PERITONITIS
Oleh :
M. Avif Ababil, S. Ked
712019024
Pembimbing :
dr. Bobby, Sp.B
PERITONITIS
Oleh:
M. Avif Ababil, S. Ked
712019024
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu
Bedah di Rumah Sakit Umum Palembang BARI.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wata ‘ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul Judul: “Peritonitis” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam beserta para
keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Bobby, Sp.B, selaku pembimbing yang telah memberikan masukan serta
bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah Subhanahu wata ‘ala memberikan balasan pahala atas segala
amal yang telah diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Anatomi..........................................................................................................3
2.2 Definisi...........................................................................................................8
2.3 Epidemiologi..................................................................................................8
2.4 Etiologi...........................................................................................................9
2.5 Patofisiologi..................................................................................................10
2.6 Gejala Klinis.................................................................................................12
2.7Diagnosis.......................................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan............................................................................................14
2.10Komplikasi...................................................................................................18
2.11 Prognosis....................................................................................................18
BAB III. LAPORAN KASUS..............................................................................20
3.1 Identitas Pasien.............................................................................................20
3.2 Anamnesis....................................................................................................20
3.3 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................20
3.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................................22
3.5 Diagnosis......................................................................................................24
3.6Tatalaksana....................................................................................................24
3.7 Prognosis......................................................................................................25
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................26
BAB V. KESIMPULAN.......................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik
pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi peritonitis
bisa terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik.1
Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen. Akut
abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena masalah bedah
dan non bedah. Peritonitis secara umum adalah penyebab kegawatan abdomen yang
disebabkan oleh bedah. Peritonitis tersebut disebabkan akibat suatu proses dari luar
maupun dalam abdomen. Proses dari luar misalnya karena suatu trauma, sedangkan
proses dari dalam misal karena apendisitis perforasi.2
Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan
bakteremia atau sepsis. Kejadian peritonitis akut sering dikaitkan dengan perforasi
viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis dikategorikan sebagai primary peritonitis.1
Menurut survei World Health Organization (WHO), kasus peritonitis di dunia
adalah 5,9 juta kasus. Di Republik Demokrasi Kongo, antara 1 Oktober dan 10
Desember 2004, telah terjadi 615 kasus peritonitis berat (dengan atau tanpa perforasi),
termasuk 134 kematian (tingkat fatalitas kasus, 21,8%), yang merupakan komplikasi
dari demam tifoid.4
Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hamburg-Altona Jerman, ditemukan
73% penyebab tersering peritonitis adalah perforasi dan 27% terjadi pasca operasi.
Terdapat 897 pasien peritonitis dari 11.000 pasien yang ada. Angka kejadian
peritonitis di Inggris selama tahun 2002-2003 sebesar 0,0036% (4562 orang).5
Peritonitis dapat mengenai semua umur dan terjadi pada pria dan wanita.
Penyebab peritonitis sekunder yang bersifat akut tersering pada anak-anak adalah
perforasi apendiks, pada orangtua komplikasi divertikulitis atau perforasi ulkus
1
peptikum. Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah, respiratory
distress syndrome, dan sepsis yang dapat menyebabkan syok dan kegagalan banyak
organ.6
Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita
bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti mendapatkan angka ini
mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.3
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatnya morbiditas
dan mortalitas. Ketetapan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.3
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini antara lain:
1. Memahami dan mampu mendiagnosis peritonitis secara tepat berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan fisik.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di
Bagian Ilmu Bedah.
3. Memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2.1 Anatomi Peritoneum
4
lapisan parietal di bagian luarnya yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan
dengan fascia muscular.8
Bagian parietal mempunyai banyak persyarafan dan ketika teriritasi akan
menyebabkan rasa sakit yang hebat yang terlokalisir pada area tertentu. Peritonium
parietal dipersyarafi oleh serabut tepi yang berasal dari T6-L1 ( syaraf somatic ),
sedangakan peritoneum visceral di persyarafi oleh serabut sensoris yang menerima
rangsangan melalui syaraf simpatis dan N. Splanchnicus T5-L3. Peritoneum parietal
akan menimbulkan nyeri somatic karena rangsangan pada bagian yang di persyarafi
syaraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietal ataupun luka dinding perut.
