PELAYANAN KEDOKTERAN
[PNPK] ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
1
DAFTAR ISI
hal
Pendahuluan ..…………………………………………………………………................................... 1
Anestesi kombinasi: anestesi umum dengan inhalasi dan anestesi regional dengan epidural……...... 12
Anestesi umum pada operasi appendicitis akut tanpa penyulit pada pasien anak ................................ 32
Anestesi umum pada operasi bibir sumbing elektif tanpa penyulit pada pasien anak ......................... 34
ii
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran khususnya anestesiologi
dan terapi intensif menjadi dasar diperlukannya pedoman atau acuan kerja yang berkualitas dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan profesional. Acuan kerja ini dapat menjadi pedoman nasional dalam
memberikan pelayanan kepada pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta.
Permenkes No. 1438/IX/2010 yang mengamanatkan kepada Organisasi Profesi Dokter Spesialis untuk membuat
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran yang akan ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
menjadi acuan setiap institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit/Rumah Sakit Khusus/Klinik dan lain-lain)
dalam membuat Standar Pelayanan Operasional atau Pedoman Pelayanan Klinis di setiap institusinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pengurus Pusat Perhimpunan Doktes Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) berusaha menyusun suatu buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan
Terapi Intensif.
Tujuan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan Terapi Intensif adalah standar prosedur operasional
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif seorang spesialis Anestesiologi dalam kegiatan pelayanan yang
berkualitas, optimal dan profesional.
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum dengan inhalasi via face mask.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan inhalasi via
face mask.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Pethidin 100 mg/fentanyl 100µg (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Sungkup muka
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and
physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management. In:
Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange Medical
Books; 2006. p.412-49.
3
ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum dengan intubasi endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan intubasi
endotrakheal.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and
physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management. In:
Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange Medical
Books; 2006. p.412-49.
5
ANESTESI UMUM DENGAN TOTAL INTRAVENA
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum dengan total intravena.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan total intravena.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Kanula oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and
physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
6
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management. In:
Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange Medical Books;
2006. p.412-49.
7
ANESTESI REGIONAL DENGAN SUBARACHNOID BLOCK
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan spinal
anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Kelengkapan jarum spinal 25/26/27 G (1 buah).
- Lidokain 2% (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% (1 ampul).
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Kassa steril (5 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
- Mesin anestesi.
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
- Pengelolaan nyeri pasca bedah.
4. Prosedur Tindakan 1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen.
2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
4. Indentifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal, injeksi anestesi lokal
lidokain 2% 40 mg.
6. Insersi jarum spinal ditempat yang telah ditandai.
7. Pastikan LCS keluar.
8. Barbotage cairan LCS yang keluar.
9. Injeksikan Bupivacain 0,5% 5-20 mg dikombinasikan dengan
fentanyl 25 µg/pethidin 25 mg intratekal.
8
10. Check level ketinggian block.
11. Maintenance dengan oksigen 2 lt/mnt, sedasi dengan midazolam
2 mg. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology
and physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal, Epidural and
Caudal Blocks. In: Clinical anesthesiology. 4 th Edition. New York:
Lange Medical Books; 2006. p.472-99.
9
ANESTESI REGIONAL DENGAN EPIDURAL
Persiapan 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan spinal
anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
10
penanda.
5. Desinfeksi daerah insersi jarum touchy dan lakukan penyuntikan
anestesi lokal lidokain 2% di tempat insersi.
6. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai dengan teknik
‘Loss Of Resistance’ atau ‘Hanging Drop’.
7. Tarik penuntun pada jarum touchy dan pastikan LCS tidak keluar.
8. Insersikan kateter epidural menuju ruang epidural melalui jarum
touchy.
9. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 2% 60 mg+epinefrin
1:200.000 sebagi dosis test untuk mengetahui kemungkinan
masuknya obat anestesi lokal ke intravena maupun ruang sub
arachnoid.
10. Fiksasi kateter epidural.
11. Maintanance anestesi menggunakan obat anestesi lokal yang
disuntikkan ke ruang epidural sesuai dermatom tubuh yang akan di
blok dan dapat dikombinasikan dengan prosedur anestesi spinal atau
prosedur anestesi umum dengan intubasi endotrakheal.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and
physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal, Epidural and
Caudal Blocks. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York:
Lange Medical Books; 2006. p.472-99.
11
KOMBINASI ANESTESI UMUM DENGAN INHALASI DAN ANESTESI
REGIONAL DENGAN EPIDURAL
Persiapan 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan Kombinasi
baik General anestesia dan Epidural anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan CEGA anestesi
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat dan Bahan:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
12
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
Prosedur Tindakan 1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen.
2. Dilakukan prosedur premedikasi.
3. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
4. Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
5. Indentifikasi tempat insersi jarum touchy epidural dan berikan
penanda.
6. Desinfeksi daerah insersi jarum touchy dan lakukan penyuntikan
anestesi lokal lidokain 2% di tempat insersi.
7. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai dengan teknik
‘Loss Of Resistance’ atau ‘Hanging Drop’.
8. Tarik penuntun pada jarum touchy dan pastikan LCS tidak keluar.
9. Insersikan kateter epidural menuju ruang epidural melalui jarum
touchy.
10. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 2% 60 mg+epinefrin
1:200.000 sebagi dosis test untuk mengetahui kemungkinan
masuknya obat anestesi lokal ke intravena maupun ruang sub
arachnoid.
11. Fiksasi kateter epidural.
12. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl 1µg/kg atau
Pethidin 1 mg/kg dan lidokain 1,5 mg/kg.
13. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
14. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt.
15. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot atracurium 0,5 mg/kg.
16. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
17. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi nafas
kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
18. Maintanance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran/sevofluran/halotan sebanyak 0,5-1,5 vol%,
analgetik berupa fentanyl 1µg/Kg/jam dan pelumpuh otot
Atracurium 0,1 mg/kg/30 menit.
19. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology
and physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal, Epidural and
Caudal Blocks. In: Clinical anesthesiology. 4 th Edition. New York:
Lange Medical Books; 2006. p.412-19.
13
ANESTESI REGIONAL DENGAN BLOK INTERSKALENUS
Persiapan 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
Interskalenus blok anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Nerve Stimulator (1 buah).
- Stimuplex 100 ( 1 buah )
- USG Doppler ( 1 buah )
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 1% (30-40ml).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Alkohol 70%
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
14
Prosedur Tindakan 1. Dilakukan prosedur premedikasi.
2. Posisikan pasien tidur dengan memutar kepala 30 derajat pada sisi
kontralateral
3. Indentifikasi tempat insersi stimuplex dan berikan penanda.
4. Disinfeksi pada daerah interskalenus dengan betadin 10% dan
Alkohol 70%
5. Lakukan penyuntikan anestesi lokal lidokain 2% di tempat insersi.
6. Insersi jarum stimuplex yang dihubungkan dengan nerve stimulator
dengan arus tertentu dengan sudut 30 derajat mediocaudal dengan
bantuan USG doppler.
7. Melihat respon motorik pada target inervasi
8. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 1% 30-40ml+epinefrin
1:200.000 atau Bupivacain 0,375 % melalui kateter pada jarum
stimuplex.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and
physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal, Epidural and
Caudal Blocks. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York:
Lange Medical Books; 2006. p.982-86
15
ANESTESI UMUM PADA BEDAH SESAR
A. Definisi
Caesarean berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya “memotong”. Teknik ini digunakan
pertama kali pada zaman romawi tahun 700 SM untuk mengeluarkan bayi dari seorang wanita hamil aterm
meninggal pada saat persalinan. Dan pasien hidup pertama yang berhasil dilakukan sectio caesarea
diperkenalkan pada tahun 1610 dimana keselamatan dan kondisi optimal dari pasien merupakan fokus
utama pada tindakan bedah tersebut. Keselamatan dari ibu, janin dan bayi harus selalu dipastikan dan ini
memberikan hal yang baru pada dunia anestesia untuk melakuakan pembiusan sectio caesarea. Anestesi
umum dan regional telah digunakan untuk membantu persalinan secara sectio caesarea. 1
Anestesi umum pada sectio caeasarea merupakan teknik yang pertama kali dikembangkan dan
selalu dipertimbangkan pada beberapa kondisi pasien seperti pada hipovolemia maternal, koagulopati,
infeksi pada tempat penyuntikan, peningkatan tekanan intra kranial dan pasien-pasien yang menolak untuk
dilakukan anestesi regional.2
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan, kegagalan anestesi
tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya adalah kemungkinan adanya aspirasi,
masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena obat-obat narkotik.1
B. Indikasi 2,3
Anestesia regional merupakan teknik yang paling sering dilakukan oleh seorang anestesiologi
untuk memfasilitasi anestesia pada sectio caesarea. Indikasi dilakukannya anestesi umum pada sectio
caesarea adalah bila terdapat beberapa kondisi seperti pasien menolak untuk dilakukan anestesi regional,
gagal dalam melakukan anestesi regional ataupun terdapat kontraindikasi dilakukannya anestesi regional
seperti :
1. Koagulopati atau trombositopenia
2. Peningkatan tekanan intra kranial
3. Sepsis
4. Infeksi pada tempat penyuntikan anestesi regional
5. Multiple sclerosis
6. Syok hipovolemik
Teknik Anestesi5,7
1. Pasien dalam posisi supinedengan dengan bantalan pada pinggul kanan untuk memposisikan rahim ke
sebelah kiri (left uterine displacement)
2. Denitrogenisasi dengan menggunakan oksigen 100%, 3-5 menit
3. Persiapkan pasien, asepsis antisepsis dan dibungkus dengan kain pembedahan steril
4. Saat dokter bedah sudah siap, pemberian analgetik opioid short acting untuk menumpulkan respons
simpatis pada saat intubasi dapat diberikan, teknik rapid sequence induction dengan penekanan cricoid
(Sellick's maneuver) dapat dilakukan menggunakan propofol 2mg/kg atau ketamine 1-2 mg/kg,
danpelumpuh otot succinylcholine 1.5mg/kg atau rocuronium 0.9-1.2mg/kg
5. Pembedahan dimulai setelah ETT dikonfirmasi berada pada tempat yang tepat. Hiperventilasi yang
berlebihan harus dihindari (PaCo2 <25 mmHg) karena dapat menurunkan aliran darah uterus dan
berhubungan dengan asidosis fetus
6. 50 % N2O dalam oksigen dengan 0.75 MAC dari gas anestesi (sevoflurane 1%, isofluurane 0.75% atau
desflurane 3%) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis rendah anestesi inhalasi membantu
memberikan efek amnesia akan tetapi tidak cukup kuat untuk menyebabkan uterus relaksasi atau
mencegah uterus kontraksi akibat pemberian oksitosin. Pelumpuh otot durasi menengah (atracurium,
cisatracurium atau rocuronium) dapat diberikan akan tetapi durasi pelumpuh otot tersebut mungkin
akan memanjang pada pasien yang menerima magnesium sulfat
7. Setelah bayi dan placenta lahir, 20-80 unit oksitosin harus segera diberikan dalam 1 liter cairan infusan
pertama dan 20 unit lagi pada cairan infus berikutnya. Penambahan propofol, opioid atau
benzodiazepine dapat diberikan untuk memastikan pasien dalam keadaan amnesia
8. Bila uterus tidak berkontraksi dengan baik, maka opioid harus segera diberikan dan anestesi inhalasi
golongan halogen harus segera dihentika. Methylergonovine (Methergin) 0.2 mg IM atau dalam 100 ml
NaCl infus lambat harus seger diberikan akan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri.
Methylprostaglandin F2, 0.25 mg IM juga dapat diberikan.
9. Dapat digunakan oral gastric tube untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi paru dalam
keadaan gawat darurat.
10. Pada akhir pembedahan, pelumpuh otot harus secara total di-reverse, gastric tube dilepas, dan pasien
diekstubasi saat sadar untuk mengurangi risiko aspirasi.
Bila terdapat kemungkinan kesulitan jalan nafas, penggunaan video assisted laryngoscopy
(glidescope) dapat mengurangi insiden kegagalan intubasi. Walaupun demikian kita harus memiliki strategi
untuk mengatasi kegagalan intubasi endotrakheal. Bila tidak terdapat gawat janin maka pasien harus
dibangunkan. terjadi gawat janin. Pada pasien dengan gawat janin, jika ventilasi spontan atau ventilasi
tekanan positif (dengan sungkup atau LMA) dengan tekanan krikoid memungkinkan, percobaan untuk
melahirkan janin dapat dilakukan. Dalam hal ini, agen volatil poten dengan oksigen diberikan untuk
anestesi, tapi saat janin dilahirkan, dapat ditambahkan NO 2 untuk mengurangi konsentrasi agen volatil;
sevofluran merupakan agen volatil terbaik karena mempunyai efek depresi pernafasan paling sedikit. Jika
ventilasi ke pasien tidak dapat diberikan, butuh dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi secepatnya 6.
17
Gambar 1. Algoritma sulit intubasi pada pasien obstetrik (sumber : Frolich MA, Butterworth JF, Mackey
DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. Obstetric Anesthesia . New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Keleş E, Yazgan H, Gebeşçe A, Pakır E. Clinical Study : The Type of Anesthesia Used during Cesarean
Section is Related to the Transient Tachypnea of the Newborn. ISRN Pediatrics Volume 2013. April 7th,
2013. Downloaded from http://www.hindawi.com/journals/isrn.pediatrics/2013/264340/. Accessed April
12th, 2014.
2. McGlennan Alan, Mustafa Adnan. General Anaesthesia for Caesarean Section. Continuing Education
Critical Care & Pain Volume 9, 2009. Downloaded from
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/9/5/148.full.pdf. Accesed April 12th, 2014.
3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins; 2006.
4. Martin TC, Bell P, Ogunbiyi O. Comparison of General Anaesthesia and Spinal Anaesthesia for Caesarean
Section in Antigua and Barbuda. West Indian med. j. vol.56 no.4 Mona Sept. 2007 [serial online].
Downloaded from http://caribbean.scielo.org/scielo.php?
pid=S004331442007000400004&script=sci_arttext. Accessed April 12th, 2014.
5. Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th
ed. Obstetric Anesthesia . New York :Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
6. Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th
ed. Maternal & Fetal Physiology & Anesthesia. New York : Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion;
2013.
7. Joseph A, Mushambi M. Principles of General Anaesthesia for Caesarean Section. Updated January
2010. Downloaded from http://www.oaa-anaes.ac.uk/assets/_managed/editor/File/Guidelines/GA
%20section/GA_forCS_mushambi_leicester.pdf. Accessed April 12th, 2014.
19
Latar Belakang
Pemilihan SC terus meningkat hingga saat ini berkisar antara 25-30% secara nasional dan internasional.
Persalinan dengan SC dilakukan paling sering dengan insisi transversal di abdomen bagian bawah (pfanensteil).
Dengan diseksi dari fascia dan pemisahan otot rectus abdominis, diikuti pembukaan peritoneum, insisi uterus
secara transversum (histerotomi).
Teknik ini merupakan pilihan terbaik pada section caesaria dengan fetal distress. Resiko lebih rendah terhadap
ibu dan neonatus, serta memberikan kenyamanan kepada ibu.
Tujuan
1. Mencegah terjadinya nyeri yang ditimbulkan selama operasi SC
2. Meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan.
Fentanyl merupakan obat tambahan untuk bupivacain yang sangat tepat dalam anestesia spinal pada ibu hamil.
Dosis fentanyl 10 mcg secara segera memberikan efek yang baik dalam blok nyeri intraoperatif dengan efek
samping yang minimal. Fentanyl harus tetap diberikan dalam anestesia spinal, walaupun telah digunakan morfin
untung analgesia post operatif.
Dosis duramorph (preserfatif morfin bebas dalam spinal) dapat dimasukkan ke dalam regimen spinal, terutama
untuk control nyeri postoperative. Penelitian menggunakan metode double-blinded random yang
21
membandingkan morfin intratekal 100 mcg, 200 mcg dan 3 mg duramorph, terbukti pengurangan insiden gatal
pada dosis morfin 100 mcg.
Bupivacaine dengan dosis 12 mg dapat memberikan anestesia selama 90 menit sejak regimen disuntikkan.
Lidocain spinal dapat memberikan anestesia selama 45-60 menit menurut kisaran dosis. Apabila dibutuhkan
peningkatan durasi kerja obat yang lebih untuk antisipasi operasi yang lebih lama, maka dapat dilakukan 4
pilihan:
1. Dosis bupivacaine ditingkatkan menjadi 15 mg (2 cc), dapat memberikan tambahan waktu 15 sampai 20
menit.
2. Penambahan epinefrin 0,2 mg ke dalam regimen spinal. Dapat memberikan tambahan waktu 15-20 menit
dan meningkatkan densitas dari blok. Akan tetapi penggunaan epinefrin menyebabkan pemanjangan blok
motorik, sehingga secara tidak langsung juga memperlama waktu pulih dari blok. Sehingga regimen ini
tidak menjadi pilihan yang tepat.
3. Hindari penggunaan spinal dan epidural bersamaan.
Anestesia Epidural
Persiapan untuk Anestesia Epidural
1. Bila waktu insisi telah ditetapkan, maka pasien harus telah diposisikan diatas meja operasi 30 menit
sebelumnya. Apabila diprediksi adanya kemungkinan kesulitan dalam teknik epidural maka sebaiknya
dimulai lebih awal.
2. Co-loading: Setiap pasien harus telah terpasang IV line dan dipastikan lancar. Pemberian RL awal
dianjurkanselama tindakan anestesia epidural.
3. Posisikan uterus ke lateral.
4. Obat yang dapat digunakan untuk section Caesar:
2-Chloroprocain 3%
2-Chloroprocain 3% dalam volume 20-25 mL memberikan efek anestesia yang cepat pada operasi dan bertahan
sampai 45 menit. Diperlukan penambahan dosis 10 mL ( 1,5 x dosis) setiap 30 menit dari pemanjangan waktu
operasi.
Penambahan dosis 10 mL adalah sangat penting, hal ini mengingat ketidak nyamanan pasien akibat nyeri terjadi
dengan sangat cepat. Dan sangat sulit untuk membuat pasien kembali nyaman bila nyeri tersebut telah
meningkat.
Chloroprocain 3% memiliki durasi kerja yang sangat singkat jika dibanding obat lokal anestesia lainnya ( 23
detik pada ibu dan 45 detik pada fetus). Obat ini menjadi pilihan pada keadaan futus asidosis (contoh; fetal
distress) karena: memiliki waktu paruh yang pendek, onset cepat, ion-trapping fetus sangat sedikit dan kekuatan
blok.
Onset kerja dapat dikurangi dengan penambahan sodium bikarbonat 1 mL dan 2-chloroprokain 3% 10 mL. 2-
chloroprokain 3% bekerja sebagai antagonis μ epidural. Penambahan fentanyl tidak memperkuat efek blok
22
sedangkan penambahan morfin tidak banyak dalam menambah durasi kerja (dikarenakan sifat obat). Walaupun
demikian penggunaan duramorph masih berguna dalam tatalaksana nyeri post operasi.
2-chloroprocain 3% memiliki efek penting yaitu kemampuan dalam difusi ke jaringan. Efek ini dapat berguna
pada saat blok epidural yang menggunakan lidocaine 2% hanya bekerja sempit, walaupun dengan volume yang
maksimal dan telah ditambahkan fentanyl ke dalam regimen. 2-chloroprokain 10 mL dalat emeberikan analgesia
yang cukup, tanpa perlu merubah teknik menjadi general anestesia.
