Anda di halaman 1dari 28

Kepustakaan

Deliberate Hypotension

Oleh :
dr. Ronald Daniel Tampubolon
220151100006

Pembimbing :
dr. Deiby D. Wuisan, Sp.An-TI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I


BAGIAN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
RSUP PROF. DR. R. D KANDOU
MANADO
2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 5
2.1. Definisi.................................................................................................. 5
2.2. Fisiologi dan Patofisiologi .................................................................... 6
2.2.1. Sirkulasi Otak ............................................................................... 7
2.2.2. Sirkulasi Koroner ......................................................................... 9
2.2.3. Sirkulasi Ginjal ............................................................................. 9
2.2.4. Sistem pernapasan ........................................................................ 9
2.2.5. Sirkulasi Hepar ........................................................................... 10
2.3. Indikasi ............................................................................................... 10
2.3.1. Deliberate Hypotension dan Kondisi Intraoperatif .................... 12
2.3.2. Deliberate Hypotension dan Kebutuhan Transfusi Darah ......... 13
2.4. Teknik dan Protokol .......................................................................... 14
2.4.1. Agen Farmalogis ......................................................................... 15
2.4.2. Agen Non-Farmakologis ............................................................. 18
2.4.3. Pengelolaan Pasien...................................................................... 19
2.5. Komplikasi dan Manajemen ............................................................. 22
2.6. Aplikasi Khusus dalam Anestesi ....................................................... 24
2.6.1. Bedah Orthopedi......................................................................... 24
2.6.2. Bedah Saraf ................................................................................. 25
2.6.3. Bedah Vaskular ........................................................................... 25
2.6.4. Bedah Plastik dan Rekonstruktif ............................................... 25
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiolog sebagai penjaga utama keselamatan pasien selama prosedur


operasi, memegang tanggung jawab besar dalam memastikan tidak hanya
keberhasilan anestesi tetapi juga stabilitas fisiologis pasien. Pemahaman mendalam
tentang fisiologi dan patofisiologi, kemampuan untuk membuat keputusan kritis
secara cepat, dan keterampilan komunikasi yang efektif dengan tim bedah adalah
aspek penting dari peran ini. Dalam konteks deliberate hypotension, posisi anestesi
menjadi lebih kompleks dan dinamis, memerlukan keahlian klinis dan penerapan
teknik spesifik untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko.
Tindakan anestesiolog sebagai pengatur utama dalam penerapan deliberate
hypotension, mulai dari perencanaan praoperatif hingga pemantauan intraoperatif
dan manajemen pasca operasi.1 Dalam fase praoperatif, anestesiolog harus
melakukan evaluasi menyeluruh terhadap status medis pasien, mempertimbangkan
faktor-faktor seperti riwayat penyakit kardiovaskular, penggunaan obat-obatan, dan
potensi risiko deliberate hypotension. Keputusan untuk menggunakan deliberate
hypotension memerlukan penilaian yang cermat tentang manfaat dan risiko, dengan
mempertimbangkan jenis operasi dan kondisi spesifik pasien. 2
Selama fase intraoperatif, anestesiolog mengendalikan teknik deliberate
hypotension melalui penggunaan agen farmakologis atau teknik anestesi regional,
dengan pemantauan ketat terhadap parameter hemodinamik pasien. Keahlian klinis
diperlukan untuk menyesuaikan dosis obat dan mempertahankan tekanan darah
pada level yang diinginkan tanpa mengorbankan perfusi ke organ vital.
Kemampuan untuk merespons secara cepat terhadap setiap tanda hipoperfusi atau
komplikasi lainnya adalah kritis, memerlukan koordinasi yang erat dengan tim
bedah dan pemanfaatan teknologi pemantauan yang canggih. 3
Setelah operasi, peran anestesiolog berlanjut dalam pemantauan dan
manajemen pasca anestesi, memastikan bahwa pasien pulih dari efek deliberate
hypotension dengan stabil. Ini melibatkan penilaian terhadap fungsi organ,
manajemen tekanan darah, dan pemantauan untuk deteksi dini komplikasi yang
mungkin timbul akibat hipotensi yang disengaja. Anestesiolog juga memiliki peran

3
penting dalam edukasi pasien dan keluarga tentang perawatan pasca operasi,
termasuk tanda-tanda peringatan komplikasi yang harus diwaspadai.4
Peran anestesiolog dalam konteks deliberate hypotension menunjukkan
kompleksitas dan dinamika praktek anestesi. Hal ini membutuhkan kombinasi dari
pengetahuan medis yang luas, keterampilan teknis yang canggih, dan kemampuan
untuk bekerja sebagai bagian dari tim multidisiplin. Dengan memfokuskan pada
keselamatan pasien sebagai prioritas utama, anestesiolog memainkan peran kunci
dalam memastikan bahwa deliberate hypotension, sebagai strategi untuk
meningkatkan hasil operasi, diterapkan dengan cara yang paling aman dan efektif.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Deliberate hypotension atau hipotensi yang disengaja merupakan
sebuah strategi klinis yang digunakan dalam praktek medis, khususnya dalam
bidang anestesi, untuk mengurangi tekanan darah pasien secara terkontrol
selama prosedur operasi. Teknik ini bertujuan untuk mengurangi perdarahan
intraoperatif, meningkatkan visibilitas lapangan operasi bagi ahli bedah, dan
meminimalisir risiko transfusi darah. Dalam konteks anestesi, penggunaan
deliberate hypotension membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang
fisiologi dan patofisiologi pasien, serta kemampuan untuk mengelola potensi
risiko dan komplikasi yang dapat timbul.1
Sejarah penerapan deliberate hypotension dalam anestesi dapat
dilacak kembali ke pertengahan abad ke-20, ketika teknik ini mulai diakui
sebagai metode yang berpotensi menguntungkan dalam berbagai tindakan
operasi. Pengembangan teknik ini dipengaruhi oleh kemajuan dalam
farmakologi anestesi, yang menyediakan berbagai agen yang dapat digunakan
untuk mencapai dan mempertahankan deliberate hypotension dengan aman.
Dengan perkembangan teknologi pemantauan yang semakin canggih,
anestesiolog kini dapat mengontrol tekanan darah dengan lebih presisi,
sehingga meminimalisir risiko dan meningkatkan keamanan pasien. 5
Dalam perkembangannya, deliberate hypotension telah digunakan
dalam berbagai jenis operasi, termasuk bedah ortopedi, neurologi, dan operasi
yang melibatkan struktur vaskular kaya. Kunci dari keberhasilan teknik ini
adalah pemilihan pasien yang tepat, pemilihan agen farmakologis yang
sesuai, dan monitoring yang ketat selama prosedur berlangsung. Seiring
bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, teknik deliberate hypotension
terus disempurnakan untuk meningkatkan efektivitas dan keamanannya. 6
Penerapan deliberate hypotension dalam praktek medis anestesi
merupakan contoh dari kemajuan dalam medis dan anestesiologi yang
bertujuan untuk meningkatkan hasil operasi dan keamanan pasien. Dengan