Nyeri dirasakan seprti di tusuk-tusuk, dan pasien dapat menunjukan secara tepat
letaknya denagn jari.8
Rangsangan yang menimbulkan nyeri dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang
kimiawi ataupun proses radang. Peritoneum parietal mempunyai komponen somatic
dan visceral dan memungkinkan lokalisasi rangsangan yang berbahaya dengan
menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas. Peritoneum visceral dipersyarafi oleh
syaraf otonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan, hanya berespon
terhadap traksi dan regangan. Lokasi nyeri yang timbul tidak jelas dan diffuse. Pasien
akan menunjukan lokasi nyeri dengan pola yang khas sesuai dengan persyarafan
embrional organ yang terlibat. Saluran yang berasal dari usus depan ( foregut ) yaitu
lambung, duodenum, sisitem hepatobilier dan pancreas akan menyebabkan nyeri ulu
hatiatau epigastrium. Bagian saluran cerna yang berasal dari usus tengah yaitu usus
halus dan usu besar sampai pertenagahan colon tranversum menyababkan nyeri di
sekitar umbilicus. Bagian saluran cerna lainnya yaitu colon sigmoid yang bersal dari
usus belakang ( hindgut ).8
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati
peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan.
Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat
penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium sehingga disebut
retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di
dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak
intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei.
5
Dengan demikian:8
- Duodenum terletak retroperitoneal;
- Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium;
- Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
- Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung
disebut mesocolon transversum;
- Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat
penggantungmesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
- Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum
terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan
mesosigmoideum. Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica
semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak
sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. Dataran peritoneum
yang dilapisi mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluarkan
sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum
synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat
intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang, pemutaran ventriculus dan
jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya
disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut
situs inversus.8
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang
terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup
(coelom) dengan batas-batas:8
- Anterior dan lateral : Permukaan bagian dalam dinding abdomen
- Posterior : Retroperitoneum
- Inferior : Struktur ekstraperitoneal di pelvis
Superior : Bagian bawah dari diafragma
6
Peritoneum dibagi atas :8
- peritoneum parietal
- peritoneum viseral
- peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon,
mesosigmidem, dan mesosalphinx.
- peritoneum bebas yaitu omentum
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera membentuk
peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu potensi ruang diantara
kedua lapisan yang disebut rongga peritoneal.8
Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal terdiri
atas plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang dari
30 g/L, juga mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermacam sel
imun.8
Fisiologi Peritoneum
7
dan diarahkan ke sirkulasi porta. Partikel dengan ukuran lebih besar dari 3 kd diserap
melalui sirkulasi limfatik peritoneum, yang memasuki duktus torako limfatikus dan
dari sana menuju ke sirkulasi sistemik. Rute terakhir penyerapan ini memainkan
peranan penting dalam mengontrol infeksi abdominal karena memiliki kapasitas
absorbs yang besar. Struktur anatomis dari saluran-saluran besar diantara rongga
peritoneal dan pembuluh-pembuluh darah diafragma dan tekanan negatif dari toraks
saat inspirasi menyebabkan mekanisme ini sangat efektif untuk menyingkirkan
bakteri dan sel-sel. Permukaan yang besar dan semipermeable dari membran
peritoneum dapat dimanfaatkan dari segi terapi pada dialisis peritoneal.7
8
Peritonitis dapat mengenai semua umur dan terjadi pada pria dan wanita.