Dosis 2-chloroprokain 3% untuk epidural pada SC
2-chloroprokain 3% 20-25 mL
Sodium bikarbonat 2-3 mL
Duramorph 4 mg untuk tatalaksana nyeri post operatif
(Penambahan obat dilakukan setiap 30 menit)
23
Definisi Pemberian anestesia yang adekuat, pemasangan dan interprestasi pemantauan,
invasif maupun tidak pada pasien yang menjalani operasi jantung
Indikasi Pasien dengan penyakit jantung tanpa penyulit yang akan menjalani operasi
operasi-operasi sebagi berikut :
- CABG
- Katub jantung
- Kelainan Kongenital Dewasa
Daftar Pustaka
Indikasi Pasien dengan penyakit jantung yang akan menjalani operasi operasi-operasi
sebagi berikut :
- CABG :
- Katub jantung
- Kelainan Kongenital Dewasa
- Pembuluh darah besar
- Kombinasi tindakan operasi di atas
3. Persiapan Obat
a. Obat sedatif hipnotik: midazolam 15 mg ampul(1)
b. Obat analgetik narkotik: Sufentanyl @ 50 mcg ampul (2)
c. Obat pelumpuh otot: Pankuronium 4 mg ampul (3)
d. Obat inhalasi: SEVOFLURAN 250 cc
e. Obat antiaritmia: Amiodaron ampul(1),
f. Obat inotropik dan vasoaktif
g. Obat emergensi
h. Obat profilaksis mual muntah
i. Obat antidotum
5. Induksi :
- Morfin 10-30 mg (0.5 mg/kg) atau
- Etomidate 0.15-0.3 mg/kg atau propofol 1-3 mg/kg
27
- Fentanil 1-2mg (10-20 ug/kg) atau sufentanil 1-2 ug/kg, turunkan
dosis jika direncakan ekstubasi lebih awal
- Pankuronium 6-8 mg(70-100 ug/kg), vecuronium 4-8 mg (70-100
ug/kg), rocuronium 0.3 – 1.2 mg/kgbb
6. Intubasi :
- Intubasi dilakukan dengan ukuran ETT yang sesuai
- Lakukan ventilasi manula terlebih dahulu lalu ganti ke ventilasi
mekanik (Fi02 0.3-0.5 (air/02)
7. Pemasanagan kanula untuk mengukur tekanan vena sentral.
8. Pemasanagan kanula untuk mengukur arteri pulmonal
9. Pemasangan IABP atas indikasi.
10. Pemasangan ECMO atas indikasi
11. Pasang temperature probe nasal
12. Pemasangan probe TEE
13. Duk untuk mengganjal lengan dan badan pasien
14. Pasang anesthetic screen
15. Diathermy pad
16. Pasang kateter urine
17. Pasang ganjal bahu dan bantal kepala
18. Cek posisi kepala, bila diperlukan, tambahkankain di bawah ganjal kepala
agar posisi kepala tidak hiperekstensi
19. Pasang duk alas di bawah kepala, pastikan semua tubing/line dan three
way stopcocks berada pada posisi yang terlihat dan mudah dijangkau
20. Setelah pasien siap untuk prosedur operasi :
- Cek ventilasi pasien : laju nafas 10-12 kali.menit
- Minute volume diatur untuk mendapatkan PaCO2 sekitar 35-40mmHg
- Bacterial/viral filter dengan penghangat dan moisture exchanger
- Pasang tiang tranduser, pindahkan tranduser dan lakukan kalibrasi
- Pastikan pasien telah mendapatkan analgesia yang cukup
(morfin/fentanil/sufenantil)
- Dalamkan anestesi dengan gas anestesi inhaasi 0.5%
sevoflurane/desflurane
- Siapkan heparine 3mg/kgbb, berikan heparine sesuai permintaan
spesialis bedah,
- Mulai hitung waktu setelah heparin diberikan, catat waktu dan dosis ke
dalam status anestesi
- Cek ACT 5 menit, setelah pemberian heparin. Jika < 400 detik beri
tambahan dosis heparin 1 mg/kg
- Catat dengan seksama waktu penambahan pelumpuh otot intermittent
21. Saat berada dalam mesin pintas
Pintas parsial :
- Berikan 02 100%
- Catat waktu
- Matikan sevoflurane/desflurane,alihkan pemberian anestesi inhalasi
melalui mesin CPB jika direncanakan teknik sedasi inhalasi selama
periode CPB
- Perhatikan tekanan vena, seharusnya menurun
- Perhatikan tekanan arterial, biasanya hanya tampak pulsasi kecil
Pintas total :
- Saat aorta ascending di klem, terjadi fibrilasi ventrikel, ventilasi
diubah ke sirkuit manual
- Buka valve. Minimal gas flow
- Ctata waktu
- Mulai penghitungan untuk iskemik miokard
22. Pemberian kardioplegia oleh perfusionist menggunakan pump. Catat
waktu :
- Saat dumulainya CPB
- Saat aorta diklem
- Saat dilepaskannya klem aorta
- Saat CPB berakhir
28
23. Perhatikan betul hasil-hasil :
- Analisa gas darah
- Jumlah produksi urin selama CPB
- Jumlah hemofiltrasi selama CPB
24. Perhatikan obat yang diberikan saat berada dalam mesin pintas
25. Klem aorta dilepas,:
- Lakukan deairing (pada operasi jantung terbuka) dengan
memposisikan kepala lebih rendah dan pemberian ventilasi manual
perlahan
- Perfusi koroner kembali setelah klem aorta dilepas tetapi jantung
masih VF
- Pasang defibrillator 20-30 joule
- Observasi jantung dan EKG
- Berikan 50 mg xylocard/amiodarone 150-300 mg bolus perlahan di
mesin ke akses CVP jika defib dilakukan lebih dari 1 kali
26. Akhir dari mesin pintas:
- Mulai lagi ventilasi
- Ventilasi dengan 02 100%
- Ventilasi dimulai saat graft vena proksimal dijahit saat operasi
CABG dan secepatnya saat irama jantung normal pada operasi yang
lain
- Sebagai tambahan, berikan nafas secara perlahan dengan oksigen
saat aorta/atrium kiri/atrium kanan ditutup
- Mulai kembali ventilasi
- Akses untuk mengukur tekanan atrium kiri akan dipasang oleh
spesialis bedah pada beberapa pasien jika diperlukan
27. Penyapihan dari mesin pintas :
- Evaluasi CVP : cold, conduction, calcium, cardiac output, cells,
coagulation, ventilaton, vaporizer, volume expanders , visualization,
predictors, protamine, pressure, pressors, pacers, potassium
28. Saat akhir operasi :
- Teruskan IPPV
- Evaluasi hemodinamik pasien
- Amankan jalur-jalur intravena, arteri, CVP dan PA
- Pasien dipindahkan setelah drainase dada diklem, kabel EKG dicabur,
kantong urine dilepas dan yang paling akhir adalah melepas akses
monitor tekanan vena sentral dan pulmonal arterial.
- Monitor tekanan arterial paling akhir dilepas
29. Pasien dipindahkan dengan ventilasi manual, SpO2 dan monitor tekanan
arteri
Daftar Pustaka
Pengertian Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi tonsilektomi
dengan menggunakan anestesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien
menggunakan pipa endotrakheal tube yang dimasukkan ke dalam trakhea
29
Indikasi 1. Pembedahan pada Tonsilektomi
Persiapan 1. Pasien:
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum
pada operas tonsilektomi dengan intubasi endotrakheal
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
tonsilektomi dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang:
DL, FH
ECG bila ada indikasi
Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2% (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midozolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl / Morphine 10 mg / Pethidin
100mg / (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau vecuronium
10 mg (1 ampul)
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkrink nomor sesuai dengan perhitungan [(umut/4)+4],
disiapkan 1 nomor dibawahnya dan 1 nomor diatasnya.
- Suction cath sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isolfulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter:
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA teristimewa pasien dengan tonsil besar
serta riwayat OSA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan 1. Pemasangan IV line
2. Pemasangan mmonitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, precordial.
3. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
4. Fentanyl 1 mcg/kg atau Remifentanyl 1 mcg/kg dan lidocaine 1,5 mg/kg.
5. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
6. Laringoskopi dan insersi pipa endotracheal, meleakkan pipa endotracheal
ditengah bibir
7. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi nafas
kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
30
8. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4 lt/mnt, anestesi inhalasi
isofluran / sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol % analgetik berupa
fentanyl atau remifentanyl atau morphine atau pethidine dan pelumpuh
otot rocuronium, atau atracurium atau vecuronium dosis sesuai umur dan
berat badan.
9. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi
10. Monitoring fungsi vital (Spo2, ECG, Nadi, Tekanan darah dan suara nafas
dengan precordial, memperhatikan posisi mouthgag agar tube tidak
endobronchial)
11. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0.5 – 2 mg + SA 0.25 – 1 mg)
12. Injeksi analgetik post op
13. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan pasien sudah sadar baik
Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan
2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
3. Posisi Tonsil, yaituyaitu tubuh dimiringkan semilateral, kepala ekstensi
tanpa bantal disangga oleh lengan yang diatas diletakkan dibawah kepala,
tungkai yang bawah diletakkan lurus yang atas fleksi
4. Atasi komplikasi yang terjadi terutama pendarahan
5. Pertahankan suhu tubuh
6. Memberikan cairan rumatan intravena
7. Memberikan analgesia yang cukup
Tingkat evidens IV
Tingkat rekomendasi C
Penelaah kritis 1.
2.
Indikator Prosedur Tindakan 90% dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal.
Kepustakaan 1.
2.
Pengertian Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi appendicitis akut
dengan menggunakan anestesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien
menggunakan pipa endotrakheal tube yang dimasukkan ke dalam trakhea
31
Indikasi 1. Pembedahan pada appendicitis akut
Persiapan 1. Pasien:
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum pada
operasi appendicitis akut dengan intubasi endotrakheal
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
appendicitis akut dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang:
DL, FH
ECG bila ada indikasi
Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2% (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midozolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl / Morphine 10 mg / Pethidin 100mg /
(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau vecuronium
10 mg (1 ampul)
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkrink nomor sesuai dengan perhitungan [(umut/4)+4], disiapkan
1 nomor dibawahnya dan 1 nomor diatasnya.
- Suction cath sesuai dengan umur
- NG tube no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isolfulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter:
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan 1. Pemasangan iv line
2. Pemasangan monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, precordial.
3. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
4. Fentanyl 1 mcg/kg atau Remifentanyl 1 mcg/kg dan lidocaine 1,5 mg/kg.
5. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
6. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium 1 mg/kg atau
atracurium 0,5 mg/kg atau vecuronium 1 mg/kg
7. Laringoskopi dan insersi pipa endotracheal, meleakkan pipa endotracheal
ditengah bibir
32
8. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi nafas
kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
9. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4 lt/mnt, anestesi inhalasi
isofluran / sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol % analgetik berupa
fentanyl atau remifentanyl atau morphine atau pethidine dan pelumpuh
otot rocuronium, atau atracurium atau vecuronium dosis sesuai umur dan
berat badan.
10. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi
11. Monitoring fungsi vital (Spo2, ECG, Nadi, Tekanan darah dan suara nafas
dengan precordial, memperhatikan posisi mouthgag agar tube tidak
endobronchial)
12. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0.5 – 2 mg + SA 0.25 – 1 mg)
13. Injeksi analgetik post op
14. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.
Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan
2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi
Tingkat evidens IV
Tingkat rekomendasi C
Penelaah kritis 1.
2.
Indikator Prosedur Tindakan 90% dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal
Kepustakaan 1.
2.
Definisi Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi bibir sumbing
dengan menggunakan anestesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien
menggunakan pipa endotrakheal tube yang dimasukan ke dalam trakhea
33
Kontra Indikasi Tidak ada.
Persiapan 1. Pasien
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum pada
operasi bibir sumbing dengan intubasi endotrakheal .
- Ijin pesetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi bibir
sumbing dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang :
DL,FH
ECG bila ada indikasi
Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2 %(3 ampul)
- Efidrin 50 mg ( 1 ampul)
- Midazolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100mmcg/Remifentanyl/Morphine 10 mg/ Pethidin 100 mg/(2
ampul )
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg ( 1ampul ) ,atau
vecuronium 10 mg )1 ampul )
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkink atau RAE nomor sesuai dengan perhitungan (umur/4)+4 )
,disiapkan 1 nomor dibawah nya dan 1 nomor diatasnya.
- Suction cath no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isoflurance/Sevoflurance (1 boto)
- Laringgoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan 9. Pemasangan IV line
10.Pasang monitor standar berupa, tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen,
suhu, EtCO2, stetoskop precordial.
11.Pemasangan pipa nasogastric dengan nomor besar dengan kateter
berlubang, dilakukan aspirasi sebelum induksi dengan bayi posisi miring
kiri, kanan dan terlentang untuk membersihkan volume sisa dari lambung.
12.Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
13.Atropine 0,02mg/kg IV.
14.Fentany l mcg/kg atau Remifentanyl l mcg/kg dan lidocaine 1,5 mg/kg.
15.Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
16.Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium l mg/kg (rafid
sequence intubation dengan penekanan cricoid merupakan pilihan).
17.Awake intubasi dipertimbangkan apabila intubasi tampak sulit.
18.Laringoskop dan insersi pipa endotrakheal.
34
19.Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi nafas
kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
20.Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt, anestesi inhalasi
isofluran/sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol%, analgetik berupa
fentanyl atau remifentanyl atau morphine 0.1 - 1mg/kg atau dan pelumpuh
ototnocuronium, atau atracurium atau vecuronium.
21.Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi.
22.Monitoring fungsi vital (SpO2, ECG, Madi, Tekanan darah, suhu)
23.Akhir prosedur memeriksa mukosa pylorus dengan memberikan udara
melalui ppa nasogastrik.
24.Injeksi perlahan reversal neostigmine (0,5 - 2 mg + SA 0.25 - 1 mg)
25.Injeksi analgetik post op dengan paracetamol loading dose 30-40mg/kg
diikuti 15-20mg/kg BB tiap 6 jam, hindari opioid untuk mencegah apnea
operasi, infiltrasi bupivacaine 0.25% 2mg/kg BB untuk infiltrasi pada luka.
26.Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan sudah sadar baik.
Pasca Prosedur Tindakan 4. Observasi tanda vital di kamar pemulihan atau NICU.
5. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
6. Bayi premature atau riwayat premature harus diletakkan monitor apnea
selama 6-12 jam.
7. Bayi dapat diberi makan setelah 12-24 pasca bedah.
8. Atasi komplikasi yang terjadi terutama hypoglisemia.
Tingkat Evidens IV
Tingkat Rekomendasi C
Penelaah Kritis
Indikator Prosedur Tindakan 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal.
Daftar Pustaka 1. Bisonnette B, Sullivan PJ.Pyloric Stenosis. Can J Anesth 1991;38:668-670
2. Roberts JD, Cronin JH, Todres ID. Neonatal Surgical Emergencies. In :
Cote CJ, Todres ID, Goutsouzian NG Ryan JF (Eds). A Practice of
Anesthesia for infants and Children. 3rd ed.WB Saunders 2001; 14: 294-
315
3. Rebecca
Definisi Tindakan anestesi pada pasien anak dengan hypertrofi pyloric stenosis
dengan menggunakan anestesi inhalasi yang dihantarkan pada pasiesn
menggunakan pipa endotrakheal tube yang dimasukkan ke dalam
trakhea.
35
Kontra Indikasi Tidak ada.
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi hypertrofi pyloric stenosis dengan intubasi
endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
hypertrofi pyloric stenosis dengan intubasi endotrakheal.
- Pemeriksaan penunjang :
DL, FH.elektrolit (Na,K,Cl,Ca), BGA, (CL, Na,pH urine)
ECG bila ada indikasi
Thorak Foto
USG Abdomen
- Pasien dipuasakan.
- Pemasangan IV line dan resusitasi cairan sesuai derajadnya
(target resusitasi Clor serum >=106mmol/l, Na
serum.=135mmol/l, HCO3serum <=26mmol/L, Cl urin
>20mmol, urine lml/kgBB/jam)
- Penganan gangguan asam basa dan dehidrasi harus terkoreksi
sebelum pembedahan.
- Pemasangan Pipa nasogastric yang sesuai.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau
vecuronium 10 mg (1 ampul) .
- Neostigmin 0.5 mg/ml
- Paracetamol 1g
- ETT nomor sesuai dengan perhitungan {(umur/4)+4}, disiapkan
1 nomor di bawahnya dan 1 nomor di atasnya.
- Suction cath no sesuai dengan umur
- NG tube no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- IV cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isofulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi.
3. Dokter :
- Visite perioperative, resusitasi cairan dan koreksi gangguan
36
elektrolit sebelum pembedahan dan anestesi.
- Penentuan klasifikasi PS ASA.
- Check list kesiapan anestesi.
Prosedur Tindakan 1. Pemasangan IV line
2. Pasang monitor standar berupa, tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, suhu, EtCO2, stetoskop precordial.
3. Pemasangan pipa nasogastric dengan nomor besar dengan kateter
berlubang, dilakukan aspirasi sebelum induksi dengan bayi posisi
miring kiri, kanan dan terlentang untuk membersihkan volume sisa
dari lambung.
4. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
5. Atropine 0,02mg/kg IV.
6. Fentany l mcg/kg atau Remifentanyl l mcg/kg dan lidocaine 1,5
mg/kg.
7. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
8. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium l mg/kg
(rafid sequence intubation dengan penekanan cricoid merupakan
pilihan).
9. Awake intubasi dipertimbangkan apabila intubasi tampak sulit.
10.Laringoskop dan insersi pipa endotrakheal.
11.Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi nafas
kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
12.Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran/sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol%,
analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine 0.1 -
1mg/kg atau dan pelumpuh ototnocuronium, atau atracurium atau
vecuronium.
13.Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi.
14.Monitoring fungsi vital (SpO2, ECG, Madi, Tekanan darah, suhu)
15.Akhir prosedur memeriksa mukosa pylorus dengan memberikan
udara melalui ppa nasogastrik.
16.Injeksi perlahan reversal neostigmine (0,5 - 2 mg + SA 0.25 - 1 mg)
17.Injeksi analgetik post op dengan paracetamol loading dose 30-
40mg/kg diikuti 15-20mg/kg BB tiap 6 jam, hindari opioid untuk
mencegah apnea operasi, infiltrasi bupivacaine 0.25% 2mg/kg BB
untuk infiltrasi pada luka.
18.Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan sudah sadar baik.
Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan atau NICU.
2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
3. Bayi premature atau riwayat premature harus diletakkan monitor
apnea selama 6-12 jam.
4. Bayi dapat diberi makan setelah 12-24 pasca bedah.
5. Atasi komplikasi yang terjadi terutama hypoglisemia.
Tingkat Evidens IV
Tingkat Rekomendasi C
Penelaah Kritis
Indikator Prosedur Tindakan 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal.
Daftar Pustaka 4. Bisonnette B, Sullivan PJ.Pyloric Stenosis. Can J Anesth
1991;38:668-670
5. Roberts JD, Cronin JH, Todres ID. Neonatal Surgical Emergencies.
In : Cote CJ, Todres ID, Goutsouzian NG Ryan JF (Eds). A Practice
of Anesthesia for infants and Children. 3rd ed.WB Saunders 2001;
14: 294-315
6. Rebecca
37
PROSEDUR ANESTESI UMUM PADA OPERASI GASTROSCHISIS PADA
NEONATUS
38
Kontra Indikasi Tidak ada.
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi gastroschisis dengan intubasi endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
gastroschisis dengan intubasi endotrakheal.
