i
KATA PENGANTAR TIM PENYUSUN
ii
KATA PENGANTAR PP IKABI
iii
KATA PENGANTAR
KETUA KONSORSIUM UPAYA KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
iv
KATA PENGANTAR
DIRJEN BINA UPAYA KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
v
KATA PENGANTAR
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
vi
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan 1
2. Metodologi 5
2.1. Metode pengumpulan pustaka
2.1.1. Pertanyaan klinis 5
2.1.2. Kata kunci yang digunakan 6
2.1.3. Situs web/basis data yang dikunjungi 6
2.1.4. Kriteria inklusi dan ekskulasi 7
2.1.5. Lain-lain: bahasa, tahun penerbitan, dsb. 7
2.2. Telaah kritis pada makalah 7
2.3. Peringkat bukti 8
2.4. Derajat rekomendasi 8
3. Hasil dan diskusi 9
4. Simpulan / Rekomendasi 54
5. Daftar Pustaka 55
vii
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
INFEKSI INTRAABDOMINAL (PERITONITIS)
1. Pendahuluan
1
Manajemen infeksi intraabdominal secara klinik dapat dibagi menjadi
dua katagori yaitu infeksi intraabdominal komplikata dan non komplikata.
Infeksi intraabdominal non komplikata hanya terjadi pada satu organ
intraabdominal, namun tidak meluas ke rongga peritoneum karena tidak
terdapat disrupsi struktur anatomi organ tersebut. Manajemen penyakit ini
adalah terutama pembedahan disertai dengan pemberian antibiotika
profilaksis.2,4 Namun demikian, pada infeksi intraabdominal komplikata,
terapi bedah, pemberian antibiotika terapeutik dan terapi suportif disfungsi
organ menjadi terapi utama karena terjadi infeksi dan disrupsi anatomi pada
organ intraabdominal tersebut sehingga meluas ke peritoneum baik secara
lokal atau pun secara difus/generalisata.2,4 Oleh karena itu, pengelolaan infeksi
intraabdominal komplikata membutuhkan pendekatan secara multidisiplin di
dalam suatu tim dan sarana serta prasarana yang kompleks dan lengkap. Di
dalam pengelolaannya, mulai dari fase pre-operatif, intra-operatif, dan post-
operatif diperlukan kerjasama solid dari dokter spesialis bedah, anestesi,
intensivis, penyakit dalam atau anak (pediatrik), radiologi, patologi anatomi
dan klinik, gizi klinik, dan perawat.3 Untuk memperoleh pengelolaan yang
efektif dan efisien, serta aman bagi pasien maka diperlukan suatu pedoman
pelayanan komprehensif dan menjadi acuan bersama dari berbagai pihak atau
disiplin ilmu terkait di dalam tim yang mengelola peritonitis. Pedoman
tersebut haruslah disusun berdasarkan bukti-bukti ilmiah kedokteran yang
paling kuat dan menjadi panduan di dalam menetapkan rekomendasi
pengelolaannya. Oleh karena itulah, pedoman nasional pelayanan kedokteran
untuk penyakit peritonitis ini disusun dengan secara multidisiplin dengan cara
mengumpulkan dan menelaah secara kritis berbagai sumber literatur yang
paling sahih (valid), relevan, dan memiliki peringkat bukti tertinggi.
2
sesuai dengan kondisi dan situasi, serta kompetensi para personil kesehatan di
masing-masing tempat pelayanan tersebut. Rekomendasi yang diberikan oleh
pedoman ini berdasarkan pertimbangan peringkat bukti ilmiah dan belum tentu
relevan dan sejalan dengan kepentingan klinik pasien secara individual.
1.1 Permasalahan
3
1.2 Tujuan
Tujuan Umum :
4
1.3 Sasaran
Seluruh dokter umum, dokter spesialis bedah, dan dokter sub spesialis
termasuk juga paramedis yang bekerja di fasilitas kesehatan (puskesmas,
rumah sakit klas D, C, B, dan A) di Indonesia
2. Metodologi
2.1. Metode pengumpulan pustaka.
5
maupun antimikroba, serta pengelolaan perioperatif lainnya.Selain itu,
dipertimbangkan pula berbagai pertanyaan klinis yang menyangkut
sistemrujukan fasilitas kesehatan di dalam sistem pelayanan kesehatan
nasional.
6
2.1.4. Kriteria inklusi dan ekskulasi
2.1.4.1. Kriteria inklusi
Referensi yang diperoleh berdasarkan kata kunci dari berbagai
situs web dimasukkan ke dalam penyusunan pedoman ini apabila
berupa:
2.2. Pernyataan bahwa semua makalah yang dirujuk telah dilakukan telaah
kritis: apakah studinya valid, hasilnya penting, dapat diterapkan secara
konsensus oleh tim panel.
7
2.3. Peringkat bukti:
8
2.4.1. Apa saja prosedur diagnostik awal yang paling tepat untuk
mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita infeksi intra-
abdominal?
9
2.4.2. Kapan resusitasi cairan harus diberikan pada pasien dengan infeksi
intraabdominal?
2.4.3. Kapan antimikroba harus diberikan pada pasien yang dicurigai atau
telah dikonfirmasi menderita infeksi intraabdominal?
10
77. Terapi antimikroba harus dimulai saat dicurigai atau didiagnosis
adanya infeksi intra intraabdominal, untuk pasien dengan syok
septik, antimikroba harus dimulai sesegera mungkin.(A)
78. Pasien tanpa syok septik, terapi antimikroba harus dimulai di ruang
gawat darurat.(B)
79. Kadar antimikroba harus dipertahankan selama tindakan evakuasi
sumber infeksi, jika diperlukan dapat diberikan ulang beberapa saat
sebelum melakukan tindakan.(A)
Sepsis pada pasien bedah terus menjadi hal umum dan menjadi
masalah yang berpotensi mematikan. Identifikasi awal dan terapi
berbasis bukti tepat waktu terus merupakan tantangan klinis yang
signifikan bagi penyedia layanan. Pelaksanaan screening sepsis dalam
hubungannya dengan protokol untuk pemberian perawatan berbasis
bukti dan source control yang cepatdapat meningkatkan hasil pasien.8
Awal, resusitasi yang dikelola dengan benar dapat meningkatkan hasil
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik.
