MAKALAH
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Meliana (1606966003)
Puji syukur para penyusun ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya makalah yang berjudul Evaluasi Organ Jantung ini dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun untuk melaksanakan tugas mata kuliah Farmakoterapi Terapan II
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Dalam makalah
ini, penyusun membahas mengenai anatomi dan fisiologi organ jantung, biomarker
laboratorium dan pemeriksaan penunjang untuk evaluasi organ jantung, dan kelainan-
kelainan pada organ jantung sera penanganannya. Penyusun berharap makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan para pembaca khususnya mengenai organ
jantung.
Penyusun tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Dra.
Azizahwati, M.S., Apt. atas pengetahuan yang telah diberikan selama perkuliahan.
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah ini. Atas perhatian yang diberikan dari pembaca, penyusun
mengucapkan terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................. vi
ii
II.2.2.2 C-Reactive Protein ............................................................ 16
II.2.2.7 Mioglobin........................................................................... 27
II.2.3.1 ........................................................................................... 28
II.2.3.2.1Gelombang P .................................................................. 31
iii
II.2.3.2.14 Menentukan durasi interval QT ................................... ...41
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
v
Daftar Gambar
Gambar Halaman
Katup Jantung..................................................................................................... 8
Katup Aorta. A. Katup Aorta normal. B. Katup Aorta yang mengalami kalsifikasi.. ..42
Pengukuran Dimensi ruang jantung (ventrikel kiri) dan ketebalan dinding jantung.
A. M-mode. B. 2D ............................................................................................ 44
Ekokardiografi Transesofageal.......................................................................... 45
Elektrokardiografi Stres.................................................................................... 46
vi
Skema Kelainan Katup Jantung......................................................................... 49
Elevasi segmen ST tampak jelas di sadapan V1-V4 dan Gelombang patalogis tampak
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.
2
BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Sistem kardiovaskular merupakan yang memberi fasilitas proses pengangkutan
berbagai substansi dari dan ke sel-sel tubuh. Jantung, komponen darah dan pembuluh
darah merupakan bagian dari sistem kardiovaskular yang berfungsi memberikan dan
mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh yang di perlukan
dalam proses metabolisme tubuh. Peran dari ketiga komponen tersebut, diantaranya
Jantung, berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk
menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan..
Pembuluh darah, berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan kemudian mengembalikannya ke
jantung. Serta darah, berfungsi sebagai medium transportasi tempat bahan-bahan yang
akan disalurkan dilarutkan atau diendapkan. Darah, seperti cairan lain, mengalir dari
daerah bertekanan lebih rendah sesuai penurunan gradient tekanan (Sherwood, 2001).
Jantung merupakan organ berotot dan berongga dengan ukuran kurang lebih
sekepalan tangan. Jantung terletak di rongga toraks (dada) sekitar garis tengah antara
sternum atau tulang dada di sebelah anterior dan vertebra (tulang punggung) di sebelah
posterior. Jantung terletak di dalam dada, beratnya sekitar 250-300 gram (Dharma,
2009).
3
Gambar 1. Anatomi Jantung
5
- Otot ventrikuler: membentuk bilik jantung dimulai dari cincin
antrioventikuler sampai ke apeks jantung.
- Otot atrioventrikuler: Dinding pemisah antara serambi dan bilik( atrium
dan ventrikel
3. endocardium terdiri dari sel epitel dan jaringan ikat dengan dipenuhi serat
elastis dan kolagen. Endokardium juga mengandung pembuluh darah dan
serat otot jantung yang lebih dikenal sebagai serat Purkinje.
(Jones & Bartlett, 2006)
6
2. Katup semilunaris
Masing-masing katup semilunaris memiliki tiga daun katup yang simetris dan
berbentuk menyerupai corong. Katup-katup ini tertambat dengan kekuatan anulus
fibrosus (jaringan ikat). Katup semilunaris terdiri dari:
a. Katup aorta yang terletak antara ventrikel kiri dan aorta.
b. Katup pulmonalis yang terletak antara ventrikel kanan dan artei pulmonalis.
(Gibson, 2003).
Tabel 1. Lokasi dan Aksi katup jantung (Jones & Bartlett, 2006)
Katup Jantung Lokasi Aksi
Katup Antara atrium kanan Selama kontraksi ventrikel, katup trikuspid
trikuspid dan ventrikel kanan mencegah peredaran darah dari ventrikel
kanan ke atrium kanan
Katup Pintu masuk ke Selama ventrikel relaksasi, katup pulomanry
Pulmonary batang paru-patu mencegah peredaran darah dari batang paru-
paru ke ventrikel kanan
Katup Mitral Antara atrium kiri Selama kontraksi ventrikel, jatup mitral
(bicuspid) dan ventrikel kiri mencegah peredaran darah dari ventrikel kiri
ke atrium kiri.
Katup aorta Pintu masuk ke aorta Selama ventrikel relaksasi, katup aorta
mencegah peredaran darah dari aorta ke
ventrikel kiri.
7
Gambar 4. Katup Jantung
2.1.2 Fisiologi Jantung
2.1.2.1 Fungsi Jantung
Ruang-ruang jantung selalu bekerja secara berkoordinasi satu sama lain
sehingga kerja dari jantung sangatlah efektif. Ketika Atrium berkontraksi (Atria sistol),
ventrikel berelaksasi (ventrikel diastole). Demikian juga, ketika ventrikel berkontraksi,
atrium berelaksasi sehingga periode singkat relaksasi dari kedua atrium dan ventrikel
terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya detakan jantung yang sering disebut sebagai
siklus jantung. Satu siklus jantung menyebabkan tekanan di ruang jantung meningkat
dan menyebabkan katup bergerak membuka dan menutup. Selama diastole, tekanan di
ventrikel rendah, menyebabkan AV katup membuka dan ventrikel terisi darah (Jones
& Bartlett, 2006).
2.1.2.2 Sistem konduktivitas Jantung
Sistem konduktivitas jantung terdiri dari :
- SA Node
- AV Node
- AV Bundle (His Bundle)
- Serat Purkinje
8
ketika impuls jantung mencapai nodus AV distal, impuls akan melewati AV Bundle
dan memasuki bagian atas septum interventrikular. Setengah jalan menuju ke bawah
septum, inti serat purkinje yang tersebar di cabang-cabang membesar, meluas ke otot-
otot papiler, diteruskan ke apex jantung, melengkung di sekitar ventrikel dan melewati
dinding lateral. Serat Purkinje memiliki banyak cabang kecil yang berhubungan
langsung dengan serat otot jantung. Stimulasi serat Purkinje menyebabkan dinding
ventrikel berkontraksi dengan gerakan memutar untuk memaksa darah masuk ke dalam
aorta dan batang paru (Jones & Bartlett, 2006).
2.1.2.3 Sirkulasi sistemik
Pemompaan darah oleh ventrikel kiri ke aorta merupakan pertanda awal dari
sirkulasi sitemik. Darah akan mengalir ke bagian atas jantung, membengkok ke bawah
dan menurun ke kolumna spinalis anterior. Aorta bercabang dua ke iliac arteries (arteri
iliaca), yang menyuplai darah ke pelvis (pinggul) dan kaki. Pada bagian aorta yang
membengkok terdapat tiga cabang arteri yaitu arteri karotis yang menyuplai darah
menuju kepala dan arteri supklavia kanan dan kiri yang menyuplai darah menuju
lengan kanan dan kiri. Sedangkan jantung mendapat suplai darah dari arteri koroner
yang bercabang langsung dari pangkal aorta dan akan dijelaskan lebih lanjut pada
bagian sirkulasi koroner. Arteri pada setiap organ viseral akan mensuplai darah dari
aorta yang menurun ke kolumna. Semua organ-organ utama kecuali hati mendapat
suplai darah dari arteri yang bercabang langsung dari aorta. Pada sistem ini darah
didorong dengan tekanan besar dan organ-organ mendapat suplai darah yang kaya
oksigen (Aaronson et al, 2000).