- Pemeriksaan penunjang :
DL, FH,Elektrolit
Thorak Foto (babygram)
- Pasien dipuasakan.
- Penggantian kehilangan cairan sesuai dengan derajad
dehidrasi menggunakan cairan kristaloid.
- Pemasangan IV line di extremitas atas yang cukup besar dan
lancar
- Pengosongan isi lambung dengan aspirasi isi lambung.
- Menjaga suhu tetap hangat akibat evaporasi yang cukup besar
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidocaine 2 % (1 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl / Morphine 10 mg (1 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau
vecuronium 10 mg (1 ampul) .
- Neostigmin 0.5 mg/ml
- Paracetamol 1g
- ETT nomor sesuai dengan perhitungan 2.5 - 3.5, disiapkan 1
nomor di bawahnya dan 1 nomor di atasnya.
- Suction cath no sesuai dengan umur
- NG tube no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- IV cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isofulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi.
- Jackson rees dengan bag ukuran sesuai
- Spuit ukuran 10cc, 5cc, 3cc sesuai kebutuhan
- Matras penghangat
- Penghangat cairan infus
39
- Selimut dan topi untuk mencegah hypothermia
3. Dokter :
- Visite perioperative.
- Penentuan klasifikasi PS ASA.
- Check list kesiapan anestesi.
Prosedur Tindakan 1. Pemasangan IV line
2. Pasang monitor standar berupa, tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, suhu rectal, Precordial.
3. Penilaian kembali status hidrasi bila normovolemi baru
melanjutkan induksi.
4. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
5. Fentany l mcg/kg atau Remifentanyl l mcg/kg dan lidocaine 1,5
mg/kg.
6. Pengosongan lambung dengan aspirasi isi lambung.
7. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
8. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium l mg/kg
(rapid sequence intubation) atau awake intubation.
9. Laringoskop dan insersi pipa endotrakheal.
10. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi nafas
kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
11. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran/sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol%,
analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine 0.1 -
1mg/kg atau dan pelumpuh ototnocuronium, atau atracurium atau
vecuronium.
12. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi.
13. Monitoring fungsi vital (SpO2, ECG, Madi, Tekanan darah, suhu
rectal)
14. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0,5 - 2 mg + SA 0.25 - 1
mg)
15. Injeksi analgetik post op.
16. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat, pertimbangkan tetap tube in
apabila penutupan rongga abdomen membuat kemampuan bernafas
tidak adekuat.
17. Menjaga pasien tetap hangat selama prosedur tindakan.
Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di NICU.
2. Terapi oksigen atau tube in sementara sampai toleransi penutupan
rongga abdomen tidak mengganggu ventilasi paru.
3. Atasi komplikasi yang terjadi terutama akibat teknan intra
abdominal yang tinggi meliputi penurunan perfusi organ, cadangan
nafas atelektasis lobus paru..
Tingkat Evidens IV
Tingkat Rekomendasi C
Penelaah Kritis
Indikator Prosedur Tindakan 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di anestesi dengan
anestesi umum intubasi endotrakheal.
Daftar Pustaka 1. Roberts JD, Cronin JH, Todres ID. Neonatal Surgical Emergencies.
In : Cote CJ, Todres ID, Goutsouzian NG Ryan JF (Eds). A
Practice of Anesthesia for infants and Children. 3rd ed.WB
Saunders 2001; 14: 294-315
2. Rebecca
40
NYERI RADICULAR CERVICAL
Pengertian
Nyeri yang menjalar dari regio leher ke daerah ekstremitas atas, yang dirasakan seperti rasa tersengat listrik,
yang disebabkan karena iritasi atau kerusakan saraf spinal cervical
Patogenesis
Aktifitas ektopik pada serabut afferent nosisepsi di serabut saraf spinalis atau pada akar saraf serabut spinalis
cervical, atau mekanisme neuropatik lainnya.
41
Anamnesis
Nyeri radicular yang ditandai dengan nyeri pada leher yang menjalar ke bahu, lengan atas, kadang-kadang
sampai ke tangan. Penyebaran mengikuti pola dermatom persyarafan, seperti dermatom C4 melibatkan leher
dan daerah suprascapular; dermatom C5 meliputi penyebaran ke daerah lengan atas; pada dermatom C6-C7
penyebaran meliputi daerah leher, bahu, lengan dan tangan. Penyebaran terjadi pada struktur yang dipersarafi
akar saraf seperti otot, ligamen, sendi, dan kulit.
Pemeriksaan fisis
- Tes sensasi, kekuatan motorik, dan refleks tendon
- Tes Spesifik : Neck Compression Test ( Spurling Test)
Shoulder abduction Test,
Axial Manual traction Test
Pemeriksaan Penunjang
- CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral cervical.
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan
dan iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya.
- Diagnostik selective nerve root block, untuk mengetahui segmen cervical penyebab utama sumber nyeri.
Diagnosis Banding
Nyeri pada sendi facet cervical,sendi bahu, Infeksi, penyakit vaskular, tumor
Tata Laksana
Penanganan konservatif :
- NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat bila tidak ada kontra indikasi
- COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
- Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
- Terapi Rehabilitasi
Tindakan Intervensi :
Epidural Corticosteroid : Teknik Interlaminer atau transforaminal dengan penuntun fluoroskopi
Radiofrekuensi ablasi pada Dorsal Root Ganglia, thermal dan pulsed rediofrekuency
Pembedahan: Pada nyeri yang refrakter dengan terapi sebelumnya, atau pada nyeri radikulopatik (nyeri
radikular yang disertai dengan kelemahan motorik )akibat penekanan pada spinal cord (myelomalacia)
Spinal Cord Stimulation
Tingkat Evidence
Teknik Skor
Interlaminar corticosteroid administration 2B+
Transforaminal corticosteroid administration 2B-
Radiofrequency treatment adjacent to the dorsal root ganglion (DRG) 2B+
Pulsed radiofrequency treatment adjacent to the DRG 1B+*
Spinal cord stimulation 0
Kepustakaan
- Jan VZ, Marc H, Jacob P, Arno L, Nagy M, Marteen van K. Evidence-Based interventional pain
medicine. Cervical Radicular Pain. 2012;4:18-29
- Rathmell JP, Aprill C, Bogduk N. Cervical transforaminal injection of steroids. Anesthesiology.
2014;100:1595-1600
- Abdi S, Datta S, Trescot AM, et al.Epidural steroids in the management of chronic spinal pain: a
systematic review. Pain Phsysician. 2007;10:185-212
- Abbasi A, Malhotra G, Malanga G, Elovic EP, Kahn S. Complications of interlaminar cervical epidural
steroid injections: a review of the literature. Spine. 2007;32:2144-2151
42
NYERI PADA FACET CERVICAL
Pengertian
Nyeri pada daerah belakang kepala hingga area segmen thoracal pertama . Nyeri dirasakan kadang menjalar
disekitar leher, kepala, bahu, hingga lengan atas, namun kadang hanya dirasakan pada leher dan tidak menjalar.
Patogenesis
Penyebab nyeri masih tidak jelas, tetapi berhubungan intensitas pekerjaan yang cukup tinggi yang melibatkan
sendi facet pada leher. Adanya proses degeneratif dan penyempitan pada diskus intervertebralis cervical
menyebabkan beban yang cukup berat pada sendi facet.
43
Anamnesis
Nyeri di sekitar leher, bersifat unilateral, biasanya menjalar tetapi tidak melewati bahu, nyeri memberat apabila
gerakan rotasi dan retrofleksi.
Pemeriksaan fisis
Tes neurologis meliputi refleks, sensoris dan fungsi motorik
Pemeriksaan pada pergerakan leher baik pasif maupun aktif meliputi : Fleksi dan ekstensi, lateral
fleksi,rotasi, rotasi dengan fleksi maksimal, rotasi dengan ekstensi.
Nyeri tekan pada sendi facet.
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos regio cervical untuk melihat proses degeneratif
CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral cervical
MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan dan
iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya terutama
adanya hipertropi maupun efusi pada sensi facet
Diagnostic Block pada intraarticular sendi facet atau serabut saraf ramus medialis sendi facet, dimana bila 50
persen nyeri berkurang menandakan bahwa sumber nyerinya adalah dari sendi facet
Diagnosis Banding
Nyeri radicular cervical,sendi bahu, Infeksi, penyakit vaskular, tumor
Tata Laksana
Konservatif :
- NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat bila tidak ada kontra indikasi
- COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
- Terapi Rehabilitasi Medik , Terapi mobilisasi
Interventional :
- Intraarticular steroid injection
- Percutanues infiltration of ramus medialis nervus medial branc
- Percutaneus facet denervasi dengan radiofrekuensi ablasi
Tingkat Evidence
Teknik Skor
Intra-articular injections 0
Therapeutic (repetitive) cervical ramus medialis (medial branch) 2B+
of the cervical ramus dorsalis block (local anesthetic with or without
corticosteroid)
Radiofrequency treatment of the ramus madialis (medial branch) 2C+
of the cervical ramus dorsalis
Kepustakaan
- Marteen van E, Jacob P, Arno L et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Cervical Facet
Pain. 2012;5:31-38.
- Guzman J, Hurwitz EL, Carroll LJ, et al. A new conceptual model of neck pain: linking onset, course,
and care: the bone and joint decade 2000-2010 task force on neck pain and its associated disorders.
Spine.2008;33:S14-S32.
- Bogduk N, McGuirk B. Management of Acute and Chronic Neck Pain. Pain Research and Clinical
Management. Philadelphia, PA: Elviser;2006.
- Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Comprehensive evidence-based guidelines for
interventional techniques in management of chronic spinal pain. Pain Physician.2009;12:699-802
44
NYERI RADIKULAR LUMBOSACRAL
Pengertian
Nyeri yang menjalar dari daerah pinggang ke arah bawah sesuai dengan persyarafan dermatom lumbal dan
sakrum, yang dapat disertai dengan adanya penurunan fungsi motorik.
Patogenesis
Aktifitas ektopik pada serabut afferent nosisepsi pada serabut saraf spinalis atau pada akar saraf serabut spinalis,
atau mekanisme neuropatik lainnya. Aktifitas ektopik ini disebabkan karena ada nya iritasi serabut saraf yang
biasanya disebabkan karena adanya penonjolan diskus.
45
Anamnesa
Nyeri radicular pada pinggang, yang terasa tajam, tumpul, terbakar, atau seperti dipukul yang disebabkan karena
adanya penonjolan diskus yang memberat apabila perubahan posisi seperti duduk, batuk, atau latihan yang
melibatkan diskus dari regio loumbal, dan berkurang apabila berjalan, atau berbaring.
Pemeriksaan fisis:
2. Pemeriksaan Motorik
3. Pemeriksaan Sensorik
4. Pemeriksaan Reflek Fisiologis
4. Pemeriksaan Reflek Patologis
5. Pemeriksaan Tonus otot
6. Pemeriksaan Autonomic Nervous System
7. Pemeriksaan khusus : Lasegue’s test, Cram test, Crossed straight leg raising test, FABER (Flexion
Abduction External-Rotation) test
Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos regio lumbal untuk melihat proses degeneratif
- CT scan: Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral lumbal
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan dan
iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya
- Diagnostik selective nerve root block, untuk mengetahui segmen penyebab utama sumber nyeri
Diagnosa banding
Cauda Equina syndrom, Fraktur Kompresi pada regio lumbal, Nyeri yang menjalar tetapi tidak bersifat
dermatomal ( pielonefritis, kolesistitis, endometriosis, appendisitis )
Tata Laksana
Konservatif :
- NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra indikasi
- COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
- Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
- Terapi Rehabilitasi
Terapi Intervensi
- Epidural Corticosteroid : Teknik Interlaminer atau transforaminal dengan penuntun fluoroskopi
- Radiofrekuensi ablasi pada dorsal root ganglia dengan pulse maupun thermal radifrequency
- Adhesiolisis pada kasus spinal stenosis dan nyeri pasca bedah spine ( FBSS )
- Pembedahan: Pada nyeri yang refrakter dengan terapi sebelumnya, atau pada nyeri radikulopatik akibat
penekanan pada spinal cord (myelomalacia) yang menyebabkan gangguan motorik dan otonomik.
- Spinal Cord Stimulation
Tingkat Evidence
Teknik Assessment
Interlaminar corticosteroid administration 2B±
Transforaminal corticosteroid administration in “contained herniation” 2B+
Transforaminal corticosteroid administration in “extruded harniation” 2B-
Radiofrequency lesioning at the level of the spinal ganglion (DRG) 2A-
Pulsed radiofrequency treatment at the level of the spinal ganglion 2C+
Spinal cord stimulation (FBSS only) 2A+
Adhesiolysis-epiduroscopy 2B±
Kepustakaan
- Koen VB, Jianguo C, Jacob P, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Lumbosacral Radicular
Pain. 2012;11:71-82
- Tarulli AW, Raynor EM. Lumbosacral radiculopathy. Neurol Clin.2007;25:387-405
- Koes BW, van Tulder MW, Peul WC. Diagnosis and treatment of sciatica.BMJ.2007;334:1313-1317
46
- Hagen KB, Jamtvedt G, Hilde G, Winnem MF. The update Cochrane review of bed rest for low back pain
and sciatica.Spine.2005;30:542-546
Pengertian
Nyeri pada pinggang yang dirasakan tidak menjalar, dan nyeri ini dirasakan memberat pada gerakan fleksi dan
berkurang pada posisi duduk.
Patogenesis
Disebabkan karena ada nya proses inflamasi pada sendi facet, proses inflamasi ini disebabkan karena proses
yang berulang ulang pada penggunaan sendi facet berlebih. Proses inflamasi ini menyebabkan penyempitan dari
kanalis spinalis dari posterior foramen sehingga mengiritasi akar saraf spinalis.
Anamnesa
47
Nyeri pada sekitar pinggang , biasanya tidak menjalar, kecuali disertai dengan penonjolan diskus, lebih sering
bersifat unilateral, nyeri dirasakan memberat pada gerakan ekstensi dan rotasi, dan berkurang pada posisi duduk.
Dapat ditemukan nyeri aksial pada perubahan posisi dari baring ke duduk atau duduk ke berdiri.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan palpasi : nyeri tekan pada daerah paravertebral
Pemeriksaan meliputi gerakan gerakan dari sendi facet, menggunakan Revel Criteria yaitu :
1. Nyeri tidak memberat pada saat batuk
2. Nyeri tidak memberat pada saat meluruskan badan dari fleksi
3. Nyeri tidak memberat pada saat hiperekstensi
4. Nyeri membaik pada saat posisi berbaring.
Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos regio lumbal untuk melihat proses degeneratif
- CT scan: Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral lumbal
- MRI :Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan dan iritasi
nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya terutama adanya hipertropi dan
efusi pada sendi facet .
- Diagnostic Block pada intraarticular sendi facet atau serabut saraf ramus medialis nervus medial branch
yang mempersarafi sendi facet, dimana bila 50 persen nyeri berkurang menandakan bahwa sumber
nyerinya adalah dari sendi facet
Diagnosa banding
Nyeri Radikular lumbal, Nyeri diskogenic regio lumbal, sacroiliac joint patologic, nyeri myofascial
Tata Laksana
Konservatif :
NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra indikasi
COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
Terapi Rehabilitasi
Interventional :
- Intra-articular steroid injection
- Percutaneus infiltration of ramus medialis
- Percutaneus facet denervasi dengan pulse maupun thermal radiofrequency
Tingkat Evidence
Teknik Assessment
Intra-articular injections 2B±
Radiofrequency treatment of the rami mediales 1B+
(medial branches) and L5 primary rami dorsales
Kepustakaan
- Marteen van K, Pascal V, Steven P Cohen, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Pain
Orginating from the Lumbar Facet Joints. 2012;12:87-92.
- Manchikanti L, Manchikanti KN, Cash KA, Singh V, Giordano J. Age-related prevalence of facet-joint
involvement in chronic neck and low back pain. Pain Physician.2008:11:67-75.
- Cohen SP, Argoff CE, Carragee EJ. Management of low back pain.BMJ.2008;337:a2718.
- Van Zundert J, Vanelderen P, Kessels A. Re:Chou R, Atlas SJ, Stanos SP, et al. Nonsurgical
interventional therapies for low back pain: a review of the evidence for an American Pain Society
clinical practice guideline.Spine. (Phila Pa 1976) 2009;34:1087-1093.Spine (Phila Pa 1976)
2010;35:841;author reply 841-842.
48
NYERI PADA SACROILIAC JOINT
Pengertian
Nyeri pada daerah sacroiliac joint , nyeri disebabkan karena penekanan pada daerah sacroiliac, atau karena
gerakan yang berlebihan yang melibatkan sacroiliac joint, yang hilang dengan penyuntikan anestesi lokal pada
sacroiliac joint.
Patogenesa
Adanya proses intraarticular seperti infeksi, arthritis, malignancy. Proses ekstraarticular meliputi Fraktur, trauma
pada ligament, nyeri miofasial.
Anamnesa
Nyeri pada daerah gluteus yang menjalar ke ekstremitas bawah hingga ke jari jari kaki.
Pemeriksaan fisis
49
1. Compression test
2. Distraction test
3. Patrick Sign
Pemeriksaan Penunjang
CT scan merupakan pilihan utama pada nyeri sacroiliac untuk melihat kelainan pada sendi sacroiliac.
Diagnostic Block pada intraarticular sendi sacroiliac, dimana bila 50 persen nyeri berkurang menandakan
bahwa sumber nyerinya adalah dari sendi sacroiliac
Diagnosa banding
Lumbar nerve root compression, nyeri pada hip, Piriformis syndrom, nyeri miofasial, Nyeri yang menjalar tetapi
tidak bersifat dermatomal ( pielonefritis, kolesistitis, endometriosis, appendisitis .
Tata Laksana
Konservatif :
- NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra
indikasi
- COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib
- Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin
- Terapi Rehabilitasi
Interventional :
- Intraarticular steroid injection
- Radiofrequency Ablasi pada rami dorsalis dan lateralis
Tingkat Evidence
Teknik Assessment
Therapeutic intra-articular injections with corticosteroids 1B+
And local anesthetic
Radiofrequency (RF) treatment of rami dorsales and laterals 2C+
Pulsed RF treatment of rami dorsales and rami laterales 2C+
Cooled RF treatment of rami laterales 2B+
Kepustakaan
- Pascal V, Karolina S, Steven P. Cohen, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Sacroiliac
Joint Pain. 2012;13:96-101.
- Cohen SP. Sacroiliac joint pain: a comprehensive review of anatomy, diagnosis, and treatment. Anesth
Analg.2005;101:1440-1453.
- Burnham RS, Yasui Y. An alternate method of radiofrequency neurotomy of the sacroiliac joint: a pilot
study if the effect on pain, function, and satisfaction. Reg Anesth Pain Med. 2007:32:12-19.
- Ferrante FM, King LF, Rochë EA, et al. Radiofrequency sacroiliac joint denervation for sacroiliac
syndrome. Reg Anesth Pain Med. 2003;28:113-119
NYERI KANKER
Pengertian
Nyeri kanker adalah nyeri pada pasien kanker akibat perkembangan tumornya dan terapi yang diberikan.
Patogenesa
Nyeri kanker dapat berupa nyeri nosiseptive akibat adanya inflamasi, kerusakan jaringan dan pelepasan
mediator-mediator yang merangsang nosiseptor baik oleh tumornya maupun akibat tindakan seperti
pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Nyeri neuropatik dapat juga terjadi akibat adanya kompressi pada saraf, kerusakan pada saraf akibat infiltrasi
tumor dan penyebab nyeri neuropatik lainnya.
