospinal sebelum

menuju target lokal sel saraf. Selanjutnya obat akan diabsorbsi ke dalam sel saraf

(akar saraf spinal dan medulla spinalis). Ada empat faktor yang mempengaruhi

absorbsi anestetik lokal di ruang subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik

lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal

sedikit mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) luas

permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal,

semakin luas daerah sel saraf yang terpajan dengan anestetik lokal maka akan

semakin besar juga absorbsi anestetik lokal oleh sel saraf. Oleh karena itu semakin

jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin

menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)

lapisan lemak pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan

distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak

faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi

pasien.

Medula spinalis mempunyai dua mekanisme untuk absorbsi anestetik lokal

yakni (1) difusi dari dairan serbrospinal ke pia meter lalu masuk ke medulla

spinalis, dimana proses difusi ini terjadi lambat. Hanya area superfisial atau

permukaan dari medulla spinalis yang dipengaruhi oleh anestetik lokal. (2)

absorbsi terjadi ruang Virchow-Robin, dimana daerah piameter banyak dikelilingi

oleh pembuluh darah yang berpenetrasi ke sistem saraf pusat. Ruang Virchow-

29
Robin terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di

medulla spinalis dan menembus sampai ke daerah terdalam medulla spinalis.

Gambar 12. Ruang periarterial Virchow-Robin yang mengelilingi medulla spinal.

Kadar lemak juga menentukan absorbsi anestetik lokal. Semakin bermielin

memerlukan konsentrasi anestetik lokal yang lebih tinggi untuk dapat memblok

impuls, karena ada kadar lemak yang tinggi di selubung mielin tersebut.

Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal

dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

a. Faktor utama

1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.

Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal

anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta

posisi pasien. Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan

serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang

30
sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada tingkat

daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat

daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian.

Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.

Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik

lokal:

- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke

arah cephalad, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah

kaudal.

- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah

kaudal, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.

- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi

lateral dan sebaliknya untuk larutan hipobarik.

- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar

penyuntikkan.

- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan

hiperbarik, anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan

puncaknya akan mengikuti lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.

Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin

singkat durasi blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi

obat di daerah injeksi.

31
2. Dosis dan volume anestetik lokal

Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka

akan semakin tinggi juga area hambatan.

b. Faktor tambahan

1. Umur

Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid

dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang

membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan

hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga

level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama.

Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah

melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika

lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur dan level

analgesia.

2. Tinggi badan

Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita

yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek.

3. Berat badan

Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga

epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman

klinis mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap

penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal.

32
4. Tekanan intraabdomen

Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi

darah vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan

serebrospinal. Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi

seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen.

5. Anatomi kolumna vertebralis

Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat

anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan

yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal.

Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah

penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad

dan mencapai kurvatura T4.

6. Tempat penyuntikkan

Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3

atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan

tusukan pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat

berkumpul di daerah sakral.

7. Arah penyuntikkan

Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan

terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad.

8. Barbotase atau kecepatan penyuntikkan

Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan

tingkat analgesia yang dicapai rendah.

33
Selain itu, volume dan berat jenis cairan serebrospinal juga mempengaruhi

penyebaran atau tingginya blok saraf. Dimana volume cairan serebrospinal yang

menurun akan meninggikan tingkat blok saraf, sedangkan bila volume cairan

serebrospinal yang meningkat akan menurunkan tingkat blok saraf. Kedua yaitu

berat jenis cairan serebrospinal yang tinggi akan mengurangi penyebaran tingkat

blok saraf, sedangkan berat jenis cairan sererbospinal yang rendah akan

menghasilkan penyebaran obat anestetik lokal yang besar.

Ketika pemberian obat anestetik lokal diberikan secara spinal, obat

memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada

target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat memberikan

efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan

protein, karena konsentrasi protein di cairan serebrospinal rendah.

Eliminasi anestetik lokal dari ruangsubarakhnoid terjadi melalui absorbsi

oleh pembuluh darah di ruang subarakhnoid dan ruang epidural. Anestetik lokal

juga berdifusi ke dalam ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan

berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural sama seperti halnya pada ruang

subarakhnoid. Aliran darah menentukan laju eliminasi anestetik lokal dari medula

spinalis. Semakin cepat aliran darah di medula spinalis, maka akan semakin cepat

juga anestetik lokal dieliminasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa konsentrasi

anestetik lokal lebih besar pada bagian posterior medula spinalis dibandingkan

dengan anterior medula spinalis, walaupun bagian anterior lebih banyak

terhubung dengan ruang Virchow-Robin. Setelah anestetik lokal diberikan, aliran

darah dapat ditingkatkan atau diturunkan ke medula spinalis, bergantung pada

34
sifat anestetik lokal tersebut, sebagai contoh tetrakain meningkatkan aliran darah

medula spinalis tapi lidokain dan bupivakain menurunkan aliran darah, yang akan

berpengaruh terhadap eliminasi dari anestetik lokal.

Vaskularisasi medula spinalis terdiri dari pembuluh darah yang ada di

medula spinalis dan di pia meter. Absorbsi anestetik ini terjadi pada pembuluh

darah di piameter dan medulla spinalis. Akibat perfusi ke medula spinalis

bervariasi, maka laju eliminasi anestetik lokal juga bervariasi.

2.5. Farmakodinamik

Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio

vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari

luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,

ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada

diantara arakhnoid dan piameter, sedangkan ruang antara ligamentum flavum dan

durameter merupakan ruang epidural.

Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan

memblok impuls sensorik, autonom dan motorik. Lokasi target dari anestesi spinal

adalah akar saraf spinal dan medulla spinalis. Dalam anestesi spinal konsentrasi

obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada

medula spinalis.

35
2.5.1 Mekanisme obat anestetik spinal

Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls

saraf atau blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui

gerbang ion natrium selektif pada membran saraf. Obat bekerja pada reseptor

spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf

terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya tak terjadi konduksi

saraf.Obat anestesi lokal setelah masuk cairan serebrospinal, berdifusi

menyebrang selubung saraf dan membran, tetapi hanya yang dalam bentuk basa

yang bisa menembus membran lipid ini. Ketika mencapai akson terjadi ionisasi

dan dalam bentuk kation yang bermuatan bisa mencapai reseptor pada saluran

natrium. Akibatnya terjadi blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium,

penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi

blokade saraf.

Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan

reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak

semua serabut saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas

terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal dan derajat mielinisasi serta

berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. Pada umumnya, serabut saraf kecil dan

bermielin lebih mudah diblok dibandingkan serabut saraf besar tak bermielin.