Penyebab peritonitis sekunder yang bersifat akut tersering pada anak-anak adalah
perforasi apendiks, pada orangtua komplikasi divertikulitis atau perforasi ulkus
peptikum. Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah, respiratory
distress syndrome, dan sepsis yang dapat menyebabkan syok dan kegagalan banyak
organ.6 Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita
bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti mendapatkan angka ini
mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.3
9
tersier adalah Enterococcus, Candida, Staphylococcus epidermidis, dan
Enterobacte.12
Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis
lokalisata dan peritonitis generalisata. Peritonitis sekunder generalisata adalah salah
satu kegawatdaruratan bedah yang paling umum.13
10
a. Tahap I
Melibatkan pembuangan kontaminan secara cepat dari rongga peritoneum ke
dalam sirkulasi sistemik. Itu terjadi karena cairan peritoneal yang terkontaminasi
bergerak ke arah sefalad sebagai respons terhadap gradien tekanan yang
dihasilkan oleh diafragma. Cairan melewati stomata di peritoneum diafragma dan
diserap ke dalam kekosongan limfatik. Getah bening mengalir ke saluran limfatik
utama melalui nodus substernal. Hasil septikemia terutama melibatkan bakteri
anaerob fakultatif Gram-negatif dan dikaitkan dengan morbiditas yang tinggi.13
b. Tahap II
Melibatkan interaksi sinergis antara aerob dan anaerob saat mereka bertemu
dengan komplemen inang dan fagosit. Aktivasi komplemen merupakan kejadian
lini pertama pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan didapat;
aktivasi terjadi terutama oleh jalur klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang
mendukung. Surfaktan fosfolipid yang diproduksi oleh sel mesothelial peritoneal
bekerja secara sinergis dengan komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan
fagositosis. Sel mesothelial peritoneal juga merupakan sekretor kuat dari
mediator pro-inflamasi, termasuk interleukin-6, dan -8, monocyte
chemoattractant protein-1, protein inflamasi makrofag-1α dan faktor nekrosis
tumor-α.2 Oleh karena itu, sel mesothelial peritoneal berperan sebagai peran
sentral dalam jalur pensinyalan sel yang mengarah ke perekrutan fagosit ke
rongga peritoneum dan peningkatan regulasi sel mast dan fibroblas di
submesothelium.13
c. Tahap III
Upaya pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi terutama melalui produksi
eksudat fibrinosa yang menjebak mikroba di dalam matriksnya dan mendorong
mekanisme efektor fagositik lokal. Ini juga berfungsi untuk mendorong
perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin sangat
penting untuk proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dihasilkan oleh
sel mesothelial peritoneal menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah
cedera peritoneum dilapisi atau diatur menjadi adhesi fibrosa. Secara khusus,
tumor necrosis factor-α menstimulasi produksi inhibitor aktivator plasminogen-1
oleh sel mesothelial peritoneal, yang menghambat degradasi fibrin.13
11
2.6 Gejala Klinis 13
Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun
tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita
bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
- Demam
- Mual dan muntah
- Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
- Dehidrasi hingga syok
- Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising
usus
- Deffense muscular (+)
- Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
- Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
- Sulit BAB dan flatus
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis biasanya memilih posisi
terlentang di tempat tidur dengan lutut di fleksikan dan bernafas dengan otot
intercostal secara cepat dan sempit karena gerakan apapun dapat meningkatkan
intensitas nyeri abdominal. Suhu tubuh bisa mencapai 42°C. Takikardi dan
melemahnya denyut nadi mengindikasikan keadaan hipovolemik yang umum terjadi
pada kebanyakan pasien. Tekanan darah biasanya normal pada fase awal penyakit.
12
Semakin parahnya peritonitis, tekanan darah semakin menurun hingga mencapai level
syok.15,16.
Nyeri tekan baik baik superfisial maupun nyeri tekan dalam adalah tanda yang
paling khas pada peritonitis. Nyeri ini biasanya terasa paling sakit pada daerah organ
penyebabnya.Kekakuan pada otot dinding abdomen disebabkan oleh reflex otot dan
proses sadar tubuh untuk mengurangi nyeri. Suara hipersonor yang disebabkan
distensi usus akibat adanya udara sering terdengar pada pemeriksaan perkusi.
Pneumoperitoneum akibat rupturnya organ berongga bisa menyebabkan penurunan
suara beda pada hati. Bising usus melemah dan akhirnya menghilang. Pada
pemeriksaan rektal dan vaginal dapat dijumpai nyeri tekan dan adanya abses yang
mengindikasikan penyebab utamanya adalah organ-organ pada pelvis wanita. 15,16.
Pemeriksaan Laboratorium 15
Pasien mengalami peningkatan jumlah leukosit hingga lebih dari 11.000 sel/ml.
Keadaan leukopenia mengindikasikan adanya sepsis generalisata dan biasanya
memiliki prognosis yang buruk. Analisis darah biasanya normal tetapi pada kasus
yang berat dapat ditemukan peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dan
hipernatremia yang mengindikasikan keadaan dehidrasi berat. Selain itu dapat juga
ditemukan asidosis metabolik. Pemeriksaan urinalisis harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos toraks
Dapat ditemukan udara bebas pada foto toraks pada posisi tegak maupun foto
abdomen pada posisi decubitus, tetapi adanya pneumoperitoneum pada pemeriksaan
rediologis memiliki tingkat sensitivitas yang rendah dalam mengindikasikan adanya
perforasi usus. Tidak ditemukannya udara bebas tidak seharusnya menunda
dilakukannya tindakan operasi.7
b. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi saluran empedu, dan
adanya penumpukan cairan.7
13
c. Computed tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk melihat tempat pasti terjadinya perforasi.
