BATASAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis (dan kadang-kadang oleh M. bovis
dan africanum). Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.
Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22
negara di dunia dengan beban TB. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam
penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/MDR).
PATOGENESIS
Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari droplet infeksi yang
berisi kuman M. tuberculosis.
Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme :
1. Perkembangan langsung penyakit primer
2. Reaktivasi penyakit primer yang tenang
3. Penyebaran hematogen
4. Reinfeksi eksogen
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.
Sistemik : demam, keringat malam tanpa kegiatan fisik, malaise, nafsu makan
menurun, berat badan turun.
Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik penderita TB tidak khas (the great pretender), tidak dapat
membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik
tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat
ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas
bronkial, amforik, ronkhi basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak napas
tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar.
1
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan bakteriologis : pemeriksaan mikroskopik kuman TB (Bakteri
Tahan Asam/BTA) dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS)
dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan interpretasi pembacaan didasarkan
skala IUTLD atau biakan kuman. Untuk TB ekstra paru, spesimen dapat
berupa cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung,
bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi.
Luas proses yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dinyatakan sebagai berikut :
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra
2
torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak
dijumpai kaviti
2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal
Pemeriksaan darah : pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting
sebagai indikator kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk
evaluasi penyembuhan.
Pemeriksaan histopatologi jaringan : diperoleh melalui transbronchial lung
biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar
dan organ lain diluar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan
menunjukkan adanya granuloma dengan perkejuan.
Analisis cairan pleura : Hasil mendukung diagnosis TB adalah uji rivalta
positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel
limfosit dominan dan glukosa rendah.
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia
Abses paru
Kanker paru
Bronkiektasis
KOMPLIKASI
Batuk darah
Pneumotoraks
Gagal napas
Gagal jantung
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan tuberkulosis :
Menyembuhkan dan mempertahankan kualitas hidup/ produktifitas pasien
Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
Mencegah relaps TB
Menurunkan penularan TB ke orang lain
Mencegah kejadian dan penularan TB resistan obat
3
Terapi medikamentosa
Kategori 1
Kasus baru dan BTA (+) atau kasus baru pada penderita yang sakit berat,
TB ekstra paru berat (meningitis, perikarditis, peritonitis, efusi pleura masif,
komplikasi neurologis, intestinal, genitourinari, disseminated tuberculosis)
TB paru dengan BTA (-) tetapi kelainan parenkim luas
Kategori 2
Relaps atau gagal terapi
Putus berobat
Pada fase awal diberikan 2HRZES/1HRZE
Pada fase lanjutan diberikan 5 H3R3E3 atau 5HRE
4
Kategori 3
TB paru dengan BTA (-) dan kelainan parenkim minimal, atau TB ekstrapulmonal
yang tidak termasuk dalam kategori 1.
Pada fase awal : 2 HRZE
Pada fase lanjutan 4H3R3 atau 4HR
Kategori 4
TB kronis.
Diberikan terapi sesuai uji resistensi. Jika sumber dana tidak memungkinkan
dapat dipertimbangkan pemberian INH jangka panjang.
Dosis
OAT Harian 3 x / minggu
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/hari
(mg/kgBB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5(4–6) 300 10 ( 8 – 12 ) 300
Rifampisin 10 ( 8 – 12 ) 600 10 ( 8 – 12 ) 600
Pirazinamid 25 ( 20 – 30 ) - 35 ( 30 – 40 ) -
Etambutol 15 ( 15 – 20 ) - 30 ( 25 – 35 ) -
Streptomisin 15 ( 12 – 18 ) 1000 15 ( 12 – 18 ) 1000
Catatan :
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur > 60 tahun atau pasien
dengan berat badan < 50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis > 500
mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10
mg/kgBB/hari.
5
Tabel 2. Efek samping ringan dari OAT
Gatal & kemerahan di kulit Semua jenis OAT Beri antihistamin &
dievaluasi ketat
6
PENGOBATAN TB PADA PADA KEADAAN KHUSUS
Kontrasepsi oral :
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Disarankan
pasien untuk menggunakan kontrasepsi non hormonal.
Gagal ginjal :
1. Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang
dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol
dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatinin)
Tabel 4. Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan
penyakit ginjal kronis
7
Kelainan Hati
1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan.
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan.
3. Paduan obat yang dianjurkan : 2 SHRE / 6 RH atau 2 SHE / 10 HE atau 9
HRE.
4. Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH.
Hepatitis Imbas Obat
1. Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis).
2. Penatalaksanaan
a. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual/muntah [+]) : OAT Stop
b. Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan :
Bilirubin > 2 : OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 5 X : OAT Stop
SGOT, SGPT ≥ 3 X, gejala (+) : OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 X, gejala (-) : teruskan pengobatan dengan
pengawasan
8
TB PARU DENGAN HIV / AIDS (dibahas di bab khusus)
Pengobatan TB pada HIV :
1. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomondasi ATS yaitu : 2 RHZE /
RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak.
2. Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru
tanpa HIV / AIDS.
3. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat
pada kulit.
4. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin.
5. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH,
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
6. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi.
Referensi :
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2011.
2. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2014.
9
TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT
BATASAN
TB Resistan Obat adalah keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak
dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT).
Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru TB MDR
di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari
kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.
10
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss of follow up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT
11
Gambar 1. Alur Diagnosis TB Resistan Obat
12
PENGOBATAN TB MDR
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah :
a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu.
b. Pemeriksaan : penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran.
c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan.
d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual).
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung
pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.
13
a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah :
Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E)/ Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus sebagai berikut :
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan
standar adalah sebagai berikut :
Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E)/ Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap flurokuinolon maka paduan
standar adalah sebagai berikut :
Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z - (E)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z - E
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan flurokuinolon
(TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut :
Cm – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – E
Keterangan :
Km : Kanamisin Cs : Sikloserin
Lfx : Levofloxacin Cm : Capreomisin
Eto : Ethionamid Mfx : Moxifloxacin
Z : Pirazinamid E : Ethambutol
PAS : Para amino salisilat
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB
RR/MDR secara laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan
dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan (pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30
hari menunjukkan hasil negatif). Tahap lanjutan adalah pemberian paduan
OAT oral tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.
14
Tabel 1. Perhitungan dosis OAT MDR
Referensi :
1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2014.
2. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan
Obat. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2013.
15
TUBERKULOSIS – HIV
BATASAN
Pasien ko-infeksi TB-HIV adalah pasien dengan HIV positif dan ODHA dengan
TB. Pada ODHA infeksi TB laten mudah berkembang menjadi sakit TB aktif.
Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka
akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60%
ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif.
PATOGENESIS
Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun.
Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan
demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah
perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini.
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
TB pada ODHA Dewasa
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan
(lebih dari 10%).
Pada ko-infeksi TB-HIV sering didapatkan TB ekstraparu (TB pleura, TB
perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen).
16
Tabel 1. Perbedaan TB Paru pada stadium awal dan lanjutan infeksi HIV
Tahap infeksi HIV
TB Paru
Awal Lanjutan
Gambaran Sering menyerupai TB paru Sering menyerupai TB paru
klinis post-primer primer
Hasil
pemeriksaan Sering positif Sering negative
dahak
Gambaran
Sering tampak kavitas Infiltrat tanpa kavitas
radiologi
17
Pemeriksaan Penunjang
TB pada ODHA Dewasa
Pemeriksaan Laboratorium Dahak
- Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopis dahak ODHA biasanya BTA negatif.
Cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi =
SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak hasilnya BTA positif
maka diagnosis TB dapat ditegakkan.
- Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk
mendiagnosis TB.
Perlu dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB MDR karena
HIV merupakan salah satu faktor risiko TB MDR.
- Xpert MTB/RIF
Pemeriksaan Xpert MTB/RIF meningkatkan sensitivitas, ketepatan waktu
dan deteksi resistensi rifampisin pada pasien dengan HIV.
Pemeriksaan Radiologi
Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto
toraks TB pada umumnya/tipikal (kavitas, infiltrat di apeks paru), namun pada
HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak spesifik (infiltrat di interstitial,
limfadenopati intratoraks). Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran
TB Milier.
Pada TB ekstraparu dilakukan pemeriksaan spesimen dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan maupun histopatologi.
Pada tabel 3 diuraikan penatalaksanaan sederhana TB ekstraparu pada
ODHA.
18
Tabel 3. Diagnosis segera kasus suspek TB ekstraparu
19
Infeksi HIV pada Pasien TB Dewasa
Pada pasien TB yang dicurigai terinfeksi HIV, maka dilakukan konseling dan
tes HIV sesuai dengan gambar 1.
20
Tabel 4. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1
21
Gambar 2. Alur diagnosis TB Paru pada ODHA rawat jalan
Keterangan:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 oC, denyut nadi >
120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.
b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 2 sediaan hasilnya negatif.
c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi
sehingga mempercepat penegakan diagnosis.
f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri
tipikal dan atipikal.
g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
22
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA sakit berat
Keterangan :
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 oC, denyut nadi >
120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) untuk mengurangi jumlah kunjungan
sehingga dapat mempercepat penegakan diagnosis.
c. Untuk daerah dengan angka prevalens HIV pada orang dewasa > 1% atau
prevalens HIV di antara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum
diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien
suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes
HIV.
d. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri
tipikal dan atipikal.
e. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
f. Bila tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien
menolak untuk diperiksa) penentuan tingkat klinis HIV tergantung kebijakan
nasional.
g. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 2 sediaan hasilnya negatif.
23
h. Periksa kembali untuk TB termasuk pemeriksaan BTA dan penilaian klinis.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan HIV sama dengan pasien
TB tanpa HIV.
Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Pengobatan TB harus segera dimulai sampai dapat ditoleransi dan setelah itu
diberikan pengobatan ARV.
Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Pemberian OAT harus mempertimbangkan interaksi obat, gagal pengobatan
ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.
Memulai pengobatan ARV pada pasien sedang dalam pengobatan TB
Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa
memandang jumlah CD4.
Keterangan :
*) EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin)
sehingga penggunaan pada Wanita Usia Subur (WUS) harus mendapat
perhatian khusus. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 sakit TB,
paduan ART yang mengandung EFV dapat dipikirkan untuk diberikan.
**) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan
OAT yang mengandung Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain.
24
- Pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi opurtunistik (IO) dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis, antara lain pneumonia pneumocystis (PCP), abses
otak toksoplasmosis, pneumonia, isospora belli, salmonella sp., malaria.
25
Gejala termasuk demam tinggi, limfadenopati, lesi susunan saraf pusat yang
membesar, gambaran radiologi memburuk. Untuk jenis IRIS paradoksial dimana
pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi opurtunistiknya maka dapat
diberikan prednison 1-2 mg/kgBB untuk 1-2 minggu kemudian tappering off.
Referensi :
1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2014.
2. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
pada Orang Dewasa dan Remaja. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012.
3. Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012.
26
PNEUMONIA KOMUNITI
BATASAN
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
dimaksud disini tidak termasuk yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.
KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasar klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Berdasar bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur
3. Berdasar predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan saluran napas. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan
penyakit.
27
Mekanisme mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas melalui cara :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
- Demam, menggiggil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
- Sesak napas dan nyeri dada
Faktor Risiko :
1. Umur, lebih rentan pada usia > 65 tahun
2. Infeksi saluran nafas atas yang tidak ditangani
3. Merokok
4. Penyakit penyerta : DM, PPOK, gangguan neurologis, gangguan
kardiovaskuler
5. Terpajan polutan/ bahan kimia berbahaya
6. Tirah baring lama
7. Imunodefisiensi, misalnya : steroid jangka panjang, malnutrisi, HIV
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru :
- Inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
- Palpasi fremitus dapat meningkat
- Perkusi redup
- Auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah kasar pada stadium resolusi
Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA / lateral ) terlihat infiltrat sampai konsolidasi dengan “air
bronchogram“, penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
28
b. Pemeriksaan Laboratorium
- Leukositosis (biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai
30.000/ul) dengan hitung jenis pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED.
- Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi.
- Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis
Pneumonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat
Edema paru
Infark paru
Bronkiolitis obliterans
KOMPLIKASI
Efusi pleura
Empiema
Abses paru
Pneumotoraks
Gagal napas
Sepsis
PENATALAKSANAAN
a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
29
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
30
Tabel 1. Petunjuk terapi empiris menurut PDPI
Rawat jalan Tanpa faktor modifikasi :
Golongan β laktam atau β laktam + anti β laktamase
Dengan faktor modifikasi :
- Golongan β laktam atau β laktam + anti β lactamase
atau
- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, gatifloksasin)
Bila dicuringa pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin, klaritromisin, azitromisin).
Rawat inap Tanpa faktor modifikasi :
- Golongan betalaktam + anti bektalaktamase iv, atau
- Sefalosporin G2, G3 iv, atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
Dengan faktor modifikasi :
- Sefalosporin G2, G3 iv, atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah
makrolid baru.
Ruang rawat Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
intensif - Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah
makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
- Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv
ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas
(siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv.
- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik : sefalosporin
anti pseudomonas iv atau karbapenem iv tambah
aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi iv.
Catatan :
Faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat meningkatkan resiko infeksi
dengan mikroorganisme patogen yang spesifik. Yang termasuk dalam faktor
modifikasi adalah :
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin : umur > 65 tahun, memakai
obat-obat golongan β laktam selama 3 bulan terakhir, pecandu alkohol,
penyakit gangguan kekebalan, penyakit penyerta yang multipel.
b. Bakteri enterik gram negatif : penghuni rumah jompo, mempunyai penyakit
dasar kelainan jantung paru, penyakit penyerta yang multipel, riwayat
pengobatan antibiotik.
c. Pseudomonas aeruginosa : bronkiektasis, pengobatan kortikosteroid > 10
mg/hari, pengobatan antibiotika spektrum luas >7 hari pada bulan terakhir,
gizi kurang.
Referensi :
1. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med. 2001.
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti. PDPI. 2003.
31
PNEUMONIA NOSOKOMIAL
BATASAN
Pneumonia nosokomial (Hospital-acquired pneumonia/HAP) adalah
pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan
disingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi
lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.
PATOGENESIS
Bakteri dapat menyerang saluran napas bagian bawah melalui :
1. Aspirasi, merupakan cara terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis, usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Faktor Risiko :
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh, misalnya penyakit kronik,
perokok, malnutrisi, dll.
2. Faktor eksogen :
- Pembedahan
- Penggunaan antibiotik
- Peralatan terapi pernapasan
- Pemasangan selang nasogastrik, pemberian antasida dan alimentasi
enteral
- Lingkungan rumah sakit
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004) :
Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari
Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat/ rumah sakit tersebut
Penyakit/ terapi yang bersifat imunosupresi (pemberian imunoterapi)
Ada faktor risiko pneumonia nosokomial
32
DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
- Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
- Ditambah 2 diantara kriteria berikut :
Suhu tubuh > 38oC
Sekret purulen
Leukositosis
Pemeriksaan laboratorium :
- Pemeriksaan sputum gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi
sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi
- Kultur darah, dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien
- Analisis gas darah untuk membantu menentukan beratnya penyakit
PENATALAKSANAAN
Terapi awal antibiotik adalah empirik, dan de-eskalasi harus dipertimbangkan
setelah ada hasil kultur dan perbaikan respon klinis.
Respon klinis terlihat setelah 48–72 jam pertama terapi sehingga dianjurkan
tidak mengganti antibiotika sebelum 72 jam, kecuali klinis memburuk.
Onset dini : pneumonia terjadi ≤ 4 hari setelah rawat inap di rumah sakit.
Onset lanjut : pneumonia terjadi ≥ 5 hari setelah rawat inap di rumah sakit.
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS :
1. Dirawat di ruang intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O 2 >
35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%
3. Perubahan radiologik progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari
infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yaitu :
Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
Memerlukan vasopressor > 4 jam
Jumlah urine < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis
Lama terapi 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya P.
aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14-21 hari
33
Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada
pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua
derajat penyakit (mengacu pada ATS/IDSA 2004)
Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk
semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau
terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloxacin atau Levofloxacin)
atau
Aminoglikosida
(Amikasin, Gentamisin,atau Tobramisin)
Referensi :
34
1. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med. 2001.
2. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with
Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated
Pneumonia. Am J Respir Crit. Care Med. 2005.
3. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial. PDPI.
2005.
ABSES PARU
35
BATASAN
Abses paru adalah suatu infeksi oleh mikroba akut atau kronik yang terjadi
pada jaringan paru dimana terjadi pembentukan kavitas dengan jaringan paru
yang nekrosis dan cairan pus didalamnya. Dikenal juga dengan istilah necrotizing
pneumonia bila lesi supuratif nekrosis (kaviti) multipel.
Kuman penyebab biasanya terdiri dari campuran kuman aerob dan anaerob
(Peptostreptococcus spp, Fusobacterium spp, Bacteriodes spp, S.aureus,
S.pyogenes). Penyebab paling sering bakteri piogenik terutama mikroba anaerob.
Faktor risiko terjadinya abses paru
1. Penyakit rongga mulut : ginggivitis, gangguan periodontal
2. Penurunan kesadaran : koma, alkoholisme, drug abuse, anesthesia, kejang-
kejang
3. Gangguan imunokompromis : malnutrisi, kemoterapi, terapi steroid, trauma
multipel
4. Penyakit esophagus : achalasia, gangguan reflux, obstruksi esophagus
5. Obstruksi bronkus : tumor bronkus, benda asing, striktur bronkus
6. Sepsis
PATOGENESIS
Infeksi akan mudah timbul bila ada faktor risiko, dimana aspirasi dari
mikroba merupakan sebab terbanyak dalam mekanisme terjadinya abses paru,
apalagi bila disertai adanya gangguan/infeksi pada mulut.
Bahan yang terhisap akan masuk ke dalam paru yang letaknya lebih
rendah (gravity dependent segment). Proses dimulai sebagai suatu pneumonitis
lokal dan berkembang menjadi eksudat yang terdiri dari darah dan jaringan
nekrosis. Infeksi bakteri terutama anaerob akan memproduksi semacam enzim
yang merusak jaringan parenkim paru, sehingga terbentuk mikroabses yang
berkembang jadi besar membentuk kavitas. Kemudian terjadi abses piogenik yang
rongganya sebagian terbuka ke bronkus dan pus dikeluarkan sehingga rongga
sebagian kosong.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis :
36
Batuk
Dahak berbau busuk (foetor ex ore)
Panas badan
Nyeri pleuritik
Badan tambah kurus
Keringat malam
Perjalanan penyakit kronik dan lambat (chronic and indolent)
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
- Darah : leukositosis (12.000-20.000/ml), LED meningkat, anemia,
pemeriksaan kultur darah
- Dahak : pengecatan gram, didapatkan banyak PMN, serta bakteri dari
berbagai jenis, pemeriksaan kultur dahak
Radiologi
- Foto toraks
Rongga soliter berdinding tebal yang dikelilingi konsolidasi biasanya disertai
air fluid level.
- CT-Scan toraks
Dapat memperlihatkan dengan jelas kelainan kavitas dibandingan foto
toraks biasa.
- USG toraks
Bisa mendeteksi abses paru yang dekat dengan pleura.
Bronkoskopi
Dilakukan untuk mendapatkan etiologi mikroba.
DIAGNOSIS BANDING
1. Tuberkulosis paru
2. Kanker paru yang mengalami nekrosis
3. Bula atau kista yang terinfeksi
4. Hematom paru
5. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi
KOMPLIKASI
1. Batuk darah profus
37
2. Empiema atau piopneumotoraks
3. Abses otak
4. Anemia dan kakeksi dapat timbul pada penyakit yang kronis
5. Septikemia
PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan umum
Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diet TKTP dan rehidrasi yang
cukup.
a. Antibiotik
- Clindamycin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300 mg p.o/6 jam
- Amoksisilin-klavulanat 875 mg p.o/12 jam
- Golongan beta laktam/beta laktam inhibitor, sefalosporin, atau
fluoroquinolon, ditambah metronidazole 500 mg p.o/iv tiap 8-12 jam
- Jika penyebab pseudomonas diberikan sefalosporin anti pseudomonas,
golongan karbapenem, piperasillin/tazobaktam
- Jika penyebab MRSA diberikan vankomisin atau linezolid
- Lama pemberian 4-6 minggu. Bila kavitas besar > 6 cm atau terdapat
empiema maka lama terapi bisa mencapai 3 bulan
b. Drainase postural dan fisioterapi
2. Penatalaksanaan khusus
a. Bronkoskopi
Bila pus sulit keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk
membersihkan jalan napas dan menghisap pus.
b. Pembedahan
Terapi antibiotika adekuat selama 6 minggu gagal, kavitas tetap ada
dan produksi dahak tetap
Sisa jaringan parut yang luas sehingga menganggu faal paru
Referensi :
38
1. Current Medical Diseases & Treatment. Editors : Tierney dkk. 42th edition.
McGraw-Hill Medical. 2003.
2. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
3. Pulmonary Diseases & Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-
Hill Medical. 2008.
39
BATASAN
Flu Burung (FB) atau Avian Influenza (AI) adalah suatu penyakit menular
pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan subtipe H5N1.
Virus FB memiliki kemampuan untuk terus menerus bermutasi sehingga dalam
perkembangannya virus ini dapat menular dari unggas ke manusia.
Sejak tahun 2003 di dunia kumulatif tercatat 15 negara terinfeksi virus FB
pada manusia. Pada tahun 2013 FB terdapat di 6 negara termasuk Indonesia.
Penularan virus influenza secara umum dapat terjadi melalui inhalasi, kontak
langsung ataupun kontak tidak langsung dari unggas ke manusia. Kekhawatiran
rekombinasi genetik (genetic reassortment) antara virus influenza burung dan
virus influenza manusia menyebabkan terjadi penularan manusia ke manusia.
PATOGENESIS
Virus influenza subtipe H5 memiliki kemampuan untuk berkembang
menjadi strain virus yang sangat patogenik. Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus
memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan (attachment) spikes
hemaglutinin (HA) dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) pada
permukaan sel hospes. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan
mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan bereplikasi
membentuk virion-virion baru dan dapat menginfeksi sel-sel disekitarnya.
40
terakhir
Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak sempurna dari wilayah yang dicurigai atau
dipastikan terdapat hewan atau manusia yang
terkonfirmasi flu burung dalam 1 bulan terakhir
Kontak erat dengan binatang lain yang terkonfirmasi
terinfeksi H5N1
Memegang/menangani sampel yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya
b. Seseorang dengan demam ≥ 38oC dan ILI
DAN DISERTAI
Keadaan di bawah ini :
Leukopeni dan gambaran pneumonia pada foto toraks
DAN DISERTAI
≥ 1 pajanan dibawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya
gejala dan foto toraks menggambarkan pneumonia yang
cepat memburuk pada serial foto :
Kontak erat (dalam jarak ± 1 meter) dengan pasien
suspek, probabel, terkonfirmasi flu burung
Terpajan dengan unggas atau lingkungan yang tercemar
kotoran unggas dalam wilayah terjangkit dalam 1 bulan
terakhir
Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak sempurna dari wilayah yang dicurigai atau
dipastikan terdapat hewan atau manusia yang
terkonfirmasi flu burung dalam 1 bulan terakhir
Kontak erat dengan binatang lain yang terkonfirmasi
terinfeksi H5N1.
Memegang/menangani sampel yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya
Leukopenia
Ditemukan titer antibodi H5 dengan pemeriksaan uji HI
menggunakan sel darah merah kuda atau uji ELISA
untuk influenza A tanpa subtipe
Foto toraks menunjukkan pneumonia yang cepat
memburuk pada serial foto
Seseorang yang mempunyai gejala ILI secara klinis dan
radiologis yang cepat mengalami perburukan meskipun
riwayat kontak tidak jelas
Kasus probabel Kriteria kasus suspek ≥ 1 keadaan di bawah ini :
a. Ditemukan kenaikan titer antibodi H5 pada masa akut dan
konvalesen, minimum 4 kali, dengan pemeriksaan uji HI
menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA
b. Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5
(terdeteksinya antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum
41
Atau
Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran
napas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya secara
epidemiologis berkaitan dengan aspek waktu, tempat dan
pajanan terhadap suatu kasus probable atau suatu kasus
H5N1 yang terkonfirmasi
Kasus H5N1 Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau
terkonfirmasi probable
DAN DISERTAI
Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam
suatu laboratorium influenza yang hasil pemeriksaan H5N1-
nya :
a. Hasil PCR H5 positif
b. Peningkatan ≥ 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk
H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan
spesimen akut (diambil ≤ 7 hari setelah awitan penyakit),
dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula ≥ 1/80
c. Isolasi virus H5N1
d. Titer antibodi mikronetralisasi ≥ 1/80 pada spesimen serum
yang diambil pada hari ke ≥ 14 setelah awitan penyakit
disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel
darah merah kuda ≥ 1/160 atau western blot spesifik H5
positif
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Gejala Influenza Like Illness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 38 oC, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorok. Disertai dengan sakit kepala, sesak napas, nyeri
otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna.
Gejala klinik dapat memburuk dengan cepat yang biasanya ditandai dengan
pneumonia berat
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
A. Pemeriksaan Laboratorium Non Spesifik
a. Pemeriksaan Hematologi
o Pemeriksaan darah rutin
o Umumnya kasus flu burung ditemukan leukopeni, limfositopeni
dan trombositopeni
42
o Pemeriksaan Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin,
Kreatinin Kinase, Analisa Gas Darah, CRP, Prokalsitonin (jika
ada)
o Umumnya didapatkan peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan
Ureum/Kreatinin, penurunan albumin
B. Pemeriksaan Laboratorum Spesifik
o Spesimen aspirasi nasofaringeal, serum, apus hidung, tenggorok atau
cairan tubuh lainnya : cairan pleura, cairan ETT.
o Diagnosis H5N1 dibuktikan dengan :
1. Uji RT-PCR untuk H5 yang primernya spesifik untuk isolat virus
H5N1 di Indonesia
2. Peningkatan ≥ 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut
(diambil ≤ 7 hari setelah awitan penyakit), dan titer antibodi
netralisasi konvalesen harus pula ≥ 1/80
3. Titer antibodi mikronetralisasi ≥ 1/80 pada spesimen serum yang
diambil pada hari ke ≥ 14 setelah awitan penyakit disertai hasil
positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda ≥
1/160 atau western blot spesifik H5 positif
4. Isolasi virus H5N1
Radiologi
- Pemeriksaan foto toraks PA/Lateral
o Pada fase awal dapat normal
o Fase lanjut : ground glass opacity, konsolidasi homogen atau heterogen
pada paru unilateral atau bilateral
o Lokasi tersering pada lapangan bawah paru
- Pemeriksaan CT-Scan Toraks
o Bukan merupakan pemeriksaan standar untuk kasus H5N1
o Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala klinis H5N1 tapi
hasil foto toraks normal
o Teknik CT Scan dengan potongan tipis tanpa kontras untuk
mengidentifikasi stadium awal
43
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur
Demam berdarah
Demam typhoid
HIV dengan infeksi
Leptospirosis
Tuberkulosis paru
INDIKASI RAWAT
Indikasi rawat inap penderita H5N1 adalah sebagai berikut :
- Demam
- Nyeri tenggorokan
- Batuk, pilek, bersin, myalgia
- Pada keadaan yang berat timbul distress pernapasan akibat pneumonia
- Terdapat kontak dengan unggas di peternakan, terutama jika unggas tersebut
menderita sakit/mati dalam 7 hari terakhir
Kriteria merawat di ruang intensif :
- Frekuensi napas > 30 x/menit
- PaO2/FiO2 < 250
- Foto toraks : penambahan infiltrat > 50% atau mengenai banyak lobus paru
- TD sistolik < 90 mmHg, TD diastolik < 60 mmHg
- Perlu ventilator mekanik
- Syok septik
- Membutuhkan vasopressor > 4 jam
- Fungsi ginjal memburuk (kreatinin serum > 4 mg/dl)
PENATALAKSANAAN
Pasien di rawat di ruang isolasi.
Terapi suportif dan simptomatik : terapi oksigen, terapi cairan, nutrisi,
antipiretik.
Terapi Antiviral
- Obat antiviral penghambat neuramidase : oseltamivir dan zanamivir, dan
penghambat M2 protein : amantadine dan rimantadin
44
- Dimulai sesegera mungkin setelah awitan penyakit
- Dosis oseltamivir : 2 x 75 mg selama 5 hari, bisa diperpanjang sesuai klinis
- Profilaksis dengan oseltamivir 1 x 75 mg diberikan pada kelompok risiko
tinggi
Antibiotik
Bila terjadi pneumonia, antibiotik diberikan berdasarkan pedoman pneumonia
komunitas dan pneumonia nosokomial.
Kortikosteroid
Diberikan pada syok septik yang tidak responsif dengan terapi cairan dan
memerlukan vasopressor, dengan hidrokortison dosis rendah 200-300 mg/hari
dosis terbagi atau metilprednisolon 0,5-1 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis dalam
24 jam.
Pengelolaan umum di ICU sesuai rekomendasi Surviving Sepsis Campaign
2008, sebagai berikut :
Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi atau yang
mengalami peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan
resusitasi yang telah ditentukan (CVP 8-12 mmHg, MAP ≥ 65mmHg, urin ≥
0,5 mL/kgBB/hari, ScvO2 ≥ 70%).
Pemeriksaan kultur dan pencitraan/imaging untuk memastikan dan mencari
sumber infeksi.
Antibiotik diberikan sesegera mungkin, dan harus dilakukan evaluasi ulang
antibiotik setiap hari.
Identifikasi sumber infeksi dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan
tindakan untuk mengatasinya.
Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid. Target CVP ≥
8 mmHg (dengan ventilasi mekanik ≥12 mmHg). Laju pemberian cairan
harus diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa
perubahan hemodinamik pada saat yang sama.
Pemberian vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Pilihan
pemberian awal norepinefrin dan dopamin adalah melalui vena sentral.
Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan
miokard yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah.
45
Kortikosteroid dosis rendah dapat dipertimbangkan pada syok septik yang
memerlukan vasopressor dan diduga mengalami insufisiensi adrenal. Dosis
hidrokortison < 300 mg/hari.
Pemberian komponen darah diberikan apabila penurunan Hb < 7.0 g/L,
komponen darah diberikan hingga mencapai 7.0 – 9.0 g/L.
Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS.
Sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler pada sepsis.
Mengontrol kadar glukosa darah menggunakan insulin IV pada pasien
dengan sepsis berat setelah stabilisasi di ICU. Target gula darah < 150
mg/dl.
Terapi bikarbonat. Jangan memberikan terapi bikarbonat untuk tujuan
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor
sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH
≥ 7.15.
Profilaksis DVT. Gunakan unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau
low molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi.
Profilaksis stress ulcer,menggunakan H2 blocker atau proton pump
inhibitor.
Referensi :
1. Buku Saku Flu Burung. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2013.
2. Clinical Management of Human Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus.
World Health Organization. 2007.
3. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung (H5N1) di Rumah Sakit. Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI. 2010.
46
INFLUENZA A BARU (H1N1/SWINE FLU)
BATASAN
Penyakit yang menyerang saluran pernapasan mulai dari ringan sampai
berat disebabkan oleh virus influenza baru yaitu Swine Flu H1N1 (Flu Meksiko).
Masa inkubasi penyakit ini berkisar 1-7 hari, sedangkan masa penularan berkisar
antara 1 hari sebelum mulai sakit (onset) sampai 7 hari setelah onset.
Cara penularan melalui kontak langsung dengan penderita H1N1 baik karena
berbicara, droplet infection, atau kontak dengan benda yang terkontaminasi virus
PATOGENESIS
Virus influenza A baru H1N1 dapat menyebabkan penularan antar manusia
dengan penyebaran cukup tinggi sehingga menyebabkan pandemi karena terjadi
mutasi (antigenic shift). Virus influenza A baru H1N1 terdiri dari segmen gen yang
belum pernah dilaporkan sebelumnya baik pada babi maupun manusia.
47
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Gejala Influenza Like Illness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 38 oC, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorok. Disertai dengan sakit kepala, sesak napas, nyeri
sendi, mual, muntah, diare.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, gula darah sewaktu
Analisa gas darah
Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan sputum (smear dan luktur), kultur
darah, kultur urin sesuai indikasi bila terjadi koinfeksi dengan bakteri
Pemeriksaan RT-PCR
Radiologi
Pemeriksaan foto toraks
CT-Scan toraks sesuai indikasi
PENATALAKSANAAN
48
Tatalaksana sesuai kasus
Kasus Tatalaksana
Ringan Rawat jalan
Antivirus (-) kecuali kasus klaster
Terapi simptomatik
KIE
Pasien diamati selama 7 hari
Antiviral
Direkomendasikan pemberian oseltamivir atau zanamivir (bila diduga
resisten oseltamivir atau tidak dapat menggunakan oseltamivir)
Dimulai sesegera mungkin dalam waktu 48 jam setelah awitan penyakit
Dosis oseltamivir : 2 x 75 mg selama 5 hari, bisa diperpanjang 10 hari
sesuai klinis
Dosis zanamivir untuk usia ≥ 7 tahun dan dewasa adalah 2 x 10 mg inhalasi
Tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada H5N1
Antibiotik
Bila terjadi pneumonia, antibiotik diberikan berdasarkan pedoman pneumonia
komunitas dan pneumonia nosokomial.
Kortikosteroid
Diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopressor dan diduga
mengalami insufisiensi adrenal, dengan hidrokortison dosis rendah 300
mg/hari dosis terbagi.
49
sepsis ditegakkan, dan harus dilakukan evaluasi ulang antibiotik setiap hari.
Identifikasi sumber infeksi dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan
tindakan untuk mengatasinya.
Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid. Target CVP ≥ 8
mmHg (dengan ventilasi mekanik ≥12 mmHg). Laju pemberian cairan harus
diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa
perubahan hemodinamik pada saat yang sama.
Pemberian vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Pilihan
pemberian awal norepinefrin dan dopamin adalah melalui vena sentral.
Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan
miokard yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah.
Kortikosteroid dosis rendah dapat dipertimbangkan pada syok septik yang
memerlukan vasopressor dan diduga mengalami insufisiensi adrenal. Dosis
hidrokortison < 300 mg/hari.
Pemberian komponen darah diberikan apabila penurunan Hb < 7.0 g/L,
komponen darah diberikan hingga mencapai 7.0 – 9.0 g/L.
Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS.
Sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler pada sepsis.
Mengontrol kadar glukosa darah menggunakan insulin IV pada pasien dengan
sepsis berat setelah stabilisasi di ICU. Target gula darah < 150 mg/dl.
Terapi bikarbonat. Jangan memberikan terapi bikarbonat untuk tujuan
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor sewaktu
menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH ≥ 7.15.
Profilaksis DVT. Gunakan unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau low
molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi.
Profilaksis stress ulcer, menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor.
Referensi :
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru (H1N1).
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2009.
2. Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Flu H1N1. Kemenkes RI. 2009.
50
MIDDLE EAST RESPIRATORY SYNDROME-CORONA
VIRUS (MERS-CoV)
BATASAN
Penyakit yang menyerang saluran pernapasan mulai dari ringan sampai berat
disebabkan oleh corona virus MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome-
Corona Virus).
Cara Penularan
Dapat menular antar manusia melalui droplet dan kontak dengan benda yang
terkontaminasi virus.
51
riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain
b. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) ringan sampai berat yang memiliki riwayat
kontak erat dengan kasus konfirmasi atau kasus
probable infeksi MERS-CoV dalam waktu 14 hari
sebelum sakit.
Tidak perlu menunggu hasil tes untuk patogen lain
sebelum pengujian untuk MERS-CoV
Kasus Probabel a. Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan
bukti klinis, radiologis atau histopatologis
DAN
Tidak tersedia pemeriksaan untuk MERS-CoV atau
hasil laboratoriumnya negative pada satu kali
pemeriksaan spesimen yang tidak adekuat
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan
kasus konfirmasi MERS Co-V
b. Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan
bukti klinis, radiologis atau histopatologis
DAN
Hasil pemeriksaan laboratorium inkonklusif
(pemeriksaan skrining hasilnya positif tanpa konfirmasi
biomolekular)
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan
kasus konfirmasi MERS Co-V
Kasus Konfirmasi Seseorang menderita infeksi MERS-CoV dengan
konfirmasi laboratorium
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Demam suhu > 38 C
Batuk dan sesak napas
Riwayat bepergian dari negara timur tengah 14 hari sebelum onset
Pemeriksaan fisik
Sesuai dengan gambaran pneumonia.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Foto toraks dapat ditemukan infiltrat, konsolidasi sampai gambaran ARDS.
52
Laboratorium
- Pemeriksaan spesimen corona virus baru (pemeriksaan konfirmasi
diagnosa).
RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction)
Bahan pemeriksaan :
Spesimen dari saluran atas (hidung/nasofaring dan/atau swab
tenggorokan
Spesimen saluran napas bawah (sputum, aspirat endotrakheal,
bilasan bronkoalveolar)
Tempat pemeriksaan : Laboratorium Badan Litbangkes RI Jakarta
Pengambilan spesimen serial dari beberapa tempat dalam waktu
beberapa hari (setiap 2-3 hari) untuk melihat viral shedding
- Spesimen klinis rutin (kultur mikroorganisme sputum dan darah pada pasien
dengan pneumonia).
- Spesimen dari saluran napas atas dan bawah dilakukan pemeriksaan virus
influenza A dan B, virus influenza A subtipe H1, H3 dan H5 dan H5N1.
53
Perjalanan Penyakit MERS-CoV
Infeksi Pernapasan Demam > 38oC sakit tenggorokan, batuk, sesak/napas
akut (ISPA) cepat
Acute Respiratory Onset: akut dalam waktu 1 minggu dari timbulnya gejala
Distress Syndrome klinis atau perburukan gejala respirasi, atau timbul gejala
(ARDS) baru
Tingkat hipoksemia :
ARDS ringan yaitu 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg
dengan PEEP atau CPAP ≥ 5 cm H2O;
ARDS sedang yaitu 100 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg
dengan PEEP ≥ 5 cm H2O
ARDS berat yaitu PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP
≥ 5 cm H2O
Ketika PaO2 tidak tersedia, rasio SpO2/FiO2 ≤ 315
menunjukkan ARDS.
Sepsis Terbukti infeksi atau diduga infeksi, dengan dua atau lebih
kondisi berikut:
Suhu > 38°C atau < 36°C
HR > 90/min, RR > 20/min atau
PaCO2 < 32 mmHg
Leukosit > 12.000 atau < 4000/mm 3 atau > 10% bentuk
imatur
54
PENATALAKSANAAN
Terapi oksigen
- Berikan terapi oksigen pada pasien dengan tanda depresi napas berat,
hipoksemia (SpO2 <90%) atau syok
- Mulai terapi oksigen dengan 5 L/ menit lalu titrasi sampai SpO 2 ≥ 90% pada
orang dewasa yang tidak hamil dan SpO2 ≥ 92-95% pada pasien hamil
- Pulse oximetry, oksigen, selang oksigen dan masker harus tersedia di
semua tempat yang merawat pasien ISPA berat/ SARI
- Ventilasi non invasive (NIV) atau ventilasi invasive melalui endotracheal
tube harus diberikan secara dini pada pasien dengan work of breathing
atau hipoksemia yang berkelanjutan meskipun telah diberikan oksigen
aliran tinggi
- Gunakan lung protective strategy ventilation (LPV) untuk pasien dengan
ARDS
Antibiotika
Awal diberikan terapi empirik, dan antibiotika kemudian disesuaikan
berdasarkan uji kepekaan.
Manajemen cairan konservatif pada pasien ISPA berat/ SARI tanpa syok
Pada pasien ISPA berat/SARI harus hati-hati dalam pemberian cairan
intravena, karena resusitasi cairan secara agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama dalam situasi terdapat keterbatasan ventilasi mekanis.
Jangan memberikan kortikosteroid sistemik dosis tinggi atau terapi tambahan
lainnya untuk pneumonitis virus diluar konteks uji klinis.
Pemantauan secara ketat pasien dengan ISPA berat/ SARI bila terdapat
tanda-tanda perburukan klinis, seperti gagal nafas, hipoperfusi jaringan, syok
dan memerlukan perawatan intensif (ICU).
55
Pengendalian Infeksi
Kewaspadaan Terapkan secara rutin di semua fasilitas pelayanan
standar kesehatan untuk semua pasien.
Tindakan pencegahan standar meliputi :
- Kebersihan tangan dan penggunaan alat pelindung
diri (APD) untuk menghindari kontak langsung dengan
darah pasien, cairan tubuh, sekret (termasuk sekret
pernapasan) dan kulit lecet atau luka.
- Kontak dekat dengan pasien yang mengalami gejala
pernapasan (misalnya batuk atau bersin) pada saat
memberikan pelayanan, gunakan pelindung mata
karena semprotan sekresi dapat mengenai mata.
- Pencegahan jarum suntik atau cedera benda tajam.
- Pengelolaan limbah yang aman, pembersihan dan
disinfeksi peralatan serta pembersihan lingkungan.
Tindakan - Gunakan masker bedah bila bekerja dalam radius 1
pencegahan droplet meter dari pasien.
