Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI


GASTREKTOMI

Disusun Oleh:
Eka Oktaviani
NIM : 71 2018 034

Pembimbing

dr. Rizky Novianti Dani, Sp. An


 

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:


MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI
GASTREKTOMI

Dipersiapkan dan disusun oleh


Eka Oktaviani, S.Ked.
712018034

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari.

Palembang, Oktober 2020


Dosen Pembimbing

dr. Rizky Novianti Dani, Sp. An.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Ma
najemen Anestesi Pada Operasi Gastrektomi” sebagai salah satu tugas
individu di SMF Anestesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.

Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,


bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:

1. dr. Rizky Novianti Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Oktober 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ca Gaster................................................................................................2
2.1.1 Definisi ..........................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi .................................................................................2
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko.............................................................3
2.1.4 Patofisiologi...................................................................................4
2.1.5 Klasifikasi......................................................................................4
2.1.6 Manifestasi Klinis..........................................................................6
2.1.7 Diagnosis.......................................................................................6
2.1.8 Tatalaksana....................................................................................9
2.1.9 Prognosis........................................................................................11
2.2 Manajemen Anestesi Pada Operasi Osteosarcoma ...............................13
2.2.1 Manajemen Anestesi .....................................................................13
2.2.2 Pertimbangan Anestesi .................................................................16
2.2.3 Pemeliharaan Anestesi...................................................................16
2.2.4 Anelgesia Post-Operatif.................................................................19
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................21
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................27
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................30

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan ilmu dibidang kedokteran khusus sebagai


praktik dokter yang bertujuan untuk pemberian anestesi, perawatan pada pasien
sebelum, selama dan setelah operasi atau pembedahan, dan memberi bantuan
hidup dasar pada pasien gawat darurat.1
Setiap pembedahan akan menjalani prosedur anestesi.1 Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat
pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh,
keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional terbagi atas
anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi epidural dan blok perifer.2
Osteosarcoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah suatu neoplasma
ganas yang berasal dari sel primitif (poorly differentiated cells) di daerah metafisis
tulang panjang pada anak-anak.3 Disebut osteogenik karena perkembangannya
berasal dari seri osteoblastik sel mesensim primitif. Osteosarcoma merupakan
neoplasma primer dari tulang yang tersering setelah myeloma multipel.3-5
Osteosarcoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang di mana
lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) yang sangat aktif; yaitu pada
distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal humerus dan pelvis. Pada
orang tua umur di atas 50 tahun, osteosarkoma bisa terjadi akibat degenerasi ganas
dari paget’s disease, dengan prognosis yang sangat jelek.4
Osteosarcoma bisa menimbulkan metastase secara hematogen, paling
sering ke paru atau pada tulang lainnya dan didapatkan sekitar 15%-20% telah
mengalami metastase pada saat diagnosis ditegakkan. Metastase secara limfogen
hampir tidak terjadi.5 Penatalaksanaan pada kasus osteosarcoma pun hanya dapat d
ilakukan dengan pembedahan.
Oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai osteosarcoma, cara
mendiagnosis hingga manejemen anestesi pada pasien yang mengalami operasi os
teosarcoma pada regio panggul.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osteosarcoma
2.1.1 Definisi
Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu
keganasan tersering pada anak-anak dan usia dewasa muda. Insidensi
osteosarkoma memiliki sifat bimodal yaitu dengan usia tersering pada anak-
anak dan dewasa muda serta usia tua di atas 65 tahun serta lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada wanita.3,6

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi neoplasma tulang bila dibandingkan dengan neoplasma
jaringan lain adalah jarang, akan tetapi osteosarkoma merupakan tumor
ganas primer tulang yang paling sering ditemukan (48,8%) diluar mieloma
multipel. Di Amerika Serikat insiden pada usia kurang dari 20 tahun adalah
4.8 kasus per satu juta populasi. Insiden dari osteosarkoma konvensional
paling tinggi pada usia 10-20 tahun, Setidaknya 75% dari kasus osteosar
koma adalah osteosarkoma konvensional. Observasi ini berhubungan dengan
periode maksimal dari pertumbuhan skeletal. Namun terdapat juga insiden
osteosarkoma sekunder yang rendah pada usia 60 tahun, yang biasanya
berhubungan dengan penyakit paget.3,6,7 
Kebanyakan osteosarkoma varian juga menunjukkan distribusi usia
yang sama dengan osteosarkoma konvensional, terkecuali osteosarkoma
intraosseous low-grade, gnathic, dan parosteal yang menunjukkan insiden
tinggi pada usia dekade ketiga. Osteosarkoma konvensional muncul pada
semua ras dan etnis, tetapi lebih sering pada afrika amerika daripada
kaukasian. Osteosarkoma konvensional lebih sering terjadi pada pria, dengan
rasio 3:2 terhadap wanita. Perbedaaan ini dikarenakan periode pertumbuhan
skeletal yang lebih lama pada pria.3,6,8,9
Osteosarkoma muncul terutama pada daerah metafisis tulang panjang
dengan rasio pertumbuhan yang cepat meskipun tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi pada semua tulang. Predileksi tersering pada
daerah lutut yaitu distal femur, proksimal tibia, proksimal humerus, namun a
2
da juga yang bermanifestasi di daerah pelvis walau hanya 5%. Meskipun
demikian, osteosarcoma dan jenis tumor tulang panggul lainnya
menghadirkan tantangan besar dalam onkologi ortopedi.10 Massa ini
biasanya muncul terlambat dan ukurannya relatif besar dengan ekstensi yang
cepat ke otot gluteal. Dalam beberapa kasus yang melibatkan osteosarkoma r
egio panggul atau sakrum yang terletak di pusat, reseksi lengkap tidak
dimungkinkan. Kontrol lokal juga sulit dicapai dan memiliki hasil yang
buruk.11

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab pasti dari osteosarkoma tidak diketahui, namun terdapat
berbagai faktor resiko untuk terjadinya osteosarkoma yaitu:3
a. Pertumbuhan tulang yang cepat : pertumbuhan tulang yang cepat terlihat
sebagai predisposisi osteosarkoma, seperti yang terlihat bahwa
insidennya meningkat pada saat pertumbuhan remaja. Lokasi
osteosarkoma paling sering pada metafisis, dimana area ini merupakan
area pertumbuhan dari tulang panjang. 
b. Faktor lingkungan: satu satunya faktor lingkungan yang diketahui
adalah paparan terhadap radiasi.
c. Predisposisi genetik: displasia tulang, termasuk penyakit paget,  fibrous
dysplasia, enchondromatosis, dan hereditary multiple exostoses and
retinoblastoma (germ-line form). Kombinasi dari mutasiRBgene
(germline retinoblastoma) dan terapi radiasi berhubungan dengan resiko
tinggi untuk osteosarkoma, Li-Fraumeni syndrome (germline p53
mutation), dan Rothmund-Thomson syndrome (autosomal resesif yang
berhubungan dengan defek tulang kongenital, displasia rambut dan
tulang, hypogonadism, dan katarak).
Sedangkan, menurut Fuchs dan Pritchad, osteosarkoma dapat

disebabkan oleh beberapa faktor:12,13


1. Senyawa kimia: Senyawa antrasiklin dan senyawa pengalkil, beryllium
dan methylcholanthrene merupakan senyawa yang dapat menyebabkan
perubahan genetik

3
2. Virus: Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-Src yang
merupakan proto-onkogen, virus FBJ yang mengandung proto-
onkogen c-Fos yang menyebabkan kurang responsif terhadap
kemoterapi.
3. Radiasi, dihubungkan dengan sarcoma sekunder pada orang yang
pernah mendapatkan radiasi untuk terapi kanker.
4. Penyakit lain: Paget’s disease, osteomielitis kronis, osteochondroma,
poliostotik displasia fibrosis, eksostosis herediter multipel dll.
5. Genetik: Sindroma Li-Fraumeni, Retinoblastoma, sindrom Werner,
Rothmund-Thomson, Bloom

