Anda di halaman 1dari 72

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN

INFEKSI INTRAABDOMINAL (PERITONITIS)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


2014
TIM PENYUSUN
PANDUAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
INFEKSI INTRA-ABDOMINAL (PERITONITIS)

Ketua : Nurhayat Usman, dr., Sp.B-KBD (IKABDI)


Wakil Ketua : DR. Kiki Lukman, dr., M.Sc, Sp.B-KBD (IKABDI)
PIC: Dr Maria Mayasari, SpB-KBD (IKABDI)
Tim Panel : 1.
: Prof. Paul Tahalele (IKABI)
2. Dr. Djoni Darmadjaja (IKABI)
3. Prof. Dr. Ign Riwanto, dr., Sp.B-KBD (IKABDI) (Bedah Dig
4. Dr. Reno Rudiman, dr., M.Sc, Sp.B- (IKABDI)
KBD
5. Dr. Agi Satria SpB-KBD (IKABDI)
6. Dr. Imam Sofie, SpB-KBD (IKABDI)
7. DR. Ibrahim Labeda, dr., SpB-KBD (IKABDI)
8. Bustanul Arifin Nawas, dr., Sp.B (K) (PERBANI)
BA
9. Dr. Iesye Martiza, dr., Sp.PA (K) (Ilmu Kes Anak)
10. Dr. Ina Rosalina, dr., Sp.PA(K) (Ilmu Kes Anak)
11. Prof. Dr. Ida Parwati, dr., Sp.PK (Patologi Klinik) (Patologi K
12. Bethy S. Hernowo, dr., Sp.PA(K), P.hD (Patologi Anatomi) (Patologi A
13. Dr. Tan Sie Kwan, Sp-Rad (Radiologi)
14. Dr. Latte Buntaran, Sp.FK (Mikrobiologi Klinik) (Farmakolo
15. Prof. Dr. Rully MA. Roesli, dr., Sp.PD, (Ilmu Penyakit Dalam)
KGH
16. Dr. Kiki Lukman, dr., M.Sc, Sp.B-KBD (Biologi Molekuler) (Biologi Mo
17. Dr. Ike S. Redjeki, dr., Sp.An, KIC (Anestesiologi) (Anestesi)
18. Erwin Pradian, dr., Sp.An (KIC) (Intensifis)
19. Nunung Nurhayati, S.Kep (Ners ETN) (Keperawat
20. Ani Maryati, SKP, M.Kep, Sp.KMB (Ners ETN)
ETN
21. Dr. Gaga Irawan, dr., Sp.GK (Gizi Klinik)
22. Dr. Rovina, dr. M.Kes., SpFK (Farmakologi Klinik) (Gizi Klinik

i
KATA PENGANTAR TIM PENYUSUN

ii
KATA PENGANTAR PP IKABI

iii
KATA PENGANTAR
KETUA KONSORSIUM UPAYA KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

iv
KATA PENGANTAR
DIRJEN BINA UPAYA KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

v
KATA PENGANTAR
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

vi
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan 1
2. Metodologi 5
2.1. Metode pengumpulan pustaka
2.1.1. Pertanyaan klinis 5
2.1.2. Kata kunci yang digunakan 6
2.1.3. Situs web/basis data yang dikunjungi 6
2.1.4. Kriteria inklusi dan ekskulasi 7
2.1.5. Lain-lain: bahasa, tahun penerbitan, dsb. 7
2.2. Telaah kritis pada makalah 7
2.3. Peringkat bukti 8
2.4. Derajat rekomendasi 8
3. Hasil dan diskusi 9
4. Simpulan / Rekomendasi 54
5. Daftar Pustaka 55

vii
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
INFEKSI INTRAABDOMINAL (PERITONITIS)

1. Pendahuluan

Penyakit infeksi intraabdominal adalah infeksi pada peritoneum yang


dikenal juga sebagai peritonitis.1 Secara patologik infeksi pada peritoneum
dapat berupa peritonitis generalisata atau lokal yaitu abses intraabdominal.1
Berdasarkan etiologinya, peritonitis bakterial adalah jenis peritonitis yang
tersering dijumpai dan dapat terjadi secara primer, sekunder, dan tersier.1
Peritonitis primer disebabkan infeksi bakteri monobakterial yang mengalami
translokasi dari traktus gastrointestinal atau penyebaran hematogenik dari
organ lain.1,2 Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyebaran bakteri akibat
perforasi organ berongga, terutama organ gastrointestinal sehingga terjadi
infeksi polibakterial.1,2Peritonitis tersier terjadi pada pasien-pasien dengan
peritonitis sekunder yang telah menjalani pembedahan, namun peritonitis tetap
terjadi (persisten) oleh karena sistem immunitas tubuhnya tidak mampu
melakukan eradikasi sisa kontaminan dan bakteria yang semula tidak
patogenik.1,2Insidensi peritonitis sekunder adalah yang tertinggi di antara
berbagai jenis peritonitis tersebut dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang cukup tinggi pula.1 Penyakit ini dapat ditemukan pada semua kelompok
usia, mulai dari pasien pediatrik, dewasa, maupun lanjut usia.3 Prognosis
buruk sering dijumpai akibat kondisi pasien dengan disfungsi organ berat
karena komplikasi penyebabnya, kegagalan kontrol sumber peritonitis
(terlambatnya pembedahan), terapi antibiotika empirik yang tidak adekuat,
serta infeksi nosokomial.1Walaupun belum terdapat data insidensi yang
lengkap di Indonesia, berbagai laporan penelitian dari banyak senter
pendidikan dokter spesialis bedah menunjukkan bahwa operasi emergensi
kasus-kasus peritonitis sekunder adalah kasus operasi emergensi yang
terbanyak. Oleh karena itu, peritonitis sekunder adalah salah satu penyakit
bedah emergensi yang terpenting di Indonesia.

1
Manajemen infeksi intraabdominal secara klinik dapat dibagi menjadi
dua katagori yaitu infeksi intraabdominal komplikata dan non komplikata.
Infeksi intraabdominal non komplikata hanya terjadi pada satu organ
intraabdominal, namun tidak meluas ke rongga peritoneum karena tidak
terdapat disrupsi struktur anatomi organ tersebut. Manajemen penyakit ini
adalah terutama pembedahan disertai dengan pemberian antibiotika
profilaksis.2,4 Namun demikian, pada infeksi intraabdominal komplikata,
terapi bedah, pemberian antibiotika terapeutik dan terapi suportif disfungsi
organ menjadi terapi utama karena terjadi infeksi dan disrupsi anatomi pada
organ intraabdominal tersebut sehingga meluas ke peritoneum baik secara
lokal atau pun secara difus/generalisata.2,4 Oleh karena itu, pengelolaan infeksi
intraabdominal komplikata membutuhkan pendekatan secara multidisiplin di
dalam suatu tim dan sarana serta prasarana yang kompleks dan lengkap. Di
dalam pengelolaannya, mulai dari fase pre-operatif, intra-operatif, dan post-
operatif diperlukan kerjasama solid dari dokter spesialis bedah, anestesi,
intensivis, penyakit dalam atau anak (pediatrik), radiologi, patologi anatomi
dan klinik, gizi klinik, dan perawat.3 Untuk memperoleh pengelolaan yang
efektif dan efisien, serta aman bagi pasien maka diperlukan suatu pedoman
pelayanan komprehensif dan menjadi acuan bersama dari berbagai pihak atau
disiplin ilmu terkait di dalam tim yang mengelola peritonitis. Pedoman
tersebut haruslah disusun berdasarkan bukti-bukti ilmiah kedokteran yang
paling kuat dan menjadi panduan di dalam menetapkan rekomendasi
pengelolaannya. Oleh karena itulah, pedoman nasional pelayanan kedokteran
untuk penyakit peritonitis ini disusun dengan secara multidisiplin dengan cara
mengumpulkan dan menelaah secara kritis berbagai sumber literatur yang
paling sahih (valid), relevan, dan memiliki peringkat bukti tertinggi.

Sasaran pedoman ini adalah seluruh jajaran personil kesehatan yang


mengelola peritonitis pada berbagai kelompok usia di pusat pelayanan
kesehatan primer, sekunder dan tersier sesuai dengan relevansi tugas,
wewenang, dan kondisi sarana dan prasarana yang tersedia di masing-masing
tingkat pelayanan kesehatan tersebut. Oleh karena itu, pedoman diterapkan

2
sesuai dengan kondisi dan situasi, serta kompetensi para personil kesehatan di
masing-masing tempat pelayanan tersebut. Rekomendasi yang diberikan oleh
pedoman ini berdasarkan pertimbangan peringkat bukti ilmiah dan belum tentu
relevan dan sejalan dengan kepentingan klinik pasien secara individual.

1.1 Permasalahan

Permasalahan pengelolaan infeksi intraabdominal komplikata di Indonesia


sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi geografis, ketersediaan sumber
daya tenaga kesehatan, sarana dan pra sarana fasilitas pelayanan kesehatan, dan
sistem pembiayaan kesehatan (sistem jaminan kesehatan). Dengan kondisi dan
situasi yang amat beragam di berbagai wilayah Indonesia, terdapat beberapa
kendala umum antara lain:
1. Belum terdapat pedoman pengelolaan pasien infeksi intraabdominal
komplikata secara nasional yang bersifat multi disiplin untuk para dokter.
2. Belum ada pedoman pengelolaan pasien infeksi intraabdominal
komplikata secara nasional berdasarkan strata fasilitas kesehatandi dalam
sistem rujukan (Rumah sakit klas A,B,C,D dan Puskesmas)
3. Selama ini masih terdapat perbedaan kebijakan pengelolaan antar divisi
terutama pada permasalahan perioperatif pasien infeksi intraabdominal
komplikata dengan sepsis berat atau dengan penyakit penyerta.
4. Masih tingginya angka morbiditas dan angka mortalitas pasien infeksi
intraabdominal komplikata terutama karena keterlambatan rujukan,
keterlambatan diagnosis, ketidaktepatan atau komplikasi terapi bedah
awal, dan pemberian antibiotika yang tidak rasional, serta terbatasnya
fasilitas perawatan intensif di berbagai rumah sakit.

3
1.2 Tujuan

Tujuan Umum :

 Meningkatkan pelayanan medis di bidang pengelolaan pasien-pasien


infeksi intraabdominal komplikata, baik pada usia anak maupun dewasa,
secara nasional dengan mengutamakan keselamatan pasien.
 Memberikan petunjuk dalam bentuk pedoman nasional penanganan infeksi
intraabdominal komplikata secara holistik dan multi disiplin, mulai pada
tahapan resusitasi, pemberian antibiotika, pengendalian bedah sumber
infeksi, dan perawatan suportif dan intensif pasca operasi pada sistem
rujukan nasional.
Tujuan Khusus :

1. Melengkapi dan meningkatkan pengelolaan infeksi intraabdominal


komplikata pada pelayanan primer, sekunder, dan tersier pada sistem
rujukan nasional.
2. Melengkapi dan meningkatkan fasilitas sarana dan pra sarana rumah
sakit, khususnya, supaya mampu dan siap mengelola pasien infeksi
intraabdominal sesuai standar global.
3. Meningkatkan kemampuan medis tenaga dokter, khususnya dokter
pelayanan primer, spesialis dan sub spesialis yang terlibat dalam
pengelolaan infeksi intraabdominal komplikata.
4. Meningkatkan hasil akhir pengelolaan infeksi intraabdominal
komplikata berdasarkanangka harapan hidup, angka morbiditas dan
angka mortalitas.
5. Memaksimalkan efisiensi pembiayaan dalam pengelolaan infeksi
intraabdominal komplikata.
6. Menyebarluaskan dan mendorongpengelolaan infeksi berdasarkan
praktek kedokteran berbasis bukti ilmiah (evidence based medicine).

4
1.3 Sasaran

 Seluruh dokter umum, dokter spesialis bedah, dan dokter sub spesialis
termasuk juga paramedis yang bekerja di fasilitas kesehatan (puskesmas,
rumah sakit klas D, C, B, dan A) di Indonesia

 Manajemen rumah sakit seluruh Indonesia

 Komite medik rumah sakit seluruh Indonesia

2. Metodologi
2.1. Metode pengumpulan pustaka.

Pedoman dan penelaahan bertitik tolak dari berbagai permasalahan


klinik aktual di dalam pengelolaan infeksi intraabdominal komplikata, mulai
dari masalah diagnosis, resusitasi, terapi bedah, antimikroba, terapi suportif,
serta perawatan holistik perioperatif. Berbagai permasalahan aktual yang
ditemukan di dalam pengelolaan praktis klinik dijadikan topik pembahasandan
kemudian ditelaah dan dijawab melalui penelusuran literatur yang paling sahih
dan relevan. Hasil penelusuran dibahas oleh tim panel untuk ditetapkan
rekomendasinya dengan mempertimbangkan kemampu-laksanaannya di
Indonesia.

2.1.1. Pertanyaan klinis

Pertanyaan klinik ditetapkan berdasarkan berbagai permasalahan


di dalam pengelolaan infeksi intra abdominal, baik pada dewasa
maupun anak. Topik masalah yang dipilih adalah meliputi aspek-aspek
yang menimbulkan variasi pilihan dalam diagnosis, terapi bedah

5
maupun antimikroba, serta pengelolaan perioperatif lainnya.Selain itu,
dipertimbangkan pula berbagai pertanyaan klinis yang menyangkut
sistemrujukan fasilitas kesehatan di dalam sistem pelayanan kesehatan
nasional.

2.1.2. Kata kunci yang digunakan.

Kata kunci yang digunakan pada pedoman ini adalah dalam


bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, kata kunci
yang digunakan adalah intraabdominal infection, peritonitis,
intraabdominal abscess, localized peritonitis, generalized peritonitis,
guidelines, complicated intraabdominal infection, management of
complicated intraabdominal infection, secondary peritonitis, tertiary
peritonitis, intraabdominal sepsis, open abdomen dan staged
laparotomy. Sumber literatur yang tidak berbahasa Inggris tidak
dijadikan sumber daftar pustaka.

Untuk mencari data-data dan hasil-hasil penelitian di Indonesia


digunakan kata kunci yaitu peritonitis, abses intraabdominal, infeksi
intraabdominal, panduan manajemen peritonitis, peritonitis sekunder,
pola penyakit bedah, insidensi peritonitis dan insidensi infeksi
intraabdominal.

2.1.3. Situs web dab basis data yang dikunjungi

Situs web yang dikunjungi adalah melalui jaringan web yaitu


PubMed Central, Cochrane Collaboration, Google, Yahoo, dan
EBSCO.

6
2.1.4. Kriteria inklusi dan ekskulasi
2.1.4.1. Kriteria inklusi
Referensi yang diperoleh berdasarkan kata kunci dari berbagai
situs web dimasukkan ke dalam penyusunan pedoman ini apabila
berupa:

1. Artikel jurnal yang berupa penelitian orisinal baik termasuk dalam


bentuk penelitian klinik diagnostik, terapeutik dan prognosis yang
menyangkut infeksi intraabdominal komplikata pada berbagai
tingkat evidensi.
2. Artikel jurnal yang berupa panduan klinik pengelolaan infeksi
intraabdominal komplikata.
3. Panduan klinik pengelolaan infeksi intraabdominal yang
diterbitkan oleh berbagai situs web organisasi profesi yang
berkaitan dengan pengelolaan infeksi intraabdominal.