9
Gambar 5. Sirkulasi Sistemik
Aorta dan cabang-cabangnya (arteri brakia sefalika (brachiocephalic artery),
arteri karotis, arteri subklavia, dan arteri iliaka) bersifat elastis. Selain itu, untuk
mengalirkan darah menjauh dari jantung, arteri-arteri tersebut akan menggembung
selama sistol dan menciut saat diastol sehingga darah mengalir menuju organ. Cabang
arteri yang elastis memiliki dinding pembuluh yang tebal, untuk mencegah kerusakan
pada pembuluh. Otot pembuluh arteri menyebabkan resistensi pembuluh terhadap
aliran darah. Arteri-arteri di setiap organ akan bercabang menjadi arteri yang lebih kecil
dengan beberapa lapisan otot polos, yaitu arteriol yang memiliki satu atau dua lapisan
otot polos. Konstriksi atau penyempitan pada pembuluh mengatur aliran darah ke
bagian kecil dari jaringan. Arteriol akan menyuplai darah kaya oksigen ke kapiler di
jaringan sehingga terjadi pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Kemudian darah
kaya karbon dioksida akan dibawa oleh venula menuju vena di setiap organ. Arteriol,
kapiler dan postcapillary venula membentuk mikrosirkulasi (Aaronson et al, 2000).
Sistem pembuluh darah vena dibagi menjadi dua, yaitu venula yang memiliki
satu atau dua lapisan sel otot polos, dan vena. Vena pada anggota gerak terutama kaki,
memiliki katup semilunar yang memastikan bahwa darah tidak dapat mengalir mundur.
Katup akan terbuka saat darah mengalir ke depan, tapi menutup kembali agar aliran
darah tidak berbalik. Vena dari kepala, leher dan lengan bersama membentuk vena cava
10
superior dan vena dari tubuh bagian bawah bergabung menjadi vena cava inferior.
Kedua vena ini yang akan menghantarkan darah ke atrium kanan, yang akan memompa
darah ke ventrikel kanan (Aaronson et al, 2000).
LDH3 (HHMM) terdapat di paru, otak, ginjal, limpa, pankreas, adrenal, tiroid
13
Tabel 2. Petanda molekuler nekrosis miokard
Waktu mulai Waktu mencapai Waktu untuk
Petanda meningkat (setelah puncak (setelah menjadi normal
onset nyeri) onset nyeri) (setelah onset nyeri)
cTnI 3-12 jam 24 jam 5-10 hari
cTnT 3-12 jam 12 jam 2 hari 5-14 hari
CKMB 3-12 jam 24 jam 48-72 jam
LDH 10 jam 24-48 jam 10-14 hari
14
LDH4 8-16 0,08-0,16
LDH5 6-16 0,06-0,16
15
e) Beberapa isoenzim bersifat sensitif terhadap suhu. Penyimpanan pada suhu dingin
dapat menurunkan kadar LDH.
2.2.2 C-Reactive Protein
Protein C-Reaktif (CRP) adalah protein yang dihasilkan oleh hati sebagai
penanda terjadinya reaksi inflamasi akibat pengaruh dari sitokin seperti interleukin 6
(IL-6). CRP memiliki dua bentuk yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan monomer
(mCRP). Pentamer (pCRP) dihasilkan melalui reaksi fase akut terhadap infeksi,
inflamasi dan kerusakan jaringan, sedangkan bentuk monomer dihasilkan dari
pentamer yang berdisosiasi. Fungsi biologis CRP adalah :
1. Mengikat C-polisakarida bakteri melalui reaksi presipitasi atau aglutinasi.
2. Meningkatkan aktivitas dan mobilitas sel fagosit seperti sel-sel granulosit dan
monosit (makrofag).
3. Mengaktifkan komplemen, baik melalui jalur klasik atau alternatif.
4. Mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T.
5. Mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel yang rusak,
inti kromatin dan kompleks DNA-histon.
6. Mengikat dan mendetoksifikasi bahan toksin endogen yang terbentuk sebagai hasil
kerusakan jaringan.
Tinggi rendahnya kadar CRP berhubungan dengan aktivitas inflamasi,
perubahan ateroskerosis yang cepat, dan prognosis yang jelek. Reaksi inflamasi
berhubungan juga dengan nekrosis jaringan otot yang berperan untuk meningkatkan
kadar CRP. CRP merupakan protein fase akut yang dihasilkan oleh liver dalam respons
terhadap cidera atau inflamasi jaringan. Kadar CRP pada individu sehat adalah kurang
dari 1. Pengukuran CRP terletak pada kolerasi dengan aktivitas penyakit. Kolerasi telah
ditemukan untuk pemulihan pascaoperasi, penyakit-penyakit infeksi, evaluasi klinis
untuk stress, trauma, infeksi, inflamasi, dan tingkat bedah. CRP terdapat di darah 6-10
jam setelah proses inflamasi akut dan kerusakan jaringan dan mencapai puncak 48-72
jam.
16
Peningkatan CRP menandakan terjadinya inflamasi mulai saluran pernafasan
atas sampai kanker. Kadar CRP yang tinggi juga menandakan terjadinya inflamasi pada
arteri jantung yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Infeksi
kronis, lemak, hipertensi, merokok,penyakit jantung, stroke, dan rheumatoid arthritis
dapat memproduksi protein inflamasi yang melemahkan pembuluh darah. Plak menjadi
gumpalan yang menyebabkan penurunan aliran darah dan bahkan serangan jantung.
Tingginya tingkat protein inflamasi dalam darah menunjukkan potensi tinggi untuk
aterosklerosis.
Tujuan:
5. Untuk melihat peningkatan kadar CRP dalam proses inflamasi akut.
6. Untuk mendeteksi risiko penyakit jantung koroner
Nilai Rujukan :
1. Conventional CRP
17
2. High Sensitivity CRP ( hsCRP ).
Metode pengukuran ini digunakan untuk menganalisis tingkat risiko penyakit jantung.
Metode ini memiliki sensitivitas yang menyerupai dengan hsCRP , namun
menggunakan metode analisa yang lebih sensitif sehingga hasil yang diperoleh lebih
spesifik untuk menentukan risiko penyakit jantung
19
homosistein dan dihidrolisis menghasilkan adenosin dan homosistein. Selanjutnya,
homosistein akan mengalami remetilasi dan 50% di antaranya berikatan secara
irreversible dengan serin membentuk sistasionin. Sistasionin ini kemudian
dimetabolisme menjadi sistein dan alfa-ketobutirat. Sistein selanjutnya diubah menjadi
sulfat dan diekskresikan ke dalam urin.
Dalam keadaan normal kadar homosistein darah puasa relatif sangat sedikit,
kadarnya antara 5 15 mol/L. Hiperhomosistein ringan terjadi bila kadar homosistein
plasma antara 30 100 mol/L dan hiperhomosisteinemia berat bila kadarnya lebih
dari 100 ml/L. Penelitian secara klinik dan eksperimen menunjukan bahwa kadar
homosistein yang tinggi cenderung untuk memberikan respon aterogenik yang
menimbulkan terjadinya trombosis. Mekanisme dari keadaan ini belum sepenuhnya
dapat di ketahui, namun beberapa mekanisme yang mungkin berperan telah dapat
diidentifikasi.
Tingginya kadar homosistein di dalam darah akan mempengaruhi endotel
pembuluh darah. Adanya ion Cu dan O2 akan menyebabkan terjadinya oksidasi
homosistein menghasilkan hidrogen peroksida. Senyawa ini akan menyebabkan
trauma pada sel endotel berupa peradangan dan menurunkan pelepasan nitrogen oksida
yang berperan dalam vasodilatasi pembuluh darah. Jika hal ini berlangsung terus
menerus, maka akan menyebabkan terjadinya aterogenosis yaitu pengerasan dan
penyempitan pembuluh darah. Efek homosistein pada trombosit adalah peningkatan
daya lekat dan agregasi trombosit yang pada akhirnya akan menurunkan aliran darah.
Hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan metabolisme asam arakidonat sehingga
meningkatkan kadar tromboksan A2 dimana dapat terjadi akumulasi sehingga agregasi
trombosit meningkat.
Homosistein mempengaruhi beberapa faktor faktor yang terlibat dalam
pembekuan darah, seperti menurunkan aktivitas anti trombin, menghambat aktivitas
kofaktor trombodulin dan aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas faktor V dan
faktor XII, dan mengurangi sintesis prostasiklin. Karena prostasiklin merupakan
20
inhibitor yang penting terhadap agregasi trombosit maka dengan berkurangnya sintesis
prostasiklin akan menyebabkan terjadinya trombosis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar homosistein di dalam darah adalah :
1. Genetika
Berkurangnya enzim yang berperan dalam metabolisme homosistein akan
menyebabkan peningkatan kadar homosistein di dalam darah.