2.1.4 Patofisiologi
Salah satu perubahan genetik yang terjadi pada osteosarcoma adalah
hilangnya heterozigositas dari gen (RB) retinoblastoma. Produk dari gen ini
adalah protein yang bertindak untuk menekan pertumbuhan sel dengan DNA
yang rusak (supresor tumor). Hilangnya fungsi gen ini memungkinkan sel
untuk tumbuh tidak diatur, yang mengarah ke pembentukan kanker tertentu,
termasuk osteosarcoma. Kehadiran mutasi ini telah dikaitkan dengan tingkat
kelangsungan hidup menurun pada pasien dengan osteosarcoma.. Mutasi
dari gen p53 yaitu supresor tumor, juga terkait dengan osteosarcoma, dan
beberapa inaktivasi gabungan Rb dan p53 ditemukan dalam osteosarcoma.
Faktor pertumbuhan epidermal reseptor manusia (HER-2 atau ERB-2)
merupakan perubahan molekuler yang berhubungan dengan osteosarcoma.7,1
4

2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari osteosarkoma merupakan hal yang kompleks, namun
75% dari osteosarkoma masuk kedalam kategori “klasik” atau konvensional,
yang termasuk osteosarkoma osteoblastic, chondroblastic, dan fibroblastic.
Sedangkan sisanya sebesar 25% diklasifikasikan sebagai “varian”
berdasarkan: 3,8
(1) karakteristik klinik seperti pada kasus osteosarkoma rahang,
osteosarkoma postradiasi, atau osteosarkoma paget;

4
(2) karakteristik morfologi, seperti pada osteosarkoma telangiectatic,
osteosarkoma small-cell, atau osteosarkoma epithelioid; dan
(3) lokasi, seperti pada osteosarkoma parosteal dan periosteal.
Osteosarkoma konvensional muncul paling sering pada metafisis tulang
panjang, terutama pada distal femur (52%), proximal tibia (20%) dimana
pertumbuhan tulang tinggi. Tempat lainnya yang juga sering adalah pada
metafisis humerus proximal (9%). Penyakit ini biasanya menyebar dari
metafisis ke diafisis atau epifisis.15 Kebanyakan dari osteosarkoma varian
juga menunjukkan predileksi yang sama, terkecuali lesi gnathic pada
mandibula dan maksila, lesi intrakortikal, lesi periosteal dan osteosarkoma
sekunder karena penyakit paget yang biasanya muncul pada pelvis dan
femur proximal.3,6,8,9,16
Stadium konvensional yang biasa digunakan untuk tumor keras lainnya
tidak tepat untuk digunakan pada tumor skeletal, karena tumor ini sangat
jarang untuk bermetastase ke kelenjar limfa. Pada tahun 1980 Enneking
memperkenalkan sistem stadium berdasarkan derajat, penyebaran
ekstrakompartemen, dan ada tidaknya metastase. Sistem ini dapat digunakan
pada semua tumor muskuloskeletal (tumor tulang dan jaringan lunak).
Komponen utama dari sistem stadium berdasarkan derajat histologi (derajat
tinggi atau rendah), lokasi anatomi dari tumor (intrakompartemen dan
ekstrakompartemen), dan adanya metastase.17

Gambar 1. Stage Sarcoma17

5
Untuk menjadi intra kompartemen, osteosarkoma harus berada diantara
periosteum. Lesi tersebut mempunyai derajat IIA pada sistem Enneking. Jika
osteosarkoma telah menyebar keluar dari periosteum maka derajatnya
menjadi IIB. Untuk kepentingan secara praktis maka pasien digolongkan
menjadi dua yaitu pasien tanpa metastase (localized osteosarkoma) dan
pasien dengan metastase (metastatic osteosarkoma).18

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gejala biasanya telah ada selama beberapa minggu atau bulan sebelum
pasien didiagnosa. Gejala yang paling sering terdapat adalah nyeri, terutama
nyeri pada saat aktifitas dan massa atau pembengkakan. Tidak jarang
terdapat riwayat trauma, meskipun peran trauma pada osteosarkoma tidaklah
jelas. Fraktur patologis sangat jarang terjadi, terkecuali pada osteosarkoma
telangiectatic yang lebih sering terjadi fraktur patologis.3,8,9
Nyeri pada ekstrimitas dapat menyebabkan kekakuan. Riwayat
pembengkakan dapat ada atau tidak, tergantung dari lokasi dan besar dari
lesi. Gejala sistemik, seperti demam atau keringat malam sangat jarang.
Penyebaran tumor pada paru-paru sangat jarang menyebabkan gejala
respiratorik dan biasanya menandakan keterlibatan paru yang luas.3,5

2.1.7 Diagnosis
Dari anamnesis dapat ditemukan tanda dan gejala, antara lain nyeri
lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun
lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap. Pada pemeriksaan fisik
biasanya terbatas pada tempat utama tumor. Massa yang dapat dipalpasi
dapat ada atau tidak, dapat nyeri tekan dan hangat pada palpasi, meskipun
gejala ini sukar dibedakan dengan osteomielitis. Pada inspeksi dapat terlihat
peningkatan vaskularitas pada kulit. Penurunan range of motion pada sendi
yang sakit dapat diperhatikan pada pemeriksaan fisik. Lymphadenopathy
merupakan hal yang sangat jarang terjadi.19
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
dan radiologi. Kebanyakan pemeriksaan laboratorium yang digunakan
berhubungan dengan penggunaan kemoterapi. Sangat penting untuk
mengetahui fungsi organ sebelum pemberian kemoterapi dan untuk

6
memonitor fungsi organ setelah kemoterapi. Pemeriksaan darah untuk
kepentingan prognosa adalah lactic dehydrogenase (LDH) dan alkaline
phosphatase (ALP). Pasien dengan peningkatan nilai ALP pada saat
diagnosis mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai metastase
pada paru. Pada pasien tanpa metastase, yang mempunyai peningkatan nilai
LDH kurang dapat menyembuh bila dibandingkan dengan pasien yang
mempunyai nilai LDH normal.20
Pemeriksaan X-ray merupakan modalitas utama yang digunakan untuk
investigasi. Ketika dicurigai adanya osteosarkoma, MRI digunakan untuk
menentukan distribusi tumor pada tulang dan penyebaran pada jaringan
lunak sekitarnya. CT kurang sensitf bila dibandingkan dengan MRI untuk
evaluasi lokal dari tumor namun dapat digunakan untuk menentukan
metastase pada paru-paru. Isotopic bone scanning secara umum digunakan
untuk mendeteksi metastase pada tulang atau tumor synchronous, tetapi MRI
seluruh tubuh dapat menggantikan bone scan.8,9
1. X-Ray
Foto polos merupakan hal yang esensial dalam evaluasi pertama dari
lesi tulang karena hasilnya dapat memprediksi diagnosis dan penentuan
pemeriksaan lebih jauh yang tepat. Gambaran foto polos dapat bervariasi,
tetapi kebanyakan menunjukkan campuran antara area litik dan sklerotik.11,12
Lesi terlihat agresif, dapat berupa moth eaten dengan tepi tidak jelas
atau kadangkala terdapat lubang kortikal multipel yang kecil. Setelah
kemoterapi, tulang disekelilingnya dapat membentuk tepi dengan batas jelas
disekitar tumor. Penyebaran pada jaringan lunak sering terlihat sebagai
massa jaringan lunak. Dekat dengan persendian, penyebaran ini biasanya
sulit dibedakan dengan efusi. Area seperti awan karena sclerosis
dikarenakan produksi osteoid yang maligna dan kalsifikasi dapat terlihat
pada massa. Reaksi periosteal seringkali terdapat ketika tumor telah
menembus kortek. Berbagai spektrum perubahan dapat muncul, termasuk
Codman triangles dan multilaminated, spiculated, dan reaksi sunburst, yang
semuanya mengindikasikan proses yang agresif.8,9,11,13