2.1.4.2. Kriteria eksklusi


Referensi yang diperoleh berdasarkan kata kunci dari berbagai
situs web dikeluarkan dari penyusunan pedoman ini apabila materi yang
termuat tidak relevan dengan formulasi pertanyaan pada pedoman ini.

2.2. Pernyataan bahwa semua makalah yang dirujuk telah dilakukan telaah
kritis: apakah studinya valid, hasilnya penting, dapat diterapkan secara
konsensus oleh tim panel.

7
2.3. Peringkat bukti:

1++ Meta-analisis berkualitas tinggi, tinjauan sistematik atas penelitian acak


terkontrol (randomized controlled trials) atau penelitian acak terkontrol
dengan risiko bias yang sangat kecil
1+ Meta-analisis yang baik, tinjauan sistematik atas penelitian acak
terkontrol atau penelitian acak terkontrol dengan risiko bias yang kecil
1- Meta-analisis, tinjauan sistematik atas penelitian acak terkontrol atau
penelitian acak terkontrol dengan risiko bias yang besar.
2++ Tinjauan sistematik berkualitas tinggi atas suatu penelitian kohort atau
uji kasus kelola, atau penelitian kohort atau uji kasus kelola dengan
risiko bias yang sangat kecil, atau memiliki probabilitas hubungan
kausal yang tinggi.
2+ Uji kasus-kelola atau uji kohort yang dilakukan dengan baik dengan
risiko bias yang kecil dan mempunyai probabilitas hubungan kausal
yang sedang.
2- Uji kasus-kelola atau uji kohort dengan risiko bias yang besar dan
terdapat risiko bermakna bahwa tidak ada hubungan kausal.
3 Studi non-analitik seperti laporan kasus, laporan serial.
4 Pendapat ahli

2.4. Derajat rekomendasi:

A Paling tidak didukung oleh satu meta-analisis, tinjauan sistematik


penelitian acak terkontrol, atau penelitian acak terkontrol dengan
tingkatan 1++, dan dapat diterapkan pada populasi sasaran, atau;
Sejumlah bukti dari sejumlah penelitian tingkat 1+, dapat diterapkan
pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang konsisten.
B Sejumlah bukti dari beberapa studi tingkat 1- atau 2++, dapat
diterapkan pada populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang
konsisten
C Sejumlah bukti dari beberapa studi tingkat 2+, dapat diterapkan pada
populasi sasaran, dan memperlihatkan hasil yang konsisten
D Bukti ilmiah tingkat 3 atau 4
E Rekomendasi yang didasarkan pengalaman klinik terbaik dari
penyusun panduan
3. Hasil dan diskusi

8
2.4.1. Apa saja prosedur diagnostik awal yang paling tepat untuk
mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita infeksi intra-
abdominal?

Prosedur diagnostik awal yg digunakan untuk mengevaluasi pasien


yang dicurigai menderita infeksi intra-abdomen antara lain yaitu :
 Foto polos perut yang sering menjadi analisis pencitraan
pertama untuk pasien dengan infeksi intra abdomen.
 Foto tegak berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di
bawah diafragma (paling sering di sisi kanan) sebagai indikasi
dari perforasi viscera.Pendekatan diagnostik untuk
mengkonfirmasi sumber infeksi perut pada pasien sepsis
tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien5.
 Ketika pasien stabil, computerized tomography (CT) adalah
modalitas pencitraan yang optimal untuk menilai sebagian
besar kondisi intra-abdominal 5,6.

74. Anamnesis rutin, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium


akan mengidentifikasi pasien-pasien dengan suspek infeksi intra
abdominal dan harusdievaluasi dan dilakukan tatalaksana lebih lanjut
(A)
75. Pada pasien dengan temuan pemeriksaan fisik yang tidak jelas, yaitu
pada pasien dengan keadaan kesadaran menurun, cedera sumsum
tulang belakang atau pasien immunosupresif karena penyakit atau
obat, infeksi intraabdominal harus dicurigai sebagai penyebab infeksi
yang belum diketahui sumbernya. (B)
76. Pemeriksaan penunjang pencitraan tidak perlu dilakukan pada pasien
dengan tanda yang jelas adanya peritonitis difusa atau pada pasien
yang memerlukan tindakan bedah secepatnya. (B)
77. Pada pasien dewasa yang tidak diperlukan laparotomi segera, CT
scan abdomen adalah modalitas pencitraan pilihan untuk menentukan
adanya infeksi intrabdominal dan sumbernya. (A)

9
2.4.2. Kapan resusitasi cairan harus diberikan pada pasien dengan infeksi
intraabdominal?

Resusitasi cairan harus dimulai sedini mungkin pada pasien dengan


sepsisberat. Surviving Sepsis Campaign Guidelines7
merekomendasikan bahwa challenge cairan pada pasien dengan
dugaan hipovolemia dimulai dengan > 1000 ml kristaloid atau 300-500
mL koloid diberikan selama 30 menit. Pemberian cairan lebih cepat
dan volume yang lebih besar mungkin diperlukan untuk pasien dengan
hipoperfusi jaringan karena sepsis.

74. Pasien harus mendapat perbaikan volume cairan intravaskular dengan


segera dan tambahan pengukuran lainnya diperlukan untuk
meningkatkan kestabilan fisiologis. (A)
75. Pada pasien dengan syok septik, resusitasi harus segera dimulai
ketika hipotensi diidentifikasi. (A)
76. Pasien-pasien yang tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan cairan,
terapi cairan intravaskularharus mulai diberikan setelah pasien
dicurigai menderita infeksi intra abdominal. (B)

2.4.3. Kapan antimikroba harus diberikan pada pasien yang dicurigai atau
telah dikonfirmasi menderita infeksi intraabdominal?

Pedoman internasional untuk pengelolaan sepsis berat dan syok septik


merekomendasikan antibiotik intravena dalam satu jam pertama dari
onset sepsis berat dan syok septik dan penggunaan agen spektrum luas
dengan memadai penetrasi situs diduga infeksi. Selain itu, rejimen
antimikroba yang digunakan harus dinilai ulang setiap hari untuk
mengoptimalkan khasiat, mencegah toksisitas, meminimalkan biaya,
dan mengurangi tekanan seleksi mendukung tahan strain.7

10
77. Terapi antimikroba harus dimulai saat dicurigai atau didiagnosis
adanya infeksi intra intraabdominal, untuk pasien dengan syok
septik, antimikroba harus dimulai sesegera mungkin.(A)
78. Pasien tanpa syok septik, terapi antimikroba harus dimulai di ruang
gawat darurat.(B)
79. Kadar antimikroba harus dipertahankan selama tindakan evakuasi
sumber infeksi, jika diperlukan dapat diberikan ulang beberapa saat
sebelum melakukan tindakan.(A)

2.4.4. Bagaimana pengelolaan pasien infeksi intraabdominal yang disertai


dengan sepsis, sepsis berat dan syok septik?

Sepsis pada pasien bedah terus menjadi hal umum dan menjadi
masalah yang berpotensi mematikan. Identifikasi awal dan terapi
berbasis bukti tepat waktu terus merupakan tantangan klinis yang
signifikan bagi penyedia layanan. Pelaksanaan screening sepsis dalam
hubungannya dengan protokol untuk pemberian perawatan berbasis
bukti dan source control yang cepatdapat meningkatkan hasil pasien.8
Awal, resusitasi yang dikelola dengan benar dapat meningkatkan hasil
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik.
Rivers et al. menunjukkan bahwa EGDT mengurangi mortalitas pasien
syok septik yang dirawat di IGD rumah sakit.9

11
11. Pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang berasal dari infeksi
intraabdominal memerlukan dukungan hemodinamik awal (Early
Goal Directed Therapy), kontrol sumber infeksi, dan terapi
antimikroba.(A)

2.4.5. Bagaimana pengelolaan pre operatif pada pasien infeksi


intraabdominal komplikata dengan faktor risiko penyakit penyerta?

Risikokomplikasiperioperatiftergantung padakondisipasiensebelum
operasi, prevalensi penyakit penyerta, danberat sertalamanya tindakan
bedah.10

2.4.5.1. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat


pada pasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta aritmia
cordis?

Dalam kasusiskemia miokardperioperatif dua mekanisme penting


yang harus diperhatikan : (1) ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai aliran darah (2) terlepasnya plak yang akan
mengakibatkan sindroma koroner akut.11
Anamnesis yang cermatsangat penting untukmenemukan
penyakit jantungdan/ataupenyakitpenyertayang akan
menempatkanpasiendalamkategori risikobedahtinggi. Harus
diusahakan untukmengidentifikasikondisi jantungsepertisindrom
koroner yangtidak stabil, anginasebelumnya, atau pernah
menderita Infark miokard, aritmiayang signifikan, dan
penyakitkatup yang berat. Juga harus ditanyakan apakahpasien
memilikiriwayatalat pacu jantung
ataucardioverterimplandefibrillator(ICD) atau
riwayatintoleransiortostatik.11, 12, 13

12
1. Aritmia yang berat harus dikelola pre-operatif (lihat tabel 1). (B)
2. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. (A)
3. Pemeriksaan pre-operatif EKG harus dilakukan pada pasien
dengansetidaknya 1 (satu) risiko klinik kardiovaskuler (riwayat diabetes,
hipertensi, sakit dada, gagal jantung kongestif, penyakit vaskuler perifer,
perokok, kurang gerak, obesitas ) (B)
4. Bila operasi elektif sebaiknya dilakukan pengelolaan terlebih
dahuluterhadap aritmia (berat) pre-operatif.(B)
5. Yang disebut aritmia berat (C) , adalah:
5.1. high-grade atrioventricular block (TAVB dan Mobitz II AVB)
5.2. bradikardi simptomatik
5.3. ventrikular aritmia simptomatik (disertai penyakit jantung)
5.4. aritmia supraventrikular (ventricular rate> 100x/mnt)
5.5. ventricular takikardia yang baru timbul
6. Pengelolaan pre-operatif mencakup pemeriksaan jenis aritmia,
hemodinamik, tekanan darah. (C)
7. Bila operasi cito (tidak dapat ditunda) perhatikan:
- Oksigenasi yang adekuat
- Monitoring EKG
- Hemodinamik jantung
- Dalamnya anestesi
- Opitimasi PaO2, PaCO2 , Keseimbangan asam basa dan elektrolit,
- Konsul kardiologist (C)

2.4.5.2. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat


pada pasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta penyakit
jantung iskemik?

Khusus untuk penyakit jantung, komplikasi perioperatif lebih


sering timbul timbulpada pasien denganriwayat penyakit
jantung iskemik(IHD), disfungsiventrikelkiri (LV), aritmia,
danpenyakit jantung katup(VHD) yang menjalani tindakan
operasi berat yang menimbulkan gangguan hemodinamik atau
stress.

13
1. Penyakit Jantung Iskemik (PJI) merupakan penyebab terjadinya
morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tinggi. (A)
2. Tidak ada perbedaan dalam komplikasi perioperatif antara IMA
preoperatif yangdikelola dengan PCI (percutaneous coronary
intervention) dan dikelola denganobat-obatan (medikamentosa).(B)
3. Operasi emergensi (tidak dapat ditunda) dapat dilakukan dengan
memperhitungkan risikomelalui “Preoperative Risk Assessment”
(lihat tabel 1). (B)

14
Tabel 1
ACC/AHA 2007 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation and Care for
Noncardiac Surgery: Executive Summary
Active Cardiac Conditions for which the patient should undergo evaluation and treatment
before Noncardiac Surgery (Class I, level of Evidence; B)
Condition Examples
Unstables coronary syndromes Unstable or severe angina* (CCS class III or IV)
Recent MI=
Decompensated HF (NYHA
Functional Class IV; worsening or
new-onset HF)
Significant arrhythmias - High-grade atrioventrikular block
- Mobitz II atrioventricular block
- Third-degree atrioventricular heart block
- Third – degree atrioventricular heart block
- Symptomatic ventricular arrhythmias
- Supraventricular arrhythmias (including atrial
fibrilation) with uncontrolled ventricular rate
(HR greater than 100 beats per minute at rest)
- Symptomatic bradycardia
- Newly recognized ventricular tachycardia
Severe valvular disease - Severe aortic stenosis (mean pressure gradient
greater than 40 mmHg, aortic valve area less than
1.0 cm2, or symptomatic)
- Symptomatic mitral stenosis (progressive dypnea
on exertion, exertional presyncope, or HF)
*according to Campeau
+ may include “stable” angina in patients who are unusually sedentary
± The American College of Cardiology National Database Library defines recent MI as
more tham 7 days but less than or equal to 1 month (within 30 days)
CCS indicates Canadian Cardiovascular Society; HF, heart failure; HR, heart rate; MI,
myocardial infarction; NYHA, New York Heart Association
Journal of the American College of Cardiology Vol.50, No.17, 2007.11

15
Tabel 2.
ESC GUIDELINES 2009: Guidelines for pre-operative cardiac risk assessment and
perioperative cardiac management in non-cardiac surger14
Estimasi Risiko* Operasi (modifikasi Boersma dkk)
Risiko Rendah < 1% Risiko Sedang 1-5 % Risiko Tinggi > 5 %
 Payudara  Abdomen  Operasi aorta dan
 Gigi  Carotis mayor vaskular
 Endokrin  Angioplasti arteri perifer  Operasi vaskular
 Mata  Repair aneurisma periperal
 Ginekologi endovascular
 Rekontruksi  Operasi kepala dan leher
 Orthopaedi-minor  Neuro/orthopaedi-mayor
(knee surgery) (hip
 Urologi – minor
*Risiko infark miokard dan kematian karena jantung setelah 30 hari setelah operasi
European Heart Journal Vol. 30, 2009 14

2.4.5.3. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat pada
pasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta diabetes mellitus?

Pasien dengan diabetes, baik tipe-1 maupun tipe-2, lebih mungkin


untuk dirawat ke rumah sakit(untuk kondisi selaindiabetes) danlebih
mungkin untukmenjalani operasiatau prosedurlain
yangberpotensidapat mengganggukontrol gula
darahmereka.Dampakmetabolikoperasi, puasa daninterupsiterhadap
terapiyang biasaberkontribusi untukkontrol gula darah yang buruk,
yang pada gilirannya merupakanfaktor yang signifikanberkontribusi
terhadappeningkatan mortalitas, morbiditasdan lamatinggal di rumah
sakit. Pencegahanterjadinya kejadian hipoglikemik maupun
15,
hiperglikemiamengurangi risikohasil yang merugikanpasca-bedah.
16, 17

16
1. Pemantauan gula darah pre-operatif harus dilakukan pada penderita
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 maupun tipe 2. (A)
2. Penderita DM risiko tinggi (DM tidak terkontrol atau ada komplikasi
DM) harusdiidentifikasi pre-operatif. (B)
3. Untuk berbagai jenis operasi ada perbedaan target gula darah
preoperatif(lihat tabel 3).(B)
4. Terjadinya keadaan hipoglikemi maupun hiperglikemia dapat
merupakankomplikasi dari tindakan operasi. (A)
5. Untuk mencegah hipoglikemi, penderita DM yang dikontrol
denganOral Anti Diabetes (OAD) dianjurkan untuk tidak makan obat
pada pagi hari sebelum operasi. (C)
6. Penderita DM yang dikontrol dengan suntikan insulin, sebaiknya
dosis insulinmalam hari tidak diberikan.(C)
7. Dilakukan pemantauan kadar gula darah post-operatif.(C)

Tabel 3. Rekomendasi target gula darah perioperatif yang harus dicapai:

Consensus Recommendation for target inpatient blood glucose concenrtations

Patient Population Blood Glucose Target Rationale

General medical/ Fasting 90-136 mg/dl Decreased mortality shorter length


surgical Random: <200 md/dl of stay, lower infection rates
Cardiac Surgeri < 150 mg/dl Reduced mortality risk of sternal
wound infections
Critically III < 150 mg/dl Beneficial effect on short term
mortality, morbidity, length of stay
Acuta Neurological 80-140 mg/dl Lack of data, consensus on specific
Disorders target consensus for controlling
hyperglycemia
Joint British Diabetes Societies Guidelines17

2.4.5.4. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat pada
pasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta hipertiroitiroid?

