Disusun Oleh:
Eka Oktaviani
NIM : 71 2018 034
Pembimbing
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Ma
najemen Anestesi Pada Operasi Gastrektomi” sebagai salah satu tugas
individu di SMF Anestesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
1. dr. Rizky Novianti Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ca Gaster................................................................................................2
2.1.1 Definisi ..........................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi .................................................................................2
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko.............................................................3
2.1.4 Patofisiologi...................................................................................4
2.1.5 Klasifikasi......................................................................................4
2.1.6 Manifestasi Klinis..........................................................................6
2.1.7 Diagnosis.......................................................................................6
2.1.8 Tatalaksana....................................................................................9
2.1.9 Prognosis........................................................................................11
2.2 Manajemen Anestesi Pada Operasi Osteosarcoma ...............................13
2.2.1 Manajemen Anestesi .....................................................................13
2.2.2 Pertimbangan Anestesi .................................................................16
2.2.3 Pemeliharaan Anestesi...................................................................16
2.2.4 Anelgesia Post-Operatif.................................................................19
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................21
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................27
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................30
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Osteosarcoma
2.1.1 Definisi
Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu
keganasan tersering pada anak-anak dan usia dewasa muda. Insidensi
osteosarkoma memiliki sifat bimodal yaitu dengan usia tersering pada anak-
anak dan dewasa muda serta usia tua di atas 65 tahun serta lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada wanita.3,6
2.1.2 Epidemiologi
Insidensi neoplasma tulang bila dibandingkan dengan neoplasma
jaringan lain adalah jarang, akan tetapi osteosarkoma merupakan tumor
ganas primer tulang yang paling sering ditemukan (48,8%) diluar mieloma
multipel. Di Amerika Serikat insiden pada usia kurang dari 20 tahun adalah
4.8 kasus per satu juta populasi. Insiden dari osteosarkoma konvensional
paling tinggi pada usia 10-20 tahun, Setidaknya 75% dari kasus osteosar
koma adalah osteosarkoma konvensional. Observasi ini berhubungan dengan
periode maksimal dari pertumbuhan skeletal. Namun terdapat juga insiden
osteosarkoma sekunder yang rendah pada usia 60 tahun, yang biasanya
berhubungan dengan penyakit paget.3,6,7
Kebanyakan osteosarkoma varian juga menunjukkan distribusi usia
yang sama dengan osteosarkoma konvensional, terkecuali osteosarkoma
intraosseous low-grade, gnathic, dan parosteal yang menunjukkan insiden
tinggi pada usia dekade ketiga. Osteosarkoma konvensional muncul pada
semua ras dan etnis, tetapi lebih sering pada afrika amerika daripada
kaukasian. Osteosarkoma konvensional lebih sering terjadi pada pria, dengan
rasio 3:2 terhadap wanita. Perbedaaan ini dikarenakan periode pertumbuhan
skeletal yang lebih lama pada pria.3,6,8,9
Osteosarkoma muncul terutama pada daerah metafisis tulang panjang
dengan rasio pertumbuhan yang cepat meskipun tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi pada semua tulang. Predileksi tersering pada
daerah lutut yaitu distal femur, proksimal tibia, proksimal humerus, namun a
2
da juga yang bermanifestasi di daerah pelvis walau hanya 5%. Meskipun
demikian, osteosarcoma dan jenis tumor tulang panggul lainnya
menghadirkan tantangan besar dalam onkologi ortopedi.10 Massa ini
biasanya muncul terlambat dan ukurannya relatif besar dengan ekstensi yang
cepat ke otot gluteal. Dalam beberapa kasus yang melibatkan osteosarkoma r
egio panggul atau sakrum yang terletak di pusat, reseksi lengkap tidak
dimungkinkan. Kontrol lokal juga sulit dicapai dan memiliki hasil yang
buruk.11
3
2. Virus: Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-Src yang
merupakan proto-onkogen, virus FBJ yang mengandung proto-
onkogen c-Fos yang menyebabkan kurang responsif terhadap
kemoterapi.
3. Radiasi, dihubungkan dengan sarcoma sekunder pada orang yang
pernah mendapatkan radiasi untuk terapi kanker.