2. CT-Scan

7
CT dapat berguna secara lokal ketika gambaran foto polos
membingungkan, terutama pada area dengan anatomi yang kompleks
(contohnya pada perubahan di mandibula dan maksila pada osteosarkoma
gnathic dan pada pelvis yang berhubungan dengan osteosarkoma sekunder).
Gambaran cross-sectional memberikan gambaran yang lebih jelas dari
destruksi tulang dan penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya daripada
foto polos. CT dapat memperlihatkan matriks mineralisasi dalam jumlah
kecil yang tidak terlihat pada gambaran foto polos. CT terutama sangat
membantu ketika perubahan periosteal pada tulang pipih sulit untuk
diinterpretasikan. CT jarang digunakan untuk evaluasi tumor pada tulang
panjang, namun merupakan modalitas yang sangat berguna untuk
menentukan metastasis pada paru.7 
CT sangat berguna dalam evaluasi berbagai osteosarkoma varian. Pada
osteosarkoma telangiectatic dapat memperlihatkan fluid level, dan jika
digunakan bersama kontras dapat membedakan dengan lesi pada aneurysmal
bone cyst dimana setelah kontras diberikan maka akan terlihat peningkatan
gambaran nodular disekitar ruang kistik.7,8
3. MRI
MRI merupakan modalitas untuk mengevaluasi penyebaran lokal dari
tumor karena kemampuan yang baik dalam interpretasi sumsum tulang dan
jaringan lunak. MRI merupakan tehnik pencitraan yang paling akurat untuk
menentuan stadium dari osteosarkoma dan membantu dalam menentukan
manajemen pembedahan yang tepat. Untuk tujuan stadium dari tumor,
penilaian hubungan antara tumor dan kompartemen pada tempat asalnya
merupakan hal yang penting. Tulang, sendi dan jaringan lunak yang tertutupi
fascia merupakan bagian dari kompartemen.6,7,8
4. Bone Scintigraphy
Osteosarcoma secara umum menunjukkan peningkatan ambilan dari
radioisotop pada bone scan yang menggunakan technetium-99m methylene
diphosphonate (MDP). Bone scan sangat berguna untuk mengeksklusikan
penyakit multifokal. skip lesion dan metastase paru-paru dapat juga
dideteksi, namun skip lesion paling konsisten jika menggunakan MRI.

8
Karena osteosarkoma menunjukkan peningkatan ambilan dari radioisotop
maka bone scan bersifat sensitif namun tidak spesifik. 6,7,8

2.1.8 Tatalaksana
Preoperatif kemoterapi diikuti dengan pembedahan limb-sparing (dapat
dilakukan pada 80% pasien) dan diikuti dengan postoperatif kemoterapi
merupakan standar manajemen. Osteosarkoma merupakan tumor yang
radioresisten, sehingga radioterapi tidak mempunyai peranan dalam
manajemen rutin.21-23
a) Kemoterapi
Sebelum penggunaan kemoterapi (dimulai tahun 1970),
osteosarkoma ditangani secara primer hanya dengan pembedahan
(biasanya amputasi). Meskipun dapat mengontrol tumor secara lokal
dengan baik, lebih dari 80% pasien menderita rekurensi tumor yang
biasanya berada pada paru-paru. Tingginya tingkat rekurensi
mengindikasikan bahwa pada saat diagnosis pasien mempunyai
mikrometastase. Oleh karena hal tersebut maka penggunaan adjuvant
kemoterapi sangat penting pada penanganan pasien dengan
osteosarkoma.3 
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi dapat mempermudah melakuan prosedur operasi
penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan
survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.22
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy.22
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
9
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas dari tumor dan sekaligus masih dapat mempertahankan
ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik
dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi.22
b) Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama osteosarkoma melalui prinsip
reseksi secara en bloc dengan mempertahankan fungsi semaksimal
mungkin. Protokol penatalaksanaan osteosarkoma meliputi pemberian
kemoterapi 3 siklus neoadjuvan terlebih dahulu. Jika setelah neoadjuvan
ukuran tumor mengecil tanpa disertai keterlibatan struktur neuro-
vaskular utama (sesuai indikasi LSS), yang ditunjang oleh pemeriksaan
radiologi (restaging), dilanjutkan dengan pembedahan LSS. Sebaliknya,
bila terjadi pertumbuhan tumor yang progresif disertai keterlibatan
struktur neuro-vaskuler utama atau ekstensi jaringan yang sangat luas,
amputasi menjadi pilihan utama pembedahan. Pasca pembedahan,
pasien dipersiapkan untuk peberian kemoterapi adjuvant 3 siklus dengan
regimen yang sama (bila hasil Huvos minimal 3); Bila hasil Huvos
kurang dari 2, regimen kemoterapinya harus diganti dengan obat anti
kanker lainnya (second line).23
Tujuan utama dari reseksi adalah keselamatan pasien. Reseksi harus
sampai batas bebas tumor. Semua pasien dengan osteosarkoma harus
menjalani pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor primer.
Tipe dari pembedahan yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor
yang harus dievaluasi dari pasien secara individual. Batas radikal,
didefinisikan sebagai pengangkatan seluruh kompartemen yang terlibat
(tulang, sendi, otot) biasanya tidak diperlukan. Hasil dari kombinasi
kemoterapi dengan reseksi terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan
amputasi radikal tanpa terapi adjuvant, dengan tingkat 5-year survival
rates sebesar 50-70% dan sebesar 20% pada penanganan dengan hanya
radikal amputasi.3,23
Fraktur patologis, dengan kontaminasi semua kompartemen dapat
mengeksklusikan penggunaan terapi pembedahan limb salvage, namun
jika dapat dilakukan pembedahan dengan reseksi batas bebas tumor
10
maka pembedahan limb salvage dapat dilakukan. Pada beberapa
keadaan amputasi mungkin merupakan pilihan terapi, namun lebih dari
80% pasien dengan osteosarkoma pada eksrimitas dapat ditangani
dengan pembedahan limb salvage  dan tidak membutuhkan amputasi.23
Kompleksitas anatomi panggul dan luasnya pertumbuhan tumor
membuat sulit untuk mengontrol pengobatan pasien dengan neoplasma
panggul. Sarkoma panggul mewakili 5 sampai 10% dari semua tumor
tulang ganas; yang paling umum adalah kondrosarkoma, sarkoma
Ewing, dan osteosarkoma.24-27
Prosedur ini merupakan tantangan dalam manajemen bedah radikal
neoplasma dan pekerjaan interdisipliner. Perdarahan, risiko kerusakan
neurologis, kondisi metabolisme pasien, manajemen anestesi, nyeri
pasca operasi, dan dampak fisik dari radioterapi atau pengobatan
kemoterapi sebelumnya merupakan elemen dasar pengobatan; Prosedur
ini memiliki angka kematian pasca operasi 6,4% dan kelangsungan
hidup 5 tahun 24,3% ± 5,6, tergantung pada garis keturunan tumor dan
setiap kasus.24,25
Hemipelvektomi ini disebut reseksi bagian panggul ipsilateral, yang
melibatkan reseksi sendi sakroiliaka ke cabang iliopubik dan
ischiopubic. Ini dianggap sebagai prosedur pembedahan yang jarang dan
ada subdivisi reseksi sesuai dengan area yang diangkat; dapat berupa
fragmen salah satu komponen panggul (hemipelvektomi internal) atau
seluruh segmen dan sebagian pinggul (hemipelvektomi eksternal) (5).
Ini umumnya dilakukan pada patologi neoplastik ganas, meskipun
kadang-kadang diperlukan pada lesi metastatik, trauma berat atau
infeksius.27,28

