Disusun Oleh:
Yanisah Afuah Defriva, S.Ked
NIM : 71 2019 087
Pembimbing
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Anestesi Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang Bari.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhana wata’ala atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
mengenai “Manajemen Anestesi Spinal Dengan Operasi Orif Pada Pasien
Fraktur Femur Dextra” sebagai salah satu tugas individu di SMF Anestesi.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad salallahu a’laihi
wassalam beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. dr. Rizky Noviyanti Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah subhana wata’ala. Aamiin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur Femur.................................................................................................3
2.1.1 Anatomi.................................................................................................3
2.1.2 Definisi..................................................................................................4
2.1.3 Epidemiologi.........................................................................................4
2.1.4 Etiologi..................................................................................................5
2.1.5 Patofisiologi...........................................................................................5
2.1.6 Diagnosis...............................................................................................6
2.1.7 Evaluasi.................................................................................................8
2.1.8 Tatalaksana............................................................................................10
2.1.5 Komplikasi............................................................................................14
2.2 Anestesi Regional...........................................................................................16
2.3 Manejemen Anestesi Spinal dengan operasi ORIF........................................28
2.4 Obat-obat Tambahan......................................................................................34
2.5 Manajemen Anestesi......................................................................................37
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................41
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................48
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................53
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39%
diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab
terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan
oleh kecelekaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari
ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%). Insiden fraktur femur pada
wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per 10.000 orang per tahun) dan
nomer tujuh pada pria (5,3 per orang per tahun). Puncak distribusi usia pada
fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 32 tahun) dan geriatri (diatas 70
tahun).2
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi
akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami laki laki dewasa. Apabila seseorang mengalami
fraktur pada bagian ini, pasien akan mengalami perdarahan yang banyak dan
dapat mengakibatkan penderita mengalami syok. Fraktur femur dapat
menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan juga kecacatan apabila tidak
mendapatkan penanganan yang baik. Komplikasi yang timbul akibat fraktur femur
antara lain perdarahan, cedera organ dalam, infeksi luka, emboli lemak, sindroma
pernafasan. Banyaknya komplikasi yang ditimbulkan diakibatkan oleh tulang
femur adalah tulang terpanjang, terkuat, dan tulang paling berat pada tubuh
manusia dimana berfungsi sebagai penopang tubuh manusia. Selain itu pada
daerah tersebut terdapat pembuluh darah besar sehingga apabila terjadi cedera
pada femur akan berakibat fatal.2
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
jawab untuk fleksi lutut dan meliputi saraf siatik. Kompartemen medial
meliputi otot-otot adduktor. Saraf sciatic dan khususnya divisi peroneal
berada pada risiko cedera tertinggi karena mereka terletak dekat dengan
poros femoralis. Kompartemen adduktor menampung saraf obturator. Otot
gluteal juga mengelilingi dan menempel pada femur bagian proksimal; yaitu
gluteus maximus, medius, dan minimus dan menutupi saraf gluteal superior
dan inferior.3
Suplai darah utama ke femur berasal dari arteri femoralis, kelanjutan
dari arteri iliaka eksternal. Arteri femoralis berjalan di bawah bagian tengah
ligamentum inguinalis dan terbagi menjadi arteri femoralis superfisial (SFA)
dan arteri femoralis profunda (DFA), juga dikenal sebagai profunda femoris.