4. Penyakit lain: Paget’s disease, osteomielitis kronis, osteochondroma,
poliostotik displasia fibrosis, eksostosis herediter multipel dll.
5. Genetik: Sindroma Li-Fraumeni, Retinoblastoma, sindrom Werner,
Rothmund-Thomson, Bloom
2.1.4 Patofisiologi
Salah satu perubahan genetik yang terjadi pada osteosarcoma adalah
hilangnya heterozigositas dari gen (RB) retinoblastoma. Produk dari gen ini
adalah protein yang bertindak untuk menekan pertumbuhan sel dengan DNA
yang rusak (supresor tumor). Hilangnya fungsi gen ini memungkinkan sel
untuk tumbuh tidak diatur, yang mengarah ke pembentukan kanker tertentu,
termasuk osteosarcoma. Kehadiran mutasi ini telah dikaitkan dengan tingkat
kelangsungan hidup menurun pada pasien dengan osteosarcoma.. Mutasi
dari gen p53 yaitu supresor tumor, juga terkait dengan osteosarcoma, dan
beberapa inaktivasi gabungan Rb dan p53 ditemukan dalam osteosarcoma.
Faktor pertumbuhan epidermal reseptor manusia (HER-2 atau ERB-2)
merupakan perubahan molekuler yang berhubungan dengan osteosarcoma.7,1
4
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari osteosarkoma merupakan hal yang kompleks, namun
75% dari osteosarkoma masuk kedalam kategori “klasik” atau konvensional,
yang termasuk osteosarkoma osteoblastic, chondroblastic, dan fibroblastic.
Sedangkan sisanya sebesar 25% diklasifikasikan sebagai “varian”
berdasarkan: 3,8
(1) karakteristik klinik seperti pada kasus osteosarkoma rahang,
osteosarkoma postradiasi, atau osteosarkoma paget;
4
(2) karakteristik morfologi, seperti pada osteosarkoma telangiectatic,
osteosarkoma small-cell, atau osteosarkoma epithelioid; dan
(3) lokasi, seperti pada osteosarkoma parosteal dan periosteal.
Osteosarkoma konvensional muncul paling sering pada metafisis tulang
panjang, terutama pada distal femur (52%), proximal tibia (20%) dimana
pertumbuhan tulang tinggi. Tempat lainnya yang juga sering adalah pada
metafisis humerus proximal (9%). Penyakit ini biasanya menyebar dari
metafisis ke diafisis atau epifisis.15 Kebanyakan dari osteosarkoma varian
juga menunjukkan predileksi yang sama, terkecuali lesi gnathic pada
mandibula dan maksila, lesi intrakortikal, lesi periosteal dan osteosarkoma
sekunder karena penyakit paget yang biasanya muncul pada pelvis dan
femur proximal.3,6,8,9,16
Stadium konvensional yang biasa digunakan untuk tumor keras lainnya
tidak tepat untuk digunakan pada tumor skeletal, karena tumor ini sangat
jarang untuk bermetastase ke kelenjar limfa. Pada tahun 1980 Enneking
memperkenalkan sistem stadium berdasarkan derajat, penyebaran
ekstrakompartemen, dan ada tidaknya metastase. Sistem ini dapat digunakan
pada semua tumor muskuloskeletal (tumor tulang dan jaringan lunak).