2.1.9 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis termasuk lokasi dan besar dari
tumor, adanya metastase, reseksi yang adekuat, dan derajat nekrosis yang
dinilai setelah kemoterapi.8
a) Lokasi tumor

11
Lokasi tumor mempunyai faktor prognostik yang signifikan pada
tumor yang terlokalisasi. Diantara tumor yang berada pada ekstrimitas,
lokasi yang lebih distal mempunyai nilai prognosa yang lebih baik
daripada tumor yang berlokasi lebih proksimal. Tumor yang berada pada
tulang belakang mempunyai resiko yang paling besar untuk progresifitas
dan kematian. Osteosarkoma yang berada pada pelvis sekitar 7-9% dari
semua osteosarkoma, dengan tingkat survival sebesar 20% – 47%.8
b) Ukuran tumor
Tumor yang berukuran besar menunjukkan prognosa yang lebih
buruk dibandingkan tumor yang lebih kecil. Ukuran tumor dihitung
berdasarkan ukuran paling panjang yang dapat terukur berdasarkan dari
dimensi area cross-sectional.3,8
c) Metastase
Pasien dengan tumor yang terlokalisasi mempunyai prognosa yang
lebih baik daripada yang mempunyai metastase. Sekitar 20% pasien akan
mempunyai metastase pada saat didiagnosa, dengan paru-paru merupakan
tempat tersering lokasi metastase. Prognosa pasien dengan metastase
bergantung pada lokasi metastase, jumlah metastase, dan resectability dari
metasstase. Pasien yang menjalani pengangkatan lengkap dari tumor
primer dan metastase setelah kemoterapi mungkin dapat bertahan dalam
jangka panjang, meskipun secara keseluruhan prediksi bebas tumor hanya
sebesar 20% sampai 30% untuk pasien dengan metastase saat diagnosis.8
Prognosis juga terlihat lebih baik pada pasien dengan nodul pulmoner
yang sedikit dan unilateral, bila dibandingkan dengan nodul yang bilateral,
namun bagaimanapun juga adanya nodul yang terdeteksi bukan berarti
metastase. Derajat nekrosis dari tumor setelah kemoterapi tetap
merupakan faktor prognostik. Pasien dengan skip metastase dan
osteosarkoma multifokal terlihat mempunyai prognosa yang lebih buruk.8
d) Reseksi tumor
Kemampuan untuk direseksi dari tumor mempunyai faktor prognosa
karena osteosarkoma relatif resisten terhadap radioterapi. Reseksi yang
lengkap dari tumor sampai batas bebas tumor penting untuk kesembuhan.8

e) Nekrosis tumor setelah induksi kemoterapi


12
Kebanyakan protokol untuk osteosarkoma merupakan penggunaan
dari kemoterapi sebelum dilakukan reseksi tumor primer, atau reseksi
metastase pada pasien dengan metastase. Derajat nekrosis yang lebih besar
atau sama dengan 90% dari tumor primer setelah induksi dari kemoterapi
mempunyai prognosa yang lebih baik daripada derajat nekrosis yang
kurang dari 90%, dimana pasien ini mempunyai derajat rekurensi 2 tahun
yang lebih tinggi. Tingkat kesembuhan pasien dengan nekrosis yang
sedikit atau sama sekali tidak ada, lebih tinggi bila dibandingkan dengan
tingkat kesembuhan pasien tanpa kemoterapi.3,8

2.2 Manajemen Anestesi pada Operasi Osteosarcoma Regio Panggul


2.2.1 Manajemen Anestesi
Kompleksitas anatomi panggul dan luasnya pertumbuhan tumor
membuat sulit untuk mengontrol pengobatan pasien dengan neoplasma
panggul. Sarkoma panggul mewakili 5 sampai 10% dari semua tumor tulang
ganas; yang paling umum adalah kondrosarkoma, sarkoma Ewing, dan
osteosarkoma.24-27
Penilaian pra operasi pasien untuk anestesi dimulai dua hingga tiga
minggu sebelum tanggal operasi yang dijadwalkan. Jika memungkinkan,
pasien akan diperiksa oleh ahli anestesi, namun untuk pasien di daerah
pedesaan penilaian awal dapat dilakukan melalui konsultasi telepon.
Sementara penilaian pra operasi mencakup tinjauan sistem yang biasanya
dilakukan untuk semua jenis operasi, yang paling penting adalah
pengetahuan tentang lokasi dan patologi tumor serta jenis dan dampak dari
terapi adjuvan pra operasi.30
Pemahaman tentang jenis, lokasi dan ukuran tumor membantu ahli
anestesi menilai sejauh mana pembedahan diperlukan. Hubungan erat
dengan ahli bedah terjadi pada tahap ini untuk memastikan jenis prosedur
pembedahan yang direncanakan termasuk metode rekonstruksi panggul yang
diusulkan. Misalnya, tumor besar, membutuhkan reseksi ekstensif dengan
dekat dengan struktur vaskular akan lebih mungkin mengalami kehilangan
darah yang lebih besar, trauma jaringan yang lebih besar dan membutuhkan
dukungan pasca operasi yang intensif daripada tumor yang lebih kecil dan
13
dalam posisi bedah yang lebih baik. Tumor yang terletak di posterior
panggul lebih mungkin melibatkan diseksi rumit di sekitar pleksus
lumbosakral dan memakan waktu jauh lebih lama daripada tumor berukuran
sama yang terletak di anterior di panggul. Pembuluh darah iliaka interna
lebih mungkin menimbulkan masalah bila tumor terletak di posterior
panggul. Tumor panggul anterior yang memerlukan pembedahan di dekat
leher kandung kemih bermasalah karena pleksus vena perivesikal yang
sering berdarah berat atau terus menerus. Pemotongan tulang mengekspos
tulang yang berdarah dan dapat menjadi sumber perdarahan yang
berkelanjutan. Tumor metastasis sel ginjal luar biasa karena sangat vaskular
dan berhubungan dengan kehilangan banyak darah selama pembedahan.31
Pada pasien yang telah menerima kemoterapi atau radioterapi pra
operasi, penting untuk menilai dampak pengobatan tersebut pada fungsi
sumsum tulang. Pemeriksaan darah lengkap bisa menunjukkan anemia,
leukopenia berat, atau trombositopenia. Konsultasi dibuat dengan ahli
onkologi pasien untuk menentukan apakah gangguan hematologis akan pulih
sendiri sebelum operasi atau apakah setelah operasi.32
Prosedur hemipelvektomi ini merupakan tantangan dalam manajemen
bedah radikal neoplasma dan pekerjaan interdisipliner. Perdarahan, risiko
kerusakan neurologis, kondisi metabolisme pasien, manajemen anestesi,
nyeri pasca operasi, dan dampak fisik dari radioterapi atau pengobatan
kemoterapi sebelumnya merupakan elemen dasar pengobatan; Prosedur ini
memiliki angka kematian pasca operasi 6,4% dan kelangsungan hidup 5
tahun 24,3% ± 5,6, tergantung pada garis keturunan tumor dan setiap kasus.2
4,25