Anamnesa
50
Nyeri kanker dikeluhkan oleh penderita kanker sehubungan dengan adanya perkembangan tumor sesuai dengan
organ yang terkena. Nyeri kanker dirasakan terus menerus dan biasanya memberat pada malam hari serta
memberat pada keadaan-keadaan tertentu akibat pergerakan maupun dosis obat yang kurang ( nyeri
breakthrough ).
Pemeriksaan fisis
- Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skor VAS ( visual analog score ) maupun NRS (numerical
rating scale ).
- Penilaian gejala lain yang menyertai nyeri seperti adanya mual muntah pada tumor abdomen dan lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Sesuai dengan organ yang mengalami keganasan dan terutama untuk melihat adanya kompresi saraf dan
peningkatan tekanan pada sturktu organ. Pemeriksaan lain untuk melihat tingakt stadium perkembangan
penyakit
Tata Laksana
Pendekatan Farmakologi
menggunakan prinsip Stepladder WHO : nyeri ringan dengan analgesik non-opioid dan adjuvant; nyeri sedang
( NRS 4-6 ) dengan non-opioid dan opioid serta adjuvant ; dan nyeri berat ( NRS > 7 ) dengan non-opioid dan
Opioid kuat serta adjuvant.
Tingkat Evidence
Teknik Assessment
Blok neurolitik plexus coeliac 2A+
Blok neurolitik nervus sphlanchnic 2B+
Blok neurolitik plexus hypogastric 2C+
Kepustakaan
- Kris C. Visser, Kees B, Michel W, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Pain in Patients with
Cancer. 2012;23:173-188.
- Christo PJ, Mazloomdoost D. Interventional pain treatments for cancer pain. Ann N Y Acad
Sci..2008;1138:229-328.
- Mercadante S, Intravaia G, Villari P, Ferrera P, Riina S, David F, et al. Intrathecal treatment in cancer
patients unresponsive to in mutiple trials of systemic opioids. Clin J Pain. 2005;1:CD005178.
- Wong GY, Schroeder DR, Carns PE, et al. Effect of neurolytic celiac plexus block on pain relief, quality of
life, and survival in patients with unresectable pancreatic cancer: a randomized controlled trial. JAMA.
2004;291:1092-1099.
NYERI PASCA BEDAH
Pengertian
Nyeri pasca bedah adalah nyeri pada pasien yang telah mengalami pembedahan. Nyeri dapat terjadi segera atau
beberapa jam/hari setelah pembedahan.
Patogenesa
Nyeri pasca bedah merupakan prototipe nyeri nosiseptif yang diakibatkan oleh adanaya kerusakan jaringan dan
proses inflamasi yang terjadi akibat pembedahan.
Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi pada nyeri pasca bedah bila tidak dilakukan
penanganan nyeri secara preventif analgesia yang dimulai dari fase pre-operasi, intra operasi dan pasca
51
pembedahan. Pemberian analgesik dapat diberikan dengan berbagai macam metode mulai dari pemberian
analgetik intravena, analgetik neuraksial dan blok saraf tepi.
Tindakan dilaksanakan dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan obat-obatan dan atau tindakan
analgesik yang bekerja pada proses perjalan nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi, transmisi dan
modulasi.
Proses transduksi dapat dilakukan dengan pemberian analgesia NSAID dan proses modulasi banyak dihambat
dengan pemberian opioid terutama untuk pembedahan dengan kemungkinan nyeri sedang sampai berat.
Tindakan analgesia dengan menghambat proses transmisi nyeri menjadi hal yang paling penting karena dapat
mengurangi nyeri pasca bedah secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.
Tindakan Epidural Analgesia menjadi modalitas utama dalam penanganan nyeri pasca bedah terutama pada
pembedahan besar seperti pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan ekstremitas bawah. Kombinasi obat
anestesi lokal dan opioid menjadi pilihan dalam analgesia epidural karena selai berefek pada proses transmisi
juga pada proses modulasi neuraksial.
Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan penilaian Numerical Rating scale
( NRS ) atau dengan Visual Analogue Score ( VAS ).
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani dengan adekuat seperti
terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.
Tata Laksana
- Epidural Analgesia atau kontinyu untuk pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan ektremitas bawah
- Blok saraf tepi kontinyu untuk pembedahan ekstremitas atas dan bawah
- Analgetik secara Patient Controlled Analgesia menggunakan Opioid untuk pasien yang kontraindikasi
epidural analgesia
- Analgetik secara intravena : Parasetamol, NSAIDs dan Opioid serta adjuvant analgesik lainnya
Analgesia epidural
Analgesia sistemik
Konvensional NSAID/COX2
selektif inhibitor
Paracetamol
Pascabedah Opioid sebagai analgesia
penolong
Tingkat Evidence
PCA opioid intravena memberikan analgesia yang jauh lebih baik daripada pemberian opioid secara parenteral
( Level I [ Cochrane review] ).
Epidural analgesia memberikan penghilang rasa sakit pasca operasi yang lebih baik dibandingkan dengan
parenteral ( termasuk PCA ) opioid ( Level I [ Cochrane review] ) ; kecuali epidural analgesia yang hanya
menggunakan opioid hidrofilik (Level I).
Dibandingkan dengan opioid analgesia ,blok saraf perifer ( terlepas dari lokasi kateter ) memberikan analgesia
pasca operasi yang lebih baik dan menurunkan penggunaan opioid dengan efek seperti mual, muntah pruritus
dan sedasi (Level I).
Parasetamol merupakan analgesik efektif untuk nyeri akut; efek samping sama dibandingkan dengan plasebo
( Level I [ Cochrane review]).
NSAID non - selektif efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane review]).
Coxib efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane review]).
Parasetamol dikombinasikan dengan tramadol lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan sendiri dan
menunjukkan efek respon dosis (Level I).
Kepustakaan
- Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi san Reanimasi Indonesia. Panduan tatalaksana nyeri
perioperatif. Tatalaksana Nyeri pada Prosedur Bedah Khusus.2009;6:249-253.
- Acute Pain Management: Scientific Evidence, Australian and New Zealand College Anesthetists and Faculty
of Pain Medicine,Edisi 3. 2010.
- Macintyre P.E, Schug S.A, More complex patient, Acute Pain Management: A Practical Guide, Edisi 3,
Elsevier, 2007;245-254.
53
PROSEDUR SEDASI SEDANG-BERAT
Definisi Sedasi sedang adalah suatu keadaan dimana setelah pemberian obat
sedasi menyebabkan penurunan kesadaran, namun pasien masih
memiliki respon terhadap rangsang suara, baik disertai maupun tidak
dengan rangsang sentuhan. Ventilasi spontan masih adekuat dan belum
diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan nafas. Fungsi
kardiovaskular masih tidak berubah.
Indikasi Untuk tindakan diagnostik yang kurang dari 30 menit dan terapeutik
yang kurang dari 15 menit, yang membutuhkan sedasi.
Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan sedasi
sedang-berat.
- Ijin persetujuan tindakan sedasi sedang-berat
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Ketamin 100 mg
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Ambu bag 1 buah
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
Daftar Pustaka 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology
and physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Hillier SC, Mazurek MS. Monitored Anesthesia Care. In: Clinical
anesthesia. 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2009. p.815-32.
56
GAGAL NAPAS AKUT
Anamnesis Gejala yang umum didapatkan pada pasien dengan gagal napas karena
pneumonia berat adalah peningkatan upaya napas (work of breathing)
serta gejala gangguan perfusi jaringan yang biasanya didahului dengan
keluhan:
Demam,
Sesak napas
Batuk,
Sekret yang purulen,
Nyeri dada saat tarik napas dalam dan batuk
Kriteria mayor:
Menggunakan ventilasi mekanik
Syok sepsis
58
Terapi Gagal napas akut karena pneumonia berat
Posisi pasien Head up 30-45o
Terapi oksigen:
Menggunakan oksigen masker
Oksigen via Non Rebreathing Mask
Resusitasi menggunakan Bag Valve Mask
Ventilasi Mekanik.
Antibiotik empiris.
Chest terapi.
Cairan dan nutrisi
Hand hygiene
Menggunakan masker medis pada droplet infection
Menggunakan masker N95 pada airbone infection
Manajemen kebersihan lingkungan pasien
Penanganan sampah-sampah medis
Penggunaan alat proteksi diri pada petugas kesehatan
Membatasi jumlah individu dalam ruang perawatan
Terapi Gagal napas akut karena pneumonia berat
1. Posisi pasien Head up 30-45o
2. Terapi oksigen:
- Menggunakan oksigen masker
- Oksigen via Non Rebreathing Mask
- Resusitasi menggunakan Bag Valve Mask
- Ventilasi Mekanik.
3. Antibiotik empiris.
4. Fisioterapi dada.
5. Cairan dan nutrisi
Daftar Pustaka 1. Todi S, Chawla R. Severe community acquired pneumonia. In: ICU
Protokols. Editors: Chawla R, Todi S. Springer. New York. 2012, p.
79-83.
2. Pande R. Ventilator associated pneumonia. In: ICU Protocols.
Editors: Chawla R, Todi S. Springer. New York. 2012, p. 85-91.
3. McLean B, Zimmerman JL. Diagnosis and management of acute
respiratory failure. In: Fundamental Critical Care Support. Society of
Critical Care Medicine. Atlanta. 2010, p.1-14.
4. IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2)•
S27
59
GANGGUAN ELEKTROLIT MENGANCAM NYAWA
Anamnesis Hiperkalemia:
Lemas, paralisis, parestesia, gagalginjal, pemakaianobat ACE-I,
angiotensin II receptor antagonist, diuretic yang hemat kalium, NSAID,
betabloker.
Hipokalemia:
Diare, riwayat pemakaian obat diuretic, laxative, steroid, low intake
Lemas, fatigue, kramkaki, konstipasi, paralisis hingga sulit bernapas
Hipernatremia
Haus, demam, gangguan kesadaran
Hiponatremia
Mual, muntah, sakitkepala, diplopia
Riwayat pemakaian thiazide diuretic, gagalginjal, operasi tumor otak,
trauma kepala
Hiperkalsemia
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi, nyeri
abdomen, gangguan konsentrasi dan daya ingat, confusion, stupor,
coma, letargi, fatigue, lemas, gatal, keratitis
Riwayat hiperpara tiroid, gagal ginjal kronik, keganasan pemakaian
diuretic thiazide, hipertiroid
Hipokalsemia
Riwaya thipopara tiroid pasca op atau gagal ginjal kronik
Hipermagnesemia
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4
Hipomagnesemia
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholism, malabasorpsi
Hipokalemia
Ascending paralysis, aritmia
Hipernatremia
Demam, deficit neurologis focal, kejang, hiperventilasi
61
Hiponatremia
Kejang, koma
Hipercalcemia
Hipertensi, peptic ulcer
Hipocalcemia
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseaue sign, parestesiaekstremitas dan
wajah, kram otot, tetani, kejang, papilledema, gejala extrapyramidal,
diaphoresis, hipotensi, gagal jantung kongestif
Hipermagnesemia
Confusion, depresinapas, cardiac arrest
Hipomagnesemia
Tremor, ataxia, Nistagmus, Aritmia
Kriteria Diagnosis 1. Konsentrasi kalium serum melebihi 5.5 mEq/L disertai gangguan
irama jantung
2. Konsentrasi kalium serum > 6.5 mEq/L dengan atau tanpa
gangguan irama jantung
3. konsentrasi kalium serum < 2.5 mEq/L disertai gangguan irama
jantung malignan
4. Konsentrasi natrium serum melebihi 145 mEq/L atau konsentrasi
natrium serum < 120 mEq/L yang disertai gangguan kesadaran,
kejang
5. Konsentrasi kalsium> 14 mg/dL (>3.5 mmol/L)
6. Konsentrasi kalsium serum < 8 mg/dL (2.1 mmol/L) atau ion
kalsium< 4.4 mg/dL (1.1 mmol/L)
7. Konsentrasi magnesium serum melebihi 2.2 mEq/L (1.1 mmol/L)
8. Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum kurang dari
1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)
EKG
Hiperkalemia:
Blok derajat 1 (PR interval memanjang>0.2 detik)
Gelombang P hilang/flat
Gelombang T tinggi (peaked/tented) (gel T lebih besar dari
gelombang R pada lebih dari 1 lead)
ST depresi
62
Gelombang S dan T menyatu (sine wave pattern)
QRS melebar (>0.12 detik)
Takikardia ventricular
Bradikardia
Hipokalemia
Gelombang U
Gelombang T flat
Perubahan ST
Aritmia (terutama bila pasien mengkonsumsi digoksin)
Cardiopulmonary arrest (PEA, pulseless VT/VF, asystole)
Hipokalsemia
Prolonged QT interval
Terminal T wave inversion
AV Blok
Fibrilasiventrikel
Hipermagnesemia
Prolonged PR dan QT interval
Gelombang T peaking
AV blok
Cardiac arrest
Hipomagnesemia
Prolonged PR dan QT interval
ST depresi
Gelombang T inversion
Gelombang P flat
Torade de pointes
Durasi QRS meningkat
Terapi Hiperkalemiaberat:
1. Bolus calcium glukonas 10% 10 ml (jika ada gangguan gambaran
EKG)
2. Glucose plus insulin–25 g glucose dan 10 U regular insulin
berikan IV dalam 15 -30 menit
3. Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama15 minutes
4. Furosemide iv 40-80 mg
5. Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit bila asidosis berat.
6. Dialysis
Hipokalemia
1. Pemberian K+ is 10 mEq/jam melalui jalur iv perifer atau 20
mEq/jam melalui jalur iv central venous catheter dengan ECG
monitoring.
2. Hentikan obat yang mengakibatkan hipokalemia
3. Koreksi hipomagnesemia
Hipernatremia
1. Bila hypernatremia akut atau simtomatik berat berikan cairan
hipotonik.
2. Bila pasien hipovolemia dengan hemodinamik terganggu,
berikan cairan isotonick untuk memperbaiki status volume. Setelah
hemodinamik stabil berikan cairan hipotonik iv (NaCl 0.45% atau
63
Dextrose 5%)
3. Koreksimaksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
4. Akut hypernatremia dapat dikoreksi lebih cepat di awal (1-2
mEq/L/jam), kenaikan 5 mEq/L sudah memperbaiki gejala
Hiponatremia
1. Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat berikan NaCl
hipertonik (NaCl 3% )1mEq/L/jam hingga gejala neurologis hilang
setelah itu kecepatan koreksi 0,5 mEq/L/ jam
2. Koreksi maksimal12 mEq/L dalam 24 jam pertama
3. Bila SIADH restriksi cairan 50-66% dari kebutuhan cairan
Hipokalsemiaakutdansimtomatik
1. Calcium gluconas 10 % 10-20 ml IV dilarutkan dalam dextrose 5%
diberikan selama 10 menit dengan monitor EKG
2. 10 ampul calcium gluconas 10% 10 ml dilarutkan dalam 1 liter
dextrose 5% diberikan 50 ml/jam untuk mencegah hipocalcemia
berulang.
3. Koreksi hipomagnesemia
Hipermagnesemia
1. Calcium glukonas 10% 10 ml
2. Suport ventilator
3. NaCl 0.9% dan furosemide IV
4. Dialysis
Hipomagnesemia
1. 2 g MgSO4 50% IV diberikan selama 15 min
2. Bila Torsade de pointes 2 g MgSO4 IV selama 1-2 min
3. Bila kejang 2 g Mg SO4 selama 10 min
64
PREEKLAMPSI BERAT DI INTENSIVE CARE UNIT
66
- Dapat dilkukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi mekanis
bila edema paru tetap ada dan pasien mengalami gawat/gagal
nafas.
5. Pemantauan lebih kepada penanganan hipertensi, fungsi ginjal,
adanya coagulopathy
Pemeriksaan Fisik Kesadaran menurun (variatif dari gelisah s/d GCS 1.1.1), lethargis,
nafas Kussmaul, nafas bau keton (aseton).
Kriteria Diagnosis Penderita DM, dengan kesadaran menurun, nafas Kussmaul dan
berbau keton, dengan laboratorium penunjang : analisa gas darah : pH
< 7,3, HCO3- < 15mmol/l, kadar gula sewaktu: > 14mmol/l atau >400
mg%, terdapat keton dalam plasma.
Terapi 1. Bantuan hidup umum untuk pasien kritis (jalan nafas bebas dan
aman, bantuan nafas dengan oksigen sampai SaO2 > 93 % ,
bantuan sirkulasi dengan mengusahakan parameter hemodinamik
dalam kisaran baik/normal (T 90-140 mmHg sistol, MAP>65
mmHg, nadi < 100x/mnt)
2. Pemberian cairan infus sampai normovolemia dengan kristaloid
maupun koloid dengan panduan tanda vital dan perfusi perifer,
3. Terapi insulin : Initial bolus intravena 0.15 unit/kgBB
dilanjutkan 0,1unit/kgBB /jam, dengan panduan cek GDS tiap
jam, bila GDS tidak turun 50mg%, kecepatan insulin dinaikkan
2x, bila penurunan > 150 mg%, kecepatan insulin diturunkan ½
x. Pemberian insulin kontinyu diberikan sampai dengan tidak
ditemukan keton dalam urin/plasma. Pemberian insulin harus
memperhitungkan kadar K+ > 3,0.
4. Regulasi kadar glukosa darah : dalam 24 jam pertama GDS
minimum : 200 mg%, bila GDS < 200 mg% beri infus D5% dan
kecepatan insulin sekitar 1,0 unit/jam.
5. Kadar elektrolit dipantau sejak awal, diperiksa bersamaan
dengan pemeriksaan gula darah. Regulasi elektrolit :
- Koreksi K+ untuk mencapai kadar normal,
- Koreksi fosfat- : hanya apabila sangat rendah (< 0,4
mmol/l)
- Mg++ : tidak dianjurkan pemberian Mg
6. Koreksi Asam –Basa : pemberian bikarbonat natrikus hanya
dibolehkan bila pH < 6,9.
7. Terapi penyakit penyerta dan penyakit-penyakit yang mendasari,
dan komplikasi-komplikasi yang terjadi, misal : pemberian
antibiotika untuk infeksinya, hemodialisis atau CRRT untuk
gagal ginjalnya
Daftar Pustaka 1. Oh’s Intensive Care Manual 6th Ed. Editor:Bersten,A.D. & Soni,
N., Butterworth Heinemann Elsevier, Philadelpia, 2009, hal :
615-620
2. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7 th Ed. Editor:
Irwin,R.S. & Rippe, J.M., Wolter Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins, philadelpia, 2012, hal: 1139-1145.
3. Texbook of Critical Care 6 th Ed. Editor : Vincent, J.L. et al,
Elsevier Saunders, Philadelpia, 2011, hal: 1205-1214.
68
SYOK HIPOVOLEMIK
Anamnesis Diare, perdarahan, buang air kecil yang berlebihan, dehidrasi, luka
bakar luas, pankreatitis.
Kriteria Diagnosis Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg , tekanan arteri rata-rata < 60 mm
Hg atau hipotensi yang signifikan apabila terjadi penurunan tekanan
darah sistolik > 40 mm Hg dari tekanan sehari-hari.
70
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan awal / umum
Pemeriksaan fisik tanda trauma, infeksi, dan iritasi meninges.
Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke,
pemeriksaan fundus okuli, jantung, vaskuler perifer.
Pemeriksaan neurologis untuk mengidentifikasi gejala stroke.
Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup
pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan
nervus cranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral,
gait, dan reflek,tanda meningismus.