Komponen utama dari sistem stadium berdasarkan derajat histologi (derajat
tinggi atau rendah), lokasi anatomi dari tumor (intrakompartemen dan
ekstrakompartemen), dan adanya metastase.17
5
Untuk menjadi intra kompartemen, osteosarkoma harus berada diantara
periosteum. Lesi tersebut mempunyai derajat IIA pada sistem Enneking. Jika
osteosarkoma telah menyebar keluar dari periosteum maka derajatnya
menjadi IIB. Untuk kepentingan secara praktis maka pasien digolongkan
menjadi dua yaitu pasien tanpa metastase (localized osteosarkoma) dan
pasien dengan metastase (metastatic osteosarkoma).18
2.1.7 Diagnosis
Dari anamnesis dapat ditemukan tanda dan gejala, antara lain nyeri
lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun
lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap. Pada pemeriksaan fisik
biasanya terbatas pada tempat utama tumor. Massa yang dapat dipalpasi
dapat ada atau tidak, dapat nyeri tekan dan hangat pada palpasi, meskipun
gejala ini sukar dibedakan dengan osteomielitis. Pada inspeksi dapat terlihat
peningkatan vaskularitas pada kulit. Penurunan range of motion pada sendi
yang sakit dapat diperhatikan pada pemeriksaan fisik. Lymphadenopathy
merupakan hal yang sangat jarang terjadi.19
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
dan radiologi. Kebanyakan pemeriksaan laboratorium yang digunakan
berhubungan dengan penggunaan kemoterapi. Sangat penting untuk
mengetahui fungsi organ sebelum pemberian kemoterapi dan untuk
6
memonitor fungsi organ setelah kemoterapi. Pemeriksaan darah untuk
kepentingan prognosa adalah lactic dehydrogenase (LDH) dan alkaline
phosphatase (ALP). Pasien dengan peningkatan nilai ALP pada saat
diagnosis mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai metastase
pada paru. Pada pasien tanpa metastase, yang mempunyai peningkatan nilai
LDH kurang dapat menyembuh bila dibandingkan dengan pasien yang
mempunyai nilai LDH normal.20
Pemeriksaan X-ray merupakan modalitas utama yang digunakan untuk
investigasi. Ketika dicurigai adanya osteosarkoma, MRI digunakan untuk
menentukan distribusi tumor pada tulang dan penyebaran pada jaringan
lunak sekitarnya. CT kurang sensitf bila dibandingkan dengan MRI untuk
evaluasi lokal dari tumor namun dapat digunakan untuk menentukan
metastase pada paru-paru. Isotopic bone scanning secara umum digunakan
untuk mendeteksi metastase pada tulang atau tumor synchronous, tetapi MRI
seluruh tubuh dapat menggantikan bone scan.8,9
1. X-Ray
Foto polos merupakan hal yang esensial dalam evaluasi pertama dari
lesi tulang karena hasilnya dapat memprediksi diagnosis dan penentuan
pemeriksaan lebih jauh yang tepat. Gambaran foto polos dapat bervariasi,
tetapi kebanyakan menunjukkan campuran antara area litik dan sklerotik.11,12
Lesi terlihat agresif, dapat berupa moth eaten dengan tepi tidak jelas
atau kadangkala terdapat lubang kortikal multipel yang kecil. Setelah
kemoterapi, tulang disekelilingnya dapat membentuk tepi dengan batas jelas
disekitar tumor. Penyebaran pada jaringan lunak sering terlihat sebagai
massa jaringan lunak. Dekat dengan persendian, penyebaran ini biasanya
sulit dibedakan dengan efusi. Area seperti awan karena sclerosis
dikarenakan produksi osteoid yang maligna dan kalsifikasi dapat terlihat
pada massa. Reaksi periosteal seringkali terdapat ketika tumor telah
menembus kortek. Berbagai spektrum perubahan dapat muncul, termasuk
Codman triangles dan multilaminated, spiculated, dan reaksi sunburst, yang
semuanya mengindikasikan proses yang agresif.8,9,11,13
2. CT-Scan
7
CT dapat berguna secara lokal ketika gambaran foto polos
membingungkan, terutama pada area dengan anatomi yang kompleks
(contohnya pada perubahan di mandibula dan maksila pada osteosarkoma
gnathic dan pada pelvis yang berhubungan dengan osteosarkoma sekunder).