2. Umur
Peningkatan umur akan menyebabkan peningkatan kadar homosistein. Hal ini
disebabkan karena kofaktor yang berperan dalam metabolisme menurun dan
menurunnya fungsi ginjal akan mempengaruhi ekskresi dari homosistein.
3. Jenis kelamin
Kadar homosistein pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.
4. Fungsi ginjal
Penurunan fungsi ginjal akan berakibat pada peningkatan kadar homosistein.
5. Nutrisi dan gaya hidup
Penurunan asupan nutrisi terutama asam folat, vit B6 dan vit B12 akan menyebabkan
peningkatan kadar homosistein karena nutrisi tersebut merupakan kofaktor dalam
metabolisme homosistein.
6. Penyakit
Penyakit seperti psoriasis akan meningkatkan kadar homosistein karena pada penyakit
tersebut, kadar folat dalam darah sangat rendah sehingga akan menurunkan proses
metabolisme dari homosistein.
Pemeriksaan homosistein dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pemeriksaan
setelah puasa atau setelah pembebanan metionin oral. Pemeriksaan setelah puasa atau
merupakan pemeriksaan yang dianjurkan dan lebih disukai karena sederhana dan lebih
mudah dilakukan, sedangkan pemeriksan setelah pembebanan metionin perlu biaya
yang lebih mahal dan waktu pemeriksan lebih lama. Untuk penderita yang dicurigai
mengalami gangguan metabolisme homositein laten perlu dilakukan kedua pemeriksan
21
ini karena dengan pemeriksaan homosistein plasma puasa saja biasanya akan
menunjukan nilai yang normal. Dengan pembebanan metionin akan terlihat
peningkatan kadar homosistein.
23
serum CKMB merupakan indikator penting nekrosis miokard, namun CKMB ini tidak
spesifik untuk mendeteksi kerusakan pada otot jantung. Enzim CKMB dalam serum
dapat meningkat pada trauma otot, hipotiroid, dan penyakit ginjal. Enzim CKMB ini
tidak sensitif untuk mendeteksi adanya IMA (Infark Miokard Akut) 0-4 jam setelah
nyeri dada serta tidak bisa mendeteksi cedera yang kecil pada miokard yang berisiko
tinggi untuk IMA (Infark Miokard Akut) dan serangan jantung mendadak. Kadar
normal CKMB tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kerusakan ringan miokard
dan risiko terjadinya perburukan penderita. Enzim CKMB diperiksa dengan cara
Enzymatic Immunoassay with Serum Start memiliki batas nilai normal <24 u/L
(Sungkar dkk., 2008).
2.2.6. Troponin Jantung
Troponin merupakan protein kompleks yang terdapat pada filamen aktin otot
lurik yang berfungsi untuk mengontrol interaksi aktin-miosin yang dimediasi kalsium
yang selanjutnya akan menghasilkan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan skeletal.
Troponin terdiri dari 3 subunit yaitu Troponin T (TnT),Troponin I (TnI), dan Troponin
C (TnC) yang masing-masing memiliki struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Dari
ketiga troponin tersebut, TnT dan TnI digunakan sebagai penanda biokimia untuk
diagnosis cedera miokard. Sementara TnC tidak memiliki spesifisitas pada jantung
sehingga TnC tidak digunakan untuk diagnose pada penyakit jantung (Babuin dan
Allan, 2005).
Tiap-tiap komponen troponin memainkan fungsi khusus yaitu :
a) Troponin C berfungsi mengikat Ca2+
Setiap subunit troponin mempunyai berbagai isoform tergantung pada tipe otot
dan dikode oleh sebuah gen yang berbeda. Struktur asam amino troponin T dan I yang
ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal,
sedangkan struktur troponin C pada otot jantung dan skeletal identik. Troponin
24
memiliki bentuk-bentuk yang khas yang hanya bisa ditemukan pada sel-sel
miokardium( Filatov dkk., 1999).
TnI atau TnT sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dibandingkan dengan CK-MB. Spesifisitas TnT dalam menilai
cedera miokard masih dipertanyakan karena dapat meningkat juga pada kondisi gagal
ginjal kronis dan distrofi muskular. TnI sebaliknya, lebih spesifik karena hanya TnI
yang diekspresikan sel miokard selama perkembangan jantung setelah lahir. TnI tidak
diekspresikan di otot rangka normal, termasuk pada saat perkembangan postnatal
tersebut Nigam,2007).
Troponin T (TnT) adalah suatu protein jantung yang terdapat pada otot lurik
yang berfungsi sebagai regulator kontraksi otot yang spesifik terhadap otot jantung.
Kadar troponin T darah meningkat dalam 4 jam setelah kerusakan miokardium dan
menetap selama 10-14 hari. Pemeriksaaan kadar TnT dapat diukur dengan metode
chemiluminescent dan hasil dinyatakan secara kuantitatif berupa kadar troponin T
dalam satuan ng/ml.
2.2.7 Mioglobin
Mioglobin adalah protein heme dengan berat molekul kecil (17,8 kDa).
Mioglobin terdapat pada otot jantung dan otot skeletal. Pada infark miokard akut
(IMA), mioglobin cepat dilepas dibandingkan CK-MB dan troponin karena dapat
dideteksi di dalam darah dalam waktu 2 jam dan kembali normal dalam waktu kurang
dari 24 jam setelah infark. Oleh karena itu, mioglobin dapat digunakan sebagai deteksi
awal infark miokard akut. Sampel diambil 1 2 jam, jika terjadi peningkatan kadar
myoglobin 25 40%, pasien dapat diindikasikan mengalami infark miokard akut.
Karena cepat dideteksi, myoglobin memiliki sesnsitifitas yang tinggi namun
sensitifitasnya rendah karena tidak spesifik untuk otot jantung dan sering meningkat
pada berbagai kondisi lain. Kadar mioglobin serum normal adalah <80 ng/ml pada pria
dan <60 ng/ml pada wanita.
2.2.8 Aspartat Transaminase (AST)
AST merupakan enzim yang terdapat di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak,
pancreas, getah bening, dan paru. Enzim ini dikeluarkan ke aliran darah apabila terjadi
kerusakan dan kematian sel-sel pada organ tersebut. Pada infark miokard, level AST
mungkin meningkat 4 10 kali dari nilai normal. Level AST akan meningkat dalam 8
12 jam sejak infark miokard akut, mencapai puncak dalam 1 2 hari dan kembali
normal dalam 3 6 hari. Kondisi lain yang dapat meningkatkan level AST diantaranya,
trauma otot rangka, penyakit hati, pankreatitis. Obat yang dapat meningkatkan level
AST antara lain, antibiotik (ampisilin, karbenisilin, klindamisin, kloksasilin,
eritromisin, gentamisin), vitamin (asam folat, vitamin A), Narkotika (morphin, codein),
antihipertensi (metildopa). AST merupakan biomarker fungsi jantung yang kurang
spesifik sehingga sudah jarang digunakan karena enzim ini dapat meningkat pula pada
26
gangguan-gangguan di jaringan lainnya, seperti hati dan otot rangka.
2.3 Diagnostik
2.3.1 Chest X-Rays
Chest X-ray atau X-ray dada adalah pemeriksaan diagnostik umum yang
merupakan metode skrining awal untuk jantung. Pemeriksaan ini dapat menghasilkan
gambaran jantung, paru, jalan nafas, pembuluh darah dan tulang rusuk dada serta tulang
belakang. Chest X-ray paling umum digunakan untuk menentukan adanya
abnormalitas ukuran dan bentuk jantung serta pembuluh darah yang terhubung. Jika
terjadi pembesaran jantung atau kelainan arteri dapat diartikan adanya masalah di
jantung yang memerlukan investigasi lanjutan (Rampengan, 2014).
Indikasi dari urutan rontgen dada diantaranya:
1. Untuk menentukan ukuran jantung
2. Untuk menentukan pembesaran ruang
3. Untuk mencatat karakter dari bidang-bidang di paru-paru, mediatinum dan
pembuluh darah besar.