Pemeriksaan tanda-tanda kegawatan yang mengindikasikan
dirawat di ruang rawat intensif (ICU). meliputi :
Airway
Pastikan adakah sumbatan pada jalan nafas.
(sumbatan jalan nafas dapat terjadi pada pasien dengan
penurunan kesadaran disertai muntah, lidah yang jatuh ke
belakang, gigi palsu, sisa makanan, atau slem yang
menumpuk/tidak dapat dikeluarkan)
Penurunan kesadaran berat dengan GCS < 8 merupakan
indikasi untuk dilakukan intubasi (ETT atau LMA).
Sebelum melakukan intubasi, perhatikan stabilitas servikal dan
tanda-tanda peningkatan TIK. Pasien dengan trauma
kepala/servikal harus dihindari ekstensi leher yang berlebihan,
sehinggat tehnik pemasangan nasotrachel tube lebih baik
daripada orotracheal tube. Pada pasien dengan peningkatan
TIK, intubasi dilakukan dengan cara cepat (rapid sequence
intubation), disertai dengan pemberian obat sedasi dan blok
neuromuskuler yang adekuat, diikuti lidokain (IV atau
intratracheal)
Breathing
Nilai apakah pernafasan pasien adekuat, dilihat dari frekuensi
nafas, pola nafas, retraksi/kerja otot-otot pernafasan tambahan,
adakah wheezing atau ronkhi, dan status oksigenasi.
Periksa saturasi oksigen dengan pulse oksimetri (saturasi
oksigen yang diharapkan adalah > 92-95%). Bila diperlukan
dapat diberikan iksigen melalui binasal canul atau simple
mask.
Periksa analisa gas darah (AGD/BGA)
Pasien yang membutuhkan perawatan di ICU dengan ventilator
adalah pasien yang system respirasinya gagal mencapai
oksigenasi, ventilasi atau kebutuhan metabolisme. Gagal nafas
dibagi 2, yaitu : Tipe 1 (hipoksemi) bila PaO 2< 60 mmHg
(sering ditemukan pada kerusakan parenkim paru, seperti
pneumonia, emboli paru dan acute respiratory distress
syndrome/ARDS)dan Tipe 2 (hiperkapni) bila PaCO 2> 50
mmHg (sering ditemukan pada pasien neuromuskuler seperti
Myastenia Gravis/MG dan GBS)
Circulation / sirkulasi
Nilai apakah sirkulasi adekuat dan hemodinamik stabil.
Meliputi tekanan darah/MAP (target : 100 – 120 mmHg),
tekanan vena sentral (jika terpasang CVC, dengan target 5 – 12
mmHg) ), dan cerebral perfusion pressure/CPP (target 50 - 70
mmHg).
Pasien yang meruoakan indikasi rawat ICU adalah pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil dan memerlukan
monitoring ketat.
Monitoring Hemodinamik/sirkulasi
- Sebaiknya dilakukan pemasangan CVC (central venous
73
catheter), dengan tujuan agar dapat memantau kecukupan
cairan pasien, serta untuk jalur memasukkan cairan dan
nutrisi parenteral. Tekanan vena sentral dijaga 5 – 12
mmHg.
- Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid atau
koloid intravena. Hindari pemberian cairan hipotonik
seperti glukosa.
- Optimalkan tekanan darah, secara umum target minimal
MAP 70 mmHg.
- Hipovolemia dikoreksi dengan larutan saline normal.
- Aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah
jantung sekuncup harus dikoreksi
- Bila MAP tidak tercapai dan cairan sudah mencukupi,
dapat diberikan obat-obat vasopresor secara titrasi seperti
dopamine, norepinefrin atau epinefrin.
Tatalaksana Hipertensi
Apabila TDS > 200 mmHg atau MAP > 150 mmHg,
tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg
disertai dengan gajala dan tanda peningkatan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu
atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral > 60 mmHg.
Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa
disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial,
tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15
menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B)
Bila TDS 150 – 220 mmHg, penurunan tekanan darah
dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B)
Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100 mmHg.
Obat antihipertensi yang ideal : Labetolol (kombinasi α
dan bloker). ACE inhibitor dapat digunakan karena
tidak mempunyai pengaruk pada TIK dan CBF. Ca
channel blocker dapat meningkatkan TIK namun dapat
menjaga atau meningkatkan CBF.
Sedasi
- Pilihan utama : Propofol merupakan obat pilihan,
karena dapat menurunka TIK dan CMRO2.
Benzodiazepine dan midazolam juga dapat digunakan,
obat-obat ini tidak mempengaruhi TIK, TPC, dan
CMRO2.
Profilaksis DVT
- Penggunaan heparin atau LMWH untuk profilaksis
DVT merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
stroke hemoragik. Pasien stroke hemoragik dapat
digunakan stocking elastic eksternal
Manajemen cairan dan elektrolit
- Kebutuhan cairan, elektrolit dan balance cairan harus
dievaluasi setiap hari. Koreksi dilakukan apabila
terjadi abnormalitas elektrolit
Infeksi nosokomial
- Antibiotik diberikan apabila pasien menunjukkan
tanda-tanda infeksi.
- Antibiotik yang diberikan seharusnya sesuai dengan
hasil pemeriksaan kutur dan sensitivitas.
- Antibiotik yang direkomendasikan pada pneumonia
adalah kombinasi cephalosporin generasi ketiga dan
aminoglycoside.
- Terapi empiris terhadap infeksi aliran darah sebaiknya
termasuk vancomisin ditambah cephalosporin generasi
ketiga.
Ulkus dekubitus
- Mobilisasi rutin terhadap pasien yang immobile
berguna untuk menghindari tekanan berlebih. Kulit
pasien harus dijaga tetap kering. Gunakan kasur air
atau kasur angin.
76
- Bila ulkus dekubitus tidak respon terhadap terapi
konservatif, antibiotik dapat diberikan selama
beberapa hari sebelum dilakukan debridement.
77
SEPSIS BERAT DAN SYOK SEPTIK
Anamnesis Tidak spesifik ditujukan untuk mencari sumber infeksi dari organ yang terkena
dan gangguan fungsi organ terkait
Pemeriksaan Fisik Demam > 38,30C atau hipotermia (suhu inti) <360 C
Laju Nadi > 90 X/menit atau > 2 x SD nilai normal sesuai usia
Takhipnea
Perubahan status mental
Edema atau balans cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)
78
Kultur darah 2 X (untuk aerobik dan anaerobic)
Ektra diambil dari akses IV
Bila diagnosa banding dengan invasive candidiasis gunakan pemeriksaan
1-3 Beta D-Glukan, manna dan antimanan
Untuk mencari sumber infeksi, gunakan pemeriksaan imaging
80
Pemberian Produk Darah
- Bila tidak ada iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan
akut, maka pemberian transfusi hanya diberikan bila Hb < 7
gr/dL dengan target 7 – 9 gr/dl pada dewasa
- FFP tidak boleh diberikan untuk memperbaiki faktor koagulasi
kecuali ada perdarahan
- Pemberian profilaksis platelet hanya diberikan bila <
10.000/mm3 (walaupun tidak ada perdarahan). Bila pasien
mempunyai risiko perdarahan disarankan diberikan tranfusi
platelet bila kadarnya < 20.000mm3 . Pada perdarahan aktif atau
akan dilakukan prosedur invasif disarankan diberikan transfusi
platelet untuk mencapai kadar > 50.000/mm3.
Ventilasi Mekanik pada ARDS akibat sepsis
- Target Volum Tidal 6 ml/kgBB prediksi pada ARDS akibat
sepsis
- Tekanan plateau < 30 mmH2O
- Gunakan PEEP untuk mencegah kolaps alveoli
- Gunakan strategi PEEP tinggi dibandingkan PEEP rendah
- Recruitment maneuver digunakan pada hipoksemia berat
refrakter
- Pada pasien dengan ventilasi mekanik Kepala tempat tidur
harus dinaikkan 30-450 untuk mencegah risiko aspirasi dan
VAP
- Penggunaan NIV harus dipertimbangkan risiko nya
- Protokol penyapihan dengan Spontaneous Breathing Tria (SBT)
harus dilakukan secara reguler untuk evaluasi kemampuan
untuk dilepas dari ventilasi mekanik, bila memenuhi kriteria: a.
sadar, b. hemodinamik stabil (tanpa vasopresor), c. tidak ada
kondisi serius baru, d. kebutuhan ventilasi dan PEEP rendah, e.
kebutuhan FiO2 rendah, dapat diberikan dengan kanula nasal
atau sungkup muka. Bila SBT berhasil, lakukan ekstubasi
- Strategi pemberian cairan konservatif dibandingkan liberal pada
pasien tanpa tanda-tanda hipoperfusi
- Bila tidak ada indikasi spesifik jangan diberikan -2 agonis
Sedasi, analgesi dan Pelumpuh otot pada sepsis
- Pemberian sedasi kontinu atau intermiten pada pasien dengan
ventilasi mekanik harus diminimalkan dengan target tertentu
- Pelumpuh otot sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan
ventilasi mekanik. Bila diperlukan pemberian intermiten atau
kontinu harus diberikan dengan monitor train-of-four untuk
monitor kedalaman blokade
- Penggunaan pelumpuh otot tidak boleh > 48 jam
Kontrol Glukosa
- Protokol pengelolaan gula darah di ICU dilakukan bila pada 2
kali pemeriksaan kadar gula darah > 180 gr/dL. Target gula
darah < 180 gr/dL
- Pemeriksaan gula darah dilakukan 1-2 jam sampai gula darah
stabil, kemudian dilakukan setiap 4 jam
- Hati-hati apabila menggunakan pemeriksaan gula darah kapiler,
karena bisa tidak akurat
Terapi Renal Pengganti (Renal Replacement Therapy)
- CRRT dan IHD bisa dilakukan pada sepsis berat dengan
hemodinamik stabil
- Bila hemodinamik tidak stabil harus digunakan CRRT
Terapi bikarbonat
- Jangan menggunakan bikarbonat untuk memperbaiki
hemodinamik atau untuk mengurangi vasopresor pada pasien
hipoperfusi akibat laktatemia dengan pH > 7,15
Profilaksis DVT (Deep Vein Thrombosis)
81
- Pemberian 1X /hari LMWH lebih baik dibandingkan dengan 2
X/hari UFH
- Kalau klirens kreatinin < 30 mL/menit, gunakan LMWH lain
dengan metabolisme ginjal yang rendah.
- Bila memungkinkan diberikan kombinasi dengan intermitten
pneumatic compression.
- Bila pasien dengan kontraindikasi dengan heparin (misal pada
pasien trombositopeni, koagulopati berat, perdarahan aktif,
perdarahan intraserebral) gunakan terapi mekanik profilaksis
seperti stocking atau intermitten pneumatic compression,
kecuali ada kontraindikasi
Profilaksis ulkus stres
- Anti Histamin-2 (AH-2)atau Proton Pump Inhibitor
(PPI)diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan
- PPI lebih baik dibandingkan AH-2
- Pasien tanpa faktor risiko tidak usah diberikan profilaksis
Nutrisi
- Pemberian oral atau enteral lebih baik daripada puasa atau
pemberian IV glukosa selama 48 jam pertama setelah diagnosis
- Hindarkan pemberian kalori penuh pada minggu pertama (lebih
baik sampai 500 kalori/hari), bila toleransi baik bisa
ditingkatkan
- Gunakan IV Glukosa dan enteral nutrisi daripada TPN atau PN
untuk menambah enteral nutrisi dalam 7 hari pertama setelah
diagnosis
- Jangan memberikan immunomodulasi spesifik
Daftar Pustaka 1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A etal. Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic
Shock:2012. Crit Care Med,2013;41(2):580-637.
82
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)
PemeriksaanFisik - Takipneu
- Hipoksemia
- Penyerta : penurunan kesadaran, takikardi
- Ronki paru.
Kategori ARDS :
- ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
- ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg
- ARDS berat PaO2/FiO2 ≤100 mmHg
- (dengan PEEP minimum 5 cmH2O)
83
Terapi 1. Perawatan di ICU
2. Pemberian ventilasi mekanik
- Target volum tidal 6 mL/kgBBP(Berat Badan Prediksi) pada
pasien ARDS-sepsis (grade 1A)
- Tekanan plateau diukur dengan target batas atas inisial saat
inflasi paru pasif ≤30 cmH2O (grade 1B).
- Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) diberikan untuk
menghindari kolaps alveolar pada ekspirasi akhir
(atelektrauma) (grade 1B).
- Strategi menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada pasien
sepsis dengan ARDS sedang atau berat. (grade 2C.
- Teknik rekruit alveolus diberikan pada pasien sepsi dengan
hipoksemia refrakter berat (grade 2C).
- Posisi tengkurap dilakukan pada pasien ARDS dengan
PaO2/FiO2 ≤100 mmHg di fasilitas yang telah berpengalaman
(grade 2B).
- Kepala pasien dielevasi 30-45 derajat untuk mencegah risiko
aspirasi dan mencegah VAP (grade 1B).
- Ventilasi sungkup non-invasif (NIV) dapat diberikan pada
sebagian kecil pasien ARDS yang mungkin dapat memperoleh
manfaat positif dari NIV dengan penuh pertimbangan (grade
2B).
- Protokol penyapihan harus dilakukan, dan pasien secara teratur
menjalani Uji Napas Spontan untuk evaluasi penghentian
ventilasi mekanik ketika pasien memenuhi kriteria: a) sadar,
dapat dibangunkan; b) hemodinamik stabil (tanpa vasopresor);
c) tidak ada kondisi perburukan baru yang berpotensi serius;
d)kebutuhan ventilasi rendah dan PEEP rendah; e)kebutuhan
FiO2 yang rendah yang dapat terpenuhi dengan sungkup muka
atau kanula nasal. Bila Uji Napas Spontan berhasil, ekstubasi
harus dipertimbangkan. (grade 1A).
- Tidak perlu secara rutin menggunakan kateter Swan-Ganz
(grade 1A)
- Pemberian cairan secara konservatif bila tidak ada tanda
hipoperfusi jaringan (grade 1C).
- Obat beta 2 agonis tidak diperlukan bila tidak ada indikasi
spesifik seperti bronkospasme (grade 1B)
3. Setting ventilasi mekanik mengikuti
protokol ARDSnet.
85
- Tanda sesak napas
3. Bila pasien tampak toleran selama 30 menit, pertimbangkan
ekstubasi.
4. Identifikasi dan terapi penyebab / kondisi yang menyebabkan
terjadinya ARDS. Bila penyebabnya adalah pneumonia, maka
diberikan terapi antibiotika sesuai panduan dari ATS/IDSA
tentang CAP, HAP, VAP, HCAP.
Daftar Pustaka 1. Acute Respiratory Distress Syndrome; the Berlin definition. ARDS
Definition Task Force, Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT,
Ferguson ND, Caldwell E, Fan E. JAMA. 2012 Jun
20;307(23):2526-33.
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe sepsis
and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013; 41:580-637
3. ARDSnet. Protokol Ventilasi Mekanik.
http://www.ardsnet.org/system/files/ventilator%20protocol
%20card.pdf Diunduh tanggal 15 Oktober 2013.
4. Gurka DP, Balk RA. Acute respiratory failure. In: Parillo Je,
Dellinger RP. Critical care medicine: principles of diagnosis and
management in the adult. 3rd ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier;
2008. P.773-89
5. Meduri GU, Golden E, Freire AX, et al. Methylprednisolone
infusion in early severe ARDS: results of a randomized
controlled trial. Chest 2007; 131:954-63.
6. Intensive Care Prince of Wales Hospital. Clinical Practice Guidelines
HFOV.
http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au/five/doc/POW/ventilation_high
_frequency_oscillation_V_pow.pdf
7. Extracorporeal Life Support Organization. Patient specific
guidelines: a supplement to the ELSO general guidelines. April
2009:15-19 (http://www.elso.med.umich.edu/WordForms/ELSO
%20Pt%20Specific%20Guidelines.pdf).
86
ACUTE KIDNEY INJURY
88
Diagnosis Banding
90
30 kcal/kg/hari(2C).
Hindari pembatasan protein intake dengan harapan
mencegah atau menunda RRT(2D).
Protein 0,8-1gr/kg/hari untuk pasien AKI nonkatabolik
yang tanpadialisis(2D), 1-1,5gr/kg/hari(2D) pasien AKI
yang didialisis dan maksimum 1,7gr/kg/hari pasien
dengan terapi pengganti ginjal kontoniu(CRRT) dan
pasien hiper katabolik(2D).
Nutrisi yang diberikan lebih disukai via ruteenteral(2C).
Tidak direkomendasikan memakai diuretic
mencegahAKI(1B).
Tidak menggunakan diuretik untuk pengobatan AKI,
kecuali manajemen volum overload(2C).
Tidak disarankan menggunakan dopamine dosis
kecil/fenoldopam untuk mencegah atau mengobati
AKI(1A)/(2C).
Tidak disarankan menggunakan atrial
natriuretikpeptide(ANP) untuk mencegah (2C) atau
mengobati AKI(2B).
Tidak disarankan antibiotika aminoglikosid, kecuali tidak
ada pilihan lain(2A).
Pasien dengan fungsi ginjal normal disarankan
aminoglikosid dosis tunggal dari pada dosis multiple
harian(2B).
Monitor kadara minoglikosid darah kalau diberikan dosis
tunggal lebih 48 jam(2A),dosis multi pelharian lebih
24jam(1A),
Pengobatan mikosis sistemik disarankan anti fungal azole
dan/atau echinocandin dari pada amfoterisin B bila efikasi
terapinya sama(1A).
- Kriteriaterapipenggantiginjal /DialisispadaAKI :
Oliguria :produksiurin<200 ml dalam 12 jam
Anuria :produksiurin<50 ml dalam 12 jam.
Hiperkalemia :potasium>6,5 mmol/l
Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH <7,0
Azotemia :kadar urea >30 mmol/L
Uremik organ seperti ensefalopati, perikaditis, neuropati
atau miopatiuremikum.
Disnatremia berat: konsentrasi>160mmol/L atau<
115mmol /L
Hipertermia (suhu>39,5 selsius).
Edema organ khususnya paru.
Keracunan obat yang bias didialisis.
Pasien berisiko edema/ARDS yang membutuhkan produk
darah banyak karena koagulopati.
Daftar Pustaka 1. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, et al. Acute renal failure—
definition, outcome measures, animal models, fluid therapy
and information technology needs: the Second International
Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative
(ADQI) Group. Crit Care 2004; 8: R204-212 with permission
from Bellomo R et al.;22 accessed http://ccforum.com/
content/8/4/R204.
2. Devarajan P. Emerging Biomarker of Acute Kidney Injury. In
Acute Kidney Injury,Ed.Ronco C, Bellomo R, Kellim JA.
Karger.2007.p.l203-12.
3. Kidney International Supplements (2012) 2, 8–12;
doi:10.1038/kisup.2012.7.
91
4. Raggio J, Umans JG. Diagnosis Acute Renal Failure. In:
Murray PT, Brady HR, Hall JB, Ed. Intensive Care in
Nephrology.London: Taylor&Francis, 2006. p.99-111.
5. Sukandar E. Nefrologi Klinik. Edisi III. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah FK UNPAD 2002. Peninjauan ulang.
6. Uchino S, Bellomo R. Indication for initiatiation, cessation,
and withdrawal of Renal Replacement Therapy. In: Murray
PT, Brady HR, Hall JB, Ed. London: Taylor&Francis, p.2006.
137-45.