5
pendekatan yang berbasis bukti dan disesuaikan dengan kebutuhan individu
pasien, deliberate hypotension terus berkontribusi pada pengembangan
praktek bedah modern. Kesuksesan dalam penerapannya tidak hanya
bergantung pada pemahaman teori dan teknik, tetapi juga pada komunikasi
tim, keputusan klinis yang tepat, dan kemampuan untuk menyesuaikan
strategi dengan kondisi pasien yang berubah-ubah.4

2.2. Fisiologi dan Patofisiologi


Pemahaman mendalam tentang fisiologi dan patofisiologi yang
terlibat dalam regulasi tekanan darah merupakan landasan penting dalam
penerapan deliberate hypotension dalam anestesi. Tekanan darah, sebagai
indikator utama perfusi jaringan, diatur melalui interaksi kompleks antara
jantung, pembuluh darah, dan sistem saraf otonom. Jantung berfungsi sebagai
pompa yang mengatur output jantung, sedangkan pembuluh darah
menentukan resistensi vaskular sistemik. Sistem saraf otonom, melalui saraf
simpatis dan parasimpatis, memodulasi fungsi jantung dan tonus vaskular
sebagai respons terhadap berbagai rangsangan internal dan eksternal. 7
Dalam kondisi normal, regulasi tekanan darah bertujuan untuk
memastikan perfusi yang adekuat ke organ vital, termasuk otak, jantung, dan
ginjal. Mekanisme ini melibatkan baroreseptor yang terletak di arkus aorta
dan karotis, yang sensitif terhadap perubahan tekanan darah. Jika tekanan
darah menurun, baroreseptor akan merangsang sistem simpatis untuk
meningkatkan frekuensi jantung, kontraktilitas miokardium, dan
vaskonstriksi perifer, yang secara keseluruhan berfungsi untuk meningkatkan
tekanan darah kembali ke nilai normal.7
Deliberate hypotension akan menginduksi penurunan tekanan darah
di bawah nilai normal melalui penggunaan agen farmakologis atau teknik
anestesi yang berbeda. Meskipun tujuannya adalah untuk mengurangi
perdarahan dan meningkatkan visibilitas lapangan operasi, intervensi ini
dapat mengganggu mekanisme fisiologis normal yang menjaga perfusi
jaringan. Akibatnya, terjadi penurunan aliran darah ke organ vital, yang jika
tidak dikelola dengan benar, dapat menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. 8

6
Dampak deliberate hypotension pada sirkulasi darah dan perfusi
organ sangat bergantung pada durasi dan tingkat penurunan tekanan darah,
serta kondisi fisiologis pasien sebelum operasi. Pada pasien dengan cadangan
kardiovaskular yang terbatas, seperti pada kasus penyakit arteri koroner atau
penyakit vaskular perifer, risiko terjadinya iskemia dapat meningkat secara
signifikan. Oleh karena itu, pemilihan pasien, pemantauan hemodinamik
yang ketat, dan penyesuaian dosis agen hipotensif harus dilakukan dengan
hati-hati untuk meminimalisir risiko.8
Selain itu, deliberate hypotension mempengaruhi distribusi regional
aliran darah, yang mungkin mengakibatkan redistribusi darah dari organ yang
kurang vital ke organ yang lebih vital (misalnya, dari kulit dan otot ke jantung
dan otak). Mekanisme kompensasi ini bertujuan untuk menjaga perfusi ke
organ vital tetapi juga menekankan pentingnya pemantauan dan pengelolaan
yang cermat untuk memastikan bahwa perfusi organ terjaga selama periode
hipotensi.9
Anestesi hipotensif yang dikontrol atau diinduksi menyebabkan
banyak perubahan fisiologis dalam aliran darah organ-organ berbeda dan
fungsi-fungsi mereka. Banyak sistem organ kita memiliki mekanisme
adaptasi tertentu dan setiap organ berusaha untuk mempertahankan aliran
darah dan fungsi seluler mereka dengan menggunakan mekanisme adaptasi
tersebut yang dikenal sebagai otororegulasi. Efek anestesi hipotensif yang
diinduksi pada organ-organ yang berbeda dapat disimpulkan sebagai berikut:

2.2.1. Sirkulasi Otak


Perfusi sirkulasi otak adalah salah satu faktor kritis yang
membatasi penurunan MAP karena bahkan gangguan minimal dalam
fungsi postoperatif organ ini tidak dapat diterima. Meskipun aliran
darah normal ke otak (Cerebral Blood Flow, CBF) dipertahankan pada
45-50 ml/100 gm/menit melalui otororegulasi dalam rentang MAP 50-
150 mmHg pada pasien normotensi, nilai mutlak untuk aliran darah
ke otak di bawah mana iskemia serebral terjadi belum diketahui; ada
laporan aliran darah sekecil 25 ml/100 gm/menit tanpa adanya bukti

7
iskemia pada pasien yang menjalani endartektomi karotid di bawah
anestesi umum. Namun, beberapa faktor di bawah anestesi
memengaruhi aliran darah dan perfusi ke otak seperti tekanan parsial
karbon-dioksida arteri (PaCO2), tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2), suhu, agen anestesi, dan lain-lain.
i. PaCO2: Dalam rentang otororegulasi MAP, PaCO2 arteri
adalah faktor penentu terpenting untuk aliran darah ke otak.
CBF meningkat secara linear sebesar 1 ml/100gm/menit
untuk setiap peningkatan 1 mmHg dalam PaCO2 di atas 20
mmHg dan peningkatan ini mencapai suatu titik jenuh pada
PaCO2 80 mmHg, di atas mana tidak ada peningkatan lagi
dalam CBF. Hubungan antara karbon-dioksida dan CBF ini
jelas relevan dalam situasi klinis terutama ketika anestesi
hipotensif diinduksi disertai dengan hipokapnia; yang dapat
merugikan fungsi serebral.
ii. PaO2: Berbeda dengan efek PaCO2, penurunan PaO2 ringan
hingga sedang tidak memiliki efek yang signifikan pada
CBF. Secara umum, CBF tidak berubah secara signifikan di
otak sampai PaO2 jaringan turun di bawah 50 mmHg, di
bawah mana CBF meningkat secara substansial dan hipoksia
akut parah dapat meningkatkan CBF hingga 400% dari nilai
istirahat.
iii. Suhu: CBF berubah sebesar 5-7% secara linear dengan
perubahan suhu. Hipotermia menyebabkan penurunan laju
metabolisme oksigen serebral (CMRO2) sebesar 5-7% dan
vasokonstriksi yang sesuai, sedangkan peningkatan suhu
tubuh memiliki efek kebalikannya.
iv. Agen anestesi: Semua agen inhalasi volatile menyebabkan
peningkatan CBF yang tergantung pada dosis dan penurunan
CMRO2 dalam urutan berikut: halothane> enflurane>
isoflurane. Semua agen inhalasi modern mempertahankan
otororegulasi serebral pada dosis di bawah Konsentrasi

8
Alveolar Minimal (MAC) yang minimal. Agen inhalasi baru
sevoflurane dan desflurane menyebabkan peningkatan CBF
yang berhubungan dengan dosis (hingga 2 MAC) dan
penurunan CMRO2. Perubahan ini menyerupai isoflurane.
Berbeda dengan agen inhalasi, semua agen anestesi intravena
menyebabkan penurunan baik CBF maupun CMRO2 dengan
kemungkinan pengecualian ketamin.