4. Untuk mengidentifikasi proses pengapuran dari jantung (Rampengan, 2014).
28
dapat mendeteksi variasi gelombang listrik sebagai dua titik dan memperlihatkan
perbedaanya
b. Tiga lead tungkai modifikasi diperkuat dengan hubungan listrik yang
mengakibatkan defleksi peningkatan amplitudo. Lead ini unipolar karena hanya
dapat mendata perubahan voltase di salah satu titik (lengan kanan, lengan kiri, atau
tungkai kiri), yang berarti selama kontraksi jantung berlangsung.
c. Lead prekordial unipolar merekam data pada enam posisi di dada, yaitu V 1 sampai
V6 (Sloane, 2003).
Sebuah perangkat elektrokardiograf akan menampilkan hasil perekaman pada sebuah
kertas grafik millimeter blok seperti berikut:
29
Gambar 10. Kurva EKG normal
2.3.2.1 Gelombang P
Gelombang P memperlihatkan aktivitas listrik yang berhubungan dengan
depolarisasi atrium setelah depolarisasi awal pada nodus SA (Sloane, 2003).
Gelombang P adalah komponen pertama dari bentuk gelombang ECG normal. Ketika
mengevaluasi gelombang P, lihat secara dekat karakteristiknya. Gelombang P normal
memiliki karakteristik sebagai berikut:
Lokasi: sebelum kompleks QRS
Amplitudo: 2-3 mm
Durasi: 0,06-0,12 detik
Bentuk: biasanya membulat dan tegak lurus
Defleksi: positif atau tegak lurus pada lead I, II, aVF dan V2 sampai V6; umumnya
poitif namun bervariasi pada lead III dan aVL; negative atau terbalik pada lead aVR;
bervariasi pada lead V1 (Williams dan Wilkins, 2011)
Jika defleksi dan konfigurasi gelombang P adalah normal-misalnya, jika
gelombang P tegak pada lead II serta bulat dan halus-dan jika gelombang P berada
sebelum setiap kompleks QRS, maka dapat diasumsikan bahwa impuls listrik ini
30
berasal dari nodus sinoatrial (nodus SA) (Sloane, 2003). Gelombang P yang
memuncak, berlekuk, atau membesar dapat berhubungan dengan hipertrofi atrium atau
pembesaran yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru,
penyakit katup, atau gagal jantung (Williams dan Wilkins, 2011).
Gelombang P terbalik menandakan konduksi berbalik arah dari atrioventrikular
(AV) menuju atrium. Bentuk gelombang P yang berbeda-beda menunjukkan bahwa
implus datang dari tempat yang berbeda-beda, seperti irama pacemaker, iritasi atrium,
atau kerusakan di dekat SA node. Tidak adanya gelombang P menandakan konduksi
selain rute nodus SA, seperti ritme fibrilasi atrium (Williams dan Wilkins, 2011).
2.3.2.2 Interval PR
Interval PR adalah gambaran dari waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi
atrium dan jalannya arus listrik melalui berkas His sampai permulaan depolarisasi
ventrikel (Sloane, 2003). Ketika mengevaluasi interval PR, penting untuk mengamati
durasi. Perubahan interval PR mengindikasikan pembentukan impuls berubah atau
penundaan konduksi, seperti terjadinya blok AV. Karakteristik normal interval PR
sebagai berikut:
Lokasi: dari awal gelombang P sampai permulaan gelombang QRS
Durasi: 0,12-0,20 detik (Williams dan Wilkins, 2011).
Karakteristik tersebut dapat berbeda pada pasien pediatri. Interval PR yang
pendek (<0,12 detik) menunjukkan bahwa impuls berasal dari tempat selain nodus SA.
Variasi ini dikaitkan dengan junctional arrhythmias dan preexcitation syndromes.
Interval PR yang panjang (>0,20 detik) merupakan penundaan konduksi melalui atrium
atau AV junction karena keracunan digoxin atau blok jantung-berrkaitan dengan
iskemia (Williams dan Wilkins, 2011).
2.3.2.3 Kompleks QRS
Kompleks QRS terdapat setelah gelombang P dan merupakan hasil depolarisasi
yang terjadi di kedua ventrikel. Segera setelah depolarisasi ventrikel, seperti yang
diperlihatkan kompleks QRS, mereka berkontraksi. Kontraksi tersebut mengeluarkan
31
darah dari ventrikel dan memompa melalui arteri dan menyebabkan terjadinya detak
jantung (Williams dan Wilkins, 2011).
Sejumlah kecil repolarisasi atrium juga terjadi bersamaan dengan depolarisasi
yang terjadi namun tertutup oleh defleksi QRS. Bentuk, amplitudo, dan arah QRS
bergantung pada variabel seperti posisi jantung dan massa ventrikel (Sloane, 2003).
Karakteristik normal kompleks QRS sebagai berikut:
Lokasi: mengikuti interval PR
Ampllitudo: 5-30 mm tetapi berbeda untuk setiap lead yang dipakai
Durasi: 0,06-0,10 detik, atau setengah dari interval PR
Bentuk: terdiri dari gelombang Q, R, dan S
Pembelokan (Deflection): positif pada lead I, II, III, aVL dan negatif pada lead
aVR dan V1 ke V3 (Williams dan Wilkins, 2011).
Kompleks QRS in menggambarkan waktu konduksi intraventrikular, maka
lihat kembali kompleks yang terbentuk. Jika tidak terdapat gelombang P sebelum
kompleks QRS, maka impuls mungkin berasal dari ventrikel yang menunjukkan
indikasi aritmia ventrikel (Williams dan Wilkins, 2011).
Jika gelombang Q melebar menandakan terjadinya infark miokardial. Melebar
yang dimaksud adalah amplitudo gelombang Q 25% dari amplitudo gelombang R, atau
durasi dari gelombang Q 0,04 detik. Gelombang R yang berlekuk dapat menandakan
terjadinya blok pada cabang berkas. Pelebaran pada kompleks QRS (>0,12 detik)
mengindikasikan pelambatan konduksi pada ventrikular. Sedangkan tidak munculnya
kompleks QRS disebabkan blok AV atau berhentinya ventrikular (Williams dan
Wilkins, 2011).
32
Gambar 11. Nilai Interval PR dan Interval QRS pada pediatri
2.3.2.4 Segmen ST
Segmen ST merupakan akhir konduksi ventrikel (depolarisasi) dan awal
pemulihan ventrikel (repolarisasi) yang berbentuk garis horizontal atau kadang-kadang
akan sedikit deviasi keatas atau kebawah dari garis isoelektris, atau sedikit cekung dari
titik J (J point). Titik J (Junctional Point) adalah titik dimana gelombang S berakhir
(akhir kompleks QRS) dan awal segmen ST. Karakteristik normalnya yakni:
Lokasi: dari akhir gelombang QRS sampai permulaan gelombang T
Pembelokan: biasanya isoelektrik, bervariasi dari -0,5 sampai +1 mm pada
beberapa precordial leads (Williams dan Wilkins, 2011).
Perubahan pada segmen ST dapat mengindikasikan kerusakan miokardium,
dimana segmen ST dapat mengalami elevasi atau depresi. Segmen ST dikatakan
mengalami depresi saat 0,5 mm atau lebih dibawah garis isoelektris (garis imajiner),
depresi segmen ST menandakan iskemia miokardial atau keracunan digoksin.
Sedangkan elevasi segmen ST terjadi ketika 1 mm atau lebih diatas dari garis
isoelektris yang mengindikasikan terjadinya kerusakan miokardium (Williams dan
Wilkins, 2011).
33
Gambar 12. Kiri: Depresi Segmen ST; Kanan: Elevasi Segmen ST
2.3.2.5 Gelombang T
Gelombang T memperlihatkan repolarisasi ventrikel. Durasi gelombang ini
lebih panjang dan amplitudonya lebih rendah dibandingkan gelombang depolarisasi
(kompleks QRS), yang menunjukkan bahwa repolarisasi berlangsung tidak selaras dan
lebih lambat dari depolarisasi (Sloane, 2003). Berikut karakteristik normal gelombang
T:
Lokasi: mengikuti gelombang S
Amplitudo: 0,5 mm pada lead I, II, dan III dan sampai 10 mm pada precordial
leads
Bentuk: bulat dan halus
Pembelokan: biasanya tegak lurus pada lead I, II, II dan V3 sampai V6,
berkebalikan pada lead aVR (bervariasi di beberapa lead) (Williams dan Wilkins,
2011).
