Anda di halaman 1dari 39

PELATIHAN KEPERAWATAN TINGKAT DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


KATUP JANTUNG

Nama :

1. Ns. Komang Tatis Yunny Wulandari, S. Kep


2. Ns. Dewa Ayu Made Mety Utami, S. Kep
3. Ns. Ni Putu Tri Pramana Sandi Suanda, S. Kep

Asal Institusi : Bali International Hospital

IKATAN NERS KARDIOVASKULER INDONESIA (INKAVIN)

JAKARTA

2023
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ..........................................................................


1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 2
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................... 4
BAB II : TINJAUAN TEORI ..................................................................... 5
2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Pengertian ...................................................................................... 5
2.1.2 Etologi ........................................................................................... 5
2.1.3 Patofisiologi .................................................................................. 6
2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................ 7
2.1.5 Penatalaksanaan Medik ................................................................. 9
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian ..................................................................................... 14
2.2.2. Diagnosa Keperawatan ................................................................. 18
2.2.3 Perencanaan ................................................................................... 18
BAB III : TINJAUAN KASUS....................................................................
3.1 Pengkajian ...............................................................................................
3.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................................
3.3 Perencanaan .............................................................................................
3.4 Evaluasi ...................................................................................................
BAB IV : PEMBAHASAN ..........................................................................
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................
5.2 Saran ........................................................................................................

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jantung merupakan organ vital pada system organ manusia. Fungsi jantung adalah untuk
memompa darah yang mengandung oksigen dan nutrient keseluruh tubuh. Jantung terdiri dari
beberapa ruang yang dibatasi oleh beberapa katup diantaranya adalah katub atrioventrikuler
dan katub semilunar. Katup atrioventrikuler terdiri dari katup mitral (bicuspid) dan katup
tricuspid yang terdapat diantara atrium dan ventrikel, sedangkan katup semilunar berada
diantara ventrikel dengan aorta atau arteri pulmonalis.
Gangguan katup jantung menyebabkan kelainan-kelainan pada aliran darah yang
melintasi katup jantung. Keempat katup jantung ini berfungsi untuk mempertahankan aliran
darah searah melalui bilik-bilik jantung. Katup-katup ini membuka dan menutup secara pasif,
menanggapi perubahan tekanan dan volume dalam bilik dan pembuluh darah jantung.
Gangguan fungsional pada katup-katup ini yaitu regurgitasi dimana katup tidak dapat
menutup rapat sehingga darah dapat mengalir balik (insufisiensi katup dan inkompetensi
katup) dan stenosis dimana lubang katup mengalami penyempitan sehingga aliran darah
mengalami hambatan. Regugirtasi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu katup,
dikenal sebagai “lesi campuran” atau terjadi sendiri yang disebut sebagai “lesi murni.
Gangguan katup jantung yang sering ditemukan yaitu pada kasus mitral stenosis. Mitral
stenosis adalah terhambatnya aliran darah dalam jantung akibat perubahan struktur katup
mitral yang menyebabkan tidak membukanya katup mitral secara sempurna pada saat fase
diastolik.
Prevalensi kejadian mitral stenosis di Amerika Serikat yaitu sebesar 0,1% dan di Eropa
berdasarkan Euro Heart Survey mencapai 9% (Lung dan Vahanian, 2011). Angka kejadian di
negara maju 4 kali lebih rendah dibandingkan di negara berkembang walaupun penurunan
insidensi di negara maju cenderung tidak tampak karena angka imigrasi yang cukup tinggi.
Negara berkembang yang menempati 67% total penduduk dunia diperkirakan mempunyai
tendensi multipel episode infeksi yang tinggi sehingga mengakibatkan severitas stenosis
lebih berat dan lebih dini (Le, 2011). Angka kejadian penyakit mitral stenosis di Indonesia
tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Hasnul et al (2015),

2
mitral stenosis yang diakibatkan demam rematik di RSUP Dr. M. Djamil Padang selama 4
tahun (2009-2012) sebanyak 17,6 % dari seluruh penyakit katup (Hasnul et al., 2015)
sedangkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) yang
merupakan RS pusat rujukan jantung nasional, kelainan degeneratif yang paling sering
dijumpai yaitu kelainan pada katup mitral (Jurnal Kardiologi Indonesia, 2012).
Penyakit kelainan katup jantung khususnya mitral stenosis menjadi salah satu masalah
penting kesehatan masyarakat dan merupakan penyebab kematian yang utama sehingga
sangat diperlukan peran perawat dalam penanganan pasien katup jantung. Adapun peran
perawat yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan pemecahan
masalah sesuai dengan metode dan proses keperawatan yang teridiri dari pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi sampai evaluasi (Gledis & Gobel, 2016).
Berdasarkan pemaparan diatas, kelompok kami merasa tertarik dalam pembuatan makalah
yang berjudul tentang “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Mitral Stenosis”.

1.2 Rumusan Masalah


Ditinjau dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan Mitral Stenosis
di Rumah Sakit Jantung Jakarta”

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Mitral Stenosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Mitral Stenosis.
b. Mampu menegakkan diasnosa keperawatan pada pasien dengan Mitral Stenosis.
c. Menyusun perencanaan keperawatan pada pasien dengan Mitral Stenosis.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Mitral Stenosis.
e. Melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien dengan Mitral Stenosis.

