Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

MANAJEMEN ANESTESI SPINAL DENGAN OPERASI ORIF


PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR DEXTRA

Disusun Oleh:
Yanisah Afuah Defriva, S.Ked
NIM : 71 2019 087

Pembimbing

dr. Rizky Noviyanti Dani, Sp. An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:


MANAJEMEN ANESTESI SPINAL DENGAN OPERASI ORIF
PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR DEXTRA

Dipersiapkan dan disusun oleh


Yanisah Afuah Defriva, S.Ked
712019087

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Anestesi Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang Bari.

Palembang, September 2021


Dosen Pembimbing

dr. Rizky Noviyanti Dani, Sp. An.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhana wata’ala atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
mengenai “Manajemen Anestesi Spinal Dengan Operasi Orif Pada Pasien
Fraktur Femur Dextra” sebagai salah satu tugas individu di SMF Anestesi.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad salallahu a’laihi
wassalam beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. dr. Rizky Noviyanti Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah subhana wata’ala. Aamiin.

Palembang, September 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur Femur.................................................................................................3
2.1.1 Anatomi.................................................................................................3
2.1.2 Definisi..................................................................................................4
2.1.3 Epidemiologi.........................................................................................4
2.1.4 Etiologi..................................................................................................5
2.1.5 Patofisiologi...........................................................................................5
2.1.6 Diagnosis...............................................................................................6
2.1.7 Evaluasi.................................................................................................8
2.1.8 Tatalaksana............................................................................................10
2.1.5 Komplikasi............................................................................................14
2.2 Anestesi Regional...........................................................................................16
2.3 Manejemen Anestesi Spinal dengan operasi ORIF........................................28
2.4 Obat-obat Tambahan......................................................................................34
2.5 Manajemen Anestesi......................................................................................37
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................41
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................48
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................53

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan ilmu dibidang kedokteran khusus sebagai praktik


dokter yang bertujuan untuk pemberian anestesi, perawatan pada pasien sebelum,
selama dan setelah operasi atau pembedahan, dan memberi bantuan hidup dasar
pada pasien gawat darurat. Prosedur anestesi pada tindakan ORIF yaitu dengan
anestesi regional yang memblokade saraf spinal. Blokade spinal, kaudal, dan
epidural pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke 20.
Blok sentral tersebut secara luas digunakan sebelum tahun 1940 sampai
meningkatnya laporan terjadinya gangguan neurologis permanen.1
Blokade spinal, epidural, dan kaudal disebut juga sebagai anestesi
neuroaxial. Setiap blok tersebut dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau
dengan kateter supaya dapat dilakukan suntikan intermiten atau kontinu. Anestesi
neuroaxial secara luas menambah persenjataan ahli anestesi dan merupakan
alternatif dari anestesi umum. Dapat juga digunakan secara simultan dengan
anestesi umum atau setelah anestesi umum untuk pengelolaan nyeri pascabedah
serta untuk pengelolaan nyeri akut dan nyeri kronis.1
Blokade neuroaxial dapat dilakukan dengan aman bila dikelola dengan
baik, akan tetapi, tetap mempunyai resiko untuk terjadi komplikasi. Reaksi buruk
dan rentang komplikasi dimulai dari yang sembuh sendiri sampai terjadi
kerusakan saraf permanen dan kematian. Karena itu praktisi harus mempunyai
pengertian yang baik tentang anatomi, familier dengan farmakologi dan dosis
toksik dari obat yang digunakan, teknik yang steril dan mampu mengantisipasi
dan dengan cepat mengobati perubahan fisiologi yang terjadi.1
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian nomor delapan dan
merupakan penyebab kematian teratas pada penduduk usia 15 – 29 tahun di dunia
dan jika tidak ditangani dengan serius pada tahun 2030 kecelakaan lalu lintas akan
meningkat menjadi penyebab kematian kelima di dunia. Setiap tahun terdapat
1,22 juta orang yang meninggal disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, sedangkan
20 – 50 juta orang lainnya mengalami disabilitas akibat kecelakaan lalu lintas.2

1
2

Kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39%
diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab
terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan
oleh kecelekaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari
ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%). Insiden fraktur femur pada
wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per 10.000 orang per tahun) dan
nomer tujuh pada pria (5,3 per orang per tahun). Puncak distribusi usia pada
fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 32 tahun) dan geriatri (diatas 70
tahun).2
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi
akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami laki laki dewasa. Apabila seseorang mengalami
fraktur pada bagian ini, pasien akan mengalami perdarahan yang banyak dan
dapat mengakibatkan penderita mengalami syok. Fraktur femur dapat
menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan juga kecacatan apabila tidak
mendapatkan penanganan yang baik. Komplikasi yang timbul akibat fraktur femur
antara lain perdarahan, cedera organ dalam, infeksi luka, emboli lemak, sindroma
pernafasan. Banyaknya komplikasi yang ditimbulkan diakibatkan oleh tulang
femur adalah tulang terpanjang, terkuat, dan tulang paling berat pada tubuh
manusia dimana berfungsi sebagai penopang tubuh manusia. Selain itu pada
daerah tersebut terdapat pembuluh darah besar sehingga apabila terjadi cedera
pada femur akan berakibat fatal.2
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Fraktur Femur


2.1.1 Anatomi
Pada bagian proksimal, femur terdiri dari daerah metafisis khusus
yang terdiri dari kepala, leher, serta trokanter mayor dan minor. Pada bagian
distal, femur terdiri dari metaphyseal flare, yang berlanjut ke kondilus
femoralis medial dan lateral, dipisahkan oleh takik interkondilus. Secara
klasik 5 cm pertama distal dari trokanter minor disebut regio subtrokanter
dan dianggap sebagai pola fraktur yang terpisah. Berdasarkan klasifikasi
fraktur Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen (AO), femur dimulai
pada batas inferior trokanter minor dan berakhir di daerah proksimal ke
kondilus pada jarak yang sama dengan lebar terbesar dari kondilus
femoralis.3

Gambar 2.1 Anatomi Femur 3

Tiga kompartemen otot yang menyelimuti femur yaitu kompartemen


anterior atau ekstensor yang bertanggung jawab untuk ekstensi lutut dan
meliputi saraf femoralis. Kompartemen posterior atau fleksor bertanggung
3
4

jawab untuk fleksi lutut dan meliputi saraf siatik. Kompartemen medial
meliputi otot-otot adduktor. Saraf sciatic dan khususnya divisi peroneal
berada pada risiko cedera tertinggi karena mereka terletak dekat dengan
poros femoralis. Kompartemen adduktor menampung saraf obturator. Otot
gluteal juga mengelilingi dan menempel pada femur bagian proksimal; yaitu
gluteus maximus, medius, dan minimus dan menutupi saraf gluteal superior
dan inferior.3
Suplai darah utama ke femur berasal dari arteri femoralis, kelanjutan
dari arteri iliaka eksternal. Arteri femoralis berjalan di bawah bagian tengah
ligamentum inguinalis dan terbagi menjadi arteri femoralis superfisial (SFA)
dan arteri femoralis profunda (DFA), juga dikenal sebagai profunda femoris.
SFA memasok jaringan di bawah lutut, dan DFA memasok poros femoralis
dan jaringan lunak sekitarnya. Banyak cabang muncul dari DFA, terutama
arteri perforasi yang mengelilingi femur. Satu atau beberapa arteri muncul
dari DFA atau cabang-cabangnya untuk mensuplai 2/3 bagian dalam korteks
dan sumsum tulang. Mereka beranastomosis dengan sistem metaphyseal-
epiphyseal. Suplai darah periosteal memasok sepertiga bagian luar korteks.3

2.1.2 Definisi
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft.3 Fraktur
femoral shaft adalah salah satu cedera paling umum yang ditangani oleh ahli
bedah ortopedi. Fraktur ini sering dikaitkan dengan polytrauma dan dapat
mengancam jiwa. Hal ini biasanya merupakan hasil dari mekanisme energi
tinggi seperti tabrakan kendaraan bermotor (MVC) dengan gejala sisa
pemendekan anggota badan dan kelainan bentuk jika tidak ditangani dengan
tepat. Fraktur poros femoralis (FSF) biasanya terjadi dalam distribusi
bimodal, trauma energi tinggi pada populasi muda, dan trauma energi
rendah pada populasi lansia. 3

2.1.3 Epidemiologi
Insiden fraktur femoral shaft di seluruh dunia berkisar antara 10 - 21
per 100.000 per tahun. Dua persen dari fraktur ini adalah fraktur terbuka.
5

Tingkat patah tulang femur atipikal seperti yang didefinisikan oleh


American Society for Bone and Mineral Research (ASBMR) Task Force
2013 berkisar antara 3,5% hingga 16%.2
FSF menunjukkan distribusi bimodal. Pria lebih mungkin untuk
mempertahankan patah tulang antara usia 15 sampai 35, sementara wanita
mulai menunjukkan peningkatan yang stabil mulai usia 60. Pria lebih
mungkin untuk mempertahankan FSF dari kecelakaan mobil atau
mekanisme energi tinggi lainnya. Wanita lebih mungkin untuk
mempertahankan FSF dari jatuh di permukaan tanah. Kecelakaan mobil
lebih sering terjadi pada populasi yang lebih muda, sementara jatuh dari
permukaan tanah lebih sering terjadi pada populasi lansia, yang dikaitkan
dengan osteoporosis. Menariknya, usia presentasi dengan fraktur femoral
shaft telah meningkat seiring waktu. Menurut unit Trauma Ortopedi
Edinburgh di Inggris, usia rata- rata presentasi pada tahun 1990 adalah 22
tahun dengan peningkatan yang stabil menjadi 65 tahun pada tahun 2000,
kemungkinan karena undang- undang lalu lintas yang lebih ketat dan
peningkatan keselamatan mobil.3

2.1.4 Etiologi
Fraktur femoral shaft dapat terjadi akibat mekanisme energi tinggi
atau rendah dan sering dikaitkan dengan cedera serius lainnya. Penyebab
paling umum termasuk kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, jatuh dari
permukaan tanah pada individu dengan osteoporosis, dan tembakan. Sebuah
studi dari Finlandia menemukan bahwa 75% FSF disebabkan oleh
mekanisme energi tinggi, 87% di antaranya terjadi pada MVC (65% dari
semua fraktur). Penyebab lain yang kurang umum dari FSF adalah fraktur
atipikal dari penggunaan bifosfonat, fraktur patologis melalui lesi tulang,
fraktur insufisiensi dari osteoporosis, dan fraktur stres akibat penggunaan
berlebihan pada atlet dan rekrutan militer.3