Evaluasi pra operasi pasien dengan penyakit kelenjartiroid, dalam


setiap jenis operasi, harus mencakup kemungkinan intubasi yang sulit

17
disebabkan oleh tiromegali, gangguan status hormonal, atau pengaruh
terhadap organ lainnya terutama kardiovaskular. Hal ini diperlukan
untuk memilih obat yang memadai dan langkah-langkah terapi lainnya
untuk pencegahan dan pengobatan kemungkinan komplikasi di
perioperatif periode, beberapa di antaranya mengancam jiwa (krisis
tiroid dan mixedema koma).18

1. Pasien dengan hipertiroid ringan dapat menjalani operasi dengan


pemberianobat penyekat beta (propranolol 10-40 mg/hari). (B)
2. Operasi dalam keadaan hipertiroid berat harus memperhatikan :
- Peningkatan kadar T3 dan T4 serum dapat menganggu irama
jantung
- Dapat terjadi krisis tiroid (demam, takikardia, gangguan
kesadaran).(B)
3. Pengobatan untuk krisis tiroid,adalah : penyekat beta, iodine,
kortikosteroid.(C)

2.4.5.5. Bagaimana pengelolaan pre-operatif dan saat operasi yang tepat


padapasien peritonitis yang disertai penyakit penyerta disfungsi ginjal?

Disfungsi ginjaladalah gangguanmultisistem. Dapat terjadi gangguan


pengaturan fungsi endokrin (hormonal) dan sekresi (gangguan
keseimbangan caira dan elektrolit). Mengingat berbagai
efekklinismaka perlu dilakukan pendekatan sistematis
untukpersiapanpra operasi, yang meliputi:statusmetabolik, derajat
anemia, pengukuran tekanan darah, control gula darah, status cairan
dan kadarelektrolit, kadar kalsium,fosfor dan PTH, dan statusgizi.19, 20
Gagal ginjal perioperatif dapat terjadi oleh berbagai etiologi melalui
berbagai mekanisme yang dapat dilihat pada tabel 4.

18
Tabel 4. Etiologi & Patofisiologi GGA Peri-Operatif
Pre-operatif Intra-operatif Post-operatif
Berkurangnya Fungsi Ginjal Berkurangnya perfusi ginjal Inflamasi sistemik
Gangguan reno-vaskuler - hipotensi Menurunnya fungsi bilik kiri
Azotemia pre-renal - melemahnya denyut nadi Obat vasoaktif
- akibat diuretik - obat-obatan vasoaktif Gangguan hemodinamik
- puasa - efek anastesi Nefrotoksin
- fungsi bilik kiri jantung ↓ Terjadinya emboli Dehidrasi
Obat hipertensi : ACE-I / Inflamasi Sepsis
ARB Nefrotoksin
Nefrotoksin - hemoglobin bebas
- kontras radiologi
- obat-obatan lain
Inflamasi
Dikutip dari: Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:19-3221

19
1. Gangguan ginjal peri-operatif dapat terjadi pada:
a. Penderita dengan Penyakit Ginjal Krinis (PGK) yang akan
menjalani laparatomi
b. Penderita post-operatif yang menderita Gangguan Ginjal
Akut.(D)
2. Pemeriksaan penunjang preoperatif pada pasien gangguan ginjal,
meliputi : pemriksaan fisik terutama status volume, foto thoraks,
complete blood count, waktu perdarahan, panel ginjal yaitu
natrium, kalium, chlorida, urea N dan kreatinin darah, kalsium dan
bikarbonat, dan asam basa bila kadar bikarbonat < 18 meq/l.
Pemeriksaan elektrolit diulang 2-3 jam sebelum operasi. (C)
3. Indikasi dialisis perioperatif pada pasien Gangguan Ginjal Akut
adalah bila terdapat:
a. satu gejala di bawah ini sudah dapat merupakan indikasi
untuk inisiasi dialysis.
b. dua gejala di bawah ini merupakan indikasi untuk segera
inisiasi dialysis
c. lebih dari dua dari di bawah ini merupakan indikasi untuk
segera inisiasi dialisis walaupun kadarnya belum mencapai
yang tertera dalam tabel 5.
Tabel 5.:Indikasi dan kriteria untuk inisiasi TPG pada GgGA di ICU

1 Oliguria ( output urin <200 cc/12 jam)


2 Anuria/oliguria berat ( output urin < 50 cc/12 jam)
3 Hiperkalemia ( K+> 6.5 mmol/L)
4 Asidosis berat (pH< 7.1)
5 Azotemia (Urea > 30 mmol/liter)
6 Gejala klinik berat ( terutama edema paru)
7 Ensefalopati uremik
8 Perikarditis uremik
9 Neuropati/miopati uremik
10 Disnatremia berat ( Na >160 atau < 115 mmol/L )
11 Hipertermia / hipotermia
12 Overdosis obat –obatan yang terdialisis
Dikutip dari :Kidney Int 1998;53(66)22

20
2.4.6. Bagaimana pengelolaan pre operatif pada pasien infeksi intra-
abdominal komplikata dengan faktor risiko penyakit penyerta?

Pemberian antibiotika terapeutik dan terapi suportif disfungsi organ


menjadi terapi utama karena terjadi infeksi dan disrupsi anatomi pada
organ intraabdominal tersebut sehingga meluas ke peritoneum baik
secara lokal atau pun secara difus/generalisata Oleh karena itu,
pengelolaan infeksi intraabdominal komplikata membutuhkan
pendekatan secara multidisiplin di dalam suatu tim dan sarana serta
prasarana yang komplikata dan lengkap.22

2.4.7. Kapan dan bagaimana spesimen mikrobiologi harus diambil dan


diproses?

Terapi antibiotik inisal untuk infeksi intraabdominal merupakan


terapi empiris dikarenakan pasien memiliki kebutuhan dan perhatian
yang segera sedangkan data mikrobiologi seperti kultur dan
suseptibilitas memerlukan waktu 48 jam sebelum terkumpul menjadi
data analisis yang terperinci.23 Hasil analisis mikrobiologis sangat
membantu untuk menentukan strategi terapi untuk pasien secara
individual untuk menyesuaikan pemberian antibiotik yang adekuat.

21
18. Kultur darah tidak memberikan informasi yang berkorelasi secara
klinis pada pasien dengan infeksi intraabdominal yang didapat
melalui komunitas, sehingga hal ini tidak dianjurkan secara rutin.
(B)
19. Jika pasien tampak secara klinis sangat lemah atau mengalami
immunokompromi, pengetahuan adanya bakterimia dapat
membantu menentukan durasi terapi antimikroba. (B)
20. Pada pasien dengan infeksi yang didapat dari komunitas, tidak ada
nilai lebih dalam melakukan tindakan rutin yaitu pewarnaan Gram
pada materi terinfeksi .(C)
21. Pewarnaan gram diperlukan untuk melihat adanya infeksi jamur,
pada infeksi yang berhubungan dengan pekerja kesehatan (C)
22. Kultur aerob dan anaerob rutin dari pasien risiko rendah dan infeksi
komunitas dapat dipikirkan sebagai hal yang bersifat pilihan yang
dapat berfungsi secara epidemiologi untuk mengetahu perubahan
resistensi kuman yang berhubungan dengan infeksi komunitas dan
sebagai petunjuk tindak lanjut dari terapi oral.(B)
23. Kultur rutin dan resistensi dapat dilakukan pada pasien appendicitis
dan yang didapat dari komunitas , apabila terdapat resistensi yang
signifikan (10-20% isolat) pada infeksi yang didapat dari
komunitas. (B)
24. Kultur anerob tidak diperlukan pada pasien dengan IIA yang
didapat komunitas jika antibiotic empiris secara aktif melawan
infeksi. (B)
25. Untuk pasien risiko tinggi. Kultur dari tempat infeksi harus
dilakukan terutama pasien dengan terapi antibiotic sebelumnya
yang kemungkinan besar diinfeksi oleh bakteri resisten (A)
26. Specimen yang didapatkan dari focus intraabdomen harus
mencukupi dan mewakili sebagai materi yang berhubungan dengan
kinis infeksi (B)
27. Tes kerentanan untuk pseudomonas, proteus, acinetobacter,
staphylococcus aureus, dan predominan enterobactericeae harus
dilakukan karena spesies ini kemungkinan besar yang akan tumbuh
(A)

22
2.4.8. Apa saja regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien dengan
infeksi intraabdominal ringan sampai moderat yang didapat dari
komunitas?

Design empiris untuk regimen antimikroba bergantung pada berat


ringannya infeksi yang mendasarinya dan patogen yang diperkirakan
terlibat di dalamnya dan faktor resiko yang mengindikasikan pola
resistensi mayor. Memperkirakan patogen dan pola resistensi yang
potensial terhadap infeksi yang terjadi dengan cara menentukan
apakah infeksi tersebut diperoleh dari lingkungan atau dari tempat
perawatan. 24

23
29. Antimikroba yang digunakan secara empiris harus aktif terhadap
bakteri enterik gram negatif aerobik dan basil fakultatif dan
streptokokus enterik gram positif. (A)
30. Antimikroba yang digunakan harus mencakup basilus anerobik obligat
pada Infeksi yang berasal dari kolon, apendiks, dan distal usus kecil
dan perforasi gastrointestinal yang lebih proksimal dengan adanya ileus
obstruksi atau paralitik (A)
31. Untuk pasien dewasa dengan infeksiderajat ringan dan sedang,
penggunaan tikarsiklin-kalvulanat, cefoxitin, ertapenem, moxifloxacin,
atau tigarcyclin sebagai terapi tunggal atau kombinasi metronidazole
dengan cefazolin,cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime, levofloxacin,
atau ciprofloxacin adalah regimen pilihan yntuk infeksi dengan
aktivitas anti pseudomonal (A)
32. Ampisilin sulbaktam tidak direkomendasikan untuk digunakan karena
tingginya resistensi pada Infeksi intraabdominal dari komunitas yang
disebabkan E coli (B)
33. Cefotetan dan klindamisin tidak direkomendasikan karena adanya
peningkatan prevalensi resistensi agen ini pada kelompok Bacteroides
Fragilis (B)
34. Oleh karena tersedianya antimikroba yang kurang toksik dan
efektivitasnya sepadan, aminoglikosid tidak direkomendasikan untuk
penggunaan rutin pada infeksi infeksi intraabdomendari komunitas. (B)
35. Antibiotik empiris yang efektif untuk enterococcus tidak diperlukan
pada pasien dengan infeksi intraabdominal dari komunitas. (A)
36. Terapi antifungal empiris untuk candida tidak direkomendasikan untuk
dewasa dan anak dengan infeksi intraabdominal dari komunitas. (B)
37. Penggunaan agen antibiotik untuk derajat lebih tinggi pada infeksi
intraabdominal dari komunitas atau yang berhubungan dengan tenaga
kesehatan tidak diperbolehkan untuk kelainan derajat ringan sedang
karena toksisitas yang lebih tinggi dan meningkatkan resistensi. (B)
38. Untuk pasien dengan IIAringan sedang termasuk diverticulitis akut
dan berbagai bentuk apendisitis, yang tidak melakukan evakuasi
sumber infeksi langsung, direkomendaikan menggunakan regimen
yang sudah tercata denngan kemungkinan terapi oral lebih awal. BIII

24
2.4.9. Apa saja regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien dengan
infeksi intraabdominal berat yang didapat dari komunitas?

Untuk pasien dengan infeksi intraabdominal yang didapat dari


komunitas, agen dengan spektrum aktifitas yang lebih sempit lebih
dipilih. Namun apabila sebelumnya pasien telah mendapatkan
antibiotik atau dengan komorbid yang lebih serius yang memerlukan
jangkauan antibiotik yang lebih luas maka regimen antimikroba
dengan spektrum yang lebih luas lebih dipilih.25

39. Penggunaan secara empiris antibiotic dengan aktivitas sprektrum


luas terhadap gram negated termasuk meropenem, imipenem
cilastatin, doripenem, piperacillin-tazobactam, ciprofloksasin,
levofloxacindengan kombinasi dengan metronidazole atau
ceftaqzidime atau cefepime dengan ombinasi dengan
metronidazoledirekomendasikan pada pasien dengan IIA komunitas
derajat tinggi, yang didefinisikan sebagai skor APACHE II > 15
atau variable lainnya yang ditulis pada table I (AI)
40. E coli resisten quinolin menjadi sangat umum pada beberapa
komunitas dan quinolon tidak seharusnya digunakan kecuali di
penelitian RS mengindikasikan adanya kerentanan > 90% dari E
coli terhadap quinolon (BIII)
41. Aztreonam plus metronidazole adalah alternative tetapi tambahan
pada agen ayang aktif melawan kokus gram positif adalah hal yang
direkomendasikan. BIII
42. Pada dewasa, penggunaan rutin aminoglikosida dan agen kedua
yang efektif melawan bacillus gram negative fakultatid dan erobik
tidak direkomendasikan pada tidak adanya bukti dari pasien yang
mengidap organism resisten yang memerlukan terapi tersebut.
43. Penggunaan agen yang efektif terhadap enterokokus secara empiris
adalah hal yang direkomendasikan (BII)
44. Penggunaan agen yang efektif terhadap MRSA atau jamur tidak
direkomendasikan tanpa ada bukti jelas adanya keterlibatan
organism tersebut. BIII
45. Pada pasien dengan risiko tinggi, regimen antiminroba harus
disesuaikan dengan kultur dak laporan kerentanan untuk
memastikan kemampuan aktivitas terhadap pathogen yang
predominann yang diisolasi dari kultur. AIII

25
Tabel 6
Grading of Recommendations from Guyatt and colleagues

Grade of Clarity of Quality of Supporting Implications


Recomendation Risk/Benefit Evidence
1A
Strong Benefit clearly, RCTs without Strong
recommendation, outweigh risk and important limitation recommendation,
high-quality evidence burdens, or vice versa or overwhelming applies to most
evidence from patient in most
observational studies circumstances
without reservation
1B
Strong Benefit clearly, RCTs without Strong
recommendation, outweigh risk and important limitation recommendation,
moderately-quality burdens, or vice versa (inconsistence applies to most
evidence results, patient in most
methodological circumstances
flaws, indirect or without reservation
imprecise) or
eceptionaly strong
evidence from
observational studies
1C
Strong Benefit clearly, Obsevational studies Strong
recommendation, outweigh risk and or case series recommendation
very low-quality burdens, or vice versa based on limited
evidence evidence,
recomendation may
change when higher
quality or more
extensive evidence
becomes available
2A
Weak recomendation, Benefit closely, RCTs without Weak
high-quality evidence balance with risk and important limitation recommendation,
burdens or overwhelming best action may differ
evidence from depending on
observational studies circumtances,
expertise of clinician,
the patient in
question, or other
social issue
2B
Weak recomendation, Benefit closey, RCTs without Weak
moderate-quality balance with risk and important limitation recommendation,
evidence burdens (inconsistence best action may differ
results, depending on
methodological circumtances,
flaws, indirect or expertise of clinician,
imprecise) or the patient in
eceptionaly strong question, or other
evidence from social issue
observational studies
2C

26
Weak recomendation, Uncertainty in the Observational studies Very weak
low-quality or very estimates of benefits, or case series recommendation
low quality evidence risks, and burdens; other alternatives
benefits, risks, and may equaly
burdens may be reasonable
closely balanced
Dikutip dari : Sartelli. World Journal of Emergencu Surgery 2013,8 :3.4

2.4.10. Apa saja regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien dengan
infeksi intraabdominal yang didapat dari rumah sakit khususnya
yang disebabkan oleh Kandida, Enterokokus, dan MRSA?