Anestetiklokal lebih mudah menyekat serabut yang berukuran kecil karena jarak

propragasi pasif suatu impuls listrik melalui serabut tadi lebih pendek. Semakin

besar dan tebal suatu serabut saraf (misalnya, neuron motorik), nodusnya makin

terpisah jauh satu sama lain sehingga sulit diblokade. Diameter yang kecil dan

36
sedikit atau tidak memiliki mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi

lokal dan akan lebih mudah untuk diblok. Sedangkan diameter yang besar dan

mielin yang tebal seperti pada saraf motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf

simpatis dan sensoris mempunyai lebih sedikit mielin dibandingkan saraf motorik.

Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal mulai dari

autonom, sensorik, dan motorik.

Tabel 4. Klasifikasi serabut saraf

Serabut Mielin Diameter Fungsi Kepekaan terhadap

saraf blokade

A-alfa ++ 6-22 Eferen motorik, +

aferen

proprioseptik

A-beta ++ 6-22 Eferen motorik, ++

aferen

proprioseptik

A-gamma ++ 3-6 Eferen ++

kumparan otot

(spindle)

A-delta ++ 1-4 Nyeri, suhu, +++

rabaan

37
B + <3 Otonomik ++++

preganglionik

C - 0.3-1.3 Nyeri, suhu, ++++

rabaan

Otonom

pascaganglionik

Serabut saraf C memerlukan konsentrasi obat anestesi lokal lebih sedikit

untuk memblok konduksi dibandingkan serabut tipe B dan serabut saraf tipe B

memerlukan konsentrasi lebih rendah daripada serabut saraf tipe A. secara umum

serabut saraf autonom terblok pertama kali dan serabut saraf motorik yang

terakhir.

Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih tinggi

daripada tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-3 segmen

lebih tinggi daripada blokade motorik. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi

obat anestesi lokal di dalam cairan serebrospinal semakin kearah cephalad

menjauh tempat injeksi akan berkurang, disamping serabut saraf bermielin

memerlukan paling tidak tiga nodus ranvier yang berurutan harus diblok secara

komplit untuk menghambat konduksi. Maka dari itu, urutan hilangnya fungsi sel

saraf pada anestesi lokal sebagai berikut: (1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi

pembuluh darah arteri dan vena, (2) sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan

38
tekanan, (4) proprioseptif berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik.

Bila anestetik lokal ini telah habis bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan kembali

dalam urutan terbalik yakni fungsi motorik akan kembali dulu, kemudian sensasi

raba dan nyeri, serta terakhir respon simpatis akan normal kembali seperti tekanan

darah.

Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi

dan lama kerja menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang

memiliki potensi dan lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain,

mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Grup III

meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi kuat dan lama

kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasarkan pada mula atau

awal kerjanya seperti kloroprokain, lidokain, mepivakain, prilokain, etidokain

memiliki mula kerja yang relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja sedang,

sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat.

Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten,

karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang

hidrofobik. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan

meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul.

2.5.2 Mula Kerja

Mula kerjaobat anestetik lokal dipengaruhi juga oleh (1) kelarutan dalam

lemak, dimana obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah biasanya memiliki

onset yang lebih cepat. (2) Konsentrasi relatif bentuk larut lemak tidak terionisasi

39
dan bentuk larut air terionisasi, yang ditunjukkan oleh konstanta disosiasi (pKa)

menentukan awal kerja. Pengukurannya adalah pH dimana jumlah obat bentuk

yang terionisasi dan yang tidak terionisasi sama. Obat anestetik lokal degan pKa

mendekati pH fisiologis akan mempunyai konsentrasi bentuk tak terionisasi lebih

tinggi sehingga dapat melewati membran saraf dan mengakibatkan mula kerja

yang lebih cepat. (3) Alkalinisasi obat anestetik lokal mempercepat mula kerja,

meningkatkan kualitas blok dan memperpanjang lama blok dengan meningkatkan

jumlah basa bebas yang tersedia.

2.5.3 Lama Kerja

Lama kerjaobat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam

lemak, obat dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja lebih

panjang sebab lebih lambat dikeluarkan dari sirkulasi darah. (2) Ikatan dengan

protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja, obat dengan kelarutan lemak

yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma yang tinggi terutama terhadap

alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap albumin, sebagai konsekuensinya

eliminasi memanjang. (3) Potensi dan lama kerja anestesi spinal berhubungan

dengan sifat individual obat anestesi dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi

sistemik, sehingga semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin

panjang lama kerja anestesi spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat

berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan

memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional. Pemilihan obat

lokal anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan durasi

40
dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera pulih

dan mobilisasi.

Tabel 5. Perbandingan golongan ester dan golongan amida

Klasifikasi Potensi Mula kerja Lama kerja Toksisitas

Ester

Prokain 1 (rendah) Cepat 45-60 Rendah

Kloroprokain 3-4 (tinggi) Sangat cepat 30-45 Sangat

rendah

Tetrakain 8-16 (tinggi) Lambat 60-180 Sedang

Amida

Lidokain 1-2 (sedang) Cepat 60-120 Sedang

Etidokain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Sedang

Prilokain 1-8 (rendah) Lambat 60-120 Sedang

Mepivakain 1-5 (sedang) Sedang 90-180 Tinggi

Bupivakain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah

Ropivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah

Levobupivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480

41
Tabel 6. Sifat beberapa anestetik lokal amida

Agen Waktu-Paruh Eliminasi t1/2 Vdss (L) B (L/menit)

Distribusi (jam)

(menit)

Bupivakain 28 3,5 72 0,47

Lidokain 10 1,6 91 0,95

Mepivakain 7 1,9 84 0,78

Prilokain 5 1,5 261 2,84

Ropivakain 23 4,2 47 0,44

B= bersihan, Vdss= volume distribusi pada keadaan stabil

2.6. Beberapa anestetik lokal yang sering digunakan.

1. Kokain

Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan

nafas atas dengan lama kerja 20-30 menit.

2. Prokain

Digunakan untuk infiltrasi dengan konsentrasi 0,25-0,5%, penggunaan

untuk blok saraf degan konsentrasi 1-2%. Dosis 15 mg/kgBB dan lama

kerja 30-60 menit.