Gambaran cross-sectional memberikan gambaran yang lebih jelas dari
destruksi tulang dan penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya daripada
foto polos. CT dapat memperlihatkan matriks mineralisasi dalam jumlah
kecil yang tidak terlihat pada gambaran foto polos. CT terutama sangat
membantu ketika perubahan periosteal pada tulang pipih sulit untuk
diinterpretasikan. CT jarang digunakan untuk evaluasi tumor pada tulang
panjang, namun merupakan modalitas yang sangat berguna untuk
menentukan metastasis pada paru.7
CT sangat berguna dalam evaluasi berbagai osteosarkoma varian. Pada
osteosarkoma telangiectatic dapat memperlihatkan fluid level, dan jika
digunakan bersama kontras dapat membedakan dengan lesi pada aneurysmal
bone cyst dimana setelah kontras diberikan maka akan terlihat peningkatan
gambaran nodular disekitar ruang kistik.7,8
3. MRI
MRI merupakan modalitas untuk mengevaluasi penyebaran lokal dari
tumor karena kemampuan yang baik dalam interpretasi sumsum tulang dan
jaringan lunak. MRI merupakan tehnik pencitraan yang paling akurat untuk
menentuan stadium dari osteosarkoma dan membantu dalam menentukan
manajemen pembedahan yang tepat. Untuk tujuan stadium dari tumor,
penilaian hubungan antara tumor dan kompartemen pada tempat asalnya
merupakan hal yang penting. Tulang, sendi dan jaringan lunak yang tertutupi
fascia merupakan bagian dari kompartemen.6,7,8
4. Bone Scintigraphy
Osteosarcoma secara umum menunjukkan peningkatan ambilan dari
radioisotop pada bone scan yang menggunakan technetium-99m methylene
diphosphonate (MDP). Bone scan sangat berguna untuk mengeksklusikan
penyakit multifokal. skip lesion dan metastase paru-paru dapat juga
dideteksi, namun skip lesion paling konsisten jika menggunakan MRI.
8
Karena osteosarkoma menunjukkan peningkatan ambilan dari radioisotop
maka bone scan bersifat sensitif namun tidak spesifik. 6,7,8
2.1.8 Tatalaksana
Preoperatif kemoterapi diikuti dengan pembedahan limb-sparing (dapat
dilakukan pada 80% pasien) dan diikuti dengan postoperatif kemoterapi
merupakan standar manajemen. Osteosarkoma merupakan tumor yang
radioresisten, sehingga radioterapi tidak mempunyai peranan dalam
manajemen rutin.21-23
a) Kemoterapi
Sebelum penggunaan kemoterapi (dimulai tahun 1970),
osteosarkoma ditangani secara primer hanya dengan pembedahan
(biasanya amputasi). Meskipun dapat mengontrol tumor secara lokal
dengan baik, lebih dari 80% pasien menderita rekurensi tumor yang
biasanya berada pada paru-paru. Tingginya tingkat rekurensi
mengindikasikan bahwa pada saat diagnosis pasien mempunyai
mikrometastase. Oleh karena hal tersebut maka penggunaan adjuvant
kemoterapi sangat penting pada penanganan pasien dengan
osteosarkoma.3
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi dapat mempermudah melakuan prosedur operasi
penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan
survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.22
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy.22
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
9
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan
ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik
dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi.22
b) Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama osteosarkoma melalui prinsip
reseksi secara en bloc dengan mempertahankan fungsi semaksimal
mungkin. Protokol penatalaksanaan osteosarkoma meliputi pemberian
kemoterapi 3 siklus neoadjuvan terlebih dahulu. Jika setelah neoadjuvan
ukuran tumor mengecil tanpa disertai keterlibatan struktur neuro-
vaskular utama (sesuai indikasi LSS), yang ditunjang oleh pemeriksaan
radiologi (restaging), dilanjutkan dengan pembedahan LSS. Sebaliknya,
bila terjadi pertumbuhan tumor yang progresif disertai keterlibatan
struktur neuro-vaskuler utama atau ekstensi jaringan yang sangat luas,
amputasi menjadi pilihan utama pembedahan. Pasca pembedahan,
pasien dipersiapkan untuk peberian kemoterapi adjuvant 3 siklus dengan
regimen yang sama (bila hasil Huvos minimal 3); Bila hasil Huvos
kurang dari 2, regimen kemoterapinya harus diganti dengan obat anti
kanker lainnya (second line).23
Tujuan utama dari reseksi adalah keselamatan pasien. Reseksi harus
sampai batas bebas tumor. Semua pasien dengan osteosarkoma harus
menjalani pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor primer.