SFA memasok jaringan di bawah lutut, dan DFA memasok poros femoralis
dan jaringan lunak sekitarnya. Banyak cabang muncul dari DFA, terutama
arteri perforasi yang mengelilingi femur. Satu atau beberapa arteri muncul
dari DFA atau cabang-cabangnya untuk mensuplai 2/3 bagian dalam korteks
dan sumsum tulang. Mereka beranastomosis dengan sistem metaphyseal-
epiphyseal. Suplai darah periosteal memasok sepertiga bagian luar korteks.3
2.1.2 Definisi
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft.3 Fraktur
femoral shaft adalah salah satu cedera paling umum yang ditangani oleh ahli
bedah ortopedi. Fraktur ini sering dikaitkan dengan polytrauma dan dapat
mengancam jiwa. Hal ini biasanya merupakan hasil dari mekanisme energi
tinggi seperti tabrakan kendaraan bermotor (MVC) dengan gejala sisa
pemendekan anggota badan dan kelainan bentuk jika tidak ditangani dengan
tepat. Fraktur poros femoralis (FSF) biasanya terjadi dalam distribusi
bimodal, trauma energi tinggi pada populasi muda, dan trauma energi
rendah pada populasi lansia. 3
2.1.3 Epidemiologi
Insiden fraktur femoral shaft di seluruh dunia berkisar antara 10 - 21
per 100.000 per tahun. Dua persen dari fraktur ini adalah fraktur terbuka.
5
2.1.4 Etiologi
Fraktur femoral shaft dapat terjadi akibat mekanisme energi tinggi
atau rendah dan sering dikaitkan dengan cedera serius lainnya. Penyebab
paling umum termasuk kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, jatuh dari
permukaan tanah pada individu dengan osteoporosis, dan tembakan. Sebuah
studi dari Finlandia menemukan bahwa 75% FSF disebabkan oleh
mekanisme energi tinggi, 87% di antaranya terjadi pada MVC (65% dari
semua fraktur). Penyebab lain yang kurang umum dari FSF adalah fraktur
atipikal dari penggunaan bifosfonat, fraktur patologis melalui lesi tulang,
fraktur insufisiensi dari osteoporosis, dan fraktur stres akibat penggunaan
berlebihan pada atlet dan rekrutan militer.3
2.1.5 Patofisiologi
Trauma adalah mekanisme paling umum dari fraktur femoral shaft,
biasanya melibatkan pukulan langsung ke paha atau kekuatan tidak
langsung
6
2.1.6 Diagnosis
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, di
7
2.1.7 Evaluasi
Biasanya, fraktur femur mudah diidentifikasi sebagai cedera karena
adanya deformitas dan ketidakstabilan pada paha; namun, terkadang, cedera
ini tidak terlihat, dan penilaian dan pencitraan lebih lanjut diperlukan,
seperti radiografi dan pemindaian computed tomography (CT). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan lebih banyak pencitraan untuk
mengidentifikasi cedera mereka.3
1. Pencitraan
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan jenis dan
kedudukan fragmen fraktur. Foto Rontgen harus memenuhi beberapa
syarat, yaitu letak patah tulang harus diletakkan di pertengahan foto
dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus. Bila sinar
sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar, kurang jelas,
dan berbeda dari kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto
dengan arah yang saling tegak lurus. Persendian proksimal maupun
distal harus tercakup dalam foto. Bila tidak diperoleh kepastian
tentang adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto di ulang setelah
satu minggu. Letak akan menjadi nyata karena hiperemia setempat di
sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai "dekalsifikasi". 4
Gambar-gambar ini membantu mengidentifikasi potensi fraktur pada
acetabulum, femur
9
2.1.8 Tatalaksana
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).4 Perawatan fraktur femur
dapat dilakukan secara operatif atau non-operatif. Fiksasi operatif dengan
paku intramedullary adalah standar pengobatan emas di negara-negara
berpenghasilan tinggi. Teknik operasi lainnya termasuk pelat osteosintesis
dan fiksasi eksternal. Pengobatan tertutup dengan traksi, splinting, dan
casting mungkin merupakan pengobatan sementara atau pengobatan
definitif di beberapa negara dunia ketiga.3
1. Pemakuan Intramedullary
Intramedullary nailing (IMN) adalah pengobatan standar emas