42
4. Lidokain

Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja 10

menit dan relaksasi otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5 jam

tergantung konsentrasi larutan. Larutan standar 1 atau 1,5% untuk blok

perifer. 0,25%-0,5% ditambah adrenalin 200.000 untuk infiltrasi, 0,5%

untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk blok motorik dan

sensorik, 2,0% untuk blok motorik pasien berotot, 4,0% atau 10% untuk

topikal semprot faring-laring (pump spray), 5,0% unutk jeli yang dioleskan

pada pipa trakea, 5,0% lidokain dicampur 5,0% prilokain untuk topikal

kulit, 5,0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subarakhnoid).

5. Bupivakain

Konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat dibanding

lidokain tetapi lama kerja sampai 8 jam. Setelah suntikan kaudal epidural,

atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit, kemudian

menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk anestesia spinal 0,5% volum

antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan

pembedahan 0,75%.

2.7.Patofisiologi

Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio

vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari

luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,

ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada

43
diantara arakhnoid dan piameter, sedangakan ruang antara ligamentum flavum

dan durameter merupakan ruang epidural.

Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan

memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan

posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan

tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja

pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal

konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang

minimal pada medula spinalis.

Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang

subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada

daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan

impulsnya mudah dihambat, (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan

memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh

penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin

menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)

lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan

distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak

faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi

pasien. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan

bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis

dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini

tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu.

44
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi

lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural

dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang

epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal

memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai

blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi

pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu,

tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus

diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior

akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf

anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom.

2.7.1 Blokade somatik

Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan

tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat

baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral,

sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka. Pengaruh anestesi

lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut saraf, apakah itu

bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang belakang

terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin umumnya

lebih mudah diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa

konsentrasi anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi,

menjelaskan fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya

menghasilkan blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua

45
segmen lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen

lebih tinggi dari blokade motorik.

2.7.2. Blokade otonom

Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan

blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa

dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.

Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar

dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke atas

maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia

simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari

anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis.

Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang

disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus

vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5

dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus ini

menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan

menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria

dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari

vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan caramengkompensasi

vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya

mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut akselarator jantung

yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh bradikardi dan

46
penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan

venous return dengan meninggikan kepala.

Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal

ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien

sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan

usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat.

Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan

cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus

ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan

vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus

vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan

aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan

efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek

tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau

bradikardia bertahan meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus

diberikan segera.

Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal

dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang

berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak

berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh

hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa.

Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan

neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf

47
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon

adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui

sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat

menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini.

Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh darah

dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada pembuluh

darah di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan berhubungan dengan

luas permukaan pembuluh darah yang kontak dengan anestetik lokal. Anestetik

lokal yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi akan meningkatkan absorpsi

kedalam jaringan, sehingga mengurangi konsentrasi. Anestetik lokal juga

berdifusi ke dalam ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke

dalam pembuluh darah epidural.

2.8. Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh4

1. Sistem kardiovaskular

- Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.

- Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.

- Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.

- Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang

berat termasuk hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular,

dan aritmia yang dapa mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular

dan fibrilasi.

48
2. Sistem pernafasan

- Relaksasi otot polos bronkus

- Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal

atau depresi langsung pusat pengaturan nafas.

- Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini

hanya berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi

diafragma, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital

akibat penurunan signifikan dari expiratory reserve volume. Pasien ini

akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta

batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac output dan

tekanan arteri pulmonal serta peningkatan ventilasi atau

ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan

tekanan oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun

harus diberikan oksigen yang tinggi untuk membantu pernafasan.

3. Sistem pencernaan

Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat

blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan

sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual

dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena

blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual

muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis

menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan

49
demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal

yang tinggi.

4. Sistem saraf pusat

Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan

tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik

berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang

istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf

pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi

pernafasan, tidak sadar, koma.

5. Imunologi

Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan

derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.

6. Sistem muskuloskeletal

Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi,

hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan

nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.

7. Ginjal dan hepar

Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi

vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun

sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan

begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta urin

output masih dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran

darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi.

50
8. Endokrin dan metabolisme

Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres

metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa

peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin serta

renin angiotensin aldosteron.

2.7.Managemen efeksamping pada anestesi spinal

Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal

ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/kg pada pasien

sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun

denganusaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat.

Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan

cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus

ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan

vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus

vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan

aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan

efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek

tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau

bradikardia bertahan meskipun telah intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena)

harus diberikan segera.

Untuk mencegah terjadinya hipotensi maka sebaiknya tetap membatasi

ketinggian blokade simpatis dibawah T1-5 karena saraf simpatis yang keluar dari

segmen tersebut menginervasi simpatis jantung. Bila terjadi hipotensi maka

51
penyebab dari hipotensi tersebut harus ditangani dengan baik. Penurunan cardiac

output dan aliran balik vena harus ditangani dan bolus kristaloid sering digunakan

untuk meningkatkan volume vena. Untuk meminimalkan hipotensi saat anestesi

spinal maka diberikan cairan kristaloid 500-1000 ml intravena sebelum atau saat

blokade saraf. Penanganan hipotensi sangat penting agar miokardium dan otak

tetap mendapatkan perfusi yang baik. Pemantauan hati-hati terhadap tekanan

darah seperti pemberian oksigen tambahan harus dilakukan saat anestesi spinal.

Pemberian cairan juga harus diawasi dari kelebihan cairan yang akan memicu

terjadinya penyakit jantung kongestif, edema paru yang memerlukan pemasangan

kateter setelah pembedahan. Kateter kandung kemih sendiri juga dapat

menimbulkan masalah infeksi saluran kemih.

Penanganan farmakologi terhadap hipotensi yang utama adalah

menggunakan vasopresor. Gabungan alfa dan beta adrenergik akan lebih baik

dibandingkan hanya alfa adrenergik untuk penanganan hipotensi dan ephedrine

adalah salah satu pilihannya. Atrophine juga bermanfaat namun obat

simpatomimetik akan lebih efektif dibandingkan vagolitik. Cardiac output dan

resistensi vaskular perifer akan ditingkatkan oleh ephedrine dan akan

meningkatkan tekanan darah. Jadi pada pasien dengan hipotensi dan bradikardia

sebaiknya digunakan ephedrine, sedangkan phenylephrine baik untuk pasien

dengan hipotensi dan takikardia. Bradikardia refrakter dengan atau tanpa hipotensi

sebaiknya digunakan epinephrine dan dapat diulang serta ditingkatkan dosisnya

sampai efek yang diinginkan. Selain itu, cara yang paling efektif dan praktis

adalah dengan memposisikan pasien Trendelenburg atau kepala lebih rendah.

