Anda di halaman 1dari 177

TUBERKULOSIS

BATASAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis (dan kadang-kadang oleh M. bovis
dan africanum). Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.
Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22
negara di dunia dengan beban TB. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam
penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/MDR).

PATOGENESIS
Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari droplet infeksi yang
berisi kuman M. tuberculosis.
Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme :
1. Perkembangan langsung penyakit primer
2. Reaktivasi penyakit primer yang tenang
3. Penyebaran hematogen
4. Reinfeksi eksogen

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.
Sistemik : demam, keringat malam tanpa kegiatan fisik, malaise, nafsu makan
menurun, berat badan turun.
Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik penderita TB tidak khas (the great pretender), tidak dapat
membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik
tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat
ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas
bronkial, amforik, ronkhi basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak napas
tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar.

1
Pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan bakteriologis : pemeriksaan mikroskopik kuman TB (Bakteri
Tahan Asam/BTA) dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS)
dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan interpretasi pembacaan didasarkan
skala IUTLD atau biakan kuman. Untuk TB ekstra paru, spesimen dapat
berupa cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung,
bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi.

 Radiologi : Pemeriksaan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif :

1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan


segmen superior lobus bawah paru
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura
Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif :
1. Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura atau schwarte

Luluh paru (destroyed lung) :


Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti
penyakit berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan
pemeriksaan bakteriologis untuk mengetahui aktivitas penyakit.

Luas proses yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dinyatakan sebagai berikut :
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra

2
torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak
dijumpai kaviti
2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal
 Pemeriksaan darah : pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting
sebagai indikator kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk
evaluasi penyembuhan.
 Pemeriksaan histopatologi jaringan : diperoleh melalui transbronchial lung
biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar
dan organ lain diluar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan
menunjukkan adanya granuloma dengan perkejuan.
 Analisis cairan pleura : Hasil mendukung diagnosis TB adalah uji rivalta
positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel
limfosit dominan dan glukosa rendah.

DIAGNOSIS BANDING
 Pneumonia
 Abses paru
 Kanker paru
 Bronkiektasis

KOMPLIKASI
 Batuk darah
 Pneumotoraks
 Gagal napas
 Gagal jantung

PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan tuberkulosis :
 Menyembuhkan dan mempertahankan kualitas hidup/ produktifitas pasien
 Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
 Mencegah relaps TB
 Menurunkan penularan TB ke orang lain
 Mencegah kejadian dan penularan TB resistan obat

3
Terapi medikamentosa
Kategori 1
 Kasus baru dan BTA (+) atau kasus baru pada penderita yang sakit berat,
TB ekstra paru berat (meningitis, perikarditis, peritonitis, efusi pleura masif,
komplikasi neurologis, intestinal, genitourinari, disseminated tuberculosis)
 TB paru dengan BTA (-) tetapi kelainan parenkim luas

Paduan obat yang diberikan : 2 HRZE / 4 HR


Alternatif : 2 HRZE / 4H3R3 (program P2TB)
2 HRZE / 6HE

Pada fase awal :


2 HRZE
Apabila sputum masih positif pada akhir bulan ke-2, ditambahkan sisipan 1RHZE

Pada fase lanjutan : 4H3R3 atau 4HR


Apabila sputum akhir bulan ke-5 masih positif, penderita dimasukkan Kategori 2.
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan
paduan 2HRZE / 7 HR, dan alternatif 2HRZE / 7H3R3, pada keadaan :
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (diabetes melitus, pemakaian obat imunosupresi /
kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)

Kategori 2
 Relaps atau gagal terapi
 Putus berobat
Pada fase awal diberikan 2HRZES/1HRZE
Pada fase lanjutan diberikan 5 H3R3E3 atau 5HRE

4
Kategori 3
TB paru dengan BTA (-) dan kelainan parenkim minimal, atau TB ekstrapulmonal
yang tidak termasuk dalam kategori 1.
Pada fase awal : 2 HRZE
Pada fase lanjutan 4H3R3 atau 4HR

Kategori 4
TB kronis.
Diberikan terapi sesuai uji resistensi. Jika sumber dana tidak memungkinkan
dapat dipertimbangkan pemberian INH jangka panjang.

Tabel 1. Kisaran Dosis OAT lini pertama

Dosis
OAT Harian 3 x / minggu
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/hari
(mg/kgBB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5(4–6) 300 10 ( 8 – 12 ) 300
Rifampisin 10 ( 8 – 12 ) 600 10 ( 8 – 12 ) 600
Pirazinamid 25 ( 20 – 30 ) - 35 ( 30 – 40 ) -
Etambutol 15 ( 15 – 20 ) - 30 ( 25 – 35 ) -
Streptomisin 15 ( 12 – 18 ) 1000 15 ( 12 – 18 ) 1000

Catatan :
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur > 60 tahun atau pasien
dengan berat badan < 50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis > 500
mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10
mg/kgBB/hari.

Efek Samping OAT

5
Tabel 2. Efek samping ringan dari OAT

Efek samping Penyebab Penanganan

Tidak nafsu makan, mual Rifampisin Obat diminum malam


sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/


allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar INH Beri vitamin B6


100 mg/hari

Warna kemerahan Rifampisin Beri penjelasan, tidak


pada air seni perlu diberi apa-apa

Tabel 3. Efek samping berat dari OAT

Efek samping Penyebab Penanganan

Gatal & kemerahan di kulit Semua jenis OAT Beri antihistamin &
dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin


dihentikan

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin


dihentikan

Ikterik Hampir semua OAT Hentikan semua OAT


sampai ikterik
menghilang

Bingung & muntah-muntah Hampir semua obat Hentikan semua OAT


& Lakukan uji fungsi
hati

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol

Purpura & renjatan (syok) Rifampisin Hentikan rifampisin

6
PENGOBATAN TB PADA PADA KEADAAN KHUSUS

Kehamilan dan menyusui :


Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali golongan
aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena sifat ototoksik pada
janin.
Pada penderita TB yang menyusui, semua OAT dapat diberikan.

Kontrasepsi oral :
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Disarankan
pasien untuk menggunakan kontrasepsi non hormonal.

Gagal ginjal :
1. Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang
dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol
dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatinin)
Tabel 4. Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan
penyakit ginjal kronis

OAT Gagal Ginjal Stadium 1-3 Gagal Ginjal Stadium 4-5

Isoniasid 300 mg/hari Diberikan 3x/minggu


Dosis 300 mg/setiap
pemberian
Rifampisin <50 kg : 450 mg/hari < 50 kg : 450 mg/hari
≥ 50 kg : 600 mg/hari ≥ 50 kg : 600 mg/hari
Pirasinamid <50 kg : 1,5 g/hari 25 – 30 mg/kgBB/hari
diberikan 3x/minggu
≥ 50 kg : 2 g/hari
15 – 25 mg/kgBB/hari
Etambutol 15 mg/kgBB/hari
diberikan 3x/minggu

7
Kelainan Hati
1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan.
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan.
3. Paduan obat yang dianjurkan : 2 SHRE / 6 RH atau 2 SHE / 10 HE atau 9
HRE.
4. Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH.
Hepatitis Imbas Obat
1. Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis).
2. Penatalaksanaan
a. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual/muntah [+]) : OAT Stop
b. Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan :
Bilirubin > 2 : OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 5 X : OAT Stop
SGOT, SGPT ≥ 3 X, gejala (+) : OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 X, gejala (-) : teruskan pengobatan dengan
pengawasan

TB dengan Diabetes Melitus (DM)


1. Paduan OAT sama dengan pasien TB tanpa DM.
2. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, lama pengobatan dilanjutkan 9
bulan.
3. Hati – hati efek samping etambutol.
4. Penggunaan rifampisin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes
sulfonilurea.

8
TB PARU DENGAN HIV / AIDS (dibahas di bab khusus)
Pengobatan TB pada HIV :
1. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomondasi ATS yaitu : 2 RHZE /
RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak.
2. Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru
tanpa HIV / AIDS.
3. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat
pada kulit.
4. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin.
5. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH,
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
6. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi.

Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti :
1. Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
2. TB milier dengan atau tanpa meningitis
3. Efusi pleura dengan gangguan pernapasan berat atau efusi perikardial
4. Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing,
pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan pada bronkus atau
pembuluh darah
5. Hipersensitivitas berat terhadap OAT
6. IRIS (Immune Response Inflammmatory Syndrome)
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Prednisolon (peroral) : 30 – 60 mg/hari. Apabila pengobatan diberikan sampai
atau lebih 4 minggu, dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off).

Referensi :
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2011.
2. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2014.

9
TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT

BATASAN
TB Resistan Obat adalah keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak
dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT).
Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru TB MDR
di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari
kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu :


1. Monoresistance : resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
isoniazid (H).
2. Polyresistance : resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol
(HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES),
rifampisin etambutol dan streptomisin (RES).
3. Multi Drug Resistance (MDR) : resistan terhadap isoniazid dan rifampisin,
dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE,
HRES.
4. Extensively Drug Resistance (XDR) : TB MDR disertai resistansi terhadap
salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. TB Resistan Rifampisin (TB RR) : Resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan
metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainnya.

DIAGNOSIS TB RESISTAN OBAT


a. Kriteria Terduga TB Resistan Obat
Terduga TB resistan obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB
yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini :
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan

10
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss of follow up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT

b. Alur Diagnosis TB Resistan Obat


Diagnosis TB resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan
M. tuberculosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu :
- Metode konvensional
Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair
(MGIT).
- Tes Cepat (Rapid Test)
Pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk Rifampisin) dan LPA (uji
kepekaan untuk Rifampisin dan Isoniazid).

11
Gambar 1. Alur Diagnosis TB Resistan Obat

Terduga TB Resistan Obat

Tes Cepat dengan Gene Xpert

Mtb Sensitif Rifampisin Mtb Resistan Rifampisin Mtb Negatif

Biakan dan identifikasi kuman Mtb

Mtb tumbuh Mtb tidak tumbuh

Uji kepekaan TB MDR (jika ada tambahan resistensi


OAT lini-1 dan INH), lanjutkan pengobatan OAT MDR
lini-2 standar

Pre XDR (jika ada tambahan resistensi


ofloxacin atau kanamisin/amikasin),
TB Resistan Rifampisin sesuaikan paduan OAT MDR
(TB RR), obati dengan
OAT MDR standar TB XDR (jika ada tambahan resistensi
ofloxacin dan kanamisin/amikasin), ganti
dengan paduan OAT XDR

12
PENGOBATAN TB MDR
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah :
a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu.
b. Pemeriksaan : penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran.
c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan.
d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual).
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung
pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi :


a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah :
 Faal ginjal : ureum, kreatinin
 Faal hati : SGOT/SGPT
 Serum elektrolit (kalium, natrium, chlorida)
 Asam urat
 Gula darah (sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormone (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks
f. Tes pendengaran (pemeriksaan audiometri)
g. Pemeriksaan EKG
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

Paduan OAT MDR di Indonesia


Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardize treatment),
yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB
RR/TB MDR.

13
a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah :
Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E)/ Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus sebagai berikut :
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan
standar adalah sebagai berikut :
Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E)/ Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap flurokuinolon maka paduan
standar adalah sebagai berikut :
Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z - (E)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z - E
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan flurokuinolon
(TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut :
Cm – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – E
Keterangan :
Km : Kanamisin Cs : Sikloserin
Lfx : Levofloxacin Cm : Capreomisin
Eto : Ethionamid Mfx : Moxifloxacin
Z : Pirazinamid E : Ethambutol
PAS : Para amino salisilat
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB
RR/MDR secara laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan
dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan (pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30
hari menunjukkan hasil negatif). Tahap lanjutan adalah pemberian paduan
OAT oral tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

14
Tabel 1. Perhitungan dosis OAT MDR

Berat Badan (BB)


OAT
< 33 kg 33 – 50 kg 51 – 70 kg > 70 kg

Pirazinamid 20-30 750-1500 mg 1500-1750 1750-2000


mg/kg/hari mg mg

Kanamisin 15-20 500-750 mg 1000 mg 1000 mg


mg/kg/hari

Etambutol 20-30 800-1200 mg 1200-1600 1600-2000


mg/kg/hari mg mg

Kapreomisin 15-20 500-750 mg 1000 mg 1000 mg


mg/kg/hari

Levofloxacin 7,5-10 750 mg 750 mg 750-1000


(dosis mg/kg/hari mg
standar)

Levofloxacin 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg


(dosis tinggi)

Moksifloxacin 7,5-10 400 mg 400 mg 400 mg


mg/kg/hari

Sikloserin 15-20 500 mg 750 mg 750-1000


mg/kg/hari mg

Etionamid 15-20 500 mg 750 mg 750-1000


mg/kg/hari mg

PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g

Referensi :
1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2014.
2. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan
Obat. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2013.

15
TUBERKULOSIS – HIV

BATASAN
Pasien ko-infeksi TB-HIV adalah pasien dengan HIV positif dan ODHA dengan
TB. Pada ODHA infeksi TB laten mudah berkembang menjadi sakit TB aktif.
Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka
akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60%
ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif.

Faktor risiko HIV


 Berganti-ganti atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual
 Pengguna Napza suntik
 Memiliki tindik berlebihan dan tato permanen
 Memiliki riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS)
 Memiliki jenis pekerjaan berisiko tinggi, misalnya orang yang pekerjaannya
berpindah-pindah tempat (supir,pelaut), migran, tuna wisma, pekerja
bar/salon, pekerja seks
 Memiliki riwayat transfusi darah dan produk darah, transplantasi organ tubuh

PATOGENESIS
Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun.
Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan
demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah
perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini.

DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
TB pada ODHA Dewasa
 Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan
(lebih dari 10%).
 Pada ko-infeksi TB-HIV sering didapatkan TB ekstraparu (TB pleura, TB
perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen).

16
Tabel 1. Perbedaan TB Paru pada stadium awal dan lanjutan infeksi HIV
Tahap infeksi HIV
TB Paru
Awal Lanjutan
Gambaran Sering menyerupai TB paru Sering menyerupai TB paru
klinis post-primer primer
Hasil
pemeriksaan Sering positif Sering negative
dahak
Gambaran
Sering tampak kavitas Infiltrat tanpa kavitas
radiologi

Infeksi HIV pada Pasien TB Dewasa


 Pada tabel 2 menunjukkan gambaran klinis kemungkinan terdapatnya infeksi
HIV pada pasien TB.
 Pada pasien yang dicurigai lihat kelainan pada mulut. Luka yang banyak di
mulut meningkatkan dugaan terdapatnya infeksi HIV.
 Pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan terdapatnya infeksi HIV
adalah anemia, leukopenia, atau trombositopenia yang tidak jelas
penyebabnya.

TABEL 2. Gambaran klinis dugaan terdapatnya ko-infeksi HIV pada pasien


TB

17
Pemeriksaan Penunjang
TB pada ODHA Dewasa
 Pemeriksaan Laboratorium Dahak
- Pemeriksaan Mikroskopik
 Pemeriksaan mikroskopis dahak ODHA biasanya BTA negatif.
 Cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi =
SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak hasilnya BTA positif
maka diagnosis TB dapat ditegakkan.
- Pemeriksaan Biakan
 Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk
mendiagnosis TB.
 Perlu dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB MDR karena
HIV merupakan salah satu faktor risiko TB MDR.
- Xpert MTB/RIF
Pemeriksaan Xpert MTB/RIF meningkatkan sensitivitas, ketepatan waktu
dan deteksi resistensi rifampisin pada pasien dengan HIV.
 Pemeriksaan Radiologi
Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto
toraks TB pada umumnya/tipikal (kavitas, infiltrat di apeks paru), namun pada
HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak spesifik (infiltrat di interstitial,
limfadenopati intratoraks). Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran
TB Milier.
 Pada TB ekstraparu dilakukan pemeriksaan spesimen dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan maupun histopatologi.
Pada tabel 3 diuraikan penatalaksanaan sederhana TB ekstraparu pada
ODHA.

18
Tabel 3. Diagnosis segera kasus suspek TB ekstraparu

19
Infeksi HIV pada Pasien TB Dewasa
 Pada pasien TB yang dicurigai terinfeksi HIV, maka dilakukan konseling dan
tes HIV sesuai dengan gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

20
Tabel 4. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

21
Gambar 2. Alur diagnosis TB Paru pada ODHA rawat jalan

Keterangan:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 oC, denyut nadi >
120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.
b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 2 sediaan hasilnya negatif.
c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi
sehingga mempercepat penegakan diagnosis.
f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri
tipikal dan atipikal.
g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.

22
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA sakit berat

Keterangan :
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 oC, denyut nadi >
120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) untuk mengurangi jumlah kunjungan
sehingga dapat mempercepat penegakan diagnosis.
c. Untuk daerah dengan angka prevalens HIV pada orang dewasa > 1% atau
prevalens HIV di antara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum
diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien
suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes
HIV.
d. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri
tipikal dan atipikal.
e. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
f. Bila tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien
menolak untuk diperiksa) penentuan tingkat klinis HIV tergantung kebijakan
nasional.
g. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 2 sediaan hasilnya negatif.

23
h. Periksa kembali untuk TB termasuk pemeriksaan BTA dan penilaian klinis.
PENATALAKSANAAN
 Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan HIV sama dengan pasien
TB tanpa HIV.
 Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Pengobatan TB harus segera dimulai sampai dapat ditoleransi dan setelah itu
diberikan pengobatan ARV.
 Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Pemberian OAT harus mempertimbangkan interaksi obat, gagal pengobatan
ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.
 Memulai pengobatan ARV pada pasien sedang dalam pengobatan TB
Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa
memandang jumlah CD4.

Tabel 5. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Keterangan :
*) EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin)
sehingga penggunaan pada Wanita Usia Subur (WUS) harus mendapat
perhatian khusus. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 sakit TB,
paduan ART yang mengandung EFV dapat dipikirkan untuk diberikan.
**) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan
OAT yang mengandung Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain.

24
- Pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi opurtunistik (IO) dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis, antara lain pneumonia pneumocystis (PCP), abses
otak toksoplasmosis, pneumonia, isospora belli, salmonella sp., malaria.

Tabel 6. Pemberian Kotrimoksasol sebagai profilaksis primer

Immune Reconstituion Syndrome (IRIS)


Immune reconstituion syndrome (IRIS) atau sindrom pulih imun adalah
perburukan kondisi klinis sebagai akibat respon inflamasi berlebihan pada saat
pemulihan respon imun setelah pemberian terapi antiretroviral. IRIS mempunyai
manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi atau non infeksi. Manifestasi tersering
pada umumnya adalah berupa inflamasi penyakit infeksi.

25
Gejala termasuk demam tinggi, limfadenopati, lesi susunan saraf pusat yang
membesar, gambaran radiologi memburuk. Untuk jenis IRIS paradoksial dimana
pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi opurtunistiknya maka dapat
diberikan prednison 1-2 mg/kgBB untuk 1-2 minggu kemudian tappering off.

Referensi :
1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2014.
2. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
pada Orang Dewasa dan Remaja. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012.
3. Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012.

26
PNEUMONIA KOMUNITI

BATASAN
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
dimaksud disini tidak termasuk yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.

KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasar klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Berdasar bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur
3. Berdasar predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial

PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan saluran napas. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan
penyakit.

27
Mekanisme mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas melalui cara :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi
4. Kolonisasi di permukaan mukosa

DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
- Demam, menggiggil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
- Sesak napas dan nyeri dada
Faktor Risiko :
1. Umur, lebih rentan pada usia > 65 tahun
2. Infeksi saluran nafas atas yang tidak ditangani
3. Merokok
4. Penyakit penyerta : DM, PPOK, gangguan neurologis, gangguan
kardiovaskuler
5. Terpajan polutan/ bahan kimia berbahaya
6. Tirah baring lama
7. Imunodefisiensi, misalnya : steroid jangka panjang, malnutrisi, HIV
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru :
- Inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
- Palpasi fremitus dapat meningkat
- Perkusi redup
- Auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah kasar pada stadium resolusi
Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA / lateral ) terlihat infiltrat sampai konsolidasi dengan “air
bronchogram“, penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.

28
b. Pemeriksaan Laboratorium
- Leukositosis (biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai
30.000/ul) dengan hitung jenis pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED.
- Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi.
- Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

DIAGNOSIS BANDING
 Tuberkulosis
 Pneumonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat
 Edema paru
 Infark paru
 Bronkiolitis obliterans

KOMPLIKASI
 Efusi pleura
 Empiema
 Abses paru
 Pneumotoraks
 Gagal napas
 Sepsis

PENATALAKSANAAN
a. Penderita rawat jalan
 Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
 Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam

29
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
 Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
 Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif
 Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
 Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam
 Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

30
Tabel 1. Petunjuk terapi empiris menurut PDPI
Rawat jalan  Tanpa faktor modifikasi :
Golongan β laktam atau β laktam + anti β laktamase
 Dengan faktor modifikasi :
- Golongan β laktam atau β laktam + anti β lactamase
atau
- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, gatifloksasin)
 Bila dicuringa pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin, klaritromisin, azitromisin).
Rawat inap  Tanpa faktor modifikasi :
- Golongan betalaktam + anti bektalaktamase iv, atau
- Sefalosporin G2, G3 iv, atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
 Dengan faktor modifikasi :
- Sefalosporin G2, G3 iv, atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah
makrolid baru.
Ruang rawat  Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
intensif - Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah
makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv
 Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
- Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv
ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas
(siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv.
- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik : sefalosporin
anti pseudomonas iv atau karbapenem iv tambah
aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi iv.
Catatan :
 Faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat meningkatkan resiko infeksi
dengan mikroorganisme patogen yang spesifik. Yang termasuk dalam faktor
modifikasi adalah :
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin : umur > 65 tahun, memakai
obat-obat golongan β laktam selama 3 bulan terakhir, pecandu alkohol,
penyakit gangguan kekebalan, penyakit penyerta yang multipel.
b. Bakteri enterik gram negatif : penghuni rumah jompo, mempunyai penyakit
dasar kelainan jantung paru, penyakit penyerta yang multipel, riwayat
pengobatan antibiotik.
c. Pseudomonas aeruginosa : bronkiektasis, pengobatan kortikosteroid > 10
mg/hari, pengobatan antibiotika spektrum luas >7 hari pada bulan terakhir,
gizi kurang.

Referensi :
1. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med. 2001.
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti. PDPI. 2003.

31
PNEUMONIA NOSOKOMIAL

BATASAN
Pneumonia nosokomial (Hospital-acquired pneumonia/HAP) adalah
pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan
disingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi sebelum masuk rumah sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi
lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.

PATOGENESIS
Bakteri dapat menyerang saluran napas bagian bawah melalui :
1. Aspirasi, merupakan cara terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis, usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Faktor Risiko :
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh, misalnya penyakit kronik,
perokok, malnutrisi, dll.
2. Faktor eksogen :
- Pembedahan
- Penggunaan antibiotik
- Peralatan terapi pernapasan
- Pemasangan selang nasogastrik, pemberian antasida dan alimentasi
enteral
- Lingkungan rumah sakit
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004) :
 Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
 Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari
 Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat/ rumah sakit tersebut
 Penyakit/ terapi yang bersifat imunosupresi (pemberian imunoterapi)
 Ada faktor risiko pneumonia nosokomial

32
DIAGNOSIS
 Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
- Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
- Ditambah 2 diantara kriteria berikut :
 Suhu tubuh > 38oC
 Sekret purulen
 Leukositosis
 Pemeriksaan laboratorium :
- Pemeriksaan sputum gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi
sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi
- Kultur darah, dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien
- Analisis gas darah untuk membantu menentukan beratnya penyakit

PENATALAKSANAAN
 Terapi awal antibiotik adalah empirik, dan de-eskalasi harus dipertimbangkan
setelah ada hasil kultur dan perbaikan respon klinis.
 Respon klinis terlihat setelah 48–72 jam pertama terapi sehingga dianjurkan
tidak mengganti antibiotika sebelum 72 jam, kecuali klinis memburuk.
 Onset dini : pneumonia terjadi ≤ 4 hari setelah rawat inap di rumah sakit.
 Onset lanjut : pneumonia terjadi ≥ 5 hari setelah rawat inap di rumah sakit.
 Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS :
1. Dirawat di ruang intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O 2 >
35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%
3. Perubahan radiologik progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari
infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yaitu :
 Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
 Memerlukan vasopressor > 4 jam
 Jumlah urine < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
 Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis
 Lama terapi 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya P.
aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14-21 hari

33
Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada
pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua
derajat penyakit (mengacu pada ATS/IDSA 2004)

Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan


 Streptococcus pneumonia Betalaktam + antibetalaktamase
 Haemophilus influenza (Amoksisilin klavulanat)
 Metisilin-sensitif Staphylococcus atau
aureus Sefalosporin G3 non pseudomonal
 Antibiotika sensitif basil gram (Seftriakson, Sefotaksim)
negatif enterik atau
- E. coli Kuinolon respirasi
- K. pneumonia (Levofloxacin, Moksifloksasin,
- Enterobacter spp Gatifloksasin)
- Proteus spp
- Serratia marcescens

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk
semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau
terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)

Patogen potensial Terapi Antibiotik Kombinasi


 Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal
patogen pada tabel 1 (Sefepim, Seftasidim,Sefpirom)
- Pseudomonas aeruginosa atau
- Kleibsiella pneumonia Karbapenem antipseudomonal
- ESBL (Meropenem,Imipenem)
- Acinetobacter sp atau
Beta-laktam/penghambat beta-
laktamase (Piperasilin-tasobaktam)

ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloxacin atau Levofloxacin)
atau
Aminoglikosida
(Amikasin, Gentamisin,atau Tobramisin)

- Methicillin resisten ditambah


staphylococcus aereus (MRSA) Linesolid atau Vankomisin atau
- Leigonella pneumophilia Teikoplanin

Referensi :

34
1. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med. 2001.
2. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with
Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated
Pneumonia. Am J Respir Crit. Care Med. 2005.
3. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial. PDPI.
2005.

