TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kata “delirium” berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom
ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton
mendeskripsikan sebagai delirium tremens, kemudian Wernicke menyebutnya
sebagai Encephalopathy Wernicke.4
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium adalah
suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi
kognitif secara global. Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak
(beberapa jam atau hari), perjalanan singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang
cepat jika factor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.1
2.2 Epidemiologi
Delirium adalah penyakit yang sering terjadi, sekitar 10-15% pasien yang ada
di bangsal bedah dan 15-20% di bangsal ilmu penyakit dalam mengalami
delirium selama dirawat. Penyebab delirium pasca operasi termasuk stress
pembedahan, nyeri pasca operasi, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi,
demam, dan kehilangan darah. Insidensi delirium meningkat seiring dengan
bertambahnya usia pasien. Faktor-faktor predisposisi delirium antara lain usia
(usia muda dan usia lanjut lebih dari 65 tahun), kerusakan otak yang mendahului
(penyakit serebrovaskuler, tumor), riwayat delirium sebelumnya, kecanduan
alkohol, diabetes, kanker, kerusakan sensorik (seperti kebutaan), dan malnutrisi.1
2
3
2.3 Etiologi
Intrakranial
• Epilepsi dan keadaan paska kejang
• Trauma otak (terutama gegar otak)
• Infeksi
Meningitis
Ensefalitis
• Neoplasma
• Gangguan vaskular
Exstrakranial
• Obat-obatan
• Toxic
• Disfungsi Endokrin
• Defisiensi zat tertentu
• Infeksi sistemik
• Ketidakseimbangan elektrolit
• Trauma
• Paska operasi
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Delirium berdasarkan DSM-IV :1
1. Delirum akibat masalah medis umum
Masalah medis tertentu, seperti infeksi sistemik, gangguan metabolic,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, penyakit hati atau ginjal, ensefalopati,
dan trauma kepala dapat menyebabkan gejala delirium.
2. Delirium akibat zat
Gejala delirium dapat disebabkan pajanan terhadap toksin atau ingesti obat,
seperti anti konvulsan, neuroleptik, ansiolitik, anti depresan, obat kardiovaskular,
anti neoplastik, dan hormone.
4
Selain klasifikasi di atas, delirium juga dapat dibagi menjadi sub tipe
hiperaktif dan hipoaktif, tergantung dari aktivitas psikomotornya. Keduanya dapat
terjadi bersamaan pada satu individu.
a. Delirium hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada
pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan
tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin
mencabut selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur.
Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal
biasanya menunjukkan perilaku tersebut. Delirium hiperaktif juga didapatkan
pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,amfetamin,lysergic
acid diethylamideatau LSD.
b. Delirium hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para
klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit
dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan
mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal.
Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak
komplet dan transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan
enchepalopati.
5
2.5 Patofisiologi
Gejala delirium dapat berhubungan dengan lebih dari satu masalah medis
umum atau pengaruh kombinasi masalah medis umum dan penggunaan zat.
a. Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang
mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai
penyebab keadaan bingung. Pada pasien dengan transmisi kolinergik yang
terganggu juga muncul gejala ini dan pada pasien post operatif delirium serum
antikolinergik juga meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan timbal balik muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik.
Gejala simptomatis membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti
haloperidol dan obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati
hepatikum. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada
pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga
ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic
encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan
glutamine (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA). Penurunan level
GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami
gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
6
1. Gangguan atensi
Pasien dengan delirium mengalami kesulitan untuk memperhatikan. Mereka
mudah melupakan instruksi dan mungkin dapat menanyakan instruksi dan
pertanyaan untuk diulang berkali-kali. Metode untuk mengidentifikasi gangguan
atensi yaitu dengan menyuruh pasien menghitung angka terbalik dari 100 dengan
kelipatan 7.
2. Gangguan memori dan disorientasi
Defisit memori, hal yang sering jelas terlihat pada pasien delirium. Disorientasi
waktu,tempat dan situasi juga sering didapatkan pada delirium.
7
3. Agitasi
Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat dari disorientasi dan
kebingungan yang mereka alami. Sebagai contoh; pasien yang disorientasi
menggangap mereka dirumah meskipun ada dirumah sakit sehingga staff rumah
sakit dianggap sebagai orang asing yang menerobos kerumahnya.
4. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar/withdrawal
Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan withdrawal. Mereka dapat
terlihat seperti depresi, penurunan nafsu makan, penurunan motivasi dan
gangguan pola tidur.
5. Gangguan tidur
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi bangun pada waktu
malam hari. Pola ini digabungkan dengan disorientasi dan kebingungan yang
dapat menimbulkan situasi berbahaya pada pasien, yaitu resiko jatuh dari tempat
tidur, menarik kateter atau IV dan pipa nasogastric.
6. Emosi yang labil
Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti gelisah, sedih,
menangis dan kadang kadang gembira yang berlebih. Emosi ini dapat muncul
bersamaan ketika seseorang mengalami delirium.
7. Gangguan perseps
Terjadi halusinasi visual dan auditori.
8. Tanda tanda neurologis
Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain: tremor gait, asterixis
mioklonus, paratonia dari otot terutama leher, sulit untuk menulis dan membaca,
dan gangguan visual.
2.7 Diagnosis
(1 hari)
Disorientasi +++ ++
Gangguan persepsi jelas ++ -
Inkoherensi ++ +
Gangguan siklus tidur- bangun ++ +
Eksaserbasi nocturnal ++ +
Insight/tilikan ++ +
Awitan akut/subakut ++ -
2.9 Tatalaksana
a. Pengobatan farmakologis
tertentu dan suasana/situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan
delirium. Beberapa obat juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang
mempunyai efekanti kolinergik dan gangguan faal kognitif. Beberapa obat yang
diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain: benzodiazepine, kodein,
amitriptilin (antidepresan), difenhidramid,ranitidine, tioridazin, digoksin,
amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin.
2.8. PROGNOSIS
Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan perasaan
takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah diketahui dan
dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan hilang dalamwaktu 3-7 hari dan
akan hilang seluruhnya dalam waktu dua minggu.2