Rivers et al. menunjukkan bahwa EGDT mengurangi mortalitas pasien
syok septik yang dirawat di IGD rumah sakit.9
11
11. Pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang berasal dari infeksi
intraabdominal memerlukan dukungan hemodinamik awal (Early
Goal Directed Therapy), kontrol sumber infeksi, dan terapi
antimikroba.(A)
Risikokomplikasiperioperatiftergantung padakondisipasiensebelum
operasi, prevalensi penyakit penyerta, danberat sertalamanya tindakan
bedah.10
12
1. Aritmia yang berat harus dikelola pre-operatif (lihat tabel 1). (B)
2. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. (A)
3. Pemeriksaan pre-operatif EKG harus dilakukan pada pasien
dengansetidaknya 1 (satu) risiko klinik kardiovaskuler (riwayat diabetes,
hipertensi, sakit dada, gagal jantung kongestif, penyakit vaskuler perifer,
perokok, kurang gerak, obesitas ) (B)
4. Bila operasi elektif sebaiknya dilakukan pengelolaan terlebih
dahuluterhadap aritmia (berat) pre-operatif.(B)
5. Yang disebut aritmia berat (C) , adalah:
5.1. high-grade atrioventricular block (TAVB dan Mobitz II AVB)
5.2. bradikardi simptomatik
5.3. ventrikular aritmia simptomatik (disertai penyakit jantung)
5.4. aritmia supraventrikular (ventricular rate> 100x/mnt)
5.5. ventricular takikardia yang baru timbul
6. Pengelolaan pre-operatif mencakup pemeriksaan jenis aritmia,
hemodinamik, tekanan darah. (C)
7. Bila operasi cito (tidak dapat ditunda) perhatikan:
- Oksigenasi yang adekuat
- Monitoring EKG
- Hemodinamik jantung
- Dalamnya anestesi
- Opitimasi PaO2, PaCO2 , Keseimbangan asam basa dan elektrolit,
- Konsul kardiologist (C)
13
1. Penyakit Jantung Iskemik (PJI) merupakan penyebab terjadinya
morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tinggi. (A)
2. Tidak ada perbedaan dalam komplikasi perioperatif antara IMA
preoperatif yangdikelola dengan PCI (percutaneous coronary
intervention) dan dikelola denganobat-obatan (medikamentosa).(B)
3. Operasi emergensi (tidak dapat ditunda) dapat dilakukan dengan
memperhitungkan risikomelalui “Preoperative Risk Assessment”
(lihat tabel 1). (B)
14
Tabel 1
ACC/AHA 2007 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation and Care for
Noncardiac Surgery: Executive Summary
Active Cardiac Conditions for which the patient should undergo evaluation and treatment
before Noncardiac Surgery (Class I, level of Evidence; B)
Condition Examples
Unstables coronary syndromes Unstable or severe angina* (CCS class III or IV)
Recent MI=
Decompensated HF (NYHA
Functional Class IV; worsening or
new-onset HF)
Significant arrhythmias - High-grade atrioventrikular block
- Mobitz II atrioventricular block
- Third-degree atrioventricular heart block
- Third – degree atrioventricular heart block
- Symptomatic ventricular arrhythmias
- Supraventricular arrhythmias (including atrial
fibrilation) with uncontrolled ventricular rate
(HR greater than 100 beats per minute at rest)
- Symptomatic bradycardia
- Newly recognized ventricular tachycardia
Severe valvular disease - Severe aortic stenosis (mean pressure gradient
greater than 40 mmHg, aortic valve area less than
1.0 cm2, or symptomatic)
- Symptomatic mitral stenosis (progressive dypnea
on exertion, exertional presyncope, or HF)
*according to Campeau
+ may include “stable” angina in patients who are unusually sedentary
± The American College of Cardiology National Database Library defines recent MI as
more tham 7 days but less than or equal to 1 month (within 30 days)
CCS indicates Canadian Cardiovascular Society; HF, heart failure; HR, heart rate; MI,
myocardial infarction; NYHA, New York Heart Association
Journal of the American College of Cardiology Vol.50, No.17, 2007.11
15
Tabel 2.
ESC GUIDELINES 2009: Guidelines for pre-operative cardiac risk assessment and
perioperative cardiac management in non-cardiac surger14
Estimasi Risiko* Operasi (modifikasi Boersma dkk)
Risiko Rendah < 1% Risiko Sedang 1-5 % Risiko Tinggi > 5 %
Payudara Abdomen Operasi aorta dan
Gigi Carotis mayor vaskular
Endokrin Angioplasti arteri perifer Operasi vaskular
Mata Repair aneurisma periperal
Ginekologi endovascular
Rekontruksi Operasi kepala dan leher
Orthopaedi-minor Neuro/orthopaedi-mayor
(knee surgery) (hip
Urologi – minor
*Risiko infark miokard dan kematian karena jantung setelah 30 hari setelah operasi
European Heart Journal Vol. 30, 2009 14
2.4.5.3. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat pada
pasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta diabetes mellitus?
16
1. Pemantauan gula darah pre-operatif harus dilakukan pada penderita
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 maupun tipe 2. (A)
2. Penderita DM risiko tinggi (DM tidak terkontrol atau ada komplikasi
DM) harusdiidentifikasi pre-operatif. (B)
3. Untuk berbagai jenis operasi ada perbedaan target gula darah
preoperatif(lihat tabel 3).(B)
4. Terjadinya keadaan hipoglikemi maupun hiperglikemia dapat
merupakankomplikasi dari tindakan operasi. (A)
5. Untuk mencegah hipoglikemi, penderita DM yang dikontrol
denganOral Anti Diabetes (OAD) dianjurkan untuk tidak makan obat
pada pagi hari sebelum operasi. (C)
6. Penderita DM yang dikontrol dengan suntikan insulin, sebaiknya
dosis insulinmalam hari tidak diberikan.(C)
7. Dilakukan pemantauan kadar gula darah post-operatif.(C)
2.4.5.4. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat pada
pasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta hipertiroitiroid?
17
disebabkan oleh tiromegali, gangguan status hormonal, atau pengaruh
terhadap organ lainnya terutama kardiovaskular. Hal ini diperlukan
untuk memilih obat yang memadai dan langkah-langkah terapi lainnya
untuk pencegahan dan pengobatan kemungkinan komplikasi di
perioperatif periode, beberapa di antaranya mengancam jiwa (krisis
tiroid dan mixedema koma).18
18
Tabel 4. Etiologi & Patofisiologi GGA Peri-Operatif
Pre-operatif Intra-operatif Post-operatif
Berkurangnya Fungsi Ginjal Berkurangnya perfusi ginjal Inflamasi sistemik
Gangguan reno-vaskuler - hipotensi Menurunnya fungsi bilik kiri
Azotemia pre-renal - melemahnya denyut nadi Obat vasoaktif
- akibat diuretik - obat-obatan vasoaktif Gangguan hemodinamik
- puasa - efek anastesi Nefrotoksin
- fungsi bilik kiri jantung ↓ Terjadinya emboli Dehidrasi
Obat hipertensi : ACE-I / Inflamasi Sepsis
ARB Nefrotoksin
Nefrotoksin - hemoglobin bebas
- kontras radiologi
- obat-obatan lain
Inflamasi
Dikutip dari: Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:19-3221
19
1. Gangguan ginjal peri-operatif dapat terjadi pada:
a. Penderita dengan Penyakit Ginjal Krinis (PGK) yang akan
menjalani laparatomi
b. Penderita post-operatif yang menderita Gangguan Ginjal
Akut.(D)
2. Pemeriksaan penunjang preoperatif pada pasien gangguan ginjal,
meliputi : pemriksaan fisik terutama status volume, foto thoraks,
complete blood count, waktu perdarahan, panel ginjal yaitu
natrium, kalium, chlorida, urea N dan kreatinin darah, kalsium dan
bikarbonat, dan asam basa bila kadar bikarbonat < 18 meq/l.
Pemeriksaan elektrolit diulang 2-3 jam sebelum operasi. (C)
3. Indikasi dialisis perioperatif pada pasien Gangguan Ginjal Akut
adalah bila terdapat:
a. satu gejala di bawah ini sudah dapat merupakan indikasi
untuk inisiasi dialysis.
b. dua gejala di bawah ini merupakan indikasi untuk segera
inisiasi dialysis
c. lebih dari dua dari di bawah ini merupakan indikasi untuk
segera inisiasi dialisis walaupun kadarnya belum mencapai
yang tertera dalam tabel 5.
Tabel 5.:Indikasi dan kriteria untuk inisiasi TPG pada GgGA di ICU
20
2.4.6. Bagaimana pengelolaan pre operatif pada pasien infeksi intra-
abdominal komplikata dengan faktor risiko penyakit penyerta?
21
18. Kultur darah tidak memberikan informasi yang berkorelasi secara
klinis pada pasien dengan infeksi intraabdominal yang didapat
melalui komunitas, sehingga hal ini tidak dianjurkan secara rutin.
(B)
19. Jika pasien tampak secara klinis sangat lemah atau mengalami
immunokompromi, pengetahuan adanya bakterimia dapat
membantu menentukan durasi terapi antimikroba. (B)
20. Pada pasien dengan infeksi yang didapat dari komunitas, tidak ada
nilai lebih dalam melakukan tindakan rutin yaitu pewarnaan Gram
pada materi terinfeksi .(C)
21. Pewarnaan gram diperlukan untuk melihat adanya infeksi jamur,
pada infeksi yang berhubungan dengan pekerja kesehatan (C)
22. Kultur aerob dan anaerob rutin dari pasien risiko rendah dan infeksi
komunitas dapat dipikirkan sebagai hal yang bersifat pilihan yang
dapat berfungsi secara epidemiologi untuk mengetahu perubahan
resistensi kuman yang berhubungan dengan infeksi komunitas dan
sebagai petunjuk tindak lanjut dari terapi oral.(B)
23. Kultur rutin dan resistensi dapat dilakukan pada pasien appendicitis
dan yang didapat dari komunitas , apabila terdapat resistensi yang
signifikan (10-20% isolat) pada infeksi yang didapat dari
komunitas. (B)
24. Kultur anerob tidak diperlukan pada pasien dengan IIA yang
didapat komunitas jika antibiotic empiris secara aktif melawan
infeksi. (B)
25. Untuk pasien risiko tinggi. Kultur dari tempat infeksi harus
dilakukan terutama pasien dengan terapi antibiotic sebelumnya
yang kemungkinan besar diinfeksi oleh bakteri resisten (A)
26. Specimen yang didapatkan dari focus intraabdomen harus
mencukupi dan mewakili sebagai materi yang berhubungan dengan
kinis infeksi (B)
27. Tes kerentanan untuk pseudomonas, proteus, acinetobacter,
staphylococcus aureus, dan predominan enterobactericeae harus
dilakukan karena spesies ini kemungkinan besar yang akan tumbuh
(A)
22
2.4.8. Apa saja regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien dengan
infeksi intraabdominal ringan sampai moderat yang didapat dari
komunitas?