ABSES PARU
35
BATASAN
Abses paru adalah suatu infeksi oleh mikroba akut atau kronik yang terjadi
pada jaringan paru dimana terjadi pembentukan kavitas dengan jaringan paru
yang nekrosis dan cairan pus didalamnya. Dikenal juga dengan istilah necrotizing
pneumonia bila lesi supuratif nekrosis (kaviti) multipel.
Kuman penyebab biasanya terdiri dari campuran kuman aerob dan anaerob
(Peptostreptococcus spp, Fusobacterium spp, Bacteriodes spp, S.aureus,
S.pyogenes). Penyebab paling sering bakteri piogenik terutama mikroba anaerob.
Faktor risiko terjadinya abses paru
1. Penyakit rongga mulut : ginggivitis, gangguan periodontal
2. Penurunan kesadaran : koma, alkoholisme, drug abuse, anesthesia, kejang-
kejang
3. Gangguan imunokompromis : malnutrisi, kemoterapi, terapi steroid, trauma
multipel
4. Penyakit esophagus : achalasia, gangguan reflux, obstruksi esophagus
5. Obstruksi bronkus : tumor bronkus, benda asing, striktur bronkus
6. Sepsis

PATOGENESIS
Infeksi akan mudah timbul bila ada faktor risiko, dimana aspirasi dari
mikroba merupakan sebab terbanyak dalam mekanisme terjadinya abses paru,
apalagi bila disertai adanya gangguan/infeksi pada mulut.
Bahan yang terhisap akan masuk ke dalam paru yang letaknya lebih
rendah (gravity dependent segment). Proses dimulai sebagai suatu pneumonitis
lokal dan berkembang menjadi eksudat yang terdiri dari darah dan jaringan
nekrosis. Infeksi bakteri terutama anaerob akan memproduksi semacam enzim
yang merusak jaringan parenkim paru, sehingga terbentuk mikroabses yang
berkembang jadi besar membentuk kavitas. Kemudian terjadi abses piogenik yang
rongganya sebagian terbuka ke bronkus dan pus dikeluarkan sehingga rongga
sebagian kosong.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis :

36
 Batuk
 Dahak berbau busuk (foetor ex ore)
 Panas badan
 Nyeri pleuritik
 Badan tambah kurus
 Keringat malam
 Perjalanan penyakit kronik dan lambat (chronic and indolent)
Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium
- Darah : leukositosis (12.000-20.000/ml), LED meningkat, anemia,
pemeriksaan kultur darah
- Dahak : pengecatan gram, didapatkan banyak PMN, serta bakteri dari
berbagai jenis, pemeriksaan kultur dahak
 Radiologi
- Foto toraks
Rongga soliter berdinding tebal yang dikelilingi konsolidasi biasanya disertai
air fluid level.
- CT-Scan toraks
Dapat memperlihatkan dengan jelas kelainan kavitas dibandingan foto
toraks biasa.
- USG toraks
Bisa mendeteksi abses paru yang dekat dengan pleura.
 Bronkoskopi
Dilakukan untuk mendapatkan etiologi mikroba.

DIAGNOSIS BANDING
1. Tuberkulosis paru
2. Kanker paru yang mengalami nekrosis
3. Bula atau kista yang terinfeksi
4. Hematom paru
5. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi
KOMPLIKASI
1. Batuk darah profus

37
2. Empiema atau piopneumotoraks
3. Abses otak
4. Anemia dan kakeksi dapat timbul pada penyakit yang kronis
5. Septikemia

PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan umum
Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diet TKTP dan rehidrasi yang
cukup.
a. Antibiotik
- Clindamycin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300 mg p.o/6 jam
- Amoksisilin-klavulanat 875 mg p.o/12 jam
- Golongan beta laktam/beta laktam inhibitor, sefalosporin, atau
fluoroquinolon, ditambah metronidazole 500 mg p.o/iv tiap 8-12 jam
- Jika penyebab pseudomonas diberikan sefalosporin anti pseudomonas,
golongan karbapenem, piperasillin/tazobaktam
- Jika penyebab MRSA diberikan vankomisin atau linezolid
- Lama pemberian 4-6 minggu. Bila kavitas besar > 6 cm atau terdapat
empiema maka lama terapi bisa mencapai 3 bulan
b. Drainase postural dan fisioterapi
2. Penatalaksanaan khusus
a. Bronkoskopi
Bila pus sulit keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk
membersihkan jalan napas dan menghisap pus.
b. Pembedahan
 Terapi antibiotika adekuat selama 6 minggu gagal, kavitas tetap ada
dan produksi dahak tetap
 Sisa jaringan parut yang luas sehingga menganggu faal paru

Referensi :

38
1. Current Medical Diseases & Treatment. Editors : Tierney dkk. 42th edition.
McGraw-Hill Medical. 2003.
2. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
3. Pulmonary Diseases & Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-
Hill Medical. 2008.

FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)

39
BATASAN
Flu Burung (FB) atau Avian Influenza (AI) adalah suatu penyakit menular
pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan subtipe H5N1.
Virus FB memiliki kemampuan untuk terus menerus bermutasi sehingga dalam
perkembangannya virus ini dapat menular dari unggas ke manusia.
Sejak tahun 2003 di dunia kumulatif tercatat 15 negara terinfeksi virus FB
pada manusia. Pada tahun 2013 FB terdapat di 6 negara termasuk Indonesia.
Penularan virus influenza secara umum dapat terjadi melalui inhalasi, kontak
langsung ataupun kontak tidak langsung dari unggas ke manusia. Kekhawatiran
rekombinasi genetik (genetic reassortment) antara virus influenza burung dan
virus influenza manusia menyebabkan terjadi penularan manusia ke manusia.

PATOGENESIS
Virus influenza subtipe H5 memiliki kemampuan untuk berkembang
menjadi strain virus yang sangat patogenik. Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus
memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan (attachment) spikes
hemaglutinin (HA) dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) pada
permukaan sel hospes. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan
mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan bereplikasi
membentuk virion-virion baru dan dapat menginfeksi sel-sel disekitarnya.

DEFINISI KASUS (sesuai kriteria WHO 2007)


Seseorang  Seseorang yang telah diputuskan untuk diinvestigasi oleh
dalam petugas kesehatan setempat
Investigasi  Riwayat kontak erat < 7 hari dengan pasien suspek,
probabel, terkonfirmasi flu burung atau disekitar wilayahnya
terdapat banyak unggas yang mati diduga atau terbukti flu
burung
 Surveilans semua kasus ILI dan pneumonia di RS serta
mereka yang kontak dengan pasien flu burung di RS
Kasus Suspek a. Seseorang dengan demam ≥ 38oC dan ILI
Flu Burung DAN DISERTAI
≥ 1 pajanan dibawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya
gejala :
 Kontak erat (dalam jarak ± 1 meter) dengan pasien
suspek, probabel, terkonfirmasi flu burung
 Terpajan dengan unggas atau lingkungan yang tercemar
kotoran unggas dalam wilayah terjangkit dalam 1 bulan

40
terakhir
 Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak sempurna dari wilayah yang dicurigai atau
dipastikan terdapat hewan atau manusia yang
terkonfirmasi flu burung dalam 1 bulan terakhir
 Kontak erat dengan binatang lain yang terkonfirmasi
terinfeksi H5N1
 Memegang/menangani sampel yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya
b. Seseorang dengan demam ≥ 38oC dan ILI
DAN DISERTAI
Keadaan di bawah ini :
Leukopeni dan gambaran pneumonia pada foto toraks
DAN DISERTAI
≥ 1 pajanan dibawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya
gejala dan foto toraks menggambarkan pneumonia yang
cepat memburuk pada serial foto :
 Kontak erat (dalam jarak ± 1 meter) dengan pasien
suspek, probabel, terkonfirmasi flu burung
 Terpajan dengan unggas atau lingkungan yang tercemar
kotoran unggas dalam wilayah terjangkit dalam 1 bulan
terakhir
 Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak
dimasak sempurna dari wilayah yang dicurigai atau
dipastikan terdapat hewan atau manusia yang
terkonfirmasi flu burung dalam 1 bulan terakhir
 Kontak erat dengan binatang lain yang terkonfirmasi
terinfeksi H5N1.
 Memegang/menangani sampel yang dicurigai
mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya
 Leukopenia
 Ditemukan titer antibodi H5 dengan pemeriksaan uji HI
menggunakan sel darah merah kuda atau uji ELISA
untuk influenza A tanpa subtipe
 Foto toraks menunjukkan pneumonia yang cepat
memburuk pada serial foto
 Seseorang yang mempunyai gejala ILI secara klinis dan
radiologis yang cepat mengalami perburukan meskipun
riwayat kontak tidak jelas
Kasus probabel Kriteria kasus suspek ≥ 1 keadaan di bawah ini :
a. Ditemukan kenaikan titer antibodi H5 pada masa akut dan
konvalesen, minimum 4 kali, dengan pemeriksaan uji HI
menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA
b. Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5
(terdeteksinya antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum

tunggal) menggunakan uji netralisasi (dikirim ke


laboratorium rujukan)

41
Atau
Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran
napas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya secara
epidemiologis berkaitan dengan aspek waktu, tempat dan
pajanan terhadap suatu kasus probable atau suatu kasus
H5N1 yang terkonfirmasi
Kasus H5N1 Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau
terkonfirmasi probable
DAN DISERTAI
Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam
suatu laboratorium influenza yang hasil pemeriksaan H5N1-
nya :
a. Hasil PCR H5 positif
b. Peningkatan ≥ 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk
H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan
spesimen akut (diambil ≤ 7 hari setelah awitan penyakit),
dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula ≥ 1/80
c. Isolasi virus H5N1
d. Titer antibodi mikronetralisasi ≥ 1/80 pada spesimen serum
yang diambil pada hari ke ≥ 14 setelah awitan penyakit
disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel
darah merah kuda ≥ 1/160 atau western blot spesifik H5
positif

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Gejala Influenza Like Illness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 38 oC, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorok. Disertai dengan sakit kepala, sesak napas, nyeri
otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna.
 Gejala klinik dapat memburuk dengan cepat yang biasanya ditandai dengan
pneumonia berat
Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
A. Pemeriksaan Laboratorium Non Spesifik
a. Pemeriksaan Hematologi
o Pemeriksaan darah rutin
o Umumnya kasus flu burung ditemukan leukopeni, limfositopeni
dan trombositopeni

b. Pemeriksaan Kimia darah

42
o Pemeriksaan Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin,
Kreatinin Kinase, Analisa Gas Darah, CRP, Prokalsitonin (jika
ada)
o Umumnya didapatkan peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan
Ureum/Kreatinin, penurunan albumin
B. Pemeriksaan Laboratorum Spesifik
o Spesimen aspirasi nasofaringeal, serum, apus hidung, tenggorok atau
cairan tubuh lainnya : cairan pleura, cairan ETT.
o Diagnosis H5N1 dibuktikan dengan :
1. Uji RT-PCR untuk H5 yang primernya spesifik untuk isolat virus
H5N1 di Indonesia
2. Peningkatan ≥ 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut
(diambil ≤ 7 hari setelah awitan penyakit), dan titer antibodi
netralisasi konvalesen harus pula ≥ 1/80
3. Titer antibodi mikronetralisasi ≥ 1/80 pada spesimen serum yang
diambil pada hari ke ≥ 14 setelah awitan penyakit disertai hasil
positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda ≥
1/160 atau western blot spesifik H5 positif
4. Isolasi virus H5N1
 Radiologi
- Pemeriksaan foto toraks PA/Lateral
o Pada fase awal dapat normal
o Fase lanjut : ground glass opacity, konsolidasi homogen atau heterogen
pada paru unilateral atau bilateral
o Lokasi tersering pada lapangan bawah paru
- Pemeriksaan CT-Scan Toraks
o Bukan merupakan pemeriksaan standar untuk kasus H5N1
o Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala klinis H5N1 tapi
hasil foto toraks normal
o Teknik CT Scan dengan potongan tipis tanpa kontras untuk
mengidentifikasi stadium awal

43
DIAGNOSIS BANDING
 Pneumonia yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur
 Demam berdarah
 Demam typhoid
 HIV dengan infeksi
 Leptospirosis
 Tuberkulosis paru

INDIKASI RAWAT
Indikasi rawat inap penderita H5N1 adalah sebagai berikut :
- Demam
- Nyeri tenggorokan
- Batuk, pilek, bersin, myalgia
- Pada keadaan yang berat timbul distress pernapasan akibat pneumonia
- Terdapat kontak dengan unggas di peternakan, terutama jika unggas tersebut
menderita sakit/mati dalam 7 hari terakhir
Kriteria merawat di ruang intensif :
- Frekuensi napas > 30 x/menit
- PaO2/FiO2 < 250
- Foto toraks : penambahan infiltrat > 50% atau mengenai banyak lobus paru
- TD sistolik < 90 mmHg, TD diastolik < 60 mmHg
- Perlu ventilator mekanik
- Syok septik
- Membutuhkan vasopressor > 4 jam
- Fungsi ginjal memburuk (kreatinin serum > 4 mg/dl)

PENATALAKSANAAN
 Pasien di rawat di ruang isolasi.
 Terapi suportif dan simptomatik : terapi oksigen, terapi cairan, nutrisi,
antipiretik.
 Terapi Antiviral
- Obat antiviral penghambat neuramidase : oseltamivir dan zanamivir, dan
penghambat M2 protein : amantadine dan rimantadin

44
- Dimulai sesegera mungkin setelah awitan penyakit
- Dosis oseltamivir : 2 x 75 mg selama 5 hari, bisa diperpanjang sesuai klinis
- Profilaksis dengan oseltamivir 1 x 75 mg diberikan pada kelompok risiko
tinggi
 Antibiotik
Bila terjadi pneumonia, antibiotik diberikan berdasarkan pedoman pneumonia
komunitas dan pneumonia nosokomial.
 Kortikosteroid
Diberikan pada syok septik yang tidak responsif dengan terapi cairan dan
memerlukan vasopressor, dengan hidrokortison dosis rendah 200-300 mg/hari
dosis terbagi atau metilprednisolon 0,5-1 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis dalam
24 jam.
 Pengelolaan umum di ICU sesuai rekomendasi Surviving Sepsis Campaign
2008, sebagai berikut :
 Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi atau yang
mengalami peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan
resusitasi yang telah ditentukan (CVP 8-12 mmHg, MAP ≥ 65mmHg, urin ≥
0,5 mL/kgBB/hari, ScvO2 ≥ 70%).
 Pemeriksaan kultur dan pencitraan/imaging untuk memastikan dan mencari
sumber infeksi.
 Antibiotik diberikan sesegera mungkin, dan harus dilakukan evaluasi ulang
antibiotik setiap hari.
 Identifikasi sumber infeksi dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan
tindakan untuk mengatasinya.
 Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid. Target CVP ≥
8 mmHg (dengan ventilasi mekanik ≥12 mmHg). Laju pemberian cairan
harus diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa
perubahan hemodinamik pada saat yang sama.
 Pemberian vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Pilihan
pemberian awal norepinefrin dan dopamin adalah melalui vena sentral.
 Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan
miokard yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah.

45
 Kortikosteroid dosis rendah dapat dipertimbangkan pada syok septik yang
memerlukan vasopressor dan diduga mengalami insufisiensi adrenal. Dosis
hidrokortison < 300 mg/hari.
 Pemberian komponen darah diberikan apabila penurunan Hb < 7.0 g/L,
komponen darah diberikan hingga mencapai 7.0 – 9.0 g/L.
 Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS.
 Sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler pada sepsis.
 Mengontrol kadar glukosa darah menggunakan insulin IV pada pasien
dengan sepsis berat setelah stabilisasi di ICU. Target gula darah < 150
mg/dl.
 Terapi bikarbonat. Jangan memberikan terapi bikarbonat untuk tujuan
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor
sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH
≥ 7.15.
 Profilaksis DVT. Gunakan unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau
low molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi.
 Profilaksis stress ulcer,menggunakan H2 blocker atau proton pump
inhibitor.

Referensi :
1. Buku Saku Flu Burung. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2013.
2. Clinical Management of Human Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus.
World Health Organization. 2007.
3. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung (H5N1) di Rumah Sakit. Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI. 2010.

46
INFLUENZA A BARU (H1N1/SWINE FLU)

BATASAN
Penyakit yang menyerang saluran pernapasan mulai dari ringan sampai
berat disebabkan oleh virus influenza baru yaitu Swine Flu H1N1 (Flu Meksiko).
Masa inkubasi penyakit ini berkisar 1-7 hari, sedangkan masa penularan berkisar
antara 1 hari sebelum mulai sakit (onset) sampai 7 hari setelah onset.
Cara penularan melalui kontak langsung dengan penderita H1N1 baik karena
berbicara, droplet infection, atau kontak dengan benda yang terkontaminasi virus

PATOGENESIS
Virus influenza A baru H1N1 dapat menyebabkan penularan antar manusia
dengan penyebaran cukup tinggi sehingga menyebabkan pandemi karena terjadi
mutasi (antigenic shift). Virus influenza A baru H1N1 terdiri dari segmen gen yang
belum pernah dilaporkan sebelumnya baik pada babi maupun manusia.

DEFINISI KASUS H1N1


Suspek Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (demam
≥38°C) mulai dari yang ringan (Influenza like Illnes) sampai
dengan pneumonia, ditambah salah satu keadaan di bawah ini :
 Dalam 7 hari sebelum sakit pernah kontak dengan kasus
konfirmasi H1N1
 Dalam 7 hari sebelum sakit pernah berkunjung ke area
yang terdapat satu atau lebih kasus konfirmasi H1N1
Probabel Seseorang dengan gejala di atas disertai dengan hasil
pemeriksaan laboratorium positif terhadap influenza A tetapi
tidak dapat diketahui subtipenya dengan menggunakan reagen
influenza musiman
Atau
Seseorang yang meninggal karena penyakit infeksi saluran
pernapasan akut yang tidak diketahui penyebabnya dan
berhubungan secara epidemiologi (kontak dalam 7 hari sebelum
onset) dengan kasus probable atau konfirmasi
Konfirmasi Seseorang dengan gejala di atas sudah dikonfirmasi
laboratorium H1N1 dengan pemeriksaan ≥ 1 tes di bawah ini :
 Real time RT PCR
 Kultur virus
 Peningkatan 4x antibodi spesifik H1N1 dengan tes
netralisasi

47
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Gejala Influenza Like Illness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 38 oC, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorok. Disertai dengan sakit kepala, sesak napas, nyeri
sendi, mual, muntah, diare.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
 Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, gula darah sewaktu
 Analisa gas darah
 Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan sputum (smear dan luktur), kultur
darah, kultur urin sesuai indikasi bila terjadi koinfeksi dengan bakteri
 Pemeriksaan RT-PCR
 Radiologi
 Pemeriksaan foto toraks
 CT-Scan toraks sesuai indikasi

Tabel 1. Diagnosis H5N1 secara klinis


Kriteria Gejala
Ringan Gejala ILI, sesak napas (-), pneumonia (-), faktor risiko (-)

Sedang Gejala ILI dengan salah satu kriteria :


 Faktor risiko ★
 Pneumonia ringan
 Keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare)

Berat Pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok,


kesadaran menurun, ARDS atau gagal multi organ

Kelompok risiko tinggi : kelompok yang memiliki faktor memperberat keadaan
yaitu PPOK, kehamilan, obesitas, penyakit kronik lainnya, malnutrisi, usia >65
tahun.

PENATALAKSANAAN

48
 Tatalaksana sesuai kasus
Kasus Tatalaksana
Ringan  Rawat jalan
 Antivirus (-) kecuali kasus klaster
 Terapi simptomatik
 KIE
 Pasien diamati selama 7 hari

Sedang  Ruang isolasi


 Jika terjadi perburukan rawat ICU

Berat Perawatan di ruang isolasi ICU

 Antiviral
 Direkomendasikan pemberian oseltamivir atau zanamivir (bila diduga
resisten oseltamivir atau tidak dapat menggunakan oseltamivir)
 Dimulai sesegera mungkin dalam waktu 48 jam setelah awitan penyakit
 Dosis oseltamivir : 2 x 75 mg selama 5 hari, bisa diperpanjang 10 hari
sesuai klinis
 Dosis zanamivir untuk usia ≥ 7 tahun dan dewasa adalah 2 x 10 mg inhalasi
 Tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada H5N1
 Antibiotik
Bila terjadi pneumonia, antibiotik diberikan berdasarkan pedoman pneumonia
komunitas dan pneumonia nosokomial.
 Kortikosteroid
Diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopressor dan diduga
mengalami insufisiensi adrenal, dengan hidrokortison dosis rendah 300
mg/hari dosis terbagi.

Pengelolaan umum di ICU


 Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi atau yang
mengalami peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan
resusitasi yang telah ditentukan.
 Pemeriksaan kultur dan pencitraan untuk mencari sumber infeksi.

 Antibiotik diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis sepsis atau syok

49
sepsis ditegakkan, dan harus dilakukan evaluasi ulang antibiotik setiap hari.
 Identifikasi sumber infeksi dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan
tindakan untuk mengatasinya.
 Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid. Target CVP ≥ 8
mmHg (dengan ventilasi mekanik ≥12 mmHg). Laju pemberian cairan harus
diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa
perubahan hemodinamik pada saat yang sama.
 Pemberian vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Pilihan
pemberian awal norepinefrin dan dopamin adalah melalui vena sentral.
 Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan
miokard yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah.
 Kortikosteroid dosis rendah dapat dipertimbangkan pada syok septik yang
memerlukan vasopressor dan diduga mengalami insufisiensi adrenal. Dosis
hidrokortison < 300 mg/hari.
 Pemberian komponen darah diberikan apabila penurunan Hb < 7.0 g/L,
komponen darah diberikan hingga mencapai 7.0 – 9.0 g/L.
 Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS.
 Sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler pada sepsis.
 Mengontrol kadar glukosa darah menggunakan insulin IV pada pasien dengan
sepsis berat setelah stabilisasi di ICU. Target gula darah < 150 mg/dl.
 Terapi bikarbonat. Jangan memberikan terapi bikarbonat untuk tujuan
memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor sewaktu
menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH ≥ 7.15.
 Profilaksis DVT. Gunakan unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau low
molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi.
 Profilaksis stress ulcer, menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor.

Referensi :
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru (H1N1).
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2009.
2. Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Flu H1N1. Kemenkes RI. 2009.

50
MIDDLE EAST RESPIRATORY SYNDROME-CORONA
VIRUS (MERS-CoV)

BATASAN
Penyakit yang menyerang saluran pernapasan mulai dari ringan sampai berat
disebabkan oleh corona virus MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome-
Corona Virus).

Cara Penularan
Dapat menular antar manusia melalui droplet dan kontak dengan benda yang
terkontaminasi virus.

Tabel 1. Definisi kasus MERS-CoV

“Kasus dalam a. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut


penyelidikan”/ (ISPA) dengan tiga gejala di bawah ini :
Suspek infeksi • Demam (≥38°C) atau ada riwayat demam
MERS-CoV  Batuk
 Pneumonia berdasarkan gejala klinis atau
gambaran radiologis yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit.
Perlu waspada pada pasien dengan gangguan
sistem kekebalan tubuh (immunocompromised)
karena gejala dan tanda tidak jelas
DAN
salah satu dari kriteria berikut :
1) Adanya klaster penyakit yang sama dalam periode
14 hari, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau
riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain
2) Adanya petugas kesehatan yang sakit dengan
gejala sama setelah merawat pasien ISPA berat
(SARI / Severe Acute Respiratory Infection),
terutama pasien yang memerlukan perawatan
intensif, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau
riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain
3) Seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke
Timur Tengah (negara terjangkit) dalam waktu 14
hari sebelum sakit kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain
4) Adanya perburukan perjalanan klinis yang
mendadak meskipun dengan pengobatan yang
tepat, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau

51
riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain
b. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) ringan sampai berat yang memiliki riwayat
kontak erat dengan kasus konfirmasi atau kasus
probable infeksi MERS-CoV dalam waktu 14 hari
sebelum sakit.
Tidak perlu menunggu hasil tes untuk patogen lain
sebelum pengujian untuk MERS-CoV
Kasus Probabel a. Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan
bukti klinis, radiologis atau histopatologis
DAN
Tidak tersedia pemeriksaan untuk MERS-CoV atau
hasil laboratoriumnya negative pada satu kali
pemeriksaan spesimen yang tidak adekuat
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan
kasus konfirmasi MERS Co-V
b. Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan
bukti klinis, radiologis atau histopatologis
DAN
Hasil pemeriksaan laboratorium inkonklusif
(pemeriksaan skrining hasilnya positif tanpa konfirmasi
biomolekular)
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan
kasus konfirmasi MERS Co-V
Kasus Konfirmasi Seseorang menderita infeksi MERS-CoV dengan
konfirmasi laboratorium

DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
 Demam suhu > 38 C
 Batuk dan sesak napas
 Riwayat bepergian dari negara timur tengah 14 hari sebelum onset
Pemeriksaan fisik
Sesuai dengan gambaran pneumonia.
Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Foto toraks dapat ditemukan infiltrat, konsolidasi sampai gambaran ARDS.