Pembengkakan pada gelombang T merupakan indikasi bahwa gelombang P
bersembunyi didalamnya. Jika terdapat kondisi tersebut, maka terjadi depolarisasi
atrium yang berarti impuls berasal dari tempat diatas ventrikel. Sedangkan jika bentuk
gelombang T tinggi, berujung runcing, ataupun menyerupai tenda mengindikasikan
kerusakan miokardium atau hiperkalemia (Williams dan Wilkins, 2011).
Gelombang T terbalik pada lead I, II, atau V3 sampai V6 menggambarkan
iskemia miokardial. Gelombang T yang sangat berlekuk atau sangat runcing pada
pasien dewasa menandakan terjadinya perikarditis (Williams dan Wilkins, 2011).
34
2.3.2.6 Interval QT
Interval QT yaitu waktu yang dibutuhkan saat depolarisasi ventrikel sampai
repolarisasi ventrikel. Interval ini diukur dari permulaan gelombang Q sampai akhir
gelombang T. Panjang atau pendeknya interval QT tergantung kecepatan laju jantung,
semakin cepat jantung berdenyut maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk
repolarisasi sehingga semakin pendek pula interval QT. Ketika memeriksa interval QT,
amati saksama durasinya. Nilai durasi normal bervariasi, biasanya 0,36-0,44 detik
(Williams dan Wilkins, 2011).
Durasi abnormal interval QT mengindikasikan masalah pada miokardial.
Interval QT yang lebih lama bisa disebabkan karena mengkonsumsi obat-obatan
tertentu seperti obat antiaritmia kelas IA. Perpanjangan ini meningkatkan resiko aritmia
yang mengancam jiwa bernama torsades de pointes. Sindrom perpanjangan interval
QT juga bisa karena bawaan dari lahir (kongenital) pada beberapa keluarga. Sedangkan
interval QT yang pendek dapat disebabkan oleh toksisitas digoksin atau hiperkalemia
(Williams dan Wilkins, 2011).
Terdapat dua metode untuk menentukan ritme atrium dan ventrikel jantung,
yaitu metode kertas dan pensil serta metode jangka. Untuk ritme atrium, ukur interval
P-P yaitu jarak antara gelombang P yang berurutan. Interval ini harus teratur dan hanya
boleh memiliki variasi yang kecil (sampai 0,04 detik), selanjutnya membandingkan
interval P-P pada beberapa siklus. Interval P-P yang konsisten menandakan ritme
atrium yang teratur, sedangkan jika berbeda-beda menandakan ritme atrium yang tidak
teratur (Williams dan Wilkins, 2011).
Untuk mengukur ritme ventrikel, ukur interval antara dua gelombang R yang
berurutan pada kompleks QRS. Jika gelombang R tidak muncul, gunakan gelombang
Q yang berurutan pada kompleks QRS. Interval R-R harus teratur, selanjutnya
membandingkan interval R-R pada beberapa siklus. Sama dengan ritme atrium,
interval yang konsisten menandakan ritme atrium yang teratur, sedangkan jika berbeda-
beda menandakan ritme atrium yang tidak teratur (Williams dan Wilkins, 2011).
a. Metode kertas dan pencil
Letakan kertas EKG pada permukaan yang datar, lalu ambil kertas kosong dan
letakkan diatas kertas EKG. Sisi lurus kertas ada pada puncak gelombang R, kemudian
tandai puncak gelombang R yang berurutan pada kertas kosong dengan menggunakan
36
pensil. Ini merupakan interval R-R. Selanjutnya pindahkan kertas kosong ke
gelombang lainnya untuk menilai interval R-R. Jika jarak antara interval R-R sama
maka ritme ventrikular teratur. Jika jarak bervariasi maka tidak teratur. Gunakan
metode yang sama untuk mengukur jarak antara gelombang P (interval P-P) dan
tetukan ritme atrium apakah teratur atau tidak (Williams dan Wilkins, 2011).
37
Gambar 15. Metode Jangka
38
8 187 28 54
9 166 29 52
10 (2 kotak besar) 150 30 (6 kotak besar) 50
11 136 31 48
12 125 32 47
13 115 33 45
14 107 34 44
15 (3 kotak besar) 100 35 (7 kotak besar) 43
16 94 36 41
17 88 37 40
18 83 38 39
19 79 39 38
20 (4 kotak besar) 75 40 (8 kotak besar) 37
21 71
22 68
23 65
24 63
wanita kurang dari 0,46 detik, sedangkan untuk lelaki kurang dari 0,45 detik.
Ketika nilai QTc > 0,50 detik torsades de pointes memiliki kemungkinan lebih
tinggi (Williams dan Wilkins, 2011).
2.3.2.15 Mengevaluasi komponen lainnya
Periksa denyut ektopik dan kelainan lainnya, juga segmen ST serta gelombang
U. setelah itu interpretasi semuanya seperti:
1. Asal ritme, contoh: nodus sinus, atrium, nodus AV, atau ventrikel
2. Karakteristik laju jantung, contoh: bradikardia atau takikardia
40
3. Kelainan ritme jantung, contoh: fibrilasi, blok jantung, aritmia (Williams dan
Wilkins, 2011).
41
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah suatu prosedur diagnostik noninvasif yang
menggunakan gelombang suara ultra (ultrasound), yakni gelombang suara dengan
frekuensi yang melebihi frekuensi pendengaran manusia, yaitu > 20 kHz. Prosedur ini
sangat bermanfaat bagi para dokter dalam mengamati struktur dan fungsi jantung dan
pembuluh darah (Oemar, 2005).
42
A B
Gambar 19. Katup Aorta. A. Katup Aorta normal. B. Katup Aorta yang mengalami
kalsifikasi
Sumber: Miami International Cardiology Consultants
Indikasi Klinis Pengunaan Ekokardiografi (Oemar, 2005):
Pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan pada sejumlah kategori pasien yaitu:
- Pemeriksaan skrining untuk mendeteksi kelainan jantung pada pasien dengan
prevalensi penyakit yang tinggi. Pemeriksaan skrining misalnya dilakukan pada
anggota keluarga pasien dengan penyakit jantung genetik, seperti sindroma Marfan
atau kardiomiopati hipertrofi. Pada pasien dengan aritmia sering dilakukan
pemeriksaan skrining ekokardiografi untuk menemukan kelainan struktur jantung
seperti dugaan prolaps daun katup mitral atau hipertrofi ventrikel kiri.
- Pemeriksaan monitoring dilakukan sebagai bagian dari prosedur terapi.
Pemeriksaan ekokardiografi dapat digunakan untuk evalusi efek terapi farmakologi.
Contohnya, perubahan isi sekuncup dengan terapi vasodilator pada pasien dengan
kardiomiopati dilatasi maupun perubahan pola pengisian diastol ventrikel kiri setelah
pemberian penyekat beta pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofi, atau pada
pengobatan dengan penghambat ACE (ACE inhibitor).
- Evaluasi pra dan pasca intervensi digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
komplikasi prosedural (seperti efusi perikard setelah pemeriksaan kateter
elektrofisiologi maupun setelah biopsi endomiokard). Untuk menilai efek intervensi
dengan membandingkan pemeriksaan pra dan pasca prosedur (seperti pada paien yang
menjalani prosedur revaskularisasi korner, komisurotomi balon mitral perkutan,
maupun bedah katup mitral).
43
- Pemeriksaan ekokardiografi dasar sebagai dasar referensi pada pasien yang
kemungkinan besar akan mengalami disfunfsi jantung atau beresiko menglami
penyakit jantung.
- Pertimbangan utama dilakukan pemeriksaan ekokardiografi meliputi temuan
bising jantung pada penyakit katup jantung, keluhan nyeri dada pada pasien yang
dicurigai mengalami PJK.
Jenis Ekokardiografi (Oemar, 2005):
2.4.1.1 Ekokardiografi M-Mode dan 2-D
Ekokardiografi M-mode adalah pemeriksaan ekokardiografi berdasarkan
penggunaan satu berkas tunggal sehingga tidak dapat memberikan tampilan bagian-
bagian jantung secara berkesinambungan dan spasial. Pada Ekokardiografi 2-D
gelombang suara ultra yang digunakan adalah berkas multipel. Ekokardiografi M-
mode dan 2-D digunakan untuk mengukur ketebalan dinding jantung, luas ruang-ruang
jantung, serta gerakan katup-katup jantung.