23
29. Antimikroba yang digunakan secara empiris harus aktif terhadap
bakteri enterik gram negatif aerobik dan basil fakultatif dan
streptokokus enterik gram positif. (A)
30. Antimikroba yang digunakan harus mencakup basilus anerobik obligat
pada Infeksi yang berasal dari kolon, apendiks, dan distal usus kecil
dan perforasi gastrointestinal yang lebih proksimal dengan adanya ileus
obstruksi atau paralitik (A)
31. Untuk pasien dewasa dengan infeksiderajat ringan dan sedang,
penggunaan tikarsiklin-kalvulanat, cefoxitin, ertapenem, moxifloxacin,
atau tigarcyclin sebagai terapi tunggal atau kombinasi metronidazole
dengan cefazolin,cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime, levofloxacin,
atau ciprofloxacin adalah regimen pilihan yntuk infeksi dengan
aktivitas anti pseudomonal (A)
32. Ampisilin sulbaktam tidak direkomendasikan untuk digunakan karena
tingginya resistensi pada Infeksi intraabdominal dari komunitas yang
disebabkan E coli (B)
33. Cefotetan dan klindamisin tidak direkomendasikan karena adanya
peningkatan prevalensi resistensi agen ini pada kelompok Bacteroides
Fragilis (B)
34. Oleh karena tersedianya antimikroba yang kurang toksik dan
efektivitasnya sepadan, aminoglikosid tidak direkomendasikan untuk
penggunaan rutin pada infeksi infeksi intraabdomendari komunitas. (B)
35. Antibiotik empiris yang efektif untuk enterococcus tidak diperlukan
pada pasien dengan infeksi intraabdominal dari komunitas. (A)
36. Terapi antifungal empiris untuk candida tidak direkomendasikan untuk
dewasa dan anak dengan infeksi intraabdominal dari komunitas. (B)
37. Penggunaan agen antibiotik untuk derajat lebih tinggi pada infeksi
intraabdominal dari komunitas atau yang berhubungan dengan tenaga
kesehatan tidak diperbolehkan untuk kelainan derajat ringan sedang
karena toksisitas yang lebih tinggi dan meningkatkan resistensi. (B)
38. Untuk pasien dengan IIAringan sedang termasuk diverticulitis akut
dan berbagai bentuk apendisitis, yang tidak melakukan evakuasi
sumber infeksi langsung, direkomendaikan menggunakan regimen
yang sudah tercata denngan kemungkinan terapi oral lebih awal. BIII
24
2.4.9. Apa saja regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien dengan
infeksi intraabdominal berat yang didapat dari komunitas?
25
Tabel 6
Grading of Recommendations from Guyatt and colleagues
26
Weak recomendation, Uncertainty in the Observational studies Very weak
low-quality or very estimates of benefits, or case series recommendation
low quality evidence risks, and burdens; other alternatives
benefits, risks, and may equaly
burdens may be reasonable
closely balanced
Dikutip dari : Sartelli. World Journal of Emergencu Surgery 2013,8 :3.4
2.4.10. Apa saja regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien dengan
infeksi intraabdominal yang didapat dari rumah sakit khususnya
yang disebabkan oleh Kandida, Enterokokus, dan MRSA?
27
58. Antibiotik empiris yang digunakan untu terapi IIA tenakes harus
ditentukan dari hasil penelitian mikroiologi local. (A)
59. Untuk mendapatkan cakupan empiris dari pathogen yang paling
sering menyebabkan infeksi, regimen multidrug yang meliputi agen
dengan spectrum yang diperluas melawan gram negative aerob dan
basilus fakultatif dapat diperlukan. Agen ini meliputi meropenem,
imipenem cilastatin, doripenem, piperacillin tazobactam, atau
ceftazidime atau cefepime dengan kombinasi dengan
metronidazole. Aminoglikosida atau colistin dapat diperukan table
3(B)
60. Terapi antimikroba sprektum luas dapat digunakan ketika kutur
dan hasil kerentanan sudah ada, untuk mengurangi jumlah dan
spectrum obat yang digunakan (B)
61. Terapi antijamur pada pasien dengan IIA komunitas atau tenakes
derajat berat direkomendasikan apabila candida tumbuh pada kultur
intraabdomen BII
62. Flukonazole adalah terapi yang tepat untuk terapi apabila candida
albicans diisolasi BII
63. Untuk candida spesies yang resistem terhadap flukonazole, terpai
dengan echinocandin (caspofungin, micafungin, atau
anidulafungin) masih dibenarkan (BIII)
64. Untuk pasien dengan sakit kritis, terapi awal dengan echinocandin
selain triazole adalah direkomendasikan (BIII)
65. Karena tingkat toksisitas, amphotericin b tidak direkomendasikan
sebagai terapi awal (BII)
66. Pada neonates, terapi empiris antifungal harus segera dimulai jika
infeksi candida dicurigai. Jika C albicans diisolasi, flukonasole
adalah terapi pilihan BII)
Terapi Anti-Enterococcal
28
58. Terapi anti-enterococcal empiric inisial harus melawan langsung
Enterococcus faecalis. Antibiotik yang terpilih seperti ampicillin,
piperacillintazobactam, dan vancomycin (B).
59. Terapi empiric yang melawan langsung Enterococcus faecium yang
resisten terhadapvancomycin tidak direkomendasikan kecuali
pasien dengan resiko tinggi infeksi karena organisme ini, seperti
pada penerima transplantasi hepar dengan infeksi intra-abdominal
yang sumbernya dari system hepatobilliary atau pasien yang
diketahui terkolonisasi E.faecium yang resisten vancomycin (BIII).
Terapi Anti-MRSA
2.4.11. Apakah strategi diagnostik dan terapi antimikroba yang paling tepat
untuk cholecystitis dan cholangitis akuta?
29
62. Ultrasonography merupakan teknik pencitraan pertama yang
digunakan untuk pasien yang dicurugai dengan cholecystitis akut
atau cholangitis (AI).
63. Pasien yang dicurigai dengan infeksi cholecytitis akut atau
cholangitis harus mendapat terapi antimicrobial, seperti yang
direkomendasikan di tabel7, walaupun terapi anaerob tidak
diindikasikan kecuali terdapat anastomosis biliary-enterik (BII).
64. Pasien yang akan menjalani cholecystectomy karena cholesistitis
akut harus mendapat terapi antimicrobial yang dihentikan dalam
waktu 24 jam kecuali terbukti terdapat infeksi di luar dinding
kantung empedu (BII).
65. Untuk infeksi biliary community-acquired, aktivitas antimicrobial
melawan enterococci tidak dibutuhkan, karena patogenitas
enterococci tidak muncul. Untuk pasien dengan imunosupresi,
khususnya pasien dengan transplantasi hepar, mungkin signifikan
terinfeksi enterococcal dan dibutuhkan terapi (BII).
30
66. Penggunaan rutin antimicrobial broad-spektrum tidak diindikasikan
pada pasien anak dengan demam dan nyeri abdominal yang tidak
mendukung adanya appendicitis komplikasi atau infeksi intra
abdomen lainnya. (BIII).
67. Pemilihan antimicrobial specific harus berdasarkan sumber infeksi
(antara community atau health care), tingkat keparahan penyakit,
dan tingkat keamanan antimicrobial yang spesisk pada pasien anak
umur tertentu (AII).