52
 Laboratorium
- Pemeriksaan spesimen corona virus baru (pemeriksaan konfirmasi
diagnosa).
 RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction)
 Bahan pemeriksaan :
 Spesimen dari saluran atas (hidung/nasofaring dan/atau swab
tenggorokan
 Spesimen saluran napas bawah (sputum, aspirat endotrakheal,
bilasan bronkoalveolar)
 Tempat pemeriksaan : Laboratorium Badan Litbangkes RI Jakarta
 Pengambilan spesimen serial dari beberapa tempat dalam waktu
beberapa hari (setiap 2-3 hari) untuk melihat viral shedding
- Spesimen klinis rutin (kultur mikroorganisme sputum dan darah pada pasien
dengan pneumonia).
- Spesimen dari saluran napas atas dan bawah dilakukan pemeriksaan virus
influenza A dan B, virus influenza A subtipe H1, H3 dan H5 dan H5N1.

53
Perjalanan Penyakit MERS-CoV
Infeksi Pernapasan Demam > 38oC sakit tenggorokan, batuk, sesak/napas
akut (ISPA) cepat

Pneumonia berat Pasien remaja atau dewasa dengan demam, batuk,


frekuensi pernapasan > 30 kali/ menit, gangguan
pernapasan berat, saturasi oksigen (SpO 2) <90%

Acute Respiratory Onset: akut dalam waktu 1 minggu dari timbulnya gejala
Distress Syndrome klinis atau perburukan gejala respirasi, atau timbul gejala
(ARDS) baru

Gambaran radiologis (misalnya foto toraks atau CT scan):


opasitas bilateral, yang belum dapat dibedakan apakah
karena efusi, kolaps paru / kolaps lobar atau nodul.

Edema paru: kegagalan pernafasan yang belum diketahui


penyebabnya, apakah karena gagal jantung atau overload
cairan

Tingkat hipoksemia :
ARDS ringan yaitu 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg
dengan PEEP atau CPAP ≥ 5 cm H2O;
ARDS sedang yaitu 100 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg
dengan PEEP ≥ 5 cm H2O
ARDS berat yaitu PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP
≥ 5 cm H2O
Ketika PaO2 tidak tersedia, rasio SpO2/FiO2 ≤ 315
menunjukkan ARDS.

Sepsis Terbukti infeksi atau diduga infeksi, dengan dua atau lebih
kondisi berikut:
 Suhu > 38°C atau < 36°C
 HR > 90/min, RR > 20/min atau
 PaCO2 < 32 mmHg
 Leukosit > 12.000 atau < 4000/mm 3 atau > 10% bentuk
imatur

Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipoperfusi (asidosis


laktat) atau hipotensi.
Disfungsi organ meliputi : oliguria, cedera ginjal akut,
hipoksemia, transaminitis, koagulopati, trombositopenia,
perubahan kesadaran, ileus atau hiperbilirubinemia.

Syok Septik Sepsis yang disertai hipotensi (Sistole < 90 mmHg)


meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan adekuat dan
terdapat tanda hipoperfusi.

54
PENATALAKSANAAN
 Terapi oksigen
- Berikan terapi oksigen pada pasien dengan tanda depresi napas berat,
hipoksemia (SpO2 <90%) atau syok

- Mulai terapi oksigen dengan 5 L/ menit lalu titrasi sampai SpO 2 ≥ 90% pada
orang dewasa yang tidak hamil dan SpO2 ≥ 92-95% pada pasien hamil
- Pulse oximetry, oksigen, selang oksigen dan masker harus tersedia di
semua tempat yang merawat pasien ISPA berat/ SARI
- Ventilasi non invasive (NIV) atau ventilasi invasive melalui endotracheal
tube harus diberikan secara dini pada pasien dengan work of breathing
atau hipoksemia yang berkelanjutan meskipun telah diberikan oksigen
aliran tinggi
- Gunakan lung protective strategy ventilation (LPV) untuk pasien dengan
ARDS
 Antibiotika
Awal diberikan terapi empirik, dan antibiotika kemudian disesuaikan
berdasarkan uji kepekaan.
 Manajemen cairan konservatif pada pasien ISPA berat/ SARI tanpa syok
Pada pasien ISPA berat/SARI harus hati-hati dalam pemberian cairan
intravena, karena resusitasi cairan secara agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama dalam situasi terdapat keterbatasan ventilasi mekanis.
 Jangan memberikan kortikosteroid sistemik dosis tinggi atau terapi tambahan
lainnya untuk pneumonitis virus diluar konteks uji klinis.
 Pemantauan secara ketat pasien dengan ISPA berat/ SARI bila terdapat
tanda-tanda perburukan klinis, seperti gagal nafas, hipoperfusi jaringan, syok
dan memerlukan perawatan intensif (ICU).

55
Pengendalian Infeksi
Kewaspadaan Terapkan secara rutin di semua fasilitas pelayanan
standar kesehatan untuk semua pasien.
Tindakan pencegahan standar meliputi :
- Kebersihan tangan dan penggunaan alat pelindung
diri (APD) untuk menghindari kontak langsung dengan
darah pasien, cairan tubuh, sekret (termasuk sekret
pernapasan) dan kulit lecet atau luka.
- Kontak dekat dengan pasien yang mengalami gejala
pernapasan (misalnya batuk atau bersin) pada saat
memberikan pelayanan, gunakan pelindung mata
karena semprotan sekresi dapat mengenai mata.
- Pencegahan jarum suntik atau cedera benda tajam.
- Pengelolaan limbah yang aman, pembersihan dan
disinfeksi peralatan serta pembersihan lingkungan.
Tindakan - Gunakan masker bedah bila bekerja dalam radius 1
pencegahan droplet meter dari pasien.
- Tempatkan pasien dalam kamar tunggal, atau
berkelompok dengan diagnosis penyebab penyakit
yang sama.
- Jika diagnosis penyebab penyakit tidak mungkin
diketahui, kelompokkan pasien dengan diagnosis
klinis yang sama dan berbasis faktor risiko
epidemiologi yang sama dengan pemisahan minimal 1
meter.
- Batasi gerakan pasien dan pastikan bahwa pasien
memakai masker medis saat berada di luar kamar.
Tindakan - Pastikan bahwa petugas kesehatan menggunakan
pencegahan APD (sarung tangan, baju lengan panjang, pelindung
airborne mata, dan respirator partikulat (N95 atau yang setara))
ketika melakukan prosedur tindakan yang dapat
menimbulkan aerosol.
- Bila mungkin, gunakan satu kamar berventilasi
adekuat ketika melakukan prosedur yang
menimbulkan aerosol.

Referensi :
1. Pedoman Surveilans dan Respon Kesiapsiagaan Menghadapi MERS-CoV.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2013.
2. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat Suspek
Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV). Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI.
2013.

56
MIKOSIS PARU

BATASAN
Gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi/
kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.

Faktor risiko
Tabel 1. Penyakit yang diderita dikaitkan dengan mikosis paru yang berisiko
dialami pasien

Penyakit yang diderita Mikosis paru yang


berisiko dialami
 Keganasan darah
 Transplantasi sumsum tulang
 Transplantasi organ solid terutama transplantasi paru
 Pasien yang menjalani perawatan ICU Aspergilosis
- Risiko sedang
o Terapi kortikosteroid jangka panjang (> 4 minggu) sebelum
masuk ICU
o PPOK dengan terapi kortikosteroid sistemik
o Sirosis hati dengan masa rawat lama
o Infeksi HIV/AIDS tahap lanjut
o Penyakit inflamasi sistemik yang memerlukan terapi
kortikosteroid jangka panjang
o Penerima obat sitostatika
- Risiko rendah
o Luka bakar luas
o Malnutrisi
o Transplantasi organ solid selain paru
o Pasien dengan masa rawat lama di ICU (>21 hari)
o Pasien penerima kortikosteroid sistemik > 7 hari
o Pasca bedah jantung
 Gagal ginjal
 DM
 Near-drowning

Pasien terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4 + < 200 sel/mm3 PCP,
kriptokokosis

Pasien transplantasi hati Aspergilosis,


kriptokokosis

Pasien transplantasi ginjal Aspergilosis,


mukormikosis

Pasien transplantasi jantung Aspergilosis,


kandidosis

Pasien menjalani perawatan ICU, menggunakan kateter vena sentral, Kandidosis


nutrisi parenteral, neutropenia, pengguna alat protestik implant,
menerima terapi imunosupresif (kortikosteroid, kemoterapi,
imunomudolator)

57
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Keluhan mirip dengan penyakit paru pada umumnya, tidak ada keluhan
patognomonik
 Keluhan batuk, demam, sesak pada pasien dengan faktor resiko sesuai bagan
di atas
Pemeriksaan Fisik
Mikosis paru sulit dibedakan dengan penyakit paru lain, tergantung pada kelainan
anatomi yang terjadi pada paru.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan radiologi
- Foto toraks
Tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrate interstitial,
konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura. Gambaran khas pada
aspergiloma yaitu fungus ball dalam kavitas.
- CT Scan toraks
 Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan jumlah sel eosinofil.
 Pemeriksaan mikologi
- Spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, BAL, jaringan biopsi,
darah, cairan pleura, pus
- Pemeriksaan mikroskopik langsung
Dengan menambahkan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta india
- Pemeriksaan biakan
- Pemeriksaan serologis

58
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Mikosis Paru
Kriteria Deskripsi
Diagnosis
Proven  Ditemukan faktor pejamu
 Gambaran klinis (+)
 Hasil pemeriksaan mikologi :
- Pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan
elemen jamur (+) dari hasil biopsi atau aspirasi disertai
bukti kerusakan jaringan, atau
- Biakan (+) dari spesimen yang berasal dari tempat steril
serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan
yang sesuai dengan infeksi, atau
- Pemeriksaan mikroskopik/antigen Cryptococcus dari likuor
serebrospinal (LSS)
Probable  Paling sedikit satu kriteria faktor penjamu, dan
 Satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi
secara klinis/radiologi, dan
 Satu kriteria mikologi
Possible  Paling sedikit satu kriteria faktor penjamu,dan
 Satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi
secara klinis/radiologi, dan
 Tanpa kriteria mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi (-)

Tabel 3. Kriteria faktor penjamu, gambaran klinik dan hasil pemeriksaan


mikologi untuk menentukan diagnosis mikosis sistemik/invasif

Kriteria Deskripsi
Faktor  Neutropenia
penjamu  Menerima transplantasi sumsum tulang alogenik
 Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata
dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama > 3
minggu
 Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin,
penyekat TNF-α, antibodi monoclonal spesifik, atau analog
nukleosida dalam 90 hari terakhir
 Mengalami imunodefisiensi primer berat
Gambaran Mayor
klinis Terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut pada CT-Scan : lesi
padat dengan atau tanpa halo sign, air-crescent sign atau
kavitas
Minor
- Gejala infeksi saluran napas bawah
- Pemeriksaan fisik : pleural rub
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor
Hasil mikologi  Pemeriksaan langsung
- ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen sputum,

59
BAL, bilasan bronkus, aspirat sinus
- pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan
 Pemeriksaan tidak langsung
- aspergilosis : antigen galaktomanan terdeteksi dalam
plasma, serum, BAL atau LSS
- penyakit jamur invasive selain kriptokokosis dan
zigomikosis : β-d-glukan terdeteksi dalam serum

PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa
 Pemberian obat anti jamur (OAJ), yang terdiri atas golongan : polien
(amfoterisin-B, nistatin, natamisin), flusitosin, azol dan ekinokandin.
Sediaan Indikasi Dosis
Amfoterisin B Aspergilosis invasif, 0,25 – 1 mg/kg/hari
deoksilat blastomikosis, koksidiomikosis,
(Fungizone) mukormikosis

Histoplasmosis 0,7 – 1 mg/kg/hari

Meningitis kriptokokal (+HIV) 0,7 mg/kg/hari


Amfoterisin B Aspergilosis invasif pada 3 – 5 mg/kg/hari
colloidal pasien gangguan ginjal atau
dispersion tidak dapat mengatasi toksisitas
(Amphotec) dan kegagalan terapi
amfoterisin B konvensional
Flukonazol Kandidosis orofaring Loading dose 200 mg,
(oral,intravena) lalu 100-200 mg/hari
selama 7-14 hari

Meningitis kriptokosis Loading dose 400 mg,


lalu 200-400 mg/hari
selama 14-21 hari

Kandidosis invasif/kandidemia Loading dose 800 mg,


lalu 400 mg/hari

(jika CCl < 50 ml/min :


loading dose, lalu dosis
turun 50%
Vorikonazol Aspergilosis invasif Loading dose (x2
(oral,intravena) dosis) : Intravena 6
mg/kg/12 jam
dilanjutkan oral 400
mg/12 jam

60
 Lama terapi OAJ bersifat individual, tergantung jenis infeksi jamur yang
diderita, berat-ringannya penyakit, perkembangan penyakit selama terapi,
serta jenis OAJ yang diberikan.
 Evaluasi radiologi dilakukan setelah OAJ 2 minggu.
 OAJ dapat diberikan sebagai terapi profilaksis, empirik, pre-emptive
(targeted prophylaxis), dan definitif.
Profilaksis - Pasien dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi
- Diberikan pada awal periode risiko tinggi terkena
infeksi
Empirik  Pasien dengan faktor risiko, disertai tanda infeksi
yang etiologinya belum diketahui dan tidak
membaik setelah terapi antibiotika adekuat
selama 3 -7 hari
 Pasien dengan kriteria diagnosis possible
Pre-emptive  Pasien dengan faktor risiko, gejala klinis, dan hasil
(targeted pemeriksaan radiologi dan atau laboratorium
prophylaxis) mencurigakan infeksi jamur
 Pasien dengan kriteria diagnosis probable
Definitif Pasien terbukti (proven) mengalami infeksi jamur

2. Terapi bedah
 Merupakan terapi definitif pada aspergiloma
 Pada pasien hemoptisis berulang atau hemoptisis masif dengan
mempertimbangkan risiko/toleransi operasi

Referensi :
1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru. PDPI. 2011.

61
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

BATASAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik ditandai
dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau
gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit.

Faktor Resiko
 Asap rokok
 Polusi udara
 Stress oksidatif
 Gen
 Tumbuh kembang paru
 Sosial ekonomi

PATOGENESIS
Karasteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim
paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Di berbagai bagian paru dijumpai
peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8 +) dan neutrophil. Sel-sel radang
yang teraktifasi menghasilkan berbagai mediator seperti leukotriene B4, IL8, TNF
alfa, dll yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi
neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu
ketidakseimbangan protease dan antiprotease di paru dan stress oksidatif.

DIAGNOSIS
Gejala klinis
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

62
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal BBLR, infeksi
saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed-lips breathing
- Barrel chest
- Penggunaan otot napas bantu
- Hipertrofi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi
paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Penunjang
1. Faal Paru
- Spirometri
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred.) < 80%, VEP1% (VEP1/KVP) <
75%.
- Uji bronkodilator
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1/APE. Pada PPOK,
perubahan nilai VEP1/APE < 20% dan < 200 ml dari nilai awal.

63
2. Laboratorium darah
Pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit, analisis gas darah.
3. Radiologi
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain
- Emfisema : hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum)
- Bronkitis kronik : normal, atau pada 21% kasus terdapat peningkatan
corakan bronkovaskuler
 CT-Scan toraks (HR-CT) dapat memberikan gambaran parenkim paru lebih
baik daripada foto toraks
4. EKG dan Echogardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung.
5. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan memilih antibiotika yang tepat.

64
DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis Gambaran klinis

PPOK 1. Onset usia pertengahan


2. Gejala progresif lambat
3. Riwayat lama merokok
4. Sesak saat aktivitas
5. Hambatan aliran udara umumnya irreversibel

Asma 1. Onset usia dini


2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala pada waktu malam/dini hari
4. Dapat ditemukan alergi, rintis dan atau eksim
5. Riyawat asma dalam keluarga
6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel

Gagal jantung kongestif 1. Ronki basah halus di basal paru


2. Gambaran foto toraks pembesaran jantung
dan edema paru
3. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan
obstruksi

Bronkiektasis 1. Sputum produktif dan purulen


2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Ronki basah kasar dan jari tabuh
4. Gambaran foto toraks/ CT-scan toraks
pelebaran dan penebalan bronkus

Tuberkulosis 1. Onset semua usia


2. Gambaran foto toraks infiltrat
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA)

SOPT 1. Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat


2. Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotik dan
kalsifikasi minimal
3. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi
yang tidak reversibel.

65
KOMPLIKASI
 Gagal napas
 Infeksi berulang
 Kor pulmonale

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK :
- Mengurangi gejala
- Mencegah progresivitas penyakit
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan status kesehatan
- Mencegah dan menangani komplikasi
- Mencegah dan menangani eksaserbasi
- Menurunkan kematian

KLASIFIKASI PPOK

GOLD 2010
Derajat Klinis Faal Paru
Derajat beresiko Gejala klinis Normal
(batuk,produksi sputum)
Derajat I : Gejala batuk kronik dan VEP1 / KVP < 70%
PPOK ringan produksi sputum ada tetapi VEP1 ≥ 80% prediksi
tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak
menyadari bahwa faal paru
mulai menurun
Derajat II : Gejala sesak mulai VEP1 / KVP < 70%
PPOK sedang dirasakan saat aktifitas dan 50% ≤ VEP1 < 80%
kadang ditemukan gejala prediksi
batuk dan produksi sputum
Derajat III : Gejala sesak lebih berat, VEP1 / KVP < 70%
PPOK berat penurunan aktivitas, rasa 30% ≤ VEP1 < 50%
lelah dan serangan prediksi
eksaserbasi semakin sering
dan berdampak pada
kualitas hidup pasien
Derajat IV : Gejala di atas ditambah VEP1 / KVP < 70%
PPOK sangat berat tanda-tanda gagal napas VEP1 < 30% prediksi

66
atau gagal jantung kanan atau VEP1 < 50%
dan ketergantungan oksigen prediksi disertai gagal
napas kronik

Tabel 1. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK

DERAJAT I DERAJAT II DERAJAT III DERAJAT IV


VEP1/KVP < 70% VEP1 / KVP<70% VEP1 / KVP< 70% VEP1 / KVP <70%
VEP1 ≥ 80% 50% ≤VEP1< 80% 30% ≤ VEP1<50% VEP1 < 30%
prediksi prediksi prediksi prediksi

 Hindari faktor resiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA


 Dipertimbangkan pemberian vaksin influenza
 Tambahkan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)

 Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih


bronkodilator kerja lama
 Tambahkan rehabilitasi fisik

 Tambahkan inhalasi
glukokortikosteroid jika terjadi
eksaserbasi berulang

 Tambahkan
oksigen jangka
panjang jika
terjadi gagal
napas kronik
 Lakukan
tindakan
operasi bila
diperlukan

67
ALGORITME PENATALAKSANAAN PPOK STABIL

PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON


FARMAKOLOGI

- Berhenti merokok REGULER : - Rehabilitasi


- Pengetahuan dasar Bronkodilator - Terapi oksigen
PPOK - Antikolinergik - Vaksinasi
- Obat-obatan - Agonis β-2 - Nutrisi
- Pencegahan - Kombinasi - Ventilasi non
perburukan antikolinergik + mekanik
penyakit agonis β-2 /mekanik
- Menghindari - Xantin - Intervensi
pencetus - Kombinasi SABA + bedah
- Penyesuaian LABA
aktivitas - Kombinasi LABA +
Steroid

BILA PERLU :
Ekspektoran
Mukolitik
Antioksidan
Vaksin
Antibiotika

Referensi :
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket guide
to COPD diagnosis, management and prevention. National Institute of Health.
National Heart Lung and Blood Institute, Update2015.

68
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2003.
3. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2011.

ASMA BRONCHIALE

BATASAN
Gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang seperti mengi, sesak napas,
dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam dan dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Tabel 1. Faktor Resiko pada Asma


Faktor Penjamu
Predisposisi genetik
Atopi
Hiperresponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi
asma
Alergen di dalam ruangan
Alergen di luar ruangan
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Polusi udara
Infeksi pernapasan
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca

69
Sulfur dioksida
Makanan, zat aditif, obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan
PATOGENESIS
Konsep yang dianut saat ini adalah proses inflamasi kronik yang kompleks,
melibatkan dinding saluran napas yang mengakibatkan hambatan aliran udara
dan peningkatan airway responsiveness, yang selanjutnya merupakan
predisposisi penyempitan saluran napas sebagai respon terhadap berbagai
stimuli. Karasteristik inflamasi saluran napas ditandai peningkatan jumlah
eosinophil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T (terutama Th 2) pada
mukosa saluran napas, yang disebut conductor of inflammation orchestra. Proses
ini terus berlangsung bahkan pada saat asma asimtomatik. Bersamaan dengan
proses inflamasi kronis, jejas pada epitel bronkus merangsang proses perbaikan
yang berakibat pada perubahan struktur dan fungsi yang dikenal dengan
remodeling. Inflamasi, remodeling, dan perubahan kontrol saraf saluran napas
berperan dalam eksaserbasi asma dan obstruksi aliran udara lebih permanen.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali faktor pencetus yang bersifat individu
- Respon terhadap bronkodilator
- Riwayat penyakit : riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi (atopi)
Pemeriksaan Fisik
- Pada kondisi tidak eksaserbasi bisa tidak dijumpai kelainan
- Peningkatan kerja napas ditandai dengan penggunaan otot napas bantu
- Auskultasi wheezing atau adanya fase ekspirasi memanjang
Pemeriksaan Penunjang
- Faal Paru (Spirometri, Arus Puncak Ekspirasi/APE)
 Untuk diagnosis dan monitor

70
 Obstruksi jalan napas rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi
 Menilai reversibiliti dan variabiliti
 Menilai derajat beratnya asma

- Laboratorium
 Darah : eosinophil, IgE spesifik
 Sputum : eosinophil, spiral curschmann, kristal charcoat-leyden
 Analisis gas darah : bila curiga gagal napas
- Radiologis (Foto toraks PA)
 Normal atau hiperventilasi
 Untuk mencari penyulit : pneumotoraks, pneumomediastinum, ateletaksis,
pneumonia
 Menyingkirkan penyakit lain
- Uji kulit
Untuk asma alergi.
- Uji provokasi bronkus
Untuk menilai airway hyperresponsiveness dengan bahan alergen, histamin,
metakolin, salin hipertonis atau latihan fisik dengan parameter PC 20.

DIAGNOSIS BANDING
 Kelainan saluran napas atas : paralisis corda vocalis, sindrom disfungsi corda
vocalis, aspirasi benda asing, massa laringotrakeal, penyempitan trakea,
tracheomalacia, edema saluran napas akibat jejas inhalasi atau angioedema
 Kelainan saluran napas bawah : PPOK, bronkiektasis, allergic
bronchopulmonary mycosis, cystic fibrosis, pneumoni eosinofilik, bronkiolitis
obliterans
 Gagal jantung kongestif (asma kardial), emboli paru, batuk akibat obat (ACE
inhibitor)
 Gangguan psikiatri (konversi)

KOMPLIKASI
Kelelahan, dehidrasi, infeksi saluran napas, kor pulmonale, pneumotoraks,
pneumomediastinum, emfisema kutis, ateletaksis, gagal napas, aritmia.

71
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Mencapai dan mempertahankan kontrol asma
2. Mempertahankan level aktifitas normal termasuk exercise
3. Mempertahankan fungsi paru seoptimal mungkin
4. Mencegah eksaserbasi
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah kematian akibat asma

Tabel 2. Tingkatan asma terkontrol (GINA 2012)


No Karasteristik Terkontrol Terkontrol Tak Terkontrol
parsial
1. Gejala siang hari ≤ 2x/minggu > 2 x/minggu 3 atau lebih
2. Hambatan aktivitas Tidak ada Ada fitur “asma
3. Gejala Tidak ada Ada terkontrol
malam/bangun waktu sebagian”
malam muncul pada
4. Perlu reliever ≤ 2x/minggu > 2 x/minggu minggu
5. Fungsi paru Normal <80% prediksi tertentu
(PEFR/FEV1) atau nilai (kejadian
terbaik eksaserbasi
(bila ada) pada minggu
manapun akan
dinilai sebagai
minggu asma
tidak terkontrol)

Level asma kontrol saat sekarang, dan pengobatan yang digunakan menentukan
pemilihan obat farmakologik. Pasien tidak terkontrol dengan regimen yang
digunakan sekarang, maka pengobatan harus ditingkatkan sampai tercapai
kondisi terkontrol. Jika kondisi terkontrol tercapai minimal 3 bulan, pengobatan
diturunkan untuk menentukan dosis terendah dari pengobatan dan
mempertahankan keadaan terkontrol.