Kriteria Diagnosis Adanya gejala klinis penurunan fungsi otak pasca trauma disertai
gambaran abnormal CT scan/MRI kepala
94
Batasan dan Uraian
Pelayanan Neuro Anestesi adalah tindakan medis yang dilakukan melalui pendekatan tim sesuai
kompetensi dan kewenangan yang dimilki mencakup tindakan Neuro anestesi (Pra anesthesia, Intra anesthesia,
Pasca anesthesia) dan Neuro Crtical Care serta pelayanan lain sesuai bidang Neuroanestesiologi seperti
tatalaksana nyeri, pelayanan kritis, gawat darurat.
Sistim Pelayanan
Kegiatan Pelayanan Neuroanestesi dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi dengan pelayanan lain
dirumah sakit. dapat berupa; Pelayanan Neuro Anestesi dikamar bedah, Penanganan Nyeri Rawat Jalan, Kelola
pasen di Rawat Inap dan Ruang Neuro Critical Care ataupun Neuro Critical Care serta pelayanan diluar kamar
bedah yang dapat dilakukan antara lain di ICU/PICU/NICU, Instalasi Gawat Darurat, Radiologi, dengan jenis
pelayanan yang disesuaikan dengan klasifikasi rumah sakit.
Sesuai dengan tersebut diatas kegiatan pelayanan Neuro anestesi mencakup antara lain :
1. Melakukan evaluasi dan pelayanan pra anestesia.
2. Pelayanan Neuro anestesia di kamar bedah dan ruang diagnostik.
3. Menanggulangi nyeri pasca operasi bedah saraf maupun di bangsal.
4. Pengelolaan pasen Neuroanestesi dan Neuro Critical Care diruang Perawatan/Neuro Critical Care.
5. Melakukan bantuan resusitasi kasus gawat, di ruang darurat atau di bangsal yang membutuhkan.
95
1.1.6. Memberikan penjelasan tentang anetesia agar supaya pasien merasa
senang dan puas.
1.1.7. Memberikan instruksi premedikasi bila dianggap perlu.
2. Penatalaksanaan Anestesia
2.1. Prinsip umum
2.1.1. Setiap anestesia harus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Neuroanestesi.
2.1.2. Pasien yang di anestesia oleh bukan Neuroanestesi menjadi tanggung jawab Neuroanestesi yang
bertugas.
2.1.3. Neuroanestesi yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap dilingkungan rumah sakit /
tempat pelayanan anestesia dan dapat segera hadir di tempat dilakukan anestesia setiap saat.
2.1.4. Pada saat yang sama seorang Neuroanestesi hendaknya membatasi diri bertanggung jawab atas
maksimal tiga anestesia.
2.1.5. Semua pasien akan dipantau sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
2.2. Keamanan pasien selama anestesia
2.1.1. Mesin anestesia harus diperiksa, diuji dan dipastikan berfungsi.
2.1.2. Bila digunakan elektrokauter, elektrokoagulator atau peralatan listrik lain yang menimbulkan
bunga api selama prosedur tindakan, maka hanya zat yang tidak bisa terbakarlah yang boleh
dipakai untuk anestesia atau persiapan lapangan operasi prabedah.
2.1.3. Bila digunakan zat yang mudah terbakar, harus diperhatikan hal-hal berikut :
a. Lantai bersifat konduktif.
b. Semua peralatan dan perabot di kamar operasi hendaknya dibumikan (“grounding”) dengan
baik.
c. Semua orang yang masuk kamar operasi harus mengenakan alas kaki konduktif.
d. Pakaian luar tidak boleh terbuat dan sutera, wol, nilon atau bahan sintetik lain. Selimut wol
tidak boleh berada di dalam kamar operasi.
2.1.4. Laringoskop pipa jalan nafas, kantong nafas, sungkup muka, pipa trakea dan semua alat anestesia
yang berhubungan langsung dengan pasien hendaknya dicuci dan disuci hamakan sesudah setiap
prosedur.
2.3 Bantuan tenaga
2.3.1 Untuk pelaksanaan Neuroanestesia yang efisien dan aman diperlukan bantuan tenaga.
2.3.2 Kehadiran tenaga bantuan diperlukan selama persiapan, induksi anestesia, rumatan anesthesia,
pengakhiran anestesi dan sampai dianganggap tidak diperlukan lagi.
2.3.3 Tenaga bantuan harus cukup berkualifikasi dalam tata kelola Airway, Breathing, Circulating dan
kehadiran sepanjang waktu pelayanan Neuroanestesi yang dilakukan.
Tujuan
96
Oleh karena keadaan pasien selama anestesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga anestesia yang
berkualifikasi harus ada untuk memantau pasien dan memberikan pelayanan anestesia.
Pada keadaan di mana terdapat bahaya langsung terhadap tenaga anestesia (mis : radiasi), dan pasien perlu
diawasi dari jarak jauh, maka beberapa cara pemantauan tertentu tetap harus dilakukan.
Adanya keadaan darurat di tempat lain yang memerlukan kehadiran Neuroanestesi yang bertanggung jawab,
keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang
ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang ada.
STANDARD II
Selama pemberian anestesia, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi pasien harus dievaluasi secara teratur dan sering.
Oksigenasi
Tujuan
Untuk memastikan kadar oksigen dari sumber, dalam gas inspirasi dan di dalam darah pada setiap pemberian
anestesia.
Cara :
1. Gas inspirasi :
Selama pemberian anestesia umum dengan mesin anestesia dianjurkan agar kadar oksigen diukur dengan
oksigen analiser yang mempunyai alarm batas rendah kadar oksigen.
2. Oksigenasi darah :
Selama pemberian anestesia diperlukan penerangan yang cukup dan pasien harus dapat dilihat dengan jelas
agar dapat dilakukan penilaian terhadap warna. Disamping cara ini dan cara kualitatif lainnya dianjurkan
juga cara kuantitatif seperti oksimeter pulsa (Saturasi Okigen).
Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan pemantauan
Saturasi Mix Vein/SJv02 terus menerus, dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan dibawah ini :
a. Vena Central
b. ET CO2 (Capnograph).
c. Blood Gas Analysis (Astruff)
Ventilasi
Tujuan
Untuk memastikan ventilasi pasien yang cukup selama pemberian anestesia/analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia umum, ventilasi harus dievaluasi secara teratur dan sering. Secara
kualitatif dapat dilakukan misalnya dengan mengawasi gerak naik turun dada, gerak kembang kempis
kantong reservoar atau auskultasi bunyi pernafasan. Di samping secara kualitatif dianjurkan cara kuantitatif
misalnya dengan mengukur kandungan CO2 dan atau volume gas ekspirasi.
2. Jika dilakukan intubasi, posisi pipa trakeal yang tepat di dalam trakea harus dipastikan. Penilaian
secara klinis adalah esensial, sedangkan pemantauan CO2 tidal akhir dianjurkan.
3. Jika ventilasi diatur dengan ventilator mekanis, dianjurkan terdapat alat yang mampu untuk
menunjukkan putus hubungan dan komponen komponen sistem pernapasan. Alat tersebut harus mampu
mengeluarkan tanda yang dapat didengar jika nilai ambang alarm terlewati.
4. Selama analgesia regional anestesia dari pelayanan anestesiologi lainnya yang memerlukan monitoring
pemantauan, ventilasi yang cukup harus dievaluasi setidak tidaknya dengan cara klinis kualitatif secara
teratur dan sering.
Sirkulasi
Tujuan :
Untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien yang cukup selama anestesia dan analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur tekanan darah, TAR, laju jantung secara teratur
dan sering.
2. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur keseimbangan cairan, produksi urin (Douer
Cathether) secara teratur dan sering.
3. Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan pemantauan EKG terus
menerus. dan dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan dibawah ini :
• Vena Central
• Nerve Stimulator.
• Tekanan darah invasif,
97
• Puls Oksimeter (Saturasi Oksigen),
• ET CO2 (Capnograph) plastismografi.
• Blood Gas Analysis. Elektrolit Plasma dan Urin.
Suhu tubuh
Tujuan
Untuk membantu mempertahankan suhu tubuh selama pemberian anestesi/analgesi.
Cara :
Harus tersedia alat untuk mengukur suhu tubuh setiap saat. Jika diduga, dicurigai diperkirakan
ada terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus diukur.
Daftar Pustaka
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan Neuro
Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
3. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
4. Brain Trauma Foundation; Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. 3 rd ed. 2007;
S7-77.
5. Kass IS, Cottrel JE. Pathophysiology of brain injury. In: Cottrel JE. Smith DS. eds. Anesthesia and
Neurosurgery, 4th ed, St. Louis: Mosby; 2001, 3 : 69-82.
98
Tujuan :
Memberikan acuan yang benar tentang pelayanan Neuro anestesi / Neuro Critical Care pada fasilitas pelayanan
kesehatan
Kebijakan :
Untuk dapat memberikan pelayanan Neuroanestesi / Neuro Critical Care yang berorientasi untuk keselamatan
pasen maka diperlukan:
1. Standard Tenaga:
Pelayanan Neuroanestesi Neuro Critical Care adalah bagian vital dari pelayanan kesehatan yang
memerlukan tenaga /personil yang kompeten
Tindakan Neuroanestesi Neuro Critical Care adalah tindakan medis dan dilakukan oleh tenaga medis
yang telah mendapat pendidikan/pelatihan yang legal.
Pelayanan Neuroanestesi Neuro Critical Care dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi (SpAn)
dan/atau dokter Spesialis Anestesiologi Konsultan Neuro Anestesi (SpAn KNA). Bila tidak ada SpAn
dan SpAn KNA, pelayanan anesthesi dilakukan oleh dokter Peserta Program Dokter Spesialis
Anestesiologi(PPDS-1) dibawah supervisi SpAn / SpAn KNA berdasar keparahan kasus.
Dokter Spesialis Anestesi ( SpAn), dokter yang telah menyelesaikan program pendidikan yang diakui
atau lulusan luar negeri yang telah mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR)
Dokter Spesialis Anestesi Konsultant Neuro Anestesi ( SpAn KNA ), yaitu dokter spesialis
anestesi yang telah mendalami ilmu Neuro anestesi dan mempunyai Kompetensi Neuro
Anestesi dibuktikan dengan Sertifikat Konsultan Neuro anestesi yang dikeluarkan oleh
institusi yang sah dan diketahui PERDATIN
2. Standard Pelayanan Peri Anestesi.
Standard Pengelolaan Pra-Anestesi.
i. SpAn KNA bertanggung jawab menilai dan menentukan status medis pasien praanestesi,
membuat rencana pengelolaan anestesi dan memberi informasi kepada pasien atau keluarga
tentang rencana tindakan anesthesia tersebut.
ii. Sebelum melakukan tindakan anestesi dilakukan pemeriksaan kelengkapan mesin anestesi, alat
anestesi, alat pemantauan , ketersedian kecukupan oksigen, obat-obatan yang akan digunakan,
alat resusitasi dan dipastikan semuanya berfungsi dengan baik.
Standard Pemantauan Dasar Anestesi
i. Tenaga anestesi yang berkualitas tetap berada dalam wilayah kamar operasi selama tindakan
Neuro anestesi baik secara umum, regional dan MAC
ii. Selama pemberian anestesi, harus dilakukan pengawasan, dibuat evaluasi oksigenasi, ventilasi,
suhu, keseimbangan cairan-elektrolit dan perfusi jaringan pasien.
iii. Pemantauan yang dilakukan ditujukan untuk optimalisasi Oksigenasi, Ventilasi, Sirkulasi, Suhu
tubuh dan Keseimbangan cairan-elektrolit.
Standard Pengelolaan Pasca Neuro Anestesi Neuro Critical Care
i. Semua pasien yang menjalani anestesi umum, anestesi regional atau MAC harus menjalani
tatalaksana pasca-anestesia yang tepat.
ii. Pemindahan pasien keruang pulih harus didampingi oleh seorang anggota tim pengelola (tenaga)
anesthesia yang memahami kondisi pasien.
Setelah tiba di Ruang Pulih dilakukan serah terima pasien kepada perawat Ruang pulih. Pasien
harus dinilai kembali oleh anggota tim pengelola anesthesia yang mendampingi pasien bersama
sama perawat Ruang Pulih disertai laporan verbal kepada perawat Ruang Pulih yang bertugas
tersebut.
iii. Kondisi pasien diruang pulih harus dinilai secara terus menerus.
iv. Dokter SpAn KNA bertanggung jawab atas pengeluaran pasien di Ruang pulih.
Standard Pencatatan – Pelaporan, Inform Concent.
i. Kegiatan, perubahan-perubahan dan kejadian yang terkait dengan persiapan dan pelaksanaan
pengelolaan pasen selama pra-anestesia, pemantauan durante anesthesia dan pasca-anestesia di
Ruang Pulih dicatat secara kronologis dalam catatan anesthesia yang disertakan dalam rekam
medis pasien.
ii. Catatan anesthesia diverifikasi dan ditandatangani oleh dokter anestesiologi yang melakukan
tindakan anesthesia dan bertanggungjawab atas semua yang dicatat tersebut.
iii. Inform Concent.
Tindakan Neuro anestesi-Neuro Critical Care merupakan tindakan beresiko tinggi, dapat
mengancam nyawa oleh karena itu diperlukan informasi/ penjelasan yang benar, sungguh-
sungguh, memadai akan tehnik, obat, serta resiko sehingga tindakan dapat dilakukan dengan
99
cermat dan berakir untuk keselamatan pasen, untuk itu diperlukan kesepakatan melakukan
tindakan.
3. Pelayanan Neuro anestesi-Neuro Critical Care Care banyak dilakukan pada :
Tindakan Diagnostik ; Carotis Arteriografi, Deteksi Aneurysme. Cooling, Ligasi
Tindakan Anestesia untuk operasi daerah Otak dan Medula Spinalis
i. Regional
ii. Weak Craniotomi
iii. MAC (Monitoring Anaethesi Care)
iv. Anestesia Umum
Penderita Rawat Intensif/Neuro Critical Care.
Penanganan Nyeri Membadel.
4. Penyulit / Komplikasi :
Hipotermia, Hipertermia.
Perdarahan, Rebleeding, Syok, DIC.
Lambat bangun, Coma, Defisit Neurologi.
Gangguan Cairan dan Elektrolit, Asam Basa.
Suara serak, Disphoni, Sore throat, Gigi tanggal.
Dilatasi Usus, Tersedu (hiccough), Mual, Muntah.
V/P Mismatching, Aspirasi pneumonia, Pulmonary Edema.
Simpatis Hipertonus, Refleks Vagal dengan segala akibatnya.
5. Luaran :
Penderita Meninggal
Bangun tanpa komplikasi.
Sadar kembali dengan gejala sisa sementara.
Sadar kembali dengan gejala sisa yang menetap.
Daftar Pustaka
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan
Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan
Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
3. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
4. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
Tujuan
100
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada kasus bedah kraniotomi
Kebijakan:
1. Dr anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi
sesuai ketentuan.
2. Dr anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi
yang akan dilakukan,
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah GA Intubasi, MAC/Awake Cranitomi disesuaikan dengan
kondisi pasen.
4. Dosis obat, penambahan obat dapat berubah sewaktu-waktu jika diperlukan atau terjadi perubahan
kondisi pasien secara mendadak.
5. Tehnik yang dilakukan bertujuan pada pengendalian kenaikan tekanan intakranial yang optimal.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Lab : Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen : Thorak PA, CTscan, lain-lain sesuai indikasi
EKG : Wajib diatas umur 40 th.
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infuse dengan abocath No 18 atau yg
terbesar yang dapat masuk.
Infus dengan cairan kristaloid (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 – 15 cc / KgBB.
Monitor tekanan darah, HR, SpO2, dan EKG jika diperlukan
Alat : Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat: Obat yang berpotensi untuk neuroproteksi-neuro resusitasi.
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik –Dinamik
serta kondisi pasien.
- Midazolam 0,05 mg / KgBB i v
- Fentanyl 1-2 ug / KgBB i v
Induksi : Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
- Penthotal : 3 – 5 mg /KgBB i v
- Propofol : 1-- 2 mg/KgBB iv
Pemeliharaan : menggunakan agen inhalasi
- Inhalasi : Isofluran, Sevofluran < 1 MAC
- Intravenus Anestesi : Propofol 1-2 mg/kg BB/Jam
Pelumpuh Otot:
- Non Depol : - Rokuronium : 0,6 mg / KgBB
- Vecuronium : 0,1 mg / KgBB
b. Penatalaksanaan:
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
- Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
- Obat induksi diberikan kemudian
- Pasien diberikan oksigen 100 % untuk preoksigenasi
- Obat pelumpuh otot diberikan untuk fasilitas intubasi dan pemeliharaan
- Setelah onset obat tercapai dilakukan intubasi orotrakheal dengan laringoskop dan ETT yang sesuai dengan
pasien.
- Agen pemeliharaan dibuka, bersamaan dengan O2 dan N2O.
c. Pengakhiran anestesi
- Agen pemeliharaan anestesi dihentikan 5 – 10 menit sebelum operasi berakhir
101
- Pemberian obat penawar pelumpuh otot diberikan hanya jika terjadi pemanjangan masa
kerja pelumpuh otot setelah operasi selesai.
- Ekstubasi dilakukan jika pasien sudah bernafas spontan, adekuat. Reflek sudah muncul
dan dapat membuka mata secara spontan atau dengan rangsang dan kekuatan otot sudah pulih 75 %;
kecuali jika ada penyulit atau prakondisi lain (hipertensi, penyakit jantung) dilakukan ekstubasi dalam atau
yang memerlukan penanganan lanjut di Ruang Rawat Intensif.
Daftar Pustaka
1. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
2. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
3. Bruder, N. Ravussin, P. Recovery from Anesthesia and post operative extubation of Neurosurgical
patients.Departement d’anesthesiologie et de reanimation. Hospital de Sion. Switzerland. E-mail :
patrick.ravussin@hopsion.vsnet.ch.
4. Kelly, DL. Et al. Supra tentorial and pituitary surgery. In Albine. Text Book of Neuroanesthesia. McGraw-
Hill Companies.1997;28: 931-970
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
6. Turner,JM. Intracranial Pressure. In Matta,BF, et al. ( Eds ) : Text Books Of Neuro Anesthesia and Critical
Care, GMM,2000; 21 : 51-66
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada kasus bedah kraniotomi supratentrorial.
102
Kebijakan:
1. Dr anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang akan
dilakukan (Inform Concent)
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah GA Intubasi, MAC/Awake Cranitomi disesuaikan dengan kondisi
pasen.
4. Dosis obat, penambahan obat dapat berubah sewaktu-waktu jika diperlukan atau terjadi perubahan kondisi
pasien secara mendadak.
5. Tehnik yang dilakukan bertujuan pada pengendalian kenaikan tekanan intakranial yang optimal.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
Memperkirakan perlu-tidaknya Perawatan Rawat Intensif-Neuro Critical Care pasca operasi.
Membuat Inform Concent dengan pasen/keluarga pasen dan disaksikan dari kedua belah pihak
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Lab : Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Analisa Gas Darah (Astruff)
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen : Thorak PA, CTscan kepala, lain-lain sesuai indikasi
EKG : Wajib diatas umur 40 th, lain-lain sesuai indikasi
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus dengan abocath No 18 atau yang
terbesar yang dapat masuk. Dapat dilakukan pemasangan Infus 2 jalur untuk antisipasi
perdarahan, dengan cairan kristaloid (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 – 15 cc / KgBB.
Pemasangan Kateter Urin, dikosongkan dan dicatat produksi setiap jam.
Monitor NIBP(Arteri Line), HR, EKG, SpO2, Tekanan Vena Sentral.
ETCO2, Blood Gas Analisis, Nerve Stimulator jika diperlukan.
