Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
bimbingan dan penyertaan-Nya saja sehingga Panduan Pelayanan Anestesi,
Sedasi Moderat dan Dalam yang Seragam di Rumah Sakit ini dapat diselesaikan
dengan baik. Buku ini akan menjadi panduan sesuai Standar Akreditasi Rumah
Sakit dalam penyusunan Panduan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) guna
implementasi visi, misi dan tujuan kegiatan pelayanan rumah sakit yang sesuai
standar.
Dalam buku ini hanya memuat garis besar pelayanan sebagai acuan
sedangkan operasional lapangan akang terdapat pada Panduan dan SPO. Materi
utama dalam buku ini akan terus direvisi seiiring perkembangan ilmu dan
teknologi khususnya dibidang anestesiologi. Masih terdapat kekurangan dalam
pengeditan buku ini dan akan diperbaiki pada saat revisi materi buku panduan
ini yang akan dilakukan minimal sekali dalam tiga tahun.
Akhirnya, penyusun berharap agar Buku panduan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, terutama memberikan hasil terbaik bagi pasien dan
keluarganya yang membutuhkan pelayanan anestesi.
PENYUSUN
TIM AKREDITASI
RSUD ANUGERAH TOMOHON
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I. DEFINISI
1
BAB II. RUANG LINGKUP
2
BAB III. TATA LAKSANA
3
Pelayanan anestesiologi dapat dilimpahkan kepada Dokter Umum/Non-
anestesi, atau kepada Perawat Penata Anestesi. Pelimpahan wewenang tersebut
dapat terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1. Jika Dokter Anestesi tidak ada di kamar operasi tetapi masih di dalam
rumah sakit, dapat dimintakan izin lisan dan kemudian harus dicatat
dalam rekam medis pasien dan diparaf.
2. Jika Dokter Anestesi tidak ada di dalam rumah sakit, maka dalam
keadaan cito dapat memberikan pelimpahan wewenang kepada dokter
umum yang ditugaskan dalam pelayanan anestesiologi.
3. Jika Dokter Anestesi dan dokter umum yang ditugaskan dalam
pelayanan anestesiologi tidak ada di dalam rumah sakit maka dapat
dilimpahkan kepada Penata Anestesi. Penata Anestesi dapat
mengerjakan sesuai prosedur tetap, dan sesuai hasil konsultasi antara
Penata Anestesi dengan Dokter Anestesi yang tugas jaga saat itu atau
Dokter Kepala Anestesi.
A. Sedasi
Sedasi adalah suatu proses yang berkelanjutan/kontinu, sehingga tidak
selalu dapat dengan tepat memprediksi respon setiap pasien yang mendapat
sedasi. Oleh karena itu Tim Pengelolah Anestesi yang memberikan sedasi harus
dapat melakukan penanganan segera terhadap pasien yang efek sedasinya lebih
dalam/berat daripada efek yang seharusnya terjadi (misalnya: petugas anestesi
yang memberikan sedasi sedang harus dapat melakukan penanganan terhadap
pasien yang jatuh kedalam kondisi sedasi berat)
4
diperlukan intervensi untuk mempertahakan patensi jalan napas dan
ventilasi spotan masih adekuat. Fungsi kardiovaskukler terjaga dengan baik.
3. Sedasi Berat/Dalam :
Kondisi dimana terjadi depresi tingkat kesadaran dimana pasien
memberikan respon terhadap stimulus berulang/nyeri.Fungsi ventilasi
respon dapat terganggu/tidak adekuat. Pasien mungkin membutuhkan
bantuan untuk mempertahankan patensi jalan napas.Fungsi kardiovaskuler
biasanya terjaga dengan baik.
B. Anestesi Umum
Hilangnya kedasaran dimana pasien tidak sadar, bahkan pemberian
stimulus nyeri.Pasien sering membutuhkan bantuan untuk mempertahankan
patensi jalan napas, dan mungkin membutuhkan ventilasi tekanan positif kerena
tidak adekuatnya ventilasi spontan/fungsi kardiovaskuler dapat terganggu.
5
Tingkat Sedasi Respon
6
C. Pelayanan Anastesia Perioperatif
Pelayanan anestesi peri-operatif merupakan pelayanan anestesi yang
mengevaluasi, memantau dan mengelola pasien pra, intra dan pasca anestesi
serta terapi intensif dan pengelolaan nyeri berdasarkan keilmuan yang
multidisiplin.
1. Pra-Anestesia
Konsultasi dan pemeriksaan oleh Dokter Anestesi harus dilakukan
sebelumtindakan anestesi untuk memastikan bahwa pasien berada dalam
kondisi yang layak untuk prosedur anestesi.