3
1.4 Manfaat Penulisan
Asuhan keperawatan ini disusun oleh penulis mempunyai beberapa manfaat, antara lain :
1. Bagi Penulis
Manfaat bagi penulis adalah agar penulis dapat menegakkan diagnosa dan intervensi
dengan tepat untuk pasien dengan masalah keperawatan pada sistem kardiovaskuler
khususnya dengan pasien yang mengalami gangguan katup jantung, sehingga perawat
dapat melakukan tindakan asuhan keperawatan yang tepat.
2. Bagi Tempat Penelitian
Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberi masukan atau saran dalam
merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan katup jantup.
3. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan katup jantung.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar


2.1.1 Pengertian
Stenosis katup mitral adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah
dari atrium kiri melalui katup mitral menuju ke ventrikel kiri oleh karena obstruksi pada
level katup mitral. Kelainan struktur katup mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan
sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastole. Stenosis mitral
adalah penebalan progresif dan pengerutan bilah-bilah katup mitral, yang menyebabkan
penyempitan lumen dan sumbatan progresif aliran darah. Secara normal pembukaan
katup mitral adalah selebar tiga jari. Pada kasus stenosis berat menjadi penyempitan
lumen sampai selebar pensil. Ventrikel kiri tidak terpengaruh, namun antrium kiri
mengalami kesulitan dalam mengosongkan darah melalui lumen yang sempit ke ventrikel
kiri. Akibatnya antrium akan melebar dan
mengalami hipertrofi karena tidak ada katup
yang melindungi vena pulmonal terhadap aliran
balik dari antrium, maka sirkulasi pulmonal
mengalami kongesti. Akibatnya ventrikel kanan
harus menanggung beban tekanan arteri
pulmonal yang tinggi dan mengalami
peregangan berlebihan yang berakhir gagal
Gambar 1.. Stenosis katup mitral
jantung (Corwin, 2014).,

2.1.2 Etiologi
Penyebab mitral stenosis paling sering adalah rematik karditis. Rematik karditis
adalah pankarditis yang melibatkan perikardium, miokardium, dan endokardium. Tanda
khas dari rematik karditis akut adalah aschoff nodule. Lesi paling sering pada rematik
endokarditis adalah mitral valvulitis. Katup mitral mengalami vegetasi pada garis
penutupan katup dan korda. Stenosis mitral biasanya terjadi akibat episode berulang dari
karditis yang diikuti dengan penyembuhan dan ditandai dengan deposisi jaringan fibrosa.

5
Stenosis mitral terjadi akibat dari fusi dari komisura, kuspis, korda atau kombinasi dari
ketiganya. Hasil akhir katup yang mengalami deformitas terjadi fibrosis dan kalsifikasi.
Lesi tersebut akan berlanjut dengan fusi dari komisura, kontraktur dan penebalan dari
leaflets katup. Korda mengalami pemendekan dan fusi. Kombinasi ini akan menyebabkan
penyempitan dari orifice katup mitral yang membatasi aliran darah dari LA (Left Atrium)
dan LV (Left Ventricle). (Sudoyo, 2019).
Penyebab lain adalah gangguan kongenital katup mitral yaitu hipoplasia atau fusi
dari muskulus papilaris, pe,mendekan dan penebalan dari korda. Kemudian dapat
disebabkan oleh gangguan metabolik yaitu penyakit whipple, mucopolysaccharidosis,
penyakit fabry, carcinod dan therapy methysergide (Sudoyo, 2019).

2.1.3 Patofisiologi
Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2. Adanya
obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang dari 2 cm2, darah
dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika didorong oleh gradien tekanan
atrioventrikel kiri yang meningkat secara abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral.
Apabila orifisium katup mitral berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih
25 mmHg diperlukan untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang
normal. Tekanan atrium kiri yang meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan vena
dan kapiler pulmonalis, yang mengurangi daya kembang (compliance) paru dan
menyebabkan dispnea pada waktu pengerahan tenaga (exertional dyspnea, dyspnea d’
effort). Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian klinis yang
meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang selanjutnya
mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai beratnya obstruksi, penting
untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler maupun kecepatan aliran. Gradien tekanan
bergantung tidak hanya pada curah jantung tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut
jantung memperpendek diastolik secara proporsional lebih daripada sistolik dan
mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran yang melalui katup mitral. Oleh karena itu,
pada setiap tingkat curah jantung tertentu, takikardia menambah tekanan gradien
transvalvuler dan selanjutnya meningkatkan tekanan atrium kiri (Arthur, 2015).

6
Tekanan diastolik ventrikel kiri normal pada stenosis mitral yaitu penyakit katup
aorta, hipertensi sistemik, regurgitasi mitral, penyakit jantung iskemik yang terjadi secara
bersamaan dan mungkin kerusakan sisa yang ditimbulkan oleh miokarditis reumatik
kadang-kadang bertanggung jawab terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel
kiri yang terganggu dan/atau menurunkan daya kembang ventrikel kiri. Disfungsi
ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam berkurangnya fraksi ejeksi dan kecepatan
memendek serabut yang mengelilingi, terjadi pada sekitar seperempat pasien dengan
stenosis mitral berat, sebagai akibat berkurangnya preload kronik dan luasnya jaringan
parut dari katup ke dalam miokardium yang berdekatan (Evelyn, 2018).
Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-rata dan
pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan menunjukan
kontraksi atrium yang menonjol (gelombang a) dan tekanan bertahap menurun setelah
pembukaan katup mitral (y descent). Pada pasien dengan stenosis mitral ringan sampai
sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis mungkin
mendekati batas atas normal pada waktu istirahat dan meningkat seiring dengan exercise.
Pada stenosis mitral berat dan kapan saja ketika resistensi vaskuler paru naik, tekanan
arteri pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang istirahat, dan pada kasus
ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri, kapiler
paru, dan tekanan arteri pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan
sistolik arteri pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis
mitral, atau pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan
afterload ventrikel kanan menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan
diastolik akhir dan volume ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme
kompensasi (Evelyn, 2018).