2.1.5 Patofisiologi
Trauma adalah mekanisme paling umum dari fraktur femoral shaft,
biasanya melibatkan pukulan langsung ke paha atau kekuatan tidak
langsung
6

yang ditransmisikan melalui lutut. Individu yang lebih muda umumnya


terlibat dalam mekanisme energi tinggi seperti kecelakaan mobil, sering
mengakibatkan cedera terkait lainnya. Tembakan juga dapat menyebabkan
cedera terisolasi yang signifikan. Individu dengan osteoporosis berada pada
peningkatan risiko patah tulang, bahkan dengan trauma energi rendah.
Terlepas dari mekanismenya, gaya deformasi fraktur bergantung pada
karakteristik fraktur. Segmen proksimal paling sering ditarik ke dalam fleksi
dan rotasi eksternal oleh psoas dan abduksi oleh abduktor. Fragmen distal
ditarik ke varus oleh adduktor, ke dalam ekstensi oleh dua kepala
gastrocnemius, dan memendek oleh mekanisme ekstensor dan paha
belakang.3
Cedera ortopedi terkait femur yang harus disingkirkan termasuk
fraktur femur proksimal (kepala dan leher femur, fraktur intertrokanterika),
dan fraktur femur bilateral. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa cedera
simultan pada femur proksimal terjadi pada 1% hingga 9% pasien, dan 20%
hingga 50% tidak teridentifikasi selama evaluasi awal. Adanya cedera
terkait secara klinis relevan karena akan menentukan urutan fiksasi dan
pemilihan implan. Fraktur femur bilateral merupakan 2% sampai 7% dari
semua fraktur femur dan berhubungan dengan peningkatan risiko
komplikasi sistemik, kebutuhan resusitasi, dan kematian. 80% individu
dengan fraktur femoral shaft bilateral memiliki cedera terkait lainnya; oleh
karena itu, dokter yang merawat harus curiga terhadap cedera tambahan.3
Sindrom emboli lemak adalah gangguan sistemik yang lazim pada
pasien politrauma dengan fraktur poros. Secara klasik muncul sebagai
gangguan pernapasan, perubahan status mental, demam, dan ruam.
Manifestasi dapat menjangkau spektrum dari gejala subklinis hingga
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Hingga 36% pasien dengan
patah tulang panjang akan memerlukan beberapa bentuk dukungan
ventilasi.3

2.1.6 Diagnosis
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, di
7

eksrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskuloskeletal akibat


nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskular. Apabila
gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosis fraktur dapat ditegakkan
walaupun jenis konfigurasi frakturnya belum dapat ditentukan.4
Protokol ATLS harus dilakukan untuk setiap pasien trauma, bahkan
mereka yang mengalami jatuh di permukaan tanah, untuk menyingkirkan
morbiditas terkait yang mungkin menghalangi perawatan definitif dini.
Secara klinis, fraktur tulang femur bermanifestasi sebagai nyeri, memar,
bengkak, deformitas, pemendekan, dan ketidakstabilan di sekitar paha. Pada
individu yang mengalami politrauma, cedera sering kali ditutupi oleh cedera
yang lebih parah atau menyakitkan; oleh karena itu, pemeriksaan lengkap
sangat penting.3
Fraktur terbuka pada femur adalah cedera yang sangat parah dan
terjadi pada sekitar 2% dari semua fraktur femur. Pemeriksaan menyeluruh
sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis fraktur terbuka, dan jika ada,
pemberian antibiotik dan tetanus yang cepat sangat penting untuk
mengurangi risiko infeksi. Setiap kotoran yang kotor harus dihilangkan
dalam keadaan akut, dan luka serta tulang ditutup dengan pembalut steril
yang dibasahi garam. Irigasi formal dan debridement harus dilakukan di
ruang operasi. Fraktur terbuka diklasifikasikan menurut Gustillo-Anderson
(GA) atau klasifikasi Oestern dan Tscherne. Komunikasi dengan dunia luar
dapat menyebabkan perdarahan tak terkendali yang signifikan dan
peningkatan risiko infeksi. Sebuah penelitian menunjukkan tingkat infeksi
2,3% untuk GA tipe I dan II vs 17,6% untuk GA tipe III. Fraktur terbuka
tidak menghalangi sindrom kompartemen yang dapat berkembang karena
trauma tumpul dan gerakan kekerasan tulang paha yang bergerak melalui
jaringan sekitarnya. Sebuah studi retrospektif sindrom kompartemen paha
mengidentifikasi FSF pada 28% pasien; dari jumlah tersebut, 5 kasusnya
adalah fraktur terbuka.3
Penilaian status neurovaskular sangat penting. Meskipun jarang,
cedera vaskular dapat terjadi pada fraktur femur hingga 2% terutama dengan
tembakan dan trauma tembus. Kerusakan arteri femoralis dalam (DFA) dan
cabang-cabangnya adalah yang paling umum dan biasanya menghasilkan
8

perdarahan yang signifikan daripada iskemia karena aliran kolateral yang


melimpah. Karena paha dapat menampung sekitar 1,5 L darah, cedera
vaskular dapat secara signifikan berkontribusi pada keadaan syok pasien
politrauma. Di sisi lain, cedera pada SFA menyebabkan iskemia pada
tungkai dan kaki karena cabang pertamanya muncul di fossa poplitea. Arteri
femoralis superfisial (SFA) adalah saluran di seluruh paha. Jika dicurigai
adanya gangguan vaskular, yang ditandai dengan tidak adanya denyut,
hematoma pulsatil yang membesar, bruit, thrill, hemoragi, dan iskemia akut,
ekstremitas harus ditempatkan dalam traksi. Jika indeks pergelangan kaki-
brakialis <0,9, computed tomography (CT) angiogram dan konsultasi bedah
vaskular layak dilakukan.3

2.1.7 Evaluasi
Biasanya, fraktur femur mudah diidentifikasi sebagai cedera karena
adanya deformitas dan ketidakstabilan pada paha; namun, terkadang, cedera
ini tidak terlihat, dan penilaian dan pencitraan lebih lanjut diperlukan,
seperti radiografi dan pemindaian computed tomography (CT). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan lebih banyak pencitraan untuk
mengidentifikasi cedera mereka.3
1. Pencitraan
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan jenis dan
kedudukan fragmen fraktur. Foto Rontgen harus memenuhi beberapa
syarat, yaitu letak patah tulang harus diletakkan di pertengahan foto
dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus. Bila sinar
sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar, kurang jelas,
dan berbeda dari kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto
dengan arah yang saling tegak lurus. Persendian proksimal maupun
distal harus tercakup dalam foto. Bila tidak diperoleh kepastian
tentang adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto di ulang setelah
satu minggu. Letak akan menjadi nyata karena hiperemia setempat di
sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai "dekalsifikasi". 4
Gambar-gambar ini membantu mengidentifikasi potensi fraktur pada
acetabulum, femur
9

proksimal, tibia proksimal, dan patela dan membantu mengidentifikasi


kemungkinan cedera lutut mengambang.3
CT biasanya bukan modalitas pencitraan awal tulang paha, tetapi
sering kali merupakan bentuk pencitraan pertama yang diperoleh pada
individu politrauma. CT memiliki kegunaan dalam mengidentifikasi
cedera okultisme dan mengkarakterisasi fraktur untuk perencanaan
operasi. Pencitraan potongan tipis dapat membantu mengidentifikasi
fraktur leher femur yang tidak terlihat pada radiografi standar.
Dikombinasikan dengan kontras, lesi vaskular dapat diidentifikasi dan
segera diobati.3
2. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur femur mungkin deskriptif di mana lokasi, jenis,
angulasi, pemendekan, kominusi, rotasi, dan perpindahan dijelaskan. 3
Sistem klasifikasi fraktur yang paling umum digunakan adalah
klasifikasi AO/Orthopaedic Trauma Association karena keandalan dan
akurasi antar pengamatnya yang tinggi. Sistem ini menggunakan
sistem pengkodean untuk mengidentifikasi jenis patahan yang
menghasilkan 27 pola yang berbeda. 3= tulang paha, 2 = diafisis.3
32A – Simple
A1 –
Spiral
A2 – Oblique, sudut > 30o
A3 – Transverse, sudut < 30o
32B – Wedge
B1 – Spiral wedge
B2 – Bending
wedge
B3 – Fragmented
wedge 32C – Complex
C1 – Spiral
C2 –
Segmental C3
– Irregular
10

2.1.8 Tatalaksana
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).4 Perawatan fraktur femur
dapat dilakukan secara operatif atau non-operatif. Fiksasi operatif dengan
paku intramedullary adalah standar pengobatan emas di negara-negara
berpenghasilan tinggi. Teknik operasi lainnya termasuk pelat osteosintesis
dan fiksasi eksternal. Pengobatan tertutup dengan traksi, splinting, dan
casting mungkin merupakan pengobatan sementara atau pengobatan
definitif di beberapa negara dunia ketiga.3
1. Pemakuan Intramedullary
Intramedullary nailing (IMN) adalah pengobatan standar emas
untuk fraktur femur. Pengobatan definitif dini pada pasien yang stabil
secara sistemik dalam waktu 22 sampai 28 jam mengurangi kejadian
komplikasi paru, tingkat infeksi, dan kematian. Pasien dengan
hemodinamik stabil dengan beberapa cedera menerima manfaat paling
banyak dari fiksasi dini. Perawatan yang tertunda meningkatkan
komplikasi paru hingga 56% pasien dibandingkan dengan hanya 16%
pasien yang diobati dini.3
Tempat penyisipan IMN berada di luar zona cedera, menjaga
aliran darah di sekitarnya dan mempertahankan hematoma yang
mengandung faktor pertumbuhan tulang yang bermanfaat. Paku
intramedullary juga memiliki manfaat menahan beban lebih awal yang
membantu mempertahankan massa otot, fungsi, kekuatan, dan
mobilitas.3
2. Antegrade Nailing
Pada tahun 1920-an, Dr. Gerhard Küntscher mengembangkan
kuku intramedullary pertama. Dengan desain yang lebih baik, teknik
memaku, dan sekrup pengunci, cedera yang lebih kompleks telah
ditangani dengan pemakuan intramedullary. Pendekatan fiksasi kuku
tergantung pada usia pasien, kebiasaan tubuh, penyakit penyerta,
desain kuku, dan preferensi dokter.3
11