Dokter spesialis anestesi bertanggung jawab untuk menilai dan
menentukanstatus medis pasien pra-anestesi berdasarkan prosedur seperti
anamnesis dan pemeriksaan pasien, mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan
konsultasi yang diperlukan untuk melakukan anestesi, mendiskusikan dan
menjelaskan tindakan anestesi yang akan dilakukan, memastikan bahwa
pasien telah mengerti dan menandatangani persetujuan tindakan,
mempersiapkan dan memastikan kelengkapan alat anestesi dan obat-obat
yang akan dipergunakan, pemeriksaan penunjang pra-anestesi dilakukan
sesuai Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional, tersedianya oksigen
dan gas medik yang memenuhi syarat dan aman.
a. Kunjungan Pra-Anestesi
Sebelum melakukan tindakan anestesia, pemberi asuhan di bidang
anestesia harus melakukan evaluasi terhadap pasien dengan demikian
dapat membuat rencana asuhan yang tepat. Evaluasi dan perencanaan itu
dilakukan dalam bentuk kegiatan kunjungan praanestesia. Kunjungan
praanestesia dapat dilakukan beberapa hari sebelum tindakan pembiusan
(terutama untuk kasus-kasus bedah elektif) sampai pada beberapa saat
sebelum dilaksanakan tindakan anestesia. Kunjungan ini dapat dilakukan
di klinik perioperatif, di ruang rawat inap, di ruang gawat darurat ataupun
pada saat pasien berada di ruang persiapan kamar operasi, tergantung
urgensi dari pembedahan.
Asesmen pra anestesi merupakan dasar dari perencanaan.
Perencanaan mempertimbangkan informasi dan asesmen yang dilakukan,
dimana dalam perencanaan, dokter spesialis anestesia harus mampu
mengidentifikasi jenis anestesi yang akan digunakan, termasuk metode
pemberiannya, pemberian medikasi dan cairan lain, serta proses prosedur
monitoring dalam mengantisipasi pelayanan pasca-anestesi. Asesmen pra
anestesi berbasis IAR (Informasi, Analisis, Rencana) juga memberikan
informasi yang diperlukan untuk:
7
Mengetahui masalah saluran pernafasan
Memilih anestesi dan rencana asuhan anestesi
Memberikan anestesi yang aman berdasarkan asesmen pasien, resiko
yang ditemukan, dan jenis tindakan
Menafsirkan temuan pada waktu monitoring selama anestesi dan
pemulihan
Memberikan informasi obat anelgesia yang akan digunakan pasca
operasi
Asesmen pra induksi berbasis IAR terpisah dari asesmen pra anestesi,
fokus pada stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk tindakan
anestesi, berlangsung sesaat sebelum induksi anestesi. Jika anestesi
diberikan secara darurat, asesmen pra anestesi dan pra induksi dapat
dilakukan berurutan atau simultan, namun dicatat secara terpisah.
b. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
Pemeriksaan fisik dan laboratorium saat kunjungan pra-anestesia
(terutama di kasus gawat darurat) hendaknya dilakukan minimal dalam
periode 24 jam sebelum tindakan anestesia / pembedahan untuk
menentukan apakah fungsi tubuh pasien normal atau tidak.Bila fungsi
tubuh pasien tidak normal, maka :
1) ditentukan derajatnya dan cadangan fungsi yang masih ada.
2) diupayakan perbaikan sampai optimal.
Pemeriksaan minimal meliputi :
1) Jalan napas, paru dan pernapasan.
2) Sirkulasi (tekanan darah, nadi, dan perfusi) serta keadaan jantung
(ECG untuk usia > 40 th atau < 40 th atas indikasi)
3) Kesadaran dan kecerdasan.
4) Status hidrasi dan status gizi.
5) Riwayat alergi, penyakit sebelumnya dan obat-obat yang dipakai.
6) Pemeriksaan laboratorium tertentu.
Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin dalam masa pra-bedah agar
tersedia cukup waktu untuk terapi dan persiapan. Dengan pemeriksaan
fisik dan anamnesis yang baik, banyak pemeriksaan laboratorium yang
dapat ditiadakan.
Jika diperlukan, maka dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang
melakukan pembedahan dianjurkan meminta konsultasi spesialistik lain.
Hasil konsultasi dan tindak lanjut harus dicatat dalam rekam medik.
8
DAFTAR PEMERIKSAAN LAB. MINIMAL
Bukan di jalan
Lokasi operasi Di jalan nafas Dimanapun
nafas
Umur < 40 th > 40 th
Hb, Leuko dan Darah rutin, Darah rutin , EKG
Tes pemeriksaan pemeriksaan dan pemeriksaan
lain yang lain yang lain yang
diperlukan diperlukan diperlukan
10
Pasien dewasa dipuasakan dari makanan padat 6-12 jam pra-
anestesia, dari minum susu 6 jam pra-anestesia, dari minum air putih 4
jam pra-bedah. Pasien anak-anak mengikuti jadwal sebagai berikut :
Umur Susu/makanan Air putih
padat
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam
> 36 bulan 8 jam 3 jam
Instruksi puasa dijelaskan lisan dan tertulis kepada pasien dan atau
keluarga/wali serta diketahui oleh perawat. Obat-obat tertentu dapat
diberikan bersama minum air putih terakhir. Obat anti diabetes oral harus
diganti injeksi insulin jika pada pascabedah tidak dapat/tidak boleh
makan.Untuk bedah darurat diperlukan pengosongan lebih cepat dan lebih
pasti dengan pemasangan pipa lambung (ukuran besar, Fr 18/20) dan
penghisap aktif.
Pengosongan usus besar dilakukan dengan obat pencahar,
perangsang peristaltik kolon atau lavement atas pertimbangan keperluan
pembedahan dan kenyamanan pasien.