52
Posisi ini tidak boleh lebih dari 20º karena dengan Trendelenburg yang ekstrim

akan memicu penurunan perfusi serebral dan aliran darah karena meningkatnya

tekanan vena jugular. Posisi Trendelenburg ini juga mengubah ketinggian blok

anestesi spinal pada pasien dengan larutan hiperbarik. Hal ini dapat ditangani

dengan meninggikan bagian atas tubuh dengan bantal yang diletakkan dibawah

bahu sementara tetap menjaga bagian bawah tubuh lebih tinggi dari jantung.

Gambar 13. Algoritma penanganan hipotensi setelah anestesi spinal

53
Tabel 6. Manajemen hipotensi

Posisi kepala lebih rendah 5º

Menjaga volume cairan

Denyut jantung :

<60 kali per menit Atropine 0,3 mg

60-80 kali per menit Ephedrine 3 mg

>80 kali per menit Metaraminol 0,5 mg

Blok saraf frenikus mungkin tidak terjadi bahkan dengan anestesi spinal

total, kejadian apnea dapat diselesaikan dengan resusitasi hemodinamik, hal

menunjukkan bahwa hipoperfusi batang otak lebih bertanggung jawab dari pada

blok saraf frenikus.

Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat dapat mengandalkan otot

aksesori pernapasan (otot interkostal dan abdominal) secara aktif untuk inspirasi

atau ekspirasi. Tingginya level blokade saraf akan merusak otot-otot ini.

Demikian pula, batuk dan pembersihan sekresi memerlukan otot ini untuk

ekpirasi. Untuk alasan ini, blok neuraksial harus digunakan dengan hati-hati pada

pasien dengan cadangan pernapasan terbatas. Efek ini perlu dipertimbangkan

untuk tidak menggunakan instrumen jalan napas yang berlebih dan ventilasi

tekanan positif . Untuk prosedur bedah di atas umbilikus , teknik lokal anesteasi

54
murni mungkin tidak menjadi pilihan terbaik bagi pasien dengan penyakit paru

yang parah.

2.9 Komplikasi

Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:

ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat.

a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest

dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari

anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-pasien yang

rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas

dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih. Gejala

awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan,

mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang.

Jika penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka akan muncul

gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan

kesadaran dan apnea, maka penanganan airway dan breathing berupa

pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan. Selanjutnya

penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg

dan vasopresor.

1. Hipotensi

Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik.

Ketinggian dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat

dilihat dari perubahan kardiovaskular terutama blokade simpatis T1-L2. Hipotensi

55
dan bradikardia adalah efek samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis.

Faktor risiko hipotensi antara lain hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian

blokade sensoris, usia diatas 40 tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum dan

regional. Konsumpsi alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian

blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan meningkatkan hipotensi setelah

anestesi spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi non obstetri.

Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi.

Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos

pembuluh darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi

simpatis. Karena pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi

total pembuluh darah perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun

15-18% bila cardiac output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri

koroner, resistensi pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah

anestesi spinal. Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang

maksimal bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium

kanan, gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika

vena terletak diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan

meningkat. Aliran balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi

pasien saat anestesi spinal.

Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang

signifikan setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau

ASA 1 mempunyai risiko tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga

meningkatkan risiko bradikardia. Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri

56
berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang mengatur denyut jantung keluar dari

segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan menimbulkan bradikardia.

Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia karena tekanan

pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac untuk

menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan

anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat

dan tepat.

2. Retensi urin

Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung

kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat

pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin

sangat berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda

adanya kerusakan saraf yang serius.

a. Lokasi penyuntikkan

1. Nyeri punggung

Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu

repon peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat

berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari

komplikasi hematoma spinal dan abses.

2. Postdural puncture headache

Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati

lubang pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran

57
cairan serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura,

tentorium dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri

kepala pada posisi duduk atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala

bilateral, frontal, retro orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-

72 jam setelah prosedur.

3. Hematoma spinal

Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor

yang meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan

atau penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi

spinal berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi

saraf dan menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan

cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan

progresif, disfungsi sfingter.

b. Toksisitas obat

1. Transcient neurological symptoms

Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai

bawah. Gejala umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan

kembali menjadi normal. Ini terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi

setelah beberapa hari. Mekanisme pasti belum dapat diketahui namun secara

teoritis bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak bermielin

dibandingkan anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan

anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini membuat peregangan pada serabut

akar saraf lumbosacral, perfusi menurun dan membuat saraf lebih mudah

58
mendapatkan efek toksik dari anestetik lokal. Pecegahan berupa pemakaian

bupivakain sebagai alternatif lainnya.

2. Sindrom cauda equina

Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain

5%. Sindrom cauda equina bersifat permanen dan berupa disfungsi

sfingter, defisit sensorik-motorik dan parese. Tingkat neurotoksisitas

pada anestetik lokal yakni lidokain = tetrakain > bupivakain >

ropivakain.

B. Sectio Caesaria (SC)

Section caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan

pada dinding uterus melalui dinding perut. (Rustam Mochtar,1992)

Sectio Caesarian ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan

berat badan diatas 500gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh

(Gulardi & Wiknjosastro, 2006)

Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan

membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)

Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan untuk

melahirkan janin dengan cara membuka dinding perut (laparatomi) dan

dinding uterus (histerektomi). (dunn j. Leen obstetrics andgynekology).

Jadi operasi section caesaria adalah suatu pembedahan guna

melahirkan janin ( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding

abdomen dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut

dan dinding perut dinding rahim agar anak lahir dengan utuh dan sehat.

59
Manuaba (2000) indikasi ibu melakukan sectia caesarea adalah

rupture urteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.

Sedangkan dari janin adalah fatal distress dan janin besar melebihi 4.000

gram. Dari beberapa factor section caesaria diatas dapat diuraikan

beberapa penyebab section caesaria sabagai beriki:

1. CPD (Chepalo Pelvik Dispropotion )

CPD adalah ukuran lingkar pinggul ibu tidak sesuai dengan ukuran

lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat

melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan

susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang

merupakanjalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lehir

sacara alami. Bentuk panggul yang meninjukan kelainanatau

panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses

persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.

Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul

menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi

abnormal.

2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)

Pre-eklamssi dan eklamsi merupakan penyakit yang langsung

disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah

pendarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab

kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.

60
Karena itu diagnose dini amatlah penting, yaitu mempu mengenali dan

menobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.