Pemeriksaan CT-Scan dapat mendeteksi adanya lesi diluar dari tempat yang dicurigai
berdasarkan gejala klinis dan berfungsi sebagai pedoman untuk tatalaksana
percutaneous drainage cairan peritoneal atau abses. 16
d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke dalam rongga peritoneal
melalui kateter. Jika cairan yang keluar mengandung leukosit lebih dari 500 sel/ml,
kadar enzim amylase atau bilirubin meningkat dari normal atau ditemukannya bakteri
pada pewarnaan Gram, maka kemungkinan diagnosis peritonitis sekunder sebesar
90%.15
e. Laparoskopi
Pemeriksaan laparoskopi sangatlah akurat dalam menentukan diagnosis peritonitis
sekunder dan banyak penyakit penyebabnya yang dapat ditangani dengan laparoskopi
sehingga tidak perlu dilakukan laparotomi.15
14
mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).17,18. Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan
penicillin/βlactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau
golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500 mg
intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan imipenem
4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).19
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal
dan hitung jenis batang < 3%.11 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik
perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65
mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure
CVP antara 812mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube
(NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mualmuntah yang dominan. 20
Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan
pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari
kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.18,20. Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan
tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.13 Secara
umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di
reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).18,19 Pada perforasi kolon
lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum dilakukan tindakan
anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum pasien
membaik).19 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline
(>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi
bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan reakumulasi dari
pus).18,19,20.
Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen
kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal,
fascia ditutup dengan benang nonabsorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup
dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka,
penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini
15
merupakan teknik closedabdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara
mendalam mengenai teknik openabdomen).
Pembedahan7
a) Laparotomi biasanya dilakukan melalui sayatan garis tengah atas atau bawah
(tergantung pada lokasi patologi yang dicurigai). Tujuannya adalah untuk:7
- Tentukan penyebab peritonitis
- Mengontrol asal sepsis dengan mengangkat organ yang meradang atau
iskemik (atau menutup perforasi viskus)
- Lakukan toilet / lavage peritoneal yang efektif.
Laparotomi dapat dilakukan pada pasien yang menderita trauma abdomen
dengan hemoperitoneum, perdarahan gastrointestinal, nyeri abdomen akut, nyeri
abdomen kronik, dan jika ditemukan kondisi klinis intra abdomen yang
membutuhkan pembedahan darurat seperti peritonitis, ileus obstruksi dan
perforasi. Beberapa indikasi utama dilakukannya tindakan operasi laparotomi
yaitu perdarahan intra abdomen (39,0%) dengan angka mortalitas 75,6%, iskemia
usus (24,4%) dengan angka mortalitas 80,5%, trauma abdomen (23,5%) dengan
angka mortalitas 75,5%, serta obstruksi usus 15,7% dan penyakit divertikular
14,3%.
Laparotomi ulang memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan
peritonitis sekunder berat yang setelah primer laparotomi, memiliki gambaran
sepsis yang sedang berlangsung atau memburuk. Kembali- operasi dapat
dilakukan 'sesuai permintaan', atau dalam strategi 'terencana' yang lebih agresif
secara berkala. Laparotomi ulang terencana sering kali melibatkan membiarkan
dinding perut terbuka dengan selembar jaring sintetis in situ untuk mencegah
pengeluaran isi. Modifikasi adalah 'manajemen terbuka primer', dan pendekatan
semi-terbuka seperti 'perbaikan perut bertahap'. Namun, penelitian terbaru
menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup di rumah sakit dan jangka
panjang lebih tinggi pada pasien yang dikelola dengan laparotomi ulang sesuai
permintaan dibandingkan pada mereka dengan penyakit dengan tingkat
keparahan yang sebanding yang diobati dengan laparotomi ulang terencana.
Menggabungkan data klinis dengan pencitraan CT yang sering adalah kunci
16
untuk pemilihan pasien yang tepat waktu dan tepat yang memerlukan laparotomi
ulang sesuai permintaan. Namun, harus selalu diingat bahwa banyak pasien
sepsis tidak memerlukan lapotomi ulang tetapi mungkin hanya memerlukan
ventilasi mekanis, antimikroba, dan dukungan organ dalam waktu lama.