2.2.2. Sirkulasi Koroner


Berbeda dengan aliran darah miokardium ventrikel kanan
yang terjadi baik pada sistol maupun diastol, aliran darah ventrikel kiri
hanya terjadi pada fase diastolik dan bergantung pada perbedaan
tekanan antara diastolik arteri dan tekanan diastolik ventrikel kiri
(LVEDP). Kontrol aliran darah koroner secara otomatis diatur
terutama oleh perubahan resistensi vaskular sesuai dengan kebutuhan
metabolik. Hipotensi yang disengaja dapat secara substansial
mengurangi aliran darah koroner dengan mengurangi tekanan
diastolik. Namun, hal ini juga secara bersamaan mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium karena pengurangan afterload
atau/maupun preload.

2.2.3. Sirkulasi Ginjal


Seperti pada CBF, aliran darah ginjal dan produksi urine diatur
otomatis dalam rentang tekanan darah yang luas dalam MAP 80-180
mmHg. Anestesi hipotensif biasanya menyebabkan penurunan filtrasi
glomerulus dan produksi urine. Selain itu, opioid dan agen volatile
merangsang sekresi hormon antidiuretik (ADH). Semua faktor ini
menyebabkan oliguria selama anestesi hipotensif.

2.2.4. Sistem pernapasan


Dua perubahan fisiologis penting terjadi dalam sistem
pernapasan sebagai respons terhadap anestesi hipotensif. Pertama,

9
dengan anestesi hipotensif, aliran darah paru-paru gravitasi ke daerah
tergantung dari paru-paru meningkatkan ruang mati fisiologis yang
lebih ditandai pada posisi kepala yang miring. Kedua, obat-obatan
yang digunakan untuk menginduksi hipotensi menghambat
vasokonstriksi paru-paru akibat hipoksia, dengan demikian
meningkatkan campuran intra-pulmoner dan ketidaksesuaian
ventilasi/perfusi. Efek-efek ini dapat memanifestasikan sebagai
hiperkarbia, peningkatan gradien karbon dioksida arteri terhadap
karbon dioksida end-tidal, dan hipoksemia.

2.2.5. Sirkulasi Hepar


Anestesi volatile (terutama halothane) menyebabkan
pengurangan dosis tergantung pada keluaran jantung dan tekanan
darah yang mengakibatkan pengurangan aliran darah total ke hepar
dan portal. Berbeda dengan anestesi inhalasi, efek agen anestesi
intravena hanya memiliki dampak sedang pada aliran darah arteri
hepar dan tidak memiliki pengaruh buruk yang berarti pada fungsi
hepar pascaoperasi. Namun, terlepas dari teknik anestesi; hipotensi
yang diinduksi tampaknya ditoleransi dengan baik oleh hati yang
sehat dan tidak ada data yang dilaporkan mengenai morbiditas atau
mortalitas akibat hipoperfusi hepar selama hipotensi yang disengaja.

2.3. Indikasi
Penggunaan deliberate hypotension dalam anestesi merupakan
strategi yang telah terbukti efektif untuk memenuhi berbagai kebutuhan klinis
dalam praktek bedah.2 Indikasi klinis untuk penerapan teknik ini mencakup
berbagai jenis operasi yang memerlukan pengurangan perdarahan
intraoperatif untuk memfasilitasi visibilitas lapangan operasi dan mengurangi
risiko komplikasi yang terkait dengan kehilangan darah. Operasi pada area
yang sangat vaskular seperti bedah saraf, bedah tulang belakang, prosedur
ortopedi, dan operasi plastik dan rekonstruktif adalah beberapa contoh di
mana deliberate hypotension dapat memberikan manfaat signifikan. Selain

10
itu, teknik ini juga diindikasikan dalam situasi di mana penghematan darah
menjadi prioritas, seperti pada pasien dengan keberatan terhadap transfusi
darah karena alasan pribadi atau medis. 10
Manfaat utama dari hipotensi yang disengaja adalah kemampuannya
untuk mengurangi perdarahan intraoperatif. 2 Dengan menurunkan tekanan
darah secara terkontrol, aliran darah ke area operasi diminimalkan, yang
secara langsung mengurangi risiko perdarahan dan membutuhkan transfusi
darah. Hal ini tidak hanya memperbaiki visibilitas lapangan operasi,
memungkinkan ahli bedah untuk bekerja dengan lebih presisi dan efisiensi,
tetapi juga mengurangi durasi operasi dan potensi morbiditas yang terkait
dengan kehilangan darah yang berlebihan. Selain itu, pengurangan kebutuhan
untuk transfusi darah mengurangi risiko terkait transfusi, seperti reaksi alergi,
penularan infeksi, dan komplikasi imunologis. 10
Peningkatan visibilitas lapangan operasi merupakan manfaat
signifikan lainnya dari deliberate hypotension. Dalam operasi yang
memerlukan presisi tinggi, seperti prosedur neurologis atau mikrovaskular,
kejelasan visual yang ditingkatkan memungkinkan identifikasi dan
pelestarian struktur vital, mengurangi risiko kerusakan jaringan dan
memperbaiki hasil pasien. Dengan demikian, deliberate hypotension
berkontribusi pada keamanan operasi dan efektivitas, menghasilkan hasil
yang lebih baik dengan komplikasi yang lebih sedikit. 1
Penerapan deliberate hypotension juga memiliki implikasi positif
pada pemulihan pasien pasca operasi. Dengan mengurangi kehilangan darah
dan kebutuhan transfusi darah, pasien cenderung mengalami pemulihan yang
lebih cepat, dengan risiko lebih rendah dari komplikasi pasca operasi seperti
infeksi atau kelainan fungsi organ. Ini berkontribusi pada penurunan durasi
rawat inap di rumah sakit dan mempercepat proses pemulihan, yang pada
gilirannya meningkatkan kepuasan pasien dan mengurangi biaya perawatan
kesehatan.1
Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun manfaatnya
signifikan, penggunaan deliberate hypotension harus disesuaikan dengan
kondisi klinis individu pasien. Seleksi pasien yang tepat, pemantauan