3. KPD (Ketuban Pecah Dini)

KPD adalah kondisi pecahnya kantung ketuban yang membuat air

ketuban merembes, meskipun hari perkiraan lahir (HPL) belum dating.

Ada dua jenis KPD yakni PPROM (Preterm premature rupture of

membrans) yang terjadi jika pecah sebelum usia kangdungan 37

minggu. Dan PROM (Prematur rupture of membranes) jika ketuban

pecah setelah usia kandungan 37 minggu.

Ibu yng mengalmi ketuban pecah dini akan merasakan keluar cairan

dari vagina secara terusmenerus tenpa henti.cairan ini berwarna bening,

tidak berbau. Keluarnya cairan disertai dengan mules di perut.

C. Peran Perawat Anestesi

Pelaksanaan pelayanan anestesi dalam permenkes No. 31/2013

 Perawat anestesi dalam melaksanakan pelayanan anestesi berada di

bawah supervisi DSAn yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu (pasal 14)

 Perawat anestesi dalam menjalankan pelayanan anestesi berwenang

untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan anestesi pada (pasal

15) :

a. Pra anestesi

b. Intra anestesi

61
c. Pasca anestesi

 Boleh melakukan pelayanan sendiri bila tidak ada dokter atau untuk

menyelamatkan nyawa ( pasal 17 dan 18 ) → syarat memiliki : STRPA

dan SIPPA.

Tindakan asuhan keperawatan pra anaestesi (pasal 16 ayat 1)

a. Pemeriksaan dan penilaian status fisik klien ( ASA 1-5 )

b. Pemeriksaan tanda tanda vital

c. Persiapan administrasi pasien

d. Analisi hasil pengkajian dan merusmuskan masalah pasien

e. Evaluasi tindakan keperawatan pra anestesi, mengevaluasi secara mendiri

maupun kolaboratif

f. Mendokumentasikan hasil ananmnesis/pengkajian

g. Persiapan mesin anestesi secara menyeluruh setiap kali akan digunakan

dan memastikan bahwa mesin dan monitor dalam keadaan baik dan siap

pakai

h. Pengontrolan persediaan obat obatan dan cairan setiap hari untuk

memastikan bahwa semua obat obatan baik obat anestesi maupun obat

emergency tersedia sesuai standar Rumah Sakit.

i. Memastikan tersedianya sarana dan pra sarana anestesi berdasarkan

jadwal, waktu dan jenis oeprasi tersebut

62
Tindaka asuhan keperawatan intra anestesi (pasal 16 ayat 2)

a. Menyiapkan peralatan dan obat obatan sesuai dengan perencanaan tehnik

anestesi

b. Membantu pelaksanaan anestesi sesuai dengan instruksi DSAn

c. Membantu pemasangan alat monitoring non invasif

d. Membantu pemasangan alat monitoring invasif

e. Pemberian obat anestesi

f. Mengatasi penyulit yang timbul

g. Pemeliharaan jalan nafas

h. Pemasangan alat ventilasi mekanik

i. Pemasangan alat nebulisasi

j. Pengakhiran tindakan anestesi → ekstubasi

k. Pendokumentasiaan semua tindakan yang dilakukan agar seluruh tindakan

tercatat dengan baik dan benar → kartu anestesi merupakan salah satu alat

bukti di pengadilan

Tindakan asuhan keperawatan pasca anestesi (pasal 16 ayat 3)

a. Merencanakan tindakan keperawatan pasca tindakan anestesi → sesuai

dengan perkiraan penyulit pasca anestesi : muntah, obstruksi jalan

nafas/laringspasme, hipo ventilasi karena pengaruh obat anestesi, hipo

tensi, perdarahan, menggigil dan lain sebagainya.

b. Pelaksanakan tindakan dalam manajemen nyeri

63
c. Pemantauan kondisi pasien pasca pemasangan kateter, epidural dan

pemberian obat anestesi regional

d. Evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesi

regional ( kapan efek SAB hilang )

e. Pelaksanaan tindakan dalam mengatasi kondisi gawat

f. Pendokumentasian, pemakaian obat obatan dan alat alat kesehatan yang

dipakai

g. Pemeliharaan peralatan agar siap untuk dipakai pada tindakan anestesi

selanjutnya.

64
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANALGESIA REGIONAL SPINAL ANESTESI

PADA Ny. C DENGAN SECTIO CAESAREA DI INSTALASI KAMAR BEDAH

RS PGI CIKINI

3.1 Pra Operatif

3.1.1 Anamnesa

1) Identitas pasien

Nama : Ny. C

Umur : 41 Tahun

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Nikah

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : IRT

Suku : Sunda

Alamat : Komp. Depkes. 1 Jl. Husada 7 No.105 RT.

01 RW. 09 Kel. Jati Bening Kec. Pondok

Gede Bekasi

Tanggal masuk : 04 November 2019, Pukul 15.48

Tanggal pengkajian : 05 November 2019, Pukul 09.00

65
Nomor Register : 00340553

Diagnosa medis : G4P3A0 Letak Oblig, Pre Eklamsi

2) Identitas penanggung jawab

Nama : Tn. Y

Umur : 47 Tahun

Hub. Dengan pasien : Suami

Pekerjaan : wiraswasta

Pendidikan : SLTP

Alamat : Bekasi

3.1.2 Pengkajian

Dilakukan pada Tanggal 05 November 2019

1. Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

Data Subyektif :

- Pasien mengatakan sudah pernah operasi caesar 22 tahun yang lalu

dengan riwayat kejang sebelum operasi

- Pasien mengatakan takut terulang kejang pada kehamilan sekarang

- Pasien mengatakan tidak sadar saat dilakukan operasi anak pertama

- Pasien mengatakan tidak mengkonsumsi obat hipertensi selama

kehamilan sekarang

66
Data Objektif :

- Pasien tampak cemas

2. Pola nutrisi- metabolik

Data subyektif :

- Pasien Mengatakan tidak mengalami penurunan berat badan akhir-

akhir ini

- Pasien mengatakan tidak ada pantangan dalam makanan, jenis

makanan sehari-hari adalah nasi, lauk pauk, buah-buahan dan susu

- Pasien mengatakan mengkonsumsi vitamin polamil genio dan DHA

prolekta dengan dosis 1 X sehari selama kehamilan

- Pasien mengatakan tidak ada gangguan nafsu makan

Data objektif :