Mendapatkan pengendalian sepsis yang efektif pada operasi pertama sangat
penting karena setiap operasi berikutnya bertemu dengan peningkatan risiko
morbiditas dan mortalitas.
b) Laparoskopi
Risiko teoritis dari hiperkapnia ganas dan syok septik akibat penyerapan karbon
dioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang meradang belum terbukti.
Sebaliknya, laparoskopi terbukti efektif dalam penanganan apendisitis akut dan
ulkus duodenum perforasi. Ini dapat digunakan dalam kasus perforasi kolon,
tetapi tingkat konversi ke laparotomi lebih tinggi. Syok atau ileus mayor
merupakan kontraindikasi laparoskopi.
c) Drains
Cenderung efektif jika digunakan untuk mengeringkan ruang yang terlokalisasi,
tetapi umumnya dengan cepat 'ditutup' dan gagal untuk mengeringkan seluruh
rongga peritoneum. Ada kekurangan bukti untuk mendukung penggunaan
profilaksis tabung drainase setelah laparotomi.Penggunaan drain sangat penting
untuk abses intraabdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup
banyak. Drainase dari kavumperitoneal bebas tidak efektif dan tidak sering
dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan
udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi.Drainase profilaksis pada
peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses,bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau
pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa
terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.
17
penunjang harus mencakup CT dengan kontras luminal (terutama jika anastomosis
terjadi). Laparotomi ulang diperlukan jika peritonitis umum didiagnosis. Drainase
perkutan dengan antibiotik 'tebakan terbaik' adalah pengobatan pilihan jika koleksi
terlokalisasi diidentifikasi. Terapi antibiotik harus disesuaikan dalam menanggapi
umpan balik dari kultur yang diambil pada saat drainase. Sepsis abdomen
menyebabkan kematian sekitar 30-60%. Hasilnya seringkali buruk setelah masuk
ke ICU. Faktor-faktor yang terkait dengan kematian meliputi:4
- Usia
- Skor APACHE II
- Syok septik
- Sakit kronis
- Berjenis kelamin perempuan
- Sepsis yang berasal dari gastrointestinal bagian atas
- Kegagalan membersihkan sumber sepsis
Adhesi dapat menyebabkan obstruksi usus atau volvulus.
18
Pasien dengan IPM >26 mempunyai risiko kematian yang tinggi. Beberapa
penulis tidak menemukan perbedaan pada nilai prognostik antara skor APACHE II
dan IPM 2,5.5
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan nyeri perut terus
menerus sejak ± 3 hari SMRS. Nyeri perut di dirasakan di seluruh lapang abdomen.
Nyeri dirasakan semakin lama semakin berat sejak ± 2 jam SMRS. Pasien juga
mengeluh mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), demam (+) . BAB
sedikit sejak 3 hari SMRS dan tidak kentut sejak 2 hari SMRS, batuk pilek (-) sesak
(-)
Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa pasien tidak pernah mengalami
keluhan serupa sebelumnya dan tidak memiliki riwayat penyakit jantung, kencing
manis, dan hipertensi. Dari riwayat keluarga tidak didapatkan anggota keluarga yang
mengalami gejala serupa seperti pasien. Tidak ada keluarga pasien yang memiliki
penyakit kencing manis,tekanan darah tinggi maupun penyakit jantung.
20
RR : 22x/menit
Suhu : 38,50C
Status Generalisata
Kepala : Normocephali, deformitas (-), wajahpucat.
Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (+/+), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga :Simetris, sekret (-), otorrhea (-), nyeri mastoid (-)
Hidung :Simetris, napas cuping hidung (-), lendir (-)
Tenggorokan : Dalam batas normal
Mulut :Bibir pucat (-), sianosis (-), mukosa kering (-)
Leher :JVP meningkat (-), trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal, Sonor di
kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi abdomen, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Palpasi : Nyeri tekan (+) di seluruh lapang abdomen, defans
21
muscular (+), hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Status Lokalisata
Inspeksi :Distensi abdomen
Auskultasi :Bising usus (+) menurun
Palpasi : Nyeri tekan (+) di seluruh lapang abdomen, defans
muscular (+)
Perkusi : Timpani
Skor VAS :6
22
KIMIA KLINIK
Ureum 15 (L) 20 - 40 mg/dL
Kreatinin 0.6 (L) 0.9 – 1.3 mg/dL
Glukosa darah sewaktu 110 <180 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 125 (L) 135 – 155 mmol/L
Kalium 5.04 3.6 – 6.5 mmol/L
Pemeriksaan EKG
Interpretasi : Normal
23
- Kecurigaan free air (tanda perforasi terlihat udara bebas dibawah diafragma)
- Ileus tak tampak
Kesan:Kecurigaan pneumoperitoneum.
