Anda di halaman 1dari 19

Referat

PERITONITIS

Oleh :
Dinda Arista, S.Ked
712021051

Pembimbing
dr Jimmy Vareta, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul :


Peritonitis

Dipersiapkan dan disusun oleh


Dinda Arista, S.Ked
712021051

Telah diterima disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang

Palembang, 1 Juni 2023


Dosen Pembimbing

dr Jimmy Vareta, Sp.B


KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai
“Peritonitis” sebagai salah satu tugas individu di Departemen Ilmu Penyakit Bedah
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai
akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun
tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih terutama kepada:
1. dr. Jimmy Vareta, Sp.B selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan co-ass serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.
Palembang, Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi...................................................................................................2
2.2 Epidemiologi..........................................................................................2
2.3 Etiologi ..................................................................................................2
2.4 Embriogenesis .......................................................................................3
2.5 Patogenesis ............................................................................................4
2.6 Klasifikasi .............................................................................................5
2.7 Diagnosis ...............................................................................................6
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................7
2.9 Komplikasi ............................................................................................11
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis merupakan peradangan pada selaput serosa yang melapisi rongga
abdomen dan organ viseral didalamya (peritoneum) dan merupakan suatu
kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan bakteremia atau sepsis. Berdasarkan
data WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun dengan angka
kematian 9661 ribu orang meninggal, dimana negara tertinggi yang menderita
penyakit peritonitis adalah Amerika Serikat. Di Indonesia jumlah penderita peritonitis
berjumlah sekitar 9% dari jumlah penduduk atau sekitar 179.000 penderita.1,2
Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan melalui klinis pasien, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik,
yaitu palpasi abdomen, dapat ditemukan nyeri tekan dan rebound tenderness,
sedangkan pada pemeriksaan x-ray thorax ditemukan gambaran pneumoperitoneum
pada sekitar 70-80% perforasi viseral.2
Peritonitis harus didiagnosis dan ditangani sedini mungkin karena penanganan
yang tidak tepat waktu dapat mengancam jiwa.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peritonitis
2.2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisal parietal dan visceral. Rongga
peritoneal berisi omentum, ligamen, dan mesenterium. Organ intraperitoneal meliputi
lambung, limpa, hati, bagian pertama dan keempat duodenum, jejunum, ileum,
transversal dan colon sigmoid. Organ retroperitoneal terletak di belakang selubung
posterior peritoneum dan termasuk aorta, esofagus, bagian kedua dan ketiga
duodenum, kolon ascendes dan descenden, pankreas, ginjal, ureter, dan kelenjar
adrenal.3
Ruang penting dalam rongga peritoneum adalah foramen epiploika atau
foramen Winslow. Foramen ini memungkinkan komunikasi antara kantung yang
lebih besar dan lebih kecil. Dibatasi oleh ligamentum hepatoduodenal di anterior,
vena cava inferior (IVC) di posterior, duodenum di inferior, dan lobus caudate hati di
superior. Foramen menyediakan akses ke ahli bedah, jika mereka perlu menjepit
ligamen hepatoduodenal untuk menghentikan perdarahan atau mendapatkan akses
anatomis ke kantung yang lebih kecil. Foramen juga bisa berfungsi sebagai lokasi
hernia kantung kecil. 3
Omentum mayor secara longgar menggantung dari kelengkungan lambung
yang lebih besar dan melipat di atas usus bagian depan sebelum melengkung ke
belakang untuk menempel pada kolon transversal. Ini bertindak sebagai lapisan
pelindung atau isolasi. Mesenterium membantu menempelkan organ perut ke dinding
perut dan mengandung banyak pembuluh darah, saraf, dan limfatik. Organ
intraperitoneal biasanya bergerak sedangkan organ di retroperitoneum biasanya
melekat pada dinding perut posterior. Mesenterium dorsal juga mengeluarkan
mesocolon transversal dan sigmoid, yang penting karena mengandung suplai darah,
saraf, dan limfatik untuk struktur terkait. 3
Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan
organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior). Berbeda dengan ligamen
peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum
(karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan
adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic
ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri dari
hepatogastric dan hepatoduodenal ligament. 4