68. Antimicrobial broadspektrum yang dipilih seperti regimen dengan
bahan dasar aminoglycoside, carbapenem (imipenem, meropenem,
or ertapenem), b-lactam/b-lactamase–inhibitorkombinasi
(piperacillin-tazobactam or ticarcillinclavulanate), atau golongan
cephalosporin (cefotaxime, ceftriaxone, ceftazidime, atau
cefepime) dan metronidazole (Tabel7dan 8) (B-II).
69. Untuk anak-anak dengan reaksi berat terhadap antibiotic b-lactam,
ciprofloxacin ditambah metronidazole atau regimen aminoglikosida
direkomendasikan. (BIII).
70. Necrotizing enterocolitis pada neonatus ditatalaksana dengan
resusitasi cairan, antibiotic broadspektrum intravena (yang
potensial termasuk antijamur), dandekompresi usus. Intervensi
segera atau emergensi, yang terdiri dari laparotomy atau drainage
perkutaneus, harus di lakukan ketika terbukti adanyaperforasi usus.
Pengambilan sampel intraoperatif untuk pewarnaan gram dan
kultur harus dilakukan. (BIII).
71. Antibiotik broad spectrum mungkin berguna pada neonatus dengan
kondisi ini, seperti ampicillin, gentamicin, and metronidazole;
ampicillin, cefotaxime, dan metronidazole; atau meropenem.
Vancomicin mungkin digunakan disamping ampisilin untuk yang
dicurigai MRSA atau infeksi ampicillin-resistant enterococcal
infection. Fluconazole atau amphotericin B seharusnya digunakan
jika hasil pewarnaan gram atau kultur yang diambil saat operasi
terdapat infeksi jamur. (BII).
Pertimbangan Farmakokinetik
31
Tabel 7
Antimikroba yang dapat digunakan untuk terapi inisial infeksi intra-abdominal
komplikata pada pasien pediatrik
Regimen Community-acquired infection in pediatric patients
Single agent Ertapenem, meropenem, imipenem-cilastatin, ticarcillin-
clavulanate, and piperacillin-tazobactam
Combination Ceftriaxone, cefotaxime, cefepime, atau ceftazidime, each in
combination with metronidazole; gentamicin or tobramycin,
each in combination with metronidazole or clindamycin, and
with or without ampicillin
Tabel 8
Antimikroba yang dapat digunakan untuk terapi empiric inisial infeksi intra abdominal
komplikata pada pasien pediatrik
Antibiotic, age range Dosage Frequency of dosing
Amikacin 14-22.5 mg/kg/day Every 8-24 h
Ampicillin-sodium 200 mg/kg/day Every 6 h
Ampicillin-sulbactam 200 mg/kg/day of ampicillin component Every 6 h
Aztreonam 90-120 mg/kg/day Every 6-8 h
Cefepime 100 mg/kg/day Every 12 h
Cefotaxime 150-200 mg/kg/day Every 6-8 h
Cefotetan 40-80 mg/kg/day Every 12 h
Cefoxitin 160 mg/kg/day Every 4-6 h
Ceftazidime 150 mg/kg/day Every 8 h
Ceftriaxone 50-75 mg/kg/day Every 12-24 h
Cefuroxime 150 mg/kg/day Every 6-8 h
Ciprofloxacin 20-30 mg/kg/day Every 12 h
Clindamycin 20-40 mg/kg/day Every 6-8 h
Ertapenem
3 month to 12 years 15 mg/kg twice daily (not exceed 1 g/day) Every 12 h
≥ 13 years 1 g/day Every 24 h
Gentamycin 3-7.5 mg/kg/day Every 2-4 h
Imipenem-cilastatin 60-100 mg/kg/day Every 6 h
Meropenem 60 mg/kg/day Every 8 h
Metronidazole 30-40 mg/kg/day Every 8 h
32
Piperacillin-tazobactam 200-300 mg/kg/day of piperacilin Every 6-8 h
component
Ticarcillin-clavulanate 200-300 mg/kg/day of ticarcilin Every 4-6 h
component
Tobramycin 3.0-7.5 mg/kg/day Every 8-24 h
Vancomycin 40 mg/kg/day as 1 h infusion Evry 6-8 h
33
74. Pasien infeksi intra abdominal community-acquired resiko resiko
rendah tidak membutuhkan penambahan terapi jika hasil respon
klinis membaik terrhadap source control dan terapi inisial
diberikan, walaupun jika pathogen tidak dicurigai dan tidak diterapi
dilaporkan terlambat (B).
75. Jika bakteri yang resisten telah diidentifikasi pada awal intervensi
dan terdapat tanda infeksi yang menetap, terapi langsung terhadap
pathogen direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit yang
tingkat keparahannya rendah (B).
76. Penggunaan hasil kultur dan sensibilitas untuk menentukan terapi
antimicrobial pada pasien community-acquired keparahan tinggi
harus berdasarkan sifat potensial patogenitas dan densitas dari
organisme yang teridentifikasi (B).
77. Mikroba ditemukan dari kultur darah harus dianggap signifikan jika
menunjukan potensi patogenik atau terdapat pada hasil dua kultur
darah (AI) atau jika mikroba ditemukan dengan konsentrasi
moderate atau tinggi dari sampel drainage yang diambil (B).
2.4.14. Berapa lamakah durasi terapi antimikroba yang paling tepat untuk
infeksi intraabdominal komplikata?
34
meminimalkan biaya, dan mengurangi tekanan seleksi mendukung
78. Terapi antimicrobial untuk infeksi yang ada hanya terbatas 4-7 hari,
kecuali bila sulit mendapat source control yang adekuat. Durasi lebih
lama dari terapi tidak berhubungan dengan peningkatan hasil
keluaran (BIII).
79. Untuk perforasi akut gaster dan jejunum proksimal, dengan tidak
adanya terapi pengurangan asam atau malignancy dan ketika source
control didapatkan dalam wakty 24 jam, terapi profilaksis antiefektif
pada cocci aerobic gram positif untuk 24 jam harus adekuat (BII).
80. Adanya keterlambatan operasi untuk akut gaster dan perforasi
jejunum proximal, adanya malignancy gaster atau adanya terapi
untuk mengurangi keasaman gaster, terapi antimicrobial untuk
melawan mixed flora (seperti, yang terlihat pada infeksi colon yang
terkomplikasi) harus diberikan (BIII)
81. Trauma Usus yangdisebabkantrauma penetrasi, tumpul,
atauiatrogenikyangdiperbaikidalam waktu 12jamdan
kontaminasiintraoperatiflainnyadarioperasiyang terkontaminasi
isienterik
harusdiobati dengan antibiotik untuk 24jam (AI).
82. Appendicitis akuttanpa buktiperforasi, abses,
atauperitonitislokalhanya membutuhkanpemberian
rejimenprofilaksisspektrumsempityang aktif
terhadapaerobikdanfakultatifdanobligatanaerob; pengobatan
harusdihentikandalam waktu 24jam(A-I).
83. Pemberianantibiotikprofilaksis
untukpasiendenganpankreatitisnekrosis
tahan strain.29
yangparahsebelumdiagnosisinfeksi,tidak dianjurkan(A-I).
2.4.15. Apakah indikasi pemberian antimikroba oral dan rawat jalan dan
regimen apakah yang harus digunakan?
35
obat diekskresikan mungkindiperlukan untuk eksposur optimal dalam
pasien dengan hiperfiltrasi glomerulus.30
36
2.4.16. Bagaimana cara mengelola kegagalan terapi pada infeki
intraabdominal?
37
menyebabkan terjadinya sumbatan closed-loop, dan normal sekresi
yang terus menerus dari mukosa appendiks secara cepat
menyebabkan terjadinya distensi. Distensi dari appendiks
merangsang saraf afferent visceral, menghasilkan nyeri yang luas di
abdomen tengah atau epigastrium bawah. Distensi terus meningkat
seiring dengan sekresi mukosa yang terus menerus dan multiplikasi
yang cepat dari bakteri yang ada di appendiks. Hal ini menyebabkan
terjadinya mual dan muntahn dan nyeri visceral semakin bertambah.