Usul:CT scan abdomen dengan kontras IV.
Pemeriksaan USG :
Gambar 2.3 Hasil USG yang menunjukkan apendisitis akut dengan abses
periappendiceal.
3.5 Diagnosis
Peritonitis e.c Appendisitis perforasi
3.6 Tatalaksana
A. Pre-operatif
- IVFD RL gtt 20x/menit
- Pemasangan NGT dan Kateter
- Injeksi cefotaxime 2x1
- Injeksi metronizadole 3x500mg iv
- Injeksi ranitidine 2x1 amp
- Pasien puasakan
- Rencana operasi, Kamis 4 Februari 2021
24
- Persiapan darah PRC 1 kolf
B. Operatif
Laparotomi eksplorasi a/i peritonitis
C. Post operatif
- Tirah baring 24 jam
- Puasa 2x24 jam
- Observasi vital sign
- Klinimik-ivelid 1x/hr
- Injeksi meropenem 3x1
- Infus metronidazole 3x500
- Injeksi trolac 2x30mg
- Injeksi ranitidine 2x1 mg
- Jaringan di PA kan
- Drain (+)
3.7 Prognosis
1. Ad vitam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini akan membahas mengenai pasien Tn.B berusia 37 tahun
yang datang ke IGD RSUD Palembang BARI pada tanggal 3/02/2021 dengan keluhan
nyeri perut terus menerus sejak ± 2 hari SMRS. Nyeri perut di dirasakan di seluruh
lapang abdomen. Nyeri dirasakan semakin lama semakin berat sejak ± 2 jam SMRS.
Pasien juga mengeluh mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), demam (+) .
BAB sedikit sejak 1 hari SMRS dan tidak kentut sejak 1 hari SMRS, batuk pilek (-) sesak
(-). Nyeri abdomen adalah gejala yang paling utama dari peritonitis. Anoreksia, malaise,
mual, muntah, demam, sulit BAB dan flatus. Konstipasi biasanya muncul, kecuali jika
terjadi abses panggul (yang dapat menyebabkan diare). Nyeri dapat dirasakan terus-
menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh
abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.13
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, peritonitis sekunder,
dan peritonitis tersier. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang
berasal dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang paling sering
terjadi. Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh berbagai penyebab.
Infeksi traktus gastrointestinal, infeksi traktus urinarius, benda asing seperti yang berasal
dari perforasi apendiks, asam lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari
perforasi kandung empedu serta laserasi hepar akibat trauma.10
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding
apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.10,14.
26
Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa pasien tidak pernah mengalami
keluhan serupa sebelumnya dan tidak memiliki riwayat penyakit jantung, kencing manis,
dan hipertensi. Dari riwayat keluarga tidak didapatkan anggota keluarga yang mengalami
gejala serupa seperti pasien. Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit kencing
manis,tekanan darah tinggi maupun penyakit jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran kompos mentis. Dengan tanda vital: tekanan darah130/80mmHg,
nadi89x/menit reguler, frekuensi pernafasan 23 x/menit dan suhu 38,50C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen (+),bising usus(+) menurun pada
auskultasi,dan nyeri tekan abdomen(+) di seluruh lapang abdomen pada saat palpasi
Deffense muscular (+) Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis yakni
13.800/µL dan neutrofilia.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis biasanya memilih posisi
terlentang di tempat tidur dengan lutut di fleksikan dan bernafas dengan otot intercostal
secara cepat dan sempit karena gerakan apapun dapat meningkatkan intensitas nyeri
abdominal. Suhu tubuh bisa mencapai 42°C. Takikardi dan melemahnya denyut nadi
mengindikasikan keadaan hipovolemik yang umum terjadi pada kebanyakan pasien.
Tekanan darah biasanya normal pada fase awal penyakit. Semakin parahnya peritonitis,
tekanan darah semakin menurun hingga mencapai level syok.15,16.