72
Dari skema dibawah (manajemen berdasarkan kontrol) ada 5 tahap yang
memberikan opsi untuk meningkatkan efikasi. Tahap 2 adalah pengobatan awal
untuk pasien asma dengan keluhan persisten yang belum pernah diobati. Jika
pada waktu konsultasi awal menunjukkan asma sangat tidak terkontrol,
pengobatan dianjurkan dimulai dari tahap 3.

Manajemen berdasarkan kontrol (GINA,2012)

Tingkatan Kontrol Terapi


Redu
ce

Incre
ased

Penurunan Peningkatan
Tahapan Terapi

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap4 Tahap 5

Referensi :
1. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2004.
2. Global strategy for asthma management and prevention. Global Initiative for
asthma (GINA). 2012.

73
3. Pulmonary Diseases and Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition.
McGraw Hill Medical. 2008.
4. Textbook of Respiratory Medicine. Editors : Murray JF, Nadel JA. 4 rd edition.
Philadelphia. WB Saunders Comp. 2005.

BRONKIEKTASIS

BATASAN
Bronkiektasis adalah pelebaran dan distorsi bronkus ukuran sedang yang bersifat
permanen dan ireversibel.

PATOGENESIS
Pada bronkiektasis terjadi peradangan, kerusakan dan pelebaran saluran napas
bronkiolus. Kerusakan utama meliputi otot-otot bronkus, pembuluh darah dan
jaringan elastik lainnya. Dinding saluran bronkus menebal dan tidak beraturan,
tulang rawan bronkus menjadi kaku dan tidak elastik. Bila berlanjut terjadilah
fibrosis. Akibatnya terjadi penumpukan sekret dan mikroba tumbuh dengan baik
sehingga terjadi infeksi berulang.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Batuk kronik berdahak mukopurulen/purulen dalam jumlah banyak (wet
bronchiectasis)
 Batuk berulang tanpa dahak, kadang disertai dengan batuk darah (dry
bronchiectasis)
 Sesak napas dan wheezing bisa dijumpai dan lebih persisten jika penyakit
bertambah progresif
 Dahak jika diendapkan ada 3 lapis :
Atas : lapisan cairan dengan busa
Tengah : keruh dan mukopurulen
Bawah : purulen dan putih padat
Pemeriksaan Fisik

74
 Tidak spesifik bisa dijumpai ronki basah kasar, halus persisten, wheezing
 Bisa didapatkan jari tabuh
 Sianosis dan polisitemia karena hipoksemia kronis
 Pada periode eksaserbasi ditandai dengan panas, peningkatan batuk dan
jumlah sputum

Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
- Foto toraks
o Dapat normal pada 7-20% kasus bronkiektasis
o Gambaran tram track/tram line (bronkiektasis silindris), tooth paste line
(bronkiektasis varikose), kiste terisolasi/menggerombol dengan air fluid
level (bronkiektasis sakuler/kistik)
- CT-Scan toraks (High Resolution CT-Scan)
 Laboratorium
- Mikrobiologi sputum untuk menentukan etiologi mikroba penyebab
- Darah tepi : tidak spesifik mungkin didapatkan leukositosis ringan,
peningkatan neutrofil, polisitemia sebagai reaksi hipoksemia kronik
 Spirometri
Kelainan obstruksi dan tidak reversibel terhadap bronkodilator, jika lanjut
disertai dengan kelainan restriksi

DIAGNOSIS BANDING
 Bronkitis kronis
 Kanker paru
 Fibrosis kistik
 Tuberkulosis paru

KOMPLIKASI
 Batuk darah
 Pneumonia
 Abses paru
 Kor pulmonale

75
 Gagal napas

PENATALAKSANAAN
a. Konservatif
- Antibiotik umumnya diberikan pada saat eksaserbasi
- Fisioterapi dada : postural drainage, perkusi dada, latihan batuk
- Hidrasi
- Bronkodilator
- Kortikosteroid jika diperlukan
- Mukolitik (asetil sistein)
d. Pembedahan
- Gejala klinis berulang dan refrakter karena lesi lokal
- Hemoptisis masif dan lokasi perdarahan diketahui/dicurigai

Referensi :
1. Current Medical Diagnosis and Treatment. Editors : Tierney dkk. 42th edition.
McGraw-Hill. 2003.
2. Textbook of respiratory Medicine. Editors : Murray dkk. 4th edition. WB
Saunders Comp. 2005.

76
PNEUMOTORAKS

BATASAN
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara bebas di dalam rongga
pleura.
Macam Pneumotoraks :
 Pneumotoraks spontan primer
 Pneumotoraks spontan sekunder
 Pneumotoraks traumatik
 Pneumotoraks iatrogenik
 Pneumotoraks katamenial
Menurut jenis kebocorannya dibagi :
 Pneumotoraks tertutup
 Pneumotoraks terbuka
 Pneumotoraks ventil

PATOGENESIS
Tekanan intrapleura negatif, tekanan alveoli positif, bila terjadi hubungan atau
kebocoran antara rongga pleura dengan alveoli, udara akan bergerak dari alveoli
ke dalam rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau
hubungan/kebocoran tertutup sehingga paru akan kolaps karena sifat paru yang
elastis. Kejadian yang sama pada hubungan antara dinding dada dan rongga
pleura.

DIAGNOSIS
Gejala klinis

77
- Sesak napas mendadak, makin lama makin berat
- Nyeri dada ringan atau berat
- Gagal napas dan mungkin disertai dengan sianosis
- Timbul biasanya setelah batuk keras, angkat benda berat, bersin dan
sebagainya

Pemeriksaan fisik
Penderita tampak sesak, lemah sampai syok. Pada pneumotoraks ventil sering
terjadi kolaps sirkulasi akibat pergeseran mediastinum
- Inspeksi : Gerak napas asimetris, sisi sakit tertinggal dan lebih menonjol
- Palpasi : Fremitus melemah sampai menghilang
- Perkusi : Hipersonor sisi sakit
- Auskultasi : Suara napas menurun sampai menghilang sisi yang sakit
Pemeriksaan Penunjang
 Foto toraks
- Tampak garis kolaps paru. Pada pneumotoraks parsial dengan lokasi di
anterior atau posterior, batas garis kolaps mungkin tidak terlihat. Bila
diperlukan dapat dilakukan foto toraks lateral
- Mediastinal shift dapat terlihat pada foto toraks, terutama pada
pneumotoraks ventil
 CT Scan toraks
- Diperlukan apabila pada foto toraks pneumotoraks sulit ditentukan
- Lebih spesifik untuk membedakan emfisema bullosa dengan pneumotoraks

DIAGNOSIS BANDING
 Pleurisi
 Pericarditis
 Infark miokard akut
 Emboli paru
 Bronkitis kronis
 Emfisema
 Hernia diafragmatika

78
 Dissecting aneurysma aorta

KOMPLIKASI
 Gagal napas
 Hemopneumotoraks
 Empiema
 Ateletaksis
 Pneumotoraks berulang
 Emfisema subkutis atau mediastinum
 Edema paru reekspansi

PENATALAKSANAAN
Terapi tergantung berat ringan pneumotoraks dan penyakit dasar
Tindakan Non Bedah
1. Observasi
 Dilakukan pada penderita tanpa keluhan dengan luas pneumotoraks <20%
 Sebaiknya penderita dirawat untuk observasi selama
24-48 jam, apabila 7 hari pengamatan masih didapatkan pneumotoraks,
maka dilakukan tindakan aspirasi atau WSD
 Contoh : Pneumotoraks spontan primer stabil dengan
kolaps paru kecil (< 20%) dilakukan observasi, suplemen oksigen untuk
mempercepat reabsorpsi
 Aspirasi : Dapat dilakukan dengan menggunkan
abbocath no.14 yang dihubungkan dengan three way, dengan
menggunakan semprit 50 cc dilakukan aspirasi
2. Pemasangan WSD
 Bila pneumotoraks luas sebaiknya dipasang WSD. Bila
setelah pemasangan WSD paru tidak mengembang maka dibantu dengan
continous suction
 WSD dicabut setelah paru mengembang ( terdengar
suara napas, dan tidak terdapat lagi undulasi pada WSD), lakukan foto
toraks ulangan untuk memastikan paru mengembang setelah WSD diklem
1-3 hari.

79
 Contoh : Pneumotoraks spontan sekunder dilakukan
pemasangan WSD
3. Pleurodesis
 Dilakukan pada pneumotoraks rekurens
 Tindakan obliterasi artifisial terhadap rongga pleura, menggunakan agen
sklerosan dengan tujuan membuat inflamasi antara pleura visceralis dan
pleura parietalis

Tindakan Bedah
1. Torakotomi
2. Torakoskopi

Referensi :
1. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
3. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. 2010.

80
EFUSI PLEURA

BATASAN
Kumpulan cairan di rongga pleura.

PATOGENESIS
Transudat
- Merupakan cairan ekstraseluler dalam rongga pleura yang timbul secara pasif
- Berat jenis cairan < 1,015 dengan protein < 2-3 g/dl
- Terjadi sebagai akibat perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi
pergerakan cairan pleura
- Contoh :
 Peningkatan cairan interstitial pulmonal dan peningkatan tekanan kapiler
pleura visceral pada gagal jantung kiri
 Penurunan tekanan onkotik
Eksudat
- Terjadi akibat perubahan faktor lokal sehingga terjadi akumulasi cairan pleura
- Cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh penyakit infeksi atau
neoplasma
- Umumnya kadar protein > 3 g/dl, dapat berwarna kuning, purulen ataupun
kemerahan, dengan atau tanpa sel-sel atau bakteri
- Secara umum dapat disebabkan oleh inflamasi, infeksi, neoplasma

DIAGNOSIS

81
Gejala Klinis
- Sesak napas, bisa disertai perasaan tidak enak di dada
- Kadang-kadang disertai nyeri pleuritik dan batuk non produktif
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : Gerak napas tertinggal pada sisi efusi, sela iga tampak melebar
- Palpasi : Fremitus raba menurun
- Perkusi : Redup, dapat membentuk garis Ellys d’amoiciere, tanda-tanda
pendorongan mediastinum, sela iga melebar

- Auskultasi : Suara napas menurun atau menghilang. Suara bronkial dan


egofoni sering dijumpai tepat di atas efusi
Pemeriksaan Penunjang
 Foto Toraks
- Foto toraks PA/AP duduk, untuk melihat permukaan cairan pleura. Tanda
awal radiologi adalah sinus frenikokostalis tumpul. Jumlah cairan pleura >
300 cc tampak pada foto toraks
- Bila jumlah cairan sedikit dapat terlihat pada foto toraks posisi decubitus
- Efusi pleura berbentuk kantong (pocketed/loculated) pada foto toraks masih
perlu dibedakan dengan penyakit lain, sehingga diperlukan pemeriksaan
penunjang lain seperti USG toraks atau CT Scan toraks
- Efusi dalam jumlah banyak menyebabkan pergeseran mediastinum kearah
sehat. Tetapi bila tidak ada pergeseran mediastinum, kemungkinan efusi
disertai kolaps paru
 Laboratorium
- Analisa cairan pleura :
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Rasio kadar protein dalam efusi : serum < 0,5 > 0,5
Kadar LDH dalam efusi (L.U) < 200 > 200
Rasio kadar LDH dalam efusi : serum < 0,6 > 0,6
Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
Uji rivalta Negatif Positif

 Glukosa < 60 g/dl : tuberkulosis, efusi pleura rheumatoid


- Pemeriksaan kolesterol, trigliserida : cylothorax
- PCR dan ADA untuk tuberkulosis

82
- Kultur dan tes sensitivitas cairan pleura untuk kecurigaan infeksi bakterial
- Sitologi cairan pleura untuk keganasan

DIAGNOSIS BANDING
 Konsolidasi paru karena pneumonia
 Neoplasma paru dengan kolaps paru
 Fibrosis paru

KOMPLIKASI
Empiema

PENATALAKSANAAN
- Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik. Dianjurkan untuk melakukan aspirasi sedikit demi sedikit,
sebanyak 500 – 1000 cc, untuk mencegah edema paru akibat pengambilan
cairan yang banyak dan cepat.
- Efusi pleura maligna yang cepat reakumulasi dianjurkan pleurodesis.

Referensi :
1. Current Medical Diseases & Treatment. Editors : Tierney dkk. 42th edition.
McGraw-Hill Medical. 2003.
2. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
3. Pulmonary Diseases & Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-
Hill Medical. 2008.

83
EMPIEMA TORAKS

BATASAN
Empiema toraks adalah proses supurasi dalam rongga pleura.
Etiologi
 Bakteri gram negatif (P.aeruginosa, Kleibsella, Bacteriodes, E.coli, P.
mirabilis)
 S.aureus , S.pneumonia, S.pyogens
 Bakteri anaerob
 Polimikroba
Berasal dari paru Infeksi dari luar paru
1. Pneumonia 1. Trauma dari otak
2. Abses paru 2. Pembedahan otak
3. Fistel bronkopleura 3. Torasentesis
4. Bronkiektasis 4. Abses subfrenik
5. Tuberkulosis paru 5. Abses hati
6. Jamur paru

PATOGENESIS
Perjalanan efusi parapneumonia dapat dibagi tiga :
1. Fase eksudatif. Cairan pleura steril. Karasteristik : leukosit rendah, LDH rendah,
pH dan glukosa normal
2. Fase fibropurulen. Karasteristik : jumlah PMN, bakteri, debris seluler cairan
pleura meningkat, terjadi endapan fibrin pada pleura. Bila lanjut terjadi lokulasi.
Tanda : pH dan glukosa rendah, LDH meningkat
3. Fase organisasi. Fibroblas tumbuh dan membentuk pleural peel, biasanya
terjadi > 2-3 minggu

84
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Empiema akut
Empiema akut ditandai dengan panas tinggi, nyeri pleuritik, toksemia, anemia, jari
tabuh, bisa disertai batuk produktif nanah bercampur darah.

Empiema kronis
Batas yang tegas antara akut dan kronis sulit ditentukan, disebut kronis apabila
berjalan > 3 bulan. Penderita mengeluh badan lemah, kesehatan penderita
tampak mundur, dan pucat.
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : Gerak napas tertinggal pada sisi sakit
- Palpasi : Fremitus raba menurun pada sisi sakit
- Perkusi : Redup
- Auskultasi : Suara napas menurun atau menghilang
Pemeriksaan Penunjang
 Foto toraks PA dan Lateral
Didapatkan gambaran opasitas yang menunjukkan cairan dengan atau tanpa
kelainan paru. Apabila terjadi fibrotoraks maka trakea dan mediastinum
tertarik ke sisi sakit dan tampak penebalan pleura.
 Laboratorium
Aspirasi pleura berupa pus/nanah dilakukan pemeriksaan bakteriologi (amuba,
jamur, TB), kultur dan tes kepekaan antibiotika.

KOMPLIKASI
- Fistula bronkopleura
- Sepsis, syok, gagal jantung kongestif, otitis media

PENATALAKSANAAN
1. Pengosongan rongga pleura
 Drainase tertutup

85
- Drainase nanah dengan WSD yang cukup besar agar nanah keluar
dengan lancar. Indikasi pelepasan WSD :
1. Tanda-tanda infeksi menghilang, biasanya setelah 7-10 hari terapi
2. Jumlah pus WSD < 50 cc/hari
3. Paru mengembang semaksimal mungkin
 Drainase terbuka
Dikerjakan pada empiema kronik dengan memotong sela iga untuk
membuat jendela. Cara ini dipilih jika dekortikasi tidak mungkin dikerjakan.

2. Pemberian antibiotik
 Antibiotik sesuai evidence based harus segera diberikan begitu diagnosis
ditegakkan. Antibiotik selanjutnya sesuai hasil kultur dan tes kepekaan
antibiotik.
 Antibiotik biasanya diberikan 3-6 minggu, ditandai oleh :
- Pasien tidak demam lagi dan leukosit kembali normal
- Foto toraks membaik
- Jumlah pus pada WSD < 50 cc/ hari
3. Penutupan rongga pleura
Bila empiema kronis gagal menunjukkan respon dengan drainase kateter
toraks, maka dilakukan dekortikasi atau torakoplasti.
4. Pengobatan kausal
Tergantung penyebab, misalnya amubiasis, tuberkulosis maka diberikan obat
spesifik untuk masing-masing penyakit.
5. Pengobatan tambahan dan fisioterapi
Bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum.

Referensi :
1. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition. Philadelphia.Lippincott Williams
& Wilkins. 2007.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-
HillMedical. 2008.
3. Textbook of Respiratory Medicine. Editors : Murray JF, Nadel JA. 4 rd edition.
Philadelphia. WB Saunders Comp. 2005.

86
KANKER PARU

BATASAN
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru
(metastasis tumor di paru). Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud
dengan kanker paru ialah kanker paru primer, yakni tumor ganas yang berasal
dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma).

PATOFISIOLOGI
Etiologi pasti kanker paru belum diketahui, diduga multifaktorial
- Genetik : ketidakseimbangan protoonkogen dan tumor supresor, perubahan
kromosom
hiperekspresi protoonkogen : gen myc, gen k-ras
kurang/hilang fungsi gen tumor supresor : gen p53, gen rb
perubahan kromosom : lokasi 1p, 3p, 9p
- Paparan karsinogen
asap rokok
industri : asbes, nikel, dll
jaringan parut di paru karena penyakit lain

DIAGNOSIS
Gejala Klinik
Keluhan utama dapat berupa :

87
 Batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
 Batuk darah
 Sesak napas
 Suara serak
 Sakit dada
 Sulit / sakit menelan
 Benjolan di pangkal leher
 Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa
nyeri yang hebat.
 Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang.
 Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :
 Berat badan berkurang
 Nafsu makan hilang
 Demam hilang timbul
 Sindrom paraneoplastik, seperti Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy,
trombosis vena perifer dan neuropatia.
Pemeriksaan Fisik
 Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran
normal pada pemeriksaan.
 Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai ateletaksis sebagai akibat
kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan
hasil yang lebih informatif.
 Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intraorbital
karena metastasis otak dan terjadi fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.
Gambaran radiologis
a. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral kelainan dapat dilihat bila massa
tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm.
- Tepi yang iregular, disertai identasi pleura, tumor satelit
- Invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis

88
intrapulmoner.
b. CT-Scan toraks
- Deteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat
- Tanda-tanda proses keganasan tergambar secara lebih baik, bahkan bila
terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis,
efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
dinding dada meski tanpa gejala
- Mampu mendeteksi keterlibatan KGB

c. Pemeriksaan radiologik lain


- Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala/jaringan otak
- Bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis di seluruh
tulang
- USG abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar
adrenal dan organ lain dalam rongga perut
- PET (Positron emission tomography), lebih berperan untuk menentukan
keganasan pada KGB mediastinum, terutama jika ukuran < 1 cm
Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
b. Biopsi aspirasi jarum
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
e. Biopsi Transtorakal (Transthorasic Biopsy, TTB)
f. Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba
massa yang dapat terlihat superfisial. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas
terlihat pembesaran KGB supraklavikula dan cara lain tidak menghasilkan
informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan
jika ada efusi pleura.
g. Torakoskopi medik
h. Sitologi sputum
Pemeriksaan invasif lain
Pada kasus-kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti torakoskopi dan
tindakan bedah mediastinoskopi, atau torakotomi eksplorasi dan biopsi paru
terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan

89
pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis
histologis/patalogis tidak dapat ditegakkan.
Pemeriksaan lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainnya tidak dapat
digunakan untuk mediagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil
pengobatan.

b. Pemeriksaan biologi molekuler


Bermanfaat untuk penggunaan obat kanker golongan targeted therapy dengan
cara mendeteksi ada/tidak adanya mutasi gen tertentu pada jaringan kanker,
misalnya deteksi mutasi gen EGFR, K-ras, VEGF dan ALK.

Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :
 Jenis histologis
 Derajat (staging)
 Tampilan (performance status)
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.

Jenis histologis
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large cell carcinoma)
Untuk kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal harus ditetapkan, apakah
termasuk kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK atau small cell lung
cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK,
nonsmall cell lung cancer, NSCLC).

Penderajatan (Staging) Kanker Paru


 Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International Staging
System For Lung Cancer 2007, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T

90
adalah tumor yang dikatagorikan atas Tx, To s/d T 4, N untuk keterlibatan
kelenjer getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N 3,
sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis di paru atau
metastasis jauh (Mo s/d M1a, M1b).
 Untuk penderajatan KPKSK, tidak berdasarkan TNM, melainkan :
- Limited disease : tumor terbatas pada hemitoraks dan kelenjar ipsilateral
- Extensive disease : penyebaran tumor melampaui limited disease
Pada umumnya KPKSK tidak operable, karena biasanya telah menyebar saat
diagnosis. Modalitas terapi berupa kemoterapi dan atau radioterapi.
Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif yang
dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala internasional untuk menilai tampilan
ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak dipakai di Indonesia,
tetapi juga dapat dipakai skala tampilan WHO. Tampilan inilah yang sering jadi
penentu dapat tidaknya kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).
1. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stage I
dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari combined modality therapy,
misalnya didahului kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stage IIIA. Indikasi
lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervasi bedah, seperti
kanker paru dengan sindrom vena kava superior berat.
2. Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat terapi kuratif atau paliatif.
Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoradioterapi
neoadjuvan untuk KPKBSK stage IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja
tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindrom vena kava superior, nyeri
tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau
otak.
3. Kemoterapi

91
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama
harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status)
harus lebih dari 60 menurut skala karnosfky atau 2 menurut skala WHO.
Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam
kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis
obat antikanker dapat dilakukan.

Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen


kemoterapi adalah :
- Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin )
- Respons obyektif satu obat antikanker ≥ 15%
- Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
- Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada
penilaian terjadi tumor progresif

Kemoterapi lini pertama


- Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin
- Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
- Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin
- Vinorelbin + sisplatin atau karboplatin
- CAP II ( sisplatin, adriamisin, siklofosfamid )
- PE ( sisplatin atau karboplatin + etoposid )

Syarat – syarat yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi


1. Tampilkan ≥ 70-80 atau < 2 skala WHO, pada penderita dengan PS < 70
atau usia lanjut, dapat diberikan obat antikanker dengan regimen tertentu
dan/atau jadual tertentu.
2. Hb ≥ 10 g %, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski
Hb < 10 g % tidak perlu tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai
dengan penyebab anemia.
3. Granulosit ≥ 1500/mm3
4. Trombosit ≥ 100.000/mm3

92
5. Fungsi hati baik
6. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit)

Kemoterapi lini ke-dua


- Dosetaksel
- Pemetrexed
- Erlotinib
- Gefitinib

Evaluasi hasil pengobatan


Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 siklus/sekuen, bila penderita
menunjukkan respons yang memadai. Evaluasi respons terapi dilakukan
dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah
pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakan
CT-Scan toraks setelah 3-4 kali pemberian.
Evaluasi dilakukan terhadap :
- Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal
- Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat
badan
- Respons obyektif
- Efek samping obat
Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan :
1. Respons komplit (complate response, CR) : bila pada evaluasi tumor hilang
100% dan keadaan ini menetap lebih dari 4 minggu.
2. Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran tumor
> 50% tetapi < 100%.
3. Menetap (stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubah atau
mengecil > 25% tetapi < 50%.
4. Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi pertambahan ukuran
tumor > 25% atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di tempat lain.

4. Imunoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil
penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

93
5. Hormonoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil
penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

Referensi :
1. Cancer principles & practice of oncology. Editors : DeVita dkk. 6 th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001.
2. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi
Revisi III. PDPI. 2011.

94
TUMOR MEDIASTINUM

BATASAN
Tumor yang terdapat dalam rongga mediastinum.

PATOFISIOLOGI
Pada umumnya merupakan kelainan kongenital, namun biasanya baru
menimbulkan gejala menjelang dewasa. Hal ini antara lain berhubungan dengan
fakta bahwa ruang mediastinum relatif sempit, terisi oleh tumor, sehingga
pembesaran tumor baik jinak maupun ganas akan menekan organ-organ
mediastinum lain. Gejala klinis yang timbul adalah akibat penekanan pada organ-
organ vital tersebut.

DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak menimbulkan gejala. Keluhan timbul akibat
penekanan atau invasi ke struktur mediastinum.
Penekanan pada organ sekitar Gejala
Trakea dan bronkus Batuk, sesak, stridor
Esofagus Disfagia
Vena kava superior Sindrom vena kava superior
n. laryngeal Serak, batuk kering
n. frenikus Paralisis diafragma
Tumor neurogenik atau Nyeri dinding dada
penekanan sistem syaraf

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ
sekitarnya. Tumor mediastinum dapat dikaitkan dengan beberapa keadaan
klinis, misalnya :
- Miastenia gravis mungkin menandakan timoma
- Limfadenopati mungkin menandakan limfoma

95
B. Prosedur Radiologi
1. Foto toraks PA/ Lateral
- Tampak bayangan bulat/lonjong di daerah mediastinum atau pelebaran
bayangan mediastinum dengan batas tegas, tanpa disertai kelainan
yang berhubungan dengan parenkim paru
- Curiga ganas jika tumor menyebar ke kanan dan kiri mediastinum
2. CT-Scan toraks dengan kontras
- Mampu menentukan lokasi anatomik serta hubungannya dengan
organ-organ sekitar dan memungkinkan pula dilakukan pengukuran
densitas tumor, sehingga dapat ditentukan kista atau tumor padat
- Dengan panduan CT-Scan toraks juga dapat dilakukan fine needle
aspiration byopsi untuk pemeriksaan sitologi
3. Ekokardiografi
Berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga aneurisma.
4. Fluoroskopi, Angiografi, Esofagografi, USG, MRI, Kedokteran Nuklir
C. Prosedur Endoskopi
1. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang pendorongan atau
penekanan tumor terhadap saluran napas dan lokasinya.
2. Mediastinoskopi
3. Esofagoskopi
4. Torakoskopi eksplorasi
D. Prosedur Patologi Anatomi
1. Pemeriksaan sitologi
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk
pemeriksaan sitologi ialah : biopsi jarum halus, punksi pleura, bilasan atau
sikatan bronkus pada saat bronkoskopi, biopsi transtorakal.
2. Pemeriksaan histologi
E. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan kadar T3 dan T4 untuk tumor tiroid
- Pemeriksaan α-fetoprotein dan β-HCG untuk tumor mediastinum germinal.
Meningkat pada golongan non seminoma

96
F. Tindakan Bedah
Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik, jika semua upaya tidak berhasil
memberikan diagnosis histologik.
G. Pemeriksaan Lain
EMG untuk mencari kemungkinan miastenia gravis pada timoma.

DIAGNOSIS BANDING
1. Mediastinum anterior
Timoma, timolipoma, tumor karsinoid, thymic cyst, tiroid aberan, germ cell
tumor, limfoma maligna, giant lymph node hyperplasia, teratoma, adenoma,
karsinoma paratiroid, tumor mesenkim dan sarkoma jaringan ikat longgar,
tumor limfovaskular.
2. Mediastinum medius
Kista kongenital (brokogenik, perikardial), tumor primer kardiak/vascular,
limfadenopati, aneurisma aorta, pembesaran a.pulmonalis, limfoma, neural
crest tumor, paraganglioma, hernia foramen morgagni.
3. Mediastinum posterior
Tumor neurogenik, limfoma, tumor mesenkim/sarkoma jaringan ikat longgar,
hernia foramen bochdalek.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum jinak adalah pembedahan sedangkan
untuk tumor ganas berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum jenis
limfoma diobati sesuai protokol. Penatalaksanaan tumor mediastinum non limfoma
secara umum multimodaliti yaitu tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi.

Referensi :
1. Pulmonary Diseases and Disorders. Editors : Fishman dkk. 4 th edition.
McGraw-Hill Medical. 2008.
2. Tumor Mediastinum Nonlimfoma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. PDPI. 2003.

97
EFUSI PLEURA GANAS

BATASAN
Efusi pleura ganas (EPG) adalah efusi yang terjadi berhubungan dengan
keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel ganas pada pemeriksaan
sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Pada beberapa kasus EPG didasarkan
pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang
serohemoragik/hemoragik, berulang, masif, tidak respon terhadap anti infeksi atau
sangat produktif meskipun telah dilakukan torakosintesis untuk mengurangi
volume cairan intrapleura.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi EPG belum jelas benar, tetapi terdapat beberapa hipotesis.
Akumulasi efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabiliti pembuluh
darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan karena infiltrasi sel kanker pada
pleura. Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung tumor yang
berdekatan dengan pleura, obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran hematogen
atau tumor primer pleura (mesothelioma).

DIAGNOSIS
Gejala Klinik
- Sesak napas, napas pendek
- Batuk
- Nyeri dada dan dada terasa penuh
- Riwayat penyakit sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi
trakea dan/atau jantung ke arah kontralateral, fremitus suara melemah,
perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi toraks yang sakit
- Menemukan kelainan lain di tubuh penderita, misalnya tumor di daerah leher,
aksila, payudara, dll
- Memprediksi kegawatan, misalnya tanda-tanda vena kava superior sindrom

98
Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks PA
Etiologi keganasan harus dipikirkan bila didapatkan volume efusi pleura
sangat banyak/masif.
- USG toraks
Pada kasus jumlah cairan sedikit, USG toraks membantu untuk memastikan
cairan dan sekaligus memberikan penanda (marker) untuk torakosintesis dan
biopsi pleura.
- CT-Scan toraks
Mampu mendeteksi efusi pleura minimal dan melihat kelainan pada parenkim
paru, mediastinum dan pembesaran kelenjar getah bening.
- Analisis cairan pleura dapat memastikan bahwa cairan adalah eksudat,
sedangkan pemeriksaan sitologi adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika
ada dugaan EPG.
- Pemeriksaan penunjang lain seperti biopsi pleura, bronkoskopi, biopsi
transtorakal, torakoskopi medik dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur
tindakan yang terkadang perlu dilakukan untuk penegakan diagnosis.

PENATALAKSANAAN
 Pengobatan kausal disesuikan dengan stage dan jenis tumor.
 Tidak jarang tumor primer sulit ditemukan, maka aspek pengobatan lokal
menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis
untuk mengurangi produksi cairan.
 Bila setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak
ditemukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka
EPG dianggap berasal dari paru.
 Apabila tumor primer ditemukan di luar paru, maka EPG ini termasuk gejala
sistemik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan
penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.

99
Gambar 1. Alur Diagnosis Efusi Pleura Ganas

Gambar 2. Alur Penatalaksanaan Efusi Pleura Ganas

Referensi :
1. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi
Revisi III. PDPI. 2003.

100
PNEUMOKONIOSIS BATU BARA

BATASAN
Penyakit paru akibat inhalasi debu batu bara sehingga terjadi penumpukan
debu batu bara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut.

PATOGENESIS
Debu masuk ke unit respirasi dan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar,
dan proses selanjutnya tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Sebagian
debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah
relatif banyak di paru dengan rekasi jaringan yang minimal. Debu inert akan tetap
berada di makrofag sampai terjadi kematian makrofag, selanjutnya debu akan
keluar dan difagositosis oleh makrofag lainnya. Pada debu yang bersifat sitotoksik,
partikel debu yang difagositosis oleh makrofag akan menyebabkan kehancuran
makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis. Mediator inflamasi yang
berperan dalam patogenesis pneumokoniosis batu bara antara lain TNF-α, IL-1,
PDGF. Empat gambaran respon patologi yaitu fibrosis interstitial, fibrosis nodular
dan interstitial serta emfisema fokal dan pembentukan makula.

DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
 Anamnesis yang teliti usia pertama kali terpajan, dan lama pajanan, kadar
debu di lingkungan kerja, dan penggunaan alat pelindung diri
 Riwayat merokok
 Gejala batuk produktif atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul
lama setelah pajanan
 Tiga kriteria mayor yang membantu diagnosis pneumokoniosis batu bara :
1. Riwayat bekerja di tambang batu bara (khususnya di tambang bawah
tanah) dalam waktu lama
2. Gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi
3. Tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai
pneumokoniosis batu bara

101
Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
- Foto toraks
Tabel 1. Klasifikasi ILO Gambaran Radiologi Pneumokoniosis
Gambaran radiologi Deskripsi
Halus (small opacities) bentuk lingkaran
Kerapatan Kerapatan berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona
yang terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 – tidak terlihat perselubungan lingkar kecil atau
kerapatan kurang dari kategori 1
1/0 1/1 1/2 Kategori 1 – terlihat perselubungan lingkar kecil dengan jumlah
relatif sedikit
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 – terlihat beberapa perselubungan lingkar kecil.
Corakan paru tidak terlalu jelas
3/2 3/3 3/4 Kategori 3 – banyak terlihat perselubungan lingkar kecil.
Corakan paru sebagian atau keseluruhan tidak jelas
Jenis Nodul digolongkan menurut diameter perselubungan yang
dominan
p Diameter sampai 1,5 mm
q Diameter 1,5 – 3 mm
r Diameter 3 – 10 mm
Luas
Pembagian paru Pembagian berdasarkan letak perselubungan berada. Lapangan
paru dibagi atas enam area. Tiap lobus mempunyai tiga area :
lobus atas, tengah dan bawah
Halus (small opacities) bentuk ireguler
Kerapatan Kerapatan berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona
yang terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 – tidak terlihat perselubungan ireguler kecil atau
kerapatan kurang dari kategori 1
1/0 1/1 1/2 Kategori 1 – terlihat perselubungan ireguler kecil dengan jumlah
relatif jarang. Corakan paru kelihatan jelas
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 – terlihat beberapa perselubungan ireguler kecil.
Corakan paru tidak terlalu jelas
3/2 3/3 3/4 Kategori 3 – banyak terlihat perselubungan ireguler kecil.
Corakan paru keseluruhan tidak jelas
Jenis Secara kasar dibagi menjadi 3 bagian :
s Perselubungan ireguler halus atau linear
t Perselubungan ireguler sedang
u Perselubungan ireguler kasar
Luas
Pembagian paru Pembagian berdasarkan letak perselubungan berada. Lapangan
paru dibagi atas enam area. Tiap lobus mempunyai tiga area :
lobus atas, tengah dan bawah
Kasar (large opacities)
A Satu perselubungan dengan diameter 1 – 5 cm atau beberapa
perselubungan dengan diameter masing-masing lebih dari 1 cm,
tetapi bila tiap perselubungan dijumlahkan maka tidak melebihi 5
cm
B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih
banyak dibandingkan dengan kategori A dengan jumlah luas
perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas
C Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya
melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan
paru kanan

102
- CT-Scan
o Sangat bermanfaat secara individual untuk memperkirakan beratnya
fibrosis interstitial, luasnya emfisema dan perubahan pleura atau
menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaan dengan
opasiti yang ada
o HR-CT lebih sensitif dibandingkan radiologi konvensional untuk
evaluasi abnormalitas parenkim
 Faal paru
- Dapat ditemukan nilai faal paru normal, obstruksi, restriksi atau campuran
- Sebagian besar kasus penyakit paru difus yang disebabkan oleh debu
mineral berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di
parenkim paru
 Analisis debu penyebab
Analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi
transbronkial) untuk melihat debu mineral batu bara

Berdasarkan gambaran foto toraks pneumokoniosis batu bara dibagi menjadi


2 jenis yaitu bentuk simpel (simple coal worker pneumoconiosis) dan dengan
komplikasi (complicated coal worker pneumoconiosis) atau fibrosis masif progresif
(FMP).
Pneumokoniosis simpel
- Secara klinis hampir tidak ada gejala atau asimptomatik
- Diagnosis ditegakkan hanya dari gambaran radiologis lesi di paru pada
pekerja yang terpajan batu bara
- Lesi primer adalah makula batu bara yang terdistribusi secara luas dan merata
di seluruh paru dengan predileksi lobus atas
- Gambaran yang sering ditemukan pada foto toraks adalah perselubungan
halus bentuk p dan q
Pneumokoniosis kompleks
- Ditandai dengan fibrosis yang luas dan hampir selalu terdapat di lobus atas
- Fibrosis masif progresif didefinisikan sebagai lesi dengan diameter > 3 cm

103
- Keluhan batuk produktif dengan dahak kadang berwarna hitam, sesak napas,
wheezing, dan gangguan fungsi paru, bila penyakit berlanjut timbul
komplikasi/penyulit
- Hubungan antara nodul reumatoid pulmoner dengan pneumokoniosis
kompleks dikenal sebagai sindrom Kaplan (riwayat pajanan batu bara dalam
jangka waktu lama, arthritis reumatoid, foto toraks perselubungan kasar, bulat
(diameter > 10 mm) multipel, dapat terbentuk kaviti atau kalsifikasi dan terletak
perifer)

KOMPLIKASI
 Infeksi oportunistik
 Kor pulmonale
 Gagal napas

PENATALAKSANAAN
 Tidak ada pengobatan spesifik yang dapat menginduksi regresi kelainan atau
menghentikan progresifitas pneumokoniosis
 Pengobatan simptomatik
 Pencegahan merupakan tindakan paling penting

Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.

104
SILIKOSIS

BATASAN
Penyakit parenkim paru yang diakibatkan inhalasi silikon dioksida atau silika.
Silikosis tergantung ukuran partikel debu, jumlah partikel debu dalam udara,
kandungan mineral silika, lama pajanan dan kepekaan seseorang.
Faktor Risiko
Tabel 1. Tempat kerja yang mempunyai risiko silikosis

1. Pertambangan, pembuatan terowongan, penggalian dalam tanah, emas,


tembaga, besi, timah, uranium, proyek bangunan
2. Penggalian granit, pasir, batu tulis
3. Tukang batu : pembuatan monumen, granit, pemotongan batu
4. Penuangan logam : logam besi, logam bukan besi
5. Penggosokan : tepung silika, logam, kertas ampelas, batu nisan
6. Keramik : pembuatan pot, cetakan oven, periuk/kuali
7. Lain-lain : pembuatan gelas, pembersihan ketel, pembuatan gigi

PATOGENESIS
Setelah paparan partikel silika maka terjadi interaksi silika dengan makrofag
alveolar, limfosit, dan neutrofil menimbulkan inflamasi, proliferasi fibroblas dan
deposit bahan-bahan matriks jaringan ikat dalam jumlah besar. Karena efek toksik
silika maka fagosom hancur, dan melepaskan ensim lisosom yang berperan
dalam pembentukan jaringan fibrosis.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Bentuk silikosis :
 Silikosis kronik (klasik)
 Silikosis terakselerasi
 Silikosis akut

105
Pada silikosis kronik terjadi karena pajanan debu silika dengan konsentrasi
rendah selama 15 tahun atau lebih. Gejala batuk produktif, sesak napas progresif
dan pada fase akhir penderita mengalami komplikasi gagal napas atau kor
pulmonale.
Pekerja dengan paparan silika yang tinggi (sandblasting, produksi tepung
silika) perjalanan penyakit lebih progresif dan timbul fibrosis lebih luas dikenal
sebagai silikosis terakselerasi dan timbul setelah pajanan silika selama 5-10
tahun. Penderita sering jatuh ke dalam hypoxic respiratory failure.
Pada silikosis akut kelainan timbul akibat kadar silika bebas amat tinggi,
dengan keluhan sesak napas progresif disertai batuk, demam, dan penurunan
berat badan yang timbul beberapa bulan sampai 5 tahun setelah terkena paparan
silika.
Pemeriksaan Fisik
Pada fase awal tidak ditemukan kelaianan. Kelainan didapatkan pada fase lanjut
sesuai dengan penyulit.
Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
 Foto toraks
- Gambaran perselubungan lingkar halus biasanya jenis r dengan ukuran
< 10 mm, perselubungan simetris dan cenderung pada lapangan atas
paru
- Pembesaran kelenjar hilus terkalsifikasi (gambaran egg shell
calcification)
- Pada kasus terjadi komplikasi menjadi fibrosis masif progresif (FMP)
maka perselubungan halus menjadi lesi kasar (lesi jenis A sampai C)
selanjutnya perlunakan di daerah sentral sehingga membentuk kavitas
- Pada silikosis akut dapat ditemukan ground glass appearance dan
bilateral alveolar filling seperti edema paru
 CT-Scan toraks
Lebih sensitif dibanding foto toraks terutama untuk melihat nodul silikosis
sederhana
 Faal Paru
- Hasil normal pada silikosis sederhana

106
- Kelainan obstruksi, restriksi atau campuran dapat ditemukan pada kelainan
yang berat

 Bronkoskopi
- Jarang dilakukan
- Indikasi : ditemukan kaviti atau massa dengan kecurigaan kanker paru atau
tuberkulosis yang dengan pemeriksaan lain hasil meragukan
- Gambaran histopatolgi : nodul silikotik
 EKG
Hipertrofi ventrikel kanan

DIAGNOSIS BANDING
 Sarkoidosis
 Rheumatoid lung
 Karsinomatus limfangitis
 Edema paru
 Tuberkulosis

KOMPLIKASI
 Infeksi mikobakterium dan bakteri opurtunis lainnya
 Komplikasi ginjal
 Kanker
 Pneumotoraks

PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi khusus untuk silikosis, terapi ditujukan pada gejala dan penyulit.
Terpenting adalah pencegahan.

Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.

107
ASBESTOSIS

BATASAN
Penyakit paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes yang ditandai dengan
fibrosis intersititial difus pada paru. Dapat disertai kelainan pleura seperti
penebalan pleura dengan atau tanpa kalsifikasi pleura.

Faktor risiko
1. Pekerja tambang asbestos
2. Pekerja industri yang menggunakan bahan asbes, galangan kapal, bengkel
garasi, industri semen asbes
3. Penduduk sekitar tambang/industri
4. Penduduk urban, bahan rumah mengandung asbes

PATOGENESIS
Serat asbestos terdeposit di bronkiolus respiratorius dan alveoli. Klirens inkomplit
serat asbestos oleh makrofag dapat berakibat fibrosis paru. Derajat fibrosis
tergantung muatan debu asbestos. Prevalensi asbestosis meningkat dengan
peningkatan intensitas dan durasi paparan.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
- Sesak napas, batuk, wheezing biasanya timbul setelah terjadi fibrosis paru
yang progresif
- Keluhan akan terus berlanjut meskipun penderita menghindari pajanan,
sampai penderita meninggal 15 tahun kemudian
Pemeriksaan Fisik
- Tidak spesifik
- Ronki basah akhir inspirasi pada basal paru
- Fase lanjut timbul takipneu, sianosis, clubbing finger dan tanda-tanda kor
pulmonale

108
Pemeriksaan penunjang
 Radiologi
- Foto toraks
 Perselubungan halus ireguler, tersebar di daerah posterior, basal paru
dan subpleura
 Infiltrat retikonoduler dapat ditemukan pada basal paru
 Diafragma tidak rata, batas jantung tidak jelas, gambaran cincin ektasis
serta penebalan dan kalsifikasi pleura bilateral pada stadium lanjut
 Gambaran efusi pleura, pleural plaque
- CT Scan toraks
 Asbestosis dini ditemukan penebalan garis intralobuler, garis lengkung
subpleura, nodul ireguler basal pleura, ground glass attenuation
 Gambaran peripheral bands, penebalan septa interlobuler, cincin ektasis
terutama basal paru pada asbestosis lanjut
 Patologi anatomi
Ditemukan asbestos body atau uncoated asbestos pada pemeriksaan
bronchoalveolar lavage (BAL), sputum, biopsi jaringan paru
 Faal paru
Gangguan faal paru berupa penurunan kapasitas vital paru yang progresif,
karena fibrosis paru yang hebat. Volume residual normal. Terdapat gangguan
difusi.

KOMPLIKASI
 Kanker paru
 Mesothelioma maligna
 Kor pulmonale

PENATALAKSANAAN
Tidak ada obat yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis asbestosis.
Pengobatan hanya bersifat simptomatis.

109
Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.

110
INHALASI GAS TOKSIK

BATASAN
Gas toksik atau gas beracun merupakan suatu noksa bagi paru, karena
merupakan bahan yang dapat menyebabkan perubahan struktural, fungsional,
maupun gabungan keduanya secara bersama-sama.
Selain mengenai paru dapat pula mengenai organ lain sekaligus, tetapi dapat juga
hanya mengenai organ di luar paru, sedangkan paru tetap normal.

PATOFISIOLOGI
Tabel 1. Klasifikasi kelainan paru pada paparan gas toksik
Golongan Kelainan struktural Kelainan fungsional Organ lain
gas
I Tidak ada Tidak ada Ada
II Ada Ada Tidak ada
III Ada Ada Ada

Kelainan saluran napas berupa kelainan struktural dari tidak berarti sampai
dengan kelainan yang memberikan perubahan fungsional. Kelainan fungsional
dimulai dari yang tidak ada sama sekali hingga berupa kelainan obstruksi ringan
sampai berat. Kelainan ini dapat disertai hipersekresi kelenjar dan hiperrekativitas
yang dapat menimbulkan bronkospasme. Kelainan yang ditimbulkan dapat
mengenai saluran napas atau parenkim paru, dapat pula pada seluruh organ paru.

DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan ada kelainan yang sesuai dengan kelainan yang disebabkan
gas ditambah dengan riwayat kemungkinan inhalasi dengan gas tertentu.
Gejala Klinis
Gas toksik golongan I (C0, HCN, H2S, CH3Cl, N2, CO2, O2)
Paru hanya sebagai pintu masuk sebab itu tidak didapatkan kelainan struktural
maupun kelainan fungsional, sedangkan efek toksik tampak pada organ lain, misal
hipoksia pada otak yang disertai konvulsi dan kehilangan kesadaran. Inhalasi

111
dengan gas karbonmonoksida (CO) menempati tempat teratas. Gas CO tidak
berbau, kesadaran penderita menghilang, terjadi hipoksia karena peningkatan
ikatan Hb-CO. Keracunan gas HCN dan H2S sering dijumpai di daerah gunung
berapi, dan lebih berbahaya lagi bila ada keletihan olfaktori , karena korban tidak
menyadari ada bahaya.
Gas toksik golongan II
- Gas yang larut dalam air (NH3, HCHO, SO2)
Gas ini mudah dikenali, bau tajam dan menyengat, sangat iritatif. Kelainan
dapat terjadi pada kulit muka, tangan dan bagian badan yang tidak terlindung.
Kelainan pada saluran napas dapat berupa faringitis, laringitis, trakeitis,
trakeobronkitis, maupun bronkiolitis. Kelainan fungsional berupa obstruksi
ringan sampai berat dengan hipersekresi mukosa bronkus. Keluhan batuk-
batuk, sesak napas, napas berbunyi, dada terasa sakit/panas, rasa tercekik
(edema glotis). Paparan jumlah besar akan menimbulkan edema paru akut.
- Gas yang sukar larut dalam air (Cl2, COCl2, PH3, NO2, O3)
Gas ini sangat toksik karena mempunyai sifat iritasi sangat kuat, hampit
tidak memberikan bau tajam, sebab itu jumlah gas yang dihirup dapat lebih
banyak dan mencapai saluran napas lebih dalam sampai ke alveoli.
Perubahan yang ditimbulkan juga tidak segera terjadi, karena ada masa
tenggang di atas 6-8 jam setelah paparan.
Kelainan struktural parenkim berupa alveolitis (pneumonitis, perubahan
tromboangitis obliterans pada kapiler paru, reaksi deskuamasi epitel saluran
napas kecil dan alveoli. Diperburuk dengan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Kelainan fungsional berupa kelainan restriksi disertai gangguan difusi
dan perfusi. Klinis dyspnoe d’effort ringan sampai berat. Keluhan batuk-batuk
dengan dahak berbusa dan berwarna merah muda, edema paru dengan gagal
napas serta renjatan.
Gas toksik golongan III (CH3Br, CH3Cl, S(CH2-CH2Cl)2)
Kelainan yang ditimbulkan mirip dengan gas toksik golongan II, disertai dengan
perubahan di organ lain.

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan fungsi paru

112
Diperlukan untuk mengetahui derajat obstruksi saluran nafas dan untuk
memantau perkembangan penderita, dimana terjadinya restriksi paru dapat
terlihat 60 jam setelah terjadinya paparan. Adanya fungsi paru yang normal
dapat menyingkirkan adanya kerusakan pada saluran nafas bawah.
 Bronkoskopi
Mendeteksi adanya edema, swelling, dan obstruksi. Bronkoskopi juga
digunakan untuk menentukan diagnosis trauma inhalasi, dengan melihat
adanya eritema mukosa, hemorrhagis, nekrosis, ulserasi dan deposit karbon.
 Analisa Gas Darah
Penting dilakukan untuk mengetahui tingkat hipoksemia dari penderita setelah
terjadinya paparan gas-gas toksik, dan juga untuk evaluasi. Jika didapatkan
gambaran PaO2, PaCO2, dan saturasi O2 yang normal pada penderita yang
tampak sesak atau apneu maka sebagai klinisi harus mencurigai adanya
inhalasi toksik gas seperti karbonmonoksida atau sianida.
 Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks pada fase awal 24 jam pasca trauma inhalasi
kemungkinan masih dalam batas normal. Jika ada kelainan, biasanya
didapatkan gambaran infiltrat alveolar, infiltrat interstitial atau gambaran gagal
jantung kongestif. Infiltrat banyak dijumpai pada lapangan paru atas.
 Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG dikerjakan secara rutin selain untuk data dasar juga untuk
memonitor efek hipoksia terhadap miokard.
 Urinalisis
Inhalasi gas-gas toksik juga menyebabkan efek sistemik. Pemeriksaan urin
untuk melihat adanya hematuria dan proteinuria harus dikerjakan. Adanya
proteinuria dapat digunakan untuk mencurigai adanya paparan dengan CO,
hidrogen sulfida, halogen dan karbon disulfida. Didapatkan hematuria
mengarah kepada paparan dengan hidrogen sulfida, halogen, atau inhalasi
karbon disulfida.