2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik


a. Ekokardiografi Doppler
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu menegakan
diagnosis stenosis mitral adalah dengan metode noninvasif ekokardiografi.
Ekhokardiografi menunjukkan penebalan pada anterior dan posterior katup mitral,
pergerakan katup abnormal. Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan

7
spesifik untuk diagnosis stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografi, kateterisasi
jantung merupakan suatu keharusan dalam diagnosis. Dengan ekokardiografi dapat
dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area
katup dengan planimetri (‘mitral valve area’), struktur dari aparatus subvalvular, juga
dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan Doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta ukuran dari
area mitral dengan cara mengukur ’pressure half time’ terutama bila struktur katup
sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan planimetri tidak
memungkinkan. Selain dari pada itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral
yang sering menyertai stenosis mitral.
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko Doppler ditentukan antara
lain oleh gradient transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan pulmonal.
Selain itu dapat juga ditentukan perubahan hemodinamik pada latihan atau pemberian
beban dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada kelompok
pasien yang tidak menunjukkan beratnya stenosis pada saat istirahat. (Huon, 2014)
b. Ekokardiografi Transesofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan transduser
endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur
katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Ekokardiografi transesofagus lebih sensitif
mendeteksi trombus pada atrium kiri atau terutama apendiks atrium kiri. Selama ini
eko transesofageal bukan merupakan prosedur rutin pada stenosis mitral, namun ada
prosedur valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya dilakukan
(Patrick, 2013).
c. EKG
Pada pemeriksaan EKG dapat menunjukkan RV hipertrofi dan menunjukkan
gelombang Atrial Fibrilasi. Memperlihatkan gambaran P mitral berupa takik
(notching) gelombang P dengan gambaran QRS yang masih normal dan Right Axis
Deviation. Pada stenosis mitral reumatik, sering dijumpai adanya fibrilasi atau flutter
atrium.
d. Pemeriksaan Foto Thorax

8
Gambaran klasik yang dijumpai pada foto adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan bermakna antara besarnya ukuran
pembuluh darah dan resistensi vaskuler pulmonal), aorta yang relatif kecil,
pembesaran ventrikel kanan, perkapuran di daerah katup mitral atau perkardium, pada
paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena. Edema interstisial berupa garis Kerley
terdapat pada 30% pasien dengan tekanan atrium kiri < 20 mmHg, pada 70% bila
tekanan atrium kiri > 20 mmHg.
e. Katerisasi Jantung
Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan standar baku untuk
diagnosis dan menentukan berat ringannya stenosis mitral. Walaupun demikian pada
keadaan tertentu masih dikerjakan setelah suatu prosedur eko yang lengkap. Saat ini
kateterisasi jantung dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan
intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balonKalsifikasi katup mitral,
peningkatan tekanan LVEDP, serta peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Saat ini
kateterisasi jantung dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan
intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon (Patrick, 2013).

2.1.5 Penatalaksanaan Medik


Pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang sering tidak menunjukkan
gejala selama bertahun-tahun. Kondisi klinis pasien tersebut mirip dengan orang normal
seusianya. Namun, stenosis mitral berat atau yang bergejala dapat terjadi sebagai dampak
buruk jangka panjang dari stenosis mitral yang tidak ditangani secara mekanis.

Tabel 1. Tingkat keparahan stenosis mitral sesuai panduan ACC/AHA

Keparahan MVA Gradien PAPS


cm2 mmHg mmHg
Ringan >1,5 <5 <30

Sedang 1,0-1,5 5-10 30-50

Berat <1,0 >10 >50

9
Berikut tabel Panduan operasi katup mitral menurut ACC/AHA

Keadaan klinik Rekomendasi kelas


Balloon Valvotomy untuk Stenosis Mitral
 Pasien simtomatik (NYHA II,III, IV) dengan stensosis mitral I
sedang atau berat dan morfologi katup baik, tanpa trombus atrium
kiri atau regurgitasi mitral sedang sampai berat.

 Pasien asimtomatik dengan stenosis mitral sedang atau berat, I


morfologi katup baik dan hipertensi pulmonal (PASP>50 mmHg
saat istirahat, PASP>60 mmHg saat latihan), tanpa trombus atrium
kiri atau regurgitasi mitral sedang sampai berat.
 Pasien simtomatik (NYHA III, IV) dengan stensosis mitral sedang IIa
atau berat dan morfologi katup baik, mempunyai risiko tinggi atau
tidak ada indikasi operasi.
 Pasien asimtomatik dengan stenosis mitral sedang hingga berat, IIb
morfologi katup baik dan onset baru atrial fibrilasi, tanpa trombus
atrium kiri atau mitral regurgitasi sedang sampai berat.

 Pasien simtomatik (NYHA II,III, IV) dengan area katup mitral IIb
>1,5 cm2 jika ada bukti hemodinamik yang signifikan untuk
stenosis mitral (PASP>60 mmHg, PAWP≥ 25 mmHg, gradien
rerata katup mitral > 15 mmHg selama latihan).

 Pasien simtomatik (NYHA III, IV) dengan stensosis mitral sedang IIb
atau berat dan morfologi katup baik sebagai alternatif dari operasi.

 Pasien dengan stenosis mitral sedang. III

10
 Pasien dengan regurgitasi mitral sedang- berat atau trombus atrium III
kiri.

Tabel Panduan operasi katup mitral menurut ACC/AHA (lanjutan)

Operasi untuk Stenosis Mitral


 Pasien simtomatik (NYHA III, IV) dengan I B
stensosis mitral sedang atau berat ketika: Balloon
valvotomy tidak tersedia.
Balloon valvotomy kontraindikasi karena trombus
atau regurgitasi mitral.
Morfologi mitral tidak baik untuk balloon
valvotomy.
 Pasien simtomatik dengan stenosis mitral sedang I C
sampai berat yang juga memiliki mitral regurgitasi
sedang sampai berat.
 Pasien simtomatik sedang (NYHA I,II) dengan IIa C
stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal berat
(PASP>60mmHg).
 Pasen asimtomatik dengan stenosis mitral sedang IIb C
sampai berat dan emboli berulang meskipun telah
menerima antikoagulan yang adekuat, ketika
kemungkinan kesuksesan MVr adalah tinggi.
 MVr dengan stenosis mitral ringan. III C