Hemipelvektomi ini disebut reseksi bagian panggul ipsilateral, yang


melibatkan reseksi sendi sakroiliaka ke cabang iliopubik dan ischiopubic.
Ini dianggap sebagai prosedur pembedahan yang jarang dan ada subdivisi
reseksi sesuai dengan area yang diangkat; dapat berupa fragmen salah satu
komponen panggul (hemipelvektomi internal) atau seluruh segmen dan
sebagian pinggul (hemipelvektomi eksternal).26 Ini umumnya dilakukan
pada patologi neoplastik ganas, meskipun kadang-kadang diperlukan pada
lesi metastatik, trauma berat atau infeksius.27,28
14
Perkembangan metastasis dijelaskan: lokal oleh kedekatan di rongga
panggul, yang menyebabkan masuk kesempatan operasi radikal organ
intrapelvis dan metastasis ke jarak dengan pengembangan hingga 25%.26
Selain itu, risiko pasca operasi dari operasi rekonstruksi panggul
ditambahkan, untuk mencoba menetapkan cara yang paling fungsional dan
mungkin untuk membuat pasien pulih, dengan kurang, keutuhan anggota
tubuh yang tidak direseksi akan direhabilitasi untuk kehidupan sehari-hari.25
Anestesi regional telah terbukti memberikan manfaat yang lebih besar
untuk jenis operasi ini, karena mengurangi penggunaan opioid, memberikan
analgesia pasca operasi, kontrol perdarahan yang lebih baik, dan jalan
napas yang paten. Kita harus mempertimbangkan infus obat intravena
seperti propofol, dexmedetomidine lebih banyak blok neuraksis yang
didukung oleh blok pleksus lumbal posterior; semua ini untuk mengontrol
semua aspek seperti hipotermia, aspirasi bronkial, imunosupresi, dan
hipovolemia.27,33
Manajemen anestesi, resusitasi, dan prosedur reseksi onkologis saat ini
telah menurunkan risiko pembedahan.25 Anestesi regional pasca bedah
berlanjut melalui penggunaan kateter saraf perifer, dengan infus terkontrol;
Telah terbukti mengurangi penggunaan opioid dalam periode segera pasca
operasi hingga 80% dari mereka yang tidak menyusup dengan cara ini. Ini
bahkan merupakan teknik yang dapat direproduksi oleh ahli bedah.34
Faktor pasien yang paling mempengaruhi kondisi umumnya adalah:
anemia dan trombositopenia, imunosupresi, gagal ginjal dan jantung. Mereka
harus dievaluasi di dan pasca operasi: harus ada ketersediaan paket globular
dan turunannya, terapi antibiotik; jika diperlukan, akses vena kaliber besar;
garis arteri; kateter vena sentral untuk penggantian, dukungan obat vasoaktif,
terutama fungsi ginjal dan miokard yang adekuat. Pasien dengan kerapuhan
hemodinamik, dengan penyakit paru dan jantung mendapat manfaat dari
pemasangan kateter balon intrapulmonal (Swan-Ganz), selain pemberian
obat vasoaktif.33-35

2.2.2 Pertimbangan Anestesi


15
Anestesi untuk hemipelvectomy menantang karena melibatkan trauma
jaringan yang luas, potensi kehilangan darah yang masif dan potensi nyeri
pasca operasi yang parah. Manajemen perioperatif membutuhkan perawatan
dari tim perawatan kesehatan yang terkoordinasi dengan baik, terarah dan
terfokus.36
Dilakukan dengan minimal pemantauan non-invasif (EKG, NIBP dan
SPO2) dimana; terdapat risiko aspirasi, dengan mempertimbangkan pasien
yang menjalani kemoterapi atau radioterapi. Jalan nafas dalam kasus anestesi
umum harus dilindungi dengan manuver Sellick, selain intubasi, oleh karena
itu telah terbukti bahwa dengan mempertimbangkan semua risiko yang sudah
ada sebelumnya, anestesi regional lebih disukai, kecuali dalam kasus syok
hipovolemik33.
Kehilangan darah: kematian akibat hemipelvektomi akibat perdarahan
masif adalah 0-8%, dengan perkiraan kehilangan 400 sampai 12.100 mL;
Dalam studi retrospektif dari 160 hemipelvektomi, 13,4 bundel globular
dilaporkan selama dan setelah dua hari pasca operasi.33,34
Kecemasan: Menekan sistem kekebalan dan menciptakan kembali
lingkungan yang subur untuk kanker; stres psikologis meningkatkan
imunosupresi dan mengganggu aktivitas sel NK. Ini berfungsi sebagai
prediktor untuk lisis sel NK, faktor rekombinan IFN-c, dan respon
proliferatif limfosit dan protein yang berbeda.34,37
Hipotermia: telah dilaporkan dalam penekanan total aktivitas sel NK;
karenanya resistensi terhadap metastasis; Ini terjadi dengan suhu lebih dari
satu jam yaitu 33.8o-35.8o.34,37
Imunoterapi: meningkatkan aktivitas sel NK, selanjutnya ditingkatkan
dengan fentanil. Itu interaksi dengan IFN dan NK yang dipengaruhi oleh
jenis pembedahan dan anestesi. Dengan pemberian IL-2 dan ketorolac itu
berpengaruh pada NK.33,37

2.2.3 Pemeliharaan Anestesi


Tidak ada kontraindikasi penggunaan obat anestesi apapun, baik
inhalasi atau intravena, pada pasien dengan sarkoma. Pasien dengan
perubahan fungsi organ mungkin menunjukkan respon abnormal yang
16
signifikan secara klinis terhadap beberapa obat, terutama yang bergantung
pada metabolisme hati atau ekskresi ginjal. Tumor besar bisa berdarah dan
membutuhkan penggantian 2-4 unit darah. Hemodilusi dapat menurunkan
tingkat kehilangan darah intraoperatif dan perlunya transfusi darah alogenik
yang kontroversial.33 Namun, hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik, terutama pada pasien dengan anemia pra operasi atau
defisiensi sistem otonom. Selama pembedahan besar yang berkepanjangan
(misalnya hemipelvektomi), efek anestesi intravena atau inhalasi yang
berkepanjangan dapat terlihat secara klinis.33
Berbagai obat dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi
pada pasien onkologi. Karakteristik umum mereka adalah kemampuan untuk
menyebabkan amnesia lengkap dan onset cepat sedasi atau hipnosis yang
dalam dan kemampuan untuk bersinergi dengan agen intravena atau inhalasi
lainnya. Propofol memiliki onset dan pemulihan yang cepat dan dapat
digunakan melalui infus. Ini juga memberikan beberapa efek antiemetik dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada anestesi umum lainnya.
Namun, kehati-hatian harus diberikan ketika propofol diberikan kepada
pasien yang hipovolemik, hemodinamik tidak stabil, atau yang menderita
disfungsi hati.38 Midazolam, benzodiazepine yang larut dalam air, sering
digunakan selama induksi dan pemeliharaan anestesi untuk prosedur jangka
pendek, intervensi yang memerlukan anestesi perawatan yang dipantau, atau
sesi kemoterapi pada anak-anak. Depresi pernafasan sentral berikutnya tidak
sedalam opioid atau hipnotik setelahnya, meskipun pemulihannya agak lama.
39