- Berat badan : 64 kg

- Tinggi Badan 150 cm

- Turgor kulit elastis

- Sklera Unikterik

- Akral teraba hangat

- Mukosa bibir lembab

- Pasien tidak menggunakan gigi palsu

- Hasil laboratorium HB: 10 g/dl, Leukosit : 9,100 /µ, Ht : 30%

3. Pola Eliminasi

Data subyektif :

67
- Pasien mengatakan tidak ada masalah dengan buang air besar dan

buang air kecil

- Pasien mengatakan sudah buang air besar tadi pagi

Data objektif : -

4. Pola Aktivitas dan Latihan

Data subjektif :

- Pasien mengatakan mampu beraktifitas sendiri

- Pasien mengatakan mampu mengerjakan pekerjaan rumah sehari-

hari

- Pasien mengatakan tidak pernah melakukan senam kehamilan

Data objektif :

- Vital sign :

TD : 134/75 mmHg

Nadi : 101 X/menit

RR : 18 X/menit

PO2 : 98 %

Suhu : 35,9 ºC

- Pernafasan teratur, tidak ada suara nafas tambahan

- Leher tampak simetris tidak ada tampak kekakuan

- Skoliosis (-)

- Kelainan tulang belakang (-)

- Kekuatan otot 5555 5555

5555 5555

68
- ECG : sinus takikardi

5. Pola Tidur dan Istirahat

Data subjektif :

- Pasien mengatakan sebelum dirawat tidak ada gangguan pola tidur,

semenjak dirawat di rumah sakit pasien mengatakan sulit tidur

- Pasien mengatakan tidur tidak mengorok

- Pasien mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat tidur

Data objektif : -

6. Pola Persepsi dan kognitif

Data subjektif :

- Pasien mengatakan usia anak yang ketiga sudah berumur 10 tahun

dan pasien merasa sudah tua pada kehamilan sekarang

- Pasien mengatakan pada kehamilan 7 bulan kaki dan tangannya

udema

Data objektif :

- Pada saat pengkajian pasien dalam keadaan sadar, dapat

bekomunikasi dengan baik, dapat mendengar dan melihat dengan

normal

- Mata tampak simetris

- Konjungtiva unanemis

- Sklera unikterik

- Reflek pupil terhadap cahaya baik

- Tes pendengaran baik

69
- Skala nyeri : 0

- Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 31 Oktober 2019

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan rujukan

Hematologi
Darah perifer lengkap
Laju endap darah 66 Mm/jam 0-20
Leukosit 9,1 10ˆ3/µL 5,0-10,0
Haemoglobin 10,0 g/dl 12,0-14,0
Eritrosit 3,51 10ˆ6/µL 4,00-4,50
Hematokrit 30 % 37-43
Retikulosit 23 permil 5-15
Trombosit 285 10ˆ3/µL 150-450
MCV 85 FL 81-92
MCH 285 pg 27,0-32,0
MCHC 33,4 g/dL 32,0-37,0
Masa perdarahan 2 menit 1-6
APTT
APTT pasien 29,1 detik 25,9-36,6
APTT kontrol 36,9 detik
Masa protrombin (PT)
PT pasien 10,3 detik 9,9-11,8
PT kontrol 11,9 detik
Urinalisis 1,015-1,025
Berat jenis 1,015 g/mL
Warna kuning kuning
Kejernihan Keruh jernih
Esterase Leukosit 2+/125 sel/µL Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
pH 6,0 4,8-7,4
Protein 1+30/dl Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 2,0 < 0,2
Keton Negatif Negatif

7. Pola persepsi dan Konsep Diri

Data subjektif :

70
- Pasien mengatakan cemas dengan kehamilan saat ini karena riwayat

operasi caesar dengan kejang dan saat ini pasien merasa usianya

sudah tua .

Data objektif :

- Pasien bertanya lamanya operasi akan berlangsung

8. Pola Peran Hubungan Dengan Sesama

Data subjektif :

- Pasien mengatakan keluarga mendukung tindakan operasi yang

akan dilakukan

Data objektif :

- Tampak suami dan keluarga mendampingi pasien

9. Pola Produksi dan Seksualitas

Data subjektif :

- Pasien mengatakan bahwa hubungan seksual dengan suami tidak

ada masalah

Data objektif : -

10. Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stres

Data subjektif :

- Pasien mengatakan cemas dengan operasi caesar yang akan

dilaksanakan

Data objektif :

- Pasien tampak cemas

- Vital sign:

71
TD : 134/75 mmHg

Nadi : 101 X/menit

RR : 18 X/menit

PO2 : 98 %

Suhu : 35,9 ºC

11. Sistem Nilai Kepercayaan

Data Subyektif :

- Pasien mengatakan hanya meminta kelancaran dan kesembuhan

kepada Tuhan Yang Maha Esa

Data Obyektif :

- Pasien tampak berdoa

- Pasien beragama islam

3.1.3.Kesan Anestesi

Perempuan 41 tahun dengan G4P3A0 atas indikasi pre eklamsi, letak obliq

dengan ASA II rencana operasi sectio caesaria.

3.2. Intra Operatif

Data Subyektif :

- Pasien mengatakan kepala terasa pusing, mual (+), dada terasa

sesak, nyeri ulu hati dan lemas

Data Obyektif :

- Kesadaran composmentis

72
- Keadaan umum lemah

- Pasien tampak gelisah

- Bibir pasien tampak pucat

- Terdapat bekas tusukan pada punggung pasien

- Cairan masuk : RL 1500 cc

- Perdarahan operasi 500 cc

- Urine 500 cc

- Monitoring vital sign

Jam TD HR RR SUHU SpO2 KET


WIB (mmHg) (x/menit) (x/menit) (ºC) (%)

09.40 134/75 101 18 35,9 98 Mulai spinal


anestesi
09.45 102/64 105 20 98 Mulai operasi

09.50 85/54 111 20 98

09.55 105/62 102 18 99 Bayi lahir

10.00 92/60 98 18 99

10.05 112/65 88 18 100

10.10 120/68 84 18 100

10.15 118/64 84 18 100

10.20 116/65 82 18 100

10.25 121/70 78 18 100

10.30 120/68 78 18 100

10.40 118/64 74 18 100

10.45 122/70 74 18 36,3 100

73
3.3 Pasca Operasi

Data Subyektif :

- Pasien merasa pusing

- Pasien mengeluh kedinginan

- Pasien mengatakan kedua kaki belum bisa digerakkan

Data Obyektif :

- Airway : jalan nafas paten

- Breathing :

 Pernafasan adekuat

 Terpasang nasal kanul 2 L/menit

 Suara nafas vesikuler, whezing (-), ronchi (-)