11
intraoperatif yang ketat, dan kemampuan untuk menyesuaikan parameter
hemodinamik secara dinamis adalah kunci untuk memaksimalkan manfaat
dan meminimalkan risiko terkait dengan teknik ini. 11 Oleh karena itu,
keputusan untuk menggunakan deliberate hypotension harus dibuat
berdasarkan evaluasi komprehensif terhadap risiko dan manfaat, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor spesifik pasien dan kompleksitas prosedur
yang dihadapi.11

2.3.1. Deliberate Hypotension dan Kondisi Intraoperatif


Kehilangan darah bedah ditentukan oleh banyak faktor,
terutama tingkat invasivitas operasi dan metode untuk mengamankan
hemostasis bersamaan dengan status hemodinamik pasien, status
koagulasi, obat praoperasi, posisi selama operasi, dan lain-lain. Teknik
hipotensi terkontrol digunakan untuk mengurangi kehilangan darah
yang signifikan dan kebutuhan transfusi atau untuk menyediakan
lapangan operasi kering untuk memfasilitasi kondisi operasi. Evaluasi
kondisi lapangan operasi sangat subjektif dan sulit diukur karena
penilaian bergantung sepenuhnya pada penilaian ahli bedah saja.
Idealnya, beberapa nilai pengukuran objektif seperti durasi operasi
mungkin lebih cocok sebagai pengukuran pengganti kondisi lapangan
operasi karena lapangan operasi yang buruk selalu menyebabkan
durasi operasi yang lebih lama. Beberapa penelitian tentang kondisi
lapangan operasi melaporkan lapangan operasi yang lebih baik di
bawah anestesi hipotensif dibandingkan dengan anestesi normotensif.
Namun, tidak ada perbedaan signifikan dalam durasi operasi dalam
penelitian tersebut. Tinjauan Cochrane Database terbaru tentang
hipotensi yang disengaja menggunakan propofol dalam bedah sinus
endoskopik oleh Boonmak et al melaporkan lapangan operasi yang
lebih baik meskipun tidak ada perbedaan dalam kehilangan darah
operasi dan durasi operasi.

12
2.3.2. Deliberate Hypotension dan Kebutuhan Transfusi Darah
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi
kehilangan darah dan kebutuhan transfusi dengan hipotensi terkontrol
dalam berbagai jenis prosedur bedah mayor, di mana kehilangan darah
dan transfusi merupakan kekhawatiran nyata. Berkaitan dengan
Prosedur Pinggul Mayor, hipotensi terkontrol telah terbukti
mengurangi kehilangan darah dan kebutuhan transfusi hampir 50%.
Menggabungkan hipotensi terkontrol dengan transfusi autolog dapat
menjadi teknik yang berpotensi berharga untuk mengurangi
kehilangan darah signifikan dan transfusi darah allogenis dalam
prosedur pinggul mayor. Beberapa penelitian melaporkan penurunan
signifikan dalam kehilangan darah dan kebutuhan transfusi dalam
operasi korektif tulang belakang mayor; tetapi beberapa penelitian
gagal menunjukkan penurunan signifikan dalam kebutuhan transfusi
darah. Namun, penelitian ini melaporkan kondisi bedah yang lebih
baik karena lapangan operasi kering yang disebabkan oleh hipotensi
terkontrol. Beberapa penelitian lain menggunakan teknik hipotensi
terkontrol bersamaan dengan teknik transfusi autolog dalam bentuk
predonasi dan penggunaan teknik penghematan sel intraoperatif
melaporkan penurunan signifikan dalam kebutuhan transfusi darah
allogenik. Ada laporan kasus kebutaan yang terkait dengan hipotensi
terkontrol dengan teknik hemodilusi khususnya dalam bedah tulang
belakang dalam posisi prono. Jadi, keamanan menggabungkan
hemodilusi dengan hipotensi terkontrol tetap menjadi perhatian.
Beberapa uji klinis telah membandingkan kehilangan darah
intraoperatif dalam anestesi normotensif dan hipotensif dalam
prosedur kepala dan leher. Luasnya kehilangan darah intraoperatif dan
kebutuhan transfusi allogenik jauh lebih sedikit dalam anestesi
hipotensi dibandingkan dengan anestesi normotensif. Dalam sebuah
studi terbaru menggunakan teknik hipotensi terkontrol pada luasnya
kehilangan darah, kualitas lapangan operasi, dan durasi operasi dalam
kasus maksilofasial melaporkan penurunan signifikan dalam

13
kehilangan darah dan lapangan operasi yang lebih baik tetapi durasi
operasi tidak dipengaruhi oleh teknik hipotensi. Hipotensi terkontrol
juga dilaporkan mengurangi kehilangan darah dan kebutuhan transfusi
dalam berbagai operasi seperti diseksi torakoabdominal dari kelenjar
getah bening, splenektomi, dan shunt lineoranal, kistektomi radikal,
prostatektomi radikal, dan banyak prosedur ortopedi.

2.4. Teknik dan Protokol


Dalam praktik anestesi, penerapan deliberate hypotension
membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang berbagai teknik dan agen
farmakologis, serta pengembangan protokol pengelolaan pasien yang
komprehensif sebelum, selama, dan setelah penerapan hipotensi.
Keberhasilan teknik ini bergantung pada kemampuan untuk mencapai
penurunan tekanan darah yang diinginkan tanpa mengorbankan perfusi organ
yang adekuat, memastikan keselamatan pasien sepanjang prosedur.
Selama bertahun-tahun, dua strategi utama telah digunakan untuk
mencapai anestesi hipotensi: (a) meningkatkan tingkat anestesi / analgesia
dan (b) anestesi standar dan pemberian obat hipotensi. Tekanan darah adalah
hasil dari curah jantung dan resistensi vaskular sistemik. Lagi pula, curah
jantung ditentukan oleh denyut jantung dan volume stroke yang kembali
bergantung pada preload, kontraktilitas, dan afterload. Jadi, beragam teknik
dan kombinasi farmakologis, protokol dapat dimanfaatkan pada tingkat
prekardial, kardial, atau postkardial untuk memberikan nilai tekanan darah
yang diinginkan. (a). Meningkatkan tingkat anestesi / analgesia Semua agen
anestesi inhalasi atau intravena yang saat ini tersedia dan opioid
menyebabkan hipotensi kecuali ketamin. Agen anestesi modern dengan onset
dan offset tindakan yang cepat hampir menghilangkan penggunaan obat
antihipertensi untuk memberikan anestesi hipotensi terkontrol. Agen anestesi
inhalasi yang lebih baru, seperti isoflurane, sevoflurane, dan desflurane,
adalah vasodilator yang kuat dan secara signifikan mengurangi resistensi
vaskular sistemik. Pada konsentrasi inspirasi yang lebih tinggi (di atas 1