Antegrade nailing adalah pengobatan standar emas untuk fraktur


femur dengan hasil yang sangat baik jika pasien dirawat dalam 22 jam
pertama. Fiksasi dini menurunkan komplikasi paru, meningkatkan
rehabilitasi, mengurangi lama tinggal, dan menurunkan biaya
perawatan kesehatan.3
Ada perdebatan tentang manfaat fiksasi dini pada pasien dengan
cedera caput femur tertutup. Beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan insiden komplikasi paru dan fungsi SSP dengan
pengobatan dini sekunder untuk fenomena hipoksia dan hipotensi.
Penelitian lain menunjukkan bahwa fiksasi dini tidak meningkatkan
komplikasi SSP; melainkan cedera kepala yang meningkatkan risiko
komplikasi SSP dan paru. Namun, disarankan untuk menghindari
hipoksia dan hipotensi pada individu ini dan untuk
mempertimbangkan perawatan yang kurang invasif pada fase
pengobatan akut.3
Pendekatan termasuk piriformis, trochanteric, dan entri lateral.
Dalam pendekatan masuk piriformis, lintasan kuku sepanjang sumbu
panjang tulang paha, dan kuku desain lurus digunakan. Kerugian dari
pendekatan ini termasuk cedera pada otot abduktor dengan gaya
berjalan Trendelenburg yang dihasilkan dan kerusakan suplai darah ke
kepala femoralis. Teknik entri trokanterika menyisihkan penculik ke
tingkat yang lebih besar, dan lebih mudah untuk menetapkan titik
awal. Busur anterior dan lateral kuku mengakomodasi kelengkungan
tulang paha. Menggunakan paku lurus dalam pendekatan ini berisiko
perforasi korteks anterior atau ketika titik awal pada trokanter mayor
terlalu posterior. Teknik entri trokanterika memiliki waktu operasi dan
fluoroskopi berkurang dibandingkan dengan teknik entri piriformis.
Hasil fungsional jangka panjang setara di antara pendekatan-
pendekatan tersebut.3
3. Plate Osteosynthesis
Teknik open reduction internal fixation (ORIF) yang
dikembangkan pada tahun 1960-an adalah teknik operasi pertama
yang digunakan untuk fiksasi fraktur. Seiring waktu, pemahaman yang
lebih
12

baik tentang proses biologis dan mekanik dalam fiksasi fraktur


didirikan. ORIF biasanya bukan pengobatan utama fraktur batang
femur kecuali ada perluasan ke femur proksimal atau distal, yang
mungkin merupakan kontraindikasi untuk fiksasi intramedullary
nailing. Pelat digunakan dalam nonunion bandel, fraktur periprostetik
dan peri-implan, kanal femoralis sempit, dan fraktur terbuka dengan
cedera vaskular. Teknik open plating memerlukan visualisasi lokasi
fraktur dan pengupasan jaringan lunak yang signifikan di sekitar
lokasi fraktur, yang mengakibatkan gangguan aliran darah ke tulang,
terutama periosteum. Diseksi jaringan lunak yang luas juga dapat
meningkatkan respons inflamasi individu terhadap pembedahan,
perawatan yang lebih rumit dan penyembuhan jaringan. Teknik
invasif minimal seperti minimally invasive plate osteosynthesis
(MIPO) menghindari paparan lokasi fraktur. Pelat dimasukkan jauh
dari lokasi fraktur, diposisikan secara submuskular tetapi di atas
periosteum, dan difiksasi secara perkutan. Pelapisan jembatan adalah
teknik yang mencakup area kominusi dengan fiksasi proksimal dan
distal dari area yang terkena.3
4. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal diindikasikan untuk pasien dengan fraktur
terbuka, cedera vaskular, politrauma, stabilisasi untuk transfer, dan
mereka yang tidak stabil untuk perawatan definitif dini. Fiksator
eksternal dapat diterapkan dengan efek minimal pada beban penyakit
pasien trauma. Konstruksi fiksator dapat bervariasi dari ahli bedah ke
ahli bedah, tetapi prinsip-prinsip yang mengatur fiksasi stabil dengan
pemulihan relatif panjang, keselarasan, dan rotasi. Struktur
neurovaskular dapat dihindari dengan menempatkan pin secara lateral
ke dalam femur daripada dari anterior ke posterior. Pin proksimal
dapat ditempatkan di leher dan kepala femur, sedangkan pin distal
dapat ditempatkan di femur distal atau tibia proksimal. Jarang fiksator
eksternal dapat digunakan sebagai pengobatan definitif jika konversi
ke fiksasi internal dikontraindikasikan karena masalah medis atau
ortopedi lainnya. Perawatan definitif dengan fiksasi eksternal
memiliki tingkat
13

komplikasi yang relatif tinggi, seperti kehilangan reduksi, malunion,


infeksi situs pin, osteomielitis, nonunion, dan kekakuan sendi.3
5. Traksi
Responden pertama di lokasi kecelakaan harus segera menilai
cedera yang berpotensi mengancam jiwa. Perhatian khusus harus
diberikan pada ekstremitas bawah di mana pengumpulan darah yang
signifikan mungkin terjadi, seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Perangkat traksi sementara seperti belat Thomas, Hare, Sager,
Kendrick, CT-6, Donway, dan Slishman dapat digunakan untuk
menstabilkan cedera femoralis yang tampak. Traksi longitudinal
diterapkan pada ekstremitas menstabilkan lokasi fraktur, memulihkan
panjang kotor, keselarasan, dan rotasi. Traksi juga dapat mengurangi
tekanan pada struktur neurovaskular dan perdarahan tamponade
dengan menstabilkan bekuan darah di sekitarnya. Perangkat ini harus
segera diganti dengan fiberglass vs. plester belat atau kulit vs. traksi
tulang di rumah sakit karena penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan luka tekan atau menekan struktur neurovaskular distal.3
Sistem traksi yang lebih dapat ditoleransi dan efektif yaitu traksi
kulit dan tulang yang memberikan gangguan yang lebih baik pada
ekstremitas yang terkena. Traksi kulit, juga disebut traksi Bucks,
diterapkan melalui sepatu bot yang dipasang pada ekstremitas distal
dengan penyeimbang.3
Pada traksi skeletal, pin ditempatkan melalui tulang distal dari
cedera untuk mencegah jaringan lunak menahan gaya traksi. Tempat
umum penempatan pin termasuk femur distal, tibia proksimal, dan
kalkaneus, dengan femur distal sebagai penempatan yang lebih disukai
karena vektor gaya yang superior, kontrol yang lebih baik, dan
kemampuan untuk menjangkau lutut. Dalam kasus yang jarang terjadi,
traksi tulang dapat berfungsi sebagai pengobatan jangka panjang pada
pasien yang tidak stabil secara medis atau sebagai pengobatan definitif
di beberapa bagian dunia. Komplikasi traksi tulang termasuk infeksi
situs pin, cedera neurovaskular iatrogenik, pengecilan otot, imobilitas,
14

malunion, trombosis vena dalam, dan emboli paru. Di negara-negara


berpenghasilan tinggi, pengobatan yang lebih disukai adalah fiksasi
operatif yang menghasilkan hasil yang lebih baik dan lebih sedikit
morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan traksi.3

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera (segera
terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya), komplikasi
dini (terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian), dan komplikasi lambat
(terjadi lama setelah patah tulang). Ketiganya dibagi lagi masing masing
menjadi komplikasi lokal dan umum lihat tabel 2.1. 4
Tabel 2.1 Komplikasi Patah Tulang 4
Komplikasi Segera Lokal  Kulit dan otot : bebrbagai vulnus
(abrasi, laserasi, sayatan,dll), kontusio,
avulsi.
 Vaskular : terputus, kontusio,
perdarahan
 Organ dalam : jantung, paru-
paru,mhepar, limpa (pada fraktur
kosta), buli-buli (pada fraktur pelvis)
 Neurologis : otak, medula spinalis,
kerusakan saraf perifer
Umum  Trauma multiple
 Syok
Komplikasi Dini Lokal  Nekrosis kulit otot
 Sindrom kompartemen
 Trombosis
 Infeksi sendi
 Osteomielitis
Umum  ARDS
 Emboli paru
15

 Tetanus
Komplikasi Lama Lokal  Tulang : malunion, nonunion, delayed
union, osteomielitis, gangguan
pertumbuhan, patah tulang rekuren
 Sendi : ankilosis, penyakit degeneratif
sendi pascatrauma
 Miositis osifikan
 Distrofi refleks
 Kerusakan saraf
Umum  Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di
tempat tidur dan hiperkalsemia)
 Neurosis pascatrauma

Komplikasi segera dan setempat merupakan kerusakan yang langsung


disebabkan oleh trauma, selain patah tulang (dislokasi). Trauma kulit dapat
berupa kontusio, abrasi, laserasi, atau luka tembus. Kulit yang terkontraksi
walaupun masih kelihatan utuh, mudah sekali mengalami infeksi dan
gangguan pendarahan. Hal itu merupakan malapetaka karena dapat menjadi
patah tulang terbuka disertai osteomyelitis. Perawatan kontusio kulit tidak
boleh menimbulkan tekanan atau tegangan. Balutan harus longgar dan pada
pemasangan gips harus diberikan bantalan yang pas. 4
Sindrom kompartemen harus segera ditangani dengan pembebasan
pembuluh darah dengan reposisi luksasi atau fraktur atau dekompresi
kompartemen dengan fasiotomi. Rusaknya pembuluh darah akibat trauma
juga harus diatasi, bila perlu dengan operasi. 4
Komplikasi lama meliputi kegagalan pertautan (non-union), salah taut
(malunion), terlambat bertaut (delayed union), ankilosis, kontraktur, miositis
osifikasi, dan berbagai penyakit akibat tirah baring lama karena gangguan
mobilisasi. Perlu diingat dapat juga terjadi gangguan pertumbuhan pada
fraktur yang mencederai lempeng Epifisis. Patah tulang rekuren dapat
terjadi akibat pembebanan terlalu dini. Pada fiksasi interna, pembebanan
yang berlebihan harus dihindari selama beberapa minggu. 4
16

Dapat terjadi penulangan otot (miositis osifikasi) yang sebenarnya


merupakan kalsifikasi hematom yang disertai fibrosis walaupun jarang
ditemukan. Bila kelainan ini tersebar luas di otot, yang jarang didapatkan,
mungkin timbul keluhan dan gangguan. 4
Penyulit yang berat ialah distrofi refleks simpatik. Yang biasanya
ditemukan pada ekstremitas atas, tetapi juga didapatkan pada tungkai.
Proses yang juga disebut sindrom bahu tangan (distrofi simpatik) paling
sering ditemukan setelah patah tulang radius distal, tetapi juga didapatkan
setelah cedera lain di lengan bawah atau pergelangan tangan dengan atau
tanpa patah tulang. Sindrom ini ditemukan juga di sekitar tungkai bawah,
pergelangan kaki, dan kaki setelah cedera tungkai bawah. Tanda khas nya
yang lain nyeri hebat kontinu, nyeri tekan difus, bengkak, hiperemia,
indurasi tangan, dan kekakuan mulai dari jari yang akhirnya dapat
berkembang menjadi hipertrofi otot, dan kontraktur dengan kekakuan
takberpulih (irreversible). Nyeri, bengkak, dan kekakuan yang berlebihan
dan menetap merupakan trias dasar distrofi refleks ini. Selain itu terdapat
Kemerahan atau kebiruan tangan, disertai panas dan kelainan sudomotorik
serta otot atrofi. Penyebab proses distrofi ini tidak diketahui. Gejala dan
tandanya disebabkan oleh hiperaktivitas sistem saraf simpatik. Pengelolaan
kelainan ini sukar. Penderita tidak usah memaksakan diri untuk
menggerakkan persendian yang nyeri. Jika dengan tindakan simtomatik
keluhan tidak dapat dikurangi, dapat dilakukan simpatektomi. Bimbingan
fisioterapi dapat menghasilkan perbaikan, asal gerakan tidak dipaksakan.4

2.2 Anestesi Regional (Regional Anesthesia)


Anestesi regional merujuk pada hilangnya sensasi di suatu bagian
terbatas di tubuh. Hal ini dicapai dengan menghambat lalu lintas saraf eferen
melalui inhibisi pembentukan atau penjalaran impuls.1
Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa morbiditas
pascabedah dan mungkin juga mortalitas dapat diturunkan bila blokade
neuroaxial digunakan secara tersendiri atau dikombinasi dengan anestesi
umum.
17

Blokade neuroaxial dapat mengurangi kejadian trombosis vena dan emboli


pulmonal, komplikasi jantung pada pasien resiko tinggi, perdarahan dan
keperluan transfusi, oklusi graft vaskuler, pneumonia dan depresi nafas
setelah operasi abdomen atas dan torak pada pasien dengan penyakit paru
kronis. Blokade neuroaxial menyebabkan lebih cepat pulihnya fungsi
gastrointestinal setelah pembedahan. 1