Terapi antifungal empiris untuk spesies Candida direkomendasikan


untuk pasien dengan infeksi nosokomial dan pasien dengan penyakit
kritis dengan infeksi yang didapat dari komunitas. Meskipun profil
epidemiologi spesien Candida belum didefinisikan dalam konteks
peritonitis nosokomial, keberadaan klinisnya signifikan dan sering
memiliki prognosis yang buruk.26

27
58. Antibiotik empiris yang digunakan untu terapi IIA tenakes harus
ditentukan dari hasil penelitian mikroiologi local. (A)
59. Untuk mendapatkan cakupan empiris dari pathogen yang paling
sering menyebabkan infeksi, regimen multidrug yang meliputi agen
dengan spectrum yang diperluas melawan gram negative aerob dan
basilus fakultatif dapat diperlukan. Agen ini meliputi meropenem,
imipenem cilastatin, doripenem, piperacillin tazobactam, atau
ceftazidime atau cefepime dengan kombinasi dengan
metronidazole. Aminoglikosida atau colistin dapat diperukan table
3(B)
60. Terapi antimikroba sprektum luas dapat digunakan ketika kutur
dan hasil kerentanan sudah ada, untuk mengurangi jumlah dan
spectrum obat yang digunakan (B)

Terapi Anti Jamur

61. Terapi antijamur pada pasien dengan IIA komunitas atau tenakes
derajat berat direkomendasikan apabila candida tumbuh pada kultur
intraabdomen BII
62. Flukonazole adalah terapi yang tepat untuk terapi apabila candida
albicans diisolasi BII
63. Untuk candida spesies yang resistem terhadap flukonazole, terpai
dengan echinocandin (caspofungin, micafungin, atau
anidulafungin) masih dibenarkan (BIII)
64. Untuk pasien dengan sakit kritis, terapi awal dengan echinocandin
selain triazole adalah direkomendasikan (BIII)
65. Karena tingkat toksisitas, amphotericin b tidak direkomendasikan
sebagai terapi awal (BII)
66. Pada neonates, terapi empiris antifungal harus segera dimulai jika
infeksi candida dicurigai. Jika C albicans diisolasi, flukonasole
adalah terapi pilihan BII)

Terapi Anti-Enterococcal

67. Terapi antibiotik untuk enterococci harus diberikan ketika


enterococci didapatkan pasien dengan IIA tenakes (B)
68. Terapi antimicrobial untuk enterococci harus diberikan ketika
enterococci ditemukan pada pasien dengan infeksi health-care
associated (B)
69. Terapi empiric anti-enterococcal direkomendasikan untuk infeksi
intra-abdominal health care-assosiated, khususnya pada infeksi post
operasi, sebelumnya mendapat terapi sefalosporin atau antimikrobil
lainnya yang seletif untuk Enterococcus spesies, pasien
immunocompromissed, dan pasien dengan penyakit katup jantung
atau alat prosthetic intravascular (B).

28
58. Terapi anti-enterococcal empiric inisial harus melawan langsung
Enterococcus faecalis. Antibiotik yang terpilih seperti ampicillin,
piperacillintazobactam, dan vancomycin (B).
59. Terapi empiric yang melawan langsung Enterococcus faecium yang
resisten terhadapvancomycin tidak direkomendasikan kecuali
pasien dengan resiko tinggi infeksi karena organisme ini, seperti
pada penerima transplantasi hepar dengan infeksi intra-abdominal
yang sumbernya dari system hepatobilliary atau pasien yang
diketahui terkolonisasi E.faecium yang resisten vancomycin (BIII).

Terapi Anti-MRSA

60. Perlindungan antimicrobial empirik yang secara langsung melawan


MRSA harus diberikan pada pasien dengan infeksi yang
berhubungan dengan tenaga kesehatan yang diketahui telah
terkolonisasi organisme ini dikarenakan kegagalan terapi awal dan
paparan antimikroba yang signifikan (BII).
61. Vancomicyn direkomendasikan untuk terapi pasien yang dicurugai
atau terbukti terdapat infeksi intra-abdominal karena MRSA (AII).

2.4.11. Apakah strategi diagnostik dan terapi antimikroba yang paling tepat
untuk cholecystitis dan cholangitis akuta?

Kolesistitis akut umumnya prognosisnya baik. Akan tetapi


membutuhkan pengobatan yang tepat jika kolesistitisnya merupakan
gangrenosa, kolesistitis emphysematous, atau torsi dari kandung
empedu. Perkembangan kolesistitis akut dari ringan hingga parah
berarti menunjukkan adanya disfungsi multi organ. Skor disfungsi
organ digunakan untuk mengevaluasi disfungsi organ pada pasien
kritis. Ketika kolesistitis akut disertai oleh kolangitis akut, kriteria
untuk penilaian keparahan kolangitis akut juga diperhitungkan. Usia
lanjut bukanlah kriteria untuk keparahan sendiri, tetapi menunjukkan
kecenderungan untuk menjadi parah namun tidak termasuk dalam
kriteria untuk penilaian keparahan.27

29
62. Ultrasonography merupakan teknik pencitraan pertama yang
digunakan untuk pasien yang dicurugai dengan cholecystitis akut
atau cholangitis (AI).
63. Pasien yang dicurigai dengan infeksi cholecytitis akut atau
cholangitis harus mendapat terapi antimicrobial, seperti yang
direkomendasikan di tabel7, walaupun terapi anaerob tidak
diindikasikan kecuali terdapat anastomosis biliary-enterik (BII).
64. Pasien yang akan menjalani cholecystectomy karena cholesistitis
akut harus mendapat terapi antimicrobial yang dihentikan dalam
waktu 24 jam kecuali terbukti terdapat infeksi di luar dinding
kantung empedu (BII).
65. Untuk infeksi biliary community-acquired, aktivitas antimicrobial
melawan enterococci tidak dibutuhkan, karena patogenitas
enterococci tidak muncul. Untuk pasien dengan imunosupresi,
khususnya pasien dengan transplantasi hepar, mungkin signifikan
terinfeksi enterococcal dan dibutuhkan terapi (BII).

2.4.12. Apakah regimen antimikroba yang paling tepat untuk pasien


pediatrik dengan infeksi intraabdominal yang didapat dari
komunitas?

Pemilihan terapi antimikroba yang spesifik pada pasien anak dengan


infeksi intra abdominal komplikata harus didasarkan pada
pertimbangan asal infeksi (community vs health care), tingkat
keparahan penyakit dan keamanan antimikroba terhadap kelompok
umur anak yang spesifik.27

30
66. Penggunaan rutin antimicrobial broad-spektrum tidak diindikasikan
pada pasien anak dengan demam dan nyeri abdominal yang tidak
mendukung adanya appendicitis komplikasi atau infeksi intra
abdomen lainnya. (BIII).
67. Pemilihan antimicrobial specific harus berdasarkan sumber infeksi
(antara community atau health care), tingkat keparahan penyakit,
dan tingkat keamanan antimicrobial yang spesisk pada pasien anak
umur tertentu (AII).
68. Antimicrobial broadspektrum yang dipilih seperti regimen dengan
bahan dasar aminoglycoside, carbapenem (imipenem, meropenem,
or ertapenem), b-lactam/b-lactamase–inhibitorkombinasi
(piperacillin-tazobactam or ticarcillinclavulanate), atau golongan
cephalosporin (cefotaxime, ceftriaxone, ceftazidime, atau
cefepime) dan metronidazole (Tabel7dan 8) (B-II).
69. Untuk anak-anak dengan reaksi berat terhadap antibiotic b-lactam,
ciprofloxacin ditambah metronidazole atau regimen aminoglikosida
direkomendasikan. (BIII).
70. Necrotizing enterocolitis pada neonatus ditatalaksana dengan
resusitasi cairan, antibiotic broadspektrum intravena (yang
potensial termasuk antijamur), dandekompresi usus. Intervensi
segera atau emergensi, yang terdiri dari laparotomy atau drainage
perkutaneus, harus di lakukan ketika terbukti adanyaperforasi usus.
Pengambilan sampel intraoperatif untuk pewarnaan gram dan
kultur harus dilakukan. (BIII).
71. Antibiotik broad spectrum mungkin berguna pada neonatus dengan
kondisi ini, seperti ampicillin, gentamicin, and metronidazole;
ampicillin, cefotaxime, dan metronidazole; atau meropenem.
Vancomicin mungkin digunakan disamping ampisilin untuk yang
dicurigai MRSA atau infeksi ampicillin-resistant enterococcal
infection. Fluconazole atau amphotericin B seharusnya digunakan
jika hasil pewarnaan gram atau kultur yang diambil saat operasi
terdapat infeksi jamur. (BII).

Pertimbangan Farmakokinetik

72. Terapi empirik pada pasien dengan infeksi intraabdominal yang


komplikasi dibutuhkan penggunaan antibiotic dosis optimal untuk
mendapat efikasi yang maksimal dan toksisitas minimal dan untuk
mengurangi resistensi antimicrobial (tabel 5 dan 6) (B).
73. Penggunaan aminoglikosid secara individu tergantung pada massa
tubuh dan perkiraan volume cairan ekstraseluler pada pasien
dengan infeksi intraabdominal. (B)

31
Tabel 7
Antimikroba yang dapat digunakan untuk terapi inisial infeksi intra-abdominal
komplikata pada pasien pediatrik
Regimen Community-acquired infection in pediatric patients
Single agent Ertapenem, meropenem, imipenem-cilastatin, ticarcillin-
clavulanate, and piperacillin-tazobactam
Combination Ceftriaxone, cefotaxime, cefepime, atau ceftazidime, each in
combination with metronidazole; gentamicin or tobramycin,
each in combination with metronidazole or clindamycin, and
with or without ampicillin

Tabel 8
Antimikroba yang dapat digunakan untuk terapi empiric inisial infeksi intra abdominal
komplikata pada pasien pediatrik
Antibiotic, age range Dosage Frequency of dosing
Amikacin 14-22.5 mg/kg/day Every 8-24 h
Ampicillin-sodium 200 mg/kg/day Every 6 h
Ampicillin-sulbactam 200 mg/kg/day of ampicillin component Every 6 h
Aztreonam 90-120 mg/kg/day Every 6-8 h
Cefepime 100 mg/kg/day Every 12 h
Cefotaxime 150-200 mg/kg/day Every 6-8 h
Cefotetan 40-80 mg/kg/day Every 12 h
Cefoxitin 160 mg/kg/day Every 4-6 h
Ceftazidime 150 mg/kg/day Every 8 h
Ceftriaxone 50-75 mg/kg/day Every 12-24 h
Cefuroxime 150 mg/kg/day Every 6-8 h
Ciprofloxacin 20-30 mg/kg/day Every 12 h
Clindamycin 20-40 mg/kg/day Every 6-8 h
Ertapenem
3 month to 12 years 15 mg/kg twice daily (not exceed 1 g/day) Every 12 h
≥ 13 years 1 g/day Every 24 h
Gentamycin 3-7.5 mg/kg/day Every 2-4 h
Imipenem-cilastatin 60-100 mg/kg/day Every 6 h
Meropenem 60 mg/kg/day Every 8 h
Metronidazole 30-40 mg/kg/day Every 8 h

32
Piperacillin-tazobactam 200-300 mg/kg/day of piperacilin Every 6-8 h
component
Ticarcillin-clavulanate 200-300 mg/kg/day of ticarcilin Every 4-6 h
component
Tobramycin 3.0-7.5 mg/kg/day Every 8-24 h
Vancomycin 40 mg/kg/day as 1 h infusion Evry 6-8 h

2.4.13. Bagaimana menggunakan hasil kultur mikrobiologik untuk


menyesuaikan terapi antimikroba?

Hasil analisis mikrobiologi sangat membantu dalam merancang


strategi terapi untuk pasien individu untuk menyesuaikan perawatan
antibiotik dan memastikan memadai cakupan antimikroba.28
Meskipun telah didokumentasikan bahwa bakteriologi kultur
memiliki dampak kecil pada program pengobatan kondisi umum
28
seperti usus buntu , di era ini dari umum mikroorganisme yang
resistan terhadap obat yang terlibat dalam kedua infeksi nosokomial
dan komunitas-diperoleh, ancaman resistensi merupakan sumber
keprihatinan utama yang tidak bisa diabaikan. 28

33
74. Pasien infeksi intra abdominal community-acquired resiko resiko
rendah tidak membutuhkan penambahan terapi jika hasil respon
klinis membaik terrhadap source control dan terapi inisial
diberikan, walaupun jika pathogen tidak dicurigai dan tidak diterapi
dilaporkan terlambat (B).
75. Jika bakteri yang resisten telah diidentifikasi pada awal intervensi
dan terdapat tanda infeksi yang menetap, terapi langsung terhadap
pathogen direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit yang
tingkat keparahannya rendah (B).
76. Penggunaan hasil kultur dan sensibilitas untuk menentukan terapi
antimicrobial pada pasien community-acquired keparahan tinggi
harus berdasarkan sifat potensial patogenitas dan densitas dari
organisme yang teridentifikasi (B).
77. Mikroba ditemukan dari kultur darah harus dianggap signifikan jika
menunjukan potensi patogenik atau terdapat pada hasil dua kultur
darah (AI) atau jika mikroba ditemukan dengan konsentrasi
moderate atau tinggi dari sampel drainage yang diambil (B).