14
MAC) dari masing-masing agen inhalasi menyebabkan vasodilatasi serebral
yang mendalam dan hilangnya otororegulasi serebral yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Kekurangan lain dari agen inhalasi adalah
takikardia refleks dan risiko hipertensi pascaoperasi akibat refleks
baroreseptor yang tidak terhambat dan stimulasi simpatis oleh anestesi ini.
Penurunan tekanan darah dengan anestesi inhalasi tidak terkontrol secara
cermat dan ketika digunakan sendiri memerlukan konsentrasi tinggi untuk
mencapai penurunan tekanan darah yang signifikan. Propofol, agen anestesi
intravena yang banyak digunakan, telah digunakan sebagai bagian dari
anestesi intravena total (TIVA) untuk memberikan anestesi hipotensi.
Tinjauan Cochrane Database terbaru tentang hipotensi yang disengaja
menggunakan propofol dalam bedah sinus endoskopik oleh Boonmak et al
melaporkan lapangan operasi yang lebih baik meskipun tidak ada perbedaan
dalam kehilangan darah operasi dan durasi operasi. 12

2.4.1. Agen Farmalogis


Deliberate hypotension dapat dicapai melalui berbagai
metode, termasuk penggunaan agen farmakologis yang secara
langsung memengaruhi hemodinamik atau melalui teknik anestesi
regional yang menginduksi vasodilatasi regional. Agen farmakologis
yang umum digunakan termasuk vasodilator langsung seperti
nitroprusid natrium, yang bekerja dengan cepat untuk mengurangi
resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah. Beta-blocker, seperti
esmolol, dapat digunakan untuk mengontrol output jantung,
sementara agen seperti dexmedetomidine memiliki efek sedasi yang
dapat menurunkan tekanan darah melalui pengurangan aktivitas
simpatis. Pilihan agen tergantung pada karakteristik spesifik pasien
dan jenis operasi yang dilakukan, dengan pertimbangan terhadap
onset, durasi aksi, dan profil efek samping agen tersebut.13

15
2.4.1.1. Analgesik opioid
Opioid telah digunakan dengan cermat dalam anestesi
sebagai adjuvan untuk agen hipotensi lainnya untuk menginduksi
hipotensi disengaja. Meskipun opioid yang berbeda memiliki efek
yang serupa pada tekanan darah, karena onset yang lebih lambat dan
waktu clearance yang lebih lama, banyak opioid tidak disukai
sebagai agen tunggal untuk menginduksi hipotensi sampai hadirnya
remifentanil. Remifentanil, karena profil farmakologisnya yang unik
dengan metabolisme yang cepat yang menjamin pemulihan
postoperatif yang cepat dan terprediksi bahkan setelah infus yang
lama. Remifentanil juga mempertahankan stabilitas hemodinamik
seperti opioid kuat lainnya. Remifentanil untuk menginduksi dan
mempertahankan hipotensi mudah dan aman bahkan dalam
kelompok usia pediatrik; itu dapat menggantikan esmolol atau
nitroprusida dalam hipotensi terkontrol ketika dikombinasikan
dengan propofol atau sevoflurane.12

2.4.1.2. Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah agonis alpha-2 yang poten selektif
dan memiliki aksi simpatolitik sentral dan perifer, tindakan
antinociceptive yang menifestasi sebagai ansiolisis, sedasi,
hipotensi, bradikardia, analgesik, dan efek penghemat anestesi
dengan karakteristik unik yang tidak menyebabkan depresi
pernapasan. Dexmedetomidine telah digunakan secara efektif dalam
manajemen anestesi yang luas sebagai adjuvan anestesi untuk
keseimbangan anestesi. Perannya sebagai agen hipotensi dalam
anestesi umum dapat dibandingkan dengan teknik yang umum
digunakan lainnya untuk anestesi hipotensi. Karena durasi aksi yang
relatif lama, penggunaan dexmedetomidine sebagai agen tunggal
untuk anestesi hipotensi membawa risiko pemulihan yang lambat
dari anestesi dan sedasi pascaoperatif yang memanjang. Efek

16
samping seperti itu dapat dihindari dengan menggunakannya dalam
kombinasi dengan opioid atau teknik berbasis inhalasi.12

2.4.1.3. Anestesi spinal/epidural


Anestesi spinal/epidural menyebabkan blok simpatis yang
mengakibatkan penurunan resistensi vaskular sistemik, penurunan
preload, dan curah jantung, sehingga hipotensi sistemik. Karena
anestesi spinal adalah teknik tunggal dan singkat, terbatas pada
operasi infra-umbilikus dan tingkat hipotensi sering tidak terduga
dan sulit dikendalikan serta durasinya bervariasi. Anestesi epidural
terkontrol dapat digunakan dengan aman bahkan pada pasien dengan
fungsi ventrikel kiri yang terganggu dan menghasilkan kurangnya
kehilangan darah intraoperatif daripada dengan anestesi total
intravena berbasis propofol dan remifentanil selama bedah
penggantian sendi panggul total primer.12

2.4.1.4. Agen antihipertensi


Berbagai obat antihipertensi dapat digunakan dalam berbagai
cara untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang
diinginkan. Namun, penggunaan terapi antihipertensi jarang
diperlukan dalam anestesi modern, karena hipotensi yang diinginkan
dapat dicapai dengan modifikasi teknik anestesi. Antihipertensi yang
umum digunakan untuk memberikan hipotensi disengaja adalah
nitrat, bloker saluran kalsium, dan penghambat konversi
angiotensin. Sodium nitroprusida (SNP) dan nitrogliserin (NTG)
adalah nitrat yang umum digunakan dan sering digunakan sebagai
agen referensi. Aksi hipotensi SNP di bawah anestesi ternyata lebih
unggul dalam hal dosis yang bergantung pada dosis, prediktabilitas,
dan mudah disesuaikan dibandingkan dengan NTG. Nitrat adalah
vasodilator yang sangat kuat dan administrasinya harus disesuaikan
dengan hati-hati menggunakan pompa infus, karena infus berlebih
secara tidak sengaja dapat menyebabkan hipotensi yang parah.