Seiring dengan meningkatnya tekanan di appendiks, tekanan vena
meningkat. Kapiler dan venule tersumbat, tetapi aliran arteri tetap,
menyebabkan pembuluh darah melebar dan kongesti. Inflamasi
kemudian meluas sampai ke serosa appendiks hingga ke parietal
peritoneum. Ini menyebabkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kanan bawah. Mukosa appendiks rentan terhadap kerusakan
pembuluh darah, jadi pada awal proses akanterganggu, yang akan
menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Oleh karena adanya distensi,
invasi bakteri, tergangunya suplai pembuluh darah, dan proses
infark, perforasi terjadi, biasanya pada lapisan antimesenterik tepat
di bawah lokasi obstruksi.32
38
84. Rumah sakit lokal harus menetapkan jalur klinis untuk standarisasi
diagnosis, manajemen di rumah sakit, keuar dari rumah sakit, dan
manajemen rawat jalan(B-II).
85. Jalur managemen harus dirancang dengan kolaborasi dokter yang
terlibat dalam perawatan pasien tersebut, termasuk tidak
terbatasuntuk ahli bedah, spesialis penyakit menular, praktisi
perawatan primer,dokter pengobatan darurat, ahli radiologi, kepala
keperawatan, dan apoteker, dan harus mencerminkan sumber daya
lokaldan standar lokal perawatan (B-II).
86. Meskipun tidak ada temuan klinis yang tegas dalam
mengidentifikasipasien dengan radang usus buntu, kumpulan
temuan,termasuk nyeri perut terkarakteristik, nyeri tekan local
abdomen, dan bukti laboratorium adanya peradangan akut,
umumnya mengidentifikasi kebanyakan pasien yang diduga
apendisitis(A-II).
87. Helical CT dari abdomen dan pelvis dengan intravena,tapi tidak
melalui mulut atau dubur, kontras adalah prosedur pencitraan
direkomendasikanuntuk pasien yang diduga apendisitis (B-II).
88. Semua pasien wanita harus menjalani pencitraan diagnostik.Mereka
yang berpotensi melahirkan anak harus menjalani pengujian
kehamilansebelum pencitraan dan, jika pada trimester pertama
kehamilan,harus menjalani USG atau resonansi magnetik
bukanpencitraan radiasi(B-II). Jika penelitian ini tidak
menunjukan adanya kelainan patologi, laparoskopi atau
CTscanning dapat dilakukan (B-III).
89. Pencitraan harus dilakukan untuk semua anak, khususnyamereka
yang berusia 13 tahun, ketika diagnosis apendisitistidak pasti.
Pencitraan CT lebih disukai, meskipun untuk menghindari
penggunaanradiasi pada anak-anak, USG adalah alternatif (B-III).
90. Untuk pasien dengan temuan studi pencitraan negatif untuk pasien
yang dicurigai usus buntu, tindak lanjut pada 24 jam dianjurkan
untukmemastikan tanda dan gejala, karena rendahnya risiko tetapi
terukur dari hasil negatif palsu (B-III).
91. Untuk pasien yang diduga apendisitis yang dapat dikonfirmasi atau
dikecualikan oleh pencitraan diagnostik, follow- up yang
baikdianjurkan (A-III).
39
92. Terapi antimikroba harus diberikan kepada semuapasien yang
menerima diagnosis apendisitis (A-II).
93. Terapi antimikroba yang tepat termasuk agen yang efektifterhadap
organisme gram-negatif fakultatif dan aerobikdan organisme
anaerob, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2 untuk
pengobatanpasien dengan Infeksi intra-abdominal community-
acquired (A-I).
94. Untuk pasien yang diduga appendicitis yang secara studi
pencitraan diagnostik samar-samar, terapi antimikrobaharus
dimulai bersamadengan obat nyeri yang tepat dan antipiretik, jika
diindikasikan. Untuk orang dewasa, terapi antimikrobaharus
disediakan untuk minimal 3 hari, sampai klinisgejala dan tanda-
tanda infeksi atau diagnosis definitif dibuat (B-III).
95. Intervensi operative untuk akut, pada radang usus buntu
nonperforateddapat dilakukan segera bila terdapat
indikasi.Pembedahan dapat ditangguhkan untuk jangka waktu
yang pendek sesuai dengan keadaan institusional individu (BII).
96. Prosedur laparoskopi dan open appendektomi dapat diterima, dan
penggunaan kedua pendekatan harus dibuat oleh keahlian dokter
bedah dalammenentukan prosedur yang dilakukan (A-I).
97. Manajemen Non-operative yang dipilih untuk pasien akut,
apendisitis nonperforated dapat dipertimbangkan jika
adapeningkatan kondisi pasien sebelum operasi(B-II).
98. Manajemen Non-operative juga dapat dianggap sebagaibagian
dari pendekatan khusus untuk pasien laki-laki, dengan ketentuan
bahwapasien dirawat di rumah sakit selama 48 jam dan
menunjukkan perbaikan gejala klinisdan tanda-tanda klinis dalam
waktu 24 jam sedangmenerima terapi antimikroba (A-II).
99. Pasien dengan apendisitis perforasi harus menjalaniintervensi
segera untuk mendapat source control yang memadai (B-III).
100. Pasien dengan abses periappendiceal berbatas tegasdapat dikelola
dengan drainase perkutan atau operasidrainase bila diperlukan.
Appendectomy umumnya ditangguhkanpada pasien tersebut (A-
II).
101. Pasien yang dipilih yang beberapa hari menunjukan
perkembangan proses inflamasi dan memiliki sebuah
periappendicealphlegmon atau abses kecil yang tidak setuju untuk
dilakukan perkutandrainase dapat ditunda atau menghindari
prosedur source control untuk mencegah prosedur yang berpotensi
lebih buruk daripada usus buntu sederhana.Pasien tersebut diobati
dengan terapi antimikroba dan difollow up dengan hati-hati pada
pasien rawat inap, dengan cara yang sama denganpasien dengan
diverticulitis akut (B-II).
102. Penggunaan tidakan appendectomy secara interval setelah
drainase perkutanatau manajemen nonoperative apendisitis
perforasi adalah kontroversial dan mungkin tidak diperlukan (A-
II).
40
2.4.18. Bagaimana pengelolaan bedah apendisitis?
41
2.4.19. Bagaimana clinical pathways untuk diagnosis dan penatalaksanaan
pasien anak dengan kecurigaan appendicitis akut?
42
11. Pasien anak dengan appendicitis perforasi harus dilakukan
intervensi segera untuk source control yang adekuat(B-III)
12. Pasien dengan abses periappendiceal dengan batas yang jelas dapat
dilakukan drainase perkutan atau drainase operative apabila
dibutuhkan. Appendektomi umumnya ditunda pada keadaan
tersebut (A-II).
13. Tindakan appendektomi interval setelah drainase perkutan ataupun
manajemen non operatif pada kasus appendicitis perforasi masih
kontroversi dan mungkin tidak perlu dilakukan (A-II).
43
2.4.21. Bagaimana pengelolaan bedah diverticulitis?
44
2.4.22. Bagaimana pengelolaan bedah perforasi kanker kolorektal?
45
efektif untuk perforasi kolon terkait kolonoskopi (C-I)
46
bila dibandingkan pankreatitis akut, peningkatan serum amilase lebih
rendah dari tiga kali lipat.42 Pemeriksaan foto polos dada dalam
posisi tegak atau foto polos tegak abdomen memberikan gambaran
udara bebas di dalam rongga peritoneal pada 75% pasien.38
Perforasi organ berongga terjadi apabila:36
1. Peritonitis dengan onset yang tiba-tiba + gambaran udara
bebas
2. Peritonitis dengan onset yang tiba-tiba + tanpa gambaran
udara bebas + normal amilase
Untuk pasien dengan kondisi yang stabil dan tidak memerlukan
laparotomi segera, CT-Scan merupakan modalitas pencitraan pilihan.
Pada pasien anak-anak dan dewasa muda, paparan terhadap radiasi
dari CT-Scan harus ikut dipertimbangkan.4
Tatalaksana awal harus meliputi resusitasi cairan yang adequat,
dekompresi dengan pemasangan NGT, dan pemberian antibiotik
sistemik.36 Tindakan pembedahan merupakan tatalaksana pilihan
untuk kasus perforasi ulkus peptikum. Pada kasus tertentu, (pasien
lebih muda dari 70 tahun tanpa syok sepsis atau peritonitis dan tidak
memberikan gambaran kebocoran dari kontras pada pemeriksaan
gastroduodenogram), tatalaksana non operatif dapat menjadi pilihan.