 Closured commissurotomy pada MVr ; III C


open commissurotomy harus dilakukan

Pada pasien stenosis mitral sedang sampai berat, salah satu penatalaksanaan yang dapat

11
dilakukan adalah dengan metode balloon valvotomy. Namun, bila metode tersebut tidak mungkin
dilakukan karena terbentuk trombus atau regurgitasi mitral, maka MVR dapat dijadikan pilihan
penatalaksanaannya.
a. Balloon Valvotomy
Metode percutaneous balloon valvotomy merupakan metode minimally invasive pada
penatalaksanaan stenosis mitral karena hanya membutuhkan sedikit bagian tubuh untuk
dibuka. Pada stenosis mitral, ballon valvotomy atau percutaneous balloon valvotomy
merupakan treatment standar bagi pasien dengan gejala sedang sampai berat yang morfologi
katupnya masih baik.
Percutaneous balloon valvotomy juga direkomendasikan bagi pasien asimtomatik dengan
stenosis mitral sedang yang mengalami obstruksi katup mitral sehingga menyebabkan
hipertensi pulmonal dengan tekanan sistolik paru
lebih besar dari 50 mmHg pada saat istirahat atau 60
mmHg dengan latihan.
Percutaneous balloon valvotomy dilakukan dengan
cara memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah
pangkal paha menuju ke atrium kiri setelah
transseptal puncture. Kemudian balloon diarahkan ke
orifisium katup mitral dan dikembangkan sehingga
area orifisium katup mitral dapat melebar.
Gambar 2.. Gambar Ballon valvotomy atau percutaneous balloon
valvotomy.

b. MVR
MVR atau Mitral Valve Replacement adalah prosedur operasi jantung yang dilakukan
untuk mengganti katup mitral pasien yang sudah tidak dapat diperbaiki dengan katup
jantung buatan (baik itu mekanik maupun bioprostetik). MVR dapat dilakukan pada pasien
dengan stenosis mitral berat ketika percutaneous balloo nvalvotomy atau MVr tidak
mungkin dilakukan. Biasanya, penggantian katup mitral diperlukan untuk pasien dengan
stenosis mitral gabungan, orang-orang dengan kalsifikasi komisura yang luas, fibrosis parah
dan fusi subvalvular. MVR sangat penting bagi pasien-pasien stenosis mitral yang memiliki
regurgitasi mitral, pasien dengan katup yang distorsi karena berulang kali mendapat
manipulasi, dan pada seseorang yang tidak mungkin mengalami peningkatan fungsi katup

12
mitral.
MVR diindikasikan pada dua kelompok pasien stenosis mitral yang katupnya tidak
cocok untuk valvotomi yaitu; (1) orang-orang dengan area katup mitral lebih kecil dari 1,5
cm2 dengan NYHA kelas III atau IV; serta (2) orang- orang dengan stenosis berat (area
katup mitral ≤1 cm2), NYHA Kelas II, dan hipertensi pulmonal berat (tekanan sistolik arteri
pulmonalis > 60 mmHg). Karena risiko kematian akibat operasi mungkin tinggi (10%
sampai 20%) pada pasien di NYHA kelas IV, operasi harus dilakukan sebelum pasien
mencapai tahap ini.
Operasi MVR dapat dilakukan secara terbuka karena mesin jantung- paru
(cardiopulmonary bypass) telah ditemukan. Biasanya pada metode ini, korda tetap dibiarkan
menempel pada dinding vemtrikel agar peningkatan fungsi ventrikel kiri setelah operasi
dapat tercapai dengan optimal.
Setelah katup terlihat, insisi dibuat pada bagian depan daun katup mitral kira-kira pada
posisi jam 12. Daun katup dipotong sesuai dengan kebutuhan, otot papilaris disambungkan
pada anulus, dan jika memungkinkan daun katup bagian belakang yang berkaitan dengan
struktur subvalvular dipertahankan. Kemudian anulus diukur dan prostetik mitral
diimplankan menggunakan plegeted horizontal mattress structure.

13
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien. Data yang akan dikumpulkan mencakup:
a. Identitas
Identitas dalam pengkajian ada 2, yaitu :
1) Identitas pasien : nama pasien, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal MRS, tanggal, no
register dan diagnose medis.
2) Identitas penanggung jawab berisi nama penanggung jawab, umur, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan penanggung jawab serta status hubungna dengan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan
atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan stenosis mitral keluhan utama
yang muncul adalah sesak nafas dan kelelahan. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat
mengalami sesak pada aktifitas sehari-hari, paroksismal nocturnal dispnea, ortopnea dan
oedema paru.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pertanyaan yang mendukung keluhan utama dengan memberikan pertanyaan tentang
kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat dengan gejala-gejala stenosis mitral,
yakni munculnya dyspnea atau orthopnea, kelemahan fisik.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien apakah pasien
sebelumnya menderita keluhan sesak, atau terdapat riwayat penyakit jantung rematik atau
infeksi saluran pernafasan atas. Tanyakan juga obat-obatan yang biasanya diminum oleh
selepasien pada masa lalu, yang mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang
dimiliki pasien
e. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit keluarga Apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit jantung,
dan penyakit keturunan lain seperti DM, Hipertensi