17
Keamanan dan efektivitas penghambat beta perioperatif untuk bedah
non-jantung masih kontroversial. Bukti terbaru mengungkapkan tren
penurunan penggunaan beta blokade perioperatif, mungkin karena
kekhawatiran mengenai keamanan dan efektivitas mereka seperti
yang ditunjukkan dalam data terbaru. Di antara bloker saluran
kalsium, nicardepin diklaim memiliki efek protektif ginjal selama
anestesi hipotensi.12

2.4.2. Agen Non-Farmakologis


Pengelolaan deliberate hypotension juga dapat dilakukan
dengan cara non-farmakologis. Cara non-farmakologis yang dapat
dilakukan antara lain:

2.4.2.1. Tindakan fisik


Menempatkan pasien yang telah dianestesi dalam posisi
kepala naik atau posisi anti-Trendelenburg menyebabkan hipotensi
ortostatik atau postural. Meningkatkan posisi situs operasi di atas
tingkat jantung menyebabkan hipotensi relatif di area operasi dan
juga membantu dalam drainase vena; namun, ada risiko emboli
udara setiap kali situs operasi dipertahankan di atas jantung.
Penempatan saja memiliki beberapa batasan dan efek hipotensi tidak
konsisten dengan teknik ini dan banyak yang bergantung pada curah
jantung pasien. 12

2.4.2.2. Ventilasi Tekanan Positif Tinggi (PPV)


PPV menggunakan volume tidal tinggi, waktu inspirasi yang
diperpanjang, tingkat PEEP yang tinggi untuk meningkatkan
tekanan intratorakal, yang mengurangi pengembalian vena dan
dengan demikian curah jantung dan tekanan darah. Efek Ventilasi
pada BP disebabkan oleh efek mekanis langsung pada preload dan
afterload jantung melalui perubahan tekanan toraks dan secara tidak

18
langsung melalui perubahan oksigen darah, karbon-di-oksid
a(PaO2, PCO2) dan PH. PPV tinggi, meskipun dapat memberikan
anestesi hipotensi, tetapi meningkatkan pendarahan vena,
meningkatkan tekanan intrakranial, meningkatkan ruang mati.
Fokus terbaru adalah pada strategi ventilator protektif paru dalam
bentuk volume tidal rendah (6 ml /Kg) PEEP 6-12 cm H2O dan
manuver rekruitmen untuk mengurangi risiko atelektasis paru,
infeksi, dan ARDS. Oleh karena itu, meskipun menarik, manipulasi
pernapasan untuk meminimalkan pengembalian vena biasanya tidak
digunakan selama anestesi hipotensi. 12

2.4.2.3. Hemodilusi Normovolemik Akut (ANH)


ANH adalah teknik untuk mengurangi kehilangan darah
intra-operatif; satu atau dua unit darah pasien ditarik setelah induksi
anestesi dan defisit volume diganti secara bersamaan dengan baik
kristaloid atau koloid; darah yang terkumpul ditransfusikan kembali
pada akhir operasi. ANH dapat menjadi bagian dari anestesi
normotensi atau hipotensi, prosedur itu sendiri menyebabkan
penurunan tekanan darah. ANH, ketika dikombinasikan dengan
anestesi hipotensi farmakologis, dapat secara signifikan mengurangi
kebutuhan transfusi darah allogenis dalam bedah yang berdarah
banyak. Kombinasi rutin ANH dan anestesi hipotensi mungkin tidak
memberikan manfaat tambahan dalam hal penghematan darah atau
perbaikan kualitas lapangan bedah.12

2.4.3. Pengelolaan Pasien


Pengelolaan pasien yang efektif mencakup evaluasi
praoperatif yang menyeluruh, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor risiko yang mungkin mempengaruhi
penerapan deliberate hypotension, seperti penyakit kardiovaskular
yang ada, disfungsi renal, atau penggunaan obat-obatan yang dapat
memengaruhi respons hemodinamik. Komunikasi yang efektif

19
antara tim bedah dan anestesi adalah penting untuk menentukan
target tekanan darah yang aman berdasarkan kondisi spesifik pasien
dan kebutuhan prosedural.13
Dalam merangkum, penerapan deliberate hypotension dalam
anestesi membutuhkan pendekatan yang terstruktur dan
individualisasi, dengan pemilihan teknik dan agen farmakologis
yang tepat, serta protokol pengelolaan pasien yang komprehensif.
Kesuksesan teknik ini tergantung pada penilaian yang cermat,
monitoring yang ketat, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan
kebutuhan dinamis pasien, memastikan keselamatan dan hasil yang
optimal dalam praktek bedah modern. Berikut adalah beberapa hal
yang harus diperhatikan:

2.4.3.1. Pemantauan selama hipotensi terkontrol


Pemantauan fungsi organ sangat penting untuk praktik aman
anestesi hipotensi terkontrol, satu ajaran mengatakan, "Jika Anda
tidak memiliki fasilitas pemantauan - jangan mencoba menginduksi
hipotensi." Pemantauan organ vital sangat penting; pemantauan
standar dalam bentuk Tekanan Darah, Elektrokardiografi (EKG);
Oksigenasi, kapnografi, suhu, produksi urine harus digunakan
secara rutin. Pemantauan khusus seperti pemantauan fungsi serebral,
pemantauan emboli udara harus dipertimbangkan berdasarkan pada
pasien dan prosedur operatif.12

2.4.3.2. Pemantauan tekanan darah


Pemantauan dekat tekanan darah arteri adalah bagian sentral
dari pengawasan kardiovaskular pasien di bawah anestesi hipotensi
terkontrol. Penggunaan teknik pemantauan tekanan darah invasif
versus non-invasif tergantung pada jenis pasien, jenis prosedur,
keahlian anestesiolog, dan yang terpenting adalah tingkat hipotensi.
Hipotensi ringan hingga sedang dapat dengan mudah dikelola
dengan pengukuran tekanan darah non-invasif yang lebih sering.

20
Untuk pengendalian ketat tekanan darah, pemantauan tekanan darah
invasif disarankan karena memberikan pemantauan detak jantung ke
detak jantung dan juga memungkinkan pengambilan sampel untuk
gas darah dan nilai hemoglobin. Baru-baru ini, berbagai teknik
pemantauan tekanan darah terus menerus non-invasif digunakan
dalam berbagai situasi klinis. Meskipun perangkat ini sangat akurat
pada pasien yang vasodilatasi dan mereka dengan sirkulasi normal,
mungkin kurang akurat pada pasien hipotensi atau pasien dengan
insufisiensi vaskular atau syok.12

2.4.3.3. EKG
Pemantauan EKG kontinu dengan lead II dan V5 untuk
mendeteksi aritmia dan iskemia miokard. Saturasi oksigen: saturasi
oksigen kontinu harus dipantau karena risiko hipoksemia akibat
tidak sesuai ventilasi/perfusi. 12

2.4.3.4. Kapnografi
CO2 ekspirasi harus dipantau karena pencegahan terhadap
hiperkarbia dan hipokapnia sangat penting. Hubungan antara CO2
arteri dan ekspirasi berubah dengan hipotensi, sehingga pemeriksaan
periodik gas darah arteri harus dipertimbangkan dalam anestesi
hipotensi yang panjang. 12

2.4.3.5. Suhu
Pemantauan suhu inti penting karena panas tubuh tersebar
cepat dari pembuluh yang melebar dan hipotermia dapat mengurangi
12
efektivitas vasodilator dengan vasokonstriksi kompensatorik.