- Tempatkan pasien dalam kamar tunggal, atau
berkelompok dengan diagnosis penyebab penyakit
yang sama.
- Jika diagnosis penyebab penyakit tidak mungkin
diketahui, kelompokkan pasien dengan diagnosis
klinis yang sama dan berbasis faktor risiko
epidemiologi yang sama dengan pemisahan minimal 1
meter.
- Batasi gerakan pasien dan pastikan bahwa pasien
memakai masker medis saat berada di luar kamar.
Tindakan - Pastikan bahwa petugas kesehatan menggunakan
pencegahan APD (sarung tangan, baju lengan panjang, pelindung
airborne mata, dan respirator partikulat (N95 atau yang setara))
ketika melakukan prosedur tindakan yang dapat
menimbulkan aerosol.
- Bila mungkin, gunakan satu kamar berventilasi
adekuat ketika melakukan prosedur yang
menimbulkan aerosol.
Referensi :
1. Pedoman Surveilans dan Respon Kesiapsiagaan Menghadapi MERS-CoV.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2013.
2. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat Suspek
Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV). Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI.
2013.
56
MIKOSIS PARU
BATASAN
Gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi/
kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.
Faktor risiko
Tabel 1. Penyakit yang diderita dikaitkan dengan mikosis paru yang berisiko
dialami pasien
Pasien terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4 + < 200 sel/mm3 PCP,
kriptokokosis
57
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Keluhan mirip dengan penyakit paru pada umumnya, tidak ada keluhan
patognomonik
Keluhan batuk, demam, sesak pada pasien dengan faktor resiko sesuai bagan
di atas
Pemeriksaan Fisik
Mikosis paru sulit dibedakan dengan penyakit paru lain, tergantung pada kelainan
anatomi yang terjadi pada paru.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi
- Foto toraks
Tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrate interstitial,
konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura. Gambaran khas pada
aspergiloma yaitu fungus ball dalam kavitas.
- CT Scan toraks
Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan jumlah sel eosinofil.
Pemeriksaan mikologi
- Spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, BAL, jaringan biopsi,
darah, cairan pleura, pus
- Pemeriksaan mikroskopik langsung
Dengan menambahkan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta india
- Pemeriksaan biakan
- Pemeriksaan serologis
58
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Mikosis Paru
Kriteria Deskripsi
Diagnosis
Proven Ditemukan faktor pejamu
Gambaran klinis (+)
Hasil pemeriksaan mikologi :
- Pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan
elemen jamur (+) dari hasil biopsi atau aspirasi disertai
bukti kerusakan jaringan, atau
- Biakan (+) dari spesimen yang berasal dari tempat steril
serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan
yang sesuai dengan infeksi, atau
- Pemeriksaan mikroskopik/antigen Cryptococcus dari likuor
serebrospinal (LSS)
Probable Paling sedikit satu kriteria faktor penjamu, dan
Satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi
secara klinis/radiologi, dan
Satu kriteria mikologi
Possible Paling sedikit satu kriteria faktor penjamu,dan
Satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi
secara klinis/radiologi, dan
Tanpa kriteria mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi (-)
Kriteria Deskripsi
Faktor Neutropenia
penjamu Menerima transplantasi sumsum tulang alogenik
Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata
dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama > 3
minggu
Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin,
penyekat TNF-α, antibodi monoclonal spesifik, atau analog
nukleosida dalam 90 hari terakhir
Mengalami imunodefisiensi primer berat
Gambaran Mayor
klinis Terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut pada CT-Scan : lesi
padat dengan atau tanpa halo sign, air-crescent sign atau
kavitas
Minor
- Gejala infeksi saluran napas bawah
- Pemeriksaan fisik : pleural rub
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor
Hasil mikologi Pemeriksaan langsung
- ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen sputum,
59
BAL, bilasan bronkus, aspirat sinus
- pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan
Pemeriksaan tidak langsung
- aspergilosis : antigen galaktomanan terdeteksi dalam
plasma, serum, BAL atau LSS
- penyakit jamur invasive selain kriptokokosis dan
zigomikosis : β-d-glukan terdeteksi dalam serum
PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa
Pemberian obat anti jamur (OAJ), yang terdiri atas golongan : polien
(amfoterisin-B, nistatin, natamisin), flusitosin, azol dan ekinokandin.
Sediaan Indikasi Dosis
Amfoterisin B Aspergilosis invasif, 0,25 – 1 mg/kg/hari
deoksilat blastomikosis, koksidiomikosis,
(Fungizone) mukormikosis
60
Lama terapi OAJ bersifat individual, tergantung jenis infeksi jamur yang
diderita, berat-ringannya penyakit, perkembangan penyakit selama terapi,
serta jenis OAJ yang diberikan.
Evaluasi radiologi dilakukan setelah OAJ 2 minggu.
OAJ dapat diberikan sebagai terapi profilaksis, empirik, pre-emptive
(targeted prophylaxis), dan definitif.
Profilaksis - Pasien dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi
- Diberikan pada awal periode risiko tinggi terkena
infeksi
Empirik Pasien dengan faktor risiko, disertai tanda infeksi
yang etiologinya belum diketahui dan tidak
membaik setelah terapi antibiotika adekuat
selama 3 -7 hari
Pasien dengan kriteria diagnosis possible
Pre-emptive Pasien dengan faktor risiko, gejala klinis, dan hasil
(targeted pemeriksaan radiologi dan atau laboratorium
prophylaxis) mencurigakan infeksi jamur
Pasien dengan kriteria diagnosis probable
Definitif Pasien terbukti (proven) mengalami infeksi jamur
2. Terapi bedah
Merupakan terapi definitif pada aspergiloma
Pada pasien hemoptisis berulang atau hemoptisis masif dengan
mempertimbangkan risiko/toleransi operasi
Referensi :
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru. PDPI. 2011.
61
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
BATASAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik ditandai
dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau
gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit.
Faktor Resiko
Asap rokok
Polusi udara
Stress oksidatif
Gen
Tumbuh kembang paru
Sosial ekonomi
PATOGENESIS
Karasteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim
paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Di berbagai bagian paru dijumpai
peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8 +) dan neutrophil. Sel-sel radang
yang teraktifasi menghasilkan berbagai mediator seperti leukotriene B4, IL8, TNF
alfa, dll yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi
neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu
ketidakseimbangan protease dan antiprotease di paru dan stress oksidatif.
DIAGNOSIS
Gejala klinis
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
62
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal BBLR, infeksi
saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed-lips breathing
- Barrel chest
- Penggunaan otot napas bantu
- Hipertrofi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi
paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Penunjang
1. Faal Paru
- Spirometri
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred.) < 80%, VEP1% (VEP1/KVP) <
75%.
- Uji bronkodilator
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1/APE. Pada PPOK,
perubahan nilai VEP1/APE < 20% dan < 200 ml dari nilai awal.
63
2. Laboratorium darah
Pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit, analisis gas darah.
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain
- Emfisema : hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum)
- Bronkitis kronik : normal, atau pada 21% kasus terdapat peningkatan
corakan bronkovaskuler
CT-Scan toraks (HR-CT) dapat memberikan gambaran parenkim paru lebih
baik daripada foto toraks
4. EKG dan Echogardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung.
5. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan memilih antibiotika yang tepat.
64
DIAGNOSIS BANDING
65
KOMPLIKASI
Gagal napas
Infeksi berulang
Kor pulmonale
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK :
- Mengurangi gejala
- Mencegah progresivitas penyakit
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan status kesehatan
- Mencegah dan menangani komplikasi
- Mencegah dan menangani eksaserbasi
- Menurunkan kematian
KLASIFIKASI PPOK
GOLD 2010
Derajat Klinis Faal Paru
Derajat beresiko Gejala klinis Normal
(batuk,produksi sputum)
Derajat I : Gejala batuk kronik dan VEP1 / KVP < 70%
PPOK ringan produksi sputum ada tetapi VEP1 ≥ 80% prediksi
tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak
menyadari bahwa faal paru
mulai menurun
Derajat II : Gejala sesak mulai VEP1 / KVP < 70%
PPOK sedang dirasakan saat aktifitas dan 50% ≤ VEP1 < 80%
kadang ditemukan gejala prediksi
batuk dan produksi sputum
Derajat III : Gejala sesak lebih berat, VEP1 / KVP < 70%
PPOK berat penurunan aktivitas, rasa 30% ≤ VEP1 < 50%
lelah dan serangan prediksi
eksaserbasi semakin sering
dan berdampak pada
kualitas hidup pasien
Derajat IV : Gejala di atas ditambah VEP1 / KVP < 70%
PPOK sangat berat tanda-tanda gagal napas VEP1 < 30% prediksi
66
atau gagal jantung kanan atau VEP1 < 50%
dan ketergantungan oksigen prediksi disertai gagal
napas kronik
Tambahkan inhalasi
glukokortikosteroid jika terjadi
eksaserbasi berulang
Tambahkan
oksigen jangka
panjang jika
terjadi gagal
napas kronik
Lakukan
tindakan
operasi bila
diperlukan
67
ALGORITME PENATALAKSANAAN PPOK STABIL
PPOK stabil
BILA PERLU :
Ekspektoran
Mukolitik
Antioksidan
Vaksin
Antibiotika
Referensi :
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket guide
to COPD diagnosis, management and prevention. National Institute of Health.
National Heart Lung and Blood Institute, Update2015.
68
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2003.
3. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2011.
ASMA BRONCHIALE
BATASAN
Gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang seperti mengi, sesak napas,
dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam dan dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
69
Sulfur dioksida
Makanan, zat aditif, obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan
PATOGENESIS
Konsep yang dianut saat ini adalah proses inflamasi kronik yang kompleks,
melibatkan dinding saluran napas yang mengakibatkan hambatan aliran udara
dan peningkatan airway responsiveness, yang selanjutnya merupakan
predisposisi penyempitan saluran napas sebagai respon terhadap berbagai
stimuli. Karasteristik inflamasi saluran napas ditandai peningkatan jumlah
eosinophil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T (terutama Th 2) pada
mukosa saluran napas, yang disebut conductor of inflammation orchestra. Proses
ini terus berlangsung bahkan pada saat asma asimtomatik. Bersamaan dengan
proses inflamasi kronis, jejas pada epitel bronkus merangsang proses perbaikan
yang berakibat pada perubahan struktur dan fungsi yang dikenal dengan
remodeling. Inflamasi, remodeling, dan perubahan kontrol saraf saluran napas
berperan dalam eksaserbasi asma dan obstruksi aliran udara lebih permanen.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali faktor pencetus yang bersifat individu
- Respon terhadap bronkodilator
- Riwayat penyakit : riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi (atopi)
Pemeriksaan Fisik
- Pada kondisi tidak eksaserbasi bisa tidak dijumpai kelainan
- Peningkatan kerja napas ditandai dengan penggunaan otot napas bantu
- Auskultasi wheezing atau adanya fase ekspirasi memanjang
Pemeriksaan Penunjang
- Faal Paru (Spirometri, Arus Puncak Ekspirasi/APE)
Untuk diagnosis dan monitor
70
Obstruksi jalan napas rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi
Menilai reversibiliti dan variabiliti
Menilai derajat beratnya asma
- Laboratorium
Darah : eosinophil, IgE spesifik
Sputum : eosinophil, spiral curschmann, kristal charcoat-leyden
Analisis gas darah : bila curiga gagal napas
- Radiologis (Foto toraks PA)
Normal atau hiperventilasi
Untuk mencari penyulit : pneumotoraks, pneumomediastinum, ateletaksis,
pneumonia
Menyingkirkan penyakit lain
- Uji kulit
Untuk asma alergi.
- Uji provokasi bronkus
Untuk menilai airway hyperresponsiveness dengan bahan alergen, histamin,
metakolin, salin hipertonis atau latihan fisik dengan parameter PC 20.
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan saluran napas atas : paralisis corda vocalis, sindrom disfungsi corda
vocalis, aspirasi benda asing, massa laringotrakeal, penyempitan trakea,
tracheomalacia, edema saluran napas akibat jejas inhalasi atau angioedema
Kelainan saluran napas bawah : PPOK, bronkiektasis, allergic
bronchopulmonary mycosis, cystic fibrosis, pneumoni eosinofilik, bronkiolitis
obliterans
Gagal jantung kongestif (asma kardial), emboli paru, batuk akibat obat (ACE
inhibitor)
Gangguan psikiatri (konversi)
KOMPLIKASI
Kelelahan, dehidrasi, infeksi saluran napas, kor pulmonale, pneumotoraks,
pneumomediastinum, emfisema kutis, ateletaksis, gagal napas, aritmia.
71
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Mencapai dan mempertahankan kontrol asma
2. Mempertahankan level aktifitas normal termasuk exercise
3. Mempertahankan fungsi paru seoptimal mungkin
4. Mencegah eksaserbasi
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah kematian akibat asma
Level asma kontrol saat sekarang, dan pengobatan yang digunakan menentukan
pemilihan obat farmakologik. Pasien tidak terkontrol dengan regimen yang
digunakan sekarang, maka pengobatan harus ditingkatkan sampai tercapai
kondisi terkontrol. Jika kondisi terkontrol tercapai minimal 3 bulan, pengobatan
diturunkan untuk menentukan dosis terendah dari pengobatan dan
mempertahankan keadaan terkontrol.
72
Dari skema dibawah (manajemen berdasarkan kontrol) ada 5 tahap yang
memberikan opsi untuk meningkatkan efikasi. Tahap 2 adalah pengobatan awal
untuk pasien asma dengan keluhan persisten yang belum pernah diobati. Jika
pada waktu konsultasi awal menunjukkan asma sangat tidak terkontrol,
pengobatan dianjurkan dimulai dari tahap 3.
Incre
ased
Penurunan Peningkatan
Tahapan Terapi
Referensi :
1. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2004.
2. Global strategy for asthma management and prevention. Global Initiative for
asthma (GINA). 2012.
73
3. Pulmonary Diseases and Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition.
McGraw Hill Medical. 2008.
4. Textbook of Respiratory Medicine. Editors : Murray JF, Nadel JA. 4 rd edition.
Philadelphia. WB Saunders Comp. 2005.
BRONKIEKTASIS
BATASAN
Bronkiektasis adalah pelebaran dan distorsi bronkus ukuran sedang yang bersifat
permanen dan ireversibel.
PATOGENESIS
Pada bronkiektasis terjadi peradangan, kerusakan dan pelebaran saluran napas
bronkiolus. Kerusakan utama meliputi otot-otot bronkus, pembuluh darah dan
jaringan elastik lainnya. Dinding saluran bronkus menebal dan tidak beraturan,
tulang rawan bronkus menjadi kaku dan tidak elastik. Bila berlanjut terjadilah
fibrosis. Akibatnya terjadi penumpukan sekret dan mikroba tumbuh dengan baik
sehingga terjadi infeksi berulang.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Batuk kronik berdahak mukopurulen/purulen dalam jumlah banyak (wet
bronchiectasis)
Batuk berulang tanpa dahak, kadang disertai dengan batuk darah (dry
bronchiectasis)
Sesak napas dan wheezing bisa dijumpai dan lebih persisten jika penyakit
bertambah progresif
Dahak jika diendapkan ada 3 lapis :
Atas : lapisan cairan dengan busa
Tengah : keruh dan mukopurulen
Bawah : purulen dan putih padat
Pemeriksaan Fisik
74
Tidak spesifik bisa dijumpai ronki basah kasar, halus persisten, wheezing
Bisa didapatkan jari tabuh
Sianosis dan polisitemia karena hipoksemia kronis
Pada periode eksaserbasi ditandai dengan panas, peningkatan batuk dan
jumlah sputum
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
- Foto toraks
o Dapat normal pada 7-20% kasus bronkiektasis
o Gambaran tram track/tram line (bronkiektasis silindris), tooth paste line
(bronkiektasis varikose), kiste terisolasi/menggerombol dengan air fluid
level (bronkiektasis sakuler/kistik)
- CT-Scan toraks (High Resolution CT-Scan)
Laboratorium
- Mikrobiologi sputum untuk menentukan etiologi mikroba penyebab
- Darah tepi : tidak spesifik mungkin didapatkan leukositosis ringan,
peningkatan neutrofil, polisitemia sebagai reaksi hipoksemia kronik
Spirometri
Kelainan obstruksi dan tidak reversibel terhadap bronkodilator, jika lanjut
disertai dengan kelainan restriksi
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis kronis
Kanker paru
Fibrosis kistik
Tuberkulosis paru
KOMPLIKASI
Batuk darah
Pneumonia
Abses paru
Kor pulmonale
75
Gagal napas
PENATALAKSANAAN
a. Konservatif
- Antibiotik umumnya diberikan pada saat eksaserbasi
- Fisioterapi dada : postural drainage, perkusi dada, latihan batuk
- Hidrasi
- Bronkodilator
- Kortikosteroid jika diperlukan
- Mukolitik (asetil sistein)
d. Pembedahan
- Gejala klinis berulang dan refrakter karena lesi lokal
- Hemoptisis masif dan lokasi perdarahan diketahui/dicurigai
Referensi :
1. Current Medical Diagnosis and Treatment. Editors : Tierney dkk. 42th edition.
McGraw-Hill. 2003.
2. Textbook of respiratory Medicine. Editors : Murray dkk. 4th edition. WB
Saunders Comp. 2005.
76
PNEUMOTORAKS
BATASAN
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara bebas di dalam rongga
pleura.
Macam Pneumotoraks :
Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks spontan sekunder
Pneumotoraks traumatik
Pneumotoraks iatrogenik
Pneumotoraks katamenial
Menurut jenis kebocorannya dibagi :
Pneumotoraks tertutup
Pneumotoraks terbuka
Pneumotoraks ventil
PATOGENESIS
Tekanan intrapleura negatif, tekanan alveoli positif, bila terjadi hubungan atau
kebocoran antara rongga pleura dengan alveoli, udara akan bergerak dari alveoli
ke dalam rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau
hubungan/kebocoran tertutup sehingga paru akan kolaps karena sifat paru yang
elastis. Kejadian yang sama pada hubungan antara dinding dada dan rongga
pleura.
DIAGNOSIS
Gejala klinis
77
- Sesak napas mendadak, makin lama makin berat
- Nyeri dada ringan atau berat
- Gagal napas dan mungkin disertai dengan sianosis
- Timbul biasanya setelah batuk keras, angkat benda berat, bersin dan
sebagainya
Pemeriksaan fisik
Penderita tampak sesak, lemah sampai syok. Pada pneumotoraks ventil sering
terjadi kolaps sirkulasi akibat pergeseran mediastinum
- Inspeksi : Gerak napas asimetris, sisi sakit tertinggal dan lebih menonjol
- Palpasi : Fremitus melemah sampai menghilang
- Perkusi : Hipersonor sisi sakit
- Auskultasi : Suara napas menurun sampai menghilang sisi yang sakit
Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
- Tampak garis kolaps paru. Pada pneumotoraks parsial dengan lokasi di
anterior atau posterior, batas garis kolaps mungkin tidak terlihat. Bila
diperlukan dapat dilakukan foto toraks lateral
- Mediastinal shift dapat terlihat pada foto toraks, terutama pada
pneumotoraks ventil
CT Scan toraks
- Diperlukan apabila pada foto toraks pneumotoraks sulit ditentukan
- Lebih spesifik untuk membedakan emfisema bullosa dengan pneumotoraks
DIAGNOSIS BANDING
Pleurisi
Pericarditis
Infark miokard akut
Emboli paru
Bronkitis kronis
Emfisema
Hernia diafragmatika
78
Dissecting aneurysma aorta
KOMPLIKASI
Gagal napas
Hemopneumotoraks
Empiema
Ateletaksis
Pneumotoraks berulang
Emfisema subkutis atau mediastinum
Edema paru reekspansi
PENATALAKSANAAN
Terapi tergantung berat ringan pneumotoraks dan penyakit dasar
Tindakan Non Bedah
1. Observasi
Dilakukan pada penderita tanpa keluhan dengan luas pneumotoraks <20%
Sebaiknya penderita dirawat untuk observasi selama
24-48 jam, apabila 7 hari pengamatan masih didapatkan pneumotoraks,
maka dilakukan tindakan aspirasi atau WSD
Contoh : Pneumotoraks spontan primer stabil dengan
kolaps paru kecil (< 20%) dilakukan observasi, suplemen oksigen untuk
mempercepat reabsorpsi
Aspirasi : Dapat dilakukan dengan menggunkan
abbocath no.14 yang dihubungkan dengan three way, dengan
menggunakan semprit 50 cc dilakukan aspirasi
2. Pemasangan WSD
Bila pneumotoraks luas sebaiknya dipasang WSD. Bila
setelah pemasangan WSD paru tidak mengembang maka dibantu dengan
continous suction
WSD dicabut setelah paru mengembang ( terdengar
suara napas, dan tidak terdapat lagi undulasi pada WSD), lakukan foto
toraks ulangan untuk memastikan paru mengembang setelah WSD diklem
1-3 hari.