2) Infus
Pemberian cairan pengganti puasa dan pencahar diberikan kepada
periode 24 jam pra-anestesia sebagai larutan kristaloid.Untuk pasien risiko
tinggi, rencana pembedahan besar, gizi pra-bedah buruk, maka perbaikan
imbang cairan dan nutrisi dilakukan jauh sebelum pembedahan dengan
pemberian nutrisi parenteral atau nutrisi enteral melalui pipa lambung.
Pasien hamil/in-partu mungkin memerlukan antasida oral untuk
netralisasi asam lambung karena pada kelompok ini cairan lambung yang
lebih banyak dan pH lebih asam. Antasida Magnesium trisilikat (BPC) 15
ml yang diberikan 30 menit sebelum anestesia dapat menekan risiko ini.
Golongan lain yang dapat diberikan antara lain : simetidin, ranitidin.
Cairan lambung dengan pH < 2,5 mudah menimbulkan kerusakan parah
jika terjadi aspirasi paru (Mendelsohn syndrome).
3) Transfusi
Dalam hal transfusi darah dan komponennya, seorang dokter
spesialis anestesiologi hendaknya mempertimbangkan manfaat dan risiko
transfusi pada pasien serta kepercayaan yang dianut pasien (misalnya
Saksi Yehuwa).Selama tersedia komponen darah, maka transfusi
komponen darah diutamakan daripada transfusi darah utuh (whole
11
blood).Jika tidak tersedia komponen darah maka transfusi darah utuh
dapat dipertimbangkan.
Pemberian transfusi tetap mengikuti ketentuan transfusi secara
umum tentang kesesuaian golongan darah donor dan penerima.. Pada
keadaan emergency dimana sangat dibutuhkan darah ,misalnya pada
keadaan perdarahan hebat yang memerlukan tranfusi segera untuk ”life
saving” maka dimungkinkan tranfusi tanpa ”cross match” terlebih dahulu
dimana sebetulnya bila dengan tindakan ”cross match” akan memerlukan
waktu yang lebih lama (minimal 6 jam).
Dalam periode perioperatif dan sakit kritis, transfusi komponen
darah mengikuti panduan sebagai berikut :
a. Sel darah merah (Packed Red Cell)
- Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar
hemoglobin (Hb) < 7 g/dL, terutama pada anemia akut. Transfusi
dapat ditunda bila pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya
memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah
dapat diterima.
- Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10
gr/dL apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium.
- Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥ 10 g/dL, kecuali bila ada
indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas
transport oksigen lebih tinggi (contoh PPOK dan penyakit jantung
iskemik berat).
- Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada
kadar Hb ≤ 11 g/dL ; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan
mencapai 7 g/dL jika terdapat penyakit jantung atau paru yang
sedang membutuhkan suplemen oksigen.
b. Trombosit (TC)
- Trombosit diberikan untuk mengatasi perdarahan pada pasien
dengan trombositopenia bila hitung trombosit < 50.000/µL atau <
100.000 µL jika disertai perdarahan mikrovaskuler difus.
- Transfusi trombosit pada kasus DHF dan DIC merujuk pada
panduan penatalaksanaan masing-masing.
- Transfusi trombosit profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <
50.000 µL pada pasien yang akan menjalani operasi atau prosedur
invasif lainnya atau sesudah transfusi masif. Yang dimaksud
transfusi darah masif adalah penggantian jumlah darah yang hilang
12
lebih banyak dari total volume darah pasien dalam waktu < 24 jam
(kira-kira 70 mL/kg pada dewasa dan 80-90 mL/kg pada anak/bayi)
- Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan kelainan
fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.
c. Plasma beku segar (Fresh Frozen Plasma)
- Untuk mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan defisiensi
faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat maupun bawaan, bila
tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
- Untuk netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat
perdarahan yang mengancam nyawa.
- Jika ada perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal
setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada
pasien dengan penyakit hati.
d. Kriopresipitat (Cryopresipitate)
- Untuk profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan
menjalani prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami
perdarahan.
- Pasien dengan hemofilia A dan penyakit Von Willebrand yang
mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap
pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.
f. Premedikasi
Memberi pasien rasa nyaman bebas dari rasa takut/cemas atau stress
psikis lain, di samping menyiapkan fisik pasien untuk menjalani anestesia dan
pembedahan dengan lancar (smooth). Penyuluhan dan obat-obat dapat
dikombinasikan agar tercapai keadaan sedasi (tidur ringan tetapi mudah
dibangunkan) tanpa depresi napas dan depresi sirkulasi. Waktu pemberian
obat yang tepat disesuaikan dengan masa kerja obat. Napas, tekanan darah,
nadi dan kesadaran harus diperiksa dan dicatat dalam rekam medik sebelum
dan sesudah premedikasi.
Golongan ansiolitik dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan,
seperti golongan benzodiasepin (diazepam, midazolam atau alprazolam).
Karena golongan ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, maka risiko
depresi napas, depresi sirkulasi dan aspirasi meningkat dan antisipasi untuk
hal tersebut harus dilakukan.