Tipe dari pembedahan yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor
yang harus dievaluasi dari pasien secara individual. Batas radikal,
didefinisikan sebagai pengangkatan seluruh kompartemen yang terlibat
(tulang, sendi, otot) biasanya tidak diperlukan. Hasil dari kombinasi
kemoterapi dengan reseksi terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan
amputasi radikal tanpa terapi adjuvant, dengan tingkat 5-year survival
rates sebesar 50-70% dan sebesar 20% pada penanganan dengan hanya
radikal amputasi.3,23
Fraktur patologis, dengan kontaminasi semua kompartemen dapat
mengeksklusikan penggunaan terapi pembedahan limb salvage, namun
jika dapat dilakukan pembedahan dengan reseksi batas bebas tumor
10
maka pembedahan limb salvage dapat dilakukan. Pada beberapa
keadaan amputasi mungkin merupakan pilihan terapi, namun lebih dari
80% pasien dengan osteosarkoma pada eksrimitas dapat ditangani
dengan pembedahan limb salvage dan tidak membutuhkan amputasi.23
Kompleksitas anatomi panggul dan luasnya pertumbuhan tumor
membuat sulit untuk mengontrol pengobatan pasien dengan neoplasma
panggul. Sarkoma panggul mewakili 5 sampai 10% dari semua tumor
tulang ganas; yang paling umum adalah kondrosarkoma, sarkoma
Ewing, dan osteosarkoma.24-27
Prosedur ini merupakan tantangan dalam manajemen bedah radikal
neoplasma dan pekerjaan interdisipliner. Perdarahan, risiko kerusakan
neurologis, kondisi metabolisme pasien, manajemen anestesi, nyeri
pasca operasi, dan dampak fisik dari radioterapi atau pengobatan
kemoterapi sebelumnya merupakan elemen dasar pengobatan; Prosedur
ini memiliki angka kematian pasca operasi 6,4% dan kelangsungan
hidup 5 tahun 24,3% ± 5,6, tergantung pada garis keturunan tumor dan
setiap kasus.24,25
Hemipelvektomi ini disebut reseksi bagian panggul ipsilateral, yang
melibatkan reseksi sendi sakroiliaka ke cabang iliopubik dan
ischiopubic. Ini dianggap sebagai prosedur pembedahan yang jarang dan
ada subdivisi reseksi sesuai dengan area yang diangkat; dapat berupa
fragmen salah satu komponen panggul (hemipelvektomi internal) atau
seluruh segmen dan sebagian pinggul (hemipelvektomi eksternal) (5).
Ini umumnya dilakukan pada patologi neoplastik ganas, meskipun
kadang-kadang diperlukan pada lesi metastatik, trauma berat atau
infeksius.27,28
2.1.9 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis termasuk lokasi dan besar dari
tumor, adanya metastase, reseksi yang adekuat, dan derajat nekrosis yang
dinilai setelah kemoterapi.8
a) Lokasi tumor
11
Lokasi tumor mempunyai faktor prognostik yang signifikan pada
tumor yang terlokalisasi. Diantara tumor yang berada pada ekstrimitas,
lokasi yang lebih distal mempunyai nilai prognosa yang lebih baik
daripada tumor yang berlokasi lebih proksimal. Tumor yang berada pada
tulang belakang mempunyai resiko yang paling besar untuk progresifitas
dan kematian. Osteosarkoma yang berada pada pelvis sekitar 7-9% dari
semua osteosarkoma, dengan tingkat survival sebesar 20% – 47%.8
b) Ukuran tumor
Tumor yang berukuran besar menunjukkan prognosa yang lebih
buruk dibandingkan tumor yang lebih kecil. Ukuran tumor dihitung
berdasarkan ukuran paling panjang yang dapat terukur berdasarkan dari
dimensi area cross-sectional.3,8
c) Metastase
Pasien dengan tumor yang terlokalisasi mempunyai prognosa yang
lebih baik daripada yang mempunyai metastase. Sekitar 20% pasien akan
mempunyai metastase pada saat didiagnosa, dengan paru-paru merupakan
tempat tersering lokasi metastase. Prognosa pasien dengan metastase
bergantung pada lokasi metastase, jumlah metastase, dan resectability dari
metasstase. Pasien yang menjalani pengangkatan lengkap dari tumor
primer dan metastase setelah kemoterapi mungkin dapat bertahan dalam
jangka panjang, meskipun secara keseluruhan prediksi bebas tumor hanya
sebesar 20% sampai 30% untuk pasien dengan metastase saat diagnosis.8
Prognosis juga terlihat lebih baik pada pasien dengan nodul pulmoner
yang sedikit dan unilateral, bila dibandingkan dengan nodul yang bilateral,