2.4.14. Berapa lamakah durasi terapi antimikroba yang paling tepat untuk
infeksi intraabdominal komplikata?

Terapi antibiotik awal untuk IAIS biasanya empiris karena pasien


membutuhkan perhatian segera, dan data mikrobiologi (kultur dan
kerentanan hasil) dapat membutuhkan sampai 48 jam sebelum
mereka tersedia untuk analisis yang lebih rinci. IAIS dapat diobati
dengan baik satu atau beberapa antimikroba rejimen tergantung pada
persyaratan kisaran cakupan antimikroba.24
Pedoman internasional untuk pengelolaan berat sepsis dan syok
septik merekomendasikan antibiotik intravena dalam satu jam
pertama dari onset sepsis berat dan syok septik dan penggunaan agen
spektrum luas dengan memadai penetrasi situs diduga infeksi. Selain
itu, rejimen antimikroba yang digunakan harus dinilai ulang setiap
hari untuk mengoptimalkan khasiat, mencegah toksisitas,

34
meminimalkan biaya, dan mengurangi tekanan seleksi mendukung

78. Terapi antimicrobial untuk infeksi yang ada hanya terbatas 4-7 hari,
kecuali bila sulit mendapat source control yang adekuat. Durasi lebih
lama dari terapi tidak berhubungan dengan peningkatan hasil
keluaran (BIII).
79. Untuk perforasi akut gaster dan jejunum proksimal, dengan tidak
adanya terapi pengurangan asam atau malignancy dan ketika source
control didapatkan dalam wakty 24 jam, terapi profilaksis antiefektif
pada cocci aerobic gram positif untuk 24 jam harus adekuat (BII).
80. Adanya keterlambatan operasi untuk akut gaster dan perforasi
jejunum proximal, adanya malignancy gaster atau adanya terapi
untuk mengurangi keasaman gaster, terapi antimicrobial untuk
melawan mixed flora (seperti, yang terlihat pada infeksi colon yang
terkomplikasi) harus diberikan (BIII)
81. Trauma Usus yangdisebabkantrauma penetrasi, tumpul,
atauiatrogenikyangdiperbaikidalam waktu 12jamdan
kontaminasiintraoperatiflainnyadarioperasiyang terkontaminasi
isienterik
harusdiobati dengan antibiotik untuk 24jam (AI).
82. Appendicitis akuttanpa buktiperforasi, abses,
atauperitonitislokalhanya membutuhkanpemberian
rejimenprofilaksisspektrumsempityang aktif
terhadapaerobikdanfakultatifdanobligatanaerob; pengobatan
harusdihentikandalam waktu 24jam(A-I).
83. Pemberianantibiotikprofilaksis
untukpasiendenganpankreatitisnekrosis
tahan strain.29
yangparahsebelumdiagnosisinfeksi,tidak dianjurkan(A-I).

2.4.15. Apakah indikasi pemberian antimikroba oral dan rawat jalan dan
regimen apakah yang harus digunakan?

Setelah loading awal tercapai, disarankan agar dokter menilai kembali


rejimen antimikroba harian, diberikan bahwa perubahan patofisiologi
mungkin terjadi secara signifikan mengubah disposisi obat pada
pasien sakit kritis. Dosis yang lebih rendah dari standar obat
diekskresi melalui ginjal harus diberikan dengan adanya gangguan
fungsi Ginjal, sedangkan dosis yang lebih tinggi dari standar renally

35
obat diekskresikan mungkindiperlukan untuk eksposur optimal dalam
pasien dengan hiperfiltrasi glomerulus.30

74. Untuk anak-anak dan orang dewasa dengan tanda-tanda dan


gejalainfeksi yang terobati, tidak ada terapi antibiotik lebih lanjut
diperlukan(B-III).
75. Untuk orang dewasa yang pulih dari infeksi intra-abdominal,
pemberian antimikroba lanjutandalam bentuk oral
moksifloksasin,ciprofloxacin ditambah metronidazol,
levofloxacin ditambahmetronidazole, sefalosporin oral dengan
metronidazole,atau amoksisilin-asam klavulanat (B-II) dipilih
untuk pasien yang pada hasil tes resistensi tidak menunjukkan
resistensi (B-II).
76. Jika tes kultur dan sensitivitas mengidentifikasi organismeyang
hanya rentan terhadap terapi intravena, terapi tersebutdapat
diberikan di luar rumah sakit (B-III).
77. Untuk anak-anak, manajemen antibiotik parenteral untuk rawat
jalanmungkin dipertimbangkan ketika prosedur drainase
berikutnyamungkin tidak diperlukantetapi gejala infeksi
intraabdominal yang sedang berlangsungbertahan, untuk
menurunkandemam, nyeri terkontrol, kemampuan untuk
mentolerir cairan oral, dan kemampuan untuk rawat jalan (B-II).
78. Untuk terapi oral step down pada anak-anak, kultur intra-
abdominalpada saat prosedur drainase yang
direkomendasikanuntuk memungkinkan penggunaan spektrum
sempit, toleransi terbaik,dan terapi oral paling aman.
Cephalosporin generasi kedua atau ketiga yang dikombinasi
dengan metronidazole, atau amoksisilin-klavulanat, mungkin
menjadi pilihan jika organisme terisolasirentan terhadap agen-
agen ini. Fluoroquinolones, seperti ciprofloxacinatau
levofloksasin, dapat digunakan untuk mengobati Pseudomonas
yang rentan, spesies Enterobacter, Serratia, dan Citrobacter (B-
III).Jikaciprofloxacinataulevofloksasindigunakan,
metronidazolharusditambahkan.
79. Hasiltes sensitivitas obatdari gram negatifaerobikdan
organismefakultatif, jika tersedia, harus digunakan
sebagaipanduan untukpemilihanagenpada anak-anakdan orang
dewasa(B-III).
80. Karena banyakpasien yangdikelolatanpaprosedursource
controlprimer mungkindirawat sebagairawat jalan, rejimenoral
direkomendasikan (lihat rekomendasi83dan86) juga dapat
digunakanbaik sebagaiterapi primeratau terapistep down yang
mengikuti terapi antimicrobial intravena (BIII).

36
2.4.16. Bagaimana cara mengelola kegagalan terapi pada infeki
intraabdominal?

Pengelolaan pada pasien dengan gagal terapi infeksi intraabdomen.


yaitu dengan pendekatan berbasis antimikroba yang melibatkan dua
hal yaitu pengoptimalan terapi empiris dan pembatasan antimikroba
yang berlebihan untuk meminimalkan tekanan selektif resistensi
obat.31
Memperpendek durasi terapi antimikroba pada pengobatan infeksi
intra-abdominal adalah strategi penting untuk mengoptimalkan
perawatan pasien dan mengurangi penyebaran resistensi antimikroba.

81. Pada pasien yang memiliki bukti klinis infeksi intra-abdominal


persisten atau berulangsetelah 4-7 hari terapi,investigasi
diagnostik yang tepat harus dilakukan. Iniharus mencakup CT
atau pencitraan USG. Terapi antimikroba yang efektif terhadap
organisme yang teriidentifikasi awal harusdilanjutkan (A-III).
82. Sumber infeksi ekstra-abdominal dan kondisi peradangan yang
tidak menularjuga harus diselidiki jika pasientidak mengalami
respon klinis yang memuaskan secara mikrobiologis dari awal
rejimen antimikroba empiris(A-II).
83. Untuk pasien yang pada awalnya tidak merespon dan untuk
pasien dengan fokus infeksi tetap, baik tes kultur aerobik dan
anaerobik harus dilakukan dari 1 spesimen, asalkan volume yang
cukup (minimal 1,0 mL cairan atau jaringan) dandiangkut ke
laboratorium dalam sistem transportasi anaerobik(C-III).
Inokulasi 1-10 mL cairan langsung ke botol kultur darah
anaerobdapat meningkatkan hasil.

2.4.17. Apa saja unsur yang terpenting di dalam menetapkan clinical


pathway lokal pada appendicitis?
Pada appendisitis yang berkelanjutan, akan menyebabkan terjadinya
ruptur dari appendiks. Obstruksi pada proksimal lumen appendiks

37
menyebabkan terjadinya sumbatan closed-loop, dan normal sekresi
yang terus menerus dari mukosa appendiks secara cepat
menyebabkan terjadinya distensi. Distensi dari appendiks
merangsang saraf afferent visceral, menghasilkan nyeri yang luas di
abdomen tengah atau epigastrium bawah. Distensi terus meningkat
seiring dengan sekresi mukosa yang terus menerus dan multiplikasi
yang cepat dari bakteri yang ada di appendiks. Hal ini menyebabkan
terjadinya mual dan muntahn dan nyeri visceral semakin bertambah.
Seiring dengan meningkatnya tekanan di appendiks, tekanan vena
meningkat. Kapiler dan venule tersumbat, tetapi aliran arteri tetap,
menyebabkan pembuluh darah melebar dan kongesti. Inflamasi
kemudian meluas sampai ke serosa appendiks hingga ke parietal
peritoneum. Ini menyebabkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kanan bawah. Mukosa appendiks rentan terhadap kerusakan
pembuluh darah, jadi pada awal proses akanterganggu, yang akan
menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Oleh karena adanya distensi,
invasi bakteri, tergangunya suplai pembuluh darah, dan proses
infark, perforasi terjadi, biasanya pada lapisan antimesenterik tepat
di bawah lokasi obstruksi.32

38
84. Rumah sakit lokal harus menetapkan jalur klinis untuk standarisasi
diagnosis, manajemen di rumah sakit, keuar dari rumah sakit, dan
manajemen rawat jalan(B-II).
85. Jalur managemen harus dirancang dengan kolaborasi dokter yang
terlibat dalam perawatan pasien tersebut, termasuk tidak
terbatasuntuk ahli bedah, spesialis penyakit menular, praktisi
perawatan primer,dokter pengobatan darurat, ahli radiologi, kepala
keperawatan, dan apoteker, dan harus mencerminkan sumber daya
lokaldan standar lokal perawatan (B-II).
86. Meskipun tidak ada temuan klinis yang tegas dalam
mengidentifikasipasien dengan radang usus buntu, kumpulan
temuan,termasuk nyeri perut terkarakteristik, nyeri tekan local
abdomen, dan bukti laboratorium adanya peradangan akut,
umumnya mengidentifikasi kebanyakan pasien yang diduga
apendisitis(A-II).
87. Helical CT dari abdomen dan pelvis dengan intravena,tapi tidak
melalui mulut atau dubur, kontras adalah prosedur pencitraan
direkomendasikanuntuk pasien yang diduga apendisitis (B-II).
88. Semua pasien wanita harus menjalani pencitraan diagnostik.Mereka
yang berpotensi melahirkan anak harus menjalani pengujian
kehamilansebelum pencitraan dan, jika pada trimester pertama
kehamilan,harus menjalani USG atau resonansi magnetik
bukanpencitraan radiasi(B-II). Jika penelitian ini tidak
menunjukan adanya kelainan patologi, laparoskopi atau
CTscanning dapat dilakukan (B-III).
89. Pencitraan harus dilakukan untuk semua anak, khususnyamereka
yang berusia 13 tahun, ketika diagnosis apendisitistidak pasti.
Pencitraan CT lebih disukai, meskipun untuk menghindari
penggunaanradiasi pada anak-anak, USG adalah alternatif (B-III).
90. Untuk pasien dengan temuan studi pencitraan negatif untuk pasien
yang dicurigai usus buntu, tindak lanjut pada 24 jam dianjurkan
untukmemastikan tanda dan gejala, karena rendahnya risiko tetapi
terukur dari hasil negatif palsu (B-III).
91. Untuk pasien yang diduga apendisitis yang dapat dikonfirmasi atau
dikecualikan oleh pencitraan diagnostik, follow- up yang
baikdianjurkan (A-III).

39
92. Terapi antimikroba harus diberikan kepada semuapasien yang
menerima diagnosis apendisitis (A-II).
93. Terapi antimikroba yang tepat termasuk agen yang efektifterhadap
organisme gram-negatif fakultatif dan aerobikdan organisme
anaerob, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2 untuk
pengobatanpasien dengan Infeksi intra-abdominal community-
acquired (A-I).
94. Untuk pasien yang diduga appendicitis yang secara studi
pencitraan diagnostik samar-samar, terapi antimikrobaharus
dimulai bersamadengan obat nyeri yang tepat dan antipiretik, jika
diindikasikan. Untuk orang dewasa, terapi antimikrobaharus
disediakan untuk minimal 3 hari, sampai klinisgejala dan tanda-
tanda infeksi atau diagnosis definitif dibuat (B-III).
95. Intervensi operative untuk akut, pada radang usus buntu
nonperforateddapat dilakukan segera bila terdapat
indikasi.Pembedahan dapat ditangguhkan untuk jangka waktu
yang pendek sesuai dengan keadaan institusional individu (BII).
96. Prosedur laparoskopi dan open appendektomi dapat diterima, dan
penggunaan kedua pendekatan harus dibuat oleh keahlian dokter
bedah dalammenentukan prosedur yang dilakukan (A-I).
97. Manajemen Non-operative yang dipilih untuk pasien akut,
apendisitis nonperforated dapat dipertimbangkan jika
adapeningkatan kondisi pasien sebelum operasi(B-II).
98. Manajemen Non-operative juga dapat dianggap sebagaibagian
dari pendekatan khusus untuk pasien laki-laki, dengan ketentuan
bahwapasien dirawat di rumah sakit selama 48 jam dan
menunjukkan perbaikan gejala klinisdan tanda-tanda klinis dalam
waktu 24 jam sedangmenerima terapi antimikroba (A-II).
99. Pasien dengan apendisitis perforasi harus menjalaniintervensi
segera untuk mendapat source control yang memadai (B-III).
100. Pasien dengan abses periappendiceal berbatas tegasdapat dikelola
dengan drainase perkutan atau operasidrainase bila diperlukan.
Appendectomy umumnya ditangguhkanpada pasien tersebut (A-
II).
101. Pasien yang dipilih yang beberapa hari menunjukan
perkembangan proses inflamasi dan memiliki sebuah
periappendicealphlegmon atau abses kecil yang tidak setuju untuk
dilakukan perkutandrainase dapat ditunda atau menghindari
prosedur source control untuk mencegah prosedur yang berpotensi
lebih buruk daripada usus buntu sederhana.Pasien tersebut diobati
dengan terapi antimikroba dan difollow up dengan hati-hati pada
pasien rawat inap, dengan cara yang sama denganpasien dengan
diverticulitis akut (B-II).
102. Penggunaan tidakan appendectomy secara interval setelah
drainase perkutanatau manajemen nonoperative apendisitis
perforasi adalah kontroversial dan mungkin tidak diperlukan (A-
II).

40
2.4.18. Bagaimana pengelolaan bedah apendisitis?

Pada pasien appendisitis tanpa komplikasi, terapi bedah sudah


menjadi standard sejak McBurney melaporkan pengalamannya.
Konsep untuk terapi non-operatif, terbagi menjadi 2 cara :
1. Saat terapi bedah tidak memungkinkan terapi dengan antibiotik
2. Pasien dengan tanda dan gejala appendisitis yang konsisten dan
tidakmencari pengobatan akan terjadi resolusi secara
spontan.33
Terapi operatif :
1. Open appendektomi
Dilakukan dalam bius umum, posisi terlentang. Untuk
appendisitis tanpa perforasi, insisi pada kuadran kanan bawah
(titik McBurney) adalah yang paling sering digunakan.
2. Laparoskopi

1. Appendektomi masih merupakan pilihan terapi untuk apendisitis


akut. Terapi antibiotik adalahterapi utama yang aman bagi pasien
dengan apendisitis akut tanpa komplikasi, tapi pendekatan konservatif
ini kurang efektif untuk jangka panjang karena tingkat rekuren yang
tinggi. (A)
2. Appendektomi terbuka dan laparoskopik appendektomi adalah
pendekatan terapi bedah pada apendisitis akut. (A)
3. Penggunaan rutin irigasi intraoperatif untuk appendektomi tidak
mencegah terjadinya pembentukan abses intraabdomen, menambah
pengeluaran biaya, dan mungkin dihindari. (B-II)
4. Pasien dengan absesperiappendik harus dikelola dengan drainase
perkutaneus dengan panduan USG (B-II)
5. Penelitian terkini menunjukkan bahwa appendektomi interval
tidaklah secara rutin mengikuti pengobatan non-operatif awal akan
komplikasi apendisitis. Bagaimanapun, interval appendektomi
seharusnya ditujukan bagi pasien dengan gejala yang berulang ( B-II)

41
2.4.19. Bagaimana clinical pathways untuk diagnosis dan penatalaksanaan
pasien anak dengan kecurigaan appendicitis akut?