 Tidak ada otot nafas tambahan

 Pernafasan cuping hidung (-)

 Vital sign :

TD : 124/75 mmHg

Nadi : 75 X/menit

RR : 18 X/menit

PO2 : 100%

Suhu : 35,9 ºC

74
- Circulation :

 Monitoring EKG : irama teratur, sinus takikardia

 Vital sign :

TD : 124/75 mmHg

Nadi : 75 X/menit

RR : 18 X/menit

PO2 : 100%

Suhu : 35,9 ºC

- Neurologic :

 Kesadaran : composmentis

 Bisa mengikuti perintah

 Orientasi baik

- Bromage score : 3

- Genitourinary :

 Intake : infuse RL 1500 cc

 Output : urine 500 cc berwarna kuning, perdarahan 500 cc

75
3.4 Analisa Data

Data Etiologi Masalah


Pre Operasi
Data subjektif :
Krisis situasional Cemas
- Pasien mengatakan sudah pernah (tindakan
operasi caesar 22 tahun yang lalu pembedahan dan
dengan riwayat kejang sebelum anastesi)
operasi
- Pasien mengatakan takut terulang

kejang pada kehamilan sekarang

- Pasien mengatakan tidak sadar saat

dilakukan operasi anak pertama

- Pasien mengatakan tidak


mengkonsumsi obat hipertensi
selama kehamilan sekarang
Data objektif :
- Pasien tampak cemas

Intra Operasi
Data subjektif : Vasodilatasi, Resiko penurunan
penurunan curah jantung
- Pasien mengatakan kepala terasa tahanan perifer
pusing, mual (+), dada terasa sesak,
nyeri ulu hati dan lemas
Data objektif :
- Kesadaran composmentis
- Keadaan umum lemah

- Pasien tampak gelisah

- Bibir pasien tampak pucat

76
- Terdapat bekas tusukan pada

punggung pasien

- Cairan masuk : RL 1500 cc

- Perdarahan operasi 500 cc

- Urine 500 cc

- Vital sign :

1. Sebelum masuk obat spinal

TD : 134/75 mmHg

Nadi : 101 x/menit

RR : 18 x/menit

Suhu : 35,9°C

SpO2 : 98%

2. Setelah pasien di spinal

TD : 84/54 mmHg

Nadi : 111 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 35,9°C

SpO2 : 98%
Post Operasi
Data Subyektif : Faktor lingkungan Hipotermi

- Pasien merasa pusing

- Pasien mengeluh kedinginan

- Pasien mengatakan kedua kaki belum

bisa digerakkan

77
Data Obyektif :

- Airway : jalan nafas paten

- Breathing :

 Pernafasan adekuat

 Terpasang nasal kanul 2 L/menit

 Suara nafas vesikuler, whezing

(-), ronchi (-)

 Tidak ada otot nafas tambahan

 Pernafasan cuping hidung (-)

 Vital sign :

TD : 124/75 mmHg

Nadi : 75 X/menit

RR : 18 X/menit

PO2 : 100%

Suhu : 35,9 ºC

- Circulation :

 Monitoring EKG : irama

teratur, sinus takikardia

 Vital sign :

TD : 124/75 mmHg

Nadi : 75 X/menit

RR : 18 X/menit

SpO2 : 100%

78
Suhu : 35,9 ºC

- Neurologic :

 Kesadaran : composmentis

 Bisa mengikuti perintah

 Orientasi baik

- Bromage score : 3

79
Intervensi, Implementasi dan Evaluasi

Diagnosa Intervensi
Tujuan Implementasi Evaluasi
Keperawatan Intervensi Rasional
Cemas b/d Krisis Setelah dilakukan a. Jelaskan prosedur a. Kecemasan a. Melakukan Tgl :
situasional tindakan termasuk sensasi klienakan SIGN IN 05 November 2019
(tindakan keperawatan selama seperti keadaan berkurang dengan b. Menjelaskan
pembedahan/ 1x15 menit selama operasi informasi yang prosedur S:
section caesarea) kecemasan pasien diberikan perawat termasuk - Pasien mengatakan
berkurang dengan
b. Temani klien b. Dengan ditemani sensasi seperti sudah siap untuk
kriteria hasil:
a. klien tampak untuk perawat keadaan dioperasi
tenang meningkatkan kecemasan klien selama operasi O:
b. klien mengatakan keamanan dan akan sedikit c. Menemani - Ekspresi wajah
rasa takutnya menurunkan berkurang klien untuk tenang
berkurang kecemasan meningkatkan - Prosedur sudah
c. pasien mengatakan keamanan dan dijelaskan oleh
siap untuk menurunkan petugas bedah dan
dilakukan operasi c. Dengarkan c. Membantu kecemasan anestesi
keluhan pasien menentukan jenis d. Mendengarkan Vital sign:
intervensi yang keluhan pasien TD : 124/75 mmHg
akan dilakukan e. Mengidentifik Nadi : 75 X/menit
asi perubahan RR : 18 X/menit
level
PO2 : 100%
d. Identifikasi d. Mengetahui kecemasan
perubahan level perkembangan f. Mendorong Suhu : 35,9 ºC
kecemasan kadaan klien klien untuk
mengungkapk
an secara
verbal tentang

80
e. Dorong klien e. Membuat perasaan perasaan,
untuk terbuka dan persepsi dan
mengungkapkan bekerja sama ketakutan
secara verbal dalam g. Memertahanka
tentang perasaan, memberikan n kontak mata
persepsi dan informasi yang h. Membantu
ketakutan akan membantu menurunkan
identifikasi stimulus
masalah pembuat
cemas
f. Pertahankan f. Kontak mata i. Menunjukkan
kontak mata menumbuhkan penerimaan
hubungan saling j. Menjaga
percaya antara ketenangan
perawat dan k. Memindahkan
pasien pasien
g. Turunkan stimulus g. Menurunkan keruangan OK
pembuat cemas stimulus cemas 4
dapat mencegah
cemas yang
berkelanjutan

h. Tunjukkan h. Sikap penerimaan


penerimaan perawat dapat
meingkatkan
kepercayaan

81
i. Jaga i. suasana yang
ketenangan tenang dapat
mengurangi
stimulus pembuat
cemas