Selama 10 tahun terakhir isoflurane hampir sepenuhnya menggantikan


halotan. Isoflurane sering digunakan untuk pemeliharaan anestesi pada orang
dewasa dan anak-anak. Sevoflurane adalah agen inhalasi baru yang hampir
tidak menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas, bahkan ketika diberikan
konsentrasi alveolar minimal (MAC) yang tinggi.40 Ini adalah agen yang
sangat baik untuk induksi inhalasi murni pada anak-anak, serta untuk
pemeliharaan pada pasien dari segala usia . Mual dan muntah lebih jarang
pada pasien yang telah menerima sevofluran dibandingkan pada mereka yang
menerima desflurane atau isoflurane.41 Karena cepat dan lancar baik selama
17
induksi dan pemulihan, sevoflurane adalah pilihan yang baik untuk sesi
kemoterapi atau radioterapi singkat pada anak-anak, terutama ketika jalur
intra vena tidak tersedia sebelum intervensi. Namun, agitasi dapat terjadi
setelah pemberian agen ini, terutama pada populasi pediatrik, dan perhatian
khusus harus diberikan pada pasien yang telah menerima sevoflurane.
Selama periode postanesthesia segera, midazolam dosis rendah dapat
mengontrol agitasi. Desflurane, agen inhalasi dengan onset cepat, sangat
berguna untuk operasi rawat jalan. Tidak dianjurkan untuk induksi pada
populasi anak-anak karena hubungannya dengan insiden batuk dan spasme
laring yang tinggi. Relaksan otot digunakan dalam kombinasi dengan yang
lain obat bius narkoba. Obat kerja pendek baru memiliki lebih sedikit efek
samping dan memberikan pengelolaan yang lebih baik dan kemungkinan
penghentian anestesi umum yang cepat. Ini termasuk atracurium,
vecuronium, mivacurium, dan rocuronium.41
Opioid, termasuk fentanil, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil, sering
digunakan selama anestesi. Sufentanil adalah salah satu obat yang paling
banyak digunakan karena waktu onsetnya yang cepat dan waktu paruh
eliminasi yang singkat.42 Sufentanil tujuh sampai sepuluh kali lebih kuat
daripada fentanil. Karena tidak menumpuk di dalam tubuh, sufentanyl adalah
obat pilihan dalam prosedur pembedahan berkepanjangan. Remifentanyl
adalah opioid baru yang bekerja sangat pendek yang dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase. Waktu paruhnya sekitar 10 menit. Alfentanyl adalah
opioid kerja pendek dengan onset cepat. Durasi kerjanya dua sampai tiga kali
lebih pendek dari pada fentanil; Namun, sifat ini juga membatasi kemanjuran
analgesia pasca operasi obat. Secara farmakokinetika, alfentanyl adalah salah
satu dari sedikit opioid yang diindikasikan untuk operasi siang hari.42
Pasien onkologi lebih rentan dibandingkan pasien lain untuk
mengembangkan emboli paru dan trombosis regional pada periode pasca
operasi. Hal ini karena faktor prokoagulasi yang bersirkulasi, seperti puing-
puing tumor dan fragmennya yang terbalik, atau pembedahan yang
berkepanjangan.43 Antikoagulasi profilaksis dengan heparin dosis rendah
atau berat molekul rendah, dapat mencegah komplikasi ini. 44 Rasio risiko
terhadap manfaat melakukan blok saraf pada pasien antikoagulan sebagian
18
masih bisa diperdebatkan. Infus anestesi lokal dan / atau opioid secara terus
menerus dalam kateter epidural yang telah dimasukkan sebelumnya tidak
dikontraindikasikan oleh pengobatan antikoagulan; namun, dengan adanya
tes koagulasi yang berubah, penyisipan atau pelepasan kateter tidak dapat
dilakukan.45

2.2.4 Analgesia Post-Operatif36


Mempertahankan layanan kontrol nyeri akut membutuhkan dedikasi
dari anggota tim manajemen nyeri. Mereka harus ada siang dan malam, dan
segera menanggapi segala jenis permintaan atau panggilan dari perawat, ahli
bedah, pasien, atau keluarga. Setiap rumah sakit yang merawat pasien kanker
harus memiliki tim yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan layanan
pengendalian rasa sakit. Kelompok ini termasuk ahli anestesi dan intensivis,
ahli bedah, perawat, psikolog, pekerja sosial, dan sukarelawan. Semua
pasien yang mengalami masalah nyeri diperkenalkan ke tim. Dengan dokter
yang merawat mereka memilih protokol terbaik untuk pasien tertentu.
Meskipun keputusan ini dibuat secara terpisah dari jenis pembedahan,
keputusan ini harus mempertimbangkannya.
Perawatan nyeri pasca operasi yang berhasil tergantung pada beberapa
faktor. Pertama, tim bedah harus mendiskusikan rencana tersebut secara
detail dengan anggota keluarga terpilih yang harus dilatih untuk
melaksanakan rencana tersebut. Keluarga harus mematuhi rencana
pengendalian rasa sakit dan yakin itu akan melayani pasien secara optimal.
Kedua, orang yang objektif seperti perawat yang merawat harus sering
melakukan penilaian nyeri selama periode segera pasca operasi. Ketiga,
pasien harus melaporkan rasa sakitnya secara objektif, tanpa melebih-
lebihkan atau meremehkan tingkat keparahannya. Setiap efek samping juga
harus dilaporkan. Efek samping mungkin merupakan tanda pertama
kebutuhan untuk hentikan cara pengobatan, ubah dosis, atau ganti ke obat
lain. Perawat harus secara teratur mencatat tanda-tanda vital pasien
(misalnya detak jantung, tekanan darah, laju pernapasan, dan oksimetri nadi
oksigen) dan memastikan tanda-tanda tersebut tetap dalam batas yang dapat
diterima pada pasien tertentu. Perawat dan seluruh tim harus bersiap untuk
19
mengambil tindakan untuk menghentikan pengobatan nyeri bila perlu, serta
untuk memulai tindakan resusitasi dan meminta bantuan dalam keadaan
darurat.
Penting untuk meresepkan dosis yang tepat dan menunjukkan cara
pemberian setiap obat, serta menghitung dosis secara akurat. Pasien onkologi
biasanya memerlukan serangkaian prosedur berulang setelah operasi. Tujuan
dari modalitas pengendalian rasa sakit adalah untuk mengurangi, atau
bahkan menghilangkan, rasa sakit yang terkait dengan pengobatan. Semakin
patuh pasien dengan sistem pengendalian rasa sakit, dan semakin tepat dosis
dan jenis obatnya, semakin kuat pasien dalam menjalani protokol terapeutik
tambahan

BAB III
20
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
Nama : An. C
No RM : 30.69.42
Tanggal lahir : 11 Mei 2014
Umur : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal MRS : 5 Oktober 2020

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis) tanggal 5 Oktober 2020


3.2.1 Keluhan Utama
Adanya benjolan/massa yang membesar di panggulnya sebelah kanan

3.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang ke UGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan muncul
massa yang membesar di panggulnya sejak 2 tahun sebelum masuk. Massa
tumbuh perlahan tanpa rasa sakit sampai 4 bulan yang lalu, saat rasa sakit
dimulai. Sebelum sakitnya timbul, ia dirawat dengan pengobatan alternatif
(herbal), namun tidak ada perbaikan dan massanya tetap membesar. Setelah
sakitnya timbul, dia dibawa ke rumah sakit umum setempat dan kemudian
dirujuk ke RSUD Palembang Bari. Selain nyeri dan massa yang membesar di pan
ggul, orangtuanya juga mengeluhkan pasien tidak mampu berdiri sejak sekitar 3
minggu yang lalu akibat rasa sakit itu sendiri.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat alergi makanan disangkal
2. Riwayat asma disangkal
3. Riwayat operasi disangkal
4. Riwayat alergi obat disangkal
5. Riwayat hipertensi disangkal
6. Riwayat diabetes mellitus disangkal
21
7. Riwayat anestesi disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat alergi makanan disangkal
2. Riwayat asma disangkal
3. Riwayat operasi disangkal
4. Riwayat alergi obat disangkal
5. Riwayat hipertensi disangkal
6. Riwayat diabetes mellitus disangkal
7. Riwayat anestesi disangkal

3.2.5 Riwayat Pengobatan


Tidak ada

3.3 Keadaan Pra Anestesi


Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
BB : 23 kg
TB : 90 cm
TD : 120/80 mmHg
Pernafasan : 24x/menit
Nadi : 92x/menit
Suhu : 36,8℃
Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 24x/menit
- Penilaian LEMON
L (Look) : trauma fasialis (-)
E (Evaluation) : Buka mulut. Jarak antar gigi incisivus >3jari
Jarak hyoid mental >3 jari
Jarak thyromental >2 jari
M (mallampati Score): 1
22
O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : mobilitas maksimal
Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat, tidak pucat, kering.
- Heart Rate (HR) 100 kali/menit, tegangan volume kuat dan cepat.
- Capillarity refill time (CRT) < 2 detik
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E:4 V:5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti

3.4 Pemeriksaan Khusus

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


Hidung : tidak ada secret/bau/perdarahan
Telinga : tidak ada secret/bau/perdarahan
Mulut : bibir tidak sianosis, tidak ada pigmentasi, mukosa tidak pucat.