Gambar 2.1. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan


peritoneum parietal dan visceral

Gambar 2.2. Ligamen Peritoneum dan omentum


Peritoneum parietal menerima darah dari pembuluh darah dinding perut,
termasuk arteri iliaka, lumbar, epigastrium, dan interkostal. Peritoneum visceral
menerima pasokan dari arteri mesenterika superior dan inferior. Dua bagian
peritoneum juga berbeda dalam drainase venanya: peritoneum parietal mengalir ke
vena kava inferior sementara peritoneum visceral mengalir ke vena portal.3
Peritoneum memiliki persarafan somatik dan otonom yang membantu
menjelaskan mengapa berbagai patologi perut, seperti peritonitis atau radang usus
buntu muncul seperti itu. Peritoneum parietal menerima persarafan dari saraf tulang
belakang T10 melalui L1. Persarafan ini bersifat somatik dan memungkinkan sensasi
nyeri dan suhu yang dapat dilokalisasi. Peritoneum visceral menerima persarafan
otonom dari nervus Vagus dan persarafan simpatis yang mengakibatkan sensasi perut
yang sulit dilokalisir yang dipicu oleh distensi organ. 3
Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi
pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya
terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang
terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir,
juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle
guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari
peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa
seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral
terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara
lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut), dan
suprapubik (struktur hindgut). 2,4

2.2.2. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang bisa disebabkan oleh
bakteri atau reaksi kimiawi. Peritonitis merupakan inflamasi pada peritoneum yang
terdiri atas membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan organ viseral di
dalamnya dan merupakan suatu kegawatdaruratan yang dapat disertai dengan sepsis.2
Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum
baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural
history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.18 Peritonitis umumnya
dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer), secondary peritonitis (sekunder) ,
dan tertiary peritonitis (tersier).11,18,19 Peritonitis primer merupakan peradangan pada
peritoneum yang penyebabnya berasal dari ekstraperitoneal dan umumnya dari
hematogenous dissemination.16 Peritonitis sekunder adalah peritonitis akibat
hilangnya integritas dari traktus gastrointestinal yang umumnya disebabkan perforasi
traktus gastrointestinal karena organ intra-abdomen yang terinfeksi. 11,16 Adanya
peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang adekuat terhadap
peritonitis primer atau sekunder dinamakan dengan istilah peritonitis tersier.16

2.2.3. Epidemiologi
Menurut data WHO angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun
dengan angka kematian 9961 ribu orang meninggal. Negara tertinggi yang menderita
penyakit ini adalah Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661 penderita.
Hasil survey yang dilakukan pada tahun 2015 angka kejadian peritonitis masih tinggi.
Di Indonesia jumlah penderita peritonitis berjumlah sekitar 9% dari jumlah penduduk
atau sekitar 179.000 penderita. Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian
tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10- 40%. Beberapa
penelitian menunjukkan angka mortalitas di Indonesia mencapai 60% bahkan lebih.1

2.2.4. Klasifikasi
Peritonitis berdasarkan luas infeksinya dibagi menjadi peritonitis lokalisata
yang merupakan peritonitis dengan nyeri yang dapat dilokalisasi atau diisolasi pada
bagian tertentu dari perut. Sedangkan peritonitis generalisata/difus yang ditandai
dengan nyeri tekan yang telah meluas di seluruh lapang perut. Contoh klasik
peritonitis lokal adalah nyeri tekan lokal pada titik McBurney dalam diagnosis
apendisitis. Saat iritan menyebar ke seluruh rongga peritoneum, peritonitis menjadi
difus. Klasifikasi peritonitis sebagai lokas versus difus sangat membatu secara klinis.
Pasien dengan peritonitis difus memerlukan tindakan bedah/eksplorasi segera,
sedangkan pasien dengan tanda klinis lokal seringkali dapat menjalani evaluasi lebih
lanjut.5
Berdasarkan etiologinya, perinotinis dibagi menjadi:
1. Peritonitis primer terjadi akibat infeksi primer pada orang sehat tanpa
adanya riwayat trauma atau tindakan pembedahan. Peritonitis primer
terjadi akibat translokasi bakteri, penyebaran hematogen, atau kontaminasi
iatrogenik pada abdomen tanpa defek makroskopik pada saluran cerna. 6
Biasanya disebabkan oleh kuman Streptokokus. Peritonitis bakterial
primer lebih banyak terjadi pada anak-anak dan wanita dewasa.
2. Peritonitis sekunder merupakan proses infeksi dan peradangan peritoneum
akibat translokasi bakteri ke rongga peritoneum dari suatu perforasi isi
saluran cerna atau kontaminasi dari luar misalnya pada trauma tembus
abdomen.
3. Peritonitis tersier timbul jika infeksi masih ada setelah pasien mendapat
terapi infeksi untuk peritonitis bakterial sekunder. Peritonitis tersier
memiliki tingkat mortalitas tinggi dengan masa rawat intensif yang lebih
lama dibandingkan dengan peritonitis bakterial sekunder tanpa
komplikasi. Kuman penyebab yang terbanyak adalah Enterokus, Kandida,
Stafilokokus epidermidis, dan Enterobakter. Tindakan laparotomi tidak
cukup bermanfaat pada kondisi ini karena infeksi sudah bersifat sistemik.
Peritonitis tersier disebabkan oleh iritan langsung yang sering terjadi pada
pasien dengan imunokompromais dan orang-orang dengan kondisi
komorbid. 1