Resiko Setelah dilakukan a. Monitor a. Monitor tanda- a.Monitor tada- Tgl : 5 November
penurunan curah tindakan tanda- tanda vital tanda vitaldapat tanda vital 2019
jantung b/d keperawatan (sistolik,distolik memberikan
vasodilatasi cardiac pump dan rata-rata. gambaraan S: Klien mengatakan
penurunan efekctiveness, tentang keadaan
tahanan perifer circulation tidak ada nyeri dada
pasien
status,vital sign
status dengan b. Monitor status b. Dengan b. memonitor status O:
criteria hasil : kardiovaskuler memonitoring kardiovaskuler - Pendarahan 500cc
tidak adanya nyeri
(denyut kardiovaskuler - Produksi urine
dada,ttv
normal,tidak ada jantung,irama dapat 500cc
penurunan dan frekuensi) memberikaan
- Infuse RL 1500 cc
kesadaran. gambaran adanya
tanda dan gejala - Vital sigt :
curah jantung TD : 124/75 mmHg
Nadi : 75 X/menit
c. Catat adanya c. Penurunan c. Mencatat tanda RR : 18 X/menit
tanda dan gejala curah jantung akan dan gejala PO2 : 100%
penurunan curah sangat penurunan curah Suhu : 35,9 ºC
jantung. berpengaruh jantung
terhadaap sistemik

82
tubuh, mencatat A: Tidak terjadi
dapat penurunan curah
memudahkan jantung.
dalam melakukan
P: Pertahankan
tindakan
keperawatan. intervensi

d. Monitor status d. Respirasi yang d. Memonitor status


respirasi buruk bias saja respirasi untuk
(dispneu,kelelaha disebabkan oleh gejala gagal jantung
n,takipneu dan edema paru dan
orthopnea) untuk ini erat kaitannya
gejala gagal dengan terjadinya
jantung gagal jantung

e. Auskultasi bunyi e. Adanya e. Mengauskultasi


nafas : bunyi krakel,mengi, bunyi nafas : bunyi
tambahan, dan dapat tambahan dan bunyi
bunyi jantung : menghasilkan jantung: murmur
murmur kongesri paru
terhadap
terjadinya gagal
jantung kronik

83
f. Berikan f. meningkatkan f. Mempertahanka
oksigentambahan sedianan oksigen n posisi tirah
sesuai indikasi. untuk kebutuhan baring pada
miokard untuk pasien nyaman.
melwan efek
hipoksia/iskemia.

g. Berikan cairan g. Dapat g. Membetikan


IV kristoloid dan menutunkan okssigen
koloid sebelum insiden hipoksia tambahan sesuai
tindakan spinal indikassi 2 lpm
analgesia 500-
1000ml.

h. Kalaborasi h. obat diberikan h. Memberikan


pemberian obat- oleh dokter cairan IV
obatan : digunakan untuk kristoloid dan
pemberian meringankan koloid sesuai
vasopressor yaitu volume indikasi.
efedrin 5-20mg sekucup,member
dan atropine kontraktilitas dan
sulfat 0.5mg IV menurunkan
kongesti
1. ,

84
Hipotermi b/d Setelah dilakukan a. Pantau suhu, a. Perubahan suhu a. Mencatat tanda- Tgl : 5 November
factor tindakan warna dan yang sinifikan tanda vital : 2019
lingkungan, suhu keperawatan selama kelembapan kulit membantu dalam - Suhu 35,9˚C
ruangan dalam waktu 1x15 pasien selama di memberikan - TD 125/75 S: Pasien
menit, suhu tubuh ruang recovery intervensi mengatakan tubuh
mmHg
dalam batas normal
dengan criteria hasil :
room - Hr 75x/menit sudah terasa hanagt
b. Pemberian - Rr 18x/menit
- Suhu 36,5 ˚C
b. Berikan penghangat O: - Suhu : 36,5 ºC
– 37 ˚C
penghangat tambahan dapat b. Memasang - Menggigil (-)
- Akral hangat
tambahan mengurangi warmer touch - Akral hangat
- Temperatur
efaporasi dan pada tubuh pasien
ruangan
radiasi sehingga c. Memberikan A: Masalah teratasi
nyaman
suhu tubuh dapat cairan infuse
(24˚C)
dipertahankan hangat
d. Mengatur suhu P: Pasien pindah ke
c. Pantau suhu c. Menjaga suhu ruangan ruangan
ruangan recovery ruangan tetap
room konstan sehingga
tidak terjadi
pertukaran suhu
tubuh dan suhu
d. Kolaborasi ruanga
dengan dokter d. Obat obatan
dalam pemberian seperti tramadol,
obat untuk pethidin dalam
mengatasi menghilangkan
hipotermi menggigil

85
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

a. Pada kasus ini pasien Ny.C diagnosa G2P3A0 kehamilan 37 minggu


dilakukan tidakan sectio Caesarea.
b. Pasien dilakukan anestesi dengan tehnik regional analgesia spinal
menggunakan marcain heavy 0.5% dengan dosis 15 mg.
c. Laporan anestesi
Pembedahan dilakukan pada tanggal 5 november 2019 , Pukul 09.40 WIB
Jam TD HR RR SUHU SpO2 KET
WIB (mmHg) (x/menit) (x/menit) (ºC) (%)

09.40 134/75 101 18 35,9 98 Mulai spinal


anestesi
09.45 102/64 105 20 98 Mulai operasi

09.50 85/54 111 20 98

09.55 105/62 102 18 99 Bayi lahir

10.00 92/60 98 18 99

10.05 112/65 88 18 100

10.10 120/68 84 18 100

10.15 118/64 84 18 100

10.20 116/65 82 18 100

10.25 121/70 78 18 100

10.30 120/68 78 18 100

10.40 118/64 74 18 100

10.45 122/70 74 18 36,3 100

86
d. Lama operasi pada pasien ini adaalah 65 menit dengan perdarahan 500cc.
Pasien kemudian dibawaa ke ruangan pemulih, Selama di ruangan
pemulihan, hemodinamik stabil, brommage score 3.

4.2 Saran
Dokter obgyn, dokter ahli anestesi serta piñata anestesi bersama-sama
dalam meningkatkan pelayanan bedah yang mengutamakan keselamat pasien.

87
ASUHAN KEPERAWATAN ANALGESIA REGIONAL SPINAL ANESTESI

PADA Ny. C DENGAN SECTIO CAESAREA DI INSTALASI

KAMAR BEDAH RS PGI CIKINI

Di susun oleh :

Ahmadi.B AMK

Ns.Astuti,S.Kep

Herru Wibawanto,Amd.Kep

Layak Paneo,Amd.Kep

PPSDM RS PGI CIKINI

PELATIHN PENATALAKSANA ANESTESI

JAKARTA 2019

88
89

Anda mungkin juga menyukai