Leher:
Dalam batas normal
Thoraks:
Cor:
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis teraba normal di ICS V MCL Sinistra
P: batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra
A: BJ I dan II normal
Pulmo:
I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak
P: Fremitus raba normal
P: Sonor
23
A: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- Wheezing -/-
Abdomen:
I : Cembung
A: bising usus (+) normal
P: redup
P: soepel
Ekstremitas:
Look : Pada regio gluteus dekstra terdapat massa sebesar buah melon, v
enektasi (-)
Feel : Terdapat massa dengan diameter 11 cm, teraba keras, terfiksir, n
yeri tekan (+)
Move : ROM terbatas

3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 5 Oktober 2020 Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,9 g/dl 13,3-16,6 g/dl
Leukosit 13,800/mm3 3,370-8,380 /mm3
Trombosit 308.000/mm3 172.000-378.000 /mm3
LED 28 mm/jam <29 mm/jam
Hitung Jenis 0/0/0/56/28/6

b. Pemeriksaan Foto Rontgen


24
Resume

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas, maka :


 Diagnosis klinis : Osteosarcoma di Regio Ischium Dextra
 Diagnosis Anestesi: ASA 2
 Rencana operasi : Hemipelvictomy dengan pendekatan Buttockectomy
 Rencana Anestesi : Anestesi Regional dengan Opioid

rasi (Catatan Anestesi)


Mulai anestesi : 6 Oktober 2020, pukul 11:00 WIB
Lama anestesi : 30 menit
Lama operasi : 90-600 menit
3.7.1 Status Fisik ASA
ASA 2
3.7.2 Penyulit Pranastesi
Tidak ada
3.7.3 Ceklist Sebelum Induksi
- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan : +
3.7.4 Teknik Anestesi
Regional anestesi
3.7.5 Monitoring
25
SpO2 :+
TD :+
HR :+
3.7.6 Posisi Pasien
Terlentang
3.7.7 Pramedikasi :
Aprotinin (IV), dosis pemuatan dua juta unit penghambat kallikrein (KIU),
diikuti dengan 0,5 juta KIU per jam dengan infus kontinyu.
3.7.8 Induksi
Propofol 40 mg (IV), Sevoflurane 2.6%

3.8 Post Operasi


Selesai operasi pasien belum sadar kemudian pasien dipindahkan ke bangsal bedah.
3.8.1 ADLRETE Score : 10
1. Sirkulasi :2
2. Kesadaran :1
3. Oksigenasi :2
4. Warna Kulit :2
5. Aktivitas :1
* Score min 8 boleh pindah ruangan

: Sesuai instruksi dokter


: Sesuai instruksi dokter
: Sesuai instruksi dokter
: Sesuai instruksi dokter
: Sesuai instruksi dokter
: Sesuai instruksi dokter
al dan GCS: Tiap 60 menit selama 24 jam.

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien perempuan, 6


tahun, merupakan pasien yang mengalami benjolan atau adanya massa di regio pa
nggul sebelah kanan. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, diketahui pasien menderita osteosarcoma. Pasien
ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 2 disebabkan pasien dengan penyakit sistemik
ringan dimana selain adanya osteosarcoma didapatkan juga adanya leukositosis
(13.800/mm3).
Pada kasus ini, dilakukan penilaian status dan evaluasi status generalis
dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk
mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta
mempersiapkan darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan
pada pasien. Selain itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan
operasi.
Anestesi regional (regional anaeshthesia) dipilih menjadi pilihan anestesi
berdasarkan atas indikasi dimana anestesi regional telah terbukti memberikan
manfaat yang lebih besar untuk jenis operasi ini, karena mengurangi penggunaan
opioid, memberikan analgesia pasca operasi, kontrol perdarahan yang lebih baik,
dan jalan napas yang paten. Dimana tindakan operasi pada osteosarcoma khususn
ya di regio panggul dapat menyebabkan berbagai komplikasi salah satunya adalah
perdarahan. Sehingga dilakukan anestesi regional yang memiliki kontrol perdarah
an yang lebih baik. Selain itu, pasien terbangun lebih cepat dan memiliki efek
samping sistemik yang minimal.33,37
Pada kasus ini dilakukan pemberian premedikasi kurang lebih 5 menit
sebelum dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu meredakan
kecemasan dan ketakutan pada pasien yaitu dengan pemberian sedacum. Pada
pasien ini diberikan premedikasi aprotinin, dimana aprotinin telah terbukti
mengurangi secara efektif intraoperatif dan kehilangan darah perioperatif dan
transfusi darah pada bedah ortopedi mayor.29,40 Aprotinin telah digunakan secara
rutin untuk hemipelvektomi sejak 2001 sejalan dengan publikasi penelitian klinis
27
dan laporan tentang penggunaannya yang efektif baik dalam bedah ortopedi
maupun jantung. Dalam seri ini aprotinin secara klinis tampak mengurangi
kehilangan darah mikrovaskular dari pemotongan margin tulang.36
Pemilihan anestesi intravena propofol pada kasus ini dikarenakan propofol
memiliki onset dan pemulihan yang cepat dan dapat digunakan melalui infus. Ini
juga memberikan beberapa efek antiemetik dan memiliki efek samping yang lebih
sedikit daripada anestesi umum lainnya.47 Sevofluran juga diberikan karena pasien
ini merupakan pasien anak-anak sehingga memerlukan sedasi atau anestesi agar
tidak bergerak selama prosedur. Teknik inhalasi memungkinkan kebangkitan yang
cepat dan lebih disukai daripada obat penenang parenteral seperti benzodiazepin.
Sevoflurane sangat ideal untuk tujuan ini karena kelarutannya yang rendah.
Sevoflurane adalah agen inhalasi baru yang hampir tidak menyebabkan iritasi
saluran napas bagian atas, bahkan ketika diberikan konsentrasi alveolar minimal
(MAC) yang tinggi.40 Ini adalah agen yang sangat baik untuk induksi inhalasi
murni pada anak-anak, serta untuk pemeliharaan pada pasien dari segala usia.
Mual dan muntah lebih jarang pada pasien yang telah menerima sevofluran
dibandingkan pada mereka yang menerima desflurane atau isoflurane. 41 Karena
cepat dan lancar baik selama induksi dan pemulihan, sevoflurane adalah pilihan
yang baik untuk sesi kemoterapi atau radioterapi singkat pada anak-anak, terutama
ketika jalur intra vena tidak tersedia sebelum intervensi.46

28
BAB V
KESIMPULAN

1. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu regional anestesi dengan menggunakan opi
oid

2. Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah Aprotinin (IV), dosis


pemuatan dua juta unit penghambat kallikrein (KIU), diikuti dengan 0,5 juta KIU
per jam dengan infus kontinyu sedangkan untuk induksinya diberikan obat Propofol
40 mg (IV), Sevoflurane 2.6%.

3. Post operasi pasien dirawat di bangsal perawatan bedah untuk dimonitoring


stabilitas pasien post operasi sampai keadaan umumnya membaik yang kemudian
dapat dipulangkan.

4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan regional anestesi pada
operasi osteosarcoma regio panggul.