namun bagaimanapun juga adanya nodul yang terdeteksi bukan berarti
metastase. Derajat nekrosis dari tumor setelah kemoterapi tetap
merupakan faktor prognostik. Pasien dengan skip metastase dan
osteosarkoma multifokal terlihat mempunyai prognosa yang lebih buruk.8
d) Reseksi tumor
Kemampuan untuk direseksi dari tumor mempunyai faktor prognosa
karena osteosarkoma relatif resisten terhadap radioterapi. Reseksi yang
lengkap dari tumor sampai batas bebas tumor penting untuk kesembuhan.8
BAB III
20
LAPORAN KASUS
3.1 Identifikasi
Nama : An. C
No RM : 30.69.42
Tanggal lahir : 11 Mei 2014
Umur : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal MRS : 5 Oktober 2020
Leher:
Dalam batas normal
Thoraks:
Cor:
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis teraba normal di ICS V MCL Sinistra
P: batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra
A: BJ I dan II normal
Pulmo:
I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak
P: Fremitus raba normal
P: Sonor
23
A: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- Wheezing -/-
Abdomen:
I : Cembung
A: bising usus (+) normal
P: redup
P: soepel
Ekstremitas:
Look : Pada regio gluteus dekstra terdapat massa sebesar buah melon, v
enektasi (-)
Feel : Terdapat massa dengan diameter 11 cm, teraba keras, terfiksir, n
yeri tekan (+)
Move : ROM terbatas
26
BAB IV
PEMBAHASAN
28
BAB V
KESIMPULAN
1. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu regional anestesi dengan menggunakan opi
oid
4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan regional anestesi pada
operasi osteosarcoma regio panggul.
5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
29
DAFTAR PUSTAKA
World health organization classification of tumors of soft tissue and bone. 1st
ed. Lyon: IARC Press. 2012; p. 264-85.
30
13. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Annals of oncology. 2010;21:320-5
14. Frassica, Frank J, Frassica, Deborah A, McCarthy, Edward F. Orthopaedic
pathology. In: Miller, Mark D, editors. Review of orthopaedics. 4th ed.
Philadelphia: Saunder; 2014.p.440-58.
15. Tsuji Y, Kusuzaki K, Kanemitsu K, et al. Calcaneal osteosarcoma associated
with werner syndrome. The Journal of Bone and Joint Surgery 2010;82:9-12.
16. Katagiri H, Takahashi M, Takagi T, Nakagawa M. Osteosarcoma of the talus
treated successfully with limb-sparing surgery. A case report. J Bone Joint
Surg Am 2018;90:869-74.
17. Scully SP, Ghert MA, Zurakowski D, Thompson RC, Gebhardt MC.
Pathologic fracture in osteosa- rcoma: prognostic importance and treatment
implications. J Bone Joint Surg Am 2012;84:49-57.
18. Bacci G, Scully SP, Ghert MA, et al. Pathologic fracture in osteosarcoma. J
Bone Joint Surg Am 2013;85:1848-9.
19. Palmerini E, Staals EL, Ferrari S, et al. Nonresectable multiple lung
metastases of high grade osteosarcoma of the humerus: stable after twelve
years. A case report. J Bone Joint Surg Am 2014;90:2240-4.
20. Lewis VO, Gebhardt MC, Springfield DS. Parosteal osteosarcoma of the
posterior aspect of the distal part of the femur. J Bone Joint Surg Am 20
10;82:1083.
21. Koyama J, Ito J, Hayashi T. Periosteal osteosarcoma of the mandibule.
Dentomaxillofascial Radiology 2012;31:63-4
22. Imran H, Enders F, Krailo M, et al. Effect of time to resumption of
chemotherapy after definitive surgery on prognosis for non-metastatic
osteosarcoma. J Bone Joint Surg Am 2015;91:604-12.
23. Simon MA, Aschliman MA, Thomas N, Mankin HJ. Limb-salvage treatment
versus amputation for osteosarcoma of the distal end of the femur. J Bone
Joint Surg Am 2005; 87: 2822. Accesed on Oct 8th. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4782023/pdf/main.pdf
24. Monlar R. Anaesthesia for hemipelvectomy--a series of 49 cases. Anaesth
Intensive Care. 2007;35:536-543. Accessed on Oct 8th. Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0310057X0703500412
25. Stoliarov VI. Interiliac-abdominal amputation in sarcoma of the bones and
soft tissues of the pelvic girdle. Vestn Khir Im I I Grek. 1983;131:60- 64.