Siapkan darah, sesuai besar tumor
Alat : Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat:
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik –Dinamik
serta kondisi pasien.
- Midazolam 0,05 mg / KgBB i v
- Fentanyl 1-2 ug / KgBB i v
- Dexmedetomidine 0.08-1.0ug/ KgBB i v
- Lidokain 0.5 - 1 mg/ KgBB I v
Induksi : Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
- Penthotal 3 – 5 mg / KgBB i v
- Propofol 1 – 2 mg / KgBB i v
- Etomidat 0.3 mg/ KgBB iv
Pemeliharaan : menggunakan agen inhalasi
- Inhalasi : Isofluran, Sevofluran < 1 MAC
- Intravenus Anestesi : Propofol 1-2 mg/kgBB/jam.
Pelumpuh Otot:
- Non Depol : - Rokuronium : 0,6 mg / KgBB
- Vecuronium 0,1 mg / KgBB
b. Penatalaksanaan:
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
- Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
- Obat induksi diberikan kemudian
- Pasien diberikan oksigen 100 % untuk preoksigenasi
- Obat pelumpuh otot Non Depolarisasi diberikan untuk fasilitas intubasi dan pemeliharaan
103
- Setelah onset obat tercapai dilakukan intubasi orotrakheal dengan laringoskop dan ETT yang sesuai
dengan pasien.
- Agen pemeliharaan dibuka, bersamaan dengan O 2 dan analgesi dipergunakan Fentanyl 1-2 mcg/kgBB
jam atau Dexmedetomidin 0.8mcg/kgBB
- Penggunaan pelumpuh otot untuk mendapatkan rileksasi dan control ventilasi
- Dapat dipasang Capnograph untuk menilai ETCO2.
c. Pengakhiran anestesi
- Agen pemeliharaan anestesi dihentikan 5 – 10 menit sebelum operasi berakhir
- Obat penawar pelumpuh otot tidak diberikan bagi pasen yang memerlukan perawatan di neuro Critical
Care- Neuro Critical Care.
- Ekstubasi dilakukan jika pasien sudah bernafas spontan, adekuat. Reflek sudah muncul dan dapat
membuka mata secara spontan atau dengan rangsang dan kekuatan otot sudah pulih 75 %; kecuali jika
ada penyulit atau prakondisi lain (hipertensi, penyakit jantung) dilakukan ekstubasi dalam atau yang
memerlukan penanganan lanjut di Ruang Rawat Intensif.
Daftar Pustaka
1. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia &
Critical Care, 2003; 21;1;61-71.
2. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia.
Bandung. Indonesia : 1997.
3. Bruder, N. Ravussin, P. Recovery from Anesthesia and post operative extubation of
Neurosurgical patients.Departement d’anesthesiologie et de reanimation. Hospital de Sion. Switzerland. E-
mail : patrick.ravussin@hopsion.vsnet.ch.
4. Kelly, DL. Et al. Supra tentorial and pituitary surgery. In Albine. Text Book of
Neuroanesthesia. McGraw-Hill Companies.1997;28: 931-970
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds):
Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
6. Turner,JM. Intracranial Pressure. In Matta,BF, et al. ( Eds ) : Text Books Of Neuro Anesthesia
and Critical Care, GMM,2000; 21 : 51-66
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada kasus bedah kraniotomi infra tentorial.
Kebijakan:
104
1. Dr anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang akan
dilakukan (Inform Concent)
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah GA Intubasi, MAC/Awake Cranitomi disesuaikan dengan kondisi
pasen.
4. Dosis obat, penambahan obat dapat berubah sewaktu-waktu jika diperlukan atau terjadi perubahan kondisi
pasien secara mendadak.
5. Tehnik yang dilakukan bertujuan pada pengendalian kenaikan tekanan intakranial yang optimal.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
Memperkirakan perlu-tidaknya Perawatan Rawat Intensif-Neuro Critical Care pasca operasi.
Membuat Inform Concent dengan pasen/keluarga pasen dan disaksikan dari kedua belah pihak
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Laboratorium : Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Analisa Gas Darah (Astruff)
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen : Thorak PA, CTscan kepala, lain-lain sesuai indikasi
EKG : Wajib diatas umur 40 th, lain-lain sesuai indikasi
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus dengan abocath No 18 atau yang
terbesar yang dapat masuk. Dapat dilakukan pemasangan Infus 2 jalur untuk antisipasi
perdarahan, dengan cairan kristaloid (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 – 15 cc / KgBB.
Pemasangan Kateter Urin, dikosongkan dan dicatat produksi setiap jam.
Monitor IBP(Arteri Line), HR, EKG, SpO2, Tekanan Vena Sentral.
PemasanganVena Sentral diposisikan pada daerah mix vein atrium kanan.
Pemasang PCS ( Pre Cordial Steteskop) Pada daerah dada kanan atas.
ETCO2, Blood Gas Analisis, Nerve Stimulator jika diperlukan.
Siapkan darah, sesuai besar tumor
Alat : Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat :
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik –Dinamik
serta kondisi pasien.
- Midazolam 0,05 mg / KgBB i v
- Fentanyl 1-2 ug / KgBB i v
- Dexmedetomidine 0.08-1.0ug/ KgBB i v
- Lidokain 0.5 - 1 mg/ KgBB i v
- Inotrope Dopamin, Dobutamin, Nor Epinephrin.
- Anticholinergik Atropin 2mg/kg BB i v
Induksi : Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
- Penthotal 3 – 5 mg / KgBB i v
- Propofol 1 – 2 mg / KgBB i v
- Etomidat 0.3 mg/ KgBB iv
Pemeliharaan : menggunakan agen inhalasi
- Inhalasi : Isofluran, Sevofluran < 1 MAC
- Intravenus Anestesi : Propofol 1-2 mg/kgBB/jam.
Pelumpuh Otot:
- Non Depol : - Rokuronium : 0,6 mg / KgBB
- Vecuronium 0,1 mg / KgBB
b. Penatalaksanaan:
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
- Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
- Obat induksi diberikan kemudian
105
- Pasien diberikan oksigen 100 % untuk preoksigenasi
- Obat pelumpuh otot Non Depolarisasi diberikan untuk fasilitas intubasi dan pemeliharaan
- Setelah onset obat tercapai dilakukan intubasi orotrakheal dengan laringoskop dan ETT yang
sesuai dengan pasien.
- Agen pemeliharaan dibuka, bersamaan dengan O2 dan analgesi dipergunakan Fentanyl 1-2
mcg/kgBB jam atau Dexmedetomidin 0.8mcg/kgBB
- Dapat dipasang PCS (Pree Cordial Stetoskop) dan Capnograph untuk menilai ETCO2.
- Antisipasi Venus Air Embolism dengan Normotensi, Normovolumi, pembasahan daerah operasi,
serta kesiapan Penanganan terhadap Venus Air Embolisme
c. Pengakhiran anestesi
- Agen pemeliharaan anestesi dihentikan 5 – 10 menit sebelum operasi berakhir
- Obat penawar pelumpuh otot tidak diberikan bagi pasen yang memerlukan perawatan di neuro
Critical Care- Neuro Critical Care.
- Ekstubasi dilakukan jika pasien sudah bernafas spontan, adekuat. Reflek sudah muncul dan
dapat membuka mata secara spontan atau dengan rangsang dan kekuatan otot sudah pulih 75 %;
kecuali jika ada penyulit atau prakondisi lain (hipertensi, penyakit jantung) dilakukan ekstubasi
dalam atau yang memerlukan penanganan lanjut di Ruang Rawat Intensif.
Daftar Pustaka
1. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
2. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
3. Bruder, N. Ravussin, P. Recovery from Anesthesia and post operative extubation of Neurosurgical
patients.Departement d’anesthesiologie et de reanimation. Hospital de Sion. Switzerland. E-mail :
patrick.ravussin@hopsion.vsnet.ch.
4. Kelly, DL. Et al. Supra tentorial and pituitary surgery. In Albine. Text Book of Neuroanesthesia. McGraw-
Hill Companies.1997;28: 931-970
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
6. Turner,JM. Intracranial Pressure. In Matta,BF, et al. ( Eds ) : Text Books Of Neuro Anesthesia and Critical
Care, GMM,2000; 21 : 51-66
Tujuan
106
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada tehnik awake kraniotomi.
Kebijakan:
1. Dr. anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr. anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang akan
dilakukan (Inform Concent)
3. Teknik anestesi yang digunakan adalah Awake Cranitomi dengan persiapan semua obat, alat, tenaga sudah
siap sebelum dilakukan.
4. Persiapan:
a. Setting Ruangan Operasi harus memberi kenyamanan, ketenangan
b. Seluruh Team Operasi, sdm lainnya harus sudah siap dikamar operasi.
c. Obat Alat dan Meja operasi sudah diposisikan dan disiapkan sejak awal.
d. Pasen Sadar, Kooperatif, Verbal comand saat dilakukan Brain mapping
e. Monitor EKG, Sa, Tekanan Darah, Tidak diperlukan Monitor invasif, kateter urin.
5. Tehnik Anestesi
a. Bisa dilakukan dengan Anestesi Lokal: Ijeksi Bupivakain daerah Scalp Incisisi
Levobuvakain 0.25 % + Adrenalin 1:200.000 dipersiapkan 40 cc
b. Bila dilakukan Anestesi Umum untuk Weak Kraniotomi:
Tehnik Tidur bangun Tidur, atau sebaliknya.
Pemilihan Obat:
1. Mudah dikendalikan,
2. Onset-Offset yang pasti
3. Stabilitas Hemodinamik Intrakranial
4. Mempunyai sifat Neuroproteksi, Antinocicepti.
Dosis obat; Memberi level Sedasi-Analgesi adekuat
Lakukan Induksi Anestesi dengan Smooth dan Gentle
Sedasi Analgesi mampu memberi; Pasen nyaman, Kooperatif, Tidak sakit saat sayatan kulit dan
mengangkat tulang kepala. Obat tidak mempengaruhi Test Brain Mapping atau saat
Electrocorticograpi.
Tehnik yang dilakukan bertujuan HD stabil, Slack brain, Pasen Kooperatif agar operator dapat
menentukan daerah lesi dengan melakukan brain mapping secara tepat-akurat untuk mengurangi
morbitas.
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
Menilai kondisi fisik pasien, riwayat penyakit terdahulu, penjelasan prosedur tindakan anestesi
Membuat Inform Concent dengan pasen/keluarga pasen dan disaksikan dari kedua belah pihak
Mempersiapkan Seleksi Pasen, Memberi Dukungan Psikologis, Motivasi-Mensupport pasen.
b. Konsultasi
Dengan bagian lain terkait kelainan / penyakit yang diderita pasien
c. Pemerikasaan Penunjang
Laboratorium : Darah Rutin, CT, BT, BUN, Cr, Elektrolit,
Pemeriksaan lain sesuai indikasi
Rontgen : Thorak PA, CTscan kepala, lain-lain sesuai indikasi
EKG : Wajib diatas umur 40 th, lain-lain sesuai indikasi
2. General Anestesi
a. Persiapan
Pasien : Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus dengan abocath No 18 atau yang
terbesar yang dapat masuk. (RL, Asering, NaCl 0,9 %) 10 – 15 cc / KgBB.
Untuk kasus epilepsy, obat obat epilepsinya bisa dilanjutkan
Monitor NIBP, HR, EKG, SpO2, Tidak diperlukan Pemasangan Kateter Urin,.
Alat : Tetap dipersiapkan Alat-alat untuk melakukan intubasi oral maupun nasal.
Obat :
Premedikasi : Dapat menggunakan obat lain, disesuaikan dengan Farmakokinetik –Dinamik
serta kondisi pasien.
- Lorazepam : 1 mg p.o 1 jam pre op
Induksi : Dapat menggunakan salah satu obat dibawah (sesuai kondisi pasien)
107
- Dexmedetomidine : 1.0 ug/KgBB i v selama 15 menit loading dose
: 0.4 ug/KgBB i v pemeliharaan selama operasi
- Bupivakain+Adrenalin : 0.25% saat pemasangan Head Pin
: Infiltrasi 0.25% 40 cc saat scin incision
- Propofol : 1-2 mg/kgBB/jam
: Saat Infiltrasi, memindahkan, ngebor tulang kepala.
: Propofol dapat diberikan.
Pemeliharaan : menggunakan agen
- Dexmedetomidine : 0.4 ug/KgBB i v selama Opersai
Penatalaksanaan:
- Diberi (02) oksigen 100 % lewat Nasal Oksigen
- Pasien masuk kamar operasi sudah terpasang infus.
- Monitor dipasang
- Obat premedikasi diberikan di ruang induksi
- Obat induksi diberikan kemudian
- Dapat dipasang PCS (Pree Cordial Stetoskop) dan EKG.
- Saat Cortical mapping; Pasen Sadar-Kooperatif, Kontak-Komunikasi
- Apabila ada komplikasi harus cepat dtangangani.
c. Pengakhiran anestesi
- Reflek proteksi sudah muncul dan dapat membuka mata secara spontan
- Parameter Vital sign normal, Pasien nafas spontan, adekuat.
- Pusat motorik, bicara, menghitung koperatif,
Daftar Pustaka
1. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia & Critical Care,
2003; 21;1;61-71.
2. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro Anaesthesia. Bandung.
Indonesia : 1997.
3. Bruder, N. Ravussin, P. Recovery from Anesthesia and post operative extubation of Neurosurgical
patients.Departement d’anesthesiologie et de reanimation. Hospital de Sion. Switzerland. E-mail :
patrick.ravussin@hopsion.vsnet.ch.
4. Kelly, DL. Et al. Supra tentorial and pituitary surgery. In Albine. Text Book of Neuroanesthesia. McGraw-
Hill Companies.1997;28: 931-970
5. Menon, DK. and Matta, BF. Intensive care after acute head injury. In Matta, BF., et al. (Eds): Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care, GMM, 2000; 21:299-317.
6. Turner,JM. Intracranial Pressure. In Matta,BF, et al. ( Eds ) : Text Books Of Neuro Anesthesia and Critical
Care, GMM,2000; 21 : 51-66
108
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang anestesi pada trauma servikal.
Kebijakan:
1. Dr. anestesi wajib memeriksa kelengkapan rekam medis sebelum dilakukan tindakan anestesi sesuai
ketentuan.
2. Dr. anestesi wajib memberikan informasi, penjelasan dan persetujuan tentang tindakan anestesi yang
akan dilakukan (Inform Concent)
3. Trauma Medula Spinalis
a. Trauma Medula Spinalis primer
Trauma yang mengakibatkan gangguan dan kerusakan langsung pada neuron. Perubahan
histologi terdiri atas: Perdarahan, Ekstravasasi protein kedalam gray matter yang menyebar
menuju white matter. Edema medula spinalis maksimal pada hari ke 3 dan dapat bertahan
selama 2 minggu. Pada keadaan ini yang terpenting adalah mempertahankan perfusi medula
spinalis. SCBF dikontrol oleh faktor-faktor yang sama dengan CBF2,5
b. Trauma medula spinalis sekunder
Disebabkan oleh aktivasi biokimiawi, enzymatik dan proses mikrovaskuler. Kerusakan
disebabkan oleh hilangnya integritas membran sel, edema, inflamasi, lepasnya asam
arachidonat, lipid peroxidase, dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Proses tersebut
menyebabkan stasis vaskuler, penurunan aliran darah, iskemi dan kematian sel.5
4. Manifestasi Klinis
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi saraf secara komplet maupun inkomplet.
Defisit neurologis yang terjadi tergantung level medula spinalis yang mengalami kelainan.2
Pusat respirasi di medula spinalis terdapat pada nukleus motorik C4 dan mendapat kontribusi minimal
dari C3 dan C5 kemudian keluar sebagai nervus phrenikus yang mensarafi otot diafragma. Napas
spontan masih bisa dilakukan dengan kapasitas vital 20-25 % normal apabila C4 normal. Kelainan
diatas C3 akan menyebabkan respiratory arrest. Insidensi ketergantungan pada ventilator pada pasien
dengan trauma servikal C1-C4 sebesar 40 %. Kelainan dibawah C5 akan terjadi penurunan fungsi
respirasi karena kelemahan otot interkostalis1,8,9
Efek trauma medula spinalis terhadap sistem kardiovaskuler tergantung pada level trauma. Level
dibawah T6 mengakibatkan hipotensi akibat sympatektomy. Diatas T6 abnormalitas kardiovaskuler
lebih berat dapat terjadi bradikardi, hipotensi, disfungsi ventrikel, dan disritmia. Hilangnya inervasi
simpatis pada jantung pada level T1-T4 mengakibatkan parasimpatis tidak terkompensasi akibatnya
terjadi bradikardi dan hipotensi. Pasien tidak dapat mempertahankan curah jantung karena hilangnyan
kemampuan mempertahankan tonus pembuluh darah arteri dan kapasitans vena. Jantung kurang dapat
menerima beban kenaikan venous return sehingga mudah terjadi edema paru. Untuk mencegah
overload cairan sebaiknya dipasang CVC. Untuk mengatasi bradikardi dapat diberikan sulfas atropin
0.02 mg/kg BB dan dapat diulang tiap 20-30 menit dan diberikan setengah dosis.1,5,8
5. STRATEGI NEUROPROTEKTIF
a. Spinal Alignment Pergerakan segmen yang mengalami trauma akan dapat menyebabkan
eksaserbasi trauma yang telah dialami. Sehingga strategi neuroproteksi yang sangat penting
adalah menghilangkan kompresi medula spinalis dan mencegah gangguan neurologis lebih lanjut
dengan jalan immobilisasi yang efektif sesegera mungkin baik menggunakan tong atau
halotraction. Kegagalan melakukan hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurologis
yang masih ada atau bahkan naiknya level trauma.4,5
b. Pembedahan bertujuan untuk reduksi mal aligment, dekompresi elemen neural, restorasi
stabilitas spinal. Dekompresi dengan pembedahan dalam dua jam pertama dapat meningkatkan
peluang recovery.8
c. Moderat Hypotermi setelah trauma medula spinalis hanya sedikit manfaatnya. Sebaliknya
Hipertermi sangat merugikan menyebabkan kerusakan neuron setelah trauma.
d. MAP dipertahankan normal-normal tinggi sekitar 85 mmHg dengan cara penggantian cairan
( kristaloid, koloid atau darah) apabila shock perdarahan lebih dominan, atau dengan
menggunakan inotropik atau vasopressor apabila diduga shok neurologis yang menyebabkan
hipotensi.
Hipertensi beresiko perdarahan dan edema intramedula.5
Hindari cairan mengandung glukosa.1,5
e. Terapi farmakologi
109
Kortikosteroid
Metilprednisolon diberikan dalam 8 jam setelah trauma dengan dosis 30 mg/kg BB bolus
intravena pada jam pertama dan kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam dalam 23 jam berikutnya.
4,5
Obat lain
Pemberian manitol 0,25-1 g/kg BB untuk edema medula spinalis.1,5
outcome dan penggunaannya saat ini tidak direkomendasikan lagi
6. Persiapan:
a. Setting Ruangan Operasi harus memberi kenyamanan, ketenangan
b. Seluruh Team Operasi, sdm lainnya harus sudah siap dikamar operasi.
c. Obat Alat dan Meja operasi sudah diposisikan dan disiapkan sejak awal.
d. Pasen Sadar, Kooperatif, Verbal comand saat dilakukan Brain mapping
e. Monitor EKG, Sa, Tekanan Darah, Tidak diperlukan Monitor invasif, kateter urin.