2.2.5. Patofisiologi
Organisme gram-negatif dan/atau anaerobik biasanya menjadi penyebab
infeksi jika mekanisme inokulasi adalah perforasi. Flora usus (E. Coli, K.
Pneumoniae, dll) melepaskan endotoksin yang bertanggung jawab atas dekade
inflamasi yang terlalu reaktif yang menyebabkan sepsis.10 Inflamasi rongga perut
tanpa adanya patogen infeksius (peritonitis aseptik) paling sering terjadi sebagai
respon terhadap paparan peritoneum terhadap cairan steril (yaitu lambung, empedu,
atau urin), enzim pankreas, atau benda asing.1
Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk
dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri
tersebut menyebabkan reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh
mekanisme pertahanan peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai pembentukan
eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri- bakteri
masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut
menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction
Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang
dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut
menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan
dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju
nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000
sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut dalam rongga
abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis
(ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya
terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus
paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.1
Empedu dan urin aseptik menyebabkan inflamasi peritoneum minimal,
sedangkan kebocoran cairan lambung dan enzim pankreas menyebabkan reaksi
peritoneum yang lebih intens. Peritonitis sekunder diidentifikasi sebagai proses septik
akibat kontaminasi dari saluran gastrointestinal (GI). Kebocoran GI dapat terjadi
melalui dinding lambung dan usus yang diakibatkan oleh adanya ulserasi, obstruksi
benda asing, neoplasia, trauma, kerusakan iskemik atau dehiscence dari sayatan
bedah sebelumnya. Perforasi gastroduodenal secara spontan dapat dikaitkan dengan
pemberian obat antiinflamasi nonsteroid atau pemberian kortikosteroid, penyakit
infiltasi GI neoplastik dan nonneoplastik, gastrinoma, dan penyakit hati.1
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi secara
terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena
adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus sehingga terjadi mekanisme
“walling off” atau defans muscular. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat
terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intraabdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi
sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.1
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan peradangan
yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada peritoneum. Peritonitis
primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda dalam
patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak berasal
dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan langsung
dengan gangguan organ gastrointestinal).11,12 Sedangkan pada sekunder ditemukan
adanya kerusakan integritas traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi
maupun akibat infeksi.11
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril

terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.12


Dalam keadaan
fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga
peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal
hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal terjadi
pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster
atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus,
kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator).12