79
Contoh : Pneumotoraks spontan sekunder dilakukan
pemasangan WSD
3. Pleurodesis
Dilakukan pada pneumotoraks rekurens
Tindakan obliterasi artifisial terhadap rongga pleura, menggunakan agen
sklerosan dengan tujuan membuat inflamasi antara pleura visceralis dan
pleura parietalis
Tindakan Bedah
1. Torakotomi
2. Torakoskopi
Referensi :
1. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
3. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. 2010.
80
EFUSI PLEURA
BATASAN
Kumpulan cairan di rongga pleura.
PATOGENESIS
Transudat
- Merupakan cairan ekstraseluler dalam rongga pleura yang timbul secara pasif
- Berat jenis cairan < 1,015 dengan protein < 2-3 g/dl
- Terjadi sebagai akibat perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi
pergerakan cairan pleura
- Contoh :
Peningkatan cairan interstitial pulmonal dan peningkatan tekanan kapiler
pleura visceral pada gagal jantung kiri
Penurunan tekanan onkotik
Eksudat
- Terjadi akibat perubahan faktor lokal sehingga terjadi akumulasi cairan pleura
- Cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh penyakit infeksi atau
neoplasma
- Umumnya kadar protein > 3 g/dl, dapat berwarna kuning, purulen ataupun
kemerahan, dengan atau tanpa sel-sel atau bakteri
- Secara umum dapat disebabkan oleh inflamasi, infeksi, neoplasma
DIAGNOSIS
81
Gejala Klinis
- Sesak napas, bisa disertai perasaan tidak enak di dada
- Kadang-kadang disertai nyeri pleuritik dan batuk non produktif
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : Gerak napas tertinggal pada sisi efusi, sela iga tampak melebar
- Palpasi : Fremitus raba menurun
- Perkusi : Redup, dapat membentuk garis Ellys d’amoiciere, tanda-tanda
pendorongan mediastinum, sela iga melebar
82
- Kultur dan tes sensitivitas cairan pleura untuk kecurigaan infeksi bakterial
- Sitologi cairan pleura untuk keganasan
DIAGNOSIS BANDING
Konsolidasi paru karena pneumonia
Neoplasma paru dengan kolaps paru
Fibrosis paru
KOMPLIKASI
Empiema
PENATALAKSANAAN
- Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik. Dianjurkan untuk melakukan aspirasi sedikit demi sedikit,
sebanyak 500 – 1000 cc, untuk mencegah edema paru akibat pengambilan
cairan yang banyak dan cepat.
- Efusi pleura maligna yang cepat reakumulasi dianjurkan pleurodesis.
Referensi :
1. Current Medical Diseases & Treatment. Editors : Tierney dkk. 42th edition.
McGraw-Hill Medical. 2003.
2. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
3. Pulmonary Diseases & Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-
Hill Medical. 2008.
83
EMPIEMA TORAKS
BATASAN
Empiema toraks adalah proses supurasi dalam rongga pleura.
Etiologi
Bakteri gram negatif (P.aeruginosa, Kleibsella, Bacteriodes, E.coli, P.
mirabilis)
S.aureus , S.pneumonia, S.pyogens
Bakteri anaerob
Polimikroba
Berasal dari paru Infeksi dari luar paru
1. Pneumonia 1. Trauma dari otak
2. Abses paru 2. Pembedahan otak
3. Fistel bronkopleura 3. Torasentesis
4. Bronkiektasis 4. Abses subfrenik
5. Tuberkulosis paru 5. Abses hati
6. Jamur paru
PATOGENESIS
Perjalanan efusi parapneumonia dapat dibagi tiga :
1. Fase eksudatif. Cairan pleura steril. Karasteristik : leukosit rendah, LDH rendah,
pH dan glukosa normal
2. Fase fibropurulen. Karasteristik : jumlah PMN, bakteri, debris seluler cairan
pleura meningkat, terjadi endapan fibrin pada pleura. Bila lanjut terjadi lokulasi.
Tanda : pH dan glukosa rendah, LDH meningkat
3. Fase organisasi. Fibroblas tumbuh dan membentuk pleural peel, biasanya
terjadi > 2-3 minggu
84
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Empiema akut
Empiema akut ditandai dengan panas tinggi, nyeri pleuritik, toksemia, anemia, jari
tabuh, bisa disertai batuk produktif nanah bercampur darah.
Empiema kronis
Batas yang tegas antara akut dan kronis sulit ditentukan, disebut kronis apabila
berjalan > 3 bulan. Penderita mengeluh badan lemah, kesehatan penderita
tampak mundur, dan pucat.
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : Gerak napas tertinggal pada sisi sakit
- Palpasi : Fremitus raba menurun pada sisi sakit
- Perkusi : Redup
- Auskultasi : Suara napas menurun atau menghilang
Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks PA dan Lateral
Didapatkan gambaran opasitas yang menunjukkan cairan dengan atau tanpa
kelainan paru. Apabila terjadi fibrotoraks maka trakea dan mediastinum
tertarik ke sisi sakit dan tampak penebalan pleura.
Laboratorium
Aspirasi pleura berupa pus/nanah dilakukan pemeriksaan bakteriologi (amuba,
jamur, TB), kultur dan tes kepekaan antibiotika.
KOMPLIKASI
- Fistula bronkopleura
- Sepsis, syok, gagal jantung kongestif, otitis media
PENATALAKSANAAN
1. Pengosongan rongga pleura
Drainase tertutup
85
- Drainase nanah dengan WSD yang cukup besar agar nanah keluar
dengan lancar. Indikasi pelepasan WSD :
1. Tanda-tanda infeksi menghilang, biasanya setelah 7-10 hari terapi
2. Jumlah pus WSD < 50 cc/hari
3. Paru mengembang semaksimal mungkin
Drainase terbuka
Dikerjakan pada empiema kronik dengan memotong sela iga untuk
membuat jendela. Cara ini dipilih jika dekortikasi tidak mungkin dikerjakan.
2. Pemberian antibiotik
Antibiotik sesuai evidence based harus segera diberikan begitu diagnosis
ditegakkan. Antibiotik selanjutnya sesuai hasil kultur dan tes kepekaan
antibiotik.
Antibiotik biasanya diberikan 3-6 minggu, ditandai oleh :
- Pasien tidak demam lagi dan leukosit kembali normal
- Foto toraks membaik
- Jumlah pus pada WSD < 50 cc/ hari
3. Penutupan rongga pleura
Bila empiema kronis gagal menunjukkan respon dengan drainase kateter
toraks, maka dilakukan dekortikasi atau torakoplasti.
4. Pengobatan kausal
Tergantung penyebab, misalnya amubiasis, tuberkulosis maka diberikan obat
spesifik untuk masing-masing penyakit.
5. Pengobatan tambahan dan fisioterapi
Bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum.
Referensi :
1. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition. Philadelphia.Lippincott Williams
& Wilkins. 2007.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-
HillMedical. 2008.
3. Textbook of Respiratory Medicine. Editors : Murray JF, Nadel JA. 4 rd edition.
Philadelphia. WB Saunders Comp. 2005.
86
KANKER PARU
BATASAN
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru
(metastasis tumor di paru). Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud
dengan kanker paru ialah kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal
dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma).
PATOFISIOLOGI
Etiologi pasti kanker paru belum diketahui, diduga multifaktorial
- Genetik : ketidakseimbangan protoonkogen dan tumor supresor, perubahan
kromosom
hiperekspresi protoonkogen : gen myc, gen k-ras
kurang/hilang fungsi gen tumor supresor : gen p53, gen rb
perubahan kromosom : lokasi 1p, 3p, 9p
- Paparan karsinogen
asap rokok
industri : asbes, nikel, dll
jaringan parut di paru karena penyakit lain
DIAGNOSIS
Gejala Klinik
Keluhan utama dapat berupa :
87
Batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
Batuk darah
Sesak napas
Suara serak
Sakit dada
Sulit / sakit menelan
Benjolan di pangkal leher
Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa
nyeri yang hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang.
Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :
Berat badan berkurang
Nafsu makan hilang
Demam hilang timbul
Sindrom paraneoplastik, seperti Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy,
trombosis vena perifer dan neuropatia.
Pemeriksaan Fisik
Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran
normal pada pemeriksaan.
Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai ateletaksis sebagai akibat
kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan
hasil yang lebih informatif.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intraorbital
karena metastasis otak dan terjadi fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.
Gambaran radiologis
a. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral kelainan dapat dilihat bila massa
tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm.
- Tepi yang iregular, disertai identasi pleura, tumor satelit
- Invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis
88
intrapulmoner.
b. CT-Scan toraks
- Deteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat
- Tanda-tanda proses keganasan tergambar secara lebih baik, bahkan bila
terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis,
efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
dinding dada meski tanpa gejala
- Mampu mendeteksi keterlibatan KGB
89
pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis
histologis/patalogis tidak dapat ditegakkan.
Pemeriksaan lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainnya tidak dapat
digunakan untuk mediagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil
pengobatan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :
Jenis histologis
Derajat (staging)
Tampilan (performance status)
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.
Jenis histologis
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large cell carcinoma)
Untuk kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal harus ditetapkan, apakah
termasuk kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK atau small cell lung
cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK,
nonsmall cell lung cancer, NSCLC).
90
adalah tumor yang dikatagorikan atas Tx, To s/d T 4, N untuk keterlibatan
kelenjer getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N 3,
sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis di paru atau
metastasis jauh (Mo s/d M1a, M1b).
Untuk penderajatan KPKSK, tidak berdasarkan TNM, melainkan :
- Limited disease : tumor terbatas pada hemitoraks dan kelenjar ipsilateral
- Extensive disease : penyebaran tumor melampaui limited disease
Pada umumnya KPKSK tidak operable, karena biasanya telah menyebar saat
diagnosis. Modalitas terapi berupa kemoterapi dan atau radioterapi.
Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif yang
dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala internasional untuk menilai tampilan
ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak dipakai di Indonesia,
tetapi juga dapat dipakai skala tampilan WHO. Tampilan inilah yang sering jadi
penentu dapat tidaknya kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).
1. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stage I
dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari combined modality therapy,
misalnya didahului kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stage IIIA. Indikasi
lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervasi bedah, seperti
kanker paru dengan sindrom vena kava superior berat.
2. Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat terapi kuratif atau paliatif.
Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoradioterapi
neoadjuvan untuk KPKBSK stage IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja
tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindrom vena kava superior, nyeri
tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau
otak.
3. Kemoterapi
91
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama
harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status)
harus lebih dari 60 menurut skala karnosfky atau 2 menurut skala WHO.
Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam
kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis
obat antikanker dapat dilakukan.
92
5. Fungsi hati baik
6. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit)
4. Imunoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil
penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.
93
5. Hormonoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil
penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.
Referensi :
1. Cancer principles & practice of oncology. Editors : DeVita dkk. 6 th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001.
2. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi
Revisi III. PDPI. 2011.
94
TUMOR MEDIASTINUM
BATASAN
Tumor yang terdapat dalam rongga mediastinum.
PATOFISIOLOGI
Pada umumnya merupakan kelainan kongenital, namun biasanya baru
menimbulkan gejala menjelang dewasa. Hal ini antara lain berhubungan dengan
fakta bahwa ruang mediastinum relatif sempit, terisi oleh tumor, sehingga
pembesaran tumor baik jinak maupun ganas akan menekan organ-organ
mediastinum lain. Gejala klinis yang timbul adalah akibat penekanan pada organ-
organ vital tersebut.
DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak menimbulkan gejala. Keluhan timbul akibat
penekanan atau invasi ke struktur mediastinum.
Penekanan pada organ sekitar Gejala
Trakea dan bronkus Batuk, sesak, stridor
Esofagus Disfagia
Vena kava superior Sindrom vena kava superior
n. laryngeal Serak, batuk kering
n. frenikus Paralisis diafragma
Tumor neurogenik atau Nyeri dinding dada
penekanan sistem syaraf
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ
sekitarnya. Tumor mediastinum dapat dikaitkan dengan beberapa keadaan
klinis, misalnya :
- Miastenia gravis mungkin menandakan timoma
- Limfadenopati mungkin menandakan limfoma
95
B. Prosedur Radiologi
1. Foto toraks PA/ Lateral
- Tampak bayangan bulat/lonjong di daerah mediastinum atau pelebaran
bayangan mediastinum dengan batas tegas, tanpa disertai kelainan
yang berhubungan dengan parenkim paru
- Curiga ganas jika tumor menyebar ke kanan dan kiri mediastinum
2. CT-Scan toraks dengan kontras
- Mampu menentukan lokasi anatomik serta hubungannya dengan
organ-organ sekitar dan memungkinkan pula dilakukan pengukuran
densitas tumor, sehingga dapat ditentukan kista atau tumor padat
- Dengan panduan CT-Scan toraks juga dapat dilakukan fine needle
aspiration byopsi untuk pemeriksaan sitologi
3. Ekokardiografi
Berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga aneurisma.
4. Fluoroskopi, Angiografi, Esofagografi, USG, MRI, Kedokteran Nuklir
C. Prosedur Endoskopi
1. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang pendorongan atau
penekanan tumor terhadap saluran napas dan lokasinya.
2. Mediastinoskopi
3. Esofagoskopi
4. Torakoskopi eksplorasi
D. Prosedur Patologi Anatomi
1. Pemeriksaan sitologi
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk
pemeriksaan sitologi ialah : biopsi jarum halus, punksi pleura, bilasan atau
sikatan bronkus pada saat bronkoskopi, biopsi transtorakal.
2. Pemeriksaan histologi
E. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan kadar T3 dan T4 untuk tumor tiroid
- Pemeriksaan α-fetoprotein dan β-HCG untuk tumor mediastinum germinal.
Meningkat pada golongan non seminoma
96
F. Tindakan Bedah
Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik, jika semua upaya tidak berhasil
memberikan diagnosis histologik.
G. Pemeriksaan Lain
EMG untuk mencari kemungkinan miastenia gravis pada timoma.
DIAGNOSIS BANDING
1. Mediastinum anterior
Timoma, timolipoma, tumor karsinoid, thymic cyst, tiroid aberan, germ cell
tumor, limfoma maligna, giant lymph node hyperplasia, teratoma, adenoma,
karsinoma paratiroid, tumor mesenkim dan sarkoma jaringan ikat longgar,
tumor limfovaskular.
2. Mediastinum medius
Kista kongenital (brokogenik, perikardial), tumor primer kardiak/vascular,
limfadenopati, aneurisma aorta, pembesaran a.pulmonalis, limfoma, neural
crest tumor, paraganglioma, hernia foramen morgagni.
3. Mediastinum posterior
Tumor neurogenik, limfoma, tumor mesenkim/sarkoma jaringan ikat longgar,
hernia foramen bochdalek.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum jinak adalah pembedahan sedangkan
untuk tumor ganas berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum jenis
limfoma diobati sesuai protokol. Penatalaksanaan tumor mediastinum non limfoma
secara umum multimodaliti yaitu tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi.
Referensi :
1. Pulmonary Diseases and Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition.
McGraw-Hill Medical. 2008.
2. Tumor Mediastinum Nonlimfoma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. PDPI. 2003.
97
EFUSI PLEURA GANAS
BATASAN
Efusi pleura ganas (EPG) adalah efusi yang terjadi berhubungan dengan
keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel ganas pada pemeriksaan
sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Pada beberapa kasus EPG didasarkan
pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang
serohemoragik/hemoragik, berulang, masif, tidak respon terhadap anti infeksi atau
sangat produktif meskipun telah dilakukan torakosintesis untuk mengurangi
volume cairan intrapleura.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi EPG belum jelas benar, tetapi terdapat beberapa hipotesis.
Akumulasi efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabiliti pembuluh
darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan karena infiltrasi sel kanker pada
pleura. Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung tumor yang
berdekatan dengan pleura, obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran hematogen
atau tumor primer pleura (mesothelioma).
DIAGNOSIS
Gejala Klinik
- Sesak napas, napas pendek
- Batuk
- Nyeri dada dan dada terasa penuh
- Riwayat penyakit sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi
trakea dan/atau jantung ke arah kontralateral, fremitus suara melemah,
perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi toraks yang sakit
- Menemukan kelainan lain di tubuh penderita, misalnya tumor di daerah leher,
aksila, payudara, dll
- Memprediksi kegawatan, misalnya tanda-tanda vena kava superior sindrom
98
Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks PA
Etiologi keganasan harus dipikirkan bila didapatkan volume efusi pleura
sangat banyak/masif.
- USG toraks
Pada kasus jumlah cairan sedikit, USG toraks membantu untuk memastikan
cairan dan sekaligus memberikan penanda (marker) untuk torakosintesis dan
biopsi pleura.
- CT-Scan toraks
Mampu mendeteksi efusi pleura minimal dan melihat kelainan pada parenkim
paru, mediastinum dan pembesaran kelenjar getah bening.
- Analisis cairan pleura dapat memastikan bahwa cairan adalah eksudat,
sedangkan pemeriksaan sitologi adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika
ada dugaan EPG.
- Pemeriksaan penunjang lain seperti biopsi pleura, bronkoskopi, biopsi
transtorakal, torakoskopi medik dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur
tindakan yang terkadang perlu dilakukan untuk penegakan diagnosis.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan kausal disesuikan dengan stage dan jenis tumor.
Tidak jarang tumor primer sulit ditemukan, maka aspek pengobatan lokal
menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis
untuk mengurangi produksi cairan.
Bila setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak
ditemukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka
EPG dianggap berasal dari paru.
Apabila tumor primer ditemukan di luar paru, maka EPG ini termasuk gejala
sistemik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan
penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.
99
Gambar 1. Alur Diagnosis Efusi Pleura Ganas
Referensi :
1. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi
Revisi III. PDPI. 2003.
100
PNEUMOKONIOSIS BATU BARA
BATASAN
Penyakit paru akibat inhalasi debu batu bara sehingga terjadi penumpukan
debu batu bara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut.
PATOGENESIS
Debu masuk ke unit respirasi dan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar,
dan proses selanjutnya tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Sebagian
debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah
relatif banyak di paru dengan rekasi jaringan yang minimal. Debu inert akan tetap
berada di makrofag sampai terjadi kematian makrofag, selanjutnya debu akan
keluar dan difagositosis oleh makrofag lainnya. Pada debu yang bersifat sitotoksik,
partikel debu yang difagositosis oleh makrofag akan menyebabkan kehancuran
makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis. Mediator inflamasi yang
berperan dalam patogenesis pneumokoniosis batu bara antara lain TNF-α, IL-1,
PDGF. Empat gambaran respon patologi yaitu fibrosis interstitial, fibrosis nodular
dan interstitial serta emfisema fokal dan pembentukan makula.
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Anamnesis yang teliti usia pertama kali terpajan, dan lama pajanan, kadar
debu di lingkungan kerja, dan penggunaan alat pelindung diri
Riwayat merokok
Gejala batuk produktif atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul
lama setelah pajanan
Tiga kriteria mayor yang membantu diagnosis pneumokoniosis batu bara :
1. Riwayat bekerja di tambang batu bara (khususnya di tambang bawah
tanah) dalam waktu lama
2. Gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi
3. Tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai
pneumokoniosis batu bara
101
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
- Foto toraks
Tabel 1. Klasifikasi ILO Gambaran Radiologi Pneumokoniosis
Gambaran radiologi Deskripsi
Halus (small opacities) bentuk lingkaran
Kerapatan Kerapatan berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona
yang terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 – tidak terlihat perselubungan lingkar kecil atau
kerapatan kurang dari kategori 1
1/0 1/1 1/2 Kategori 1 – terlihat perselubungan lingkar kecil dengan jumlah
relatif sedikit
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 – terlihat beberapa perselubungan lingkar kecil.
Corakan paru tidak terlalu jelas
3/2 3/3 3/4 Kategori 3 – banyak terlihat perselubungan lingkar kecil.
Corakan paru sebagian atau keseluruhan tidak jelas
Jenis Nodul digolongkan menurut diameter perselubungan yang
dominan
p Diameter sampai 1,5 mm
q Diameter 1,5 – 3 mm
r Diameter 3 – 10 mm
Luas
Pembagian paru Pembagian berdasarkan letak perselubungan berada. Lapangan
paru dibagi atas enam area. Tiap lobus mempunyai tiga area :
lobus atas, tengah dan bawah
Halus (small opacities) bentuk ireguler
Kerapatan Kerapatan berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona
yang terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 – tidak terlihat perselubungan ireguler kecil atau
kerapatan kurang dari kategori 1
1/0 1/1 1/2 Kategori 1 – terlihat perselubungan ireguler kecil dengan jumlah
relatif jarang. Corakan paru kelihatan jelas
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 – terlihat beberapa perselubungan ireguler kecil.