Gambar 20. Pengukuran Dimensi ruang jantung (ventrikel kiri) dan ketebalan
dinding jantung. A. M-mode. B. 2D
Sumber: Price, 2011; Oemar, 2005;
2.4.1.2 Ekokardiografi Doppler (PW, CW, Color Doppler)
44
Ekokardiofrafi Doppler menggunakan suara ultra untuk menentukan arah dan
kecepatan aliran darah yang bergerak di dalam jantung. Ekokardiografi doppler
menggabungkan penilaian struktur anatomi dan penilaian aliran darah sehingga
memberikan informasi hemodinamik atau fungsi masing-masing aparatus di dalam
jantung dan fungsi miokard. Pada PW (Pulsed Wave Mode) Doppler, transduser yang
digunakan adalah transduser dengan gelombang pulsasi. Seluruh elemen transduser
digunakan untuk mengirim dan kemudian menerima sinyal kembali. Pada CW
(Continuous Wave Mode) Doppler transduser yang digunakan adalah transduser yang
mengoperasikan gelombang kontinyu menggunakan setengah dari elemen- elemen
dalam transduser untuk mengirimkan dan setengah lainnya untuk menerima sinyal
secara terus menerus. Pada Color Doppler terdapat color mapping digunakan untuk
mengetahui arah aliran darah.
PW Doppler digunakan untuk mengukur kecepatan aliran darah pada posisi
yang spesifik (area tertentu di jantung). CW Doppler digunakan untuk mengukur
kecepatan tertinggi sehingga dapat dipakai untuk mengukur perbedaan tekanan. Color
Doppler dapat digunakan untuk menfidentifikasi stenosis dan regurgitasi katup serta
defek dinding jantung.
2.4.1.3 Ekokardiografi Transesofageal (Transesophageal Electrocardiography,
TEE)
45
Gambar 21. Ekokardiografi Transesofageal
Sumber: https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/tee/during
46
Gambar 22. Elektrokardiografi Stres
2.5 Kelainan Pada Organ Jantung
2.5.1 Kelainan Pada Selaput Jantung
Kelainan Pada Selaput Jantung atau disebut juga perikarditis merupakan
peradangan atau inflamasi pada selaput jantung pericardium visceral dan parietal
dengan atau tanpa disertai adanya cairan yang abnormal pada rongga pericardium.
Idiopatik 85-90
Infeksi
Virus 1-2
Bakteri 1-4
Jamur Jarang
Parasit Jarang
47
Penyakit neoplastic 7
(pertumbuhan sel
abnormal)
Penyakit autoimun 3-5
sistemik
Dll
Ada beberapa cara unutk mendiagnosa penyakit terkait selaput jantung ini
menurut Eva Roswati, Zainal Safri, 2013 diantaranya:
1. Laboratorium: Darah lengkap, faal hati dan faal ginjal, fungsi tiroid, PCR
(Protein C Reactive), Enzim Jantung (Troponin T), Rheumatoid Factor,
Adenosin deaminase pericardial test, IFN-gamma, sitologi dan analisis cairan
pericardial. Pada analisis cairan pericardial, dapat ditentukan besaran Light
Criteria: kadar LDH cairan perikardium >200 U/dL (sensitivitas 98%), kadar
total protein cairan perikard >30 g/ dL (sensitivitas 97%), rasio cairan
perikardium/ serum LDH >0,6 (sensitivitas 94%,akurasi diagnostik 87%), rasio
cairan perikardium/ serum protein >0,5 (sensitivitas 96%). Jika salah satu
kriteria tersebut terpenuhi, tergolong eksudat.
Marker inflamasi (seperti tingginya c-reactive protein, LED, WBC)
Miocardial necrosis marker (CK-MB dan Troponin) jika inflamasi
sampai pada lapisan miokardium
Marker Rheumatoid Factor (RF) jika diduga inflamasi akibat autoimun
2. Foto toraks: jantung membesar berbentuk globuler (water bottle heart) jika cairan
lebih dari 250 mL. Sering juga dijumpai efusi pleura.
3. Elektrokardiografi (EKG): takikardia, gelombang QRS rendah, elevasi segmen ST
yang cekung, dan electrical alternans. Jika kompleks QRS dipengaruhi, setiap
48
kompleks QRS lainnya tegangannya lebih kecil, sering dengan polaritas terbalik.
Dikombinasikan P dan QRS, hampir spesifik untuk tamponade.Volume efusi yang
dapat menyebabkan tamponade adalah sedang sampai besar (300 sampai 600 mL).
4. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang paling akurat. Akan
tampak akumulasi cairan di dalam kavum perikardium, kadang-kadang juga adanya
metastasis pada dinding perikardium.
5. Perikardiosentesis diagnostik sebaiknya memakai tuntunan ekokardiografi agar lebih
aman. Pada cairan dilakukan pemeriksaan kultur, hitung sel dan sitologi.
2.5.2 Kelainan Katup Jantung
Jumlah katup dijantung ada 4, yaitu katup trikuspid, bikuspid, aorta dan
pulmonal, terkait dengan kelainan katup jantung dibagi menjadi dua keadaan yaitu
stenosis dan regurtasi. Stenosis dapat dikatakan keadaan dimana katup tidak terbuka
dengan normal bisa karena katup menebal, kaku dan kering atau hipoksia pada jaringan
katup. Sedangkan regurtasi adalah keadaan dimana katup jantung bocor sehingga,
darah yang melewati katup mengalir kembali dan menyebabkan penurunan volume
darah dan peningkatan kerja jantung (Nijjer, Sukhjinder Dkk.2008).
50
Gambar 24. Diagnosa Katup Jantung
52
(ACS), yang meliputi angina tidak stabil dan non-ST-segmen elevasi (NSTE) atau
elevasi segmen ST (STE) Infark miokard (MI), angina kronis saat aktivitas stabil,
iskemia tanpa gejala, atau iskemia karena vasospasme koroner arteri (varian atau
Prinzmetal angina) (Dipiro,2012). Kondisi ini dipicu dari beberapa gaya hidup yang
tidak sehat seperti kurangnya aktivitas fisik, merokok, pola makan tidak sehat dan
obesitas (WHO, 2011).
2.5.3.2 Patofisiologi
Perkembangan PJK dimulai dari penyumbatan pembuluh jantung oleh plak pada
pembuluh darah dan dapat mulai terjadi saat seseorang masih muda. Kondisi ini dipicu
dari beberapa gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya aktivitas fisik, merokok,
pola makan tidak sehat dan obesitas. Penyumbatan pembuluh darah pada awalnya
disebabkan peningkatan kadar kolesterol LDL (low-density lipoprotein) darah berlebih
dan menumpuk pada dinding arteri. Kondisi ini berlanjut hingga bertahun-tahun dan
menyebabkan plak yang menyumbat arteri sehingga aliran darah terganggu dan juga
dapat merusak pembuluh darah sehingga timbul gejala PJK dalam waktu yang cukup
lama (WHO, 2011).
Atherosklerosis adalah penebalan dan pengerasan dinding arteri sedang dan besar
yang disebabkan oleh penumpukan lemak dalam jaringan tubuh. Sehingga terjadilah
penyempitan atau penyumbatan pada pembuluh darah. Penyumbatan ini menimbulkan
gangguan jantung berupa nyeri dada yang mencekam (angina pektoris) dan kerusakan
otot jantung (Ignatius,2002)
53
Gambar 25. Proses Aterosklerosis yang Progresif
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak
dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi
Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
54
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada
pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (PERKI,2015)
2.5.3.3 Gejala
PJK ditandai dengan adanya gejala infark miokard dan/atau angina pektoris
pada individu. Gejala infark miokard merupakan gejala akut akibat kekurangan oksigen
yang menyebabkan nyeri subternal dan dapat menyebabkan kematian secara
mendadak, sedangkan angina pektoris merupakan nyeri sesaat akibat aritmia dari
peningkatan aliran darah pada otot jantung yang mengalami penyumbatan (Naga,
2012).
2.5.3.4 Biomarker Penyakit Jantung Koroner
56
[5] Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
[6] Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.