2.2.6 Diagnosis
Pada anamnesis pasien peritonitis, perlu ditanyakan terkaitkan riwayat nyeri
akut seperti lokasi nyeri, derajat nyeri, dan perpindahan nyeri. Hal tersebut perlu
karena nyeri abdomen merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien
peritonitis. Nyeri yang dirasakan pasien dapat terlokalisir ataupun pula dapat
menyebar. Kualitas dari nyeri yang diderita ialah konstan, tajam, dan menusuk. Nyeri
yang dirasakan pasien dapat bertambah berat apabila pasien melalukan gerakan
sehingga kebanyakan pasien akan berbaring diam dengan posisi menekuk lutut untuk
mengurangi rasa sakit dan ketegangan pada dinding perut. 2 Setelah itu perlu pula
ditanyakan terkait riwayat demam oleh karena demam merupakan gejala tersering
kedua setelah nyeri abdomen. 7 Suhu tubuh umumnya akan meningkat hingga di atas
38°C pada pasien.8 Berbagai macam gejala klinis juga dapat ditemukan seperti
sembelit, perut kembung, penurunan nafsu makan, malaise, menggigil, syok,
dehidrasi, mual, muntah serta konstipasi juga dapat muncul, kecuali jika terjadi abses
panggul yang dapat menyebabkan diare. 2
Melalui pemeriksaan fisik, pada inspeksi biasanya terdapat tanpa pembesaran
perut atau distensi perut. Lalu pada pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan tanda
ileus paralitik berupa penurunan bising usus. Pada perkusi akan terdengar bunyi
hipertimpani akibat perut yang distensi. Pada palpasi dapat ditemukan tanda patologis
peritoneal, seperti defans muscular, rebound tenderness, dan nyeri tekan saat palpasi
yang merupakan gejala mayor peritonitis sekunder. 1
Beberapa pasien dengan nyeri akut abdomen dapat datang dengan patologi
yang serius, namun tanpa gejala yang spesifik. Dalam hal ini, dokter dapat melakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk
menegakkan diagnosis pasti. Untuk pemeriksaan laboratorium menunjukkan
leukositosis yang merupakan salah satu penanda adanya peritonitis sekunder. 8
Pemeriksaan urea dan elektrolit penting dilakukan untuk mengkonfirmasi
adanya dehidrasi dan gagal ginjal akut, serta hasil pemeriksaan dapat digunakan
sebagai pedoman penggantian cairan elektrolit. Tes fungsi hati dan serum amilase
dengan konsentrasi tinggi, menandakan pankreatitis akut sebagai penyebab peritonitis
sekunder, sedangkan peningkatan moderat menandakan adanya gangguan abdominal
lainnya, misalnya perforasi ulkus duodenum. 2
Salah satu pemeriksaan peritonitis ialah menggunakan foto X-Ray dimana
akan terdapat gambaran pneumoperitoneum apabila terjadi perforasi dari hollow
organ/organ berongga yang merupakan salah satu penyebab dari peritonitis.
Pneumoperitoneum adalah adanya udara atau gas di rongga perut (peritoneum).
Biasanya terdeteksi pada x-ray, tetapi sejumlah kecil udara peritoneal bebeas
mungkin terlewatkan dan sering terdeteksi pada computerized tomography (CT).
Penyebab paling umum dari pneumoperitoneum adalah perforasi/gangguan dinding
viskus berongga. Penyebab pneumoperitoneum yang terjadi pada anak-anak berbeda
dengan populasi orang dewasa. 9

2.2.6. Tatalaksana
Fokus utama manajemen adalah identifikasi dan pengobatan yang ditargetkan
dari agen penyebab melalui antibiotik dan/atau intervensi bedah. Tindakan non
operatif termasuk pemberian antibiotik spektrum luas dengan penatagunaan yang
tepat yakni menyesuaikan rejimen untuk mencapai peningkatan kemanjuran dengan
menargetkan mikroorganisme yang diidentifikasi. USG atau CT-Scan dapat
mempermudah dalam melakukan drainase abses, melakukan penempaatara stent
perkutan/endoskopik dan intervensi non bedah. Terapi tambahan difokuskan pada
pengurangan efek pelepasan toksin, kerusakan organ akhir, dan respon inflamasi yang
dimediasi host yang patognomonik untuk sepsis.10
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x
13
3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). Terapi empiris untuk
bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial peritonitis
(PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami perbaikan gejala
dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat diberikan selama 5
hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif). Hal
yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai
70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis
dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu,
norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim- sulfamethoxazole. 13
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi
etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik
sistemik, dan terapi suportif (resusitasi). Tidak seperti penanganan peritonitis primer
yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua non penanganan
peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat life-saving.15 Tindakan
pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive source control” dengan
mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan
toksinnya dalam rongga abdomen.17 Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan
pembedahan dapat memperburuk prognosis.
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi
cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah
disfungsi organ.15 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif
serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract lebih mengarah
ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon lebih mengarah ke
polimikrobial aerob dan anaerob).16 Beberapa pilihan regimen antibiotik yang
direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/ β-lactamase
inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau golongan fluorokuinolon
(levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone
1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang
masuk Intensive Care Unit dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau
meropenem 3x 1gram intravena).15 Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien
afebris dengan leukosit normal dan hitung jenis batang < 3%. 14 Resusitasi cairan dan
monitoring hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean
arterial pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang
central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).16 Tindakan lainnya, meliputi
pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan
mual-muntah yang dominan.15 Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok
septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari
kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.15 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan
agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai. 15 Secara umum,
kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi
(perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).14,16 Pada perforasi kolon lebih aman
dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis
usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik). 14
Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat
dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan
mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re- akumulasi dari pus). 14,16,15 Tidak
direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia lainnya.
Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup
dengan benang non- absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa
basah selama 48- 72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat
dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-
abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai
teknik open-abdomen).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Okaniawan PEP, Dewi SSK. Diagnosis dan Pendekatan Terapi Pasien