2.2.1 Anatomi Tulang Belakang


1. Columna Vertebralis
Spine dibentuk oleh tulang vertebra dan diskus intervetebralis
yang fibro kartilago. Terdapat 7 vertebra cervical (C), 12 vertebra
torakal (T), dan 5 vertebra lumbal (L). Sacrum merupakan persatuan
(fusi) dari 5 vertebra sakralis dan ada vertebra sacrococcygeal yang
rudimenter. Spine secara keseluruhan menopang tubuh serta
melindungi medula spinalis dan sarafnya. Pada setiap level vertebra
keluar sepasang saraf kranial. Vertebra berbeda dalam ukuran dan
bentuknya pada setiap level. Vertebra C1, atlas, mempunyai bentuk
yang unik. Vertebra kedua, axis, sebagai konsekuensinya mempunyai
permukaan persendian yang atipikal. Ke-12 vertebra torakal
mempunyai kartilago dengan kosta. 1

Gambar 2.2 Columna Vertebralis1


18

2. Medulla Spinalis
Pada pasien dewasa, medula spinalis dimulai dari foramen
magnum sampai L1. Pada anak-anak medula spinalis berakhir di L3
dan naik sesuai dengan bertambahnya umur. Disebabkan karena
medulla spinalis umumnya berakhir di L1, maka melakukan tusukan
subarachnoid dibawah L1 pada dewasa (L3 pada anak) akan
menghindari kemungkinan trauma karena tusukan jarum pada medulla
spinalis. Kerusakan cauda equina tidak mungkin terjadi karena serabut
saraf mengambang di sakus dura dibawah L1 dan suntikan jarum
bertendensi untuk mendorong menjauh daripada tertusuk. Sakus dura
dan ruangan subdura memanjang sampai S2 pada dewasa dan sampai
S3 pada anak anak. Disebabkan kenyataan ini dan lebih kecilnya
ukuran tubuh anak, maka caudal anestesi mempunyai resiko lebih
besar terjadi suntikan subarachnoid pada anak dibandingkan dengan
dewasa.1

Gambar 2.3 Medula Spinalis1


19

Kanalis spinalis berisi sumsum tulang belakang dengan


penutupnya (meninges), jaringan lemak, dan pleksus vena. Meninges
terdiri dari tiga lapisan: pia mater, arachnoid mater, dan dura mater.
Pia mater melekat pada medula spinalis, sedangkan arachnoid
biasanya melekat pada dura mater yang lebih tebal dan lebih padat.
Cairan serebrospinal (CSF) terdapat di antara pia mater dan arachnoid
di ruang subarachnoid. Ruang subdural pada tulang belakang
umumnya memiliki batas yang kurang jelas, sedangkan ruang epidural
adalah ruang potensial yang lebih jelas di dalam kanal tulang belakang
yang dibatasi oleh dura dan ligamentum flavum. 1

Gambar 2.4 Tempat Keluarnya Saraf dari Tulang Belakang1

Suplai darah ke tulang belakang berasal dari satu arteri spinal


anterior dan pasangan arteri spinal posterior. Arteri spinal anterior
terbentuk dari arteri vertebralis di dasar tengkorak dan turun sepanjang
permukaan anterior medula spinalis. Arteri spinalis anterior mensuplai
dua pertiga anterior dari medula spinalis, sedangkan dua arteri spinal
posterior mensuplai sepertiga posterior. Arteri spinalis posterior
berasal dari arteri cerebellar posterior inferior dan bergerak ke bawah
sepanjang permukaan saraf dorsal. Arteri spinalis anterior dan
posterior menerima aliran darah tambahan dari arteri interkostal di
toraks dan arteri lumbal di perut.1
20

Gambar 2.5 Vaskularisasi vertebra1

2.2.2 Mekanisme Kerja Blokade Neuroaxial


Tempat kerja utama dari blokade neuroaxial adalah nerve root/radiks
saraf. Obat anestesi lokal disuntikkan ke CSF (spinal anestesi) atau ruangan
epidural (epidural dan caudal anestesi) dan merendam nerve root di ruang
subarachnoid atau ruang epidural. Suntikan langsung obat anestesi lokal
kedalam CSF untuk spinal anestesi membutuhkan jumlah volume dan dosis
yang relatif kecil dibandingkan dengan epidural dan kaudal anestesia. Lebih
jauh tempat suntikan untuk epidural umumnya lebih dekat ke nerve root
yang harus dianestesi. Blokade transmisi neural (konduksi) dari serabut
nerve root posterior memblok sensasi somatik dan visceral, sedangkan
blokade nerve root anterior mencegah outflow otonom dan eferent motoris. 1
1. Blokade Somatik 1
Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan
tonus otot skelet, blokade neuroaxial dapat memberikan kondisi
pembedahan yang baik. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik
dan visceral, sedangkan blokade motoris menyebabkan relaksasi otot
21

skelet. Efek obat anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi


bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin, dan konsentrasi serta
lamanya kontak. Akar nerves spinalis terdiri dari gabungan bermacam
serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan bermielin umumnya lebih
mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar dan tidak
bermielin. Kenyataan bahwa konsentrasi obat anestesi lokal menurun
dengan meningkatnya jarak dari level penyuntikan, menerangkan
fenomena perbedaan blokade. Perbedaan blokade berakibat blok
simpatis (yang ditentukan oleh sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih
tinggi daripada blok sensoris (nyeri, raba halus) yang 2 segmen lebih
tinggi daripada blokade motoris.
2. Blokade Otonom 1
Penghentian transmisi otonom pada radiks saraf spinal dapat
menimbulkan blokade saraf simpatis dan parasimpatis. Simpatik
outflow dari medula spinalis adalah di torakolumbal, sedangkan
parasimpatis outflow di craniosacral. Serabut saraf simpatis
preganglion (kecil, serabut beta bermielin) keluar dari medula spinalis

2.2.3 Efek Blokade Neuroaxial


1. Manifestasi Kardiovaskuler
Blokade neuroaxial menyebabkan penurunan tekanan darah yang
dihubungkan dengan penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung.
Efek ini umumnya proporsional dengan tingkatan / level
simpatektomi. Tonus vasomotor umumnya ditentukan oleh serabut
simpatis yang berasal dari T5 sampai L1, yang mempersarafi otot
polos arterial dan vena. Blok saraf ini menyebabkan vasodilatasi dari
vena, terjadi pooling darah, dan penurunan venous return. Arterial
sistemik vasodilatasi juga menurunkan resistensi vaskuler sistemik.
Efek arterial vasodilatasi dikurangi dengan adanya kompensasi
vasokonstriksi pada level diatas blokade. Suatu blok simpatis yang
tinggi tidak saja mencegah vasokonstriksi kompensasi tapi juga
memblok serabut kardiac asselerator yang berasal dari T1-T4.
Hipotensi hebat dapat ditimbulkan
22

karena kombinasi vasodilatasi dengan bradikardi dan penurunan


kontraktilitas. Efek ini diperbesar kalau venous return terhambat
dengan adanya posisi head-up atau oleh berat uterus yang gravid.
Adanya tonus vagal menerangkan kejadian henti jantung tiba-tiba
pada spinal anestesi. 1
Efek kardiovaskuler yang buruk harus diantisipasi untuk
mengurangi derajat hipotensi. Loading volume dengan 10-20 ml/kg
cairan intravena pada pasien sehat akan mengkompensasi pooling
darah vena. Disamping faktor-faktor tersebut, hipotensi masih bisa
terjadi dan harus segera diterapi. Pemberian cairan dapat ditingkatkan,
dan autotransfusi dengan memposisikan pasien head-down. Bradikardi
diterapi dengan atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopressor.
Alpha adrenergic agonist direk (misalnya fenilephrin) meningkatkan
tonus vena dan menyebabkan arteriol vasokonstriksi, meningkatkan
venous return dan resistensi vaskuler sistemik. Efedrin mempunyai
efek direk beta adrenergic yang meningkatkan denyut dan
kontraktilitas jantung dan efek indirek berupa vasokonstriksi. Kalau
hipotensi berat dan atau bradikardi menetap disamping intervensi
diatas dapat diberikan epinephrin 5-10 ug intravena. 1
2. Manifestasi Pulmonal
Perubahan klinis yang jelas dari fisiologi pulmomal umumnya
minimal dengan blokade neuroaxial karena diafragma dipersarafi oleh
saraf frenikus dengan serabut yang berasal dari C3-C5. Kecuali pada
level torakal tinggi, volume tidal tidak berubah, hanya sedikit
penurunan vital capacity, akibat dari hilangnya kontribusi otot
abdomen untuk tenaga ekspirasi. 1
Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat menggunakan otot
pernafasan tambahan (otot interkostal atau abdominal) untuk inspirasi
dan ekspirasi. Blokade saraf yang tinggi dapat mengganggu otot-otot
tersebut. Hal yang sama, batuk dan kemampuan untuk mengeluarkan
sekret memerlukan otot-otot yang diperlukan untuk ekspirasi. Untuk
alasan ini, blokade neuroaksial harus digunakan dengan hati-hati pada
23

pasien dengan fungsi respirasi yang terbatas. Efek buruk ini


dibutuhkan untuk pertimbangan melawan keuntungan pencegahan
penggunakan alat airway dan ventilasi tekanan positif. Untuk
pembedahan diatas umbilikus, teknik anestesi regional saja mungkin
bukan merupakan pilihan terbaik untuk pasien dengan penyakit paru
berat. Sebaliknya, pasien dapat mengambil keuntungan dengan
penggunaan epidural torakal (dengan obat anestesi lokal dan opioid)
untuk pengelolaan nyeri pascabedah, terutama setelah operasi
abdomen atas atau torakal. Beberapa bukti menyokong analgesia
pascabedah dengan torakal epidural pada pasien dengan resiko tinggi
dapat memperbaiki outcome pulmonal dengan menurunkan kejadian
pneumonia dan gagal nafas, memperbaiki oksigenasi, dan
menurunkan lamanya penggunaan ventilasi mekanis. 1
3. Manifestasi Gastrointestinal
Outflow simpatis berasal dari level T5-L1. Blokade neuroaxial,
yang menimbulkan blokade simpatis menyebabkan tonus vagal lebih
dominan dan menyebabkan usus berkontraksi dengan aktif peristaltik.
Keadaan ini dapat menghasilkan kondisi operasi yang baik untuk
prosedur laparoskopi bila digunakan untuk menambah anestesi umum.
Analgesia epidural pascabedah menunjukkan mempercepat
kembalinya fungsi GIT. Hepatic blood flow akan menurun dengan
menurunnya mean arterial pressure (MAP) dari setiap teknik anestesi.
Untuk operasi intraabdominal, penurunan perfusi hepatik lebih
diakibatkan karena manipulasi bedah daripada akibat teknik anestesi. 1
4. Manifestasi Traktus Urinarius
Renal blood flow diatur melalui mekanisme autoregulasi, dan
hanya ada efek kecil dari blokade neuroaksial pada fungsi ginjal.
Anestesi neuroaksial pada level lumbal dan sakral memblokade
kontrol saraf simpatis dan parasimpatis untuk fungsi vesica urinaria.
Hilangnya kontrol vesica urinaria otonom menyebabkan retensi urine
sampai efek blokade hilang. Bila tidak dipasang kateter urine, pakai
obat anetesi yang mempunyai lama kerja singkat dengan dosis kecil
serta membatasi
24

jumlah cairan infus yang diberikan. Pasien harus dipantau untuk


kejadian retensi urine untuk menghindari distensi kandung kemih
setelah anestesi neuroaksial. 1
5. Manifestasi Metabolik dan Endokrin
Trauma bedah menimbulkan respon neuroendokrin melalui
respons inflamatori yang terlokalisir dan mengaktifkan serabut saraf
aferent somatik dan visceral. Respons ini termasuk peningkatan kadar
adrenocorticotropic hormon, kortisol, epinephrine, norepinefrin, dan
vasopresin serta mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Manifestasi kliniknya antara lain terjadi hipertensi intraoperatif dan
postoperatif, takikardi, hiperglikemia, catabolisme protein, penekanan
respon imun, dan perubahan fungsi ginjal. Blokade neuroaksial dapat
sebagian menekan (pada operasi besar) atau memblok secara total
(pada operasi ekstrimitas bawah) respons stres ini. Dengan
mengurangi pelepasan katecholamine, blokade neuroaksial dapat
menurunkan aritmia perioperatif dan kemungkinan mengurangi
kemungkinan terjadinya iskhemia. Untuk memaksimalkan blunting
/penumpulan stres respons neuroendokrin, neuroaksial blok harus
dilakukan sebelum insisi dan berlanjut ke periode pascabedah. 1