14
f. Pengkajian data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual :
1) Aktifitas dan istirahat :
 Gejala : Kelemahan, kelelahan, pusing, rasa berdenyut, dispnea karena kerja,
palpitasi, gangguan tidur (orthopnea, dispnea paroksimal nocturnal, nocturia,
keringat malam hari).
 Tanda : Takikardi, gangguan pada tekanan darah, pingsan karena kerja, takipnea,
dispnea
2) Sirkulasi :
 Gejala : Riwayat kondisi pencetus, contoh demam reumatik, endocarditis
bacterial subakut, infeksi streptokokal, hipertensi, kondisi kongenita (contoh
kerusakan atrial-septal, sindrom marfan), trauma dada, hipertensi pulmonal.
Riwayat murmur jantung, palpitasi, serak, hemoptisis, batuk dengan/tanpa
produksi sputum.
 Tanda :
Nadi apical : PMI kuat dan terletak di bawah dan ke kiri
Getaran : Getaran diastolic pada apek
Bunyi jantung : S1 keras, pembukaan yang keras, penurunan atau tak ada S1,
bunyi robekan halus, adanya S3, S4
Kecepatan : Takikardi pada istirahat
Irama : Tak teratur, fibrilasi atrial
DVJ : Mungkin ada pada adanya gagal ventrikel kanan
3) Respirasi :
 Gejala : Dipsnea (kerja, ortopnea, paroksimal, nocturnal). Batuk menetap atau
nocturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
 Tanda : Takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak
dan bercak darah (edema pulmonal), gelisah/ketakutan (pada adanya edema
pulmonal).
4) Pola makan dan cairan :
 Gejala : Disfagia, perubahan berat badan, penggunaan diuretic.
 Tanda : Edema umum, hepatomegaly dan asites, serta pernafasan payah dan
bising dengan terdengar krekels dan mengi.

15
5) Neurosensori :
 Gejala : Episode pusing/pingsan berkenaan dengan bahan kerja.
6) Keamanan :
 Gejala : proses infeksi/sepsis
 Tanda : adanya perawatan gigi (pembersihan, pengisian, dan sebagainya), perlu
perawatan gigi/mulut.
7) Psiko-sosial-spiritual :
 Gejala : menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah
pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga, pekerjaan
dan keuangan.
 Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri, gejala: stress saat ini
(kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan stessor yang ada
(penyakit, hospitalisasi). Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi
meningkat, dan menarik diri dari keluarga. Cara pandang terhadap penyakit
dikaitkan dengan kepercayaan atau keyakinan yang dianut.
g. Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
1) Keadaan Umum : Kesadaran dan keadaan emosi, kenyamanan, distress, sikap dan
tingkah laku pasien.
2) Tanda-tanda Vital :
 Tekanan Darah
 Nadi
 Pernapasan
 Pada pasien : respirasi meningkat, dipsnea pada saat istirahat / aktivitas
 Suhu
3) Pemeriksaan Fisik
 Pada wajah terdapat bercak-bercak keunguan (malar facial flush) gambaran pipi
yang merah keunguan akibat curah jantung yang rendah, tekanan vena jugularis
yang meningkat akibat gagal ventrikel kanan.

16
 Pada auskultasi dapat dijumpai adanya S1 akan mengeras, hal ini hanya terjadi
bila pergerakan katup mitral masih dapat fleksibel. Bila sudah terdapat kalsifikasi
dan atau penebalan pada katup mitral, S1 akan melemah. S2 (P2) akan mengeras
sebagai akibat adanya hipertensi arteri pulmonalis. Opening snap terdengar
sebagai akibat gerakan katup mitral ke ventrikel kiri yang mendadak berhenti,
opening snap terjadi setelah tekanan ventrikel kiri jatuh di bawah tekanan atrium
kiri pada diastolik awal. Jika tekanan atrium kiri tinggi seperti pada stenosis
mitral berat, opening snap terdengar lebih awal. Opening snap tidak terdengar
pada kasus dengan kekakuan, fibrotik, atau kalsifikasi daun katup. Bising
diastolik bersifat low-pitched, rumbling dan dekresendo, makin berat stenosis
mitral makin lama bisingnya. Tanda auskultasi stenosis mitral yang terpenting
untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS interval yang pendek dan
lamanya rumble diastolik.
h. Pemeriksaan Penunjang
1) Rontgen toraks pada pasien stenosis mitral adalah tampak edema paru, pembesaran
arteri pulmonal, batasan ventrikel kiri tampak lurus.
2) Echocardiogram : tampak pembesaran atrium kiri, tidak adanya gerakan daun katup
posterior.
3) EKG : bisa AF dan pembesaran atrium kiri, tampak gelombang P melebar di
sandapan II (P mitral).
4) Hasil laboratorium

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap
masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosa yang mungkin muncul
adalah :
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload, perubahan
kontraktilitas otot jantung dan peningkatan afterload.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-kapiler.

17
d. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
e. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur tindakan
pembedahan).
f. Risiko infeksi dengan faktor risiko efek prosedur invasif
g. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau
vena
h. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan stenosis mitral
i. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sindrom hipoventilasi
j. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan kapasitas kandung kemih
k. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan dan mencerna
makanan
l. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
m. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan dalam gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.

2.2.3 Perencanaan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang
dilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan diagnosis keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien. Standar luaran keperawatan
akan menjadi acuan bagi perawat dalam menetapkan kondisi atau status kesehatan
seoptimal mungkin yang diharapkan dapat dicapai oleh pasien setelah pemberian
intervensi keperawatan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload, perubahan
kontraktilitas otot jantung dan peningkatan afterload.
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka curah
jantung meningkat dengan kriteria hasil:
1) Dyspnea menurun (5)
2) Batuk menurun (5)
3) Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun (5)
4) Gambaran EKG aritmia menurun (5)
5) Edema menurun (5)

18
 Intervensi
Perawatan jantung
a) Observasi
(1) Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung (meliputi
dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND)
(2) Identifikasi tanda dan gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi
peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi vena jugularis, palpitasi,
batuk).
(3) Periksa vital sign sebelum dan sesudah aktifitas
(4) Monitor EKG 12 sadapan
(5) Monitor aritmia
(6) Monitor intake output cairan
b) Terapeutik
(1) Posisikan pasien semo fowler atau fowler dengan posisi kaki ke bawah atau
posisi nyaman
(2) Berikan oksigen untuk mempertahankan oksigen minimal 94%
(3) Berikan diet jantung yang sesuai fasilitasi pasien dan keluarga untuk
memodifikasi gaya hidup sehat
(4) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres
(5) Berikan dukungan emosional dan spiritual
c) Edukasi
(1) Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
(2) Anjurkan beraktifitas fisik secara bertahap
(3) Anjurkan berhenti merokok
(4) Anjurkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian obat aritmia.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen.