Golongan opiod seperti petidin, morfin, fentanil, alfentanil, sufentanil atau
sediaan sintetik yang setara dapat diberikan jika prabedah sudah ada nyeri
atau jika akan digunakan obat anestesia yang daya analgesianya lemah. Obat-
obat ini menyebabkan depresi napas, depresi sirkulasi dan meningkatkan
13
tekanan intrakranial. Karena kesadaran juga menurun, risiko aspirasi
meningkat. Efek samping lain dari golongan ini juga menyebabkan
mual,muntah dan gatal.
Atropin dapat digunakan untuk menekan hipersekresi ludah dan kelenjar
bronkus. Dapat digunakan secara intramuskular, terutama jika akan
digunakan obat anestesia yang memiliki efek samping hipersekresi lendir
mulut pascabedah. Pemakaian intravena akan menyebabkan kenaikan nadi.
Efek yang tidak diinginkan dari sulfas atropin adalah lendir menjadi kental,
rasa haus dan pada bayi dapat menyebabkan hipertermia.
Golongan H3RA (simetidin, ranitidin) dan PPI (omeprazol) dapat diberikan
jika pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadi aspirasi, PONV.
Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan sangat memberikan
premedikasi :
1) Premedikasi tidak diberikan pada keadaan sakit berat, sepsis dan
kelompok umur ekstrem misalnya : orang-orang sangat tua (geriatri)
dan neonatus atau bayi < 6 bulan.
2) Premedikasi dipertimbangkan hati-hati pada pasien dengan masalah
jalan napas, kasus rawat jalan, dan kasus bedah saraf.
3) Dosis premedikasi dapat dikurangi pada orang tua dan bila keadaan
umum buruk.
4) Sedasi oral dapat diberikan pada malam hari sebelum tidur (misal
midazolam).
5) Pada anak premedikasi oral dilakukan minimal dua jam sebelum
operasi.
6) Pada pasien bedah darurat, premedikasi sedatikum dan opioid
sebaiknya dihindarkan atau diberikan dengan sangat hati-hati.
14
g. Persiapan Alat dan Obat
Karena anestesia adalah tindakan medik yang membawa risiko ancaman
jiwa, maka diperlukan persiapan alat, obat, ketrampilan dan kewaspadaan
tenaga kesehatan agar mampu mengatasi penyulit yang terberat.
Sebelum tindakan anestesia dimulai, semua alat dan obat anestesia, alat
dan obat resusitasi dan tenaga terlatih harus siap dan dipastikan dapat
bekerja baik. Jika dilakukan anestesia regional, kesiapan untuk anestesia
umum dan resusitasi tetap harus ada. Dalam anestesia yang panjang,
cadangan obat dan alat harus disiapkan agar tindakan dapat berlangsung
tanpa terputus.
Tindakan anestesia baru dapat dimulai jika check-list ini telah
dilaksanakan dan semua dinyatakan ada dan berfungsi baik.
15
3) CHECK-LIST INFUS, CAIRAN DAN OBAT DARURAT.
1 Tersedia set infusi, kanula intravena dan berbagai cairan.
2 Selain obat anestesia, juga harus tersedia lengkap dalam
jumlah cukup obat-obat penunjang (narkotik, antihistamin,
steroid, diuretika, pelumpuh otot, neostigmin), obat
resusitasi dan obat darurat (adrenalin, atropin, lidocain, Na-
bicarbonat, CaCl2, efedrin, dopamin, antihistamin, steroid,
aminofilin, dekstrosa 40% ).
3 DC-Shock atau defibrilator.
16
a. Penilaian Pra Induksi dan Induksi Anestesi
Sebelum melakukan tindakan induksi atau memulai tindakan anestesi,
Dokter Spesialis Anestesiologi bersama-sama dengan Perawat Anestesia harus
melakukan penilaian prainduksi, meliputi tanda-tanda vital, makan dan
minum terakhir, monitorulang status fisik ASA.Penilaian (asesmen) prainduksi
ini terpisah dari penilaian praanestesi. Penilaian prainduksi berfokus pada
pada stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk anestesi dan terjadi sesaat
sebelum induksi anestesi.Bila anestesi yang harus diberikan secara darurat,
penilaian praanestesi dan penilaian prainduksi dapat segera dilaksanakan
secara berurutan atau secara serempak, tetapi masing-masing
didokumentasikan sendiri.
Pasien sebaiknya diberi preoksigenasi dengan 02 100% (aliran 6 - 10 lpm
selama 3 - 5 menit) sebelum induksi dimulai. Jalur intravena, berupa infus
atau minimal wing-needle harus terpasang dan berjalan lancar. Obat-obat
darurat tersedia dalam suntik. Alat monitor standar telah terpasang dengan
baik (tensimeter, pulse oximeter,elektroda elektrokardiografi, temperatur,
stetoskop prekordial).
Tindakan anestesia harus dimulai dengan cepat, dengan cara nyaman
bagi pasien dan dengan tetap menjaga semua fungsi vital. Stadium eksitasi
harus dilewati secepat mungkin agar pasien segera berada dalam stadium
rumatan yang lebih aman. Jalan napas buatan harus dipasang dan
pernapasan buatan harus diberikan bila diperlukan. Dokter/perawat harus
mampu mengenali dan mengatasi sumbatan jalan napas atas dengan teknik
chin lift, head tilt, jaw trust, memasang pipa orofaring atau nasofaring, intubasi
trakea dan krikotirotomi.