untuk fraktur femur. Pengobatan definitif dini pada pasien yang stabil
secara sistemik dalam waktu 22 sampai 28 jam mengurangi kejadian
komplikasi paru, tingkat infeksi, dan kematian. Pasien dengan
hemodinamik stabil dengan beberapa cedera menerima manfaat paling
banyak dari fiksasi dini. Perawatan yang tertunda meningkatkan
komplikasi paru hingga 56% pasien dibandingkan dengan hanya 16%
pasien yang diobati dini.3
Tempat penyisipan IMN berada di luar zona cedera, menjaga
aliran darah di sekitarnya dan mempertahankan hematoma yang
mengandung faktor pertumbuhan tulang yang bermanfaat. Paku
intramedullary juga memiliki manfaat menahan beban lebih awal yang
membantu mempertahankan massa otot, fungsi, kekuatan, dan
mobilitas.3
2. Antegrade Nailing
Pada tahun 1920-an, Dr. Gerhard Küntscher mengembangkan
kuku intramedullary pertama. Dengan desain yang lebih baik, teknik
memaku, dan sekrup pengunci, cedera yang lebih kompleks telah
ditangani dengan pemakuan intramedullary. Pendekatan fiksasi kuku
tergantung pada usia pasien, kebiasaan tubuh, penyakit penyerta,
desain kuku, dan preferensi dokter.3
11
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera (segera
terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya), komplikasi
dini (terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian), dan komplikasi lambat
(terjadi lama setelah patah tulang). Ketiganya dibagi lagi masing masing
menjadi komplikasi lokal dan umum lihat tabel 2.1. 4
Tabel 2.1 Komplikasi Patah Tulang 4
Komplikasi Segera Lokal Kulit dan otot : bebrbagai vulnus
(abrasi, laserasi, sayatan,dll), kontusio,
avulsi.
Vaskular : terputus, kontusio,
perdarahan
Organ dalam : jantung, paru-
paru,mhepar, limpa (pada fraktur
kosta), buli-buli (pada fraktur pelvis)
Neurologis : otak, medula spinalis,
kerusakan saraf perifer
Umum Trauma multiple
Syok
Komplikasi Dini Lokal Nekrosis kulit otot
Sindrom kompartemen
Trombosis
Infeksi sendi
Osteomielitis
Umum ARDS
Emboli paru
15
Tetanus
Komplikasi Lama Lokal Tulang : malunion, nonunion, delayed
union, osteomielitis, gangguan
pertumbuhan, patah tulang rekuren
Sendi : ankilosis, penyakit degeneratif
sendi pascatrauma
Miositis osifikan
Distrofi refleks
Kerusakan saraf
Umum Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di
tempat tidur dan hiperkalsemia)
Neurosis pascatrauma
2. Medulla Spinalis
Pada pasien dewasa, medula spinalis dimulai dari foramen
magnum sampai L1. Pada anak-anak medula spinalis berakhir di L3
dan naik sesuai dengan bertambahnya umur. Disebabkan karena
medulla spinalis umumnya berakhir di L1, maka melakukan tusukan
subarachnoid dibawah L1 pada dewasa (L3 pada anak) akan
menghindari kemungkinan trauma karena tusukan jarum pada medulla
spinalis. Kerusakan cauda equina tidak mungkin terjadi karena serabut
saraf mengambang di sakus dura dibawah L1 dan suntikan jarum
bertendensi untuk mendorong menjauh daripada tertusuk. Sakus dura
dan ruangan subdura memanjang sampai S2 pada dewasa dan sampai
S3 pada anak anak. Disebabkan kenyataan ini dan lebih kecilnya
ukuran tubuh anak, maka caudal anestesi mempunyai resiko lebih
besar terjadi suntikan subarachnoid pada anak dibandingkan dengan
dewasa.1
2.3 Manajemen Anestesi Spinal pada Pasien dengan Operasi Orif pada
Fraktur Cruris Sinistra
Ruangan subarachnoid dimulai dari foramen magnum sampai S2 pada
dewasa dan sampai S3 pada anak-anak. Suntikan anestetika lokal dibawah
L1 pada dewasa dan L3 pada anak-anak mencegah trauma langsung pada
medula spinalis. Spinal anestesia juga disebut subarachnoid block atau
suntikan intratekal.1
2.3.1 Jarum Spinal
Jarum Spinal dijual dalam berbagai ukuran, panjang, level dan tipnya
(Quincke, Whitacre, Sprotte). Semuanya mempunyai stilet removable yang
fitting yang menutup secara lengkap untuk menghindari masuknya sel epitel
kedalam ruangan subarachnoid. Secara luas, jarum dapat dibagi kedalam
tipe yang tajam (cutting) dan yang tumpul (blunting). 1
29
parestesi yang menetap atau nyeri saat penyuntikan harus menarik jarum dan
redirect jarum. 1
menjadi 2,5% atau kurang dengan opioid dan atau CSF sebelum disuntikkan.