Corakan paru tidak terlalu jelas
3/2 3/3 3/4 Kategori 3 – banyak terlihat perselubungan ireguler kecil.
Corakan paru keseluruhan tidak jelas
Jenis Secara kasar dibagi menjadi 3 bagian :
s Perselubungan ireguler halus atau linear
t Perselubungan ireguler sedang
u Perselubungan ireguler kasar
Luas
Pembagian paru Pembagian berdasarkan letak perselubungan berada. Lapangan
paru dibagi atas enam area. Tiap lobus mempunyai tiga area :
lobus atas, tengah dan bawah
Kasar (large opacities)
A Satu perselubungan dengan diameter 1 – 5 cm atau beberapa
perselubungan dengan diameter masing-masing lebih dari 1 cm,
tetapi bila tiap perselubungan dijumlahkan maka tidak melebihi 5
cm
B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih
banyak dibandingkan dengan kategori A dengan jumlah luas
perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas
C Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya
melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan
paru kanan
102
- CT-Scan
o Sangat bermanfaat secara individual untuk memperkirakan beratnya
fibrosis interstitial, luasnya emfisema dan perubahan pleura atau
menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaan dengan
opasiti yang ada
o HR-CT lebih sensitif dibandingkan radiologi konvensional untuk
evaluasi abnormalitas parenkim
Faal paru
- Dapat ditemukan nilai faal paru normal, obstruksi, restriksi atau campuran
- Sebagian besar kasus penyakit paru difus yang disebabkan oleh debu
mineral berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di
parenkim paru
Analisis debu penyebab
Analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi
transbronkial) untuk melihat debu mineral batu bara
103
- Keluhan batuk produktif dengan dahak kadang berwarna hitam, sesak napas,
wheezing, dan gangguan fungsi paru, bila penyakit berlanjut timbul
komplikasi/penyulit
- Hubungan antara nodul reumatoid pulmoner dengan pneumokoniosis
kompleks dikenal sebagai sindrom Kaplan (riwayat pajanan batu bara dalam
jangka waktu lama, arthritis reumatoid, foto toraks perselubungan kasar, bulat
(diameter > 10 mm) multipel, dapat terbentuk kaviti atau kalsifikasi dan terletak
perifer)
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik
Kor pulmonale
Gagal napas
PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan spesifik yang dapat menginduksi regresi kelainan atau
menghentikan progresifitas pneumokoniosis
Pengobatan simptomatik
Pencegahan merupakan tindakan paling penting
Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
104
SILIKOSIS
BATASAN
Penyakit parenkim paru yang diakibatkan inhalasi silikon dioksida atau silika.
Silikosis tergantung ukuran partikel debu, jumlah partikel debu dalam udara,
kandungan mineral silika, lama pajanan dan kepekaan seseorang.
Faktor Risiko
Tabel 1. Tempat kerja yang mempunyai risiko silikosis
PATOGENESIS
Setelah paparan partikel silika maka terjadi interaksi silika dengan makrofag
alveolar, limfosit, dan neutrofil menimbulkan inflamasi, proliferasi fibroblas dan
deposit bahan-bahan matriks jaringan ikat dalam jumlah besar. Karena efek toksik
silika maka fagosom hancur, dan melepaskan ensim lisosom yang berperan
dalam pembentukan jaringan fibrosis.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Bentuk silikosis :
Silikosis kronik (klasik)
Silikosis terakselerasi
Silikosis akut
105
Pada silikosis kronik terjadi karena pajanan debu silika dengan konsentrasi
rendah selama 15 tahun atau lebih. Gejala batuk produktif, sesak napas progresif
dan pada fase akhir penderita mengalami komplikasi gagal napas atau kor
pulmonale.
Pekerja dengan paparan silika yang tinggi (sandblasting, produksi tepung
silika) perjalanan penyakit lebih progresif dan timbul fibrosis lebih luas dikenal
sebagai silikosis terakselerasi dan timbul setelah pajanan silika selama 5-10
tahun. Penderita sering jatuh ke dalam hypoxic respiratory failure.
Pada silikosis akut kelainan timbul akibat kadar silika bebas amat tinggi,
dengan keluhan sesak napas progresif disertai batuk, demam, dan penurunan
berat badan yang timbul beberapa bulan sampai 5 tahun setelah terkena paparan
silika.
Pemeriksaan Fisik
Pada fase awal tidak ditemukan kelaianan. Kelainan didapatkan pada fase lanjut
sesuai dengan penyulit.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Foto toraks
- Gambaran perselubungan lingkar halus biasanya jenis r dengan ukuran
< 10 mm, perselubungan simetris dan cenderung pada lapangan atas
paru
- Pembesaran kelenjar hilus terkalsifikasi (gambaran egg shell
calcification)
- Pada kasus terjadi komplikasi menjadi fibrosis masif progresif (FMP)
maka perselubungan halus menjadi lesi kasar (lesi jenis A sampai C)
selanjutnya perlunakan di daerah sentral sehingga membentuk kavitas
- Pada silikosis akut dapat ditemukan ground glass appearance dan
bilateral alveolar filling seperti edema paru
CT-Scan toraks
Lebih sensitif dibanding foto toraks terutama untuk melihat nodul silikosis
sederhana
Faal Paru
- Hasil normal pada silikosis sederhana
106
- Kelainan obstruksi, restriksi atau campuran dapat ditemukan pada kelainan
yang berat
Bronkoskopi
- Jarang dilakukan
- Indikasi : ditemukan kaviti atau massa dengan kecurigaan kanker paru atau
tuberkulosis yang dengan pemeriksaan lain hasil meragukan
- Gambaran histopatolgi : nodul silikotik
EKG
Hipertrofi ventrikel kanan
DIAGNOSIS BANDING
Sarkoidosis
Rheumatoid lung
Karsinomatus limfangitis
Edema paru
Tuberkulosis
KOMPLIKASI
Infeksi mikobakterium dan bakteri opurtunis lainnya
Komplikasi ginjal
Kanker
Pneumotoraks
PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi khusus untuk silikosis, terapi ditujukan pada gejala dan penyulit.
Terpenting adalah pencegahan.
Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
107
ASBESTOSIS
BATASAN
Penyakit paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes yang ditandai dengan
fibrosis intersititial difus pada paru. Dapat disertai kelainan pleura seperti
penebalan pleura dengan atau tanpa kalsifikasi pleura.
Faktor risiko
1. Pekerja tambang asbestos
2. Pekerja industri yang menggunakan bahan asbes, galangan kapal, bengkel
garasi, industri semen asbes
3. Penduduk sekitar tambang/industri
4. Penduduk urban, bahan rumah mengandung asbes
PATOGENESIS
Serat asbestos terdeposit di bronkiolus respiratorius dan alveoli. Klirens inkomplit
serat asbestos oleh makrofag dapat berakibat fibrosis paru. Derajat fibrosis
tergantung muatan debu asbestos. Prevalensi asbestosis meningkat dengan
peningkatan intensitas dan durasi paparan.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
- Sesak napas, batuk, wheezing biasanya timbul setelah terjadi fibrosis paru
yang progresif
- Keluhan akan terus berlanjut meskipun penderita menghindari pajanan,
sampai penderita meninggal 15 tahun kemudian
Pemeriksaan Fisik
- Tidak spesifik
- Ronki basah akhir inspirasi pada basal paru
- Fase lanjut timbul takipneu, sianosis, clubbing finger dan tanda-tanda kor
pulmonale
108
Pemeriksaan penunjang
Radiologi
- Foto toraks
Perselubungan halus ireguler, tersebar di daerah posterior, basal paru
dan subpleura
Infiltrat retikonoduler dapat ditemukan pada basal paru
Diafragma tidak rata, batas jantung tidak jelas, gambaran cincin ektasis
serta penebalan dan kalsifikasi pleura bilateral pada stadium lanjut
Gambaran efusi pleura, pleural plaque
- CT Scan toraks
Asbestosis dini ditemukan penebalan garis intralobuler, garis lengkung
subpleura, nodul ireguler basal pleura, ground glass attenuation
Gambaran peripheral bands, penebalan septa interlobuler, cincin ektasis
terutama basal paru pada asbestosis lanjut
Patologi anatomi
Ditemukan asbestos body atau uncoated asbestos pada pemeriksaan
bronchoalveolar lavage (BAL), sputum, biopsi jaringan paru
Faal paru
Gangguan faal paru berupa penurunan kapasitas vital paru yang progresif,
karena fibrosis paru yang hebat. Volume residual normal. Terdapat gangguan
difusi.
KOMPLIKASI
Kanker paru
Mesothelioma maligna
Kor pulmonale
PENATALAKSANAAN
Tidak ada obat yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis asbestosis.
Pengobatan hanya bersifat simptomatis.
109
Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
110
INHALASI GAS TOKSIK
BATASAN
Gas toksik atau gas beracun merupakan suatu noksa bagi paru, karena
merupakan bahan yang dapat menyebabkan perubahan struktural, fungsional,
maupun gabungan keduanya secara bersama-sama.
Selain mengenai paru dapat pula mengenai organ lain sekaligus, tetapi dapat juga
hanya mengenai organ di luar paru, sedangkan paru tetap normal.
PATOFISIOLOGI
Tabel 1. Klasifikasi kelainan paru pada paparan gas toksik
Golongan Kelainan struktural Kelainan fungsional Organ lain
gas
I Tidak ada Tidak ada Ada
II Ada Ada Tidak ada
III Ada Ada Ada
Kelainan saluran napas berupa kelainan struktural dari tidak berarti sampai
dengan kelainan yang memberikan perubahan fungsional. Kelainan fungsional
dimulai dari yang tidak ada sama sekali hingga berupa kelainan obstruksi ringan
sampai berat. Kelainan ini dapat disertai hipersekresi kelenjar dan hiperrekativitas
yang dapat menimbulkan bronkospasme. Kelainan yang ditimbulkan dapat
mengenai saluran napas atau parenkim paru, dapat pula pada seluruh organ paru.
DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan ada kelainan yang sesuai dengan kelainan yang disebabkan
gas ditambah dengan riwayat kemungkinan inhalasi dengan gas tertentu.
Gejala Klinis
Gas toksik golongan I (C0, HCN, H2S, CH3Cl, N2, CO2, O2)
Paru hanya sebagai pintu masuk sebab itu tidak didapatkan kelainan struktural
maupun kelainan fungsional, sedangkan efek toksik tampak pada organ lain, misal
hipoksia pada otak yang disertai konvulsi dan kehilangan kesadaran. Inhalasi
111
dengan gas karbonmonoksida (CO) menempati tempat teratas. Gas CO tidak
berbau, kesadaran penderita menghilang, terjadi hipoksia karena peningkatan
ikatan Hb-CO. Keracunan gas HCN dan H2S sering dijumpai di daerah gunung
berapi, dan lebih berbahaya lagi bila ada keletihan olfaktori , karena korban tidak
menyadari ada bahaya.
Gas toksik golongan II
- Gas yang larut dalam air (NH3, HCHO, SO2)
Gas ini mudah dikenali, bau tajam dan menyengat, sangat iritatif. Kelainan
dapat terjadi pada kulit muka, tangan dan bagian badan yang tidak terlindung.
Kelainan pada saluran napas dapat berupa faringitis, laringitis, trakeitis,
trakeobronkitis, maupun bronkiolitis. Kelainan fungsional berupa obstruksi
ringan sampai berat dengan hipersekresi mukosa bronkus. Keluhan batuk-
batuk, sesak napas, napas berbunyi, dada terasa sakit/panas, rasa tercekik
(edema glotis). Paparan jumlah besar akan menimbulkan edema paru akut.
- Gas yang sukar larut dalam air (Cl2, COCl2, PH3, NO2, O3)
Gas ini sangat toksik karena mempunyai sifat iritasi sangat kuat, hampit
tidak memberikan bau tajam, sebab itu jumlah gas yang dihirup dapat lebih
banyak dan mencapai saluran napas lebih dalam sampai ke alveoli.
Perubahan yang ditimbulkan juga tidak segera terjadi, karena ada masa
tenggang di atas 6-8 jam setelah paparan.
Kelainan struktural parenkim berupa alveolitis (pneumonitis, perubahan
tromboangitis obliterans pada kapiler paru, reaksi deskuamasi epitel saluran
napas kecil dan alveoli. Diperburuk dengan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Kelainan fungsional berupa kelainan restriksi disertai gangguan difusi
dan perfusi. Klinis dyspnoe d’effort ringan sampai berat. Keluhan batuk-batuk
dengan dahak berbusa dan berwarna merah muda, edema paru dengan gagal
napas serta renjatan.
Gas toksik golongan III (CH3Br, CH3Cl, S(CH2-CH2Cl)2)
Kelainan yang ditimbulkan mirip dengan gas toksik golongan II, disertai dengan
perubahan di organ lain.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi paru
112
Diperlukan untuk mengetahui derajat obstruksi saluran nafas dan untuk
memantau perkembangan penderita, dimana terjadinya restriksi paru dapat
terlihat 60 jam setelah terjadinya paparan. Adanya fungsi paru yang normal
dapat menyingkirkan adanya kerusakan pada saluran nafas bawah.
Bronkoskopi
Mendeteksi adanya edema, swelling, dan obstruksi. Bronkoskopi juga
digunakan untuk menentukan diagnosis trauma inhalasi, dengan melihat
adanya eritema mukosa, hemorrhagis, nekrosis, ulserasi dan deposit karbon.
Analisa Gas Darah
Penting dilakukan untuk mengetahui tingkat hipoksemia dari penderita setelah
terjadinya paparan gas-gas toksik, dan juga untuk evaluasi. Jika didapatkan
gambaran PaO2, PaCO2, dan saturasi O2 yang normal pada penderita yang
tampak sesak atau apneu maka sebagai klinisi harus mencurigai adanya
inhalasi toksik gas seperti karbonmonoksida atau sianida.
Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks pada fase awal 24 jam pasca trauma inhalasi
kemungkinan masih dalam batas normal. Jika ada kelainan, biasanya
didapatkan gambaran infiltrat alveolar, infiltrat interstitial atau gambaran gagal
jantung kongestif. Infiltrat banyak dijumpai pada lapangan paru atas.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG dikerjakan secara rutin selain untuk data dasar juga untuk
memonitor efek hipoksia terhadap miokard.
Urinalisis
Inhalasi gas-gas toksik juga menyebabkan efek sistemik. Pemeriksaan urin
untuk melihat adanya hematuria dan proteinuria harus dikerjakan. Adanya
proteinuria dapat digunakan untuk mencurigai adanya paparan dengan CO,
hidrogen sulfida, halogen dan karbon disulfida. Didapatkan hematuria
mengarah kepada paparan dengan hidrogen sulfida, halogen, atau inhalasi
karbon disulfida.
KOMPLIKASI
Bronkitis kronis
Bronkiektasis
113
Fibrosis paru
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan trauma inhalasi gas-gas toksik yang efektif tergantung
penegakkan diagnosis dan pengenalan komplikasi yang akurat.
Intubasi
Intubasi dilakukan pada penderita dengan stridor atau dispneu berat, gangguan
kesadaran dan hilangnya gag reflek diikuti dengan oksigen 100%. Bedside
bronkoskopi diperlukan selain untuk menegakkan diagnosis, juga untuk
membersihkan saluran nafas dari mukus plug, jelaga dan debris.
Trakeostomi
Trakeostomi jarang dilakukan sekarang, oleh karena adanya endotracheal tube.
Tetapi untuk trauma wajah, distress nafas berat, atau luka bakar wajah masif
maka diperlukan tindakan krikotiroidektomi sebagai tindakan darurat bedah.
Oksigenasi
Pada penderita dengan intubasi, diperlukan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi, meskipun pada penderita dengan COPD. Apabila kadar oksigen tidak
membaik, maka pertimbangkan penggunaan ventilator, pengunaan PEEP pada
edema paru yang luas disertai renjatan.
Pulmonary Toilet
Penghisapan saluran nafas berkala diperlukan untuk membersihkan saluran
nafas. Bronkoskopi berkala sangat efektif untuk membersihkan debris yang
ada.
Bronkodilator
Pada penderita dengan bronkospasme dan wheezing dapat diberikan
nebulisasi bronkodilator aerosol. Juga dapat diberikan bronkodilator sistemik
seperti aminofilin.
Antibiotika
Pemberian antibiotika dapat dilakukan jika kita mencurigai adanya infeksi pada
penderita, dan diberikan sesuai data mikrobiologi yang ada. Kuman yang sering
ditemukan adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Kortikosteroid
114
Penggunaan steroid pada penderita yang terbukti mengalami obstruksi jalan
nafas dan bronkospasme yang berat terutama pada paparan gas toksik yang
bersifat iritasi yang kuat, diberikan kortikosteroid intravena (Hidrokortison 200-
400 mg/6-8 jam iv).
Pemberian cairan
Diberikan pada penderita dengan renjatan akibat kebocoran pembuluh darah
kapiler paru (permeabilitas meningkat).
Penatalaksanaan khusus ditujukan pada gas toksik yang ada andidotumnya.
Referensi :
1. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
2. Inhalation Injury. Serebrisky D, Nazarian EB, Connoly.
http://www.emedicine.com. July 24, 2006;1-23.
3. Inhalation Injuries “Beyond the Road”. Stewart C. 2nd edition.1998.
115
ASMA KERJA
BATASAN
Asma kerja adalah penyakit yang ditandai dengan inflamasi jalan napas,
keterbatasan aliran udara bervariasi dan hiperresponsif jalan napas yang terjadi
akibat keadaan dalam lingkungan kerja tertentu dan tidak terjadi pada rangsang di
luar tempat kerja.
Asma kerja dibagi menjadi :
1. Asma kerja imunologis
2. Asma kerja non imunologis
PATOGENESIS
Asma kerja imunologis (sensitizer induced)
Sebagian senyawa dengan berat molekul tinggi mencetuskan asma melalui
produksi Ig-E spesifik sedangkan beberapa senyawa dengan berat molekul
rendah merangsangnya melalui pembentukan hapten dengan cara berikatan
dengan protein tubuh untuk membentuk antigen fungsional.
Sel limfosit T mempunyai peran besar dalam orkestra inflamasi asma kerja dan
dibantu sel-sel efektor seperti eosinofil, sel mast, sel epitel dan neutrofil yang
menghasilkan gambaran khas serangan asma (kontraksi otot polos, hipersekresi
mukus, inflamasi saluran napas dan jejas epitel).
Asma kerja non imunologis (irritant induced/reactive airways dysfunction
syndrome)
Berkembangnya asma dalam beberapa jam setelah inhalasi iritan konsentrasi
tinggi di tempat kerja tanpa melalui periode laten karena kerusakan mukosa atau
inflamasi, yang diikuti oleh aktivasi jalur nonadregenik nonkolinergik melalui
refleks akson dan awitan inflamasi neurogenik.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis asma bermula pada saat di tempat kerja dan membaik saat
penderita menjauh dari lokasi kerja
116
Gejala klinis dapat diawali dengan rinitis, konjungtivitis
Terdapat riwayat terpajan bahan baru atau meningkatnya derajat pajanan
terhadap bahan yang sudah pernah terpajan sebelumnya
Terdapat riwayat pajanan kerja yang tidak biasa dalam 24 jam sebelum awitan
gejala asma awal
Pemeriksaan Fisik
Umumnya normal, kecuali dalam keadaan serangan
Inspeksi kulit untuk melihat dermatitis eksimatosa
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) serial dan uji provokasi
bronkus
- Pemeriksaan APE 4 kali/hari minimal 4 minggu (2 minggu di tempat kerja
dan 2 minggu di luar tempat kerja) disertai dengan buku catatan harian
gejala dan pengobatan yang diberikan selama berada di tempat kerja dan
di luar tempat kerja)
- Uji provokasi bronkus menunjukkan penurunan reaktiviti terhadap
metakolin 3 kali atau lebih pada saat penderita di luar lingkungan kerja
Uji imunologis
- Skin prick test
- Penilaian antibodi Ig-E spesifik serum
Hitung sel sputum yang diinduksi
- Kadar eosinofil pada sputum penderita lebih tinggi pada saat di tempat
kerja daripada di luar tempat kerja
Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik untuk kepentingan surveilans dan klinik (ACCP) adalah sebagai
berikut :
A. Diagnosis asma
B. Awitan asma terjadi setelah pajanan di tempat kerja
C. Terdapat hubungan antara gejala asma dan kerja
D. Satu atau lebih kriteria berikut :
1. Pajanan terhadap bahan atau proses di tempat kerja yang berisiko
terjadinya asma kerja
117
2. Perubahan VEP1 atau APE yang signifikan setelah memasuki tempat kerja
3. Perubahan hiperresponsif saluran napas non spesifik setelah memasuki
tempat kerja
4. Respon yang positif terhadap uji provokasi spesifik dengan bahan di
tempat kerja
5. Awitan asma mempunyai hubungan yang jelas dengan bahan iritan di
tempat kerja
PENATALAKSANAAN
Terapi farmakologis tidak berbeda dengan asma pada umumnya.