2.4.3.6. Produksi urin


Produksi urin sebagai ukuran fungsi ginjal. Harus
dipertimbangkan dalam anestesi hipotensi kecuali untuk prosedur
dengan durasi pendek.12

21
2.5. Komplikasi dan Manajemen
Penerapan deliberate hypotension dalam anestesi, meskipun
bermanfaat dalam banyak aspek, tidak terlepas dari risiko dan komplikasi
potensial yang dapat mempengaruhi hasil pasca operasi dan keselamatan
pasien. Pengakuan dini atas potensi risiko dan penerapan strategi manajemen
yang tepat adalah kunci untuk meminimalkan dampak negatif dan
memastikan keberhasilan prosedur bedah.
Komplikasi yang terkait dengan deliberate hypotension dapat berkisar
dari ringan hingga berat, tergantung pada berbagai faktor termasuk durasi
hipotensi, tingkat penurunan tekanan darah, dan kondisi kesehatan umum
pasien sebelum operasi. Komplikasi potensial termasuk hipoperfusi jaringan
dan organ vital, yang dapat menyebabkan iskemia miokard, stroke, atau
kegagalan organ. Risiko khususnya meningkat pada pasien dengan penyakit
vaskular perifer atau cerebrovaskular, penyakit jantung koroner, atau kondisi
lain yang mempengaruhi perfusi organ. Selain itu, penggunaan agen
farmakologis untuk mencapai hipotensi dapat menimbulkan efek samping
seperti bradikardia, aritmia, atau reaksi hipersensitivitas, yang semuanya
memerlukan intervensi medis yang cepat.11
Strategi manajemen komplikasi deliberate hypotension dimulai
dengan seleksi pasien yang cermat, evaluasi praoperatif yang komprehensif,
dan perencanaan yang matang. Identifikasi pasien dengan risiko tinggi
komplikasi memungkinkan anestesiolog untuk menyesuaikan pendekatan
deliberate hypotension atau bahkan mempertimbangkan alternatif strategi
manajemen. Komunikasi yang efektif antara tim anestesi dan bedah juga
penting untuk menetapkan target tekanan darah yang realistis dan aman,
berdasarkan jenis operasi dan kondisi pasien. 11
Pemantauan intraoperatif yang ketat menggunakan teknologi canggih
memungkinkan deteksi dini tanda-tanda hipoperfusi dan memfasilitasi
penyesuaian cepat terhadap pengelolaan hemodinamik. Pemantauan harus
mencakup, tapi tidak terbatas pada, tekanan darah invasif, saturasi oksigen,
output jantung, dan pengukuran gas darah arteri. Dengan pemantauan yang
adekuat, tim anestesi dapat dengan cepat mengidentifikasi dan mengatasi

22
penyimpangan dari parameter hemodinamik normal, serta menyesuaikan
dosis agen hipotensif atau menerapkan intervensi pendukung seperti
pemberian cairan, vasopresor, atau inotropik. 11
Setelah operasi, pemantauan harus berlanjut di unit perawatan pasca
anestesi (PACU) atau unit perawatan intensif (ICU), jika diperlukan, untuk
memastikan pemulihan hemodinamik yang stabil. Protokol pasca operasi
harus mencakup kriteria untuk penilaian ulang tekanan darah, fungsi organ,
dan status hidrasi pasien, serta panduan untuk manajemen komplikasi yang
mungkin timbul akibat deliberate hypotension.11
Edukasi pasien dan keluarga juga merupakan komponen penting
dalam strategi manajemen, dengan memberikan informasi tentang potensi
risiko, tanda dan gejala komplikasi yang harus diwaspadai, dan pentingnya
pemantauan tindak lanjut.11
Kekhawatiran utama dalam teknik hipotensi yang disengaja adalah
risiko hipoperfusi organ akhir dan hipoksia jaringan, dan risiko tersebut nyata
dan sulit dievaluasi pada setiap pasien. Risiko ini tergantung pada status fisik
dan fungsional pasien secara individual, derajat hipotensi, jenis dan durasi
operasi, kondisi medis yang terkait, pengetahuan dan keterampilan
anestesiolog yang bersangkutan, dan fasilitas untuk pemantauan, dan lain-
lain. Hipotensi yang diinduksi dapat menyebabkan hipoksia jaringan dengan
mengurangi atau menekan autoregulasi organ vital pada tingkat
mikrosirkulasi dan dengan menghambat sistem saraf otonom. Tujuan saat ini
dari hipotensi yang disengaja adalah untuk mempertahankan autoregulasi ini
dengan mempertahankan tekanan yang cukup rendah untuk memungkinkan
pengurangan pendarahan tanpa mengorbankan mikrosirkulasi organ vital.
Kontraindikasi absolut utamanya adalah kurangnya pengetahuan tentang
teknik ini, ketidakmampuan untuk memantau pasien secara memadai, dan
kurangnya pemahaman tentang teknik-teknik tersebut. Sedangkan faktor-
faktor terkait pasien adalah keberadaan penyakit jantung, penyakit
serebrovaskular iskemik, gangguan hati atau ginjal, kekurangan pernapasan,
hipertensi sistemik yang parah, diabetes mellitus, masalah hematologi seperti
anemia, polisitemia, hemoglobinopati, anemia sel sabit, dan intoleransi

23
terhadap obat-obatan yang tersedia untuk menghasilkan hipotensi. Kelompok
pasien ini adalah kandidat untuk anestesi normotensi atau dalam kasus-kasus
tertentu, anestesi hipotensi termodifikasi dalam bentuk penurunan tekanan
darah ringan hingga sedang yang disesuaikan dengan kondisi medis mereka.
Hipertensi yang diobati dengan baik mungkin tidak menimbulkan risiko yang
lebih besar dan tidak dianggap sebagai kontraindikasi untuk hipotensi
terkontrol. Risiko menggabungkan hipotensi terkontrol dengan berbagai
teknik transfusi otologus harus dipertimbangkan karena kombinasi ini dengan
stimulus bedah dapat menyebabkan penurunan tajam dalam saturasi oksigen
vena sentral (SvO2), menunjukkan gangguan dalam oksigenasi jaringan. 12
Dalam kesimpulan, manajemen komplikasi deliberate hypotension
memerlukan pendekatan yang terintegrasi yang melibatkan perencanaan
praoperatif yang hati-hati, pemantauan intraoperatif yang cermat, dan
pengawasan pasca operasi yang ketat. Dengan memperhatikan detail ini,
risiko dapat diminimalkan dan keselamatan pasien dapat dijamin,
memaksimalkan manfaat dari deliberate hypotension dalam praktek bedah
modern.

2.6. Aplikasi Khusus dalam Anestesi


Penerapan deliberate hypotension dalam anestesi menawarkan
manfaat signifikan dalam berbagai jenis operasi, memungkinkan praktisi
medis untuk mengoptimalkan kondisi lapangan operasi dan mengurangi
risiko perdarahan yang berlebihan. Aplikasi teknik ini melintasi batas-batas
disiplin bedah, dari operasi ortopedi hingga intervensi neurologis,
memberikan fleksibilitas dan adaptasi terhadap kebutuhan klinis yang
spesifik. Setiap jenis operasi menghadirkan tantangan unik yang dapat diatasi
dengan penggunaan strategis deliberate hypotension, menyoroti pentingnya
pemahaman mendalam tentang aplikasinya dalam konteks anestesi.