Pengulangan dosis setelah suatu kegagalan blokade harus dihindari. Spinal
anestesi hiperbarik lebih sering digunakan daripada isobarik atau hipobarik. 1
Level anestesi bergantung pada posisi pasien selama penyuntikkan atau
segera setelah penyuntikkan. Pada posisi duduk, sadlle block dapat dicapai
bila pasien tetap duduk selama 3-5 menit setelah penyuntikkan sehingga
hanya saraf lumbal dan sakral yang di blok. Jika pasien berubah posisi dari
posisi duduk ke terlentang segera setelah penyuntikkan, obat anestesi lokal
akan bergerak ke cephalad sesuai dengan kurvatura torakolumbal, karena
pengikatan oleh protein belum lengkap. Obat anestesi hiperbarik yang
disuntikkan intratekal dengan posisi pasien lateral dekubitus digunakan
untuk operasi ekstrimitas bawah unilateral. Pasien di posisikan lateral
dengan daerah yang akan dioperasi di sebelah bawah. Kalau pasien
dibiarkan pada posisi ini selama 5 menit setelah penyuntikkan, blok akan
bertendensi kearah
lebih dalam dan level lebih tinggi pada daerah yang sebelah bawah. 1
Bila anestesi regional dipilih untuk prosedur pembedahan termasuk
operasi panggul dan ekstrimitas bawah, dapat digunakan obat anestesi lokal
hipobarik atau isobarik spinal anestesi karena pasien tidak dapat berbaring
pada daerah yang akan dioperasi. 1
Tabel 2.5 Dosis, penggunaan, dan durasi anestesi spinal yang umum digunakan1
35
a. Permasalahan kardiovaskuler1
Secara umum, indikasi untuk penyelidikan pada permasalahn
kardiovaskuler sama pada pasien bedah yang lainnya.
b. Permasalahan paru1
Pedoman yang dikembangkan oleh America College of
Physiciants mengidentifikasi bahwa pasien yang berusia 60 tahun
ke atas dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dengan
toleransi olahraga yang rendah, ketergantungan fungsional atau
dengan kegagalan jantung memerlukan intervensi pra operasi dan
pasca operasi untuk mencegah komplikasi pernafasan. Risiko
komplikasi pernafasan pasca operasi berhubungan dengan
beberapa faktor risiko antara lain status ASA 3 dan 4, merokok,
operasi yang berlangsung lebih dari 4 jam dan anestesi umum.
Upaya pencegahan komplikasi pernafasan pada pasien yang
berisiko perlu dilakukan penghentian merokok beberapa minggu
sebelum opeasi. Pasien dengan asma, memiliki risiko lebih besar
untuk terjadi bronkspasme selama manipulasi jalan nafas.
c. Permasalahan endokrin dan metabolik 1
Banyaknya pasien diabetes yang datang untuk operasi tidak
mempertahankan glukosa darah dalam kisaran yang disarankan.