2.2.4 Pertimbangan Klinik Untuk Spinal Analgesia


1. Indikasi
Blokade neuroaksial dapat digunakan secara tersendiri atau
digabung dengan anestesi umum untuk pembedahan dibawah leher.
Sebagai anestesi primer, blokade neuroaksial kebanyakan digunakan
untuk operasi abdominal bawah, ingunal, urogenital, rectal, dan
ekstrimitas bawah. Operasi spinal lumbal dapat dilakukan dengan
spinal anestesi. Prosedur abdomen atas misalnya cholesistektomi
dapat dilakukan dengan spinal atau epidural anestesi, tapi sulit untuk
mencapai blokade sensoris yang adekuat untuk kenyamanan pasien
sambil menghindari komplikasi blok tinggi. 1
25

Spinal anestesi telah digunakan untuk operasi pada neonatal. Bila


dipertimbangkan untuk melakukan neuroaksial anestesi, resiko dan
keuntungan harus didiskusikan dengan pasien, dan informed consent
harus dilakukan. Penting untuk menyiapkan mental pasien, bahwa
pilihan teknik anestesi bergantung pada tipe pembedahan, tidak ada
kontraindikasi. Pasien harus mengerti bahwa mereka akan merasa
lumpuh sampai efek blokade hilang. Pembedahan yang menyebabkan
kehilangan darah yang banyak, mengganggu fungsi pernafasan,
operasi yang lama umumnya dilakukan dengan anestesi umum dengan
atau tanpa blokade neuroaksial. 1
2. Kontra Indikasi
Kontraindikasi utama untuk anestesi neuroaksial adalah bila
pasien menolak, gangguan perdarahan, hipovolemia berat,
peningkatan ICP, infeksi pada tempat suntikan, penyakit katup jantung
stenosis berat, obstruksi outflow ventrikel. Kontraindikasi relatif dan
kontroversial terlihat pada (Tabel 2.2). Anestesi regional memerlukan
kooperativitas pasien. Hal ini mungkin sulit atau tidak mungkin pada
pasien dengan dementia, psikosis, atau ketidakstabilan emosi. Anak
kecil juga merupakan hal yang tidak memungkinkan dilakukan dengan
anestesi regional saja tanpa dikombinasi dengan sedatif atau anestesi
umum. 1

Tabel 2.2 Kontraindikasi blokade neuroaksial1


26

2.2.5 Posisi Pasien


1. Sitting Position (Posisi Duduk)

Gambar 2.6 Posisi Duduk1

Anatomi midline paling mudah bila pasien duduk dibandingkan


dengan bila pasien dalam posisi lateral decubitus, terutama pada
pasien obesitas. Pasien duduk dengan siku terletak di paha atau
memeluk bantal. Fleksi spine (like a mad cat) memaksimalkan target
area antara prosesus spinosus dan membawa spine mendekati kulit.
Garis yang menghubungkan titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri
disebut Garis Tuffier. Garis yang menghubungkan posterior superior
spina iliaka melewati foramina S2. 1
2. Posisi Lateral Dekubitus

Gambar 2.7 Posisi Lateral Dekubitus1


27

Banyak klinisi yang lebih menyukai posisi lateral untuk blok


neuroaksial. Pasien berbaring pada satu sisi dengan lutut fleksi dada
ditarik semaksimal mungkin kearah dada atau abdomen, seperti posisi
fetal (disebut fetal position). 1
3. Posisi Prone Buie’s (Jackknife)

Gambar 2.8 Posisi Prone Buie’s (Jackknife) 1

Posisi ini digunakan untuk prosedur anorektal utilizing obat


anestesi lokal yang hipobarik. Keuntungannya blok ini dikerjakan
pada posisi yang sama seperti posisi untuk prosedur pembedahannya
(jackknife). Kerugian teknik ini adalah CSF tidak bebas mengalir
melalui jarum, maka penusukan yang tepat tidak dapat
dikonfirmasikan dengan aspirasi CSF. Posisi prone juga digunakan
bila bila diperlukan tuntunan flurokopi. 1

2.2.6 Pendekatan Anatomi


Pendekatan Midline dilakukan palpasi spine terlebih dulu, anti septik,
duk steril. Biarkan larutan antiseptik kering dulu, hindari jangan sampai
larutan antiseptik terbawa ke ruangan subarachnoid oleh jarum spinal karena
dapat menimbulkan meningitis akibat zat kimia. Tanda bahwa masuk
ruangan epidural adalah adanya loss of resistance dan tanda bahwa masuk
ruangan subarachnoid adalah keluarnya likuor. 1
Pendekatan Paramedian, mungkin dipilih bila blok epidural atau
subarachnoidal sulit, terutama pada pasien yang sulit diposisikan (misalnya
28

artritis berat, kiposkoliosis, sebelumnya dilakukan operasi lumbal spine).


Tempat penyuntikan 2 cm dari titik tengah midline. Menilai level blokade
sensoris dermatom dengan pinprick memakai jarum tumpul, sedangkan
level blok simpatis dinilai dengan mengukur sensasi kulit terhadap suhu. 1

Gambar 2.9 Pendekatan Paramedian1

2.3 Manajemen Anestesi Spinal pada Pasien dengan Operasi Orif pada
Fraktur Cruris Sinistra
Ruangan subarachnoid dimulai dari foramen magnum sampai S2 pada
dewasa dan sampai S3 pada anak-anak. Suntikan anestetika lokal dibawah
L1 pada dewasa dan L3 pada anak-anak mencegah trauma langsung pada
medula spinalis. Spinal anestesia juga disebut subarachnoid block atau
suntikan intratekal.1
2.3.1 Jarum Spinal
Jarum Spinal dijual dalam berbagai ukuran, panjang, level dan tipnya
(Quincke, Whitacre, Sprotte). Semuanya mempunyai stilet removable yang
fitting yang menutup secara lengkap untuk menghindari masuknya sel epitel
kedalam ruangan subarachnoid. Secara luas, jarum dapat dibagi kedalam
tipe yang tajam (cutting) dan yang tumpul (blunting). 1
29

Gambar 2.10 Jarum Spinal1

Jarum Quincke adalah tipe cutting. Diperkenalkannya ujung yang


tumpul (pencil point) secara nyata menurunkan kejadian sakit kepala setelah
penusukan dura (PSH = post spinal headache). Whitacare dan beberapa
jarum memiliki titik lingkaran dan injeksi sampingan. Sprotte adalah jarum
injeksi samping dengan bukaan panjang. Ini memiliki keuntungan dari aliran
CSF yang lebih kuat dibandingkan jarum pengukur serupa. Namun hal ini
dapat menyebabkan gaga blok jika bagian distal dari bukaan adalah
subarachnoid (dengan aliran bebas CSF), bagian proksimal tidak melewati
dura, dan dosis penuh obat tidak diberikan. Secara umum, semakin kecil
jarum pengukur, semakin rendah insidensi sakit kepala. 1

2.3.2 Teknik Khusus untuk Spinal Anesthesia


Pendekatan midline, paramedian atau prone dapat digunakan untuk
spinal anestesi. Seperti yang telah disebutkan diatas, jarum disuntikkan melalui
kulit ke struktur yang lebih dalam sampai dirasakan dua “pop”. Yang
pertama adalah penusukan ligamentun flavum dan yang kedua adalah
penusukan membran dura- arachnoid. Berhasilnya tusukan dura
dikonfirmasikan setelah menarik stilet terlihat keluarnya CSF. Dengan
jarum spinal yang kecil (<25g), terutama bila tekanan CSF rendah (misalnya
pada pasien yang dehidrasi), mungkin diperlukan aspirasi untuk mendeteksi
CSF. Bila pada saat permulaan terlihat keluar CSF tapi kemudian CSF tidak
dapat diaspirasi, kemungkinan jarum berpindah. Bila ada
30

parestesi yang menetap atau nyeri saat penyuntikan harus menarik jarum dan
redirect jarum. 1

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi Level Blokade


Tabel 2.3 dibawah menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi
level blokade setelah anestesi spinal. Faktor yang paling penting adalah
barisitas, posisi pasien selama dan segera setelah penyuntikkan, dan dosis
obat. Secara umum, lebih besar dosis dan lebih tinggi tempat suntikan, lebih
tinggi level anestesi yang dicapai. Lebih jauh, penyebaran obat anestesi
lokal kearah sefalad pada CSF tergantung pada gravitas spesifik relatif
terhadap CSF (barisitas). CSF mempunyai gravitas 1.003-1.008 pada suhu
37̊C. Suatu larutan obat anaestesi lokal yang hiperbarik berarti lebih berat
(lebih padat) daripada CSF sedangkan yang hipobarik kurang padat (lebih
ringan) daripada CSF. Obat anestesi lokal dapat dibuat menjadi hiperbarik
dengan menambah glukosa atau menjadi hipobarik dengan menambahkan
air steril. Jadi dengan posisi head down, suatu larutan yang hiperbarik
menyebar sefalad dan larutan yang hipobarik bergerak kearah caudad. Posisi
head-up menyebabkan larutan hiperbarik bergerak kearah caudad dan
larutan hipobarik bergerak kearah sefalad. Sama halnya, pada posisi lateral,
larutan hiperbarik lebih mempunyai efek pada sisi bawah, sebaliknya larutan
yang hipobarik akan kearah atas. Suatu larutan isobarik akan tetap pada
level penyuntikkan. Obat anestesi bercampur dengan CSF (1:1) menjadi
isobarik. Faktor lain yang mempengaruhi level blokade adalah tinggi/level
tempat penyuntikkan, tinggi pasien, dan anatomi kolumna vertebralis. Arah
bevel jarum atau tempat keluarnya obat pada jarum suntik juga memegang
peranan; level anestesi yang lebih tinggi dicapai kalau suntikan diarahkan ke
sefalad daripada bila ujung suntikkan diarahkan ke lateral atau caudal. 1
31