31
26. Pring ME. Chondrosarcoma of the pelvis: a review of sixty-four cases. J Bone
Joint Surg Am. 2011;83:1630-1642.
27. Mavrogenis A. Pelvic resections. Orthopedics. 2012;35:e232-e243.
28. Mayerson JL. Pelvic resection: current concepts. J Am Acad Orthop Surg.
2014;22:214-222.
29. Jones RM. Anaesthetic considerations in patients with malignancy. In:
Keneally JP, Jones MR, editors. Proceedings of the 11th world Congress of
Anaesthesiologists, April 1996, Sydney, Australia. Rosebery, UK: Bridge
Printery Pty Ltd; 2006:212–21.
30. Mihalo RM, Cagle CK, Cronau LH Jr et al. Preanesthetic evaluation of the
cancer patient. Cancer Bul. 2005;47:8–12.
31. American Society of Anesthesiologists Task Force on Pain Management.
Cancer Pain Section: Practice guidelines for cancer pain management.
Anesthesiology. 2006;84: 1243–57.
32. Yaster M, Maxwell LG. Pediatric regional anesthesia. Anesthesiology. 20
09;67:324–38.
33. Cata J. Review article blood loss and massive transfusion in patients
undergoing major oncological surgery: what do we know? Anderson Cancer
Center. 2012.
34. Malawer MM. Postoperative infusional continuous regional analgesia. A
technique for relief of postoperative pain following major extremity surgery.
Clin Orthop Relat Res. 2011;(266):227-237.
35. Snyder GL. Effect of anaesthetic technique and other perioperative factors on
cancer recurrence. Br J Anaesth. 2010;105:106-115.
36. Avi A. Weinbroum, Nissim Marouani, Eric Lang, David Niv and Valery
Rudick. Anesthesia and Perioperative Pain Management for Limb-sparing
Surgery. Musculosceletal Surgery: Melawer Chapter 35; 2001; 1-568.
Available from: http://www.sarcoma.org/publications/mcs/ch35.pdf
37. Kaye AD. Effect of opiates, anesthetic techniques, and other perioperative
factors on surgical cancer patients. Ochsner J. 2014;14:216-228.
38. Monk CR, Coates DP, Prys-Roberts C et al. Haemodynamic effects of a
prolonged infusion of propofol as a supplement to nitrous oxide anaesthesia.
Br J Anaesth. 2007;59:954–60.
32
39. Reves JG, Fragen RJ, Vinik HR, Greenblatt DJ. Midazolam: pharmacology
and uses. Anesthesiology. 2015;62:310–24.
40. Jones RM. Desflurane and sevoflurane: inhalation anaesthetics for this
decade? Br J Anaesth. 2000;65:527–36
41. Hobbhahn J, Funk W. Sevoflurane in pediatric anesthesia. Anaesthetist. 20
06;45(Suppl. 1):S22–7.
42. Flacke JW, Bloor BC, Kripe BJ et al. Comparison of morphine, meperidine,
fentanyl and sufentanyl in balanced anesthesia: a double-blind study. Anesth
Analg. 2015;64:897–910.
43. Flordal PA, Berggvist D, Burmark US et al. Risk factors for major
thromboembolism and bleeding tendency after elective general surgical
operations. The Fragmin Multicentre Study Group. Eur J Surg. 20
06;162:783–89.
44. Dunn CJ, Sorkin EM. Dalteparin sodium. A review of its pharmacology and
clinical use in the prevention of thromboembolic disorders. Drugs. 200
6;52:276–305.
45. Vandermeulen EP, Van Aken H, Vermylen J. Anticoagulants and spinal-
epidural anesthesia. Anesth Analg. 2004;79:1165–77.
46. Edgington TL, Muco E, Maani CV. Sevoflurane. [Updated 2020 Jun 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-.Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534781/
47. Folino TB, Muco E, Safadi AO, et al. Propofol. [Updated 2020 Aug 13]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430884/
33