Peritonitis. Ganesha Medicina Journal. 2022. 2(2): 120-128.
2. Mananna A, Tangel SJ, Prasetyo E. Diagnosis Akut Abdomen Akibat
Peritonitis. E-Clinic. 2019. 9(1): 33-39.
3. Kalra A, Wehrle CJ, Tuma F. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Peritoneum.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2022
4. Amalia A, Avit S, Deddy S. Hubungan Jumlah Leukosit Pre Operasi dengan
Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendektomi pada Pasien Apendisitis
Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018.
7(4): 491-96.
5. Clements TW, Tolonen M, Ball CG, Kirkpatrick AW. Secondary Peritonitis
and Intraabdominal Sepsis: An Increasingly Global Disease in Search of
Better Systemic Therapies. Scandinavian Journal of Surgery. 2021. 110(2):
139-149.
6. Marquez HS, Araujo G, da Silva F, de Brito BB, Versiani P, Caires JS, Milet
TC & de Melo FF. Tertiary Peritonitis: A Disease that Should not be Ignored.
World Journal of Clinical Cases. 2021. 9(10): 2160-2169.
7. Kumar D, Garg I, Sarwar AH, Kumar L, Kumar V, Rahrakhia S, et al. Causes
of Acute Peritonitis and its Complication. Cureus. 2021. 13(5): 15301.
8. MahyoubA, AlamriAM, Al-SalehAN, AlessaHA, AlsaediWH, Alshammari
MA. Cronicon EC Microbilogy Presentation and Management of Acute
Peritonitis. 2019. 11:172-8.
9. Sureka B, Bansal K, dan Arora A. Pneumoperitoneum: What to look for in a
radiograph?. Journal of Family Medicine and Primary Care. 2015. 4(3): 477-
478.
10. Brown D, Vashisht R, Caballero Alvarado JA. Septic Peritonitis. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing. 2022.
11. Yulianto FA, R. Kince SM, Ihsan K. Faktor Prediksi Perforasi Apendiks pada
Penderita Apendisitis Akut Dewasa di RS Al-Ihsan Kabupaten Banding
Periode 2013-2014. Global Medical and Health Communication. 2016. 4(2):
114-119.
12. Adam’s Anatomy Picture. 2020. Available at:
http://adameducation.com/adam-interactive-anatomy.
13. Baresti, SW., dan Tofik R. Sistem Skoring Baru untuk Mendiagnosis
Apendisitis Akut. Majority. 6(3); 2017. p. 170-172
14. Brunicardi, FC., Andersen DK., Billiar TR., et al. Shwartz’s Principle of
Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies ; 2010.
15. Matthew JS., Marjorie G., and Stephen C. Acute Appendicitis: Efficient
Diagnosis and Management. American Family Physician. 98(1); 2018. p. 25-
33
16. Sjamsuhidajat, R., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Keempat. Jakarta:
EGC ; 2017
17. Jones, MW., Richard Al., and Jeffrey GD. Appendicitis. 2020. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
18. Thomas, GA., Ishak L., dan Adrian T. Angka Kejadian Apendisitis di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2012- September 2015.
Jurnal e-Clinic. 4(1); 2016. p. 231-35
19. Fransisca, C., I Made G., dan Ni Made M. Karakteristik Pasien dengan
Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2015-
2017. Jurnal Medika Udayana. 8(7); 2019

Anda mungkin juga menyukai