Memindahkan pekerja supaya tidak terpajan dengan sensitizer karena
pajanan dengan kadar rendah dapat mencetuskan serangan asma dari ringan
sampai mengancam jiwa.
Menghilangkan pajanan derajat tinggi atau menggunakan alat perlindungan
diri pada asma kerja yang diinduksi iritan.
PENCEGAHAN
Pencegahan primer
- Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja untuk menyaring pekerja yang
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi work related asthma yaitu atopi dan
perokok
- Menurunkan atau menghilangkan bahan yang dapat membuat sensitisasi
yang dilakukan dengan substitusi, isolasi, pembatasan proses produksi,
perubahan proses produksi, ventilasi yang baik, pemakaian alat
perlindungan diri
Pencegahan sekunder
- Deteksi dini penyakit dan menghindari pajanan secara dini
- Pemeriksaan berkala pada penderita yang terpajan dengan bahan yang
dapat mencetuskan asma kerja
Pencegahan tersier
- Mencegah kerusakan permanen dengan cara pemberian pengobatan
yang optimal
- Menghindarkan penderita dari pajanan lebih lanjut
118
Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
119
HEMOPTOE
BATASAN
Batuk darah adalah batuk yang disertai darah yang berasal dari saluran napas
bawah atau parenkim paru. Batuk darah masif bila jumlah darah yang keluar >
600 ml dalam 24 jam.
ETIOLOGI
Batuk darah masif sering disebabkan oleh :
1. Tumor paru
2. Bronkiektasis
3. Tuberkulosis paru
4. Abses paru
DIAGNOSIS
1. Riwayat penyakit
- Jumlah darah yang keluar, lama keluhan, pola batuk darah
- Gejala lain yang menyertai
- Riwayat penyakit sebelumnya
- Harus dibedakan dengan muntah darah
Batuk darah (Hemoptisis) Muntah darah (Hematemesis)
Darah berbusa Darah bercampur makanan
Warna merah segar Warna kehitaman
Bersifat alkali Bersifat asam
Diserta batuk Didahului mual
2. Pemeriksaan fisik
- Saluran napas atas dan rongga mulut harus diperiksa dengan cermat untuk
menentukan sumber perdarahan
- Suara napas tambahan, seperti wheezing dan ronki dapat timbul akibat
penyempitan saluran napas oleh gumpalan darah
120
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, PTT, APTT, analisis gas darah, elektrolit,
pemeriksaan sputum BTA, sitologi.
- Foto toraks
Foto toraks PA dan lateral diperlukan untuk menemukan lesi seperti :
kavitas, massa, fungus ball, atau air fluid level.
- Sarana Diagnostik khusus
a. Bronkoskopi
- Bermanfaat untuk diagnosis dan terapi
- Dapat mengetahui lokasi perdarahan, lesi yang menyebabkan
perdarahan
- Pengambilan material untuk pemeriksaan
b. CT scan toraks
Paling sering dikerjakan pada occult hemoptysis, sebab CT Scan dapat
mendeteksi kanker paru masih kecil, bronkiolitis maupun bronkiektasis.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan :
1. Mencegah asfiksia
2. Melokalisasi sumber perdarahan
3. Menghentikan perdarahan
4. Mencari penyebab perdarahan dan pengobatan kausal
A. Penatalaksanaan Konservatif
Tahap 1. Pembebasan jalan napas dan stabilisasi penderita
1. Menenangkan dan mengistirahatkan penderita. Penderita diberitahu agar
jangan takut untuk membatukkan darahnya.
2. Penderita dengan keadaan umum dan reflek batuk baik, duduk dan
dinstruksikan cara membatukkan darah dengan benar.
3. Penderita diminta berbaring pada posisi bagian paru yang sakit atau sedikit
trendelenburg, terutama bila refleks batuknya tidak adekuat.
121
4. Jaga agar jalan napas tetap terbuka. Bila terdapat tanda-tanda sumbatan jalan
napas perlu dilakukan pengisapan atau bila diperlukan dilakukan pemasangan
pipa endotrakeal. Evakuasi darah dengan bronkoskop akan lebih baik tetapi
memerlukan ketrampilan operator. Pemberian oksigen hanya berarti bila jalan
napas bebas hambatan / sumbatan.
5. Pemasangan IV line atau IVFD untuk penggantian cairan maupun untuk jalur
pemberian obat parenteral.
6. Pemberian obat hemostatik belum jelas manfaatnya pada batuk darah yang
tidak disertai kelainan faal hemostatik, namun demikian dapat diberikan asam
traneksamat, karbazokrom, dan koagulan lain seperti vitamin K.
7. Obat-obat dengan efek sedasi ringan dapat diberikan bila penderita gelisah.
Obat-obat penekan refleks batuk hanya diberikan bila terdapat batuk yang
berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan lebih banyak.
8. Transfusi darah diberikan bila hematrokit turun di bawah nilai 25-30% atau Hb
di bawah 10 gr% sedang perdarahan masih berlangsung.
Tahap 2. Lokalisasi sumber dan mencari sebab hemoptisis
Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi foto toraks
PA/lateral, CT Scan toraks dengan kontras, maupun pemeriksaan bronkoskopi.
Tahap 3. Pemberian terapi spesifik
Terapi spesifik ditujukan untuk menghentikan dan mencegah berulangnya
hemoptisis
1.Melalui bronkoskopi
-Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin, dapat diberikan sampai
500 ml.
-Pemberian obat topikal, vasokonstriksi pembuluh darah diusahakan dengan
larutan epinefrin (1 : 20.000) melalui bronkoskop.
2.Terapi tanpa bronkoskop
- Hemoptisis karena penyakit infeksi, diberikan obat sesuai kausanya.
B. Penatalaksanaan Bedah
Indikasi tindakan bedah menurut Busroh (1978) :
1. Batuk darah > 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak
berhenti.
122
2. Batuk darah 250 - 600 cc / 24 jam , Hb < 10 gr% dan batuk darah
berlangsung terus.
3. Batuk darah 250 - 600 cc / 24 jam, Hb > 10 gr% dan dalam pengamatan 48
jam perdarahan tidak berhenti.
Referensi :
1. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. 2010.
2. Textbook of Respiratory Medicine. Editors : Murray JF, Nadel JA. 4 rd edition.
Philadelphia. WB Saunders Comp. 2005.
123
PPOK EKSASERBASI AKUT
BATASAN
PPOK eksaserbasi akut berarti timbulnya perburukan gejala PPOK dibandingkan
kondisi sebelumnya.
Gejala eksaserbasi akut :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum (sputum purulen)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
- Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
- Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
- Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >20% nilai dasar,
atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.
ETIOLOGI
Terbanyak disebabkan oleh infeksi saluran napas.
PENATALAKSANAAN
Indikasi rawat inap
- Eksaserbasi sedang dan berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran napas berat
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Gagal jantung kanan
124
Derajat sesak, frekuensi napas, kesadaran, tanda vital, analisis gas darah,
pneumonia.
125
- Kesadaran menurun, letargi, atau kelamahan otot-otot respirasi
- Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau
perburukan
- Memerlukan ventilasi mekanik invasif atau noninvasif
ALGORITME PENATALAKSANAAN PPOK EKSASERBASI AKUT
DI RUMAH SAKIT
1. Terapi oksigen
2. Bronkodilator
Inhalasi / nebuliser
- Nilai berat gejala
- Agonis beta 2
- Antikolinergik
Intravena : metil xantin, bolus & drip
3. Antibiotik
4. Kortikosteroid sistemik
5. Diuretika bila ada retensi cairan
Referensi :
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket guide
to COPD diagnosis, management and prevention. National Institute of Health.
National Heart Lung and Blood Institute, Update2015.
126
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2003.
3. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2011.
ASTHMA ATTACK
BATASAN
Asma eksaserbasi (asma akut atau asthma attack) adalah kejadian peningkatan
progresif keluhan sesak napas, batuk, mengi atau chest tightness atau beberapa
kombinasinya.
ETIOLOGI
Infeksi virus respirasi
M. pneumonia, C. pneumonia
Alergen & Iritan
Obat
Krisis emosi
Tidak patuh pada pengobatan
PENATALAKSANAAN
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan
akut (lihat tabel 1). Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan yang
tepat, menilai respon pengobatan, dan memahami tindakan apa yang sebaiknya
dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, dll).
Tabel 1. Klasifikasi berat serangan asma akut
127
Gambar 1. Penatalaksanaan serangan asma di Rumah Sakit
128
Referensi :
1. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2004.
2. Global strategy for asthma management and prevention. Global Initiative for
asthma (GINA). 2012.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Keluhan tergantung berat ringannya gangguan, penderita umumnya
mengeluhkan sakit kepala
Sesak napas, batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah
Pada keadaan berat selain gejala sesak napas, juga dapat dilihat
pembengkakan leher dan lengan tangan kanan disertai pelebaran vena-vena
subkuten leher dan dada
Pemeriksaan Fisik
Dilatasi vena-vena leher
Edema lengan dan wajah
Sianosis
Prominent thoracic venous pattern
Pemeriksaan Penunjang :
Foto rontgen toraks, tampak : mediastinal widening, right hilar mass, pleural
effusion, right upper lobe atelektasis, infiltrates, anterior mediastinal mass
CT scan toraks dengan atau tanpa kontras, menunjukkan adanya obstruksi
vena kava superior (patognomonis) dan ditandai adanya kompresi v. kava
superior yang sering disertai trombosis intralumen
Bronkoskopi, harus dilakukan pada semua kasus yang dicurigai keganasan
walaupun diagnosa sudah dibuat berdasarkan sitologi sputum
Prosedur invasif lainnya
PENATALAKSANAAN
130
Bila keadaan umum penderita baik (PS > 50) maka harus dilakukan prosedur
diagnostik untuk mendapatkan jenis sel kanker.
Tindakan radiasi cito harus segera diberikan bila keluhan sesak napas sangat
berat dan setelah gejala berkurang, prosuder diagnostik harus dilakukan.
Tindakan radioterapi selanjunya tergantung dari kondisi berikut ini :
- Bila belum ada hasil pemeriksaan patologi anatomi : radiasi 2-3 Gy/fraksi,
dengan penilaian klinis setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila
respons tidak memuaskan.
- Bila hasil patologi anatomi sudah ada :
- Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan dengan dosis
3 Gy/fraksi.
- Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit.
- Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau dosis 4 Gy/ fraksi
sampai 5 kali.
Referensi :
1. Kanker Paru Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2003.
131
PNEUMOTORAKS VENTIL
BATASAN
Pneumotoraks dimana terjadi mekanisme check valve dimana udara dapat masuk
ke dalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar lagi, sehingga tekanan
intrapleura sangat tinggi dengan akibat terjadi pergeseran mediastinum ke sisi
sehat.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Nyeri dada yang mendadak
Sesak napas yang bertambah
Kegagalan pernapasan dan mungkin pula disertai sianosis, atau syok
Pemeriksaan fisik
JVP
Pemeriksaan toraks
- Inspeksi : Gerak napas asimetris, sisi sakit tertinggal, trakea dan
jantung terdorong
- Palpasi : Fremitus melemah sampai menghilang
- Perkusi : Hipersonor sisi sakit
- Auskultasi : Suara napas menurun sampai menghilang sisi yang sakit
Pemeriksaan Penunjang :
Rontgen Thoraks
- Bagian pneumothoraks tampak hitam yang merata dan bagian lain paru
yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi dari paru
- Mediastinal shift
132
PENATALAKSANAAN
Tindakan dekompresi (dengan membuat hubungan pleura dengan dunia luar)
yaitu :
- Menusukkan jarum ke dalam rongga pleura, dengan demikian tekanan
udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena
udara mengalir ke luar melalui jarum tersebut
- Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil
Infus set
Jarum abbocath
WSD
Pemberian O2
Jika penderita nyeri dapat diberikan analgetika
Apabila terdapat proses lain di paru pengobatan tambahan ditunjukkan pada
penyebabnya
Istirahat total
Referensi :
1. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
3. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. 2010.
133
SINDROM GAWAT NAPAS AKUT
(ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME/ARDS)
BATASAN
Sindrom gawat napas akut/ARDS diartikan sebagai edema paru nonkardiogenik
yang disebabkan oleh kerusakan menyeluruh membrane kapiler-alveol yang
menyertai atau didahului penyakit/kelainan langsung atau tidak langsung
mengenai paru.
1. Kelainan yang langsung mengenai paru
- Biasanya dihubungkan dengan agen infeksius atau fisika kimiawi yang
merusak membran kapiler alveol.
- Sebagai respon peradangan, makrofag alveol melepas faktor kemotaktik
neutrofil yang menarik neutrofil ke paru, neutrofil dan produk-produknya
berperan dalam cedera jaringan paru.
- Contoh : aspirasi cairan lambung, inhalasi gas beracun, drowning.
2. Kelainan yang tidak langsung mengenai paru
- Kerusakan alveoli kapiler terjadi primer melalui produksi mediator toksik
yang dibentuk di bagian lain tubuh dan dibawa oleh aliran darah ke paru.
- Contoh : trauma susunan syaraf pusat, sepsis.
ETIOLOGI
Tabel 1. Kelainan-kelainan yang dihubungkan dengan ARDS
Tidak Langsung Langsung (Pulmoner)
- Syok, Sepsis - Pneumonia virus, mikoplasma,
- Trauma non toraks legionela, bakteri, jamur
- Emboli lemak, Emboli udara - Tuberkulosis milier
- Trauma kepala - Kontusio paru/trauma toraks
- Perdarahan susunan syaraf pusat - Aspirasi cairan lambung
- Overdosis obat - Tenggelam
- Pankreatitis - Aspirasi hidrokarbon
- DIC - Inhalasi asap
- Transfusi darah massif - Inhalasi uap kimia
- Infark miokard - Pneumonitis radiasi
- Keracunan salisilat, CO - Keracunan oksigen
- Edema paru reekspansi
- Limfoma
- Malaria
- Uremia
- Gantung diri
134
PATOFISIOLOGI
Gambar 1. Mekanisme ARDS
Paru kaku
Pirau kanan ke kiri
Karasteristik ARDS yang penting adalah edema paru dan ateletaksis. Selama
perjalanan penyakit edema paru terutama diakibatkan oleh kombinasi kebocoran
pembuluh darah kecil dan peningkatan tekanan hidrostatik. Peningkatan tekanan
hidrostatik di kapiler paru mudah terjadi ketika sejumlah cairan diberikan untuk
mempertahankan tekanan darah atau keluarnya urine yang banyak.
Karasteristik ARDS tidak hanya paru menjadi kaku (compliance menurun), tetapi
juga terjadi peningkatan resistensi jalan napas, paru dan dinding dada.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Sesak napas
Batuk
Takipneu dan peningkatan work of breathing
Pemeriksaan Fisik
Ronki basah kasar, bila edema paru bertambah berat ditemukan ronki basah
di seluruh paru dan sianosis
Pada beberapa pasien dijumpai hiperreaktivitas bronkus akibat akumulasi
cairan ekstraseluler dengan manifestasi wheezing difus
135
Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks : diffuse non gravity-dependent opacities tanpa gambaran tipikal
kongesti kardiak
CT-Scan toraks : infiltrat cenderung di bagian dorsal paru
DIAGNOSIS BANDING
Tabel 2. Diagnosis banding edema paru
Kardiogenik Nonkardiogenik (ARDS)
Riwayat Didahului penyakit jantung Riwayat akhir-akhir ini
iskemik, katup, hipertensi, gejala dengan etiologi yang
dispneu pada aktifitas, angina, mendasari, antara lain :
PND dengan perburukan yang trauma, pankreatitis, inhalasi
mendadak asap, sepsis.
Onset gejala segera, sering
pada kelompok usia muda
136
Terapi pada ARDS dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Memperbaiki kelainan yang mencetuskannya
Meliputi pemberian antibiotika, penggantian volume cairan dan atau darah
pada syok hipovolemik, antidotum pada kelebihan dosis obat, kemoterapi
pada limfoma.
2. Mencegah atau memulihkan mekanisme cedera kapiler alveoli. Pemberian
metilprednisolon dosis tinggi masih kontroversi.
3. Mengurangi konsekuensi patofisiologis melalui terapi suportif.
Cedera ARDS akan minimal karena :
a. Berkurangnya edema paru melalui penurunan rasio pembentukan cairan
atau rasio pengeluarannya, contoh : dapat diberikan diuretika atau dialisis,
obat kardiotonik jika ada kelainan jantung.
b. Meminimalkan efek pada pertukaran gas
Terapi oksigen, bisa dengan ventilasi mekanis dan atau PEEP (positive
end-expiratory pressure).
Referensi :
1. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. 2010.
2. Textbooks of Respiratory Medicine. Editors : Murray dkk. 4 rd edition. WB
Saunders Comp. 2005.
137
BATASAN
Bronkoskopi serat optik adalah suatu prosedur pemeriksaan invasif menggunakan
alat bronkoskop serat optik untuk melihat secara langsung kelainan patologi pada
percabangan trakeobronkial.
TUJUAN
- Menilai keadaan percabangan trakeobronkial
- Mengambil bahan (spesimen) pemeriksaan untuk diagnostik.
- Melakukan tindakan terapeutik
INDIKASI
a. Diagnostik
Pada Penyakit :
- Kelainan foto toraks yang belum jelas penyebabnya, bila perlu untuk
melakukan tindakan biopsi, sikatan (brushing), dan bilasan (washing)
bronkus pada tempat yang selektif
- Batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya dan untuk menentukan
sumber perdarahan
- Curiga kanker paru
- Nodul paru soliter
- Penyakit paru interstisial (ILD)
- Kemungkinan TB endobronkial
- Batuk yang menetap atau terdapat keluhan perubahan dahak/ banyak
dahak (sputum)
- Pneumotoraks (bila paru tidak mengembang)
- Foto toraks normal, sedangkan sputum sitologi positif
- Benda asing dalam saluran nafas
- Obstruksi bronkus dan ateletaksis
138
- Suara serak yang belum jelas penyebabnya
- Mengi /wheezing lokal
- Cedera inhalasi akut
- Pada keadaan tertentu (pengambilan spesimen, menilai letak ujung / tip
pipa trakea) pada pasien dengan ventilasi mekanik.
b. Terapeutik
- Mengeluarkan benda asing
- Evakuasi akumulasi sekret bronkus / mucus plug (bronkial toilet)
- Pemasangan pipa trakea
- Penanganan batuk darah masif
- Abses paru
- Terapi kanker dengan laser
- Pemasangan stent trakeobronkial
c. Perioperatif
KONTRAINDIKASI
» Absolut :
Tidak ada, sangat tergantung pada keterampilan operator & teknik yang
digunakan.
» Relatif :
- Penyakit jantung yang berat, misalnya infark miokard akut, aritmia
- Penyakit paru dengan faal paru yang jelek
- Keadaan umum yang berat / jelek, baik karena demam atau penyebab lain
- Kelainan faal hemostasis (untuk tindakan biopsy)
- Penderita tidak kooperatif
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat
- 1 set peralatan bronkoskopi
- Sumber oksigen dengan aparatusnya
- Sulfas atropin (SA) 0,25 mg (1 ampul)
- Deladryl 1 cc / Diazepam 5 mg
- Disposible syringe 5cc 3 buah
139
- Kain penutup mata penderita
- Mouth piece
- Betadin yang diencerkan (untuk mencuci bronkoskop)
- Kasa
- Cairan NaCl 0,9%
- Set kedaruratan, obat – obat kedaruratan (adrenalin, deksametason,
SA, bicnat, bronkodilator) dan alat – alat infus/“ IV line” (venocath set,
infus, cairan infus, semprit).
- Formulir status bronkoskopi
- Formulir laporan tindakan bronkoskopi
b. Penderita
- Dokter memberikan penjelasan kepada pasien tentang rencana
tindakan, dan meminta pernyataan persetujuan tertulis (informed
consent).
- Pemeriksaan faal paru
Harus memenuhi syarat VC 1000 cc, FEV1 800 cc atau paO2 65
mmHg.
- Pemeriksaan EKG
Bila perlu dapat dikonsultasikan ke bagian kardiologi untuk persetujuan
bronkoskopi.