Teknik "rapid sequence induction” atau crash intubation untuk mencegah
aspirasi isi lambung pada kasus darurat juga harus dikuasai. Stabilisasi
hemodinamik mungkin memerlukan resusitasi cairan, obat-obatan inotropik
dan obat anti-aritmia jantung. Dapat diberikan obat-obatan tambahan untuk
sedasi/analgesia (ko-induksi) jika diperlukan seperti: Fentanil 1-2 μg/kgBB iv
± Midazolam 0,03-0,1 mg/kgBB.
b. Monitoring/Pengawasan Anestesi
Selama masa rumatan anestesia (periode intrabedah) diberlakukan
standar sebagai berikut :
1) Tenaga anestesia yang berkualifikasi (dokter spesialis anestesiologi atau
perawat anestesia tetap berada dalam wilayah kamar operasi selama
tindakan anestesia umum, anestesia regional dan MAC (Monitored
Anesthesia Care)
2) Selama pemberian anestesia, harus secara berkesinambungan dibuat
evaluasi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu pasien. Teknik dan
obat-obatan yang digunakan dicatat dalam rekam medik pasien.
Monitoring fisiologis memberikan informasi yang dapat diandalkan
tentang statu pasien selama pemberian anestesia umum, regional maupun
Monitored Anesthesia Care (dan periode pemulihan). Metode monitoring
tergantung pada status praanestesi pasien (misalnya; monitoring tekanan vena
sentral pada pasien sepsis), anestesia yang dipilih (misalnya; penggunaan
bispektral indeks pada anestesia umum) dan kompleksitas dari pembedahan
(misalnya ; penggunaan kapnograf pada pasien laparaskopi) atau prosedur lain
yang dikerjakan selama anestesia. Proses monitoring dilakukan secara terus
menerus dalam frekuensi tertentu sesuai parameter monitoring (tekanan
darah setiap 5 menit sekali, saturasi oksigen dimonitoring secara kontinu)
Frekuensi
Parameter Frekuensi
Alat monitor pengukuran intra
monitoring pencatatan (*)
anestesia (*)
Tekanan Darah Cuff Blood Pressure Setiap 5 menit Setiap 15 menit
(non invasif) Bed Side Monitor
Tekanan Darah Arterial Line Monitor Terus menerus Setiap 15 menit
(invasif)
Laju Nadi / Palpasi Setiap 15 menit Setiap 15 menit
Denyut Jantung Auskultasi Sesuai indikasi
ECG Bed Side Terus menerus
Monitor
Laju Nafas Inspeksi Setiap 15 menit Setiap 15 menit
Auskultasi Sesuai indikasi
Grafik RR Bed Terus menerus
Side Monitor
Suhu Badan Probe Suhu Bed Setiap 15 menit Setiap 30 menit
Side Monitor Sesuai indikasi
Termometer
Saturasi Oksigen Pulse Oksimeter Terus menerus Setiap 15 menit
Tekanan Vena Manometer vena Setiap 15 menit Setiap 15 menit
Sentral sentral
Probe vena sentral Terus menerus
Kapnografi End tidal CO2 Terus menerus Setiap 15 menit
18
Kedalaman Bispektral Indeks Terus menerus Setiap 15 menit
sedasi / anestesi
Urine output Kateter urine Setiap 15 menit Setiap 30 menit
(*) Saat hemodinamik stabil
Kedalaman anestesia dipantau dengan memperhatikan tanda tahapan
anestesia dan respons otonomik. Kedalaman anestesia yang cukup selama
pembedahan harus dipertahankan agar pasien tidak mengalami rasa nyeri,
tidak mengalami stress otonomik, pembedahan dapat berjalan baik, fungsi
vital (pernapasan, sirkulasi, perfusi organ) tetap berada dalam batas normal.
Anestesia umum harus cukup dalam untuk mencegah pasien mengingat
dan merasakan proses pembedahan (awareness).Tahapan anestesia
dipertahankan dengan mengatur vaporizer (untuk anestesia inhalasi) atau
mengatur kecepatan infusi (untuk anestesia intravena).Tahapan tidak boleh
terlalu dalam agar tidak membahayakan fungsi vital. Anestetika yang
direkomendasikan untuk periode rumatan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Anestesia Inhalasi
Halotan (MAC=0,75%) titrasi
0-70% Isofluran (MAC=1,1%) titrasi
30-100% O2 + +
N 2O Sevofluran (MAC=2,0%) titrasi
Desfluran (MAC=6,0%) titrasi
Anestesia Balans
Halotan
(MAC=0,75%)
Isofluran
(MAC=1,1%) Petidin 0,5-1,5
Sevofluran mg/kgBB/3-4 jam
0-70% (MAC=2,0%) (bolus intermiten)
30-100% O2 + + +
N 2O Desfluran atau
MAC=6,0%) Fentanil 1-10 μg/kgBB
atau sesuai kebutuhan
Propofol 50-
200μg/kgBB/
mnt
Anestesia Balans
Petidin
Propofol
Bolus awal: 1-2
Induksi: 1-2,5 mg/kgBB
mg/kgBB
Pemeliharaan: 50-200
Pemeliharaan: 0,5-
μg/kgBB/mnt
1,5 mg/kgBB/3-4
(infus dihentikan 5 menit
jam (bolus
sebelum operasi selesai)
0-70% intermiten)
30-100% O2 + + + atau
N 2O atau
Ketamin
Fentanil
Induksi: 1-2 mg/kgBB
Bolus awal: 1-2
Pemeliharaan: 1-2
μg/kgBB
mg/kgBB/ bolus
Pemeliharaan: 1-
intermiten tiap 15-20 mnt
10 μg/kgBB sesuai
atau sesuai kebutuhan
kebutuhan
19
2) Tekanan darah dipertahankan agar tidak berfluktuasi lebih dari 25 %
atau 15-20 mmHg dari nilai waktu sadar.