2.6.1. Bedah Orthopedi


Dalam bedah ortopedi, khususnya pada prosedur yang
melibatkan artikulasi besar seperti penggantian lutut atau pinggul,

24
deliberate hypotension dapat mengurangi perdarahan dan
mempermudah identifikasi struktur anatomi. Dengan
meminimalkan kehilangan darah, pasien dapat mengalami
pemulihan yang lebih cepat dan risiko transfusi darah dapat
diminimalisir, yang penting dalam meningkatkan hasil pasca operasi
dan mengurangi durasi rawat inap di rumah sakit. 11

2.6.2. Bedah Saraf


Dalam tindakan operasi neurologis, visibilitas lapangan
operasi menjadi sangat penting. Deliberate hypotension dapat sangat
mengurangi perdarahan dari jaringan otak dan meningen,
memungkinkan akses yang lebih baik dan pengurangan risiko
kerusakan pada jaringan otak. Hal ini sangat penting dalam operasi
untuk mengangkat tumor otak atau aneurisma, di mana preservasi
fungsi neurologis adalah prioritas utama. 1

2.6.3. Bedah Vaskular


Dalam bedah vaskular, kontrol tekanan darah adalah kritis,
terutama dalam operasi yang melibatkan aorta atau pembuluh darah
besar lainnya. Deliberate hypotension memfasilitasi manipulasi
vaskular dengan mengurangi tekanan dan aliran darah, mengurangi
risiko ruptur pembuluh darah dan memungkinkan suturing yang
lebih presisi dari graft atau reparasi vaskular. 14

2.6.4. Bedah Plastik dan Rekonstruktif


Dalam bedah plastik dan rekonstruktif, pengurangan
perdarahan tidak hanya memperbaiki visibilitas lapangan operasi
tetapi juga dapat mengurangi risiko hematoma pasca operasi, yang
dapat mempengaruhi hasil estetika. Deliberate hypotension, oleh
karena itu, mendukung presisi dalam teknik suturing dan
penempatan graft, yang kritis dalam mencapai hasil yang optimal. 15

25
BAB III
KESIMPULAN

Deliberate hypotension atau hipotensi yang disengaja merupakan strategi


anestesi penting yang bertujuan untuk mengurangi perdarahan intraoperatif,
meningkatkan visibilitas lapangan operasi, dan meminimalkan kebutuhan transfusi
darah. Strategi ini memerlukan pemahaman mendalam tentang fisiologi dan
patofisiologi pasien, serta pemilihan agen farmakologis dan teknik anestesi yang
tepat. Keberhasilan penerapan hipotensi yang disengaja sangat bergantung pada
seleksi pasien yang cermat, pemantauan hemodinamik yang ketat, dan manajemen
komplikasi yang efektif. Dengan pendekatan yang berbasis bukti dan disesuaikan
dengan kondisi individu pasien, hipotensi yang disengaja terus memberikan
kontribusi signifikan pada keberhasilan operasi dan pemulihan pasien. Oleh karena
itu, anestesiolog memegang peranan kunci dalam penerapan hipotensi yang
disengaja dengan aman dan efektif, memastikan keselamatan pasien dan hasil
operasi yang optimal.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Tegegne SS, Gebregzi AH, Arefayne NR. Deliberate hypotension as a


mechanism to decrease intraoperative surgical site blood loss in resource
limited setting: A systematic review and guideline. Int J Surg Open
[Internet]. 2021;29:55–65. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405857220301194 doi:
https://doi.org/10.1016/j.ijso.2020.11.019
2. Choi WS, Samman N. Risks and benefits of deliberate hypotension in
anaesthesia: a systematic review. Int J Oral Maxillofac Surg.
2008;37(8):687–703.
3. Larson AG. Review Article : Deliberate Hypotension. Anesthesiology.
1964;25(5).
4. D’Amico F, Fominskiy E V, Turi S, Pruna A, Fresilli S, Triulzi M, et al.
Intraoperative hypotension and postoperative outcomes: a meta-analysis of
randomised trials. Br J Anaesth. 2023;
5. Miller Jr ED. Deliberate hypotension. In: Anesthesia, The Heart and the
Vascular System: Annual Utah Postgraduate Course in Anesthesiology
1987. Springer; 1987. p. 97–104.
6. Sharma R, Huang Y, Dizdarevic A. Blood Conservation Techniques and
Strategies in Orthopedic Anesthesia Practice. Anesthesiol Clin.
2022;40(3):511–27.
7. Shwerwood L. Introduction to Human Physiology. 8th editio. West Virginia:
Brooks Cengage Learning; 2013. https://doi.org/10.2307/3413769
8. Laudani C, Capodanno D, Angiolillo DJ. Bleeding in acute coronary
syndrome: from definitions, incidence, and prognosis to prevention and
management. Expert Opin Drug Saf. 2023;22(12):1193–212.
9. Brassard P, Labrecque L, Smirl JD, Tymko MM, Caldwell HG, Hoiland RL,
et al. Losing the dogmatic view of cerebral autoregulation. Physiol Rep.
2021;9(15):e14982.
10. Warner J. Blood conservation techniques. Semin Spine Surg.
2018;10(1):48–54. https://doi.org/10.1097/nan.0b013e3182a11cde

27
11. Jiang J, Zhou R, Li B, Xue F. Is deliberate hypotension a safe technique for
orthopedic surgery?: a systematic review and meta-analysis of parallel
randomized controlled trials. J Orthop Surg Res. 2019;14:1–14.
12. Upadhyay SP, Samant U, Tellicherry SS, Mallik S, Saikia PP, Mallick PN.
International Journal of Biological & Pharmaceutical Research
CONTROLLED HYPOTENSION IN MODERN ANAESTHESIA: A
REVIEW AND UPDATE. Int J Biol Pharm Res [Internet]. 2015;6(7).
Available from: www.ijbpr.com
13. Jones A. Hypotensive anaesthesia. Oxford Textb Anaesth Oral Maxillofac
Surg. 2010;269.
14. Filiberto AC, Loftus TJ, Elder CT, Hensley S, Frantz A, Efron P, et al.
Intraoperative hypotension and complications after vascular surgery: A
scoping review. Surgery. 2021;170(1):311–7.
15. Jackevičiūtė J, Kraujalytė G, Razukevičius D, Kalibatienė L, Macas A.
Hypotensive anaesthesia in maxillofacial surgery. Sveik Moksl Sci.
2018;28(2):110–3.

28

Anda mungkin juga menyukai