- Pemeriksaan faal hemostatis (waktu perdarahan, waktu pembekuan).
- Tes sensitivitas kulit terhadap lidokain. Lidokain 0,1 cc, diberikan
intrakutan dan hasil dibaca setelah 15 menit ( di ruangan).
- Puasa minimal 6 jam sebelum tindakan (malam hari sebelum tindakan).
- Foto toraks PA dan lateral terbaru, CT Scan toraks (bila ada).
- Codein 10 mg/kali 6 jam sebelum tindakan.
c. Ruang dan Fasiliti
Tindakan bronkoskopi sebaiknya dilakukan di ruang tindakan, namun dapat
juga dilakukan di ruang perawatan apabila keadaan gawat darurat.
2. Pelaksanaan Tindakan
- Permintaan tindakan dari dokter yang merawat.
140
- Buat status bronkoskopi.
- Pasien disiapkan diruang persiapan dengan memeriksa tanda – tanda vital,
status paru dan jantung.
- Premedikasi dengan SA 0,25 mg 1 ampul IM dan atau deladryl 1
cc/diazepam, 5 mg IM 30 menit sebelum anestesi lokal, tergantung umur
dan kondisi pasien.
- Anestesi lokal dengan kumur tenggorok menggunakan lidokain 2%
sebanyak 5 ml selama 5 menit dengan posisi duduk.
- Anestesi lokal dilanjutkan di daerah lidah dan laringofaring serta pita suara
dengan bantuan kaca laring menggunakan lidocain spray 10% (5-7
semprot) dilanjutkan dengan instilasi lidokain 2 % sebanyak 4-6 ml ke
dalam trakea melalui pita suara.
- Pasien siap diperiksa dalam posisi telentang dengan kepala ekstensi
maksimal (posisi duduk bila tidak biasa telentang) dan operator berdiri di
belakang kepala pasien.
- Oksimeter ditempelkan pada jari telunjuk pasien, kanul hidung dipasang
dan oksigen diberikan sebesar 2-4 l/mnt dan kedua mata ditutup dengan
kain penutup untuk mencegah terkena larutan lidokain/cairan pembilas
- Melepas gigi palsu, mouth piece diletakkan di antara gigi atas dan bawah
untuk mencegah tergigitnya bronkoskop (Jika bronkoskopi dilakukan
melalui mulut).
- Masukkan ujung bronkoskop melalui mouth piece vertikal ke bawah.
Setelah mendekati pangkal lidah ujung bronkoskop mulai dibelokkan ke
arah depan, melewati epiglotis sampai terlihat plika vokalis. Instilasi
lidokain 2% ke arah plika vokalis. Ujung bronkoskop di dorong maju
melewati plika vokalis, trakea, dan karina. Ujung bronkoskop dimasukkan
ke bronkus utama yang sehat beserta cabang-cabangnya, kemudian baru
diarahkan ke bronkus kontralateral yang diperkirakan ada lesinya.
- Instilasi lidokain selanjutnya dapat dilakukan bila pasien terbatuk selama
melakukan tindakan 1-2 ml melalui bronkoskop (dosis maksimal lidokain
400 mg).
- Membuat laporan hasil bronkoskopi yaitu setiap perubahan patologi dicatat,
dan dilakukan pengambilan spesimen secara biopsi dengan forcep, biopsi
141
aspirasi, biopsi transbronkial, penyikatan dan pencucian. Cara pengambilan
spesimen patologi disesuaikan dengan keadaan kelainan.
- Disinfeksi alat.
Alat bronkoskop diusap 15x dengan povidone iodine 2,5%, sisa povidone
iodine dalam mangkuk diisap. Selanjutnya diusap 15x dengan aquades dan
sisa aquades dalam mangkuk diisap juga. Alat bronkoskop digantung di
dalam lemari khusus yang dilengkapi lampu ultraviolet.
142
o Tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui
bronkoskop.
o Prosedur tindakan :
- Setelah bronkoskop berada pada daerah yang dicurigai, ujung
bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut.
- Alat biopsi forsep dimasukkan melalui kanal perasat sampai terlihat
keluar dari ujung bronkoskop. Asisten diinstruksikan untuk untuk
membuka forsep lalu forsep didorong sampai terbenam di
massa/jaringan, kemudian asisten diinstruksikan untuk menutup
forsep kemudian dilakukan biopsi dengan menarik forsep sambil
melihat apa yang didapat.
- Setelah selesai biopsi maka forsep ditarik keluar dari bronkoskop.
Bahan yang didapat direndam dalam wadah yang berisi formalin
40% dan dikirim ke laboratorium patologi anatomi.
- Bronkoskopi dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan segera
diatasi.
Biopsi Aspirasi Jarum Transbronkial (Transbronchial Needle
Aspiration/TBNA)
o Tindakan bronkoskopi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui
bronkoskop untuk lesi yang menekan trakeobronkial (trakea, bronkus
utama, karina, dan karina kedua).
o Prosedur tindakan :
- Setelah bronkoskop berada pada daerah yang dicurigai, ujung
bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut. Kemudian
alat biposi jarum dimasukkan melalui kanal perasat sampai terlihat
keluar dari ujung bronkoskop. Asisten diinstruksikan untuk
mengeluarkan jarum dari selubungnyalalu bronkoskop didorong ke
sasaran sampai jarum menembus mukosa bronkus atau
menembus bronkus pada lesi yang menekan bronkus.
- Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik
jarum sementara asisten melakukan aspirasi dari ujung proksimal
jarum TBNA dengan semprit 10-20 cc beberapa kali.
143
- Bila sediaan sudah dirasa cukup, pengisapan dengan semprit
dihentikan dan jarum dimasukkan kembali ke dalam selubungnya
dan ditarik keluar dari bronkoskop.
- Setelah berada diluar jarum dikeluarkan dari selubungnya dan
ditempatkan diatas gelas obyek, dengan menggunakan semprit 10-
20 cc yang dihubungkan dengan ujung jarum TBNA, bahan
didorong ke gelas obyek dan dibuat sediaan apus.
- Sediaan apus direndam dalam wadah yang berisi alkohol 96% dan
dikirim ke laboratorium patologi anatomi.
- Bronkoskopi dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus
segera diatasi.
4. Interpretasi
- Orifisium (lumen) : terbuka / menyempit / kompresi
- Karina : mukosa dalam batas normal / pucat / hiperemis / licin / irreguler /
berbenjol – benjol / edema / infiltratif / parut
- Sekret : tidak ada / ada (mukoid / purulen / mukopurulen)
- Massa : tidak ada / ada (permukaan rata / tidak rata / berbenjol – benjol /
mudah berdarah)
- Benda asing : tidak tampak / tampak, sebutkan lokasi
- Perdarahan / bekuan darah : tidak terlihat / terlihat, sebutkan lokasinya.
PENYULIT/KOMPLIKASI
Penyulit yang terjadi akibat :
- Premedikasi : Depresi pernapasan, hipotensi, sinkop, henti napas
- Anestesi lokal : Henti napas, spasme laring, methemoglobinemia
- Tindakan bronkoskopi : spasme laring, gagal napas, pneumotoraks,
perdarahan, henti jantung, sinkop, bradikardi, takikardi ventrikel, trauma,
aritmia, infeksi paska bronkoskopi.
144
UJI FAAL PARU
A. PEMERIKSAAN SPIROMETRI
BATASAN
Pengukuran obyektif faal paru menggunakan alat spirometer
TUJUAN
- Mengukur volume paru statik dan dinamik
- Menilai perubahan atau gangguan faal paru
INDIKASI
- Evaluasi pada perokok yang berumur > 40 tahun
- Penderita batuk kronik
- Penderita sesak napas tanpa memandang penyebab
- Penderita dengan rasa berat di dada (chest tightness) saat latihan (exercise)
dengan atau tanpa batuk
- Pasien asma, PPOK dan SOPT dalam keadaan stabil, untuk mendapatkan nilai
dasar
- Pasien asma, PPOK dan SOPT setelah pemberian bronkodilator, untuk melihat
efek pengobatan
- Penderajatan asma akut
- Pasien yang akan menjalani tindakan bedah dengan anestesi umum
- Pasien yang akan dilakukan reseksi paru
- Pemeriksaan berkala untuk melihat progresiviti penyakit, yaitu asma tiap 6
bulan sekali dan PPOK tiap 3 bulan sekali
- Pekerja yang terpajan debu atau bahan kimia di tempat kerja
- Mengetahui kecacatan atau ketidakmampuan (misal untuk kepentingan
rehabilitasi, asuransi, alasan hukum dan militer)
145
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Batuk darah, pneumotoraks, status kardiovaskuler tidak stabil,
infark miokard baru, emboli paru, aneurisma serebri, pasca bedah
mata.
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan atau alat :
- Alat spirometer yang telah dikalibrasi untuk volume dan arus minimal 1
kali dalam seminggu
- Mouth piece sekali pakai atau penggunaan berulang 1 buah
- Wadah berisi savlon yang telah diencerkan dengan air untuk merendam
mouth piece yang digunakan berulang
b. Pasien
- Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan
- Tidak boleh makan terlalu kenyang, saat sebelum pemeriksaan
- Tidak boleh berpakaian terlalu ketat
- Penggunaan bronkodilator terakhir minimal 8 jam sebelum pemeriksaan
untuk aksi singkat dan 24 jam untuk aksi panjang
c. Ruang dan fasiliti
- Ruangan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik
- Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh < 17 C atau > 40 C
- Pemeriksaaan terhadap pasien yang dicurigai menderita penyakit infeksi
saluran napas dilakukan pada urutan terakhir dan setelah itu harus
dilakukan tindakan antiseptik pada alat.
2. Pelaksanaan Tindakan
- Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan
berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
- Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi berdiri
146
Kapasiti vital paksa (KVP atau FVC)
- Pasien menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat kemudian
sesegera mungkin udara dikeluarkan melaului mouth piece dengan tenaga
maksimal hingga udara dapat dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan
bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran.
- Pemeriksaan dilakukan paling banyak 8 kali dan didapatkan paling sedikit 3
nilai yang reprodusibel.
- Nilai yang dapat diterima adalah yang memenuhi ke 3 kriteria berikut :
o Pemeriksaan dilakukan sampai selesai
o Waktu ekspirasi minimal 6 detik
o Awal uji dilakukan harus cukup baik, ekspirasi paksa tidak ragu – ragu
dan cepat mencapai puncak yang tajam
- Uji dapat dikatakan reprodusibel jika perbedaan antara 2 nilai terbesar dari
ketiga perasat yang dapat diterima adalah 5% atau 100 ml.
Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1 atau FEV1)
adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik
pertama, VEP1 dapat diukur dengan perasat yang sama dengan pengukuran
KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus / bersama.
Kapasiti vital (KV atau VC)
adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi
maksimal.
Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara dikeluarkan
sebanyak mungkin melalui mouth piece (tanpa perasat paksa).
KOMPLIKASI
Jarang, tetapi dapat terjadi pneumotoraks, peningkatan tekanan intrakranial,
sinkope, sakit kepala, pusing, nyeri dada, batuk, infeksi nosokomial, desaturasi
oksigen akibat penghentian terapi oksigen dan bronkospasme.
147
INTERPRETASI
- Normal :
Jika KVP > 80% nilai dugaan untuk semua usia, dan
VEP1> 80% nilai dugaan untuk usia < 40 tahun
> 75% nilai dugaan untuk usia 40-60 tahun
> 70% nilai dugaan untuk usia > 60 tahun
- Restriksi : KVP dibandingkan nilai dugaan
Ringan : 60% - < 80%
Sedang : 30% - < 60%
Berat : < 30%
- Obstruksi : VEP1 dibandingkan nilai dengan atau KVP
Ringan : 60% - < 75%
Sedang : 30% - < 60%
Berat : < 30%
Catatan :
Perbandingan antara VEP1 terhadap KVP atau KV lebih sensitif untik kelainan
obstruksi derajat ringan atau untuk deteksi dini dibandingkan dengan
perbandingan antara VEP terhadap nilai dugaan.
TUJUAN
Mengukur secara obyektif arus udara pada saluran napas besar
INDIKASI
- Menegakkan diagnosis asma termasuk asma kerja dan pengukuran harus
dilakukan secara serial, pagi dan sore hari setiap hari selama 2 minggu
- Pasien asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dalam keadaan stabil
untuk mendapatkan nilai dasar
148
- Evaluasi pengobatan pada pasien asma akut, PPOK dan sindroma obstruksi
pasca tuberkulosis (SOPT) yang mengalami eksaserbasi akut, sesudah
pemberian obat bronkodilator
- Evaluasi progresiviti penyakit
- Mendapatkan variasi harian arus udara pada saluran napas pasien asma dan
nilai terbaik dengan cara pemeriksaan APE serial pagi dan sore hari setiap
hari selama 2-3 minggu
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Jarang, batuk darah, status kardiovaskuler yang tidak stabil,
pascabedah mata, aneurisma serebri, gagal jantung
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan Tindakan
a. Bahan dan alat :
- Peak flow meter (yang direkomendasikan adalah Mini Wright peak flow
meter dari Clement Clark atau spirometer)
- Mouth piece
b. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus
c. Ruangan dan fasiliti
Tidak diperlukan ruang khusus
2. Pelaksanaan Tindakan
- Sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam keadaan berdiri tegak.
- Peak Flow Meter
Skala pengukuran pada alat harus dibuat nol.
Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dengan cepat kemudian
letakkan alat pada mulut dan katupkan bibir sekeliling mouth piece,
udara dikeluarkan dengan tenaga maksimal (secara cepat dan kuat)
segera setelah bibir dikatupkan dan pastikan tidak ada kebocoran.
Pemeriksaan dilakukan 3 kali dan diambil nilai yang tertinggi.
149
Nilai yang dianggap reproduksi ialah jika perbedaan antar 2 nilai yang
didapat < 10%.
- Spirometer
Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dengan cepat, kemudian
udara dikeluarkan dengan tenaga maksimal sehingga udara dapat
dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan bibir pasien melingkupi
sekeliling mouth piece sehingga tidak ada kebocoran.
Nilai APE pada pemeriksaan menggunakan spirometer sekaligus bisa
didapatkan dengan perasat yang sama saat melakukan pemeriksaan
kapasiliti vital paksa (KVP) dan VEP1, sehingga syarat yang diperlukan
sama dengan pemeriksaan spirometri.
PENYULIT
Pneumotoraks, peningkatan takanan intrakranial, sinkope, sakit kepala, pusing,
nyeri dada, batuk, infeksi nosokomial, desaturasi oksigen akibat penghentian
terapi oksigen dan bronkospasme.
INTERPRETASI
- Obstruksi : < 80% dari nilai dugaan atau pada orang dewasa jika didapatkan
nilai APE < 200 L/menit
- Obstruksi akut : <80% dari nilai terbaik
- APE variasi harian : Nilai tertinggi – nilai terendah X 100%
Nilai tertinggi
Jika didapat nilai > 15%, maka dianggap obstruksi saluran napas yang ada
belum terkontrol.
C. UJI BRONKODILATOR
BATASAN
Pemeriksaan faal paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator.
TUJUAN
Menilai reversibiliti saluran napas
150
INDIKASI
- Jika hasil uji faal paru pada nilai dasar didapatkan kelainan obstruksi
- Curiga asma
- Menilai keberhasilan terapi
KONTRAINDIKASI
Absolut : Tidak ada
Relatif : Batuk darah, angina, aritmia jantung yang episodik, status
kardiovaskuler tidak stabil, menderita infeksi viral sekitar 2-3
minggu sebelumnya atau menderita infeksi akut
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan Tindakan
a. Bahan dan alat :
- Spirometer atau peak flow meter
- Mouth piece
- Obat agonis β-2 inhalasi dosis terukur (IDT) dengan spacer atau
menggunakan nebuliser
b. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus
c. Ruangan dan fasiliti
Tidak diperlukan ruang khusus
2. Pelaksanaan Tindakan
- Dijelaskan tujuan, manfaat dan prosedur pemeriksaan dan diperagakan
perasat yang akan dilaksanakan.
- Dilakukan pemeriksaan VEP1 atau APE sebanyak 3 kali dan diambil nilai
terbaik.
- Kemudian ke dalam spacer dimasukkan obat bronkodilator sebanyak 1
semprot atau langsung 8 semprot.
- Lima belas menit kemudian dilakukan pengukuran kembali VEP1 atau
APE sebanyak 3 kali dan diambil nilai terbaik.
Hitung derajat reversibiliti dengan rumus :
151
VEP1atau APE pascabronkodilator – VEP1 atau APE prabonkodilator X 100%
VEP1 atau APE prabonkodilator
PENYULIT
Palpitasi, takikardi, gangguan irama jantung.
INTERPRETASI
Kenaikan VEP1 atau APE setelah pemberian bronkodilator >20% atau 200 ml
memperlihatkan obstruksi saluran napas bersifat reversibel.
152
TERAPI INHALASI
BATASAN
Pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara inhalasi.
TUJUAN
Mengatasi bronkospasme
Mengencerkan sputum
Menurunkan hipereaktiviti bronkus
INDIKASI
Asma
PPOK
SOPT
Fibrosis kistik
Bronkiektasis
Keadaaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Alergi terhadap bahan / obat tersebut
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
Penguapan (nebulizer) dengan cara :
Ultrasonik
Kompresi (kompresor atau oksigen)
b. Pasien
Dapat dilakukan dalam posisi duduk, berdiri atau tidur (untuk pasien yang
dirawat).
c. Ruangan :
153
Tidak diperlukan ruangan khusus.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pemakaian nebulizer (Penguap)
- Buka tutup tabung obat, masukan cairan obat ke dalam alat penguap
sesuai dosis yang ditentukan. Dosis obat bronkodilator susp. 1 cc
ditambah dengan NaCl 0,9 % / aquades 1 cc, jika ultrasonik nebulizer
dilarutkan dengan 50 cc NaCl 0,9 % / Aquades). Dapat ditambahkan juga
obat golongan mukolitik/ekspetoran sebanyak dosis obat bonkodilator.
- Gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan tombol
“on” pada nebulizer, uap yang keluar dihirup perlahan – lahan dan dalam,
inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai obat habis.
Pemakaian turbuhaler
- Putar dan lepas penutup turbuhaler.
- Pegang turbuhaler dengan tangan kiri dan menghadap atas lalu dengan
tangan kanan putar grip kearah kanan sejauh mungkin kemudian putar
kembali ke posisi semula sampai terdengar suara klik.
- Hembuskan napas maksimal di luar turbuhaler.
- Letakkan mouth piece di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak
ada kebocoran kemudian tarik napas dengan tenang sekuat dan sedalam
mungkin. Sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbuhaler dari
mulut dan pasang kembali tutupnya.
154
PENYULIT
Kandidiasis
Disfonia
Tremor
INTERPRETASI
Bronkospasme berkurang atau menghilang
Dahak berkurang
155
ASPIRASI CAIRAN PLEURA
BATASAN
Tindakan memasukkan jarum untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.
TUJUAN
» Diagnostik
Membuktikan ada tidaknya cairan di rongga pleura
Mengambil bahan pemeriksaan mikroorganisme dan sitologi
» Terapeutik
Mengeluarkan cairan untuk mengatasi keluhan
Tindakan awal (punksi percobaan) sebelum pemasangan WSD
INDIKASI
Efusi pleura
KONTRAINDIKASI
» Absolut :
Tidak ada
» Relatif :
Keadaan umum buruk, kecuali punksi pleura dengan tujuan terapeutik
Infeksi kulit yang luas di daerah punksi
Kelainan hemostasis (perpanjangan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan lebih dari dua kali harga normal).
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
- Stetoskop - Sarung tangan steril
- Spuit 5 cc dan 50 cc - Duk lubang
- Blood set - Lidokain 2%
- Alkohol 70% - Betadin
156
- Kasa steril & plester - Three way stopcock
b. Pasien
Foto toraks PA/lateral terbaru
Posisi penderita menghadap sandaran kursi dengan lengan di atas
sandaran kursi, bila perlu diganjal dengan bantal
c. Ruangan
Sebaiknya tindakan dilakukan di ruang tindakan.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pasien dipersiapkan dengan posisi duduk atau setengah duduk, sisi yang
sakit menghadap dokter yang akan melakukan punksi.
Siapkan alat – alat pada tempat yang mudah dijangkau dokter.
Beri tanda (dengan spidol atau pulpen) daerah yang akan di punksi
berdasarkan pemeriksaan fisik (daerah yang paling redup pada perkusi dan
vesikuler melemah pada auskultasi) dan bantuan foto toraks/ USG. Tempat
insersi jarum adalah di bawah batas redup pada perkusi, pada ruang
interkosta di tepi atas kosta sesuai lokasi cairan, pada linea aksilaris
anterior/linea midaksilaris/aksilaris posterior.