3) Perfusi merah, hangat dan kering (pink, warm and dry). Tidak teraba
keringat pada perabaan, tidak keluar air mata bila kelopak mata
dibuka.
4) Irama jantung dipertahankan irama sinus yangteratur, fluktuasi tidak
lebih dari 25 % nilai waktu sadar. Jika terjadi aritmia maka harus
dipastikan bahwa:
5) oksigenasi baik (periksa aliran oksigen, periksa jalan napas/tube)
6) ventilasi baik (periksa gerak dada, periksa soda lime)
7) tidak ada manipulasi bedah yang memicu aritmia (refleks vagal, refleks
okulokardiak dll.)
8) Produksi urine 0.5 - 1.0 ml/kg/jam.
9) Jika tidak digunakan pelumpuh otot dan pembedahan tidak
memerlukan apnea, diusahakan pasien masih memiliki upaya napas
yang adekuat (tidak dalam keadaan total blok).
10) Perhatikan agar tidak ada bagian tubuh pasien yang tertekan bagian
keras meja operasi terutama berkas saraf (pleksus brakialis,dll)
Dengan cara titrasi yang teliti dapat dicapai relaksasi otot yang memadai
tanpa pasien apnea (namun pasien tetap harus diberi napas buatan). Fungsi
oksigenasi harus dipantau. Idealnya secara berkala di periksa gas darah atau
secara berkesinambungan dengan pulse oxymetry dan CO2 ekspirasi. Minimal
harus dipastikan dada terangkat setiap kali napas buatan diberikan, bibir
nampak merah perfusi jari & selaput hangat dan kering. Derajat kelumpuhan
otot dipantau secara klinis atau lebih baik dengan nerve stimulator. Pada
akhir pembedahan, obat antagonis pelumpuh otot harus diberikan jika napas
spontan belum adekuat.
d. Pengakhiran Anestesi (Emergence)
Anestesia harus dihentikan tepat waktu agar pasien segera sadar
kembali sehingga refleks perlindungan dan fungsi vitalnya kembali normal,
namun dengan efek analgesia yang terkendali. Oksigenasi dan bantuan napas
harus tetap diberikan dan pasien tetap dijaga dengan kewaspadaan/
pemantauan penuh sampai sisa obat (pharmacologic tail) habis.
3. Pelayanan Pasca-Anestesi
21
Setiap pasien pasca tindakan anestesi harus dipindahkan ke Ruang Pulih,
kecuali atas perintah khusus Dokter Anestesi atau Dokter Bedah/ DPJP
menginstruksikan untuk pasien tersebut langsung dirujuk ke UPI. Fasilitas,
sarana dan peralatan Ruang Pulih harus memenuhi persyaratan yang berlaku.
Sebagian besar pasien dapat ditatalaksana di Ruang Pulih, tetapi beberapa di
antaranya memerlukan perawatan di UPI. Pemindahan pasien ke Ruang Pulih
harus didampingi oleh Dokter Anestesi atau anggota Tim Pengelolah
Anestesi.Selama pemindahan, pasien harus dipantau/dinilai secara kontinual
dan diberikan bantuan sesuai dengan kondisi pasien.
Setelah tiba di Ruang Pulih dilakukan serah terima pasien kepada perawat
Ruang Pulih dan disertai laporan kondisi pasien.Kondisi pasien di Ruang Pulih
harus dinilai secara kontinual.Dokter dan atau Tim Pengelolah Anestesi
bertanggung jawab atas pengeluaran pasien dari ruang pulih.
Pemonitoran selama anestesi menjadi acuan untuk pemonitoran selama
periode pemulihan pasca anestesi. Pengumpulan data secara sistematik dan
analisis data yang berlangsung terhadap kondisi pasien yang dalam pemulihan,
mendukung keputusan untuk memindahkan pasien ke ruang intensif atau rawat
inap. Pencatatan data monitoring merupakan dokumentasi untuk mendukung
keputusan untuk memindahkan pasien. Jika pasien dipindah langsung dari
kamar operasi ke ruang intensif, pemonitoran dan pendokumentasian
diperlakukan sama dengan pemonitoran di ruang pulih.
Keluar dari ruang pemulihan pasca anestesi atau menghentikan
pemonitoran pada periode pemulihan dilakukan dengan mengacu ke salah satu
alternatif di bawah ini:
Pasien dipindahkan (atau menghentikan monitoring pemulihan) oleh
seorang anestesiolog yang kompeten penuh atau petugas lain yang diberi
otorisasi oleh petugas yang bertanggung jawab untuk mengelola
pelayanan anestesi.