KOMPLIKASI
 Bronkitis kronis
 Bronkiektasis

113
 Fibrosis paru

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan trauma inhalasi gas-gas toksik yang efektif tergantung
penegakkan diagnosis dan pengenalan komplikasi yang akurat.
 Intubasi
Intubasi dilakukan pada penderita dengan stridor atau dispneu berat, gangguan
kesadaran dan hilangnya gag reflek diikuti dengan oksigen 100%. Bedside
bronkoskopi diperlukan selain untuk menegakkan diagnosis, juga untuk
membersihkan saluran nafas dari mukus plug, jelaga dan debris.
 Trakeostomi
Trakeostomi jarang dilakukan sekarang, oleh karena adanya endotracheal tube.
Tetapi untuk trauma wajah, distress nafas berat, atau luka bakar wajah masif
maka diperlukan tindakan krikotiroidektomi sebagai tindakan darurat bedah.
 Oksigenasi
Pada penderita dengan intubasi, diperlukan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi, meskipun pada penderita dengan COPD. Apabila kadar oksigen tidak
membaik, maka pertimbangkan penggunaan ventilator, pengunaan PEEP pada
edema paru yang luas disertai renjatan.
 Pulmonary Toilet
Penghisapan saluran nafas berkala diperlukan untuk membersihkan saluran
nafas. Bronkoskopi berkala sangat efektif untuk membersihkan debris yang
ada.
 Bronkodilator
Pada penderita dengan bronkospasme dan wheezing dapat diberikan
nebulisasi bronkodilator aerosol. Juga dapat diberikan bronkodilator sistemik
seperti aminofilin.
 Antibiotika
Pemberian antibiotika dapat dilakukan jika kita mencurigai adanya infeksi pada
penderita, dan diberikan sesuai data mikrobiologi yang ada. Kuman yang sering
ditemukan adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
 Kortikosteroid

114
Penggunaan steroid pada penderita yang terbukti mengalami obstruksi jalan
nafas dan bronkospasme yang berat terutama pada paparan gas toksik yang
bersifat iritasi yang kuat, diberikan kortikosteroid intravena (Hidrokortison 200-
400 mg/6-8 jam iv).
 Pemberian cairan
Diberikan pada penderita dengan renjatan akibat kebocoran pembuluh darah
kapiler paru (permeabilitas meningkat).
 Penatalaksanaan khusus ditujukan pada gas toksik yang ada andidotumnya.

Referensi :
1. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
2. Inhalation Injury. Serebrisky D, Nazarian EB, Connoly.
http://www.emedicine.com. July 24, 2006;1-23.
3. Inhalation Injuries “Beyond the Road”. Stewart C. 2nd edition.1998.

115
ASMA KERJA

BATASAN
Asma kerja adalah penyakit yang ditandai dengan inflamasi jalan napas,
keterbatasan aliran udara bervariasi dan hiperresponsif jalan napas yang terjadi
akibat keadaan dalam lingkungan kerja tertentu dan tidak terjadi pada rangsang di
luar tempat kerja.
Asma kerja dibagi menjadi :
1. Asma kerja imunologis
2. Asma kerja non imunologis

PATOGENESIS
Asma kerja imunologis (sensitizer induced)
Sebagian senyawa dengan berat molekul tinggi mencetuskan asma melalui
produksi Ig-E spesifik sedangkan beberapa senyawa dengan berat molekul
rendah merangsangnya melalui pembentukan hapten dengan cara berikatan
dengan protein tubuh untuk membentuk antigen fungsional.
Sel limfosit T mempunyai peran besar dalam orkestra inflamasi asma kerja dan
dibantu sel-sel efektor seperti eosinofil, sel mast, sel epitel dan neutrofil yang
menghasilkan gambaran khas serangan asma (kontraksi otot polos, hipersekresi
mukus, inflamasi saluran napas dan jejas epitel).
Asma kerja non imunologis (irritant induced/reactive airways dysfunction
syndrome)
Berkembangnya asma dalam beberapa jam setelah inhalasi iritan konsentrasi
tinggi di tempat kerja tanpa melalui periode laten karena kerusakan mukosa atau
inflamasi, yang diikuti oleh aktivasi jalur nonadregenik nonkolinergik melalui
refleks akson dan awitan inflamasi neurogenik.

DIAGNOSIS
Anamnesis
 Gejala klinis asma bermula pada saat di tempat kerja dan membaik saat
penderita menjauh dari lokasi kerja

116
 Gejala klinis dapat diawali dengan rinitis, konjungtivitis
 Terdapat riwayat terpajan bahan baru atau meningkatnya derajat pajanan
terhadap bahan yang sudah pernah terpajan sebelumnya
 Terdapat riwayat pajanan kerja yang tidak biasa dalam 24 jam sebelum awitan
gejala asma awal
Pemeriksaan Fisik
 Umumnya normal, kecuali dalam keadaan serangan
 Inspeksi kulit untuk melihat dermatitis eksimatosa
Pemeriksaan Penunjang
 Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) serial dan uji provokasi
bronkus
- Pemeriksaan APE 4 kali/hari minimal 4 minggu (2 minggu di tempat kerja
dan 2 minggu di luar tempat kerja) disertai dengan buku catatan harian
gejala dan pengobatan yang diberikan selama berada di tempat kerja dan
di luar tempat kerja)
- Uji provokasi bronkus menunjukkan penurunan reaktiviti terhadap
metakolin 3 kali atau lebih pada saat penderita di luar lingkungan kerja
 Uji imunologis
- Skin prick test
- Penilaian antibodi Ig-E spesifik serum
 Hitung sel sputum yang diinduksi
- Kadar eosinofil pada sputum penderita lebih tinggi pada saat di tempat
kerja daripada di luar tempat kerja

Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik untuk kepentingan surveilans dan klinik (ACCP) adalah sebagai
berikut :
A. Diagnosis asma
B. Awitan asma terjadi setelah pajanan di tempat kerja
C. Terdapat hubungan antara gejala asma dan kerja
D. Satu atau lebih kriteria berikut :
1. Pajanan terhadap bahan atau proses di tempat kerja yang berisiko
terjadinya asma kerja

117
2. Perubahan VEP1 atau APE yang signifikan setelah memasuki tempat kerja
3. Perubahan hiperresponsif saluran napas non spesifik setelah memasuki
tempat kerja
4. Respon yang positif terhadap uji provokasi spesifik dengan bahan di
tempat kerja
5. Awitan asma mempunyai hubungan yang jelas dengan bahan iritan di
tempat kerja

PENATALAKSANAAN
 Terapi farmakologis tidak berbeda dengan asma pada umumnya.
 Memindahkan pekerja supaya tidak terpajan dengan sensitizer karena
pajanan dengan kadar rendah dapat mencetuskan serangan asma dari ringan
sampai mengancam jiwa.
 Menghilangkan pajanan derajat tinggi atau menggunakan alat perlindungan
diri pada asma kerja yang diinduksi iritan.

PENCEGAHAN
 Pencegahan primer
- Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja untuk menyaring pekerja yang
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi work related asthma yaitu atopi dan
perokok
- Menurunkan atau menghilangkan bahan yang dapat membuat sensitisasi
yang dilakukan dengan substitusi, isolasi, pembatasan proses produksi,
perubahan proses produksi, ventilasi yang baik, pemakaian alat
perlindungan diri
 Pencegahan sekunder
- Deteksi dini penyakit dan menghindari pajanan secara dini
- Pemeriksaan berkala pada penderita yang terpajan dengan bahan yang
dapat mencetuskan asma kerja
 Pencegahan tersier
- Mencegah kerusakan permanen dengan cara pemberian pengobatan
yang optimal
- Menghindarkan penderita dari pajanan lebih lanjut

118
Referensi :
1. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4 th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.

119
HEMOPTOE

BATASAN
Batuk darah adalah batuk yang disertai darah yang berasal dari saluran napas
bawah atau parenkim paru. Batuk darah masif bila jumlah darah yang keluar >
600 ml dalam 24 jam.

ETIOLOGI
Batuk darah masif sering disebabkan oleh :
1. Tumor paru
2. Bronkiektasis
3. Tuberkulosis paru
4. Abses paru

DIAGNOSIS
1. Riwayat penyakit
- Jumlah darah yang keluar, lama keluhan, pola batuk darah
- Gejala lain yang menyertai
- Riwayat penyakit sebelumnya
- Harus dibedakan dengan muntah darah
Batuk darah (Hemoptisis) Muntah darah (Hematemesis)
Darah berbusa Darah bercampur makanan
Warna merah segar Warna kehitaman
Bersifat alkali Bersifat asam
Diserta batuk Didahului mual

2. Pemeriksaan fisik
- Saluran napas atas dan rongga mulut harus diperiksa dengan cermat untuk
menentukan sumber perdarahan
- Suara napas tambahan, seperti wheezing dan ronki dapat timbul akibat
penyempitan saluran napas oleh gumpalan darah

120
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, PTT, APTT, analisis gas darah, elektrolit,
pemeriksaan sputum BTA, sitologi.
- Foto toraks
Foto toraks PA dan lateral diperlukan untuk menemukan lesi seperti :
kavitas, massa, fungus ball, atau air fluid level.
- Sarana Diagnostik khusus
a. Bronkoskopi
- Bermanfaat untuk diagnosis dan terapi
- Dapat mengetahui lokasi perdarahan, lesi yang menyebabkan
perdarahan
- Pengambilan material untuk pemeriksaan
b. CT scan toraks
Paling sering dikerjakan pada occult hemoptysis, sebab CT Scan dapat
mendeteksi kanker paru masih kecil, bronkiolitis maupun bronkiektasis.

PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan :
1. Mencegah asfiksia
2. Melokalisasi sumber perdarahan
3. Menghentikan perdarahan
4. Mencari penyebab perdarahan dan pengobatan kausal

A. Penatalaksanaan Konservatif
Tahap 1. Pembebasan jalan napas dan stabilisasi penderita
1. Menenangkan dan mengistirahatkan penderita. Penderita diberitahu agar
jangan takut untuk membatukkan darahnya.
2. Penderita dengan keadaan umum dan reflek batuk baik, duduk dan
dinstruksikan cara membatukkan darah dengan benar.
3. Penderita diminta berbaring pada posisi bagian paru yang sakit atau sedikit
trendelenburg, terutama bila refleks batuknya tidak adekuat.

121
4. Jaga agar jalan napas tetap terbuka. Bila terdapat tanda-tanda sumbatan jalan
napas perlu dilakukan pengisapan atau bila diperlukan dilakukan pemasangan
pipa endotrakeal. Evakuasi darah dengan bronkoskop akan lebih baik tetapi
memerlukan ketrampilan operator. Pemberian oksigen hanya berarti bila jalan
napas bebas hambatan / sumbatan.
5. Pemasangan IV line atau IVFD untuk penggantian cairan maupun untuk jalur
pemberian obat parenteral.
6. Pemberian obat hemostatik belum jelas manfaatnya pada batuk darah yang
tidak disertai kelainan faal hemostatik, namun demikian dapat diberikan asam
traneksamat, karbazokrom, dan koagulan lain seperti vitamin K.
7. Obat-obat dengan efek sedasi ringan dapat diberikan bila penderita gelisah.
Obat-obat penekan refleks batuk hanya diberikan bila terdapat batuk yang
berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan lebih banyak.
8. Transfusi darah diberikan bila hematrokit turun di bawah nilai 25-30% atau Hb
di bawah 10 gr% sedang perdarahan masih berlangsung.
Tahap 2. Lokalisasi sumber dan mencari sebab hemoptisis
Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi foto toraks
PA/lateral, CT Scan toraks dengan kontras, maupun pemeriksaan bronkoskopi.
Tahap 3. Pemberian terapi spesifik
Terapi spesifik ditujukan untuk menghentikan dan mencegah berulangnya
hemoptisis
1.Melalui bronkoskopi
-Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin, dapat diberikan sampai
500 ml.
-Pemberian obat topikal, vasokonstriksi pembuluh darah diusahakan dengan
larutan epinefrin (1 : 20.000) melalui bronkoskop.
2.Terapi tanpa bronkoskop
- Hemoptisis karena penyakit infeksi, diberikan obat sesuai kausanya.

B. Penatalaksanaan Bedah
Indikasi tindakan bedah menurut Busroh (1978) :
1. Batuk darah > 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak
berhenti.

122
2. Batuk darah 250 - 600 cc / 24 jam , Hb < 10 gr% dan batuk darah
berlangsung terus.
3. Batuk darah 250 - 600 cc / 24 jam, Hb > 10 gr% dan dalam pengamatan 48
jam perdarahan tidak berhenti.

Kriteria operasi menurut Amitana (1968):


1. Perhatikan sumber perdarahan
2. Aspirasi berulang
3. Adanya kavitas penyebab terjadinya perdarahan berulang
4. Faal paru yang minimal sehingga setiap perdarahan menyebabkan
ancaman kematian

Tindakan bedah meliputi :


1. Reseksi paru : lobektomi atau pneumonektomi
2. Terapi kolaps : pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisial, torakoplasti,
frenikolisis (membuat paralise n. phrenicus)
3. Lain-lain : embolisasi artifisial

Referensi :
1. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. 2010.
2. Textbook of Respiratory Medicine. Editors : Murray JF, Nadel JA. 4 rd edition.
Philadelphia. WB Saunders Comp. 2005.

123
PPOK EKSASERBASI AKUT

BATASAN
PPOK eksaserbasi akut berarti timbulnya perburukan gejala PPOK dibandingkan
kondisi sebelumnya.
Gejala eksaserbasi akut :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum (sputum purulen)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
- Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
- Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
- Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >20% nilai dasar,
atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

ETIOLOGI
Terbanyak disebabkan oleh infeksi saluran napas.

PENATALAKSANAAN
Indikasi rawat inap
- Eksaserbasi sedang dan berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran napas berat
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Gagal jantung kanan

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut


1. Diagnosis beratnya eksaserbasi

124
Derajat sesak, frekuensi napas, kesadaran, tanda vital, analisis gas darah,
pneumonia.

2. Terapi oksigen adekuat


Bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%,
dengan evaluasi ketat hiperkapnia.
Cara : O2 nasal 1-2 L/menit atau venturi mask FiO2 24-32%.
3. Optimalisasi penggunaan obat-obatan
- Bronkodilator
 Agonis beta -2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik perinhalasi
(nebuliser)
 Xantin intravena (bolus dan drip)
 Kortikosteroid sistemik
 Pada eksaserbasi sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari
selama 1-2 minggu
 Eksaserbasi berat kortikosteroid diberikan secara intravena
- Antibiotik
 Gol. makrolid baru (azitromisin, claritromisin)
 Β-lactam/ Β-lactamase inhibitor (co-amoxiclav, ampisilin-sulbaktam)
 Gol. kuinolon respirasi (ciprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin)
 Sefalosporin generasi II/III
 Βeta lactam dengan aktifitas P.aeruginosa
4. Terapi nutrisi dan monitor cairan-elektrolit
Nutrisi adekuat untuk mencegah kelaparan yang disebabkan oleh hipoksemia
berkepanjangan dan menghindari kelelahan otot bantu napas.
5. Ventilasi mekanis
Dahulukan penggunaan NIPPV (non invasive mechanical ventilation), bila
gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanis dan intubasi.
6. Evaluasi progresifitas penyakit.
Indikasi rawat ICU
- Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat
atau ruang rawat

125
- Kesadaran menurun, letargi, atau kelamahan otot-otot respirasi
- Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau
perburukan
- Memerlukan ventilasi mekanik invasif atau noninvasif
ALGORITME PENATALAKSANAAN PPOK EKSASERBASI AKUT
DI RUMAH SAKIT

- Nilai berat gejala


( kesadaran, frekuensi napas, pemeriksaan fisik )
- Analisis gas darah
- Foto toraks

1. Terapi oksigen
2. Bronkodilator
 Inhalasi / nebuliser
- Nilai berat gejala
- Agonis beta 2
- Antikolinergik
 Intravena : metil xantin, bolus & drip
3. Antibiotik
4. Kortikosteroid sistemik
5. Diuretika bila ada retensi cairan

Mengancam jiwa Tidak mengancam jiwa


(gagal napas akut)

ICU Ruang rawat

Referensi :
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket guide
to COPD diagnosis, management and prevention. National Institute of Health.
National Heart Lung and Blood Institute, Update2015.

126
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2003.
3. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
PDPI. 2011.

ASTHMA ATTACK

BATASAN
Asma eksaserbasi (asma akut atau asthma attack) adalah kejadian peningkatan
progresif keluhan sesak napas, batuk, mengi atau chest tightness atau beberapa
kombinasinya.

ETIOLOGI
 Infeksi virus respirasi
 M. pneumonia, C. pneumonia
 Alergen & Iritan
 Obat
 Krisis emosi
 Tidak patuh pada pengobatan

PENATALAKSANAAN
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan
akut (lihat tabel 1). Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan yang
tepat, menilai respon pengobatan, dan memahami tindakan apa yang sebaiknya
dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, dll).
Tabel 1. Klasifikasi berat serangan asma akut

127
Gambar 1. Penatalaksanaan serangan asma di Rumah Sakit

128
Referensi :
1. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2004.
2. Global strategy for asthma management and prevention. Global Initiative for
asthma (GINA). 2012.

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR


129
BATASAN
Sindrom vena kava superior (SVKS) muncul bila terjadi gangguan aliran darah
dari kepala dan leher akibat berbagai sebab, di antaranya tumor paru dan tumor
mediastinum. Gangguan ini pada penderita kanker paru muncul akibat penekanan
atau invasi massa ke vena kava superior, sehingga menimbulkan gejala SVKS.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Keluhan tergantung berat ringannya gangguan, penderita umumnya
mengeluhkan sakit kepala
 Sesak napas, batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah
 Pada keadaan berat selain gejala sesak napas, juga dapat dilihat
pembengkakan leher dan lengan tangan kanan disertai pelebaran vena-vena
subkuten leher dan dada
Pemeriksaan Fisik
 Dilatasi vena-vena leher
 Edema lengan dan wajah
 Sianosis
 Prominent thoracic venous pattern
Pemeriksaan Penunjang :
 Foto rontgen toraks, tampak : mediastinal widening, right hilar mass, pleural
effusion, right upper lobe atelektasis, infiltrates, anterior mediastinal mass
 CT scan toraks dengan atau tanpa kontras, menunjukkan adanya obstruksi
vena kava superior (patognomonis) dan ditandai adanya kompresi v. kava
superior yang sering disertai trombosis intralumen
 Bronkoskopi, harus dilakukan pada semua kasus yang dicurigai keganasan
walaupun diagnosa sudah dibuat berdasarkan sitologi sputum
 Prosedur invasif lainnya

PENATALAKSANAAN

130
 Bila keadaan umum penderita baik (PS > 50) maka harus dilakukan prosedur
diagnostik untuk mendapatkan jenis sel kanker.
 Tindakan radiasi cito harus segera diberikan bila keluhan sesak napas sangat
berat dan setelah gejala berkurang, prosuder diagnostik harus dilakukan.
 Tindakan radioterapi selanjunya tergantung dari kondisi berikut ini :
- Bila belum ada hasil pemeriksaan patologi anatomi : radiasi 2-3 Gy/fraksi,
dengan penilaian klinis setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila
respons tidak memuaskan.
- Bila hasil patologi anatomi sudah ada :
- Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan dengan dosis
3 Gy/fraksi.
- Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit.
- Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau dosis 4 Gy/ fraksi
sampai 5 kali.

Gambar 1. Alur penatalaksanaan sindrom vena kava superior

Referensi :
1. Kanker Paru Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2003.

131
PNEUMOTORAKS VENTIL

BATASAN
Pneumotoraks dimana terjadi mekanisme check valve dimana udara dapat masuk
ke dalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar lagi, sehingga tekanan
intrapleura sangat tinggi dengan akibat terjadi pergeseran mediastinum ke sisi
sehat.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Nyeri dada yang mendadak
 Sesak napas yang bertambah
 Kegagalan pernapasan dan mungkin pula disertai sianosis, atau syok
Pemeriksaan fisik
 JVP 
 Pemeriksaan toraks
- Inspeksi : Gerak napas asimetris, sisi sakit tertinggal, trakea dan
jantung terdorong
- Palpasi : Fremitus melemah sampai menghilang
- Perkusi : Hipersonor sisi sakit
- Auskultasi : Suara napas menurun sampai menghilang sisi yang sakit
Pemeriksaan Penunjang :
 Rontgen Thoraks
- Bagian pneumothoraks tampak hitam yang merata dan bagian lain paru
yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi dari paru
- Mediastinal shift

132
PENATALAKSANAAN
 Tindakan dekompresi (dengan membuat hubungan pleura dengan dunia luar)
yaitu :
- Menusukkan jarum ke dalam rongga pleura, dengan demikian tekanan
udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena
udara mengalir ke luar melalui jarum tersebut
- Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil
 Infus set
 Jarum abbocath
 WSD
 Pemberian O2
 Jika penderita nyeri dapat diberikan analgetika
 Apabila terdapat proses lain di paru pengobatan tambahan ditunjukkan pada
penyebabnya
 Istirahat total

Referensi :
1. Pleural Diseases. Richard W.Light. 5th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
2007.
2. Pulmonary Diseases & Disorders. Fishman dkk. 4th edition. McGraw-Hill
Medical. 2008.
3. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. 2010.

133
SINDROM GAWAT NAPAS AKUT
(ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME/ARDS)

BATASAN
Sindrom gawat napas akut/ARDS diartikan sebagai edema paru nonkardiogenik
yang disebabkan oleh kerusakan menyeluruh membrane kapiler-alveol yang
menyertai atau didahului penyakit/kelainan langsung atau tidak langsung
mengenai paru.
1. Kelainan yang langsung mengenai paru
- Biasanya dihubungkan dengan agen infeksius atau fisika kimiawi yang
merusak membran kapiler alveol.
- Sebagai respon peradangan, makrofag alveol melepas faktor kemotaktik
neutrofil yang menarik neutrofil ke paru, neutrofil dan produk-produknya
berperan dalam cedera jaringan paru.
- Contoh : aspirasi cairan lambung, inhalasi gas beracun, drowning.
2. Kelainan yang tidak langsung mengenai paru
- Kerusakan alveoli kapiler terjadi primer melalui produksi mediator toksik
yang dibentuk di bagian lain tubuh dan dibawa oleh aliran darah ke paru.
- Contoh : trauma susunan syaraf pusat, sepsis.

ETIOLOGI
Tabel 1. Kelainan-kelainan yang dihubungkan dengan ARDS
Tidak Langsung Langsung (Pulmoner)
- Syok, Sepsis - Pneumonia virus, mikoplasma,
- Trauma non toraks legionela, bakteri, jamur
- Emboli lemak, Emboli udara - Tuberkulosis milier
- Trauma kepala - Kontusio paru/trauma toraks
- Perdarahan susunan syaraf pusat - Aspirasi cairan lambung
- Overdosis obat - Tenggelam
- Pankreatitis - Aspirasi hidrokarbon
- DIC - Inhalasi asap
- Transfusi darah massif - Inhalasi uap kimia
- Infark miokard - Pneumonitis radiasi
- Keracunan salisilat, CO - Keracunan oksigen
- Edema paru reekspansi
- Limfoma
- Malaria
- Uremia
- Gantung diri

134
PATOFISIOLOGI
Gambar 1. Mekanisme ARDS

Kerusakan kapiler-alveoli difus

Kerusakan sel tipe II alveol


Kerusakan endotel

Penurunan produksi surfaktan

Edema alveol &


interstitial Ateletaksis alveol

Paru kaku
Pirau kanan ke kiri

Karasteristik ARDS yang penting adalah edema paru dan ateletaksis. Selama
perjalanan penyakit edema paru terutama diakibatkan oleh kombinasi kebocoran
pembuluh darah kecil dan peningkatan tekanan hidrostatik. Peningkatan tekanan
hidrostatik di kapiler paru mudah terjadi ketika sejumlah cairan diberikan untuk
mempertahankan tekanan darah atau keluarnya urine yang banyak.
Karasteristik ARDS tidak hanya paru menjadi kaku (compliance menurun), tetapi
juga terjadi peningkatan resistensi jalan napas, paru dan dinding dada.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
 Sesak napas
 Batuk
 Takipneu dan peningkatan work of breathing
Pemeriksaan Fisik
 Ronki basah kasar, bila edema paru bertambah berat ditemukan ronki basah
di seluruh paru dan sianosis
 Pada beberapa pasien dijumpai hiperreaktivitas bronkus akibat akumulasi
cairan ekstraseluler dengan manifestasi wheezing difus

135
Pemeriksaan Penunjang
 Foto toraks : diffuse non gravity-dependent opacities tanpa gambaran tipikal
kongesti kardiak
 CT-Scan toraks : infiltrat cenderung di bagian dorsal paru

Diagnosis ARDS harus dipertimbangkan pada keadaan sebagaimana tertera pada


tabel 1, disertai gejala berikut :
1. Dispnea/takipnea yang tidak dapat diterangkan sebabnya
2. Foto toraks menunjukkan edema interstitial dan atau edema paru
3. Hipoksemia arterial yang tidak dapat diterangkan sebabnya (PaO 2/FiO2 ≥ 200)

DIAGNOSIS BANDING
Tabel 2. Diagnosis banding edema paru
Kardiogenik Nonkardiogenik (ARDS)
Riwayat Didahului penyakit jantung Riwayat akhir-akhir ini
iskemik, katup, hipertensi, gejala dengan etiologi yang
dispneu pada aktifitas, angina, mendasari, antara lain :
PND dengan perburukan yang trauma, pankreatitis, inhalasi
mendadak asap, sepsis.
Onset gejala segera, sering
pada kelompok usia muda

Pemeriksaan Kardiomegali Ukuran jantung normal


Fisik Gallop atrial/ventrikuler sisi kiri Irama gallop negatif
Pulsus alternans
Efusi pleura bilateral

Foto Toraks Kardiomegali Kardiomegali (-)


Efusi pleura (biasanya bilateral) Efusi pleura sering (-)
Redistribusi perfusi paru (Kerley Kerley B line sering (-)
B line)

EKG Hipertrofi ventrikel kiri Perubahan-perubahan


Infark miokard iskemik sering dijumpai

Tekanan baji >12 mmHg <12 mmHg


paru

Respon Gejala berkurang Tidak ada perbaikan kecuali


terhadap Perbaikan gejala klinis bila disertai gagal jantung
diuretik Pada ARDS diuretik
menyebabkan hipotensi
PENATALAKSANAAN

136
Terapi pada ARDS dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Memperbaiki kelainan yang mencetuskannya
Meliputi pemberian antibiotika, penggantian volume cairan dan atau darah
pada syok hipovolemik, antidotum pada kelebihan dosis obat, kemoterapi
pada limfoma.
2. Mencegah atau memulihkan mekanisme cedera kapiler alveoli. Pemberian
metilprednisolon dosis tinggi masih kontroversi.
3. Mengurangi konsekuensi patofisiologis melalui terapi suportif.
Cedera ARDS akan minimal karena :
a. Berkurangnya edema paru melalui penurunan rasio pembentukan cairan
atau rasio pengeluarannya, contoh : dapat diberikan diuretika atau dialisis,
obat kardiotonik jika ada kelainan jantung.
b. Meminimalkan efek pada pertukaran gas
Terapi oksigen, bisa dengan ventilasi mekanis dan atau PEEP (positive
end-expiratory pressure).