Tabel 2.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi level anestesi1


Faktor paling penting
Barisitas obat anestesi lokal
Posisi pasien
Selama penyuntikkan
Segera setelah penyuntikan
Dosis obat
Tempat penyuntikkan
Faktor Lain
Umur
CSF
Volume obat
Tekanan intraabdominal
Arah jarum
Tinggi pasien
Kehamilan

Larutan hiperbarik bertendensi untuk bergerak kedaerah yang lebih


bawah (normalnya T4-T8 pada posisi supine). Dengan anatomi spinal yang
normal, apex dari kurvatura torakolumbal adalah di T4 pada posisi supine,
hal akan membatasi larutan hiperbarik untuk menimbulkan level anestesi
pada level T4 atau dibawah T4. Kurvatura spine yang abnormal, misalnya
scoliosis dan kiposcoliosis, mempunyai efek multiple pada spinal anestesi.
Penempatan blok (penyuntikan jarum) menjadi lebih sulit karena rotasi dan
angulasi dari korpus vertebra dan prosesus spinosus. Sulit menemukan
midline dan space interlaminal. Pendekatan paramedian untuk tusukan
lumbal lebih disukai pada pasien dengan scoliosis berat dan kiposcoliosis,
terutama bila dihubungkan dengan penyakit sendi degeneratif. Pendekatan
paramedian paling mudah untuk spinal anestesi pada level L5-S1. Pada
pendekatan Taylor, suatu variasi dari pendekatan paramedian standar, jarum
ditusukkan 1 cm medial dan 1 cm inferior dari spina iliaka superior posterior
diarahkan ke sefalad dan menuju midline. Melihat lagi radiograph spine
32

sebelum melakukan penyuntikan sangat berguna. Kurvatura spinal


mempengaruhi ultimate level dengan merubah kontur ruangan
subarachnoid. Operasi spinal yang dilakukan sebelumnya juga akan
menyulitkan penyuntikkan. 1
Volume CSF inversely berhubungan dengan level anestesi.
Peningkatan tekanan intraabdomen atau kondisi yang menyebabkan
pembesaran vena epidural, akan menurunkan volume CSF dan menambah
tingginya blok. Keadaan ini misalnya kehamilan, ascites, dan tumor
abdomen besar. Pada situasi klinis ini, level anestesi yang lebih tinggi
tergantung dosis obat anestesi lokal. Untuk spinal anestesi pada paturien
aterm, dosis obat anestesi lokal dapat dikurangi 1/3 nya dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil. Bertambahnya umur akan mengurangi
volume CSF, maka pada geriatri akan didapatkan level anestesi yang lebih
tinggi bila dilakukan spinal anestesi. Kiposis berat atau kiposkoliosis
dihubungkan dengan penurunan volume CSF dan sering mengakibatkan
level anestesi yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan, terutama dengan
teknik hipobarik dan penyuntikan yang cepat. Peningkatan tekanan CSF
akibat batuk atau mengejan, atau turbulensi suntikan mempunyai pengaruh
terhadap penyebaran obat anestesi lokal dalam CSF. 1

Tabel 2.4 Gravitas dari Obat Anestesi Lokal1


Obat Gravitas
Bupivacaine
0,5% dalam 8,25% dextrose 1,0227-1,0278
0,5% polos 0,9990-1,0058
Lidokain
2% polos 1,0004-1,0066
5% dalam 7,5% dextrose 1,0262-1,0333
Prokain
10% polos 1,0104
2,5% dalam air 0,9983
Tetrakain
0,5% dalam air
0,9977-0,9997
0,5% dalan D5W
1,0133-1,0203
33

2.3.4 Obat pada Anestesi Spinal


Banyak obat anestesi lokal yang digunakan untuk spinal anestesi di
masa lalu, akan tetapi hanya beberapa yang masih digunakan. Ada yang
menarik dari obat lama disebabkan laporan adanya TNS (Transient
Neurological Symptom) dengan lidokain 5%. Hanya obat anestesi lokal yang
tidak mengandung zat preservatif yang digunakan. Penambahan
vasokonstriktor (alpha adrenergic agonist) dan opioid dapat meningkatkan
kualitas dan atau memperpanjang lamanya spinal anestesi. Vasokonstriktor
termasuk epinefrin (0,1-0,2 mg) dan phenilefrin (1-2 mg). Kedua obat ini
menurunkan uptake dan klirens obat anestesi lokal dari CSF dan mempunyai
gambaran spinal analgesia lemah. Klonidin dan Neostigmin juga
mempunyai efek spinal analgesi, tapi pengalaman sebagai additif untuk
spinal anestesi terbatas. Bupivacain hiperbarik dan tetrakain adalah dua dari
banyak obat anestesi lokal yang sering digunakan untuk spinal anestesi.
Keduanya mempunyai mula kerja yang relatif lambat (5-10 menit) dan
mempunyai lama kerja yang panjang (90-120 menit). Walaupun kedua obat
ini mempunyai blokade sensoris yang serupa, spinal tetrakain menimbulkan
blokade motoris yang lebih kuat daripada dosis yang ekuivalen dengan
bupivakain. Penambahan epinefrin pada bupivakain spinal memperpanjang
lama kerja hanya modestly. Sebaliknya, epinefrin dapat memperpanjang
efek anestesi tetrakain lebih dari 50%. Phenilefrin juga memperpanjang
blokade anestesi oleh tetrakain tapi tidak mempunyai efek pada anestesi
bupivakain. Ropivacaine juga digunakan untuk spinal anestesi, tapi
pengalaman penggunaannya lebih terbatas. Dosis intratekal 12 mg
ropivakain secara kasar sama dengan 8 mg bupivacain, tapi tidak
menunjukkan keuntungan untuk spinal anestesi. Lidokain dan prokain
mempunyai onset yang cepat (35 menit) dan lama kerja yang singkat (60-90
menit). Ada konflik data bahwa lama kerja memanjang dengan
vasokonstriktor, suatu efek yang modest. Walaupun lidokain untuk spinal
telah digunakan di seluruh dunia, kehati-hatian harus diperhatikan karena
adanya Transient Neurological Symptom (TNS) dan cauda equina
syndrome. Beberapa pakar menasihatkan lidokain hanya aman digunakan
sebagai spinal anestesi bila dosis total hanya 60 mg dan dilarutkan
34

menjadi 2,5% atau kurang dengan opioid dan atau CSF sebelum disuntikkan.
Pengulangan dosis setelah suatu kegagalan blokade harus dihindari. Spinal
anestesi hiperbarik lebih sering digunakan daripada isobarik atau hipobarik. 1
Level anestesi bergantung pada posisi pasien selama penyuntikkan atau
segera setelah penyuntikkan. Pada posisi duduk, sadlle block dapat dicapai
bila pasien tetap duduk selama 3-5 menit setelah penyuntikkan sehingga
hanya saraf lumbal dan sakral yang di blok. Jika pasien berubah posisi dari
posisi duduk ke terlentang segera setelah penyuntikkan, obat anestesi lokal
akan bergerak ke cephalad sesuai dengan kurvatura torakolumbal, karena
pengikatan oleh protein belum lengkap. Obat anestesi hiperbarik yang
disuntikkan intratekal dengan posisi pasien lateral dekubitus digunakan
untuk operasi ekstrimitas bawah unilateral. Pasien di posisikan lateral
dengan daerah yang akan dioperasi di sebelah bawah. Kalau pasien
dibiarkan pada posisi ini selama 5 menit setelah penyuntikkan, blok akan
bertendensi kearah
lebih dalam dan level lebih tinggi pada daerah yang sebelah bawah. 1
Bila anestesi regional dipilih untuk prosedur pembedahan termasuk
operasi panggul dan ekstrimitas bawah, dapat digunakan obat anestesi lokal
hipobarik atau isobarik spinal anestesi karena pasien tidak dapat berbaring
pada daerah yang akan dioperasi. 1
Tabel 2.5 Dosis, penggunaan, dan durasi anestesi spinal yang umum digunakan1
35

2.4 Obat – obat Anestesi Tambahan


Banyak obat yang secara rutin diberikan perioperatif untuk mencegah
pneumonitis aspirasi, untuk mencegah atau mengurangi kejadian mual dan
muntah perianestetik, atau untuk mencegah depresi pernapasan sekunder
akibat narkotika atau benzodiazepin.1
1. 5-HT3 RESEPTOR
ANTAGONIS Mekanisme aksi
Ondansetron, granisetron, tropisetron, dan dolasetron secara selektif
memblokir reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek pada
reseptor dopamin (reseptor 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen vagal
abdominalis) dan di tengah (zona pemicu kemoreseptor di area postrema
dan nukleus traktus solitarius), memiliki peran penting dalam inisiasi
refleks muntah. Reseptor 5-HT3 dari zona pemicu kemoreseptor di area
postrema berada di luar sawar darah-otak. Zona pemicu kemoreseptor
diaktifkan oleh zat-zat seperti anestesi dan opioid dan memberi sinyal
pada nukleus traktus solitarius, menghasilkan PONV. Stimulus
emetogenik dari saluran GI juga merangsang perkembangan PONV.
Ondansetron dapat diberikan dengan dosis 4 -8 mg. 1
2. Ketorolac
Ketorolac adalah obat antiinflamasi nonsteroid parenteral (NSAID)
yang memberikan efek analgesia dengan menghambat sintesis
prostaglandin. Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan nyeri
jangka pendek (<5 hari), Dosis standar ketorolac memberikan analgesia
setara dengan 6 hingga 12 mg morfin yang diberikan melalui rute yang
sama, obat ini memiliki durasi aksi yang lebih lama (6-8 jam), tidak
menyebabkan depresi pernapasan, sedasi, atau mual muntah. Ketorolac
tidak melewati sawar darah-otak. 1
Seperti NSAID lainnya, ketorolac menghambat agregasi dan
memperpanjang waktu perdarahan. Karena itu harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien yang berisiko mengalami perdarahan pasca operasi.
Administrasi jangka panjang mungkin menyebabkan toksisitas ginjal
(misalnya, nekrosis papiler) atau ulserasi saluran GI dengan
36

perdarahandan perforasi. Ketorolak diberikan 60 mg intramuskuler atau


30 mg dosis intravena. Dosis pemeliharaan 15 hingga 30 mg setiap 6 jam
direkomendasikan. 1
3. Efedrin
Efek kardiovaskular efedrin, simpatomimetik nonkatekolamin, serupa
dengan epinefrin: peningkatan tekanan darah, detak jantung,
kontraktilitas, dan curah jantung. Demikian juga, efedrin juga merupakan
bronkodilator. Namun demikian, terdapat perbedaan penting: Efedrin
memiliki durasi kerja yang lebih lama, jauh lebih kecil potensinya,
memiliki aksi tidak langsung dan langsung, dan menstimulasi sistem
saraf pusat (meningkatkan konsentrasi alveolar minimum). Sifat agonis
tidak langsung dari efedrin mungkin karena pelepasan norepinefrin
postsynaptic perifer atau penghambatan reuptake norepinefrin. 1
Efedrin biasanya digunakan sebagai vasopressor selama anestesi.
Dengan demikian, pemberiannya harus dipandang sebagai tindakan
sementara. Sementara penyebab hipotensi ditentukan dan diperbaiki.
Tidak seperti agonis α1 kerja langsung, efedrin pada domba percobaan
tidak menurunkan aliran darah uterus; dengan demikian, selama
bertahun- tahun itu adalah vasopressor pilihan dalam anestesi kebidanan.
Saat ini fenilefrin banyak digunakan pada pasien kebidanan yang
menjalani anestesi neuroaksial karena onsetnya lebih cepat, durasi
kerjanya lebih pendek, titrasi lebih mudah, dan kurangnya efek samping
pada pH janin relatif terhadap efedrin. Pada orang dewasa, efedrin
diberikan sebagai bolus 2,5 hingga 10 mg; pada anak-anak, diberikan
sebagai bolus 0,1 mg / kg. Dosis selanjutnya ditingkatkan untuk
mengimbangi perkembangan takifilaksis, yang mungkin karena
menipisnya simpanan norepinefrin. Efedrin tersedia dalam ampul 1 mL
yang mengandung 25 / 50 mg agen.1
37