Adanya keadaan hiperglikemia pada pasien yang akan
menjalankan operasi elektif akan menyebabkan operasi tersebut
ditunda hingga dijadwalkan untuk pemberian insulin hingga
konsentrasi glukosa darah mendekati nirmal sebelum operasi
dimulai.
d. Permasalahan koagulasi 1
Tiga masalah koaguasi yang harus diatasi selama evaluasi
praoperatif,yaitu bagaimana mengelola pasien yang mengonsumsi
warfarin atau long acting anticoagulants, pasien dengan penyakit
arteri koroner yang menngonsumsi clopidogrel dan bagaimana
cara memberikan anestesi regional dengan aman kepada pasien
yang mendapatkan terapi anti koagulan dalam jangka waktu yang
lama.
39
e. Permasalahan gastrointestinal1
Risiko aspirasi meningkat pada kelompok pasien tertentu,
antara lain pasien yang sedang hamil pada trimester 2 dan 3,
pasien setelah mengonsumsi makanan dan pasien yang menderita
penyakit refluks eosofagus (GERD).
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan meliputi tanda vital
(tekanan darah, denyut jantung, laju pernafasan, dan suhu), serta
pemeriksaan lainnya meliputi jalan nafas, jantung, paru yang
menggunakan standar pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.1
Selain itu sebelum melakukan prosedur anestesi, diharuskan
melakukan pemeriksaan jalan nafas pada pasien, apabila ditemukan
kelainan contohnya meliputi gigi yang mudah tanggal, penggunaan
gigi palsu, lidah yang besar, gerakan terbatas pada sendi
temporomandibular, mikrognatia, dan leher pendek akan
menunjukkan tanda penyulit yang mungkin terjadi pada saat
melakukan tindakan intubasi trakea. 1
3) Pemeriksaan laboratorium
Dalam melakukan pemeriksaan laboratorium idealnya berdasarkan
riwayat (anamnesis) dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. 1
2. Pramedikasi
Pramedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan
dalam rangka pelaksanaan anestesi, hal ini berguna untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, mengurangi nyeri, mengurangi kebutuhan obat
anestetik, mengurani kejadian mual dan muntah pasca operasi, membantu
pengosongan lambung dan mencegah refleks yang membahayakan. 1
3. Dokumentasi
1) Catatan penilaian praoperatif 1
Catatan penilaian praoperatif merupakan catatan yang
menggambarkan kondisi pasien, hal tersebut meliputi anamnesis
(riwayat penyakit terdahulu, riwayat anestesi dan penggunaan obat-
obatan), pemeriksaan
40
3.1 Identifikasi
Nama : Aldi Febrian
No RM : 61.09.16
Tanggal lahir : 12 Februari 2006
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal MRS : 11 September 2021
Spesialis Anestesi : dr. Rizky Noviyanti Dani, Sp. An
Spesialus Bedah : dr. David, Sp. OT
Diagnosis Prabedah : Fraktur femur dextra
Jenis Pembedahan : Open Reduction and Internal Fixation
(ORIF) Diagnosis Pascabedah : Post ORIF
41
4
dada dan perut (-). Penderita langsung dibawa ke RS Sungai Lilin dan
kemudian dirujuk ke RSUD Palembang Bari. Pada saat di bawa ke RSUD
Palembang Bari, pasien sudah dipasang spalk.
SpO2 : 99%
BB : 58 kg
TB : 170 cm
Status Lokalis
Regio Femur
Dextra
Look : Pemendekan (+), bengkak (+), deformitas (+) angulasi ke
lateral, kulit utuh (tidak terdapat luka robek)
Feel : Terdapat nyeri tekan (+), pulsasi distal teraba (+), sensibilitas
normal
Movement : Nyeri gerak aktif (+), nyeri gerak pasif (+), ROM sulit dinilai,
krepitasi tidak dilakukan.
Neuro vascular distal (NVD) : Arteri dorsalis pedis teraba, capillary refill
time (CRT) < 2 detik, dan sensibilitas
normal.