Apendicitis adalah penyebab tersering pembedahan pada anak dan


gejala klinis yang berbeda-beda bisa menyebabkan kesalahan
diagnosis.34

1. Walaupun tidak ada temuan klinis yang jelas untuk mendiagnosis


pasien dengan appendicitis, kumpulan temuan-temuan termasuk nyeri
perut yang spesifik, nyeri tekan yang terlokalisir serta hasil
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan inflamasi akut akan
mengidentifikasi secara umum sebagian besar pasien dengan
kecurigaan appendicitis (A-II).
2. Pemeriksaan CT Scan abdomen dan pelvis dengan kontras intravena
merupakan prosedur imaging yang direkomendasikan pada kasus
dengan kecurigaan appendicitis (B-II).
3. Pemeriksaan imaging sebaiknya dilakukan pada seluruh pasien anak
terutama yang berusia kurang dari 3 tahun apabila diagnosis
appendicitis tidak jelas. Pemeriksaan CT Scan lebih disukai meskipun
untuk mencegah radiasi ion pada anak, pemeriksaan ultrasonografi
merupakan alternatif yang reasonable (A-III).
4. Pada pasien dengan temuan pemeriksaan imaging yang negative
untuk kecurigaan appendicitis, follow-up selama 24 jam
direkomendasikan untuk memastikan hilangnya tanda dan gejala,
karena resiko yang rendah dan dapat diukur dari hasil pemeriksaan
false-negative (B-III).
5. Pada pasien dengan kecurigaan appendicitis yang tidak dapat
dikonfirmasi atau disingkirkan melalui pemeriksaan imaging,
direkomendasikan untuk follow-up yang berhati-hati (A-III).
6. Pasien dapat dirawat apabila tingkat kecurigaan appendicitis tinggi
(A-III).
7. Terapi antimikroba harus diberikan pada seluruhpasien yang
didiagnosis appendicitis (A-II).
8. Pada pasien dengan kecurigaan appendicitis yang pemeriksaan
diagnostic imagingnya sesuai, terapi antimikroba harus dimulai
bersamaan dengan pemberian analgetik dan antipiretik(B-III)
9. Intervensi operatif untuk akut non perforasi appendicitis dapat
dilakukan segera. Pembedahan dapat ditunda untuk periode waktu
yang tidak terlalu lama sesuai dengan kondisi institusi yang
bersangkutan (B-II).
10. Apendektomi per Laparoskopi dan appendektomi terbuka merupakan
prosedur yang dapat dilakukan, dan harus ditentukan sesuai dengan
kompetensi ahli bedah yang bersangkutan (A-I).

42
11. Pasien anak dengan appendicitis perforasi harus dilakukan
intervensi segera untuk source control yang adekuat(B-III)
12. Pasien dengan abses periappendiceal dengan batas yang jelas dapat
dilakukan drainase perkutan atau drainase operative apabila
dibutuhkan. Appendektomi umumnya ditunda pada keadaan
tersebut (A-II).
13. Tindakan appendektomi interval setelah drainase perkutan ataupun
manajemen non operatif pada kasus appendicitis perforasi masih
kontroversi dan mungkin tidak perlu dilakukan (A-II).

2.4.20. Bagaimana pengelolaan necrotizing enterocolitis pada neonatus?

Necrotizing Enterocolitis merupakan keadaan darurat pada neonatus


dengan etiologi yang masih belum diketahui. NEC biasa terjadi pada
neonatus dengan BB 1500 g setelah memulai oral feeding.34

1. Necrotizing enterocolitis pada neonatus dikelola dengan resusitasi


cairan, antibiotik spectrum luas intravena (termasuk agen-agen
antijamur), dan dekompresi usus. Intervensi pembedahan baik
emergensi atau urgensi berupa laparotomi atau drainase perkutan
sebaiknya dilakukan apabila terdapat bukti adanya perforasi usus.
Pewarnaan gram dan kultur intraoperatif harus dilakukan (B-III).
2. Antibiotik spectrum luas yang mungkin berguna pada neonatus
dengan Necrotizing Enterocolitistermasuk ampicillin, gentamicin
dan metronidazole; ampicillin, cefotaxime dan metronidazole atau
meropenem. Vancomycin dapat digunakan selain ampicillin untuk
kecurigaan infeksi MRSA atau infeksi ampicillin-resistance
enterococcus. Fluconazole atau amphotericin B sebaiknya
digunakan jika hasil pewarnaan Gram atau kultur kuman yang
diambil saat tindakan pembedahan konsisten dengan adanya infeksi
jamur (B-II).

43
2.4.21. Bagaimana pengelolaan bedah diverticulitis?

Divertikulitis ialah inflamasi dan infeksi terkait dengan


divertikula.32Pasien dengan divertikulitis akut harus ditangani
dengan terapi antibiotik untuk menghilangkan bakteri gram negatif
dan patogen anaerob.4Pasien divertikulitis dengan perforasi terjadi
iritasi peritoneal, termasuk nyeri tekan abdomen yang terjadi tiba-
tiba dan menyebar dengan cepat hingga melibatkan keseluruhan
abdomen dengan tahanan otot dan rigiditas involunter.

1. Pasien dengan diverticulitis akut tanpa komplikasi harus ditangani


dengan terapi antibiotik untuk menghilangkan bakteri gram negatif
dan patogen anaerobik (C-II)
2. Penanganan antibiotik sistemik saja biasanya merupakan
penanganan paling tepat untuk pasien dengan abses divertikular
yang kecil (dimeter <4cm); drainase perkutaneus panduan dengan
gambar (panduan ultrasound atau CT) disarankan pada pasien
dengan abses diverticular besar (diameter > 4 cm) (B-II).
3. Rekomendasi untuk kolektomi sigmoid elektif setelah masa
penyembuhan diverkulitis akut harus dibuat kasus-per-kasus (C-I).
4. Pembedahan elektif direkomendasikan untuk pasien dengan abses
pelvis ditangani drainase perkutaneus dikarenakan hasil jangka
panjang penangan konservatif yang buruk. Bagaimanapun, abses
mesokolik minor yang sembuh ketika ditangani secara konservatif
tidak selalu menjadi dasar untuk intervensi pembedahan. (B-I).
5. Ketika kolektomi dilakukan untuk menangani penyakit diverticular,
pendekatan laparoskopik merupakan hal yang tepat pada beberapa
pasien. (B-I).
6. Pembedahan emergensi diperlukan untuk pasien diverticulitis akut
yang terkait dengan peritonitis diffusa sama seperti pasien dengan
diverticulitis akut yang penanganan non-operatif sebelumnya telah
gagal. (B-1)
7. Laparoscopic peritoneal lavage dengan penempatan tube drainase
merupakan pendekatan yang aman pada kasus dengan diverticulitis
perforasi (B-II).

44
2.4.22. Bagaimana pengelolaan bedah perforasi kanker kolorektal?

Kanker kolorektal dengan perforasi dianggap sebagai stadium lanjut


karena berpotensi terjadi penyebaran intra peritoneal dari sel kanker
yang lepas dari tempat perforasi. Stadium penyakit, jumlah metastase
limfonodi dan kedekatan lokasi perforasi terhadap tumor berkorelasi
positif dengan keterbatasan prosedural dan rata-rata kesintasan bebas
kanker. Prosedur Hartmann secara luas diterima sebagai prosedur
yang efektif untuk mengobati karsinoma kolon kiri pada kondisi
emergensi. Kolostomi diversi direkomendasikan pada pasien
berisiko tinggi.4

1. Penatalaksanaan untuk perforasi karsinoma kolon harus


meliputistabilisasi kondisi darurat peritonitis dan memenuhi tujuan
teknis intervensi onkologi (B-I)

2.4.23. Bagaimana pengelolaan bedah perforasi kolon akibat kolonoskopi?

Perforasi akibat tindakan kolonoskopi secara luas diakui sebagai


salah satu komplikasi yang paling serius terjadi pada endoskopi
gastrointestinal. Meskipun CP jaran merupakan komplikasi yang
jarang, CP juga terkait dengan tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Komplikasi ini dapat mengakibatkan terjadinya operasi
berulang, pembentukan stoma, intra-abdominal sepsis, semakin lama
tinggal di rumah sakit, dan bahkan kematian.35

1. Deteksi dini dan pengobatan yang tepat sangat penting dalam


mengoptimalkanpengobatan perforasi kolon pasca-kolonoskopi.
Pasien dengan perforasi semacam ini harus menjalani intervensi
bedah segera, yang biasanya melibatkan perbaikan primer atau
reseksi (B-I)
2. Pendekatan laparoskopi dini merupakan pengobatan yang aman dan

45
efektif untuk perforasi kolon terkait kolonoskopi (C-I)

2.4.24. Bagaimana pengelolaan bedah perforasi kolon karena trauma?

Perforasi kolon yang disebabkan oleh trauma merupakan suatu


bentuk kebocoran pada dinding usus sehingga menyebabkan
keluarnya isi usus. Usus besaradalahorgan yang
palingseringterlukasetelahususkecil danterlibat dalamsekitar 27%
kasus menjalani laparotomi. Padaluka tusuk perut dari depan,usus
besaradalah organ yang palingseringterlukaketiga setelahhati
danususkecil danditemukan pada sekitar18%pasien yang menjalani
laparotomi. 4, 32

1. Waktu antarakejadiandan operasiadalahsignifikansebagai


penentumorbiditaspada pasien
dengancederauntuklumensvisceral(Hollow Viscus Injuries, HVIs).
Diagnosiscepatdanintervensi operasidianjurkan
untukmeningkatkanprognosis pasiendenganHVIs(Rekomendasi
1C).
2. Cederanon-destruktif kolonharusdiperbaiki.
MeskipunDelayedAnastomosis(DA) adalahdisarankanuntuk pasien
denganDestruktif Colon Injuries (DCI) yangharus menjalani
Control Damage Laparotomi(CDL), terapiini
tidakdisarankanuntukpasien risiko tinggi(Rekomendasi 2C).

2.4.25. Bagaimana pengelolaan bedah perforasi ulkus peptikum?

Diagnosis awal perforasi ulkus peptikum dan penatalaksanaan yang


tepat dapat meminimalkan komplikasi.36Penegakan diagnosis
seringkali ditegakkan dari riwayat perjalanan penyakit dan penemuan
khas dari pemeriksaan fisik. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
dapat menunjukan leukositosis dengan shift to the left dan hasil
urinalisa yang normal. Keadaan leukositosis cendrung lebih rendah

46
bila dibandingkan pankreatitis akut, peningkatan serum amilase lebih
rendah dari tiga kali lipat.42 Pemeriksaan foto polos dada dalam
posisi tegak atau foto polos tegak abdomen memberikan gambaran
udara bebas di dalam rongga peritoneal pada 75% pasien.38
Perforasi organ berongga terjadi apabila:36
1. Peritonitis dengan onset yang tiba-tiba + gambaran udara
bebas
2. Peritonitis dengan onset yang tiba-tiba + tanpa gambaran
udara bebas + normal amilase
Untuk pasien dengan kondisi yang stabil dan tidak memerlukan
laparotomi segera, CT-Scan merupakan modalitas pencitraan pilihan.
Pada pasien anak-anak dan dewasa muda, paparan terhadap radiasi
dari CT-Scan harus ikut dipertimbangkan.4
Tatalaksana awal harus meliputi resusitasi cairan yang adequat,
dekompresi dengan pemasangan NGT, dan pemberian antibiotik
sistemik.36 Tindakan pembedahan merupakan tatalaksana pilihan
untuk kasus perforasi ulkus peptikum. Pada kasus tertentu, (pasien
lebih muda dari 70 tahun tanpa syok sepsis atau peritonitis dan tidak
memberikan gambaran kebocoran dari kontras pada pemeriksaan
gastroduodenogram), tatalaksana non operatif dapat menjadi pilihan.
Akan tetapi, bila tida terjadi perbaikan dari kondisi klinis dalam 24
jam sejak keputusan tatalaksana non operatif diambil, pasien haris
menjalani operasi.4 Penutupan secara simple dengan atau tanpa
omental patch merupakan prosedur yang aman dan efektif pada
kasus perforasi ulkus yang kecil (<2cm).4 Perforasi ulkus peptikum
dapat ditangani dengan penutupan secara simple pada daerah
perforasi ketika dikombinasikan dengan terapi anti-Helicobacter,
pemberian PPI atau modulasi NSAID.36 Pada kasus perforasi yang
besar, yang disertai perdarahan atau striktur, resesksi gastroduodenal
mungkin diperlukan. Penilaian intra-operatif memungkinkan

47
operator untuk menentukan apakah reseksi merupakan tindakan yang
tepat atau tidak.4
Tindakan operatif menggunakan laparoskopi pada perforasi ulkus
peptikum dapat menjadi pilihan yang aman dan efektif untuk
operator yang sudah berpengalaman.4

1. Tindakan pembedahan merupakan tatalaksana pilihan untuk kasus


perforasi ulkus peptikum. Pada kasus tertentu, (pasien lebih muda
dari 70 tahun tanpa syok sepsis atau peritonitis dan tidak
memberikan gambaran kebocoran dari kontras pada pemeriksaan
gastroduodenogram), tatalaksana non operatif dapat menjadi
pilihan. Akan tetapi, bila tida terjadi perbaikan dari kondisi klinis
dalam 24 jam sejak keputusan tatalaksana non operatif diambil,
pasien haris menjalani operasi (A-1)
2. Penutupan secara simple dengan atau tanpa omental patch
merupakan prosedur yang aman dan efektif pada kasus perforasi
ulkus yang kecil (<2cm)(A-1)
3. Pada kasus perforasi yang besar, yang disertai perdarahan atau
striktur, resesksi gastroduodenal mungkin diperlukan. Penilaian
intra-operatif memungkinkan operator untuk menentukan apakah
reseksi merupakan tindakan yang tepat atau tidak. (B-1)
4. Tindakan operatif menggunakan laparoscopic pada perforasi ulkus
peptikum dapat menjadi pilihan yang aman dan efektif untuk
operator yang sudah berpengalaman (A-1)

2.4.26. Bagaimana pengelolaan bedah perforasi usus halus?

Perforasi Jejunoileal merupakan sumber peritonitis yang relatif


jarang di negara-negara Barat dibandingkan dengan Negara yang
kurang berkembang dimana perforasi usus tersebut adalah sering
menjadi kontributor tingkat morbiditas dankematian yang
tinggi.39,40Ahli bedah menganjurkan beragam prosedur, termasuk
penutupan sederhana, wedge eksisi atau reseksi segmental dan
anastomosis, ileostomy, dan sideto-side ileo-transversum
anastomosis yang diikuti dengan jahit primer.Pembedahan adalah
pengobatan pilihan untuk pasien dengan perforasi usus halus.