Tabel 2.6 Dosis dan Durasi Obat Tambahan1

2.5 Manajemen Anestesi


Tahapan manajemen anestesi yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1
1. Evaluasi Praoperasi
Evaluasi praoperasi berguna untuk menentukan rencana operasi
yang akan dilakukan. Hal utama yang diperlukan untuk mendapatkan
hasil evaluasi preoperasi yang efektif adalah dengan mengetahui riwayat
pengobatan dan dengan melakukan pemeriksaan fisik pada pasien, selain
itu perlu diketahui juga daftar pengobatan yang dilakukan pasien baik
yang terdahulu maupun yang sekarang, daftar alergi yang dimiliki serta
apabila diketahui pasien pernah melakukan prosedur operasi sebelumnya
maka perlu diketahui reaksi terhadap anestesi sebelumnya. Selain itu
evaluasi dapat juga mencakup tes diagnosis, prosedur pencitraan atau
konsultasi dari ahli kesehatan lainnya saat diperlukan . Hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan evaluasi praoperasi adalah.1
1) Riwayat penyakit (anamnesis)
Hal yang harus diketahui pada pasien yaitu riwayat penyakit yang
pernah dialami, contohnya seperti masalah kardiovaskuler, paru,
endokrin dan masalah metabolik, koagulasi, serta masalah
gastrointestinal. 1
38

a. Permasalahan kardiovaskuler1
Secara umum, indikasi untuk penyelidikan pada permasalahn
kardiovaskuler sama pada pasien bedah yang lainnya.
b. Permasalahan paru1
Pedoman yang dikembangkan oleh America College of
Physiciants mengidentifikasi bahwa pasien yang berusia 60 tahun
ke atas dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dengan
toleransi olahraga yang rendah, ketergantungan fungsional atau
dengan kegagalan jantung memerlukan intervensi pra operasi dan
pasca operasi untuk mencegah komplikasi pernafasan. Risiko
komplikasi pernafasan pasca operasi berhubungan dengan
beberapa faktor risiko antara lain status ASA 3 dan 4, merokok,
operasi yang berlangsung lebih dari 4 jam dan anestesi umum.
Upaya pencegahan komplikasi pernafasan pada pasien yang
berisiko perlu dilakukan penghentian merokok beberapa minggu
sebelum opeasi. Pasien dengan asma, memiliki risiko lebih besar
untuk terjadi bronkspasme selama manipulasi jalan nafas.
c. Permasalahan endokrin dan metabolik 1
Banyaknya pasien diabetes yang datang untuk operasi tidak
mempertahankan glukosa darah dalam kisaran yang disarankan.
Adanya keadaan hiperglikemia pada pasien yang akan
menjalankan operasi elektif akan menyebabkan operasi tersebut
ditunda hingga dijadwalkan untuk pemberian insulin hingga
konsentrasi glukosa darah mendekati nirmal sebelum operasi
dimulai.
d. Permasalahan koagulasi 1
Tiga masalah koaguasi yang harus diatasi selama evaluasi
praoperatif,yaitu bagaimana mengelola pasien yang mengonsumsi
warfarin atau long acting anticoagulants, pasien dengan penyakit
arteri koroner yang menngonsumsi clopidogrel dan bagaimana
cara memberikan anestesi regional dengan aman kepada pasien
yang mendapatkan terapi anti koagulan dalam jangka waktu yang
lama.
39

e. Permasalahan gastrointestinal1
Risiko aspirasi meningkat pada kelompok pasien tertentu,
antara lain pasien yang sedang hamil pada trimester 2 dan 3,
pasien setelah mengonsumsi makanan dan pasien yang menderita
penyakit refluks eosofagus (GERD).
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan meliputi tanda vital
(tekanan darah, denyut jantung, laju pernafasan, dan suhu), serta
pemeriksaan lainnya meliputi jalan nafas, jantung, paru yang
menggunakan standar pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.1
Selain itu sebelum melakukan prosedur anestesi, diharuskan
melakukan pemeriksaan jalan nafas pada pasien, apabila ditemukan
kelainan contohnya meliputi gigi yang mudah tanggal, penggunaan
gigi palsu, lidah yang besar, gerakan terbatas pada sendi
temporomandibular, mikrognatia, dan leher pendek akan
menunjukkan tanda penyulit yang mungkin terjadi pada saat
melakukan tindakan intubasi trakea. 1
3) Pemeriksaan laboratorium
Dalam melakukan pemeriksaan laboratorium idealnya berdasarkan
riwayat (anamnesis) dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. 1
2. Pramedikasi
Pramedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan
dalam rangka pelaksanaan anestesi, hal ini berguna untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, mengurangi nyeri, mengurangi kebutuhan obat
anestetik, mengurani kejadian mual dan muntah pasca operasi, membantu
pengosongan lambung dan mencegah refleks yang membahayakan. 1
3. Dokumentasi
1) Catatan penilaian praoperatif 1
Catatan penilaian praoperatif merupakan catatan yang
menggambarkan kondisi pasien, hal tersebut meliputi anamnesis
(riwayat penyakit terdahulu, riwayat anestesi dan penggunaan obat-
obatan), pemeriksaan
40

fisik, hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Melalui catatan


praoperatif dapat diidentifikasi rencana anestesi yang menunjukkan
jenis anestesi yang akan digunakan, rencana alternatif, kelebihan dan
kekurangan dari prosedur anestesi yang dipilih yang disertai dengan
surat informed consent.
2) Catatan anestesi intraoperatif 1
Catatan anestesi intra operatif berguna sebagai pemantauan operatif.
3) Catatan post-operatif 1
Catatan post operatif berguna untuk mendokumentasikan, kondisi
pasca operasi, pemulihan pasien pasca anestesi, dan komplikasi terkait
anestesi yang mungkin terjadi.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
Nama : Aldi Febrian
No RM : 61.09.16
Tanggal lahir : 12 Februari 2006
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal MRS : 11 September 2021
Spesialis Anestesi : dr. Rizky Noviyanti Dani, Sp. An
Spesialus Bedah : dr. David, Sp. OT
Diagnosis Prabedah : Fraktur femur dextra
Jenis Pembedahan : Open Reduction and Internal Fixation
(ORIF) Diagnosis Pascabedah : Post ORIF

3.2 Anamnesis (Auto Anamnesis)


3.2.1 Keluhan Utama
Kaki kanan tidak dapat digerakkan sejak 1 hari SMRS.

3.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan kaki
kanan tidak dapat digerakkan setelah mengalami kecelakaan sejak 1 hari
SMRS. Keluhan juga disertai rasa nyeri pada kaki kanan, nyeri dirasakan
lebih hebat ketika kaki hendak digerakkan. Pada hari jum'at sore penderita
sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba sebuah motor dari arah
depan menabrak motor penderita. Saat kejadian penderita menggunakan
helm dan tidak mengkonsumsi alkohol. Riwayat pingsan (-), sakit kepala (-),
muntah (-), kesemutan (-), keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-), nyeri

41
4

dada dan perut (-). Penderita langsung dibawa ke RS Sungai Lilin dan
kemudian dirujuk ke RSUD Palembang Bari. Pada saat di bawa ke RSUD
Palembang Bari, pasien sudah dipasang spalk.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi makanan (-)
Riwayat alergi obat (-)

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi makanan (-)
Riwayat alergi obat (-)

3.2.5 Riwayat Pengobatan


Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya.

3.3 Keadaan Pra Anestesi


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E3M6V5)
Tanda vital
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,5℃
4

SpO2 : 99%
BB : 58 kg
TB : 170 cm

Pemeriksaan Jalan Nafas


L (Look) : Trauma fasialis (-)
E (Evaluation) : Jarak antar gigi incisivus > 3 jari
Jarak hyoid mental > 3
jari Jarak thyromental > 2
jari
M (mallampati Score): 1
O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : Mobilitas ROM leher maksimal.

3.4 Pemeriksaan Khusus


Kepala: Normocephali (+)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor (+/+)
Hidung : Tidak ada
secret/bau/perdarahan Telinga : Tidak
ada secret/bau/perdarahan
Mulut : Bibir tidak sianosis, tidak ada pigmentasi, mukosa
tidak pucat.
Leher : Jejas (-), pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cmH2O
Thoraks :
Paru : Vesikuler (+/+), rhonkhi (-/-), wheezing
(-/-) Jantung : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Superior Inferior
Oedema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Gerak +/+ Sulit dinilai/+
Kekuatan 5/5 Sulit dinilai/5
4

Status Lokalis
Regio Femur
Dextra
Look : Pemendekan (+), bengkak (+), deformitas (+) angulasi ke
lateral, kulit utuh (tidak terdapat luka robek)
Feel : Terdapat nyeri tekan (+), pulsasi distal teraba (+), sensibilitas
normal
Movement : Nyeri gerak aktif (+), nyeri gerak pasif (+), ROM sulit dinilai,
krepitasi tidak dilakukan.
Neuro vascular distal (NVD) : Arteri dorsalis pedis teraba, capillary refill
time (CRT) < 2 detik, dan sensibilitas
normal.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi
Hb 11,0 g/dl 14-16 g/dl
Eritrosit 4,55 jt/uL 4.5-5.5 jt/uL
Leukosit 10.500 /uL 5.000-10.000/uL
Trombosit 160.000/ mm3 150.000-400.000/mm3

Hematokrit 36% 40-52 %


Waktu pendarahan 3 menit 1-6 menit
Waktu pembekuan 10 mrnit 10-15 menit

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 1% 1-3%
Netrofil batang 0% 2-6%
Netrofil segmen 63% 50-70%
Limfosit 24% 20-40%
Monosit 12% 2-8%
Kimia klinik
Ureum 35 mg/dl 20-40 mg/dl
4

Kreatinin 0,7 mg/dl 0,6-1,1 mg/dl


GDS 115 mg/dl < 180 mg/dl
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 135-155 mmol/L
Kalium 4.05 mmol/L 3,6-6,5 mmol/L

b. EKG
Irama Sinus, 80 kali/menit

c. Rontgen Thorax
Cor dan pulmo tidak tampak kelainan

3.6 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas,
maka :
 Diagnosis klinis : Fraktur Femur Dextra
 Diagnosis Anestesi : ASA I
 Rencana operasi : ORIF
 Rencana Anestesi : Anestesi regional dengan teknik spinal