19
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil:
1) Keluhan lelah menurun (5)
2) Frekuensi nadi membaik (5)
3) Kemudahan dalam melakukan aktifitas sehari-hari meningkat (5)

 Intervensi
Manajemen energy
Manajemen energy adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
mengidentifikasi dan mengelola penggunaan energi untuk mengatasi atau mencegah
kelelahan dan mengoptimalkan proses pemulihan.
a) Observasi
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan.
2. Monitor kelelahan fisik dan emosional.
3. Monitor pola dan jam tidur.
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas.
b) Terapeutik
(1) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara,
kunjungan).
(2) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif.
(3) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan.
c) Edukasi
(1) Anjurkan tirah baring.
(2) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap.
(3) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang.
(4) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan.
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-kapiler.

20
 Luaran : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam maka
pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil :
1) Dispnea menurun (5)
2) Bunyi napas tambahan menurun (5)
3) Takikardia menurun (5)
4) PCO2 membaik (5)
5) PO2 membaik (5)
6) pH arteri membaik (5)
 Intervensi
1) Pemantauan respirasi
Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan
napas dan keefektifan pertukaran gas.
a) Observasi
(1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas.
(2) Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik).
(3) Auskultasi bunyi napas.
(4) Monitor saturasi oksigen.
(5) Monitor nilai analisa gas darah.
(6) Monitor hasil x-ray thoraks.
b) Terapeutik
(1) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien.
(2) Dokumentasikan hasil pemantauan
c) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.
(2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
2) Terapi oksigen
Terapi oksigen adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
memberikan tambahan oksigen dalam rangka mencegah dan mengatasi
kekurangan oksigen jaringan.

21
a) Observasi
(1) Monitor kecepatan aliran oksigen.
(2) Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang
diberikan cukup.
(3) Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri, Analisa gas darah),
jika perlu.
(4) Monitor monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelectasis.
(5) Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
b) Terapeutik
(1) Pertahankan kepatenan jalan napas.
(2) Tetap berikan oksigen saat pasien di transportasi
c) Edukasi
(1) Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
(2) Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur.

d. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.


 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka
tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil:
1) Verbalisasi kebingungan menurun (5)
2) Perilaku gelisah menurun (5)
3) Perilaku tegang menurun (5)
4) Konsentrasi membaik (5)
 Intervensi
Reduksi ansietas
Reduksi ansietas adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
meminimalkan kondisi individu dan pengalaman subyektif terhadap objek yang
tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu
melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.
a) Observasi

22
(1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis: kondisi, waktu, stresor).
(2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan.
(3) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
b) Terapeutik
(1) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan.
(2) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan.
(3) Pahami situasi yang membuat ansietas.
(4) Dengarkan dengan penuh perhatian.
(5) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
(6) Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan.
(7) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
(8) Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang.
c) Edukasi
(1) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami.
(2) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis.
(3) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu.
(4) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan.
(5) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
(6) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan.
(7) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat.
(8) Latih teknik relaksasi.
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu.

e. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur tindakan


pembedahan).
 Luaran : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam maka nyeri
menurun dengan kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun (5)
2) Sikap protektif menurun (5)

23
3) Kesulitan tidur menurun (5)
4) Gelisah menurun (5)
5) Menarik diri menurun (5)
6) Diaforesis menurun (5)
7) Mual dan muntah menurun(5)
8) Frekuensi nadi membaik (5)
9) Pola nafas membaik (5)
10) Tekanan darah membaik(5)
11) Pola tidur membaik (5)
12) Nafsu makan membaik (5)
13) Proses pikir membaik (5)
 Intervensi :
Manajemen nyeri
Manajemen nyeri merupakan tindakan mengidentifikasi dan mengelola
pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
a) Observasi
(1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,
skala nyeri dan respon nyeri non verbal.
(2) Identifikasi respon nyeri non verbal.
(3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
(4) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
(5) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
(6) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
(7) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
(8) Monitor efek samping analgetik.
b) Terapeutik
(1) Berikan teknik non farmakologi.
(2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
(3) Fasilitasi istirahat dan tidur.

24
c) Edukasi
(1) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
(2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
(3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
(4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
(5) Ajarkan teknik nonfarmakologis.
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

f. Risiko infeksi dengan faktor risiko efek prosedur invasif


 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
tingkat infeksi menurun, dengan kriteria hasil:
(1) Demam menurun (5)
(2) Kemerahan menurun (5)
(3) Nyeri menurun (5)
(4) Bengkak menurun (5)
(5) Kadar sel darah putih membaik (5)
 Intervensi
Pencegahan infeksi
Pencegahan infeksi adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang organisme patogenik.
a) Observasi
(1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik.
b) Terapeutik
(1) Batasi jumlah pengunjung.
(2) Berikan perawatan kulit pada area edema.
(3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien.
(4) Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi.
c) Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi.

25
(2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
(3) Ajarkan etika batuk.
(4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka.
(5) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
(6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan

g. Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan/atau
vena
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
perfusi meningkat, dengan kriteria hasil:
(1) Denyut nadi perifer meningkat (5)
(2) Warna kulit pucat menurun (5)
(3) Edema perifer menurun (5)
(4) Nyeri ekstremitas menurun (5)
(5) Pengisian kapilar membaik (5)
(6) Akral membaik (5)
(7) Turgor kulit membaik (5)
(8) Tekanan darah sistolik membaik (5)
(9) Tekanan darah diastolik membaik (5)
(10) Indeks ankle brachial membaik (5)
 Intervensi:
Perawatan Sirkulasi (area edema/ necrotik)
Perawatan sirkulasi adalah mengidentifikasi dan merawat area local dengan
keterbatasan sirkulasi perifer.
a) Observasi
(1) Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer, edema, pengisian kapiler,
warna, suhu, antebrahial index)
(2) Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis diabetes, perokok, orang
tua, hipertensi, kadar kolesterol tinggi)
(3) Monitor panas, nyeri, kemerahan, atau bengkak pada ekstremitas)