48
Pada kejadian perforasi kecil, jahit primer sangatlah
direkomendasikan. Bagaimanapun, ketika reseksi dilakukan,
tindakan anastomosis tidaklah menunjukkan pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas. Lebih lanjut lagi, hanya rumah sakit
dengan ahli bedah yang berpengalaman di bidang prosedur
laparoskopik yang mampu melakukan pendekatan laparoskopik.
Jahit primer terhadap perforasi usus halus lebih dipilih daripada
reseksi dan anastomosis karena tingkat komplikasinya yang lebih
rendah, meskipun perlu dicatat bahwa hasil optimal dalam kasus ini
mungkin disebabkan oleh batas jaringan yang cedera akibat perforasi
minor. 39,40
Pasien dengan lesi ganas, usus yang nekrotik, perforasi karena
cederanyapembuluh darah mesenterik, atau beberapa perforasi yang
letaknya berdekatan tidak boleh dilakukan jahit primer. 41
Selama reseksi, seluruh segmen usus yang sakit dipotong hingga
batas jaringan yang sehat, yang memiliki perfusi yang baik untuk
anastomosis.Teknik yang digunakan untuk enteroenterostomy
(stapled atau hand-sewn) tampaknya berdampak kecil terhadap
tingkat komplikasi anastomosis.
Anastomosis usus secara primer harus dilakukan dengan hati-hati
pada kasus peritonitis purulen atau peritonitis fekulen karena
tingginya tingkat komplikasi yang serius.40
Tindakan laparoskopi untuk perforasi usus halus secara luas
dilaporkan dalam literatur yang diterbitkan, namun tidak ada studi
yang membandingkan laparoskopi dan operasi terbuka.41 Saat ini,
beberapa ahli lebih menyarankan untuk penggunaan pembedahan
laparoskopik pada perforasi ulkus peptikum.

49
5. Pembedahan adalah pilihan terapi pada pasien dengan perforasi
usus halus (A-I)
6. Pada kejadian perforasi kecil, perbaikan primer sangatlah
direkomendasikan. Bagaimanapun, ketika reseksi dilakukan,
tindakan anastomosis tidaklah menunjukkan pengurangan angka
morbiditas dan mortalitas. ( B-II)
7. Lebih lanjut lagi, hanya rumah sakit dengan ahli bedah yang
berpengalaman di bidang prosedur laparoskopik yang mampu
melakukan pendekatan laparoskopik ( C-II )

2.4.27. Bagaimana pengelolaan bedah cholecystitis akuta?

Kolesistektomi laparoskopi merupakan terapi yang aman dan efektif


untuk kolesistitis akut. Laparoskopi dibandingkan kolesistektomi
terbuka telah diteliti secara luas. Dimulai pada awal 1990, teknik
laparoskopi untuk pengobatanakut kandung empedu yang meradang
merupakan teknik yang efisien dan hari ini kolesistektomi
laparoskopi digunakan di seluruh dunia untuk mengobati kolesistitis
akut. Banyak penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa
kolesistektomi laparoskopi adalah pengobatan yang aman dan efektif
untuk kolesistitis akut. 43-6
Kolesistektomi laparoskopi dini merupakan terapi yang aman untuk
kolesistitis akut dan umumnya menunjukan hasil dalam waktu
pemulihan dan rawat inap yang lebih pendekdibandingkan dengan
laparoskopi kolesistektomi yang ditunda.Waktuadalah faktor yang
paling penting dalam terapi pembedahan acute gallstonecholecystitis
(AGC). Literatur47-50 menunjukkanbahwa, dibandingkan dengan
kolesistektomi laparoskopi yang ditunda, kolesistektomi laparoskopi
awal yang dilakukan untuk mengobati kolesistitis akut dapat
mengurangi baik tingkat kekambuhan maupun lama rawat
inap.Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas medis telah
memperdebatkan ada risiko kemungkinan terjadi konversi
perioperatif ke kolesistektomi terbuka dari laparoskopi dalam kasus

50
kolesistitis akut.51-2 Kolesistektomi laparoskopi yang ditunda
mungkin merupakan faktor risiko prediktif yang paling
signifikanuntuk konversi kolesistektomi terbuka di dalam kasus
kolesistitis akut.53
Kolesistektomi perkutaneus dapat digunakan secara aman dan dapat
menangani pasien kolesistitis akut yang tidak mungkin untuk
dilakukan tindakan bedah secara efektif. Bila memungkinkan,
kolesistektomi perkutaneus harus diikuti dengan kolesistektomi
laparoskopi.54 Intervensi berhasil diamati pada 85.6%pasien dengan
kolesistitis akut. Sebanyak 40% dari pasien yang diobati dengan
Kolesistektomi perkutaneus diikuti denganKolesistektomi,
mengakibatkan tingkat kematian 1,96%. Mortalitas keseluruhan
tingkat prosedur adalah 0,36%, tetapi angka kematian pada hari ke-
30 sebesar 15,4% pada pasien yang diobati dengan Kolesistektomi
perkutaneus dan 4,5% pada pasien yang diterapi dengan
kolesistektomi tradisional (P <0,001).Baru-baru ini, beberapa
penelitian telah menegaskan efek dari kolesistektomi pada pasien
sakit kritis55, pasien usia lanjut56, dan pembedahan pasien berisiko
tinggi.57-61
Perforasi kandung empedu adalah bentuk yang tidak biasa dari
penyakit kantong empedu. Diagnosis awal dari perforasi kandung
empedu dan intervensi bedah yang secepatnya dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian.Perforasi jarang terdiagnosis pada saat
praoperatif. Tindakan bedah yang terlambat dikaitkan dengan angka
morbiditas dankematian yang tinggi, peningkatan lamanya
perawatan di ICU dan perawatan pasca operasi. 62-6

51
1. Cholesistektomi laparoskopi adalah terapi yang aman dan efektif
untuk akut cholesistitis (A-I)
2. Cholesistektomi laparoskopi yang awal adalah terapi yang aman
untuk cholesistitis akut dan secara umum menghasilkan waktu
pemulihan dan rawat inap di rumah sakit yang cepat dibandingkan
dengan cholesistektomi laparoskopi yang ditunda. (A-I)
3. Cholesistektomi perkutaneus dapat digunakan secara aman dan
dapat menangani pasien cholesistitis akut yang tidak mungkin
untuk dilakukan tindakan bedah secara efektif. Bila memungkinkan,
cholesistektomi perkutaneus harus diikuti dengan cholesistektomi
laparoskopi (C-II)
4. Diagnosis awal dari perforasi gallbladder dan intervensi bedah yang
secepatnya dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. (C-I)

2.4.28. Bagaimana pengelolaan bedah cholangitis akut?

Kolangitis sangat bervariasi dalam tingkat keparahan, mulai dari


bentuk ringan yang membutuhkan antibiotik parenteral hingga yang
berat atau kolangitis supuratif, yang membutuhkan drainase dini
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.67Pengobatan awal,
termasuk perlindungan dengan antibiotik yang sesuai, hidratasi, dan
dekompresi bilier adalah tindakan yang paling utama dalam
penatalaksanaan kolangitis akut.
Pada tahun 2001, Hui et al.68 menerbitkan sebuah studi prospektif
yang menyelidiki kriteria prediktif untuk dekompresi traktus bilier
secara darurat terhadap 142 pasien dengan kolangitis akut. ERCP
Darurat diindikasikan untuk kasus dengan demam, nadi lebih dari
100/menit, albumin < 30 g / L, bilirubin >50 umol / L, dan waktu
protrombin >14 detik.Ada 3 metode yang umum digunakan untuk
melakukan empedu drainase: drainase per endoskopi, drainase
transhepatik perkutan, dan drainase terbuka.
Drainase endoskopi pada traktus bilier lebih aman dan lebih efektif
daripada drainase terbuka.

52
Endoskopi drainase bilier merupakan sarana dekompresi traktus
bilier yang baik untuk pasien dengan cholangitis akut yang
disebabkan oleh keganasan atau lesi jinak bilier dan obstruksi
bilier.35-6 Banyak studi kasus-series retrospektif yang telah
menunjukkan manfaatdari drainase transhepatik perkutan. Modalitas
Endoskopi drainase bilier saat ini lebih disukai dibanding prosedur
perkutan karena mengurangi tingkat komplikasi. Saat ini tidak ada
RCT yang membandingkan endoskopi dan drainase perkutan.
Modalitas endoskopik pada drainage bilier dengan prosedur
perkutaneus jauh lebih disukai untuk mengurangi angka komplikasi.
Hingga saat ini, belum ada penelitian secara Randomized controlled
Trial (RCT) untuk membandingkan drainase perkutaneus dan
endoskopik.
Saat ini, hanya studi retrospektif yang membandingkan keamanan
dan efektivitas endoskopi dan perkutan drainase bilier transhepatik
dalam pengobatan kolangitis akut supuratifobstruktif.Laporan-
laporan ini menegaskan kemanjuran klinis dari
drainaseendoskopiserta kemampuannya untuk memfasilitasi
endoskopik berikutnya atau intervensi pembedahan.71
Open drainage sebaiknya ditujukan kepada pasien yang telah
mengalami kegagalan drainase transhepatik secara perkutaneus, atau
yang mengalami kontraindikasi

1. Pengobatan awal, termasuk perlindungan dengan antibiotik yang


sesuai, hidratasi, dan dekompresi bilier adalah tindakan yang paling
utama dalam penatalaksanaan kolangitis akut.(A-I)
2. Drainase endoskopik pada traktus bilier lebih aman dan lebih efektif
bila dibandingkan dengan open drainage (A-I)
3. Modalitas endoskopik pada drainage bilier dengan prosedur
perkutaneus jauh lebih disukai untuk mengurangi angka komplikasi.
Hingga saat ini, belum ada penelitian secara Randomized controlled
Trial (RCT) untuk membandingkan drainase perkutaneus dan
endoskopik ( C-II)
4. Open drainage sebaiknya ditujukan kepada pasien yang telah
mengalami kegagalan drainase transhepatik secara perkutaneus, atau
yang mengalami kontraindikasi. (Rekomendasi 2C)
53
2. 4. 29 Bagaimana pengelolaan bedah infeksi intraabdominal pasca operasi?

Peritonitis paskaoperasi merupakan komplikasi yang mengancam


jiwa pada pasien paskaoperasi abdomen dengan tingkat mortalitas
dan kegagalan organ yang tinggi. Pengobatan pasien dengan
peritonitis paskaoperasi membutuhkan terapi pendukung untuk
mengatasi adanya disfungsi organ, source control infeksi yang
dilakukan dengan cara pembedahan dan/atau drainase, dan
pemberian antibiotika.72
Drainase perkutan adalah cara optimal mengobati pasca-operasi lokal
abses intra-abdominal jika tidak ada tanda-tanda peritonitis umum.
Beberapa penelitian retrospektif di bidang operasi dan radiologi telah
mendokumentasikan efektivitas drainase perkutan dalam pengobatan
pasca operasi lokal abses intra-abdominal. 73-5
Sumber kontrol harus dimulai sesegera mungkin deteksi dan
diagnosis pasca operasi setelah peritonitis intra-abdominal. kontrol
yang tidak efektif dari sumber septik dikaitkan dengan signifikan
angka kematian tinggi. Ketidakmampuan untuk mengontrol sumber
septik dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam
mortalitas pasien. Kegagalan organ dan/atau re-laparotomiyang telah
tertunda selama lebih dari 24 jam, keduanyamenunjukkan hasil
dengan mortalitas yang lebih tinggi untuk pasien paska operasi
infeksi intra-abdomen. 76

8. Drainase perkutan adalah cara optimal mengobati pasca-operasi


lokal abses intra-abdominal jika tidak ada tanda-tanda peritonitis
umum (Rekomendasi 2C)
9. Sumber kontrol harus dimulai sesegera mungkin deteksi dan
diagnosis pasca operasi setelah peritonitis intra-abdominal. kontrol
yang tidak efektif dari sumber septik dikaitkan dengan signifikan
angka kematian tinggi (Rekomendasi 1C)

54
2.4.30 Bagaimana strategi re-laparotomi dan open abdomen?

10. Mengingat kemampuan prosedur untuk merampingkan kesehatan


sumber daya, mengurangi biaya pengobatan secara keseluruhan,
dan mencegah kebutuhan untuk lebih lanjut re-laparotomi,
ondemand yang re-laparotomi direkomendasikan untuk pasien
dengan peritonitis berat. (A-I)
11. Open abdomen tetap menjadi pilihan yang layak untuk mengobati
intra-abdominal sepsis. Manfaat mempertahankan perut terbuka
termasuk kemudahan berikutnya eksplorasi, kontrol isi perut,
mengurangi risiko hipertensi intra-abdomen dan sindrom
kompartemen abdomen, dan pelestarian fasia untuk memastikan
penutupan yang tepat dari dinding perut. Namun, kontak yang
terlalu lama dari visera abdomen dapat menyebabkan komplikasi
tambahan, termasuk infeksi, sepsis, dan pembentukan fistula (C-I).
12. Setelah stabilisasi pasien, dokter bedah harus berusaha lebih awal,
penutupan definitif perut. Penutupan fasia Primer dapat dibuat
ketika ada risiko minimal ketegangan yang berlebihan atau
pengulangan dari IAH (C-I).
13. Ketika awal, penutupan fasia yang definitif tidak memungkinkan,
penutupan progresif harus dicoba setiap kali pasien kembali untuk
prosedur berikutnya. Untuk pasien dengan persisten cacat fasia
besar, disarankan agar ahli bedah menerapkan bridging dengan
bahan biologis (C-I)

4. Simpulan /Rekomendasi

55
DAFTAR PUSTAKA
1. Sartelli M, A focus on intra-abdominal infections. Sartelli World Journal
of Emergency Surgery 2010, 5:9 http://www.wjes.org/content/5/1/9
2. Sartelli M, Viale P, Koike K, Pea F,Tumietto F, Van Goor H, et al. WSES
consensus conference: Guidelines for firstline management of intra-
abdominal infections. Sartelli et al. World Journal of Emergency Surgery
2011, 6:2 http://www.wjes.org/content/6/1/2
3. S. Solomkin J, E. Mazuski J, S. BradleyJ, A. Rodvold K, J. C. Goldstein
E, etal.Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal
Infection in Adults and Children: Guidelines by the Surgical Infection
Society and the Infectious Diseases Society of America. @ 2009 by the
Infectious Diseases Society of America.
4. Sartelli M, Viale P, Catena3 F, Ansaloni L, Moore E, Malangoni M, et al.
2013 WSES guidelines for management of intra-abdominal infections.
World Journal of Emergency Surgery 2013,8:3
http://www.wjes.org/content/8/1/3.
5. Emmi V, Sganga G: Diagnosis of intra-abdominal infections: clinical
findings and imaging. Infez Med 2008, 16(Suppl 1):19–30.
6. Foinant M, Lipiecka E, Buc E, Boire JY, Schmidt J, Garcier JM, Pezet D,
Boyer L: Impact of computed tomography on patient's care in non-
traumatic acute abdomen: 90 patients. J Radiol 2007, 88(4):559–566.
7. Emergency Physicians, Canadian Critical Care Society, European Society
of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, European Society of
Intensive Care Medicine, European Respiratory Society, International
Sepsis Forum, Japanese Association for Acute Medicine, Japanese Society
of Intensive Care Medicine, Society of Critical Care Medicine, Society of
Hospital Medicine, Surgical Infection Society, World Federation of
Societies of Intensive and Critical Care Medicine, Dellinger RP, Levy
MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, Reinhart K, Angus DC,
Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut JF, Gerlach H, Harvey M,