7. Tatalaksana Anestesi
Berdasarkan waktu terjadinya trauma medula spinalis dibagi dalam 3 fase :
fase akut ( 0-48 jam),
fase semi akut ( 48 jam sampai 1-12 minggu),
fase intermediet ( 1-12 minggu) dan fase kronis ( sudah lebih dari 3 bulan)
Pada Fase Akut; tonus simpatis setinggi lesi kebawah akan hilang sehingga akan terjadi hipotensi,
bradikardi dan respon yang sangat buruk terhadap berbagai stimulus. Lesi pada cervikal 3,4,5
menyebabkan disfungsi diafragma dan dapat terjadi respiratory arrest. Lesi pada cervikal bawah dan
daerah thorak juga terjadi gangguan respirasi dengan derajat yang lebih ringan karena disfungsi otot
interkosta. Hipovolumia relatif atau absolut memerlukan kombinasi penggantian cairan atau suport
inotropik dengan memonitor CVP. Kondisi lambung penuh memerlukan RSI dengan Sellicks manuver
dalam intubasi. Kemungkinan trauma pada daerah lain terutama pada tulang panjang, abdomen dan
thorak.1
Fase Semi Akut berlangsung 48 jam sampai periode waktu antara 1-12 minggu. Pada fase ini pada
beberapa pasien masih terjadi spinal shock. Resiko hiperkalemia pada penggunaan suksinilkholin dan
juga hiperkalsemia.
Fase Intermediet pada fase ini terjadi peningkatan kalium serum. Sebaiknnya hindari pemakaian
suksinil kholin. Pada trauma medula spinalis terjadi denervasi otot dalam jumlah besar, usaha fisiologis
tubuh agar setiap rangsangan mendapat jawaban adalah dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
postsinaptik dan juga meningkatkan sensitifitas reseptor tersebut. Spinal shock telah hilang. Komplikasi
lain berupa hiperrefleksia otonom.
Pada fase Kronis terjadi hiperrefleksia otonom, postural hipotensi, gangguan kontrol respirasi,
gangguan ginjal dan elektrolit, kehilangan kontrol temperatur tubuh, ulkus dekubitus dan
tromboemboli. Hiperrefleksia otonom terjadi pada periode 3 bulan/lebih setelah trauma medula spinalis
diatas T7. Ditandai dengan adanya hiperrefleksia, spastisitas dan spasme otot secara involunter.
Hiperrefleksia ini terjadi karena hilangnya kontrol dari koordinasi simpatis pusat pada hipotalamus
terhadap sistem saraf simpatis spinal antara T1-L2. Stimulasi kandung kencing daerah genital, usus dan
kulit daerah perineum, impuls akan dihantarkan melalui serabut saraf simpatis diatas lesi. Keadaan ini
akan menyebabkan berkeringat dan vasokonstriksi pada bagian tubuh tersebut. Postural hipotensi
terjadi pada lesi diatas T4 karena gangguan respon kardiovaskuler. Imobilisasi yang lama pada
penderita trauma medula spinalis dapat mengakibatkan perubahan dalam metabolisme kalsium yang
dapat mengakibatkan terjadinya kalsifikasi otot, immobilitas sendi, osteoporosis, hiperkalsemia dan
nefrokalsinosis dengan gagal ginjal. Fungsi ginjal akan menurun akibat nefrokalsinosis maupun infeksi
berulang yang menyebabkan hilangnya protein, natrium dan kalium.Oleh karena itu pemeriksaan
elektrolit, protein, ureum dan kreatinin penting sebelum operasi. Kerusakan medula spinalis diatas T7
bisa merusak pusat berkeringat yang menyebabkan beberapa penderita menjadi poikilotermi oleh
karena temperatur tubuhnya tergantung pada suhu sekitar dan sering berkembang menjadi hipertermia
yang disebabkan penderita tidak mampu menurunkan suhu tubuh akibat terganggunya proses
berkeringat. Pada saat dilakukan pembedahan penderita cenderung hipotermi karena pelepasan panas
tubuh berlebihan karena pembuluh darah yang terbuka tidak mampu melakukan vasokonstriksi dan hal
ini bisa memperpanjang masa pemulihan anestesi. Oleh karena itu penting untuk memantau suhu tubuh
baik di dalam maupun di luar kamar operasi untuk memastikan apakah suhu penderita tetap normal dan
mempersiapkan cairan infus yang hangat serta pemakaian alas penghangat diatas meja operasi. 1
Prosedur
1. Persiapan
a. Kunjungan Preop visite
110
Pasien dengan trauma medula spinalis seringkali mempunyai komplikasi lain yang akan
mempengaruhi rencana menejemen anestesi.
b. Pemeriksaan Penunjang meliputi darah lengkap, elektrolit, BUN, creatinin, glukosa, test fungsi hepar,
urinalisis. EKG, AGD, Ro thorax dan test fungsi paru. Lesi pada servikal 4-5 akan menyebabkan
gangguan pada otot-otot interkostalis bahkan pada otot pernapasan utama diafragma sehingga
pemeriksaan AGD dan spirometri harus dilakukan. Selain itu penurunan kemampuan membersihkan
sekret pernapasan juga beresiko hipoksemia dan hiperkarbi1,4,5,8
c. Evaluasi Jalan Napas/Respirasi; sangat diperlukan. Pemeriksaan jalan napas meliputi oropharing
dengan klasifikasi malampati dan gerakan leher. Apabila pasien menggunakan alat fiksasi cervikal
harus direncanakan intubasi sadar atau tekhnik lain untuk mengamankan jalan napas. Pasien dengan
trauma servikal mengalami gangguan paru restriktif dengan penurunan volume paru beresiko
hipoksemia. Trauma cervikal dan thorak atas menyebabkan kesulitan dalam membersihkan sekret yang
juga berpotensi hipoksemia dan hiperkarbi.
d. Evaluasi jantung penting untuk membuktikan kelainan akibat oleh trauma medula spinalis atau
kelainan tersebut memang sudah ada sebelumnya. Harus dilakukan penilaian derajat hipotensi
ortostatik dan resiko hiperrefleksia otonom.
e. Evaluasi Neurologis untuk menilai defisit neurologis pre operasi.
Penilaian neurologis menurut American Spinal Injury Association (ASIA) meliputi:
1. Test otot: Ada 10 kelompok otot yang harus diperiksa, 5 pada ekstremitas atas dan 5 pada
ekstremits bawah. Skala pemeriksaan dari 0-5 (Tabel 2).1,6
2. Test sensori: Diperiksa pada 28 dermatom pada tiap sisi. Pemeriksaan dengan sentuhan dan pin
prick dengan skala 0-2 (Tabel 3)1,6
111
2. Tatalaksana anestesi; pada operasi tulang belakang khususnya vertebra servicalis memerlukan perhatian
khusus mulai dari persiapan operasi. Harus ditentukan berapa lama lesi tersebut sudah berlangsung, karena
penatalaksanaannya akan berbeda setiap fase.1,5,8
1. Prinsip Utama; Amankan jalan napas jangan menyebabkan eksaserbasi trauma medula spinalis.
a. Intubasi Sadar menguntungkan karena pasien dapat menjadi monitor untuk menghindari
perburukan trauma medula spinalis. Intubasi sadar juga menghindari penggunaan suksinil kolin dan
resiko hiperkalemia.
b. Intubasi nasal (blind) seringkali direkomendasikan menjadi salah satu cara terbaik intuk
menghindari manipulasi spinal selama intubasi. Pemberian lidokain 4 % dengan phenyleprin 0,2 %
penting untuk vasokonstriksi jaringan nasal dan mencegah perdarahan.
c. Intubasi sadar dengan fiber optic dapat digunakan dalam kasus yang bukan emergensi.
d. Direct laringoskopy dapat dilakukan apabila cara lain tidak mungkin lagi dilakukan. Netralitas leher
harus dijaga untuk mencegah trauma medula spinalis lebih lanjut. In line manual cervical
immobilization merupakan cara paling aman untuk meminimalkan gerakan kolumn spinal. In line
manual cervical immobilization dilakukan dengan cara seorang asisten meletakkan tangannya pada
kedua sisi kepala dan menekan occiput dan mencegah gerakan rotasi leher.
2. Induksi dan Rumatan Anestesi
Fungsi sistem saraf simpatis pada pasien dengan trauma medula spinalis tidak dapat diprediksi. Induksi
dilakukan perlahan dalam prosedur operasi elektif karena pasien biasanya juga dalam status
hipovolumia.
Ketamin 1-2 mg/kg BB intra vena menghasilkan profil hemodinamik yang stabil. Namun. (Tidak
direkomendasikan bila ada trauma kepala dengan peningkatan TIK).
Etomidate juga menghasilkan stabilitas kardiovaskular selama induksi.
Pemakaian thiopental harus hati-hati karena dapat menyebabkan hipotensi berat.
Pilihan lain dapat digunakan kombinasi midazolam dan alfentanil.2
Selama induksi spinal cord perfusion pressure dijaga minimal 60 mmHg (idealnya 80-90 mmHg).
Pasien trauma medula spinalis bagian atas beresiko terjadi bradikardi dan asystole, sehingga dianjurkan
penggunaan antikolinergik profilaksis untuk mencegah komplikasi tersebut.
Trauma medula spinalis mengakibatkan otot skelet mengalami supersensitivitas terhadap pelumpuh
otot depolarisasi. Akibat denervasi otot jumlah reseptor asetilkolin post sinap meningkat dan
melipatgandakan rangsang neuromuskuler yang hanya kecil saja. Ketika terjadi depolarisasi karena
penggunaan suksinilkholin menyebabkan keluarnya simpanan kalium masif. Karena berapa lama waktu
yang dibutuhkan dalam peningkatan reseptor ekstrajuntional tidak diketahui (bisa dalam 24 jam saja)
maka penggunaan suksinilkholin perlu dihindari meski trauma baru saja terjadi. 5
3. Posisi
112
Prosedur operasi biasanya dilakukan dalam posisi prone. Anestesi dilakukan di atas bed atau stretcher
kemudian menggulingkan keatas meja operasi. Jaga kepala dan leher dalam posisi netral, ganjal yang
adekuat pada dada, perut, kepala dan ekstremitas dan mencegah pergerakan leher fleksi dan ekstensi.
Perhatikan posisi ET perubahan posisi, dapat mengubah posisi ET. Hindari perubahan posisi yang
mendadak karena dapat terjadi perubahan hemodinamik signifikan akibat kurangnya mekanisme
kompensasi untuk vasokonstriksi dan reflek kardiak dalam menjaga venous return dan kardiak output.
Kepala diposisikan dalam keadaan bagian keras dari kepala menyokong berat kepala dan hindari
penekanan pada mata, telinga dan hidung.1,8
4. Monitoring
Penggunaan monitor tergantung level trauma, defisit neurologis, kompleksitas, lamanya prosedur
operasi serta adanya penyakit yang lain.1
Monitor Rutin; seperti EKG, pulse oksimetri, kapnograp, NIBP, temperatur. Kateter urin untuk
memonitor status volume pasien.
Monitoring Neurofisiologis diperlukan pada pasien yang mengalami trauma neurologis dan dalam
resiko instabilitas kelainan spinalnya dan pada pasien yang mengalami trauma neurologis
incomplet dan menjalani operasi stabilisasi. Monitoring neurofisiologis meliputi test wake-up intra
operatif, somatosensory evoke potential (SSEP) atau motor evoked potential. SSEP memonitor
kolumn posterior medula spinalis sedangkan motor evoked potential memonitor bagian anterior
medula spinalis. 5
Monitor tekanan intra kranial diperlukan bagi pasien yang juga mengalami trauma kepala.
Pasien yang mengalami spinal shock, indikasi pemasangan monitor tekanan darah langsung yang
idealnya dipasang sebelum induksi. Pemasangan catheter arteri juga bermanfaat untuk pemeriksaan
AGD dan pemeriksaan laboratorium lain yang diperlukan selama operasi.
Penggunaan cateter arteri pulmoner selama spinal shock juga sangat tepat. Pengukuran CVP
(central venous pressure), PCWP (pulmonary capillary wedge pressure), LVEDP (left ventrikular
end diastolic pressure) dalam hubunan dengan cardiac output dan TD untuk membedakan
hipovolemia dari rendahnya SVR
Simpulan
Trauma pada vertebra servikalis memiliki banyak potensi masalah yang dapat timbul sebelum operasi, pada
saat operasi dan setelah operasi. Semua potensi masalah tersebut harus dapat diprediksi dan dilakukan
langkah-langkah antisipasinya.
Proteksi medula spinalis pada pasien dengan trauma servikal harus dilakukan dengan menejemen yang
benar-benar cermat dan teliti sejak saat resusitasi, periode perioperatif dan selama perawatan di ICU.
Selama operasi menejemen anestesi mempunyai tujuan utama melindungi medula spinalis untuk perbaikan
defisit neurologis yang terjadi atau paling tidak mencegah perburukan. Proteksi dilakukan dengan cara:
1. Induksi anestesi dilakukan hati-hati dengan memonitor hemodinamik. Pinsip obat induksi yang dipakai
pemberiannya harus perlahan-lahan sambil mengobservasi respon kardiovaskuler. Target MAP idealnya
80-90 mmHg, minimal 60 mmHg.
2. Menejemen jalan napas merupakan tahap yang paling krusial dalam menejemen anestesi, laringoskopi
dan intubasi dilakukan dengan manual inline neck stabilization untuk mengurangi pergerakan leher.
3. Apabila operasi dalam posisi prone, jaga kepala-leher dalam posisi netral, ganjal adekuat pada dada,
perut, kepala dan ekstremitas dan mencegah pergerakan leher fleksi dan ekstensi karena pergerakan
segmen yang mengalami trauma akan dapat menyebabkan eksaserbasi trauma yang telah dialami.
Hindari perubahan posisi yang mendadak karena dapat terjadi perubahan hemodinamik yang
signifikan.
4. Selama operasi MAP dipertahankan antara 60-120 mmHg untuk menjaga aliran darah medulla spinalis
(SCBF) tetap normal sehingga medulla spinalis mendapatkan tekanan perfusi yang optimal.
5. Gunakan monitor tekanan darah invasif, CVC dan monitor urin output selain monitor standar (EKG,
NIBP, Pulse Oksimetri, Capnometri dan monitor suhu) karena resiko terjadi instabilitas hemodinamik
yang bisa timbul akibat eksaserbasi trauma akibat prosedur anestesi maupun pembedahan.
6. Cairan dipilih kristaloid dan koloid sebagai cairan resusitasi dan hindari glukosa yang terbukti
memperburuk outcome neurologis.
7. Gunakan agent inhalasi yg tidak menggangu autoregulasi Spinal Cord Blood Flow.
8. Paska operasi perawatan di ICU dan ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar penuh sehingga tidak
perlu manipulasi leher untuk mempertahankan jalan napas.
Semua tindakan tersebut dilakukan dengan simultan dan terintegrasi dalam menejemen anestesi selama
operasi.
113
Daftar Pustaka
114
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan mutu kualitas layanan merupakan salah
satu aspek yang sangat penting dirumah sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan yang professional dan
berkwalitas. Sejalan dengan upaya tersebut agar dapat memberikan pelayanan prima bagi para pasiennya
diperlukan pedoman pelayanan Neuro Critical Care sebagai acuan dalam setiap tindakan yang dilakukan.
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang pelayanan Neuro Critical Care.
Kebijakan:
Kognitif
1. Memahami prinsip-prinsip umum kedokteran gawat darurat dan neuro Critical Care (Emergency and
Critical Care Medicine).Resusitasi Jantung Paru Otak, meliputi Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support),
Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support) dan Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life
Support) pada pasien Neuro Critical Care.
2. Mampu menjelaskan indikasi masuk dan keluar perawatan pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
3. Mampu menjelaskan indikasi dan pengelolaan prosedur invasif seperti pemasangan kateter vena central,
SJVO2, kateter intra-arterial, EVD, trakeostomi pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
4. Mampu menjelaskan pengelolaan jalan napas dan bantuan napas dengan / tanpa ventilasi mekanik pada
keluarga/pasien Neuro Critical Care.
5. Mengenal tanda dan gejala yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan, kardiovaskular,
susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, infeksi berat, gangguan
hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan fungsi ginjal dan hepar pada keluarga/pasien Neuro
Critical Care.
6. Mampu menjelasankan pengelolaan nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien kritis.
7. Mampu menentukan mati klasis dan mati batang otak
8. Mampu menjelaskan penanganan akhir kehidupan : mengakhiri dan menunda bantuan hidup (with-drawing
dan with-holding life support).
Psikomotor
Menguasai keterampilan dalam posedur klinik, baik untuk pemantauan, diagnosis, maupun untuk terapi:
1. Pemasangan kateter vena sentral, intra arterial. krikotirotomi.
2. Menanggulangi keadaan yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan, kardiovaskular,
susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, infeksi berat, gangguan
hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan fungsi ginjal dan hepar.
3. Mampu mengelola nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien kritis.
4. Melakukan konsultasi pada disiplin ilmu kedokteran lain pada saat yang tepat.
5. Melakukan jawaban atas konsultasi pasien-pasien dari ruang perawatan atau rumah sakit lain yang akan
dirawat di Neuro Critical Care/Rawat Intensif.
6. Melakukan komunikasi dengan sejawat dari beberapa disiplin terkait sebagai anggota tim.
7. Melakukan bimbingan kepada peserta program atau residen lain, mahasiswa kedokteran maupun perawat.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien bayi kasus Neuro Critical Care di ICU / NICU
8. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien anak kasus Neuro Critical Care di ICU / PICU.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien tua kasus Neuro Critical Care (Geriatri) di ICU.
10. Mampu membuat keputusan yang independen dalam menjalankan pekerjaan profesinya berdasarkan
pemikiran logis, kritis, sistematis, kreatif, dan komprehensif;
11. Mampu mengomunikasikan hasil kajian, kritik, apresiasi, argumen, atau inovasi yang bermanfaat bagi
pengembangan profesi, dan kemaslahatan manusia, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
etika profesi.
12. Melakukan evaluasi secara kritis terhadap hasil kerja dan keputusan yang dibuat dalam melaksanakan
pekerjaan profesinya baik oleh dirinya sendiri, sejawat, atau sistem institusinya,
13. Meningkatkan keahlian keprofesiannya dan mutu sumber daya pada bidang anestesiologi dan neuro
Critical Care yang khusus melalui pelatihan dan pengalaman kerja dengan mempertimbangkan
kemutakhiran bidang anestesiologi dan Neuro Critical Care di tingkat nasional, regional, dan internasional;
14. Memimpin suatu tim kerja untuk memecahkan masalah baik pada bidang anestesiologi dan Neuro
Critical Care, maupun masalah yang lebih luas dari bidangnya serta bisa bekerja sama dengan profesi
lain yang sebidang maupun yang tidak sebidang dalam menyelesaikan masalah pekerjaan yang kompleks
yang terkait dengan bidang anestesiologi dan neuro Critical Care;
115
15. Mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan masyarakat profesi kedokteran dan kliennya
dan bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang profesi anestesiologi dan Neuro Critical Care sesuai
dengan kode etik kedokteran Indonesia;
16. Mampu berkontribusi dalam evaluasi atau pengembangan kebijakan nasional dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan anestesiologi dan Neuro Critical Care atau pengembangan kebijakan nasional pada
bidang kesehatan;
17. Mendokumentasikan, menyimpan, mengaudit, mengamankan, dan menemukan kembali data serta
informasi untuk keperluan pengembangan hasil kerja profesinya.
Kepustakaan:
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesilogi dan
Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Republik Indonesia; Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembar Negara RI
Tahun 2004 nomor 116), Jakarta 2004
3. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
116