Referensi :
1. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. 2010.
2. Textbooks of Respiratory Medicine. Editors : Murray dkk. 4 rd edition. WB
Saunders Comp. 2005.

BRONKOSKOPI SERAT OPTIK

137
BATASAN
Bronkoskopi serat optik adalah suatu prosedur pemeriksaan invasif menggunakan
alat bronkoskop serat optik untuk melihat secara langsung kelainan patologi pada
percabangan trakeobronkial.

TUJUAN
- Menilai keadaan percabangan trakeobronkial
- Mengambil bahan (spesimen) pemeriksaan untuk diagnostik.
- Melakukan tindakan terapeutik

INDIKASI
a. Diagnostik
Pada Penyakit :
- Kelainan foto toraks yang belum jelas penyebabnya, bila perlu untuk
melakukan tindakan biopsi, sikatan (brushing), dan bilasan (washing)
bronkus pada tempat yang selektif
- Batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya dan untuk menentukan
sumber perdarahan
- Curiga kanker paru
- Nodul paru soliter
- Penyakit paru interstisial (ILD)
- Kemungkinan TB endobronkial
- Batuk yang menetap atau terdapat keluhan perubahan dahak/ banyak
dahak (sputum)
- Pneumotoraks (bila paru tidak mengembang)
- Foto toraks normal, sedangkan sputum sitologi positif
- Benda asing dalam saluran nafas
- Obstruksi bronkus dan ateletaksis

Pada keadaan khusus :


- Paralisis n.recurrens /diafragma

138
- Suara serak yang belum jelas penyebabnya
- Mengi /wheezing lokal
- Cedera inhalasi akut
- Pada keadaan tertentu (pengambilan spesimen, menilai letak ujung / tip
pipa trakea) pada pasien dengan ventilasi mekanik.
b. Terapeutik
- Mengeluarkan benda asing
- Evakuasi akumulasi sekret bronkus / mucus plug (bronkial toilet)
- Pemasangan pipa trakea
- Penanganan batuk darah masif
- Abses paru
- Terapi kanker dengan laser
- Pemasangan stent trakeobronkial
c. Perioperatif

KONTRAINDIKASI
» Absolut :
Tidak ada, sangat tergantung pada keterampilan operator & teknik yang
digunakan.
» Relatif :
- Penyakit jantung yang berat, misalnya infark miokard akut, aritmia
- Penyakit paru dengan faal paru yang jelek
- Keadaan umum yang berat / jelek, baik karena demam atau penyebab lain
- Kelainan faal hemostasis (untuk tindakan biopsy)
- Penderita tidak kooperatif

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat
- 1 set peralatan bronkoskopi
- Sumber oksigen dengan aparatusnya
- Sulfas atropin (SA) 0,25 mg (1 ampul)
- Deladryl 1 cc / Diazepam 5 mg
- Disposible syringe 5cc 3 buah

139
- Kain penutup mata penderita
- Mouth piece
- Betadin yang diencerkan (untuk mencuci bronkoskop)
- Kasa
- Cairan NaCl 0,9%
- Set kedaruratan, obat – obat kedaruratan (adrenalin, deksametason,
SA, bicnat, bronkodilator) dan alat – alat infus/“ IV line” (venocath set,
infus, cairan infus, semprit).
- Formulir status bronkoskopi
- Formulir laporan tindakan bronkoskopi
b. Penderita
- Dokter memberikan penjelasan kepada pasien tentang rencana
tindakan, dan meminta pernyataan persetujuan tertulis (informed
consent).
- Pemeriksaan faal paru
Harus memenuhi syarat VC  1000 cc, FEV1  800 cc atau paO2  65
mmHg.
- Pemeriksaan EKG
Bila perlu dapat dikonsultasikan ke bagian kardiologi untuk persetujuan
bronkoskopi.
- Pemeriksaan faal hemostatis (waktu perdarahan, waktu pembekuan).
- Tes sensitivitas kulit terhadap lidokain. Lidokain 0,1 cc, diberikan
intrakutan dan hasil dibaca setelah 15 menit ( di ruangan).
- Puasa minimal 6 jam sebelum tindakan (malam hari sebelum tindakan).
- Foto toraks PA dan lateral terbaru, CT Scan toraks (bila ada).
- Codein 10 mg/kali 6 jam sebelum tindakan.
c. Ruang dan Fasiliti
Tindakan bronkoskopi sebaiknya dilakukan di ruang tindakan, namun dapat
juga dilakukan di ruang perawatan apabila keadaan gawat darurat.

2. Pelaksanaan Tindakan
- Permintaan tindakan dari dokter yang merawat.

140
- Buat status bronkoskopi.
- Pasien disiapkan diruang persiapan dengan memeriksa tanda – tanda vital,
status paru dan jantung.
- Premedikasi dengan SA 0,25 mg 1 ampul IM dan atau deladryl 1
cc/diazepam, 5 mg IM 30 menit sebelum anestesi lokal, tergantung umur
dan kondisi pasien.
- Anestesi lokal dengan kumur tenggorok menggunakan lidokain 2%
sebanyak 5 ml selama 5 menit dengan posisi duduk.
- Anestesi lokal dilanjutkan di daerah lidah dan laringofaring serta pita suara
dengan bantuan kaca laring menggunakan lidocain spray 10% (5-7
semprot) dilanjutkan dengan instilasi lidokain 2 % sebanyak 4-6 ml ke
dalam trakea melalui pita suara.
- Pasien siap diperiksa dalam posisi telentang dengan kepala ekstensi
maksimal (posisi duduk bila tidak biasa telentang) dan operator berdiri di
belakang kepala pasien.
- Oksimeter ditempelkan pada jari telunjuk pasien, kanul hidung dipasang
dan oksigen diberikan sebesar 2-4 l/mnt dan kedua mata ditutup dengan
kain penutup untuk mencegah terkena larutan lidokain/cairan pembilas
- Melepas gigi palsu, mouth piece diletakkan di antara gigi atas dan bawah
untuk mencegah tergigitnya bronkoskop (Jika bronkoskopi dilakukan
melalui mulut).
- Masukkan ujung bronkoskop melalui mouth piece vertikal ke bawah.
Setelah mendekati pangkal lidah ujung bronkoskop mulai dibelokkan ke
arah depan, melewati epiglotis sampai terlihat plika vokalis. Instilasi
lidokain 2% ke arah plika vokalis. Ujung bronkoskop di dorong maju
melewati plika vokalis, trakea, dan karina. Ujung bronkoskop dimasukkan
ke bronkus utama yang sehat beserta cabang-cabangnya, kemudian baru
diarahkan ke bronkus kontralateral yang diperkirakan ada lesinya.
- Instilasi lidokain selanjutnya dapat dilakukan bila pasien terbatuk selama
melakukan tindakan 1-2 ml melalui bronkoskop (dosis maksimal lidokain
400 mg).
- Membuat laporan hasil bronkoskopi yaitu setiap perubahan patologi dicatat,
dan dilakukan pengambilan spesimen secara biopsi dengan forcep, biopsi

141
aspirasi, biopsi transbronkial, penyikatan dan pencucian. Cara pengambilan
spesimen patologi disesuaikan dengan keadaan kelainan.
- Disinfeksi alat.
Alat bronkoskop diusap 15x dengan povidone iodine 2,5%, sisa povidone
iodine dalam mangkuk diisap. Selanjutnya diusap 15x dengan aquades dan
sisa aquades dalam mangkuk diisap juga. Alat bronkoskop digantung di
dalam lemari khusus yang dilengkapi lampu ultraviolet.

Bilasan Bronkus (Bronchial Washing)


o Tindakan membilas bronkus dan cabang-cabangnya dengan bantuan
bronkoskop (terutama daerah yang dicurigai terdapat kelainan).
o Prosedur tindakan :
Setelah bronkoskop berada pada daerah yang diinginkan, maka dibilas
dengan memasukkan cairan NaCl 0,9% hangat sebanyak 5 ml yang
kemudian segera disedot lagi. Cairan yang disedot ditampung di wadah
khusus. Tindakan dapat diulang sampai dirasa cukup bersih atau
didapat bahan pemeriksaan.
Sikatan Bronkus (Bronchial Brushing)
o Tindakan menyikat daerah bronkus yang dirasa ada kelainan.
o Prosedur tindakan :
- Setelah bronkoskop berada pada daerah yang dicurigai, alat sikat
dimasukkan melalui bronkoskop kemudian dilakukan sikatan
beberapa kali sampai dirasa cukup.
- Alat sikat kemudian ditarik ke dalam kanal bronkoskop dan
dikeluarkan dari trakeobronkial bersama bronkoskop.
- Setelah berada di luar, sikat dikeluarkan dari ujung bronkoskop ± 5
cm, kemudian sikat dijentik-jentikkan pada gelas obyek dan dibuat
sediaan apus.
- Sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi direndam ke dalam wadah
berisi alkohol 96% dan dikirim ke laboratorium patologi anatomi.
- Bronkoskopi diulang untuk evaluasi akibat penyikatan, bila ada
perdarahan diatasi.
Biopsi Forsep

142
o Tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui
bronkoskop.
o Prosedur tindakan :
- Setelah bronkoskop berada pada daerah yang dicurigai, ujung
bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut.
- Alat biopsi forsep dimasukkan melalui kanal perasat sampai terlihat
keluar dari ujung bronkoskop. Asisten diinstruksikan untuk untuk
membuka forsep lalu forsep didorong sampai terbenam di
massa/jaringan, kemudian asisten diinstruksikan untuk menutup
forsep kemudian dilakukan biopsi dengan menarik forsep sambil
melihat apa yang didapat.
- Setelah selesai biopsi maka forsep ditarik keluar dari bronkoskop.
Bahan yang didapat direndam dalam wadah yang berisi formalin
40% dan dikirim ke laboratorium patologi anatomi.
- Bronkoskopi dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan segera
diatasi.
Biopsi Aspirasi Jarum Transbronkial (Transbronchial Needle
Aspiration/TBNA)
o Tindakan bronkoskopi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui
bronkoskop untuk lesi yang menekan trakeobronkial (trakea, bronkus
utama, karina, dan karina kedua).
o Prosedur tindakan :
- Setelah bronkoskop berada pada daerah yang dicurigai, ujung
bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut. Kemudian
alat biposi jarum dimasukkan melalui kanal perasat sampai terlihat
keluar dari ujung bronkoskop. Asisten diinstruksikan untuk
mengeluarkan jarum dari selubungnyalalu bronkoskop didorong ke
sasaran sampai jarum menembus mukosa bronkus atau
menembus bronkus pada lesi yang menekan bronkus.
- Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik
jarum sementara asisten melakukan aspirasi dari ujung proksimal
jarum TBNA dengan semprit 10-20 cc beberapa kali.

143
- Bila sediaan sudah dirasa cukup, pengisapan dengan semprit
dihentikan dan jarum dimasukkan kembali ke dalam selubungnya
dan ditarik keluar dari bronkoskop.
- Setelah berada diluar jarum dikeluarkan dari selubungnya dan
ditempatkan diatas gelas obyek, dengan menggunakan semprit 10-
20 cc yang dihubungkan dengan ujung jarum TBNA, bahan
didorong ke gelas obyek dan dibuat sediaan apus.
- Sediaan apus direndam dalam wadah yang berisi alkohol 96% dan
dikirim ke laboratorium patologi anatomi.
- Bronkoskopi dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus
segera diatasi.

3. Perawatan Paska Tindakan


Puasa sampai reflek menelan pulih kembali (sekitar 2 jam setelah anestesi
lokal). Mengamati kemungkinan timbulnya komplikasi bronkoskopi.

4. Interpretasi
- Orifisium (lumen) : terbuka / menyempit / kompresi
- Karina : mukosa dalam batas normal / pucat / hiperemis / licin / irreguler /
berbenjol – benjol / edema / infiltratif / parut
- Sekret : tidak ada / ada (mukoid / purulen / mukopurulen)
- Massa : tidak ada / ada (permukaan rata / tidak rata / berbenjol – benjol /
mudah berdarah)
- Benda asing : tidak tampak / tampak, sebutkan lokasi
- Perdarahan / bekuan darah : tidak terlihat / terlihat, sebutkan lokasinya.

PENYULIT/KOMPLIKASI
Penyulit yang terjadi akibat :
- Premedikasi : Depresi pernapasan, hipotensi, sinkop, henti napas
- Anestesi lokal : Henti napas, spasme laring, methemoglobinemia
- Tindakan bronkoskopi : spasme laring, gagal napas, pneumotoraks,
perdarahan, henti jantung, sinkop, bradikardi, takikardi ventrikel, trauma,
aritmia, infeksi paska bronkoskopi.

144
UJI FAAL PARU

A. PEMERIKSAAN SPIROMETRI
BATASAN
Pengukuran obyektif faal paru menggunakan alat spirometer

TUJUAN
- Mengukur volume paru statik dan dinamik
- Menilai perubahan atau gangguan faal paru

INDIKASI
- Evaluasi pada perokok yang berumur > 40 tahun
- Penderita batuk kronik
- Penderita sesak napas tanpa memandang penyebab
- Penderita dengan rasa berat di dada (chest tightness) saat latihan (exercise)
dengan atau tanpa batuk
- Pasien asma, PPOK dan SOPT dalam keadaan stabil, untuk mendapatkan nilai
dasar
- Pasien asma, PPOK dan SOPT setelah pemberian bronkodilator, untuk melihat
efek pengobatan
- Penderajatan asma akut
- Pasien yang akan menjalani tindakan bedah dengan anestesi umum
- Pasien yang akan dilakukan reseksi paru
- Pemeriksaan berkala untuk melihat progresiviti penyakit, yaitu asma tiap 6
bulan sekali dan PPOK tiap 3 bulan sekali
- Pekerja yang terpajan debu atau bahan kimia di tempat kerja
- Mengetahui kecacatan atau ketidakmampuan (misal untuk kepentingan
rehabilitasi, asuransi, alasan hukum dan militer)

145
KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Batuk darah, pneumotoraks, status kardiovaskuler tidak stabil,
infark miokard baru, emboli paru, aneurisma serebri, pasca bedah
mata.

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan atau alat :
- Alat spirometer yang telah dikalibrasi untuk volume dan arus minimal 1
kali dalam seminggu
- Mouth piece sekali pakai atau penggunaan berulang 1 buah
- Wadah berisi savlon yang telah diencerkan dengan air untuk merendam
mouth piece yang digunakan berulang
b. Pasien
- Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan
- Tidak boleh makan terlalu kenyang, saat sebelum pemeriksaan
- Tidak boleh berpakaian terlalu ketat
- Penggunaan bronkodilator terakhir minimal 8 jam sebelum pemeriksaan
untuk aksi singkat dan 24 jam untuk aksi panjang
c. Ruang dan fasiliti
- Ruangan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik
- Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh < 17 C atau > 40 C
- Pemeriksaaan terhadap pasien yang dicurigai menderita penyakit infeksi
saluran napas dilakukan pada urutan terakhir dan setelah itu harus
dilakukan tindakan antiseptik pada alat.
2. Pelaksanaan Tindakan
- Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan
berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
- Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi berdiri

146
 Kapasiti vital paksa (KVP atau FVC)
- Pasien menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat kemudian
sesegera mungkin udara dikeluarkan melaului mouth piece dengan tenaga
maksimal hingga udara dapat dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan
bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran.
- Pemeriksaan dilakukan paling banyak 8 kali dan didapatkan paling sedikit 3
nilai yang reprodusibel.
- Nilai yang dapat diterima adalah yang memenuhi ke 3 kriteria berikut :
o Pemeriksaan dilakukan sampai selesai
o Waktu ekspirasi minimal 6 detik
o Awal uji dilakukan harus cukup baik, ekspirasi paksa tidak ragu – ragu
dan cepat mencapai puncak yang tajam
- Uji dapat dikatakan reprodusibel jika perbedaan antara 2 nilai terbesar dari
ketiga perasat yang dapat diterima adalah  5% atau  100 ml.
 Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1 atau FEV1)
adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik
pertama, VEP1 dapat diukur dengan perasat yang sama dengan pengukuran
KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus / bersama.
 Kapasiti vital (KV atau VC)
adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi
maksimal.
Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara dikeluarkan
sebanyak mungkin melalui mouth piece (tanpa perasat paksa).

KOMPLIKASI
Jarang, tetapi dapat terjadi pneumotoraks, peningkatan tekanan intrakranial,
sinkope, sakit kepala, pusing, nyeri dada, batuk, infeksi nosokomial, desaturasi
oksigen akibat penghentian terapi oksigen dan bronkospasme.

147
INTERPRETASI
- Normal :
Jika KVP > 80% nilai dugaan untuk semua usia, dan
VEP1> 80% nilai dugaan untuk usia < 40 tahun
> 75% nilai dugaan untuk usia 40-60 tahun
> 70% nilai dugaan untuk usia > 60 tahun
- Restriksi : KVP dibandingkan nilai dugaan
Ringan : 60% - < 80%
Sedang : 30% - < 60%
Berat : < 30%
- Obstruksi : VEP1 dibandingkan nilai dengan atau KVP
Ringan : 60% - < 75%
Sedang : 30% - < 60%
Berat : < 30%
Catatan :
Perbandingan antara VEP1 terhadap KVP atau KV lebih sensitif untik kelainan
obstruksi derajat ringan atau untuk deteksi dini dibandingkan dengan
perbandingan antara VEP terhadap nilai dugaan.

B. PEMERIKSAAN PUNCAK EKSPIRASI (APE)


BATASAN
Pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi
paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow
meter atau spirometer.

TUJUAN
Mengukur secara obyektif arus udara pada saluran napas besar

INDIKASI
- Menegakkan diagnosis asma termasuk asma kerja dan pengukuran harus
dilakukan secara serial, pagi dan sore hari setiap hari selama 2 minggu
- Pasien asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dalam keadaan stabil
untuk mendapatkan nilai dasar

148
- Evaluasi pengobatan pada pasien asma akut, PPOK dan sindroma obstruksi
pasca tuberkulosis (SOPT) yang mengalami eksaserbasi akut, sesudah
pemberian obat bronkodilator
- Evaluasi progresiviti penyakit
- Mendapatkan variasi harian arus udara pada saluran napas pasien asma dan
nilai terbaik dengan cara pemeriksaan APE serial pagi dan sore hari setiap
hari selama 2-3 minggu

KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Jarang, batuk darah, status kardiovaskuler yang tidak stabil,
pascabedah mata, aneurisma serebri, gagal jantung

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan Tindakan
a. Bahan dan alat :
- Peak flow meter (yang direkomendasikan adalah Mini Wright peak flow
meter dari Clement Clark atau spirometer)
- Mouth piece
b. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus
c. Ruangan dan fasiliti
Tidak diperlukan ruang khusus
2. Pelaksanaan Tindakan
- Sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam keadaan berdiri tegak.
- Peak Flow Meter
 Skala pengukuran pada alat harus dibuat nol.
 Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dengan cepat kemudian
letakkan alat pada mulut dan katupkan bibir sekeliling mouth piece,
udara dikeluarkan dengan tenaga maksimal (secara cepat dan kuat)
segera setelah bibir dikatupkan dan pastikan tidak ada kebocoran.
 Pemeriksaan dilakukan 3 kali dan diambil nilai yang tertinggi.

149
 Nilai yang dianggap reproduksi ialah jika perbedaan antar 2 nilai yang
didapat < 10%.
- Spirometer
 Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dengan cepat, kemudian
udara dikeluarkan dengan tenaga maksimal sehingga udara dapat
dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan bibir pasien melingkupi
sekeliling mouth piece sehingga tidak ada kebocoran.
 Nilai APE pada pemeriksaan menggunakan spirometer sekaligus bisa
didapatkan dengan perasat yang sama saat melakukan pemeriksaan
kapasiliti vital paksa (KVP) dan VEP1, sehingga syarat yang diperlukan
sama dengan pemeriksaan spirometri.

PENYULIT
Pneumotoraks, peningkatan takanan intrakranial, sinkope, sakit kepala, pusing,
nyeri dada, batuk, infeksi nosokomial, desaturasi oksigen akibat penghentian
terapi oksigen dan bronkospasme.

INTERPRETASI
- Obstruksi : < 80% dari nilai dugaan atau pada orang dewasa jika didapatkan
nilai APE < 200 L/menit
- Obstruksi akut : <80% dari nilai terbaik
- APE variasi harian : Nilai tertinggi – nilai terendah X 100%
Nilai tertinggi
Jika didapat nilai > 15%, maka dianggap obstruksi saluran napas yang ada
belum terkontrol.

C. UJI BRONKODILATOR
BATASAN
Pemeriksaan faal paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator.

TUJUAN
Menilai reversibiliti saluran napas

150
INDIKASI
- Jika hasil uji faal paru pada nilai dasar didapatkan kelainan obstruksi
- Curiga asma
- Menilai keberhasilan terapi

KONTRAINDIKASI
 Absolut : Tidak ada
 Relatif : Batuk darah, angina, aritmia jantung yang episodik, status
kardiovaskuler tidak stabil, menderita infeksi viral sekitar 2-3
minggu sebelumnya atau menderita infeksi akut

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan Tindakan
a. Bahan dan alat :
- Spirometer atau peak flow meter
- Mouth piece
- Obat agonis β-2 inhalasi dosis terukur (IDT) dengan spacer atau
menggunakan nebuliser
b. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus
c. Ruangan dan fasiliti
Tidak diperlukan ruang khusus
2. Pelaksanaan Tindakan
- Dijelaskan tujuan, manfaat dan prosedur pemeriksaan dan diperagakan
perasat yang akan dilaksanakan.
- Dilakukan pemeriksaan VEP1 atau APE sebanyak 3 kali dan diambil nilai
terbaik.
- Kemudian ke dalam spacer dimasukkan obat bronkodilator sebanyak 1
semprot atau langsung 8 semprot.
- Lima belas menit kemudian dilakukan pengukuran kembali VEP1 atau
APE sebanyak 3 kali dan diambil nilai terbaik.
Hitung derajat reversibiliti dengan rumus :

151
VEP1atau APE pascabronkodilator – VEP1 atau APE prabonkodilator X 100%
VEP1 atau APE prabonkodilator
PENYULIT
Palpitasi, takikardi, gangguan irama jantung.

INTERPRETASI
Kenaikan VEP1 atau APE setelah pemberian bronkodilator >20% atau 200 ml
memperlihatkan obstruksi saluran napas bersifat reversibel.

152
TERAPI INHALASI

BATASAN
Pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara inhalasi.

TUJUAN
 Mengatasi bronkospasme
 Mengencerkan sputum
 Menurunkan hipereaktiviti bronkus

INDIKASI
 Asma
 PPOK
 SOPT
 Fibrosis kistik
 Bronkiektasis
 Keadaaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket

KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Alergi terhadap bahan / obat tersebut

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
Penguapan (nebulizer) dengan cara :
 Ultrasonik
 Kompresi (kompresor atau oksigen)
b. Pasien
Dapat dilakukan dalam posisi duduk, berdiri atau tidur (untuk pasien yang
dirawat).
c. Ruangan :

153
Tidak diperlukan ruangan khusus.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pemakaian nebulizer (Penguap)
- Buka tutup tabung obat, masukan cairan obat ke dalam alat penguap
sesuai dosis yang ditentukan. Dosis obat bronkodilator susp. 1 cc
ditambah dengan NaCl 0,9 % / aquades 1 cc, jika ultrasonik nebulizer
dilarutkan dengan 50 cc NaCl 0,9 % / Aquades). Dapat ditambahkan juga
obat golongan mukolitik/ekspetoran sebanyak dosis obat bonkodilator.
- Gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan tombol
“on” pada nebulizer, uap yang keluar dihirup perlahan – lahan dan dalam,
inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai obat habis.