56
Marini JJ, Marshall J, Ranieri M, Ramsay G, Sevransky J, Thompson BT,
Townsend S, Vender JS, Zimmerman JL, Vincent JL: Surviving sepsis
campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2008. Crit Care Med 2008,36(1):296–327.
8. Moore LJ, Moore FA: Epidemiology of sepsis in surgical patients. Surg
Clin North Am 2012, 92(6):1425–1443.
9. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B,
Peterson E, Tomlanovich M, Early Goal-Directed Therapy Collaborative
Group: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Eng J Med 2001, 345:1368–1377
10. Joseph S. Solomkin,John E. Mazuski,John S. Bradley, Keith A. Rodvold,
Ellie J. C. Goldstein, Ellen J. Baron, Patrick J. O’Neill,9 Anthony W.
Chow, E. Patchen Dellinger, Soumitra R. Eachempati, Sherwood Gorbach,
Mary Hilfiker, Addison K. May,Avery B. Nathens,Robert G. Sawyer, and
John G. Bartlett : IDSA Guideline : Diagnosis and Management of
Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children: Guidelines
by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of
America. Journal Uchicago.2010:50
11. ACC/AHA 2007 Guidelines on Perioperative CardiovascularEvaluation
and Care for Noncardiac Surgery:JoExecutive Summary. Journal of the
American College of Cardiology Vol. 50, No. 17, 2007.
12. World Federation of Socities of Anasthesiologists. Tutorial of the weeks.
Peri-Operative Cardiac Arrhytmias:SupraventriculaArrhythmias.
Anaesthesia tutorial of the week Vol. 279, February 2013.
13. World Federation of Socities of Anasthesiologists. Tutorial of the weeks.
Peri-Operative Cardiac Arrhytmias: Ventricular dysrhythmias.
Anaesthesia tutorial of the week Vol. 285, May 2013.
14. ESC Guidelines 2009: Guidelines for pre-operative cardiac risk
assessment and perioperative cardiac management in non-cardiac surgery.
European Heart Journal (2009) 30, 2769–2812

57
15. Joint British Diabetes Societies: Diabetes UK Position Statements and
CareRecommendations: NHS Diabetes guideline for the
perioperativemanagement of the adult patient with diabetes
16. Australian Diabetes
Society:PerioperativeDiabetes Management Guidelines,2012
17. American Academy of Family Physicians: Perioperative Management of
Diabetes. Am FamPhysician 2003;67:93-100
18. Langley RW .Perioperative Management of theThyrotoxic Patient.
Endocrinol Metab Clin N Am ,32 (2003) 519–534
19. American Academy of Family Physicians: Preoperative Care of
Patientswith Kidney Disease. Am Fam Physician2002;66:1471-6.
20. CalvertS;ShawA. Perioperative acute kidney injury. Perioperative
Medicine 2012, 1:6
21. Rosner & Okusa: Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:19-
32
22. Bellomo R, Ronco C. Kidney Int 1998;53(66):S 106-109
23. Powell LL, Wilson SE: The role of beta-lactam antimicrobials as single
agents in treatment of intra-abdominal infection. Surg Infect (Larchmt)
2000, 1(1):57–63.
24. Al-Hasan MN, Lahr BD, Eckel-Passow JE, Baddour LM: Antimicrobial
resistance trends of Escherichia coli bloodstream isolates: a
populationbased study, 1998–2007. J Antimicrob Chemother 2009,
64(1):169–174.
25. Riché FC, Dray X, Laisné MJ, Matéo J, Raskine L, Sanson-Le Pors MJ,
Payen D,Valleur P, Cholley BP: Factors associated with septic shock and
mortality in generalized peritonitis: comparison between community-
acquired and postoperative peritonitis. Crit Care 2009, 13(3):R99.
26. Montravers P, Mira JP, Gangneux JP, Leroy O, Lortholary O, for the
AmarCand study group: A multicentre study of antifungal strategies and
outcome of Candida spp. peritonitis in intensive-care units. Clin Microbiol
Infect 2011, 17(7):1061–1067.

58
27. Tadahiro Takada et al. 2007. Tokyo Guideline for the managements for
acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreatic Surgery
(2007)
28. Gladman MA, Knowles CH, Gladman LJ, Payne JG: Intra-operative
culture in appendicitis: traditional practice challenged. Ann R Coll Surg
Engl 2004, 86(3):196–201.
29. Emergency Physicians, Canadian Critical Care Society, European Society
of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, European Society of
Intensive Care Medicine, European Respiratory Society, International
Sepsis Forum, Japanese Association for Acute Medicine, Japanese Society
of Intensive Care Medicine, Society of Critical Care Medicine, Society of
Hospital Medicine, Surgical Infection Society, World Federation of
Societies of Intensive and Critical Care Medicine, Dellinger RP, Levy
MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, Reinhart K, Angus DC,
Brun-Buisson C, Beale R, Calandra T, Dhainaut JF, Gerlach H, Harvey M,
Marini JJ, Marshall J, Ranieri M, Ramsay G, Sevransky J, Thompson BT,
Townsend S, Vender JS, Zimmerman JL, Vincent JL: Surviving sepsis
campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2008. Crit Care Med 2008,36(1):296–327.
30. Mueller EW, Boucher BA: The use of extended-interval aminoglycoside
dosing strategies for the treatment of moderate-to-severe infections
encountered in critically ill surgical patients. Surg Infect 2009,10(6):563–
570
31. Sartelli M, Catena F, Coccolini F, Pinna AD: Antimicrobial management
of intra-abdominal infections: literature's guidelines. World J
Gastroenterol 2012, 18(9):865–871
32. Brunicardi, F. Charles MD, FACS. 2014. Schwartz’s Principle Of Surgery,
Tenth Edition. 1201-03.
33. Joseph S. Solomkin et al. 2009. Diagnosis and Management of
Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children.
Complicated Intra-abdominal Infection Guidelines. CID 2010:50

59
34. Zachariou Z. Pediatric Surgery Digest. Springer. 2009. Page 437-45
35. Lohsiriwat, Varuk. Colonoscopic perforation: Incidence, risk factors,
management and outcome. 2010
36. Russ, B. Acute Care Surgery and Trauma : Evidence Based Practice.
Informa Healthcare (2009)
37. De Bass. H., Gastrointestinal Surgery : Pathophysiology and Management.
Springer (2004)
38. Souba, Fink, Jurkovich, Kaiser, Pearch, Pemberton, Soper. ACS Surgery :
Principle and Practice 6th Ed. www.acssurgery.com (2007)
39. Ayite A, Dosseh DE, Tekou HA, James K: Surgical treatment of single
non traumatic perforation of small bowel: excision-suture or resection
anastomosis. Ann Chir 2005, 131(2):91–95.
40. Kirkpatrick AW, Baxter KA, Simons RK, Germann E, Lucas CE,
Ledgerwood AM: Intra-abdominal complications after surgical repair of
small bowel injuries: an international rreiew. J Trauma 2003, 55(3):399–
406.
41. Sinha R, Sharma N, Joshi M: Laparoscopic repair of small bowel
perforation. JSLS 2005, 9:399–402.
42. Kiviluoto T, Sirén J, Luukkonen P, Kivilaakso E: Randomised trial of
laparoscopic versus open cholecystectomy for acute and gangrenous
cholecystitis. Lancet 1998, 351(9099):321–325.
43. Johansson M, Thune A, Nelvin L, Stiernstam M, Westman B, Lundell L:
Randomized clinical trial of open versus laparoscopic cholecystectomy in
the treatment of acute cholecystitis. Br J Surg 2005, 92(1):44–49.
44. Kum CK, Goh PMY, Isaac JR, Tekant Y, Ngoi SS: Laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg 1994, 81:1651–1654.
45. Pessaux P, Regenet N, Tuech JJ, Rouge C, Bergamaschi R, Arnaud JP:
Laparoscopic versus open cholecystectomy: a prospective comparative
study in the elderly with acute cholecystitis. Surg Laparosc Endosc
Percutan Tech 2001, 11:252–255.

60
46. Lujan JA, Parrilla P, Robles R, Marin P, Torralba JA, Garcia-Ayllon J:
Laparoscopic cholecystectomy vs open cholecystectomy in the treatment
of acute cholecystitis: a prospective study. Arch Surg 1998, 133:173–175.
47. Gurusamy K, Samraj K, Gluud C, Wilson E, Davidson BR: Meta-analysis
of randomized controlled trials on the safety and effectiveness of early
versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J
Surg 2010, 97(2):141–150.
48. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, Jenkins JT: Early versus delayed
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of
randomized clinical trials. Am J Surg 2008, 195(1):40–47.
49. Lau H, Lo CY, Patil NG, Yuen WK: Early versus delayed-interval
laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis.
Surg Endosc 2006, 20(1):82–87.
50. Papi C, Catarci M, D'Ambrosio L, Gili L, Koch M, Grassi GB, Capurso L:
Timing of cholecystectomy for acute calculous cholecystitis: a meta-
analysis. Am J Gastroenterol 2004, 99(1):147–155.
51. Lee NW, Collins J, Britt R, Britt LD: Evaluation of preoperative risk
factors for converting laparoscopic to open cholecystectomy. Am Surg
2012, 78(8):831–833.
52. Domínguez LC, Rivera A, Bermúdez C: Herrera W: [Analysis of factors
for conversion of laparoscopic to open cholecystectomy: a prospective
study of 703 patients with acute cholecystitis]. Cir Esp 2011, 89(5):300–
306.
53. Hadad SM, Vaidya JS, Baker L, Koh HC, Heron TP, Hussain K,
Thompson AM: Delay from symptom onset increases the conversion rate
in laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. World J Surg
2007, 31(6):1298–1301.
54. Winbladh A, Gullstrand P, Svanvik J, Sandström P: Systematic review of
cholecystostomy as a treatment option in acute cholecystitis. HPB
(Oxford) 2009, 11(3):183–193.

61
55. Morse BC, Smith JB, Lawdahl RB, Roettger RH: Management of acute
cholecystitis in critically ill patients: contemporary role for
cholecystostomy and subsequent cholecystectomy. Am Surg 2010,
76(7):708–712.
56. McGillicuddy EA, Schuster KM, Barre K, Suarez L, Hall MR, Kaml GJ,
Davis KA, Longo WE: Non-operative management of acute cholecystitis
in the elderly. Br J Surg 2012, 99(9):1254–1261.
57. Abi-Haidar Y, Sanchez V, Williams SA, Itani KM: Revisiting
percutaneous cholecystostomy for acute cholecystitis based on a 10-year
experience. Arch Surg 2012, 147(5):416–422.
58. McKay A, Abulfaraj M, Lipschitz J: Short- and long-term outcomes
following percutaneous cholecystostomy for acute cholecystitis in highrisk
patients. Surg Endosc 2012, 26(5):1343–1351.
59. Rodríguez-Sanjuán JC, Arruabarrena A, Sánchez-Moreno L, González-
Sánchez F, Herrera LA, Gómez-Fleitas M: Acute cholecystitis in high
surgical risk patients: percutaneous cholecystostomy or emergency
cholecystectomy? Am J Surg 2012, 204(1):54–59.
60. Nasim S, Khan S, Alvi R, Chaudhary M: Emerging indications for
percutaneous cholecystostomy for the management of acute cholecystitis–
a retrospective review. Int J Surg 2011, 9(6):456–459.
61. Kortram K, de Vries Reilingh TS, Wiezer MJ, van Ramshorst B, Boerma
D: Percutaneous drainage for acute calculous cholecystitis. Surg Endosc
2011, 25(11):3642–3646.
62. Derici H, Kara C, Bozdag AD, Nazli O, Tansug T, Akca E: Diagnosis and
treatment of gallbladder perforation. World J Gastroenterol 2006,
12(48):7832–7836.
63. Menakuru SR, Kaman L, Behera A, Singh R, Katariya RN: Current
management of gall bladder perforations. ANZ J Surg 2004, 74:843–846.
64. Roslyn JJ, Thompson JE Jr, Darvin H, DenBesten L: Risk factors for
gallbladder perforation. Am J Gastroenterol 1987, 82:636–640.

62
65. Ong CL, Wong TH, Rauff A: Acute gall bladder perforation-a dilemma in
early diagnosis. Gut 1991, 32:956–958.
66. Stefanidis D, Sirinek KR, Bingener J: Gallbladder perforation: risk factors
and outcome. J Surg Res 2006, 131(2):204–208. Epub 2006 Jan 18.
67. Van Lent AU, Bartelsman JF, Tytgat GN, Speelman P, Prins JM: Duration
of antibiotic therapy for cholangitis after successful endoscopic drainage
of the biliary tract. Gastrointest Endosc 2002, 55:518–522.
68. Hui CK, Lai KC, Yuen MF, Ng M, Lai CL, Lam SK: Acute cholangitis—
predictive factors for emergency ERCP. Aliment Pharmacol Ther
2001,15(10):1633–1637.
69. Lai EC, Mok FP, Tan ES, Lo CM, Fan ST, You KT, Wong J: Endoscopic
biliary drainage for severe acute cholangitis. N Engl J Med 1992,
24:1582–1586.
70. Kumar R, Sharma BC, Singh J, Sarin SK: Endoscopic biliary drainage for
severe acute cholangitis in biliary obstruction as a result of malignant and
benign diseases. J Gastroenterol Hepatol 2004, 19(9):994–997.
71. Ou-Yang B, Zeng KW, Hua HW, Zhang XQ, Chen FL: Endoscopic
nasobiliary drainage and percutaneous transhepatic biliary drainage for the
treatment of acute obstructive suppurative cholangitis: a retrospective
study of 37 cases. Hepatogastroenterology 2012, 17:59(120).
72. Augustin P, Kermarrec N, Muller-Serieys C, Lasocki S, Chosidow D,
Marmuse JP, Valin N, Desmonts JM, Montravers P: Risk factors for
multidrug resistant bacteria and optimization of empirical antibiotic
therapy in postoperative peritonitis. Crit Care 2010, 14(1):R20.
73. Theisen J, Bartels H, Weiss W, Berger H, Stein HJ, Siewert JR: Current
concepts of percutaneous abscess drainage in postoperative retention. J
Gastrointest Surg 2005, 9(2):280–283.
74. Khurrum Baig M, Hua Zhao R, Batista O, Uriburu JP, Singh JJ, Weiss
EG, Nogueras JJ, Wexner SD: Percutaneous postoperative intra-abdominal
abscess drainage after elective colorectal surgery. Tech Coloproctol 2002,
6(3):159–164.

63
75. Benoist S, Panis Y, Pannegeon V, Soyer P, Watrin T, Boudiaf M, Valleur
P: Can failure of percutaneous drainage of postoperative abdominal
abscesses be predicted? Am J Surg 2002, 184(2):148–153.
76. Torer N, Yorganci K, Elker D, Sayek I: Prognostic factors of the mortality
of postoperative intraabdominal infections. Infection 2010, 38(4):255–260.

64

Anda mungkin juga menyukai