Hematologi
Hb 11,0 g/dl 14-16 g/dl
Eritrosit 4,55 jt/uL 4.5-5.5 jt/uL
Leukosit 10.500 /uL 5.000-10.000/uL
Trombosit 160.000/ mm3 150.000-400.000/mm3
b. EKG
Irama Sinus, 80 kali/menit
c. Rontgen Thorax
Cor dan pulmo tidak tampak kelainan
3.6 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas,
maka :
Diagnosis klinis : Fraktur Femur Dextra
Diagnosis Anestesi : ASA I
Rencana operasi : ORIF
Rencana Anestesi : Anestesi regional dengan teknik spinal
3.7.5 Monitoring
SpO2 :+
HR :+
TD :+
3.7.7 Induksi
Injeksi Bupivacaine 0,5 % 15mL dengan jarum no.27G
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan kaki kanan
tidak dapat digerakkan setelah mengalami kecelakaan sejak 1 hari SMRS.
Keluhan juga disertai rasa nyeri pada kaki kanan, nyeri dirasakan lebih hebat
ketika kaki hendak digerakkan. Saat kejadian penderita menggunakan helm dan
tidak mengkonsumsi alkohol. Riwayat pingsan (-), sakit kepala (-), muntah (-),
kesemutan (-), keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-), nyeri dada dan perut
(-). Berdasarkan anamnesia, pemeriksaan fisik, serta penunjang, diagnosis bedah
pasien yaitu Fraktur Femur Dextra 1/3 Medial. rencana operasinya adalah Open
Reduction and Internal Fixation (ORIF), dengan jenis anestesi yang digunakan
adalah anestesi regional berupa spinal anestesi. Sebagai anestesi primer, blok
neuroaxial salah satunya regional telah dibuktikan sebagai anestesi paling
bermanfaat untuk pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan
sekitar rektum-perineum, serta bedah obstetri-ginekologi. Pembedahan lumbal
spinal juga dapat digunakan dibawah spinal anestesia.1
Sebelum dilakukan operasi, pasien telah melalui tahapan preoperatif yang
merupakan tindakan yang dilakukan sebelum dilakukan anestesi dan proses
pembedahan, tindakan preoperative dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang rontgen thorax, serta
menilai kebugaran fisik berdasarkan The American Society of Anesthesiologists.
Dari proses preoperatif yang telah dilakukan didapatkan tekanan darah: 120/80
mmHg, nadi: 88x/menit, suhu: 36,5℃, pernapasan 22x/menit, SpO2 99%. Selain
itu, pasien dipuasakan selama 6 jam sebelum dilakukan operasi. Serta dilakukan
penilaian ASA dan didapatkan nilai ASA 1 yang bermakna pasien dalam keadaan
sehat tanpa ditemukan kelainan sistemik. 1
Operasi dilakukan tanggal 13 September 2021 Pukul 14.00 WIB. Setelah
dilakukan pemasangan NIBP dan O2 didapatkan TD: 120/70 mmHg, Nadi
90x/menit, dan SpO2 100%. Setelah itu diberikan obat co-induksi yaitu
ondansentron 4mg IV. Pemberian ondansetron bertujuan untuk mengurangi risiko
terjadinya post operative nausea vomiting (PONV). Ondansetron secara selektif
48
4
memblokir reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek pada reseptor
dopamin (reseptor 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen vagal abdominalis) dan
di central (zona pemicu kemoreseptor di area postrema), dan nukleus traktus
solitarius yang memainkan peran penting dalam inisiasi refleks muntah. Reseptor
5-HT3 dari zona pemicu kemoreseptor di area postrema berada di luar sawar
darah- otak. Zona pemicu kemoreseptor ini diaktifkan oleh zat-zat seperti anestesi
dan opioid dan memberi sinyal pada nukleus traktus solitarius hingga
menyebabkan terjadinya PONV.1
Pada pasien ini dilakukan anestesi regional yaitu anestesi spinal. Teknik
penyuntikan untuk anestesi spinal dapat menggunakan pendekatan midline (garis
tengah) atau paramedian, kemudian pasien dapat diposisikan pada posisi
dekubitus lateral, posisi duduk, atau tengkurap. Terdapat tiga jenis jarum spinal,
yaitu tipe Quincke, Whitacre, dan Sprotte. Jarum dimasukkan ke kulit hingga ke
struktur yang lebih dalam sampai terasa dua "tonjolan". Yang pertama adalah
penetrasi ligamentum flavum, dan yang kedua adalah penetrasi membran dura-
arachnoid. Tusukan dural yang dikatakan berhasil dipastikan dengan menarik
stylet untuk memverifikasi cairan serebrospinal (CSF). Dengan jarum ukuran
kecil (ukuran
<25), aspirasi mungkin diperlukan untuk mendeteksi CSF. Parestesia persisten
atau nyeri dengan suntikan obat mengharuskan dokter untuk menarik dan
mengarahkan jarum dengan cepat.1
Obat anestesi yang digunakan adalah Bupivacaine 0,5%. Dosis bupivacaine
0.5% pada prosedur ORIF femur adalah 15mg.2 Bupivacaine merupakan salah
satu jenis obat anestesi regional. Anestesi regional bekerja dengan mengikat dan
menghambat daerah spesifik dari subunit α, sehingga mencegah aktivasi saluran
dan masuknya natrium (Na) yang berhubungan dengan depolariasi membran.