Akan tetapi, bila tida terjadi perbaikan dari kondisi klinis dalam 24
jam sejak keputusan tatalaksana non operatif diambil, pasien haris
menjalani operasi.4 Penutupan secara simple dengan atau tanpa
omental patch merupakan prosedur yang aman dan efektif pada
kasus perforasi ulkus yang kecil (<2cm).4 Perforasi ulkus peptikum
dapat ditangani dengan penutupan secara simple pada daerah
perforasi ketika dikombinasikan dengan terapi anti-Helicobacter,
pemberian PPI atau modulasi NSAID.36 Pada kasus perforasi yang
besar, yang disertai perdarahan atau striktur, resesksi gastroduodenal
mungkin diperlukan. Penilaian intra-operatif memungkinkan
47
operator untuk menentukan apakah reseksi merupakan tindakan yang
tepat atau tidak.4
Tindakan operatif menggunakan laparoskopi pada perforasi ulkus
peptikum dapat menjadi pilihan yang aman dan efektif untuk
operator yang sudah berpengalaman.4
48
Pada kejadian perforasi kecil, jahit primer sangatlah
direkomendasikan. Bagaimanapun, ketika reseksi dilakukan,
tindakan anastomosis tidaklah menunjukkan pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas. Lebih lanjut lagi, hanya rumah sakit
dengan ahli bedah yang berpengalaman di bidang prosedur
laparoskopik yang mampu melakukan pendekatan laparoskopik.
Jahit primer terhadap perforasi usus halus lebih dipilih daripada
reseksi dan anastomosis karena tingkat komplikasinya yang lebih
rendah, meskipun perlu dicatat bahwa hasil optimal dalam kasus ini
mungkin disebabkan oleh batas jaringan yang cedera akibat perforasi
minor. 39,40
Pasien dengan lesi ganas, usus yang nekrotik, perforasi karena
cederanyapembuluh darah mesenterik, atau beberapa perforasi yang
letaknya berdekatan tidak boleh dilakukan jahit primer. 41
Selama reseksi, seluruh segmen usus yang sakit dipotong hingga
batas jaringan yang sehat, yang memiliki perfusi yang baik untuk
anastomosis.Teknik yang digunakan untuk enteroenterostomy
(stapled atau hand-sewn) tampaknya berdampak kecil terhadap
tingkat komplikasi anastomosis.
Anastomosis usus secara primer harus dilakukan dengan hati-hati
pada kasus peritonitis purulen atau peritonitis fekulen karena
tingginya tingkat komplikasi yang serius.40
Tindakan laparoskopi untuk perforasi usus halus secara luas
dilaporkan dalam literatur yang diterbitkan, namun tidak ada studi
yang membandingkan laparoskopi dan operasi terbuka.41 Saat ini,
beberapa ahli lebih menyarankan untuk penggunaan pembedahan
laparoskopik pada perforasi ulkus peptikum.
49
5. Pembedahan adalah pilihan terapi pada pasien dengan perforasi
usus halus (A-I)
6. Pada kejadian perforasi kecil, perbaikan primer sangatlah
direkomendasikan. Bagaimanapun, ketika reseksi dilakukan,
tindakan anastomosis tidaklah menunjukkan pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas. ( B-II)
7. Lebih lanjut lagi, hanya rumah sakit dengan ahli bedah yang
berpengalaman di bidang prosedur laparoskopik yang mampu
melakukan pendekatan laparoskopik ( C-II )
50
kolesistitis akut.51-2 Kolesistektomi laparoskopi yang ditunda
mungkin merupakan faktor risiko prediktif yang paling
signifikanuntuk konversi kolesistektomi terbuka di dalam kasus
kolesistitis akut.53
Kolesistektomi perkutaneus dapat digunakan secara aman dan dapat
menangani pasien kolesistitis akut yang tidak mungkin untuk
dilakukan tindakan bedah secara efektif. Bila memungkinkan,
kolesistektomi perkutaneus harus diikuti dengan kolesistektomi
laparoskopi.54 Intervensi berhasil diamati pada 85.6%pasien dengan
kolesistitis akut. Sebanyak 40% dari pasien yang diobati dengan
Kolesistektomi perkutaneus diikuti denganKolesistektomi,
mengakibatkan tingkat kematian 1,96%. Mortalitas keseluruhan
tingkat prosedur adalah 0,36%, tetapi angka kematian pada hari ke-
30 sebesar 15,4% pada pasien yang diobati dengan Kolesistektomi
perkutaneus dan 4,5% pada pasien yang diterapi dengan
kolesistektomi tradisional (P <0,001).Baru-baru ini, beberapa
penelitian telah menegaskan efek dari kolesistektomi pada pasien
sakit kritis55, pasien usia lanjut56, dan pembedahan pasien berisiko
tinggi.57-61
Perforasi kandung empedu adalah bentuk yang tidak biasa dari
penyakit kantong empedu. Diagnosis awal dari perforasi kandung
empedu dan intervensi bedah yang secepatnya dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian.Perforasi jarang terdiagnosis pada saat
praoperatif. Tindakan bedah yang terlambat dikaitkan dengan angka
morbiditas dankematian yang tinggi, peningkatan lamanya
perawatan di ICU dan perawatan pasca operasi. 62-6
51
1. Cholesistektomi laparoskopi adalah terapi yang aman dan efektif
untuk akut cholesistitis (A-I)
2. Cholesistektomi laparoskopi yang awal adalah terapi yang aman
untuk cholesistitis akut dan secara umum menghasilkan waktu
pemulihan dan rawat inap di rumah sakit yang cepat dibandingkan
dengan cholesistektomi laparoskopi yang ditunda. (A-I)
3. Cholesistektomi perkutaneus dapat digunakan secara aman dan
dapat menangani pasien cholesistitis akut yang tidak mungkin
untuk dilakukan tindakan bedah secara efektif. Bila memungkinkan,
cholesistektomi perkutaneus harus diikuti dengan cholesistektomi
laparoskopi (C-II)
4. Diagnosis awal dari perforasi gallbladder dan intervensi bedah yang
secepatnya dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. (C-I)
52
Endoskopi drainase bilier merupakan sarana dekompresi traktus
bilier yang baik untuk pasien dengan cholangitis akut yang
disebabkan oleh keganasan atau lesi jinak bilier dan obstruksi
bilier.35-6 Banyak studi kasus-series retrospektif yang telah
menunjukkan manfaatdari drainase transhepatik perkutan. Modalitas
Endoskopi drainase bilier saat ini lebih disukai dibanding prosedur
perkutan karena mengurangi tingkat komplikasi. Saat ini tidak ada
RCT yang membandingkan endoskopi dan drainase perkutan.
Modalitas endoskopik pada drainage bilier dengan prosedur
perkutaneus jauh lebih disukai untuk mengurangi angka komplikasi.
Hingga saat ini, belum ada penelitian secara Randomized controlled
Trial (RCT) untuk membandingkan drainase perkutaneus dan
endoskopik.
Saat ini, hanya studi retrospektif yang membandingkan keamanan
dan efektivitas endoskopi dan perkutan drainase bilier transhepatik
dalam pengobatan kolangitis akut supuratifobstruktif.Laporan-
laporan ini menegaskan kemanjuran klinis dari
drainaseendoskopiserta kemampuannya untuk memfasilitasi
endoskopik berikutnya atau intervensi pembedahan.71
Open drainage sebaiknya ditujukan kepada pasien yang telah
mengalami kegagalan drainase transhepatik secara perkutaneus, atau
yang mengalami kontraindikasi
54
2.4.30 Bagaimana strategi re-laparotomi dan open abdomen?
4. Simpulan /Rekomendasi
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Sartelli M, A focus on intra-abdominal infections. Sartelli World Journal
of Emergency Surgery 2010, 5:9 http://www.wjes.org/content/5/1/9
2. Sartelli M, Viale P, Koike K, Pea F,Tumietto F, Van Goor H, et al. WSES
consensus conference: Guidelines for firstline management of intra-
abdominal infections. Sartelli et al. World Journal of Emergency Surgery
2011, 6:2 http://www.wjes.org/content/6/1/2
3. S. Solomkin J, E. Mazuski J, S. BradleyJ, A. Rodvold K, J. C. Goldstein
E, etal.Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal
Infection in Adults and Children: Guidelines by the Surgical Infection
Society and the Infectious Diseases Society of America. @ 2009 by the
Infectious Diseases Society of America.