• Pasien dipindahkan (atau menghentikan monitoring pemulihan) oleh
seorang perawat atau seorang petugas yang setaraf dan kompetensinya
sesuai dengan kriteria pasca anestesi yang dikembangkan oleh pimpinan
rumah sakit dan bukti pemenuhan kriteria didokumentasikan dalam
rekam medis pasien.
• Pasien dipindahkan ke suatu unit yang telah ditetapkan sebagai tempat
yang mampu memberikan pelayanan pasca anestesi atau pasca sedasi
terhadap pasien tersebut seperti ICCU atau ICU.
Pada periode pasca anestesia diberlakukan tindakan dengan standardisasi
sebagai berikut :
22
STANDAR I
Semua pasien yang menjalani anestesia umum, anestesia regional
atau MAC harus menjalani tata laksana pasca-anestesia yang tepat.
a. Sebuah Unit Rawat Pasca-anestesia (Post Anesthesia Care Unit/PACU)
atau suatu wilayah yang melakukan pengelolaan pasca-anestesia yang
paripurna, harus siap untuk menerima pasien pasca-anestesia. Semua
pasien yang menjalani tindakan anestesia harus dimasukkan ke PACU
atau ruangan yang setara dengannya kecuali atas perintah khusus
dokter spesialis anestesiologi yang bertanggung jawab terhadap
pengelolaan pasien tersebut.
b. Aspek-aspek medis pengelolaan di PACU harus diatur oleh
kebijaksanaan dan prosedur yang telah ditinjau dan disetujui oleh KSM
Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Anugerah Tomohon
c. Rancangan, peralatan dan staf PACU harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh badan pemberi lisensi dan akreditasi fasilitas.
STANDAR II
Seorang pasien yang dipindahkan ke PACU harus didampingi oleh
seorang anggota tim pengelola anestesia yang memahami kondisi pasien.
Pasien tersebut harus dinilai secara berkesinambungan dan ditangani
selama pemindahan dengan pemantauan dan bantuan sesuai dengan
kondisi pasien.
STANDAR III
Setelah tiba di PACU, pasien harus dinilai kembali oleh anggota tim
pengelola anestesia yang mendampingi pasien dan laporan verbal diberikan
kepada perawat PACU yang bertanggung jawab.
a. Kondisi pasien setelah tiba di PACU harus dicatat.
b. Informasi yang berkenaan dengan kondisi pra-bedah dan jalannya
pembedahan/anestesia harus disampaikan kepada perawat PACU.
c. Anggota tim pengelola anestesia harus tetap berada di dalam PACU
sampai perawat PACU menerima pengalihan tanggung jawab.
STANDAR IV
Kondisi pasien di PACU harus dinilai secara berkesinambungan.
a. Pasien harus diamati dan dipantau dengan metode yang sesuai dengan
kondisi medis pasien. Perhatian khusus hendaknya diberikan pada
pemantauan oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu. Selama
23
pemulihan penilaian oksigenasi kuantitatif seperti oksimetri pulsa
harus digunakan. Ini tidak dimaksudkan untuk diterapkan selama
pemulihan pasien obstetrik yang menjalani anestesia regional untuk
persalinan dan kelahiran per vaginam.
b. Harus dibuat laporan tertulis yang akurat selama di PACU. Dianjurkan
penggunaan sistem skor PACU yang tepat pada saat pasien masuk di
PACU, secara berkala dengan interval yang sesuai selama di PACU dan
pada saat keluar dari PACU.
c. Supervisi medis umum dan koordinasi pengelolaan pasien di PACU
merupakan tanggung jawab dokter spesialis anestesiologi.
d. Harus ada suatu kebijaksanaan untuk memastikan tersedianya seorang
dokter yang mampu menangani komplikasi dan melakukan resusitasi
jantung paru bagi pasien di PACU.
STANDAR V
Seorang dokter spesialis anestesiologi bertanggung jawab atas
pengeluaran pasien dari PACU.
a. Kriteria pengeluaran dibuat oleh Instalasi Anestesiologi yang disahkan
oleh pihak direksi RSUD Anugerah Tomohon. Kriteria ini yang berlaku
di RSUD Anugerah Tomohon adalah menggunakan kriteria Aldrette
untuk semua pasien kecuali pasien yang akan langsung dipindahkan
ke unit perawatan intensif dan kriteria PADS (Post Anesthetic Discharge
Score) untuk pasien-pasien yang menjalani bedah rawat inap sehari
(ambulatory anesthesia)
b. Tatacara pemindahan dari ruang pulih pascaanestesi (PACU/Post
Anesthetic Care Unit) atau menghentikan monitoring pemulihan di
RSUD Anugerah Tomohondiatur menggunakan salah satu cara
alternatif berikut ini:
1) Pasien dipindahkan (atau menghentikan monitoring pemulihan)
oleh dokterspesialis anestesiologi yang bertugas atau perawat
anestesi yang bertugas di ruang pemulihan (Instalasi Bedah
Sentral)
2) Pasien dipindahkan (atau menghentikan monitoring pemulihan)
olehperawat Post Anesthetic Care Unit(di Kamar Operasi Instalasi
Gawat Darurat), setelah syarat-syarat untuk pindah (discharge
criteria telah terpenuhi) dan bukti pemenuhan kriteria
didokumentasikan dalam rekam medis pasien (catatan anestesia
dan sedasi).