Desinfeksi daerah yang telah diberi tanda dengan cara memutar kasa yang
diberi betadin, kemudian diulangi dengan alkohol 70% dari titik pusat tanda,
memutar dan melebar ke arah luar, pasang duk steril dengan lubang pada
tempat yang akan diaspirasi.
Anestesi daerah yang telah ditandai, dengan lidokain 2% dimulai dari
subkutis, lalu tegak lurus ke arah pleura (lakukan tepat di daerah sela iga),
keluarkan lidokain perlahan hingga terasa jarum menembus pleura.
Pastikan tidak ada perdarahan.
Jika jarum telah menembus ke rongga pleura, kemudian dilakukan aspirasi
beberapa cairan pleura.
Bila jumlah cairan yang dibutuhkan untuk diagnostik telah cukup, tarik
jarum dengan cepat dengan arah tegak lurus pada saat ekspirasi dan
bekas luka tusukan segera ditutup dengan kasa betadin, tetapi jika
bertujuan terapeutik maka pada lokasi yang sama dapat segera dilakukan
pengeluaran cairan / udara dengan teknik aspirasi sebagai berikut :
» Dengan bantuan tree way stopcock / jarum pipa dengan stopkran.
157
Pasang jarum ukuran 18 pada sisi 1 dari stopkran, selang infus set pada
sisi 2 (untuk pembuangan) dan spuit 50 cc pada sisi 3 (untuk aspirasi).
Teknik :
a. Tusukkan jarum melalui ruang interkosta dengan posisi kran
menghubungkan rongga pleura dan spuit, sedangkan hubungan
dengan selang pembuangan terputus. Setelah jarum mencapai
rongga pleura dilakukan aspirasi sampai spuit terisi penuh.
b. Kemudian posisi kran diubah sehingga arah ke rongga pleura
tertutup dan terjadi hubungan antara spuit dengan selang
pembuangan cairan pleura.
c. Kran kembali diputar ke posisi (a), dilakukan aspirasi sampai spuit
terisi penuh, kran diputar ke posisi (b) dan cairan pleura dibuang.
Prosedur ini dilakukan berulang sampai aspirasi selesai dan
selanjutnya jarum dapat dicabut.
d. Evakuasi cairan maksimal 1000 cc atau apabila ada keluhan batuk
hebat, sesak atau syok maka evakuasi harus dihentikan.
e. Setelah selesai tindakan, di evaluasi apakah ada komplikasi
pneumotoraks atau tidak. Kalau ada lihat protap pneumotoraks.
PENYULIT/KOMPLIKASI
Perdarahan, terjadi bila jarum melukai arteri atau vena interkostalis
Nyeri, terjadi jika jarum melukai nervus interkostalis
Hidropneumotoraks / pneumotoraks / emboli udara, terjadi bila udara masuk
melalui jarum pada waktu punksi
Edema paru, terjadi bila pengosongan rongga pleura dilakukan sangat cepat
Emfisema subkutis, sering terjadi pada pasien dengan elastisiti kulit yang
longgar terutama pada orang tua
Empiema atau infeksi sekunder, terjadi bila tindakan dilakukan tanpa
mengindahkan prinsip sterilitas
Syok
INTERPRETASI
Makroskopis cairan : santokrom, serosantokrom, serohemoragis, hemoragis,
pus.
158
Jenis cairan :
Transudat :
Uji Rivalta (-), analisis : protein < 3 gr/dl, leukosit < 1000 sel/ml, glukosa =
glukosa serum, LDH sama atau sedikit lebih tinggi dibanding LDH serum.
Eksudat :
Uji Rivalta (+), analisis : rasio kandungan cairan pleura dibanding serum
untuk protein > 0,5 dan LDH > 0,6 serta perbandingan antara LDH cairan
pleura dengan batas angka normal adalah > 2/3.
159
Efusi Pleura
BTA (+) BTA (-) Sel ganas (-) Sel ganas (+)
Teruskan
prosedur
tindakan
lain
160
PEMASANGAN WSD (WATER SEALED DRAINAGE)
BATASAN
Pemasangan kateter toraks merupakan prosedur drainase udara atau cairan
dalam kavum pleura dengan pemasangan toraks drain melalui sela antar iga ke
dalam kavum pleura.
TUJUAN
Pengeluaran udara dan atau cairan dari rongga pleura
Masukkan obat ke dalam rongga pleura
INDIKASI
Pneumotoraks : pneumotoraks tension, pneumotoraks totalis, pneumotoraks
parsial dengan kolaps paru lebih dari 20%, pneumotoraks simtomatis,
pneumotoraks bilateral.
Hematotoraks
Hidropneumotoraks
Efusi pleura ganas
Rencana tindakan pleurodesis
Empiema
Kilotorak
Pasca torakotomi
KONTRAINDIKASI
» Absolut :-
» Relatif : Perlekatan pleura yang luas
Hemotoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan /
darah
Kelainan faal hemostasis
161
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
Trokar dan kateter toraks dengan nomor yang disesuaikan dengan
bahan yang akan dialirkan (contoh : untuk udara no 18-20, untuk pus
22-24)
Kasa steril
Plester
Alkohol 70% dan betadin
Spuit 5 ml 1-2 buah
Lidokain solusio injeksi untuk anestesi lokal 2-4 ampul
Botol WSD
1 meja steril berisi : 1 set alat bedah minor
Duk lubang steril
b. Pasien
Persetujuan penderita atau keluarga untuk melakukan tindakan
Foto toraks PA dan lateral terbaru
c. Ruang dan fasiliti
Sebaiknya dilakukan di ruang tindakan.
2. Pelaksanaan tindakan
Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan
disandarkan pada kemiringan 30 - 60, tangan sisi paru yang sakit
diangkat ke atas kepala.
Lakukan tindakan antiseptik menggunakan betadin dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar kearah luar, pasang
duk steril dengan lubang pada tempat dimana akan dilakukan insersi
kateter. Insersi dilakukan pada ruang antar iga IV atau V, anterior dari mid
axillary line atau ruang antar iga II anterior midclavicular line atau sesuai
dengan hasil pemeriksaan fisik.
Lakukan anestesi lokal pada daerah insersi lapis demi lapis dari kulit hingga
pleura perietalis menggunakan lidokain 2% jangan lupa lakukan aspirasi
sebelum mengeluarkan obat suntik pada tiap lapisan. Langsung lakukan
punksi percobaan menggunakan semprit anestesi tersebut. Jika tidak
162
ditemukan cairan atau udara, lokasi insersi dapat diubah. Penyuntikan pada
daerah interkosta ini hendaknya menghindari daerah subkosta.
Sebelum insersi dimulai, panjang kateter yang akan masuk ke rongga
pleura diperkirakan terlebih dahulu.
Lakukan insisi pada kulit memanjang sejajar sela iga ± 2 cm lalu
diperdalam secara tumpul sampai ke pleura parietalis.
Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter dengan menggunakan
benang sutera ukuran 0 atau 1-0.
Satu tangan mendorong trocar dan tangan lainnya menfiksir trocar untuk
membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trocar masuk
ke dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trocar ditutup dengan ibu
jari. Kateter yang sudah di klem pada ujung distalnya di insersi secara
cepat melalui trocar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke
anteroapikal pada pneumotoraks dan posterobasal pada cairan pleura /
empiema. Trocar dilepaskan dari dinding dada. Kateter diklem diantara
dinding dada dan trocar. Setelah trocar ditarik, hubungkan kateter dengan
selang dan masukkan ujung selang ke dalam botol WSD yang telah diberi
larutan betadin yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% atau continous
suction dan pastikan ujung selang terendam serta perhatikan undulasi.
Bila pemasangan tidak memakai trocar, dilakukan dengan memasukkan
langsung kateter dengan klem atau kateter dengan trocar disposable.
Fiksasi kateter dengan jahitan matras yang disimpulkan secara surgeon
knot (ikatan berputar ganda). Selanjutnya ujung bebas jahitan matras ini
dilingkarkan secara berulang pada kateter sambil sekali-kali dibuat simpul
surgeon knot.
Lalu tutup dengan kasa steril bentuk ‘Y’ yang telah diberi betadin dan
fiksasi ke dinding dada dengan plester lebar.
PENYULIT
Empisema subkutis
Infeksi lokal, empiema, osteomielitis
Kerusakan jaringan paru dan organ visceral abdominal
Perdarahan lokal akibat laserasi a. interkostalis
Syok neurogenik, edema paru dan hipotensi
163
Penempatan kateter pada posisi yang salah
Alergi terhadap bahan anestesi
Kontusio paru karena hisapan kontinyu
Distress pernapasan akibat hisapan kontinyu pada pneumotoraks dengan
bronkopleural fistel yang besar.
INTERPRETASI
Terlihat undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan / darah atau pus
yang dialirkan atau terlihat gelembung udara pada botol WSD.
164
PLEURODESIS
BATASAN
Tindakan untuk melekatkan pleura parietalis dan visceralis dengan instilasi bahan
sklerosan.
INDIKASI
Pneumotoraks berulang
Efusi pleura ganas
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Kelainan faal hemostasis (sesuai dengan kontraindikasi
pemasangan kateter toraks)
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat
Bahan sklerosan : Tetrasiklin 1000 mg atau bleomisin 40 mg / 5 FU /
talk steril/betadine/ doksisiklin 10mg/kgBB
Lidokain 2% 5 ampul
Spuit 50 cc
NaCl 0,9%
Klem
b. Pasien
Foto toraks terakhir dan paru sudah mengembang sempurna.
2. Pelaksanaan Tindakan
Posisi pasien duduk
Siapkan O2
Desinfeksi kulit sekitar kateter dengan povidone iodine 10% dilanjutkan
alkohol 70%. Instilasi lidokain 2% 5 ampul melalui selang WSD, kemudian
pasien diminta mengubah posisi tubuh dengan cara miring ke kanan, kiri,
165
telentang, tengkurap selama ± 5 menit agar obat merata ke seluruh
permukaan pleura.
Masukkan Tetrasiklin HCl 20 mg/kgBB diencerkan dengan larutan garam
fisiologis 50 cc, diinstilasikan lagi ke dalam kavum pleura untuk membilas
sisa obat yang terdapat dalam kateter.
Jika dengan menggunakan betadine, larutan pleurodesis terdiri dari
povidone iodine 10% 20 ml dan NaCl 0,9% 80 cc.
Pasien diubah – ubah posisinya, dengan cara miring ke kanan, kiri,
telentang, tengkurap, trendelenburg, masing-masing posisi 5 menit, klem
toraks drain selama ± 2 jam.
Setelah 2 jam, klem dilepas, kateter toraks dihubungkan dengan WSD dan
penghisap kontinyu, tekanan - 20 cmH20.
Observasi efek samping.
Pada pneumotoraks, kateter dilepas jika paru sudah mengembang
sempurna dan tidak ada kebocoran udara.
Pada efusi pleura kateter dilepas bila produksi cairan kurang dari 150
ml/hari.
PENYULIT
Syok neurogenik, infeksi sekunder, nyeri pleuritik, febris.
INTERPRETASI
Paru tetap mengembang
Efusi pleura berkurang atau minimal
166
ASPIRASI JARUM TRANSTORAKAL/BIOPSI
TRANSTORAKAL
BATASAN
Suatu prosedur diagnostik pengambilan spesimen dengan menggunakan jarum
halus secara transtorakal, dengan atau tanpa tuntunan USG/ CT- Scan.
INDIKASI
Tumor paru
Tumor mediastinum
Keradangan
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif :
1. Penderita yang beresiko tinggi timbulnya penyulit :
Emfisema paru dengan faal paru obstruksi atau restriksi berat
Telah dilakukan pneumektomi pada paru kontralateral
Hipertensi pulmonal berat
Gagal jantung
Kelainan faal hemostasis
2. Lesi yang bila ditusuk dapat menimbulkan bahaya
Lesi vaskuler
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
Jarum lumbal ukuran 25 atau 23
Spuit 20 cc 1 buah
Gelas obyek
Wadah berisi alkohol 96% dengan volume yang cukup untuk merendam
gelas obyek
Kapas alkohol, kasa steril dan betadin
167
b. Pasien :
Tidak perlu persiapan khusus.
c. Ruang dan fasiliti
Sebaiknya di ruang tindakan (atau di ruang USG/ CT Scan).
2. Pelaksanaan Tindakan
Menandatangani surat persetujuan tindakan.
Penderita dibaringkan di atas meja tindakan.
Menentukan lokasi yang akan ditusuk berdasarkan pemeriksaan fisik tanpa
atau dengan tuntunan USG atau CT-Scan toraks.
Disinfeksi kulit pada daerah yang akan dibiopsi dengan povidone iodine
10% diikuti alkohol 70%.
Pasang duk steril.
Infiltrasikan lidokain 2% 1-2 ml di tempat biopsi, intrakutan, subkutan,
sampai mencapai pleura parietalis.
Tusukkan jarum spinal ukuran 25 gauge vertikal sampai mencapai lesi.
Stilet diambil, jarum dihubungkan dengan spuit 20 cc, penghisap ditarik
dengan kuat, jarum digerakkan turun naik sepanjang 0,5-1 cm beberapa
kali. Penghisap dikembalikan ke posisi semula secara perlahan-lahan,
jarum dicabut.
Bahan biopsi yang telah diaspirasi segera disemprotkan pada gelas obyek
dan dibuat sediaan apus, kemudian lakukan fiksasi dengan merendam
gelas obyek tersebut pada alkohol 96% atau citospray.
Pengambilan bahan dapat diulang hingga diperkirakan didapat bahan yang
representatif.
Kirim bahan pemeriksaan ke laboratorium dengan mencantumkan identitas
pasien, diagnosis kerja dan lokasi pengambilan bahan.
Awasi perdarahan dan komplikasi pneumotoraks.
Paska Biopsi
Untuk penderita rawat inap, dilakukan observasi di ruangan terhadap
kemungkinan komplikasi akibat tindakan. Untuk penderita rawat jalan, observasi
terhadap kemungkinan komplikasi dilakukan di ruang tunggu OK selama 2 jam.
Jika tidak ada komplikasi penderita diijinkan pulang dengan nasehat untuk segera
kembali jika timbul sesak napas.
168
PENYULIT
Pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan
Batuk darah
Emboli udara
Perdarahan, syok neurogenik dan infeksi
Penyebaran sel ganas
169
BIOPSI JARUM HALUS
BATASAN
Suatu prosedur diagnostik dengan menggunakan jarum halus pada lesi superfisial
dengan atau tanpa aspirasi.
TUJUAN
Mengambil bahan pemeriksaan sitologi.
INDIKASI
Pembesaran kelenjar getah bening yang dicurigai disebabkan oleh penyakit
infeksi maupun oleh keganasan.
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Gangguan faal hemostasis
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
Jarum ukuran 25 G 1 buah
Spuit 20 cc 1 buah
Gelas obyek
Wadah berisi alkohol 96% dengan volume yang cukup untuk merendam
gelas obyek
Kapas alkohol dan betadine
Kasa steril
b. Pasien
Tidak perlu persiapan khusus
Diterangkan tindakan yang akan dilakukan dan inform consent tertulis
c. Ruang dan fasiliti
Sebaiknya di ruang tindakan.
170
2. Pelaksanaan Tindakan
Lakukan tindakan antiseptik pada kulit di atas kelenjar atau massa dan
sekitarnya dengan gerakan memutar ke arah luar.
Kelenjar atau massa difiksasi dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
kemudian jarum ditusukkan ke dalam kelenjar hingga terasa seperti
daerah berpasir.
Jarum digerakkan maju mundur beberapa kali di dalam kelenjar secara
perlahan dengan sudut dan kedalaman yang berbeda.
Jarum dicabut dan pasang pada semprit 20 cc yang telah berisi udara.
Segera semprotkan bahan pemeriksaan pada gelas obyek dan buat
sediaan apus kemudian lakukan fiksasi dengan merendam gelas obyek
pada alkohol 96%.
Pengambilan bahan dapat diulang hingga didapatkan bahan yang
representatif.
Kirim bahan ke laboratorium patologi anatomi dengan mencantumkan
identitas pasien, diagnosis kerja dan lokasi pengambilan bahan.
PENYULIT
Perdarahan, syok neurogenik, dan infeksi.
INTERPRETASI
Didapatkan massa seperti pasir putih atau kekuningan seperti lemak pada gelas
obyek.
171
ANALISIS GAS DARAH ARTERI (AGDA / ASTRUP)
BATASAN
Analisis kadar gas dalam darah arteri.
TUJUAN
Mengetahui tekanan parsial gas dalam darah arteri
Mengetahui status buffer / penyangga tubuh
INDIKASI
Curiga terdapat kelainan pH, pO2 dan pCO2
Serangan akut pada penyakit paru obstruksif, seperti asma, PPOK dan
sindrom obstruksi paska tuberkulosis (SOPT)
Penderita gagal napas
Penderita dengan gangguan pernapasan yang dirawat di ICU
Penderita dengan kelainan obstruksi derajat sedang dan berat
KONTRAINDIKASI
» Absulot : Tidak ada
» Relatif : Kelainan faal hemostatis
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
Kapas alkohol
Kasa steril
Heparin 1000 USP unit/ml sebanyak 0,5 ml
Spuit 2,5 ml atau 5 ml 1 buah
b. Pasien :
Sebaiknya pasien dalam keadaan santai, duduk nyaman dengan posisi
½ berbaring selama 10 menit
Saat pemeriksaan pasien tidak boleh menahan napas, menangis atau
hiperventilasi karena cemas oleh karena dapat mempengaruhi hasil
172
c. Ruang dan fasiliti
Tidak diperlukan ruang khusus.
2. Pelaksanaan Tindakan
Hisap heparin 0,5 ml menggunakan semprit yang akan digunakan hingga
seluruh dinding dalam spuit tersebut basah, kemudian keluarkan seluruh
heparin tersebut maka akan tersisa heparin dengan volume sekitar 0,14 ml.
Lokasi pengambilan darah arteri yang dianjurkan adalah a. radialis atau a.
brakialis jika tidak dapat dilakukan pada daerah tersebut maka pilihan terakhir
adalah a. fermoralis.
Setelah dilakukan tindakan antiseptik menggunakan kapas alkohol maka
jarum ditusukan langsung ke arteri dengan membentuk sudut sekecil mungkin
dan maksimal 45. Tekanan darah arteri sendiri akan terhisap dengan
sendirinya ke dalam semprit, kecuali pada pasien dalam keadaan syok maka
katup spuit harus ditarik untuk mengisap darah.
Setelah jumlah darah yang dibutuhkan telah cukup maka jarum dicabut.
Jika terdapat gelembung udara maka segera keluarkan gelembung tersebut
dan ujung jarum di pasang penutup menggunakan gabus atau karet.
Gulirkan dalam kedua telapak tangan spuit berisi darah tersebut agar
bercampur dengan heparin.
Tekan daerah penusukan menggunakan kasa kering dan steril selama 3
menit, jika pasien mendapat terapi antikoagulan maka penekanan dapat
dilakukan selama 15-20 menit jika diperlukan maka dapat dilakukan
pemasangan bebat.
Jika bahan pemeriksaan tidak segera dianalisis maka bahan tersebut harus
disimpan dalam wadah berisi air dan es.
PENYULIT
Hematoma, emboli udara atau bekuan darah, arterispasme, perdarahan dan
infeksi.
173
INTERPRETASI
Normal : - pH : 7,35 – 7,45
- PaCO2 : 35 – 45 mm/Hg
- PaO2 : 80 – 100 mmHg
- PaO2 yang dapat ditoleransi berdasarkan usia :
60 tahun > 80 mmHg
70 tahun > 70 mmHg
80 tahun > 60 mmHg
90 tahun > 50 mmHg
Bayi baru lahir 40-80 mmHg
1. Alkalemia : pH > 7,50
2. Asidemi : pH < 7,30
3. Gagal ventilasi / asidosis respiratorik : PaCO2 > 50 mmHg
4. Hiperventilasi alveolar / Alkalosis respiratorik : PaCO 2 < 30 mmHg
5. Hipoksemi pada anak/dewasa < 80 mmHg
Catatan :
Pada formulir permintaan pemeriksaan atau laporan hasil pemeriksaan
dicantumkan ; aktiviti pasien jika tidak istirahat, FiO 2 atau flow O2, setting ventilator
jika menggunakan ventilasi mekanik, suhu tubuh, waktu pengambilan dan waktu
analisis dilakukan (tanggal dan jam) dan lokasi pengambilan bahan.
Referensi :
1. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan. Bagian Pulmonologi FK UI.
2001.
2. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. 2010
174
175