26
b) Terapeutik
(1) Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah diarea keterbatasan
perfusi
(2) Hindari penekanan dan pemasangna torniquet pada area yang cedera
(3) Lakukan pencegahan infeksi
(4) Lakukan perawatan kaki dan kuku
(5) Lakukan hidrasi
c) Edukasi
(1) Anjurkan berhenti merokok
(2) Anjurkan olahrag rutin
(3) Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
(4) Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat
(5) Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
(6) Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
(7) Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan

h. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif dibuktikan dengan stenosis mitral


 Luaran: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, maka perfusi
serebral meningkat, dengan kriteria hasil:
(1) Kognitif meningkat (5)
(2) Sakit kepala menurun (5)
(3) Tekanan intra kranial menurun (5)
(4) Agitasi menurun (5)
(5) Reflek saraf membaik (5)
 Intervensi:
Manajemen Peningkatan tekanan Intrakranial
Manajemen Peningkatan tekanan Intrakranial adalah mengidentifikasi dan
mengelola peningkatan tekanan dalam rongga kranial.
a) Observasi
(1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi, gangguan metabolisme,
edema serebral)

27
(2) Monitor tanda gejala peningkatan TIK ( mis. Tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar, bradikardi, pola napas ireguler, kesadaran menurun)
(3) Monitor MAP
(4) Monitor CVP
(5) Monitor status pernapasan
(6) monitor cairan serebro sponal
b) Terapeutik
(1) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
(2) Berikan posisi semifowler
(3) Hindari manuver valsava
(4) Hindari penggunaan PEEP
(5) Pertahankan suhu tubuh normal
c) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
(2) Kolaborasi pemberian diuretik osmosis
(3) Kolaborasi pemberian pelunak tinja

i. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan sindrom hipoventilasi


 Luaran: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, maka pola
nafas membaik, dengan kriteria hasil:
(1) Kapasitas vital meningkat (5)
(2) Diameter thorak anterior posterior meningkat (5)
(3) Tekanan ekspirasi meningkat (5)
(4) Tekanan inspirasi meningkat (5)
(5) Dispnea menurun (5)
(6) Pengunaan otot bantu nafas menurun (5)
(7) Pemanjangan fase ekspirasi menurun (5)
(8) Ortopnea menurun (5)
(9) Pernafasan purses-tip menurun (5)
(10) Pernafasan cuping hidung menurun (5)
(11) Frekuensi nafas membaik (5)

28
(12) Kedalaman nafas membaik (5)
 Intervensi:
Manajemen jalan Napas
Manajemen jalan napas adalah mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan
napas
a) Observasi
(1) Monitor pola napas (frekwensi, kedalaman, usaha napas
(2) Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing, ronchi
kering)
(3) Monitor sputum
b) Terapeutik
(1) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift,
jawthrast jika curiga ada trauma.
(2) Posisikan semi-fowler atau fowler
(3) Berikan minum hangat
(4) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
(5) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
(6) Berikan oksigen
c) Edukasi
(1) Ajarkan teknik batuk efektif
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian bronskodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi
Pemantauan Respirasi adalah mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan
kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran gas
a) Observasi
(1) Monitor frekwensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
(2) Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmoul, cheine
stokes, biot, ataksik)

29
(3) Monitor kemampuan batuk efektif
(4) Monitor adanya produk sputum
(5) Monitor adanya sumbatan jalan napas
(6) Monitor kesimetrisan ekspansi paru
(7) Monitor auskultasi bunyi napas
(8) Monitor saturasi oksigen
(9) Monitor nilai AGD
(10) Monitor hasil x-ray
b) Terapeutik
(1) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
(2) Dokumentasikan hasil pemantauan
c) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
(2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

j. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan kapasitas kandung kemih


 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 5 x 24 jam, maka
eliminasi urin meningkat dengan kriteria hasil:
1) Frekuensi BAK membaik (5)
2) Karakteristik urine membaik (5)
 Intervensi
Manajemen eliminasi urine
Mengidentifikasi dan mengelola gangguan pola eliminasi urine
a) Observasi
(1) Identifikasi tanda dan gejala retensi urine atau inkontinensia urine
(2) Identifikasi factor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia urine
(3) Monitor eliminasi urine (mis. Frekuensi, konsistensi, aroma, volume, dan
warna)
b) Terapeutik
(1) Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih

30
(2) Batasi asupan cairan, jika perlu
(3) Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur
c) Edukasi
(1) Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
(2) Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
(3) Ajarkan mengambil specimen urine midstream
(4) Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih
(5) Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot panggul/ berkemihan
(6) Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi
(7) Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu

k. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan dan mencerna


makanan
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka status
nutrisi meningkat dengan kriteria hasil:
1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat (5)
2) Nyeri abdomen menurun (5)
3) Frekuensi makan meningkat (5)
4) Nafsu makan meningkat (5)
 Intervensi
Manajemen nutrisi
Manajemen nutrisi adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
mengidentifikasi dan mengelola asupan nutrisi yang seimbang.
a) Observasi
(1) Identifikasi status nutrisi
(2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
(3) Identifikasi makanan yang disukai

31
(4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
(5) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
(6) Monitor asupan makanan
(7) Monitor berat badan
(8) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
b) Terapeutik
(1) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
(2) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
(3) Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
(4) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(5) Berikan suplemen makanan, jika perlu
(6) Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
c) Edukasi
(1) Anjurkan posisi duduk, jika mampu
(2) Ajarkan diet yang diprogramkan
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
(2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

l. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi


 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 jam, maka
keseimbangan cairan membaik dengan kriteria hasil:
(1) Kekuatan nadi meningkat (5)
(2) Turgor kulit meningkat (5)
(3) Pengisian vena meningkat (5)
(4) Ortopnea menurun (5)
(5) Dispnea menurun (5)