4. Sartelli M, Viale P, Catena3 F, Ansaloni L, Moore E, Malangoni M, et al.
2013 WSES guidelines for management of intra-abdominal infections.
World Journal of Emergency Surgery 2013,8:3
http://www.wjes.org/content/8/1/3.
5. Emmi V, Sganga G: Diagnosis of intra-abdominal infections: clinical
findings and imaging. Infez Med 2008, 16(Suppl 1):19–30.
6. Foinant M, Lipiecka E, Buc E, Boire JY, Schmidt J, Garcier JM, Pezet D,
Boyer L: Impact of computed tomography on patient's care in non-
traumatic acute abdomen: 90 patients. J Radiol 2007, 88(4):559–566.
7. Emergency Physicians, Canadian Critical Care Society, European Society
of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, European Society of
Intensive Care Medicine, European Respiratory Society, International
Sepsis Forum, Japanese Association for Acute Medicine, Japanese Society
of Intensive Care Medicine, Society of Critical Care Medicine, Society of
Hospital Medicine, Surgical Infection Society, World Federation of
Societies of Intensive and Critical Care Medicine, Dellinger RP, Levy
MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, Reinhart K, Angus DC,
Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut JF, Gerlach H, Harvey M,
56
Marini JJ, Marshall J, Ranieri M, Ramsay G, Sevransky J, Thompson BT,
Townsend S, Vender JS, Zimmerman JL, Vincent JL: Surviving sepsis
campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2008. Crit Care Med 2008,36(1):296–327.
8. Moore LJ, Moore FA: Epidemiology of sepsis in surgical patients. Surg
Clin North Am 2012, 92(6):1425–1443.
9. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B,
Peterson E, Tomlanovich M, Early Goal-Directed Therapy Collaborative
Group: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Eng J Med 2001, 345:1368–1377
10. Joseph S. Solomkin,John E. Mazuski,John S. Bradley, Keith A. Rodvold,
Ellie J. C. Goldstein, Ellen J. Baron, Patrick J. O’Neill,9 Anthony W.
Chow, E. Patchen Dellinger, Soumitra R. Eachempati, Sherwood Gorbach,
Mary Hilfiker, Addison K. May,Avery B. Nathens,Robert G. Sawyer, and
John G. Bartlett : IDSA Guideline : Diagnosis and Management of
Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children: Guidelines
by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of
America. Journal Uchicago.2010:50
11. ACC/AHA 2007 Guidelines on Perioperative CardiovascularEvaluation
and Care for Noncardiac Surgery:JoExecutive Summary. Journal of the
American College of Cardiology Vol. 50, No. 17, 2007.
12. World Federation of Socities of Anasthesiologists. Tutorial of the weeks.
Peri-Operative Cardiac Arrhytmias:SupraventriculaArrhythmias.
Anaesthesia tutorial of the week Vol. 279, February 2013.
13. World Federation of Socities of Anasthesiologists. Tutorial of the weeks.
Peri-Operative Cardiac Arrhytmias: Ventricular dysrhythmias.
Anaesthesia tutorial of the week Vol. 285, May 2013.
14. ESC Guidelines 2009: Guidelines for pre-operative cardiac risk
assessment and perioperative cardiac management in non-cardiac surgery.
European Heart Journal (2009) 30, 2769–2812
57
15. Joint British Diabetes Societies: Diabetes UK Position Statements and
CareRecommendations: NHS Diabetes guideline for the
perioperativemanagement of the adult patient with diabetes
16. Australian Diabetes
Society:PerioperativeDiabetes Management Guidelines,2012
17. American Academy of Family Physicians: Perioperative Management of
Diabetes. Am FamPhysician 2003;67:93-100
18. Langley RW .Perioperative Management of theThyrotoxic Patient.
Endocrinol Metab Clin N Am ,32 (2003) 519–534
19. American Academy of Family Physicians: Preoperative Care of
Patientswith Kidney Disease. Am Fam Physician2002;66:1471-6.
20. CalvertS;ShawA. Perioperative acute kidney injury. Perioperative
Medicine 2012, 1:6
21. Rosner & Okusa: Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:19-
32
22. Bellomo R, Ronco C. Kidney Int 1998;53(66):S 106-109
23. Powell LL, Wilson SE: The role of beta-lactam antimicrobials as single
agents in treatment of intra-abdominal infection. Surg Infect (Larchmt)
2000, 1(1):57–63.
24. Al-Hasan MN, Lahr BD, Eckel-Passow JE, Baddour LM: Antimicrobial
resistance trends of Escherichia coli bloodstream isolates: a
populationbased study, 1998–2007. J Antimicrob Chemother 2009,
64(1):169–174.
25. Riché FC, Dray X, Laisné MJ, Matéo J, Raskine L, Sanson-Le Pors MJ,
Payen D,Valleur P, Cholley BP: Factors associated with septic shock and
mortality in generalized peritonitis: comparison between community-
acquired and postoperative peritonitis. Crit Care 2009, 13(3):R99.
26. Montravers P, Mira JP, Gangneux JP, Leroy O, Lortholary O, for the
AmarCand study group: A multicentre study of antifungal strategies and
outcome of Candida spp. peritonitis in intensive-care units. Clin Microbiol
Infect 2011, 17(7):1061–1067.
58
27. Tadahiro Takada et al. 2007. Tokyo Guideline for the managements for
acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreatic Surgery
(2007)
28. Gladman MA, Knowles CH, Gladman LJ, Payne JG: Intra-operative
culture in appendicitis: traditional practice challenged. Ann R Coll Surg
Engl 2004, 86(3):196–201.
29. Emergency Physicians, Canadian Critical Care Society, European Society
of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, European Society of
Intensive Care Medicine, European Respiratory Society, International
Sepsis Forum, Japanese Association for Acute Medicine, Japanese Society
of Intensive Care Medicine, Society of Critical Care Medicine, Society of
Hospital Medicine, Surgical Infection Society, World Federation of
Societies of Intensive and Critical Care Medicine, Dellinger RP, Levy
MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, Reinhart K, Angus DC,
Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut JF, Gerlach H, Harvey M,
Marini JJ, Marshall J, Ranieri M, Ramsay G, Sevransky J, Thompson BT,
Townsend S, Vender JS, Zimmerman JL, Vincent JL: Surviving sepsis
campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2008. Crit Care Med 2008,36(1):296–327.
30. Mueller EW, Boucher BA: The use of extended-interval aminoglycoside
dosing strategies for the treatment of moderate-to-severe infections
encountered in critically ill surgical patients. Surg Infect 2009,10(6):563–
570
31. Sartelli M, Catena F, Coccolini F, Pinna AD: Antimicrobial management
of intra-abdominal infections: literature's guidelines. World J
Gastroenterol 2012, 18(9):865–871
32. Brunicardi, F. Charles MD, FACS. 2014. Schwartz’s Principle Of Surgery,
Tenth Edition. 1201-03.
33. Joseph S. Solomkin et al. 2009. Diagnosis and Management of
Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children.
Complicated Intra-abdominal Infection Guidelines. CID 2010:50
59
34. Zachariou Z. Pediatric Surgery Digest. Springer. 2009. Page 437-45
35. Lohsiriwat, Varuk. Colonoscopic perforation: Incidence, risk factors,
management and outcome. 2010
36. Russ, B. Acute Care Surgery and Trauma : Evidence Based Practice.
Informa Healthcare (2009)
37. De Bass. H., Gastrointestinal Surgery : Pathophysiology and Management.
Springer (2004)
38. Souba, Fink, Jurkovich, Kaiser, Pearch, Pemberton, Soper. ACS Surgery :
Principle and Practice 6th Ed. www.acssurgery.com (2007)
39. Ayite A, Dosseh DE, Tekou HA, James K: Surgical treatment of single
non traumatic perforation of small bowel: excision-suture or resection
anastomosis. Ann Chir 2005, 131(2):91–95.