24
3) Pasien dipindahkan ke suatu unit yang telah ditetapkan sebagai
tempat yang mampu memberikan pelayanan pasca anestesi atau
pascasedasi terhadap pasien tertentu, antara lain seperti pada unit
pelayanan intensif atau high care unit.
D. Pelayanan Kritis
Pelayanan pasien kondisi kritis diperlukan pada pasien dengan kegagalan
organ yang terjadi akibat komplikasi akut penyakitnya atau akibat sekuele
dari regimen terapi yang diberikan.
Pelayanan pasien kondisi kritis dilakukan oleh Dokter Anestesi atau dokter
lain yang memiliki kompetensi.
Seorang Dokter Anastesi atau dokter lain yang memiliki kompetensi harus
senantiasa siap untuk mengatasi setiap perubahan yang timbul sampai
pasien tidak dalam kondisi kritis lagi
Penyakit kritis sangat kompleks atau pasien dengan komorbiditi perlu
koordinasi yang baik dalam penanganannya. Seorang Dokter Anestesi atau
dokter lain yang memiliki kompetensi diperlukan untuk menjadi koordinator
yang bertanggung jawab secara keseluruhan mengenai semua aspek
penanganan pasien, komunikasi dengan pasien, keluarga dan dokter lain.
Pada keadaan tertentu ketika segala upaya maksimal telah dilakukan tetapi
prognosis pasien sangat buruk, maka Dokter Anestesi atau dokter lain yang
memiliki kompetensi harus melakukan pembicaraan kasus dengan dokter
lain yang terkait untuk membuat keputusan penghentian upaya terapi
dengan mempertimbangkan manfaat bagi pasien, faktor emosional keluarga
pasien dan menjelaskannya kepada keluarga pasien tentang sikap dan
pilihan yang diambil.
Semua kegiatan dan tindakan harus dicatat dalam catatan medis. Karena
tanggung jawabnya dan pelayanan kepada pasien dan keluarga yang
memerlukan energi pikiran dan waktu yang cukup banyak maka Dokter
Anestesi atau dokter lain yang memiliki kompetensi berhak mendapat
imbalan yang seimbang dengan energi dan waktu yang diberikannya.
Dokter anestesi atau dokter lain yang memiliki kompetensi berperan dalam
masalah etika untuk melakukan komunikasi dengan pasien dan keluarganya
dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan tentang pengobatan dan
hak pasien untuk menentukan nasibnya terutama pada kondisi akhir
kehidupan.
Dokter anestesi atau dokter lain yang memiliki kompetensi mempunyai peran
penting dalam manajemen unit terapi intensif, membuat kebijakan
25
administratif, kriteria pasien masuk dan keluar, menentukan standar
prosedur operasional dan pengembangan pelayanan intensif.
26
Agar pasien dapat cepat dipulangkan, maka perlu dipilih obat anestesia yang
masa kerjanya pendek. Juga demikian halnya dengan narkotik dan obat induksi.
Pasien dapat dipulangkan jika skor PADS-nya >= 9 (Post Anesthetic Discharge
Score), sudah dapat buang air kencing sendiri, berjalan tanpa bantuan orang
lain, memakai baju sendiri, tidak ada perdarahan aktif dan tidak ada rasa nyeri
berlebihan.
Penentuan lokasi unit pembedahan sehari harus mempertimbangkan
unit/fasilitas pelayanan lain yang terkait dengan pembedahan sehari dan akses
layanan dukungan perioperatif.
27
2. Obat anestesia dan adjuvan.
3. Alat dan obat resusitasi.
4. Alat dan obat anestesi umum
5. Alat monitor fungsi vital
Pelaksanaan :
1. Karena pasien akan tetap sadar selama pembedahan maka perlu diberi
penjelasan yang teliti agar tidak merasa takut / gelisah. Jika pasien
terpaksa harus diberi obat-obatan sedatif, maka satu keuntungan teknik
regional berkurang (risiko depresi napas, depresi sirkulasi dan aspirasi
muncul kembali).
2. Pasien harus dipasang akses intravena dan tetap mendapat suplementasi
oksigen.
3. Pemantauan fungsi vital sama dengan tindakan anestesia umum dengan
alat monitor standar.
4. Jika anestesia regional tersebut gagal atau tidak adekuat, maka dapat
dilanjutkan dengan upaya lain. Perhatikan kemungkinan interaksi obat-
obatan yang mengakibatkan hipotensi, syok atau apnea.
28
Selama pemulihan dari anestesi regional, setelah bedah sesar danatau
blok regional ekstensif diterapkan standar pengelolaan pascaanestesi.
Pada pengelolaan pasca persalinan, tanggung jawab utama
dokterspesialis anestesi adalah untuk mengelola ibu, sedangkantanggung
jawab pengelolaan bayi baru lahir berada pada dokterspesialis lain. Jika
Dokter Anestesi tersebut juga dimintauntuk memberikan bantuan singkat
dalam perawatan bayi baru lahir, maka manfaat bantuan bagi bayi
tersebut harus dibandingkan denganrisiko terhadap ibu.
29
BAB IV. DOKUMENTASI
30