Pemakaian inhaler aerosol


- Inhaler dikocok lebih dahulu agar obat homogen, lalu tutupnya dibuka.
- Inhaler dipegang tegak, kemudian dilakukan ekspirasi maksimal pelan-
pelan.
- Mulut inhaler diletakkan diantara kedua bibir, lalu katupkan kedua bibir
dan lakukan inspirasi pelan-pelan. Pada waktu yang sama kanester
ditekan untuk mengeluarkan obat tersebut dan penarikan napas
diteruskan sedalam-dalamnya.
- Tahan napas selama 10 detik atau hitungan 10 kali.
- Prosedur dapat diulangi setelah 30 detik – 1 menit kemudian tergantung
dosis.

Pemakaian turbuhaler
- Putar dan lepas penutup turbuhaler.
- Pegang turbuhaler dengan tangan kiri dan menghadap atas lalu dengan
tangan kanan putar grip kearah kanan sejauh mungkin kemudian putar
kembali ke posisi semula sampai terdengar suara klik.
- Hembuskan napas maksimal di luar turbuhaler.
- Letakkan mouth piece di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak
ada kebocoran kemudian tarik napas dengan tenang sekuat dan sedalam
mungkin. Sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbuhaler dari
mulut dan pasang kembali tutupnya.

154
PENYULIT
 Kandidiasis
 Disfonia
 Tremor

INTERPRETASI
 Bronkospasme berkurang atau menghilang
 Dahak berkurang

155
ASPIRASI CAIRAN PLEURA

BATASAN
Tindakan memasukkan jarum untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.

TUJUAN
» Diagnostik
 Membuktikan ada tidaknya cairan di rongga pleura
 Mengambil bahan pemeriksaan mikroorganisme dan sitologi
» Terapeutik
 Mengeluarkan cairan untuk mengatasi keluhan
 Tindakan awal (punksi percobaan) sebelum pemasangan WSD

INDIKASI
 Efusi pleura

KONTRAINDIKASI
» Absolut :
Tidak ada
» Relatif :
 Keadaan umum buruk, kecuali punksi pleura dengan tujuan terapeutik
 Infeksi kulit yang luas di daerah punksi
 Kelainan hemostasis (perpanjangan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan lebih dari dua kali harga normal).

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
- Stetoskop - Sarung tangan steril
- Spuit 5 cc dan 50 cc - Duk lubang
- Blood set - Lidokain 2%
- Alkohol 70% - Betadin

156
- Kasa steril & plester - Three way stopcock
b. Pasien
 Foto toraks PA/lateral terbaru
 Posisi penderita menghadap sandaran kursi dengan lengan di atas
sandaran kursi, bila perlu diganjal dengan bantal
c. Ruangan
Sebaiknya tindakan dilakukan di ruang tindakan.
2. Pelaksanaan Tindakan
 Pasien dipersiapkan dengan posisi duduk atau setengah duduk, sisi yang
sakit menghadap dokter yang akan melakukan punksi.
 Siapkan alat – alat pada tempat yang mudah dijangkau dokter.
 Beri tanda (dengan spidol atau pulpen) daerah yang akan di punksi
berdasarkan pemeriksaan fisik (daerah yang paling redup pada perkusi dan
vesikuler melemah pada auskultasi) dan bantuan foto toraks/ USG. Tempat
insersi jarum adalah di bawah batas redup pada perkusi, pada ruang
interkosta di tepi atas kosta sesuai lokasi cairan, pada linea aksilaris
anterior/linea midaksilaris/aksilaris posterior.
 Desinfeksi daerah yang telah diberi tanda dengan cara memutar kasa yang
diberi betadin, kemudian diulangi dengan alkohol 70% dari titik pusat tanda,
memutar dan melebar ke arah luar, pasang duk steril dengan lubang pada
tempat yang akan diaspirasi.
 Anestesi daerah yang telah ditandai, dengan lidokain 2% dimulai dari
subkutis, lalu tegak lurus ke arah pleura (lakukan tepat di daerah sela iga),
keluarkan lidokain perlahan hingga terasa jarum menembus pleura.
Pastikan tidak ada perdarahan.
 Jika jarum telah menembus ke rongga pleura, kemudian dilakukan aspirasi
beberapa cairan pleura.
 Bila jumlah cairan yang dibutuhkan untuk diagnostik telah cukup, tarik
jarum dengan cepat dengan arah tegak lurus pada saat ekspirasi dan
bekas luka tusukan segera ditutup dengan kasa betadin, tetapi jika
bertujuan terapeutik maka pada lokasi yang sama dapat segera dilakukan
pengeluaran cairan / udara dengan teknik aspirasi sebagai berikut :
» Dengan bantuan tree way stopcock / jarum pipa dengan stopkran.

157
Pasang jarum ukuran 18 pada sisi 1 dari stopkran, selang infus set pada
sisi 2 (untuk pembuangan) dan spuit 50 cc pada sisi 3 (untuk aspirasi).
Teknik :
a. Tusukkan jarum melalui ruang interkosta dengan posisi kran
menghubungkan rongga pleura dan spuit, sedangkan hubungan
dengan selang pembuangan terputus. Setelah jarum mencapai
rongga pleura dilakukan aspirasi sampai spuit terisi penuh.
b. Kemudian posisi kran diubah sehingga arah ke rongga pleura
tertutup dan terjadi hubungan antara spuit dengan selang
pembuangan cairan pleura.
c. Kran kembali diputar ke posisi (a), dilakukan aspirasi sampai spuit
terisi penuh, kran diputar ke posisi (b) dan cairan pleura dibuang.
Prosedur ini dilakukan berulang sampai aspirasi selesai dan
selanjutnya jarum dapat dicabut.
d. Evakuasi cairan maksimal 1000 cc atau apabila ada keluhan batuk
hebat, sesak atau syok maka evakuasi harus dihentikan.
e. Setelah selesai tindakan, di evaluasi apakah ada komplikasi
pneumotoraks atau tidak. Kalau ada lihat protap pneumotoraks.

PENYULIT/KOMPLIKASI
 Perdarahan, terjadi bila jarum melukai arteri atau vena interkostalis
 Nyeri, terjadi jika jarum melukai nervus interkostalis
 Hidropneumotoraks / pneumotoraks / emboli udara, terjadi bila udara masuk
melalui jarum pada waktu punksi
 Edema paru, terjadi bila pengosongan rongga pleura dilakukan sangat cepat
 Emfisema subkutis, sering terjadi pada pasien dengan elastisiti kulit yang
longgar terutama pada orang tua
 Empiema atau infeksi sekunder, terjadi bila tindakan dilakukan tanpa
mengindahkan prinsip sterilitas
 Syok

INTERPRETASI
 Makroskopis cairan : santokrom, serosantokrom, serohemoragis, hemoragis,
pus.

158
 Jenis cairan :
 Transudat :
Uji Rivalta (-), analisis : protein < 3 gr/dl, leukosit < 1000 sel/ml, glukosa =
glukosa serum, LDH sama atau sedikit lebih tinggi dibanding LDH serum.
 Eksudat :
Uji Rivalta (+), analisis : rasio kandungan cairan pleura dibanding serum
untuk protein > 0,5 dan LDH > 0,6 serta perbandingan antara LDH cairan
pleura dengan batas angka normal adalah > 2/3.

159
Efusi Pleura

Mikroskopis Jenis Cairan

Santokrom, Transudat Eksudat


serosantokrom, Uji Rivalta uji (-) Uji Rivalta uji (+)
serohemoragis,
hemoragis, pus

Penyakit sistemik Mikroorganisme Sitologi

BTA (+) BTA (-) Sel ganas (-) Sel ganas (+)

Curiga Tumor paru


Pleuritis Pleuritis keganasan atau
TB TB/non TB metastasis
tumor di paru

Teruskan
prosedur
tindakan
lain
160
PEMASANGAN WSD (WATER SEALED DRAINAGE)

BATASAN
Pemasangan kateter toraks merupakan prosedur drainase udara atau cairan
dalam kavum pleura dengan pemasangan toraks drain melalui sela antar iga ke
dalam kavum pleura.

TUJUAN
 Pengeluaran udara dan atau cairan dari rongga pleura
 Masukkan obat ke dalam rongga pleura

INDIKASI
 Pneumotoraks : pneumotoraks tension, pneumotoraks totalis, pneumotoraks
parsial dengan kolaps paru lebih dari 20%, pneumotoraks simtomatis,
pneumotoraks bilateral.
 Hematotoraks
 Hidropneumotoraks
 Efusi pleura ganas
 Rencana tindakan pleurodesis
 Empiema
 Kilotorak
 Pasca torakotomi

KONTRAINDIKASI
» Absolut :-
» Relatif : Perlekatan pleura yang luas
Hemotoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan /
darah
Kelainan faal hemostasis

161
PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
 Trokar dan kateter toraks dengan nomor yang disesuaikan dengan
bahan yang akan dialirkan (contoh : untuk udara no 18-20, untuk pus
22-24)
 Kasa steril
 Plester
 Alkohol 70% dan betadin
 Spuit 5 ml 1-2 buah
 Lidokain solusio injeksi untuk anestesi lokal 2-4 ampul
 Botol WSD
 1 meja steril berisi : 1 set alat bedah minor
 Duk lubang steril
b. Pasien
 Persetujuan penderita atau keluarga untuk melakukan tindakan
 Foto toraks PA dan lateral terbaru
c. Ruang dan fasiliti
Sebaiknya dilakukan di ruang tindakan.
2. Pelaksanaan tindakan
 Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan
disandarkan pada kemiringan 30 - 60, tangan sisi paru yang sakit
diangkat ke atas kepala.
 Lakukan tindakan antiseptik menggunakan betadin dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar kearah luar, pasang
duk steril dengan lubang pada tempat dimana akan dilakukan insersi
kateter. Insersi dilakukan pada ruang antar iga IV atau V, anterior dari mid
axillary line atau ruang antar iga II anterior midclavicular line atau sesuai
dengan hasil pemeriksaan fisik.
 Lakukan anestesi lokal pada daerah insersi lapis demi lapis dari kulit hingga
pleura perietalis menggunakan lidokain 2% jangan lupa lakukan aspirasi
sebelum mengeluarkan obat suntik pada tiap lapisan. Langsung lakukan
punksi percobaan menggunakan semprit anestesi tersebut. Jika tidak

162
ditemukan cairan atau udara, lokasi insersi dapat diubah. Penyuntikan pada
daerah interkosta ini hendaknya menghindari daerah subkosta.
 Sebelum insersi dimulai, panjang kateter yang akan masuk ke rongga
pleura diperkirakan terlebih dahulu.
 Lakukan insisi pada kulit memanjang sejajar sela iga ± 2 cm lalu
diperdalam secara tumpul sampai ke pleura parietalis.
 Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter dengan menggunakan
benang sutera ukuran 0 atau 1-0.
 Satu tangan mendorong trocar dan tangan lainnya menfiksir trocar untuk
membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trocar masuk
ke dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trocar ditutup dengan ibu
jari. Kateter yang sudah di klem pada ujung distalnya di insersi secara
cepat melalui trocar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke
anteroapikal pada pneumotoraks dan posterobasal pada cairan pleura /
empiema. Trocar dilepaskan dari dinding dada. Kateter diklem diantara
dinding dada dan trocar. Setelah trocar ditarik, hubungkan kateter dengan
selang dan masukkan ujung selang ke dalam botol WSD yang telah diberi
larutan betadin yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% atau continous
suction dan pastikan ujung selang terendam serta perhatikan undulasi.
 Bila pemasangan tidak memakai trocar, dilakukan dengan memasukkan
langsung kateter dengan klem atau kateter dengan trocar disposable.
 Fiksasi kateter dengan jahitan matras yang disimpulkan secara surgeon
knot (ikatan berputar ganda). Selanjutnya ujung bebas jahitan matras ini
dilingkarkan secara berulang pada kateter sambil sekali-kali dibuat simpul
surgeon knot.
 Lalu tutup dengan kasa steril bentuk ‘Y’ yang telah diberi betadin dan
fiksasi ke dinding dada dengan plester lebar.

PENYULIT
 Empisema subkutis
 Infeksi lokal, empiema, osteomielitis
 Kerusakan jaringan paru dan organ visceral abdominal
 Perdarahan lokal akibat laserasi a. interkostalis
 Syok neurogenik, edema paru dan hipotensi

163
 Penempatan kateter pada posisi yang salah
 Alergi terhadap bahan anestesi
 Kontusio paru karena hisapan kontinyu
 Distress pernapasan akibat hisapan kontinyu pada pneumotoraks dengan
bronkopleural fistel yang besar.

INTERPRETASI
Terlihat undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan / darah atau pus
yang dialirkan atau terlihat gelembung udara pada botol WSD.

164
PLEURODESIS

BATASAN
Tindakan untuk melekatkan pleura parietalis dan visceralis dengan instilasi bahan
sklerosan.

INDIKASI
 Pneumotoraks berulang
 Efusi pleura ganas

KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Kelainan faal hemostasis (sesuai dengan kontraindikasi
pemasangan kateter toraks)

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat
 Bahan sklerosan : Tetrasiklin 1000 mg atau bleomisin 40 mg / 5 FU /
talk steril/betadine/ doksisiklin 10mg/kgBB
 Lidokain 2% 5 ampul
 Spuit 50 cc
 NaCl 0,9%
 Klem
b. Pasien
Foto toraks terakhir dan paru sudah mengembang sempurna.
2. Pelaksanaan Tindakan
 Posisi pasien duduk
 Siapkan O2
 Desinfeksi kulit sekitar kateter dengan povidone iodine 10% dilanjutkan
alkohol 70%. Instilasi lidokain 2% 5 ampul melalui selang WSD, kemudian
pasien diminta mengubah posisi tubuh dengan cara miring ke kanan, kiri,

165
telentang, tengkurap selama ± 5 menit agar obat merata ke seluruh
permukaan pleura.
 Masukkan Tetrasiklin HCl 20 mg/kgBB diencerkan dengan larutan garam
fisiologis 50 cc, diinstilasikan lagi ke dalam kavum pleura untuk membilas
sisa obat yang terdapat dalam kateter.
 Jika dengan menggunakan betadine, larutan pleurodesis terdiri dari
povidone iodine 10% 20 ml dan NaCl 0,9% 80 cc.
 Pasien diubah – ubah posisinya, dengan cara miring ke kanan, kiri,
telentang, tengkurap, trendelenburg, masing-masing posisi 5 menit, klem
toraks drain selama ± 2 jam.
 Setelah 2 jam, klem dilepas, kateter toraks dihubungkan dengan WSD dan
penghisap kontinyu, tekanan - 20 cmH20.
 Observasi efek samping.
 Pada pneumotoraks, kateter dilepas jika paru sudah mengembang
sempurna dan tidak ada kebocoran udara.
 Pada efusi pleura kateter dilepas bila produksi cairan kurang dari 150
ml/hari.

PENYULIT
Syok neurogenik, infeksi sekunder, nyeri pleuritik, febris.

INTERPRETASI
 Paru tetap mengembang
 Efusi pleura berkurang atau minimal

166
ASPIRASI JARUM TRANSTORAKAL/BIOPSI
TRANSTORAKAL

BATASAN
Suatu prosedur diagnostik pengambilan spesimen dengan menggunakan jarum
halus secara transtorakal, dengan atau tanpa tuntunan USG/ CT- Scan.

INDIKASI
 Tumor paru
 Tumor mediastinum
 Keradangan

KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif :
1. Penderita yang beresiko tinggi timbulnya penyulit :
 Emfisema paru dengan faal paru obstruksi atau restriksi berat
 Telah dilakukan pneumektomi pada paru kontralateral
 Hipertensi pulmonal berat
 Gagal jantung
 Kelainan faal hemostasis
2. Lesi yang bila ditusuk dapat menimbulkan bahaya
 Lesi vaskuler

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
 Jarum lumbal ukuran 25 atau 23
 Spuit 20 cc 1 buah
 Gelas obyek
 Wadah berisi alkohol 96% dengan volume yang cukup untuk merendam
gelas obyek
 Kapas alkohol, kasa steril dan betadin

167
b. Pasien :
Tidak perlu persiapan khusus.
c. Ruang dan fasiliti
Sebaiknya di ruang tindakan (atau di ruang USG/ CT Scan).
2. Pelaksanaan Tindakan
 Menandatangani surat persetujuan tindakan.
 Penderita dibaringkan di atas meja tindakan.
 Menentukan lokasi yang akan ditusuk berdasarkan pemeriksaan fisik tanpa
atau dengan tuntunan USG atau CT-Scan toraks.
 Disinfeksi kulit pada daerah yang akan dibiopsi dengan povidone iodine
10% diikuti alkohol 70%.
 Pasang duk steril.
 Infiltrasikan lidokain 2% 1-2 ml di tempat biopsi, intrakutan, subkutan,
sampai mencapai pleura parietalis.
 Tusukkan jarum spinal ukuran 25 gauge vertikal sampai mencapai lesi.
 Stilet diambil, jarum dihubungkan dengan spuit 20 cc, penghisap ditarik
dengan kuat, jarum digerakkan turun naik sepanjang 0,5-1 cm beberapa
kali. Penghisap dikembalikan ke posisi semula secara perlahan-lahan,
jarum dicabut.
 Bahan biopsi yang telah diaspirasi segera disemprotkan pada gelas obyek
dan dibuat sediaan apus, kemudian lakukan fiksasi dengan merendam
gelas obyek tersebut pada alkohol 96% atau citospray.
 Pengambilan bahan dapat diulang hingga diperkirakan didapat bahan yang
representatif.
 Kirim bahan pemeriksaan ke laboratorium dengan mencantumkan identitas
pasien, diagnosis kerja dan lokasi pengambilan bahan.
 Awasi perdarahan dan komplikasi pneumotoraks.

Paska Biopsi
Untuk penderita rawat inap, dilakukan observasi di ruangan terhadap
kemungkinan komplikasi akibat tindakan. Untuk penderita rawat jalan, observasi
terhadap kemungkinan komplikasi dilakukan di ruang tunggu OK selama 2 jam.
Jika tidak ada komplikasi penderita diijinkan pulang dengan nasehat untuk segera
kembali jika timbul sesak napas.

168
PENYULIT
 Pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan
 Batuk darah
 Emboli udara
 Perdarahan, syok neurogenik dan infeksi
 Penyebaran sel ganas

169
BIOPSI JARUM HALUS

BATASAN
Suatu prosedur diagnostik dengan menggunakan jarum halus pada lesi superfisial
dengan atau tanpa aspirasi.

TUJUAN
Mengambil bahan pemeriksaan sitologi.

INDIKASI
Pembesaran kelenjar getah bening yang dicurigai disebabkan oleh penyakit
infeksi maupun oleh keganasan.

KONTRAINDIKASI
» Absolut : Tidak ada
» Relatif : Gangguan faal hemostasis

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
 Jarum ukuran 25 G 1 buah
 Spuit 20 cc 1 buah
 Gelas obyek
 Wadah berisi alkohol 96% dengan volume yang cukup untuk merendam
gelas obyek
 Kapas alkohol dan betadine
 Kasa steril
b. Pasien
 Tidak perlu persiapan khusus
 Diterangkan tindakan yang akan dilakukan dan inform consent tertulis
c. Ruang dan fasiliti
Sebaiknya di ruang tindakan.

170
2. Pelaksanaan Tindakan
 Lakukan tindakan antiseptik pada kulit di atas kelenjar atau massa dan
sekitarnya dengan gerakan memutar ke arah luar.
 Kelenjar atau massa difiksasi dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
kemudian jarum ditusukkan ke dalam kelenjar hingga terasa seperti
daerah berpasir.
 Jarum digerakkan maju mundur beberapa kali di dalam kelenjar secara
perlahan dengan sudut dan kedalaman yang berbeda.
 Jarum dicabut dan pasang pada semprit 20 cc yang telah berisi udara.
 Segera semprotkan bahan pemeriksaan pada gelas obyek dan buat
sediaan apus kemudian lakukan fiksasi dengan merendam gelas obyek
pada alkohol 96%.
 Pengambilan bahan dapat diulang hingga didapatkan bahan yang
representatif.
 Kirim bahan ke laboratorium patologi anatomi dengan mencantumkan
identitas pasien, diagnosis kerja dan lokasi pengambilan bahan.

PENYULIT
Perdarahan, syok neurogenik, dan infeksi.

INTERPRETASI
Didapatkan massa seperti pasir putih atau kekuningan seperti lemak pada gelas
obyek.

171
ANALISIS GAS DARAH ARTERI (AGDA / ASTRUP)

BATASAN
Analisis kadar gas dalam darah arteri.

TUJUAN
 Mengetahui tekanan parsial gas dalam darah arteri
 Mengetahui status buffer / penyangga tubuh

INDIKASI
 Curiga terdapat kelainan pH, pO2 dan pCO2
 Serangan akut pada penyakit paru obstruksif, seperti asma, PPOK dan
sindrom obstruksi paska tuberkulosis (SOPT)
 Penderita gagal napas
 Penderita dengan gangguan pernapasan yang dirawat di ICU
 Penderita dengan kelainan obstruksi derajat sedang dan berat

KONTRAINDIKASI
» Absulot : Tidak ada
» Relatif : Kelainan faal hemostatis

PROSEDUR TINDAKAN
1. Persiapan
a. Bahan dan alat :
 Kapas alkohol
 Kasa steril
 Heparin 1000 USP unit/ml sebanyak 0,5 ml
 Spuit 2,5 ml atau 5 ml 1 buah
b. Pasien :
 Sebaiknya pasien dalam keadaan santai, duduk nyaman dengan posisi
½ berbaring selama  10 menit
 Saat pemeriksaan pasien tidak boleh menahan napas, menangis atau
hiperventilasi karena cemas oleh karena dapat mempengaruhi hasil

172
c. Ruang dan fasiliti
Tidak diperlukan ruang khusus.
2. Pelaksanaan Tindakan
 Hisap heparin 0,5 ml menggunakan semprit yang akan digunakan hingga
seluruh dinding dalam spuit tersebut basah, kemudian keluarkan seluruh
heparin tersebut maka akan tersisa heparin dengan volume sekitar 0,14 ml.
 Lokasi pengambilan darah arteri yang dianjurkan adalah a. radialis atau a.
brakialis jika tidak dapat dilakukan pada daerah tersebut maka pilihan terakhir
adalah a. fermoralis.
 Setelah dilakukan tindakan antiseptik menggunakan kapas alkohol maka
jarum ditusukan langsung ke arteri dengan membentuk sudut sekecil mungkin
dan maksimal 45. Tekanan darah arteri sendiri akan terhisap dengan
sendirinya ke dalam semprit, kecuali pada pasien dalam keadaan syok maka
katup spuit harus ditarik untuk mengisap darah.
 Setelah jumlah darah yang dibutuhkan telah cukup maka jarum dicabut.
 Jika terdapat gelembung udara maka segera keluarkan gelembung tersebut
dan ujung jarum di pasang penutup menggunakan gabus atau karet.
 Gulirkan dalam kedua telapak tangan spuit berisi darah tersebut agar
bercampur dengan heparin.
 Tekan daerah penusukan menggunakan kasa kering dan steril selama  3
menit, jika pasien mendapat terapi antikoagulan maka penekanan dapat
dilakukan selama 15-20 menit jika diperlukan maka dapat dilakukan
pemasangan bebat.
 Jika bahan pemeriksaan tidak segera dianalisis maka bahan tersebut harus
disimpan dalam wadah berisi air dan es.

PENYULIT
Hematoma, emboli udara atau bekuan darah, arterispasme, perdarahan dan
infeksi.

173
INTERPRETASI
 Normal : - pH : 7,35 – 7,45
- PaCO2 : 35 – 45 mm/Hg
- PaO2 : 80 – 100 mmHg
- PaO2 yang dapat ditoleransi berdasarkan usia :
 60 tahun > 80 mmHg
 70 tahun > 70 mmHg
 80 tahun > 60 mmHg
 90 tahun > 50 mmHg
 Bayi baru lahir 40-80 mmHg
1. Alkalemia : pH > 7,50
2. Asidemi : pH < 7,30
3. Gagal ventilasi / asidosis respiratorik : PaCO2 > 50 mmHg
4. Hiperventilasi alveolar / Alkalosis respiratorik : PaCO 2 < 30 mmHg
5. Hipoksemi pada anak/dewasa < 80 mmHg

Catatan :
Pada formulir permintaan pemeriksaan atau laporan hasil pemeriksaan
dicantumkan ; aktiviti pasien jika tidak istirahat, FiO 2 atau flow O2, setting ventilator
jika menggunakan ventilasi mekanik, suhu tubuh, waktu pengambilan dan waktu
analisis dilakukan (tanggal dan jam) dan lokasi pengambilan bahan.

Referensi :
1. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan. Bagian Pulmonologi FK UI.
2001.
2. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. 2010

174
175

Anda mungkin juga menyukai