Nyeri tekan baik baik superfisial maupun nyeri tekan dalam adalah tanda yang
paling khas pada peritonitis. Nyeri ini biasanya terasa paling sakit pada daerah organ
penyebabnya.Kekakuan pada otot dinding abdomen disebabkan oleh reflex otot dan
proses sadar tubuh untuk mengurangi nyeri. Suara hipersonor yang disebabkan distensi
usus akibat adanya udara sering terdengar pada pemeriksaan perkusi. Pneumoperitoneum
akibat rupturnya organ berongga bisa menyebabkan penurunan suara beda pada hati.
Bising usus melemah dan akhirnya menghilang. Pada pemeriksaan rektal dan vaginal
dapat dijumpai nyeri tekan dan adanya abses yang mengindikasikan penyebab utamanya
adalah organ-organ pada pelvis wanita. 15,16.
Pada pemeriksaan penunjang USG menunjukkan apendisitis akut dengan abses
periappendiceal yang menunjukan bahwa penyebab dari kasus ini adalah Apendisitis
perforasi dan dilakukan foto rontgen Thoraks, CT Scan serta BNO 3 posisi. Investigasi
27
peritonitis terutama merupakan diagnosis klinis dan laparotomi mendesak tidak boleh
ditunda untuk pemeriksaan yang tidak perlu. Sehingga,berdasarkan
anamnesis,pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,pasien dapat didiagnosis dengan
Peritonitis ec Apendisitis perforasi.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien sebelum operasi yaitu, IVFD RL gtt
20x/menit, pasang NGT dan kateter, injeksi cefotaxime 2x1, injeksi metronidazole
3x500mg iv, injeksi ranitidine 2x1 amp dan pasien di puasakan untuk rencana laparotomi.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena.Resusitasi cairan awalnya dengan kristaloid (i.v.) untuk
mencegah terjadinya syok. Penggantian elektrolit (terutama kalium) mungkin diperlukan.
Pasien harus dipasang kateter untuk memantau pengeluaran urin setiap jam.Pemasangan
NGT untuk dekompresi.
Pemberian antibiotika yang sesuai,pada pasien diberikan antibiotik spektrum luas
yaitu injeksi cefotaxime 2x1 dan injeksi metronidazole 3x500mg iv. Pemberian
antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun
secara umum perforasi upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada
usus halus distal dan colon lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob). 17,18.
Beberapa pilihan regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari
golongan penicillin/βlactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena),
atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500 mg
intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan imipenem 4x
500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).19
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan
hitung jenis batang < 3%.19 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk
dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine
output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara
812mmHg).18 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada
pasien ileus dengan distensi perut dan mualmuntah yang dominan. 20 Pemberian obat-
obatan profilaksis seperti injeksi ranitidine 2x1 amp untuk mengurangi ekskresi asam
lambung karena pasien dipuasakan sebelum operasi.
28
Kemudian dilakukan edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarganya
mengenai penyakit yang diderita pasien,pengobatan dan perlunya dilakukan tindakan
operatif untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah penyebaran
infeksi.Selain itu dijelaskan pula mengenai komplikasi dari tindakan operatif tersebut.
Edukasi juga mengenai keadaan post operasi selesai,untuk membantu proses
penyembuhan dan pemulihan post operasi pasien harus menjaga kebersihan bekas luka
postoperasi,minum obat teratur dan kontrol ke dokter.
Penatalaksanaan operasi yang dilakukan yaitu laparotomi eksplorasi.Laparotomi
dilakukan dengan tujuan menentukan penyebab peritonitis, mengangkat organ yang
meradang atau iskemik (atau menutup perforasi viskus) dan melakukan toilet / lavage
peritoneal yang efektif. Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-materialyang terinfeksi,mengkoreksi penyebab utama
peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi,
insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang
terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.
Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam
tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup.
29
BAB V
KESIMPULAN
Pada laporan kasus ini akan membahas mengenai pasien Tn.B berusia 37 tahun
yang datang ke IGD RSUD Palembang BARI pada tanggal 3/02/2021 dengan keluhan
nyeri perut terus menerus sejak ± 2 hari SMRS. Nyeri perut di dirasakan di seluruh
lapang abdomen. Nyeri dirasakan semakin lama semakin berat sejak ± 2 jam SMRS.
Pasien juga mengeluh mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), demam (+) .