40. Kirkpatrick AW, Baxter KA, Simons RK, Germann E, Lucas CE,
Ledgerwood AM: Intra-abdominal complications after surgical repair of
small bowel injuries: an international rreiew. J Trauma 2003, 55(3):399–
406.
41. Sinha R, Sharma N, Joshi M: Laparoscopic repair of small bowel
perforation. JSLS 2005, 9:399–402.
42. Kiviluoto T, Sirén J, Luukkonen P, Kivilaakso E: Randomised trial of
laparoscopic versus open cholecystectomy for acute and gangrenous
cholecystitis. Lancet 1998, 351(9099):321–325.
43. Johansson M, Thune A, Nelvin L, Stiernstam M, Westman B, Lundell L:
Randomized clinical trial of open versus laparoscopic cholecystectomy in
the treatment of acute cholecystitis. Br J Surg 2005, 92(1):44–49.
44. Kum CK, Goh PMY, Isaac JR, Tekant Y, Ngoi SS: Laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg 1994, 81:1651–1654.
45. Pessaux P, Regenet N, Tuech JJ, Rouge C, Bergamaschi R, Arnaud JP:
Laparoscopic versus open cholecystectomy: a prospective comparative
study in the elderly with acute cholecystitis. Surg Laparosc Endosc
Percutan Tech 2001, 11:252–255.
60
46. Lujan JA, Parrilla P, Robles R, Marin P, Torralba JA, Garcia-Ayllon J:
Laparoscopic cholecystectomy vs open cholecystectomy in the treatment
of acute cholecystitis: a prospective study. Arch Surg 1998, 133:173–175.
47. Gurusamy K, Samraj K, Gluud C, Wilson E, Davidson BR: Meta-analysis
of randomized controlled trials on the safety and effectiveness of early
versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J
Surg 2010, 97(2):141–150.
48. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, Jenkins JT: Early versus delayed
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of
randomized clinical trials. Am J Surg 2008, 195(1):40–47.
49. Lau H, Lo CY, Patil NG, Yuen WK: Early versus delayed-interval
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis.
Surg Endosc 2006, 20(1):82–87.
50. Papi C, Catarci M, D'Ambrosio L, Gili L, Koch M, Grassi GB, Capurso L:
Timing of cholecystectomy for acute calculous cholecystitis: a meta-
analysis. Am J Gastroenterol 2004, 99(1):147–155.
51. Lee NW, Collins J, Britt R, Britt LD: Evaluation of preoperative risk
factors for converting laparoscopic to open cholecystectomy. Am Surg
2012, 78(8):831–833.
52. Domínguez LC, Rivera A, Bermúdez C: Herrera W: [Analysis of factors
for conversion of laparoscopic to open cholecystectomy: a prospective
study of 703 patients with acute cholecystitis]. Cir Esp 2011, 89(5):300–
306.
53. Hadad SM, Vaidya JS, Baker L, Koh HC, Heron TP, Hussain K,
Thompson AM: Delay from symptom onset increases the conversion rate
in laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. World J Surg
2007, 31(6):1298–1301.
54. Winbladh A, Gullstrand P, Svanvik J, Sandström P: Systematic review of
cholecystostomy as a treatment option in acute cholecystitis. HPB
(Oxford) 2009, 11(3):183–193.
61
55. Morse BC, Smith JB, Lawdahl RB, Roettger RH: Management of acute
cholecystitis in critically ill patients: contemporary role for
cholecystostomy and subsequent cholecystectomy. Am Surg 2010,
76(7):708–712.
56. McGillicuddy EA, Schuster KM, Barre K, Suarez L, Hall MR, Kaml GJ,
Davis KA, Longo WE: Non-operative management of acute cholecystitis
in the elderly. Br J Surg 2012, 99(9):1254–1261.
57. Abi-Haidar Y, Sanchez V, Williams SA, Itani KM: Revisiting
percutaneous cholecystostomy for acute cholecystitis based on a 10-year
experience. Arch Surg 2012, 147(5):416–422.
58. McKay A, Abulfaraj M, Lipschitz J: Short- and long-term outcomes
following percutaneous cholecystostomy for acute cholecystitis in highrisk
patients. Surg Endosc 2012, 26(5):1343–1351.
59. Rodríguez-Sanjuán JC, Arruabarrena A, Sánchez-Moreno L, González-
Sánchez F, Herrera LA, Gómez-Fleitas M: Acute cholecystitis in high
surgical risk patients: percutaneous cholecystostomy or emergency
cholecystectomy? Am J Surg 2012, 204(1):54–59.
60. Nasim S, Khan S, Alvi R, Chaudhary M: Emerging indications for
percutaneous cholecystostomy for the management of acute cholecystitis–
a retrospective review. Int J Surg 2011, 9(6):456–459.
61. Kortram K, de Vries Reilingh TS, Wiezer MJ, van Ramshorst B, Boerma
D: Percutaneous drainage for acute calculous cholecystitis. Surg Endosc
2011, 25(11):3642–3646.
62. Derici H, Kara C, Bozdag AD, Nazli O, Tansug T, Akca E: Diagnosis and
treatment of gallbladder perforation. World J Gastroenterol 2006,
12(48):7832–7836.
63. Menakuru SR, Kaman L, Behera A, Singh R, Katariya RN: Current
management of gall bladder perforations. ANZ J Surg 2004, 74:843–846.
64. Roslyn JJ, Thompson JE Jr, Darvin H, DenBesten L: Risk factors for
gallbladder perforation. Am J Gastroenterol 1987, 82:636–640.
62
65. Ong CL, Wong TH, Rauff A: Acute gall bladder perforation-a dilemma in
early diagnosis. Gut 1991, 32:956–958.
66. Stefanidis D, Sirinek KR, Bingener J: Gallbladder perforation: risk factors
and outcome. J Surg Res 2006, 131(2):204–208. Epub 2006 Jan 18.
67. Van Lent AU, Bartelsman JF, Tytgat GN, Speelman P, Prins JM: Duration
of antibiotic therapy for cholangitis after successful endoscopic drainage
of the biliary tract. Gastrointest Endosc 2002, 55:518–522.
68. Hui CK, Lai KC, Yuen MF, Ng M, Lai CL, Lam SK: Acute cholangitis—
predictive factors for emergency ERCP. Aliment Pharmacol Ther
2001,15(10):1633–1637.
69. Lai EC, Mok FP, Tan ES, Lo CM, Fan ST, You KT, Wong J: Endoscopic
biliary drainage for severe acute cholangitis. N Engl J Med 1992,
24:1582–1586.
70. Kumar R, Sharma BC, Singh J, Sarin SK: Endoscopic biliary drainage for
severe acute cholangitis in biliary obstruction as a result of malignant and
benign diseases. J Gastroenterol Hepatol 2004, 19(9):994–997.
71. Ou-Yang B, Zeng KW, Hua HW, Zhang XQ, Chen FL: Endoscopic
nasobiliary drainage and percutaneous transhepatic biliary drainage for the
treatment of acute obstructive suppurative cholangitis: a retrospective
study of 37 cases. Hepatogastroenterology 2012, 17:59(120).
72. Augustin P, Kermarrec N, Muller-Serieys C, Lasocki S, Chosidow D,
Marmuse JP, Valin N, Desmonts JM, Montravers P: Risk factors for
multidrug resistant bacteria and optimization of empirical antibiotic
therapy in postoperative peritonitis. Crit Care 2010, 14(1):R20.
73. Theisen J, Bartels H, Weiss W, Berger H, Stein HJ, Siewert JR: Current
concepts of percutaneous abscess drainage in postoperative retention. J
Gastrointest Surg 2005, 9(2):280–283.
74. Khurrum Baig M, Hua Zhao R, Batista O, Uriburu JP, Singh JJ, Weiss
EG, Nogueras JJ, Wexner SD: Percutaneous postoperative intra-abdominal
abscess drainage after elective colorectal surgery. Tech Coloproctol 2002,
6(3):159–164.
63
75. Benoist S, Panis Y, Pannegeon V, Soyer P, Watrin T, Boudiaf M, Valleur
P: Can failure of percutaneous drainage of postoperative abdominal
abscesses be predicted? Am J Surg 2002, 184(2):148–153.
76. Torer N, Yorganci K, Elker D, Sayek I: Prognostic factors of the mortality
of postoperative intraabdominal infections. Infection 2010, 38(4):255–260.
64