2.5.3.7 Pemeriksaan fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan
kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol,
anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain,
seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3)
menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler
perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit
jantung koroner (PJK) (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
2.5.3.8 Pemeriksaan kadar marker biokimia kerusakan jantung
a. Troponin
62
Gambar 28. Laboratorium Kateterisasi Jantung
63
rasa tidak nyaman atau dada terasa sesak. Seringkali kondisi tersebut disertai dengan
keringat, sesak napas atau pusing (DAngelo ,2007). Angina merupakan sebuah tanda
atau peringatan bahwa terdapat penyempitan urat nadi koroner yang mengakibatkan
suplai darah tidak cukup ke otot jantung (Soeharto,2004)
2.5.4.2 Patofisiologi
Penyebab umum iskemia jantung ialah aterosklerosis pembuluh darah
epikardial. Gangguan perfusi miokardium pada insufiensi koroner menimbulkan
perubahan biokimiawi, elektrofisiologik dan mekanik jantung. Hipoksemia pada
bagian jantung yang mengalami iskemia menyebabkan pergeseran metabolisme dari
aerobik menjadi anaerobik, yang menghasilkan akumulasi asam laktat dan penurunan
pH intrasel serta menimbulkan nyeri angina yang khas. Berkurangnya produksi energi
ATP menyebabkan penurunan kontraktilitas dan kemampuan mempertahankan
homeostatis intrasel (Syarif, 2009).
Dasar kelainan ini adalah terganggunya homeostatis ion intrasel. Bagian intrasel
menjadi lebih positif sehingga terjadi potensial aksi yang amplitude nya lebih kecil,
berkurangnya kecepatan depolarisasi dan konduksi. Ketidakstabilan elektrofisioogik
jantung dapat menyebabkan takikardi atau fibrilasi ventrikel. Berkurangnya suplai
oksigen pada iskemia jantung menimbulkan gejala angina pektoris atau tanpa gejala
(silent) (Syarif, 2009).
2.5.4.3 Diagnosa Angina Pectoris
Tabel 7. Penampilan Klinis Umum Angina Pektoris
No. Patogenesis Penampilan Klinis Umum
1. Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus
menerus, biasanya lebih dari 20 menit
2. Angina pertama kali Angina yang pertama kali terjadi,
setidaknya CCS Kelas III*
3. Angina yang meningkat Angina semakin lama makin sering,
semakin lama waktunya atau lebih mudah
tercetus
64
* Klasifikasi AP dari CCS classification
Angina umumnya didiagnosis berdasarkan gejala pasien dan faktor-faktor
pencetus. Namun, pengujian diagnostik lainnya sering diperlukan untuk
mengkonfirmasi atau menyingkirkan angina, atau untuk menentukan tingkat keparahan
dari penyakit jantung yang mendasari.
2.5.4.4 Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram adalah tes yang mencatat impuls listrik dari jantung. Grafik
yang dihasilkan dari aktivitas listrik dapat menunjukkan jika otot jantung tidak
berfungsi dengan baik sebagai akibat dari kekurangan oksigen. Electrocardiogram juga
berguna dalam menyelidiki kemungkinan abnormalitas jantung. Pada pasien angina
hasil EKG dapat menunjukkan adanya depresi segmen ST, inversi segmen T, atau
menunjukkan keadaan normal.
2.5.4.5 Stress test
Bagi banyak orang dengan angina, hasil elektrokardiogram saat istirahat tidak
akan menunjukkan adanya kelainan. Karena gejala angina terjadi selama stress (latihan
fisik), fungsi jantung mungkin perlu dievaluasi di bawah tekanan fisik dari latihan. Tes
stres dilakukan bersamaan dengan EKG sebelum, selama, dan setelah latihan untuk
mencari kelainan terkait stress (latihan fisik). Tekanan darah juga diukur selama uji
stres. Stress tes dapat dilakukan dengan menggunakan tread mill.
2.5.4.6 Angiogram
Angiogram, yang pada dasarnya sinar x dari arteri koroner, telah menjadi tes
diagnostik yang paling akurat untuk menunjukkan keberadaan dan luasnya penyakit
koroner. Dalam prosedur ini, digunakan tabung fleksibel (kateter) yang panjang dan
tipis untuk melakukan manuver ke dalam arteri yang terletak di lengan atau pangkal
paha. Kateter ini akan dilewatkan lebih lanjut melalui arteri ke salah satu dari dua arteri
koroner utama. Sebuah pewarna disuntikkan pada waktu itu untuk membantu sinar x
melihat jantung dan arteri lebih jelas. Banyak sinar x singkat dibuat untuk menciptakan
sebuah film darah mengalir melalui arteri koroner, yang akan mengungkapkan
65
penyempitan yang mungkin dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otot
jantung dan gejala terkait angina.
2.5.4.7 Marka Jantung.
Pemeriksaan marka jantung Troponin I/T. Jika marka jantung meningkat,
diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Nilai
normal troponin T adalah < 0.1 ng/mL dan troponin I < 0.04 ng/mL. Kadar troponin
pada penderita iskemia miokard meningkat dalam 3 12 jam setelah awal timbulnya
nyeri dada, mencapai puncak pada 24 48 jam, dan kembali ke nilai normal dalam 5
14 hari.
2.5.4.8 Terapi Angina Pectoris
i. Terapi Obat
Pedoman untuk pencegahan serangan jantung dan kematian pada penderita PJK
hampir sama dengan pencegahan primer yaitu ditujukan untuk meminimalkan faktor
risiko PJK, selain itu dilakukan intervensi dengan obat-obatan maupun dengan
pembedahan (operasi) (Bustan, 2000; Grey,2003) Intervensi dengan obat-obatan
( Davidson,2003) :
(i). Aspirin : Obat yang paling banyak diberikan, tujuannya adalah mengencerkan darah
agar tidak cepat membeku.
(ii). Beta-Blocker : Obat yang menghambat kerja adrenalin agar tidak meresap ke
dalam jantung dan pembuluh darah, untuk mengurangi risiko terulangnya serangan
jantung sehingga mampu menurunkan angka kematian.
(iii). Penghambat ACE : ACE (Angiotensin Converting Enzyme) adalah suatu enzim
yang meningkatkan jumlah angiotensin dalam darah. Angiotensin membuat pembuluh
darah berkerut hingga tubuh dapat menahan garam dan air lebih banyak daripada yang
normal. Dengan menurunkan tingkat angiotensin, penghambat ACE berhasil
menurunkan jumlah penderita serangan jantung dan kegagalan jantung.
(iv). Statin : Obat yang berfungsi untuk menurunkan jumlah kolesterol yang dibuat
dalam tubuh khususnya di hati, dan membantu agar pembuluh nadi tidak menyempit
66
kembali.
(v). GTN : Obat ini digunakan bila penderita merasa nyeri di dada, bentuk obat ada
yang berupa spray untuk disemprot atau bentuk tablet. Obat ini sering diberikan pada
penderita PJK yang baru keluar dari rumah sakit.
ii. Terapi Bedah
Bila pengobatan konservatif tidak efektif dalam pengurangan nyeri angina dan resiko
serangan jantung tetap tinggi, dokter mungkin merekomendasikan angioplasti atau
operasi.
(i). Bypass : Pembedahan bypass yaitu melakukan bypass terhadap penyumbatan di
arteri koronaria dan menggantikannya dengan pembuluh darah yang diambil dari
dinding dada atau kaki dengan menghentikan kerja jantung dan menggantikannya
dengan mesin jantung-paru saat operasi jantung dilakukan.
(ii). Angioplasti : Angioplasti dilakukan dengan memasukkan balon tipis dan panjang
melewati pembuluh darah yang menyempit dengan bantuan kawat yang sangat halus,
kemudian balon dipompa pada tekanan tinggi hingga melebarkan pembuluh nadi dan
sering memisahkan timbunan lemak pada dinding pembuluh darah sehingga pembuluh
membuka.
2.5.5 Infark Miokard
2.5.5.1 Definisi
Infark miokard adalah kerusakan atau kematian jaringan miokardial akibat
iskemia (adanya blok arteri koroneroleh trombus).Infark miokard akut terjadi saat
iskemia miokard yang terlokalisasi mengakibatkan perkembangan suatu regio nekrosis,
paling sering diakibatkan oleh ruptur lesi aterosklerotik (Gray et al., 2002).
2.5.5.2 Patofisiologi
67
Gambar 30. Patofisiologi Infark Miokard
2.5.5.3 Gejala Klinis
Denyut dapat menjadi takikardi (denyut jantung lebih cepat dari normalnya
biasanya paling sedikit 100/menit) atau bradikardi (denyut jantung lebih lambat dari
normalnya biasanya <60/menit). Tekanan sistolik <90 mmHg dan bukti hipoperfusi
organ merupakan tanda khas syok kardiogenik.