5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan & Mikhail’s. Clinical Anesthesiology. 6 th ed., Lane Medical


Books/MsGraw Hill, New York, 2018.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology. 5th edition. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Salter, Robert B. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal
system. 3rd ed Philadeiphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.400-3.
4. Skinner, Harry B. Current diagnosis & treatment in orthopaedics. Lange
Medical Book. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2013.p.312-8.
5. Patterson FR. 2008. Osteosarcoma. In: Timothy AD, editor. Orthopaedic
Surgery essential. oncology and basic science. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2018.p.177-87
6. Ando K, Heymann M, Stresing V, Mori K, Redini F, Heymann D. Current
therapeutic strategies and novel approaches in osteosarcoma. Cancers.
2013;5:591-616
7. Solomon L, Warwick D. Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and
fractures. 8th ed. NewYork: Oxford University Press Inc; 2011.p.185-218.
8. Gebhardt, Mark C, Hornicek, Francis J. Osteosarcoma. Orthopaedic
knowledge update musculoskeletal tumors. American Academy of Orthpaedic
Surgeons. 1st ed. New York: McGraw-Hill; 2012.p.175-82.
9. Bechler JR, Robertson WW, Meadows AT, Womer RB. Osteosarcoma as a
second malignant neoplasm in children. J Bone Joint Surg Am 2014;74:1079-
83.
10. Fahey M, Spanier SS, Vander Griend RA. Osteosarcoma panggul: studi
klinis dan histopatologi dari dua puluh lima pasien.J Bone Joint Surg
[Am]. 2012; 74: 321-30.
11. Wittig, James C, Bickels J, Priebat D, et al. Osteosarcoma: a
multidisciplinary approach to diagnosis and treatment. A peer reviewed
Journal of American Academic of Family Physicians 2012.
12. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S dkk. Conventional osteosarcoma. In:

World health organization classification of tumors of soft tissue and bone. 1st
ed. Lyon: IARC Press. 2012; p. 264-85.

30
13. Ritter J, Bielack SS. Osteosarcoma. Annals of oncology. 2010;21:320-5
14. Frassica, Frank J, Frassica, Deborah A, McCarthy, Edward F. Orthopaedic
pathology. In: Miller, Mark D, editors. Review of orthopaedics. 4th ed.
Philadelphia: Saunder; 2014.p.440-58.
15. Tsuji Y, Kusuzaki K, Kanemitsu K, et al. Calcaneal osteosarcoma associated
with werner syndrome. The Journal of Bone and Joint Surgery 2010;82:9-12.
16. Katagiri H, Takahashi M, Takagi T, Nakagawa M. Osteosarcoma of the talus
treated successfully with limb-sparing surgery. A case report. J Bone Joint
Surg Am 2018;90:869-74.
17. Scully SP, Ghert MA, Zurakowski D, Thompson RC, Gebhardt MC.
Pathologic fracture in osteosa- rcoma: prognostic importance and treatment
implications. J Bone Joint Surg Am 2012;84:49-57.
18. Bacci G, Scully SP, Ghert MA, et al. Pathologic fracture in osteosarcoma. J
Bone Joint Surg Am 2013;85:1848-9.
19. Palmerini E, Staals EL, Ferrari S, et al. Nonresectable multiple lung
metastases of high grade osteosarcoma of the humerus: stable after twelve
years. A case report. J Bone Joint Surg Am 2014;90:2240-4.
20. Lewis VO, Gebhardt MC, Springfield DS. Parosteal osteosarcoma of the
posterior aspect of the distal part of the femur. J Bone Joint Surg Am 20
10;82:1083.
21. Koyama J, Ito J, Hayashi T. Periosteal osteosarcoma of the mandibule.
Dentomaxillofascial Radiology 2012;31:63-4
22. Imran H, Enders F, Krailo M, et al. Effect of time to resumption of
chemotherapy after definitive surgery on prognosis for non-metastatic
osteosarcoma. J Bone Joint Surg Am 2015;91:604-12.
23. Simon MA, Aschliman MA, Thomas N, Mankin HJ. Limb-salvage treatment
versus amputation for osteosarcoma of the distal end of the femur. J Bone
Joint Surg Am 2005; 87: 2822. Accesed on Oct 8th. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4782023/pdf/main.pdf
24. Monlar R. Anaesthesia for hemipelvectomy--a series of 49 cases. Anaesth
Intensive Care. 2007;35:536-543. Accessed on Oct 8th. Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0310057X0703500412
25. Stoliarov VI. Interiliac-abdominal amputation in sarcoma of the bones and
soft tissues of the pelvic girdle. Vestn Khir Im I I Grek. 1983;131:60- 64.

31
26. Pring ME. Chondrosarcoma of the pelvis: a review of sixty-four cases. J Bone
Joint Surg Am. 2011;83:1630-1642.
27. Mavrogenis A. Pelvic resections. Orthopedics. 2012;35:e232-e243.
28. Mayerson JL. Pelvic resection: current concepts. J Am Acad Orthop Surg.
2014;22:214-222.
29. Jones RM. Anaesthetic considerations in patients with malignancy. In:
Keneally JP, Jones MR, editors. Proceedings of the 11th world Congress of
Anaesthesiologists, April 1996, Sydney, Australia. Rosebery, UK: Bridge
Printery Pty Ltd; 2006:212–21.
30. Mihalo RM, Cagle CK, Cronau LH Jr et al. Preanesthetic evaluation of the
cancer patient. Cancer Bul. 2005;47:8–12.
31. American Society of Anesthesiologists Task Force on Pain Management.
Cancer Pain Section: Practice guidelines for cancer pain management.
Anesthesiology. 2006;84: 1243–57.
32. Yaster M, Maxwell LG. Pediatric regional anesthesia. Anesthesiology. 20
09;67:324–38.
33. Cata J. Review article blood loss and massive transfusion in patients
undergoing major oncological surgery: what do we know? Anderson Cancer
Center. 2012.
34. Malawer MM. Postoperative infusional continuous regional analgesia. A
technique for relief of postoperative pain following major extremity surgery.
Clin Orthop Relat Res. 2011;(266):227-237.
35. Snyder GL. Effect of anaesthetic technique and other perioperative factors on
cancer recurrence. Br J Anaesth. 2010;105:106-115.
36. Avi A. Weinbroum, Nissim Marouani, Eric Lang, David Niv and Valery
Rudick. Anesthesia and Perioperative Pain Management for Limb-sparing
Surgery. Musculosceletal Surgery: Melawer Chapter 35; 2001; 1-568.
Available from: http://www.sarcoma.org/publications/mcs/ch35.pdf
37. Kaye AD. Effect of opiates, anesthetic techniques, and other perioperative
factors on surgical cancer patients. Ochsner J. 2014;14:216-228.
38. Monk CR, Coates DP, Prys-Roberts C et al. Haemodynamic effects of a
prolonged infusion of propofol as a supplement to nitrous oxide anaesthesia.
Br J Anaesth. 2007;59:954–60.

32
39. Reves JG, Fragen RJ, Vinik HR, Greenblatt DJ. Midazolam: pharmacology
and uses. Anesthesiology. 2015;62:310–24.
40. Jones RM. Desflurane and sevoflurane: inhalation anaesthetics for this
decade? Br J Anaesth. 2000;65:527–36
41. Hobbhahn J, Funk W. Sevoflurane in pediatric anesthesia. Anaesthetist. 20
06;45(Suppl. 1):S22–7.
42. Flacke JW, Bloor BC, Kripe BJ et al. Comparison of morphine, meperidine,
fentanyl and sufentanyl in balanced anesthesia: a double-blind study. Anesth
Analg. 2015;64:897–910.
43. Flordal PA, Berggvist D, Burmark US et al. Risk factors for major
thromboembolism and bleeding tendency after elective general surgical
operations. The Fragmin Multicentre Study Group. Eur J Surg. 20
06;162:783–89.
44. Dunn CJ, Sorkin EM. Dalteparin sodium. A review of its pharmacology and
clinical use in the prevention of thromboembolic disorders. Drugs. 200
6;52:276–305.
45. Vandermeulen EP, Van Aken H, Vermylen J. Anticoagulants and spinal-
epidural anesthesia. Anesth Analg. 2004;79:1165–77.
46. Edgington TL, Muco E, Maani CV. Sevoflurane. [Updated 2020 Jun 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-.Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534781/
47. Folino TB, Muco E, Safadi AO, et al. Propofol. [Updated 2020 Aug 13]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430884/

33

Anda mungkin juga menyukai