3.7 Laporan anestesi durante operasi (Catatan


Anestesi) Mulai anestesi : 13 September 2021, pukul
14:00 WIB Lama anestesi : 3 Jam
Lama operasi : 3 jam

3.7.1 Status Fisik ASA


ASA I

3.7.2 Penyulit Pranastesi


Tidak ada penyulit.
4

3.7.3 Ceklist Sebelum Induksi


Izin operasi :+
Cek mesin anestesi :+
Check suction unit :
+ Persiapan obat-obatan :
+

3.7.4 Teknik Anestesi


Anestesi regional dengan teknik spinal, lokasi L3-L4
Kateter : Ya

3.7.5 Monitoring
SpO2 :+
HR :+
TD :+

3.7.6 Posisi Pasien


Posisi supine/terlentang

3.7.7 Induksi
Injeksi Bupivacaine 0,5 % 15mL dengan jarum no.27G

3.7.8 Obat – Obat


Tambahan
Ondansentron 8 mg
Ketorolac 30 mg
Efedrin 50 mg
Fentanyl 25mcg
4

3.8 Post Operasi


CATATAN KAMAR PEMULIHAN
Data masuk
Jam 15:45 WIB
Pernafasan: Spontan (adekuat bersuara)
Kesadaran: Sadar betul
BROMAGE Score: 1
1. Gerakan penuh tungkai 0
2. Tak mampu ekstensi tungkai 1
3. Tak mampu fleksi lutut 2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
* Score < 2 boleh pindah ruangan
TOTAL : 1

Pukul Tekanan Darah Nadi


15:45 128/80 90
16:00 126/80 90

Keluar kamar pulih


Jam 16.00 WIB
Ke: Ruang Rawat Inap

3.8.1 Intruksi Pasca Bedah


Bila kesakitan : Ketorolac 30 mg
Bila mual/muntah : Sesuai instruksi dokter
Antibiotik : Sesuai instruksi dokter
Obat-obatan lain : Sesuai instruksi dokter
Infus : Sesuai instruksi dokter
Minum : Bila sadar penuh
Pemantauan Tanda Vital dan GCS : Tiap 60 menit selama 24 jam.
BAB IV
PEMBAHASA
N

Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan kaki kanan
tidak dapat digerakkan setelah mengalami kecelakaan sejak 1 hari SMRS.
Keluhan juga disertai rasa nyeri pada kaki kanan, nyeri dirasakan lebih hebat
ketika kaki hendak digerakkan. Saat kejadian penderita menggunakan helm dan
tidak mengkonsumsi alkohol. Riwayat pingsan (-), sakit kepala (-), muntah (-),
kesemutan (-), keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-), nyeri dada dan perut
(-). Berdasarkan anamnesia, pemeriksaan fisik, serta penunjang, diagnosis bedah
pasien yaitu Fraktur Femur Dextra 1/3 Medial. rencana operasinya adalah Open
Reduction and Internal Fixation (ORIF), dengan jenis anestesi yang digunakan
adalah anestesi regional berupa spinal anestesi. Sebagai anestesi primer, blok
neuroaxial salah satunya regional telah dibuktikan sebagai anestesi paling
bermanfaat untuk pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan
sekitar rektum-perineum, serta bedah obstetri-ginekologi. Pembedahan lumbal
spinal juga dapat digunakan dibawah spinal anestesia.1
Sebelum dilakukan operasi, pasien telah melalui tahapan preoperatif yang
merupakan tindakan yang dilakukan sebelum dilakukan anestesi dan proses
pembedahan, tindakan preoperative dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang rontgen thorax, serta
menilai kebugaran fisik berdasarkan The American Society of Anesthesiologists.
Dari proses preoperatif yang telah dilakukan didapatkan tekanan darah: 120/80
mmHg, nadi: 88x/menit, suhu: 36,5℃, pernapasan 22x/menit, SpO2 99%. Selain
itu, pasien dipuasakan selama 6 jam sebelum dilakukan operasi. Serta dilakukan
penilaian ASA dan didapatkan nilai ASA 1 yang bermakna pasien dalam keadaan
sehat tanpa ditemukan kelainan sistemik. 1
Operasi dilakukan tanggal 13 September 2021 Pukul 14.00 WIB. Setelah
dilakukan pemasangan NIBP dan O2 didapatkan TD: 120/70 mmHg, Nadi
90x/menit, dan SpO2 100%. Setelah itu diberikan obat co-induksi yaitu
ondansentron 4mg IV. Pemberian ondansetron bertujuan untuk mengurangi risiko
terjadinya post operative nausea vomiting (PONV). Ondansetron secara selektif
48
4

memblokir reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek pada reseptor
dopamin (reseptor 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen vagal abdominalis) dan
di central (zona pemicu kemoreseptor di area postrema), dan nukleus traktus
solitarius yang memainkan peran penting dalam inisiasi refleks muntah. Reseptor
5-HT3 dari zona pemicu kemoreseptor di area postrema berada di luar sawar
darah- otak. Zona pemicu kemoreseptor ini diaktifkan oleh zat-zat seperti anestesi
dan opioid dan memberi sinyal pada nukleus traktus solitarius hingga
menyebabkan terjadinya PONV.1
Pada pasien ini dilakukan anestesi regional yaitu anestesi spinal. Teknik
penyuntikan untuk anestesi spinal dapat menggunakan pendekatan midline (garis
tengah) atau paramedian, kemudian pasien dapat diposisikan pada posisi
dekubitus lateral, posisi duduk, atau tengkurap. Terdapat tiga jenis jarum spinal,
yaitu tipe Quincke, Whitacre, dan Sprotte. Jarum dimasukkan ke kulit hingga ke
struktur yang lebih dalam sampai terasa dua "tonjolan". Yang pertama adalah
penetrasi ligamentum flavum, dan yang kedua adalah penetrasi membran dura-
arachnoid. Tusukan dural yang dikatakan berhasil dipastikan dengan menarik
stylet untuk memverifikasi cairan serebrospinal (CSF). Dengan jarum ukuran
kecil (ukuran
<25), aspirasi mungkin diperlukan untuk mendeteksi CSF. Parestesia persisten
atau nyeri dengan suntikan obat mengharuskan dokter untuk menarik dan
mengarahkan jarum dengan cepat.1
Obat anestesi yang digunakan adalah Bupivacaine 0,5%. Dosis bupivacaine
0.5% pada prosedur ORIF femur adalah 15mg.2 Bupivacaine merupakan salah
satu jenis obat anestesi regional. Anestesi regional bekerja dengan mengikat dan
menghambat daerah spesifik dari subunit α, sehingga mencegah aktivasi saluran
dan masuknya natrium (Na) yang berhubungan dengan depolariasi membran.
Saluran natrium merupakan protein membran yang terdiri dari satu subunit besar
α yang akan dilalui ion Na+ dan satu atau dua subunit ß yang lebih kecil.1
Selama tahap intraoperatif, dilakukan monitoring yang bertujuan untuk
membantu untuk mendapatkan informasi fungsi organ vital selama intraoperatif.
Selama tahap intraoperatif diberikan obat tambahan yaitu fentanyl 10-25 mcg.
Fentanil merupakan bentuk sintetis dari turunan phenylpiperidine yang
berinteraksi dengan reseptor μ-opioid serta beberapa dari reseptor δ dan κ-opioid
yang berlokasi
5

di otak, spinal cord, dan jaringan lain. Fentanil memiliki efek langsung pada pusat
sistem pernapasan di batang otak yang mengakibatkan berkurangnya respon dari
peningkatan tegangan karbondioksida serta stimulasi elektrik yang dapat berujung
pada gagal nafas. Salah satu komplikasi dari anestesi regional adalah hipotensi.
Hipotensi adalah efek samping yang umum dari anestesi neuraksial. Ini terutama
karena penurunan saraf simpatis dan sangat ditekankan kompresi aortokaval dan
posisi tegak atau semi-tegak. Pemberian ephedrin pada kasus ini digunakan
sebagai vasopresor selama anestesi. Efedrin tersedia dalam ampul 1 mL yang
mengandung 25 atau 50 mg agen.1 Pada saat intraoperatif juga diberikan ketorolac
30 mg, dimana pemberian ketorolac bertujuan untuk memberikan efek analgesia
dengan menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diindikasikan untuk nyeri
jangka pendek (<5 hari). 1
Saat tahap operatif berlangsung, dilakukan pemeriksaan tanda vital pasien
dengan tujuan mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perianesthesia.
Monitoring dilakukan dengan menilai fungsi kardiovaskular (nadi, tekanan darah,
banyaknya perdarahan), monitoring respirasi tanpa alat (gerakan dada-perut,
warna mukosa bibir, kuku, ujung jari), dan oksimetri. 1
Cairan intraoperatif yang digunakan adalah sebagai
berikut: IWL: Jenis operasi (berat) x BB
= 6 x 58kg
= 348

Maintenance: Kebutuhan air: 30-50ml/kgbb/hari


= 50 x 58kg
= 2.900 : 24 = 121 cc/jam

Puasa: jam x maintenance


= 6 x 121 cc
= 726 cc
5

Cairan intra operatif:


1 jam pertama: ½ puasa + maintenance + IWL
= (½ x 726)+ 121 + 348
=832 cc
1 jam berikutnya: ¼ puasa+ maintenance + IWL
= (¼ x 726)+ 121 + 348
=650,5 cc

Pada saat pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
untuk diawasi secara lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil, penderita
baru kemudian dibawa ke bangsal untuk perawatan selanjutnya. Namun, sebelum
dipindahkan ke ruang perawatan dilakukan penilaian pulih sadar dengan
menggunakan skala bromage. Pada pasien ditemukan pasien dapat mengangkat
tungkai bawah dengan nilai 1, hal ini menandakan pasien dalam kondisi stabil dan
diperbolehkan pindah ke ruang perawatan.
BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan


adalah pemilihan anestesi untuk tindakan bedah ORIF menggunakan anestesi
regional dengan teknik spinal. Pasien diposisikan duduk. Induksi diberikan adalah
bupivacain 15 mg sebagai anestetik regional. Diberikan juga ondansetron untuk
mengurangi risiko terjadinya post operative nausea vomitting (PONV), fentanyl
sebagai opioid analgesik, efedrin yang digunakan sebagai vasopressor, dan
ketorolac yang merupakan obat antiinflamasi nonsteroid yang juga memberikan
efek analgesia. Nilai Bromage score pada pasien adalah 1, sehingga pasien bisa
dipindahkan ke ruang rawat inap.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, E., Mikhail, M., Murray, M. 2018. Clinical Anesthesiology. Edisi


ke- 6 New York: McGraw-Hill.
2. Agus Desiartama1 dan Wien Aryana. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien
Fraktur Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika, Vol. 6
No.5, 1-4.
3. Denisiuk M, Afsari A. Femoral Shaft Fractures. [Updated 2021 Jan 9]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556057/
4. Sjamsuhidajat R & Wim de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.

53

Anda mungkin juga menyukai