Saluran natrium merupakan protein membran yang terdiri dari satu subunit besar
α yang akan dilalui ion Na+ dan satu atau dua subunit ß yang lebih kecil.1
Selama tahap intraoperatif, dilakukan monitoring yang bertujuan untuk
membantu untuk mendapatkan informasi fungsi organ vital selama intraoperatif.
Selama tahap intraoperatif diberikan obat tambahan yaitu fentanyl 10-25 mcg.
Fentanil merupakan bentuk sintetis dari turunan phenylpiperidine yang
berinteraksi dengan reseptor μ-opioid serta beberapa dari reseptor δ dan κ-opioid
yang berlokasi
5
di otak, spinal cord, dan jaringan lain. Fentanil memiliki efek langsung pada pusat
sistem pernapasan di batang otak yang mengakibatkan berkurangnya respon dari
peningkatan tegangan karbondioksida serta stimulasi elektrik yang dapat berujung
pada gagal nafas. Salah satu komplikasi dari anestesi regional adalah hipotensi.
Hipotensi adalah efek samping yang umum dari anestesi neuraksial. Ini terutama
karena penurunan saraf simpatis dan sangat ditekankan kompresi aortokaval dan
posisi tegak atau semi-tegak. Pemberian ephedrin pada kasus ini digunakan
sebagai vasopresor selama anestesi. Efedrin tersedia dalam ampul 1 mL yang
mengandung 25 atau 50 mg agen.1 Pada saat intraoperatif juga diberikan ketorolac
30 mg, dimana pemberian ketorolac bertujuan untuk memberikan efek analgesia
dengan menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diindikasikan untuk nyeri
jangka pendek (<5 hari). 1
Saat tahap operatif berlangsung, dilakukan pemeriksaan tanda vital pasien
dengan tujuan mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perianesthesia.
Monitoring dilakukan dengan menilai fungsi kardiovaskular (nadi, tekanan darah,
banyaknya perdarahan), monitoring respirasi tanpa alat (gerakan dada-perut,
warna mukosa bibir, kuku, ujung jari), dan oksimetri. 1
Cairan intraoperatif yang digunakan adalah sebagai
berikut: IWL: Jenis operasi (berat) x BB
= 6 x 58kg
= 348
Pada saat pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
untuk diawasi secara lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil, penderita
baru kemudian dibawa ke bangsal untuk perawatan selanjutnya. Namun, sebelum
dipindahkan ke ruang perawatan dilakukan penilaian pulih sadar dengan
menggunakan skala bromage. Pada pasien ditemukan pasien dapat mengangkat
tungkai bawah dengan nilai 1, hal ini menandakan pasien dalam kondisi stabil dan
diperbolehkan pindah ke ruang perawatan.
BAB V
KESIMPULAN
52
DAFTAR PUSTAKA
53