32
(6) Edema anasarca menurun (5)
(7) Edema perifer menurun (5)
(8) Berat badan menurun (5)
(9) Distensi vena jugularis menurun (5)
(10) Keluhan haus menurun (5)
(11) Frekuensi nadi membaik (5)
(12) Tekanan darah membaik (5)
(13) Tekanan nadi membaik (5)
(14) Membran mukosa membaik (5)
(15) Jugular venous pressure (JVP) membaik (5)
(16) Kadar HB membaik (5)
(17) Central venous pressure membaik (5)
(18) Intake cairan membaik (5)
 Intervensi:
Manajemen Hipervolemia
Manajemen Hipervolemia adalah mengidentifikasi dan mengelola kelebihan
volume cairan intravaskuler dan ekstraseluler serta mencegah terjadinya
komplikasi.
a) Observasi
(1) Periksa tanda dan gejala hipervolemia mis. Ortopneu, dispneu, edema,
JVP/CVP meningkat, suara napas tambahan
(2) Identifikasi penyebab hipervolemia
(3) Monitor status hemodinamik
(4) Monitor intake dan output cairan
(5) Monitor tanda hemokonsentrasi mis. Kadar Na, hematokrit, BUN
(6) Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma mis kadar protein,
albumin
(7) Monitor kecepatan infus secara ketat
(8) Monitor efek samping diuretik mis. Hipotensi ortotostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremia
(9) terapeutik

33
(10) Tinggikan kepala tempat tidur 30-40derajat
b) Edukasi
(1) Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan keluaran urine
(2) Ajarkan Cara membatasi cairan
c) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian duiretik
(2) Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretik
(3) Kolaborasi pemberian continuous reanal replecement terapi (CRRT)

Pemantauan Cairan
Pemantauan Cairan adalah mengumpulkan dan menganalisis data terkait
pengaturan keseimbangan cairan.

a) Observasi
(1) Monitor frekwensi dan kekuatan nadi
(2) Monitor frekwensi napas
(3) Monitor tekanan darah
(4) Monitor berat badan
(5) Monitor waktu pengisian kapiler
(6) Monitor turgor kulit
(7) Monitor kadar albumin dan protein
(8) Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, HT, natrium,
kalium, BUN)
(9) Identifikasi tanda Hipovolemia
(10) Identifikasi tanda hipervolemia
b) Terapeutik
(1) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
(2) Dokumentasi hasil pemantauan

34
m. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Keterbatasan dalam gerakan fisik
dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 5X24 jam, maka
gangguan mobilitas fisik dapat berkurang dengan kriteria hasil
(1) Pergerakan ekstremitas meningkat (5)
(2) Kekuatan otot meningkat (5)
(3) Rentang gerak (ROM) meningkat (5)
(4) Nyeri menurun (5)
(5) Kaku sendi menurun (5)
(6) Gerakan tidak terkoordinasi menurun (5)
(7) Gerakan terbatas menurun (5)
(8) Kelemahan fisik menurun (5)
 Intervensi:
Kemampuan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri
Dukungan Ambulasi (memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas
berpindah)
a) Observasi:
(1) Identifikasi toleransi fisik melaukan ambulasi
(2) Monitor frekwensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
b) Terapeutik:
(1) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
(2) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
(3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
c) Edukasi:
(1) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan

Dukungan mobilisasi (memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas pergerakan


fisik)
a) Observasi :
(1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

35
(2) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
(3) Monitor heartrate dan Blood pressure sebelum memulai mobilisasi
(4) Monitor keadaan umum selama melakukan moblisasi
b) Terapeutik:
(1) Fasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat bantu
(2) Fasilitasi melakukan pergerakan
(3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam peningkatan pergerakan
c) Edukasi:
(1) Jelaskan tujuan dan prsedur mobilisasi
(2) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
(3) Anjurkan mobilisasi sederhana

36
DAFTAR PUSTAKA

Arthur C. Guyton and John E. Hall.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. edisi ke-9.2015. Jakarta :
EGC.

Corwin, Elizabeth J.Buku Saku Patofisiologi.2014.Jakarta : EGC.

Evelyn C. Pearce.Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.2018.Jakarta : EGC.

Huon H. Gray dkk.Lecture Notes Kardiologi.2014.Jakarta: Penerbit Erlangga

Huntley GD, Thaden JJ, Nkomo VT. Chapter 3-Epidemiology of heart valve disease. Principles
of Heart Valve Enginering.2019.Pages 41-62. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-814661-
3.00003-4

Iung B, Vahanian A. Epidemiology of valvular heart disease in the adult. Nat Rev Cardio.
2011;8(3);162-172.

Iung B, Baron G, Butchart GE, Delahaye F, Ba ̈rwolf CG, Levang OW, et al. A prospective
survey of patients with valvular heart disease in Europe: The Euro Heart Survey on
Valvular Heart Disease. Eur Heart J. 2003; 24: 123143.

Patrick Davey.At a Glance Medicine.2013.Jakarta: Penerbit Erlangga

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi.2015.Jakarta : EGC

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar IPD. Jilid II edisi ke-5.
Jakarta : Internapublishing; 2019.h.1671-9.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik ((1st ed)).
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan. (1st ed.). DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan. (1st ed.). DPP PPNI.
World Health Organization. Cardiovascular Disease (CVDs). WHO. 2016. Available
from :http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/n .
Di unduh dari http://www.Circulationaha.org, Rahimtoola et al. Evaluation and Management
of Mitral Stenosis. Vol 106 : 1183-8; 2023, pada tanggal 14 Juni 2023

37
Di unduh dari http://circ.ahajournals.org/, Carabello BA. Contemporary Reviews in
Cardiovascular Medicine : Modern Management of Mitral Stenosis. Vol 112 : 432-7;
2015, pada tanggal 15 Juni 2023.

38

Anda mungkin juga menyukai