BAB sedikit sejak 1 hari SMRS dan tidak kentut sejak 1 hari SMRS, batuk pilek (-) sesak
(-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran kompos mentis. Dengan tanda vital: tekanan darah130/80mmHg,
nadi89x/menit reguler, frekuensi pernafasan 23 x/menit dan suhu 38,50C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen (+),bising usus(+) menurun pada
auskultasi,dan nyeri tekan abdomen(+) di seluruh lapang abdomen pada saat palpasi
Deffense muscular (+) Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis yakni
13.800/µL dan neutrofilia.
Pada pemeriksaan penunjang USG menunjukkan apendisitis akut dengan abses
periappendiceal yang menunjukan bahwa penyebab dari kasus ini adalah Apendisitis
perforasi dan dilakukan foto rontgen Thoraks, CT Scan serta BNO 3 posisi.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien sebelum operasi yaitu, IVFD RL gtt
20x/menit, pasang NGT dan kateter, injeksi cefotaxime 2x1, injeksi metronidazole
3x500mg iv, injeksi ranitidine 2x1 amp dan pasien di puasakan untuk rencana laparotomi.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Gearhart SL, Silen W. Acute appendisitis and peritonitis. Dalam: Fauci A, Braunwald
E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al, editor (penyunting). Harrison’s
principal of internal medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA: McGraw-Hill; 2008. hlm.
1916-7.
2. Daldiyono, Syam AF. Nyeri abdomen akut. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor (penyunting). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5 Jilid ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2010. hlm. 474-6.
3. Aditya, Yan dkk. Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim Peritonitis Index (MPI)
dengan Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dalam
Memprediksi Mortalitas Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi Organ Berongga.
Medika Kartika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2019.
4. World Health Organization. Typhoid fever, Democratic Republic of the Kongo.
Weekly Epidemiological Record. 2005; 1(80):1-8.
5. Wittman DH. Intra abdominal infections. New York: Marcel Dekker INC; 1991.
6. Samuel JC, Qureshi JS, Mulima G, Shores CG, Cairns BA, Charles AG. An
observational study of the etiology, clinical presentation, and outcomes associated with
peritonitis in lilongwe, malawi. World Journal of Emergency Surgery. 2011: 6-38.
7. Wyers, S. G.,& Matthews, J. B. ‘Surgical Peritonitis and Other Diseases of the
Peritoneum, Mesentery, Omentum, and Diaphragm’in Sleisenger and Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease, 10th edn, eds. M. Feldman, L.S. Friedman & L.J.
Brandt, Saunders, United States of America.2016.pp. 636- 641.
8. Snell, Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2015.
9. Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjdi, S. R.2016, ‘Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang’, JurnalKesehatan
Andalas, vol. 5, no. 1, pp.209-213.
10. Ridad MA. Infeksi. Dalam: R. Sjamsuhidajat, editor (penyunting). Buku ajar ilmu
bedah Sjamsuhidajat-de jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2007. hlm.52.
31
11. Rangel, S. J., Townsend, S. E. R., Karki, M., & Moss, R. L. 2012, ‘Peritonitis’in
Principle and Practice of Peddiatric Infectious Diseases, 4thedn, eds. S. S. Long, L.
K. Pickering, C. G. Prober, Elsevier, Inc., Philadelphia, p. 427.
12. Cavallaro, A., Catania, V., Cavallaro, M., et al. 2008, ‘Management of Secondary
Peritonitis: Our Experience’, Annali Italiani di Chirurgia, vol. 79, no. 4, pp.255-257.
13. Fearon KCH dan Skipworth RJE. Acute Abdomen: Peritonitis. Emergency
Surgery. Surgery 26:3. 2017
14. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493.
15. Pinto, A., & Romano, L.2013, ‘Peritonitis’in Geriatric Imaging, eds. G.
Guglielmi,W. C. G. Peh, A. Guermazi, Springer, Berlin, pp.741-750.
16. Levison, M. E., & Bush, L. M. 2015, ‘Peritonitis and Intraperitoneal Abcesses’ in
Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease,
8thedn, eds. J. E. Bennett, R. Dolin & M. J. Blaser, Elsevier, Inc.,Philadelphia, pp.
935-947.
17. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape 2013.
Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
18. Ordonez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient.
Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
19. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010
20. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and Abscesses.In:
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012.
Accessed in: http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?
aID=9119694&searchStr=peritonitis
21. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal Sepsis.
Emedicine Medscape 2013. Accessed in:
http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview#showall
32
1