Nyeri dada
Nyeri dada pada pasien infark miokard berlangsung minimal 30 menit dan tidak
mereda dengan nitrogliserin. sedangkan serangan angina berlangsung selama 5-10
menit. Nyeri atau rasa berat menekan bisa disertai dengan keringat dingin atau rasa
takut. Meskipun nyeri dapat menyebar ke lengan atau rahang, kadang gejala utama
timbul dari epigastrium, yang dapat menyebabkan kesulitan diagnostik. Infark miokard
akut terjadi setelah aktivitas berat atau emosi ekstrem, jarang pada puncak aktivitas.
68
Sesak napas
Sesak napas disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri karena tekanan pulmonal meningkat yang menyebabkan retensi cairan
pada interstisial paru, mengindikasikan ancaman gagal ventrikel. Ansietas juga dapat
menyebabkan hiperventilasi.
c. Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah. Stimulasi
diafragmatik pada infark inferior juga menyebabkan cegukan (Gray et al., 2002).
2.5.5.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG)
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epikardium (lapisan luar),
miokardium, dan endokardium (lapisan dalam). Bila infark mengenai lapisan dalam
maka disebut infark subendokardium, sedangkan bila mengenai hampir seluruh atau
seluruh ketebalan dinding disebut infark transmural. Pendekatan tata laksana akut
pasien dengan keluhan nyeri dada difokuskan pada ada tidaknya SKA, yang terdiri dari
angina pektoris tidak stabil, infark miokardium tanpa elevasi segmen ST/non ST-
Segment Elevation Miocardial Infraction (NSTEMI) dan infark miokardium elevasi
segmen ST/ ST-Segment Elevation Miocardial Infraction (STEMI). Dengan demikian
peranan EKG pada alur diagnostik ini menjadi salah satu pilar utama, terutama untuk
menilai ada tidaknya elevasi segmen ST. Hal yang dapat mempengarui perubahan yang
kita temukan pada EKG antara lain oklusi, durasi iskemia, serta ada tidaknya kolateral.
Gelombang Q
Gelombang Q dianggap terbentuk bila telah terjadi nekrosis transmural
sedangkan bila tanpa gelombang Q berarti nekrosis hanya mengenai daerah
subendokardium. Meskipun demikian tidak selalu terdapat kolerasi yang baik antara
ada tidaknya gelombang Q dengan nekrosis transmural. Sebagaian besar STEMI akan
menjadi infark dengan gelombang Q, sedangkan sebagian kecil tidak menunjukkan
gelombang Q.
69
Sebuah gelombang Q disebut patologis bila gelombang tersebut dalam (amplitudo
<25% tinggi gelombang R) dan atau lebar (durasi 0.04). Agar bermakna gelombang
Q patologis ini harus terdapat di sadapan berurutan). Gelombang Q akan terbentuk
mulai dari 2-24 jam
Elevasi Segmen ST
Elevasi segemen ST pada umumnya akan terjadi jika nekrosis telah menncapai
ke epikardium. Secara umum diketahui bahwa daerah yang mengalami injury
menunjukkan muatan listrik lebih spesifik sehingga menyebabkan deviasi segmen ST
positif disadapan yang berhadapan langsung. Selain itu repolarisasi inkomplet miokard
yang rusak menyebabkan elevasi segmen ST pada daerah yang mengalami infark.
Inversi gelombang T
Pada fase injury, perubahan lebih awal terjadi adalah peningkatan amplitudo
gelombang T (T hiperakut). Biasanya terjadi dalam 1-2 jam pertama sejak onset
keluhan (pada waktu ini segmen ST masih isoelektrik). Dalam beberapa menit hingga
jam segmen ST akan mengalami elevasi, yang berarti injury telah sampai ke epikardial.
Mulai tampak gelombang q patologis dan pada saat gelombang q terbentuk, gelombang
T akan mulai terbalik sehingga memberikan gelombang T bifasik. Dalam beberapa hari
dan minggu segmen ST akan kembali normal, sedangkan gelombang T akan kembali
positif setelah beberapa bulan atau tahun (Pakpahan, 2012).
70
Gambar 31. Elevasi segmen ST tampak jelas di sadapan V1-V4 dan Gelombang
q patalogis tampak nyata pada sadapan V1-V3
b. Ekokardiografi
Ekokardiografi potongan melintang dapat mendeteksi abnormalitas gerakan
dinding regional, penurunan ejeksi fraksi, dan abnormalitas fungsi katup dapat
dideteksi dengn ekokardiografi potongan melintang.
c. Angiografi
Angiografi telah menjadi tes diagnostik yang paling akurat untuk menunjukkan
keberadaan penyempitan pembuluh darah. Dalam prosedur ini, digunakan tabung
fleksibel (kateter) yang panjang dan tipis untuk melakukan manuver ke dalam arteri
yang terletak di lengan atau pangkal paha. Kateter ini akan dilewatkan lebih lanjut
melalui arteri ke salah satu dari dua arteri koroner utama. Sebuah pewarna disuntikkan
pada waktu itu untuk membantu sinar x melihat jantung dan arteri lebih jelas. Banyak
sinar x singkat dibuat untuk menciptakan sebuah film darah mengalir melalui arteri
koroner, yang akan mengungkapkan penyempitan yang mungkin dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otot jantung dan gejala terkait angina.
d. X-ray
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
71
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat
darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
e. Skintigrafi radionuklida
Skintigrafi infark miokard dengan radio nuklida menggunakan penanda dengan
waktu paruh pendek (99mTc-pirofosfat) dapat digunakan untuk membuat penilaian
semikuantitatif ukuran infark namun tidak digunakan sebagai pemeriksaan (Gray et al.,
2002).
2.5.5.4 Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin T&I
Troponin I/T mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin akan meningkat 4 hingga 8 jam setelah cedera
miokardium dan akan menetap selama 4-7 hari setelah peristiwa tersebut. Troponin I/T
juga dapat meningkat karena kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar,
gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi,
dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi
yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi
ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari
troponin T.
Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB merupakan penanda cedera otot
yang paling spesifik terutama pada infark miokardium. Setelah infark miokardium
akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 8 jam dengan kadar puncak
dalam 18 hingga 24 jam, dan kembali menurun hingga normal setelah 2 hingga 3 hari.
72
CK-MB juga terdapat dalam otot skelet sehingga penegakan diagnosis cedera
miokardium didasarkan pada pola peningkatan dan penurunan.
Mioglobin dilepaskan ke aliran darah setelah terjadi kerusakan otot dari iskemia,
trauma, atau peradangan. Mioglobin merupakan biomarker jantung yang sensitif
namun tidak spesifik karena merupakan enzim yang terdapat di semua otot.
Mioglobulin serum umumnya terdeteksi lebih awal dari enzim jantung lainnya
Mioglobin awalnya dilepaskan ke dalam cairan interstitial 3 jam setelah cedera otot
termasuk infark miokard. Kreatinin fosfokinase/creatine phosphokinase (CPK)
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim yang mengkatalisis konversi
reversibel laktat menjadi piruvat dalam sel. Pada keadaan iskemia, jaringan kekurangan
supply oksigen sehingga melakukan metabolisme anaerob, sehingga terjadi
peningkatan LDH. LDH serum total tidak spesifik terhadap suatu jaringan. Yang
spesifik terhadap jaringan tertentu adalah isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH1
sampai LDH5. LDH1 dan LDH2 ditemukan pada jantung, ginjal, otak dan sel darah
merah. Peningkatan enzim nonspesifik Laktat Dehidrogenase (LDH) terjadi pada tahap
lanjut infark miokard, peningkatan kadar dapat dideteksi dalam 24 jam, memuncak
dalam 3-6 hari dengan peningkatan yang tetap dapat dideteksi selama 2 minggu
(Aaronson & Ward, 2007).
2.5.5.6 Penatalaksanaan
Segera Individu yang diduga mengalami MI segera berikan aspirin kunyah 300
mh untuk memblokade agregasi trombosit lebih lanjut. Morfin diberikan bersama
dengan antiemetik untuk meredakan nyeri dan mual. Nitrovasodilator juga dapat
membantu menurunkan kerja jantung dan mengontrol nyeri. -bloker seharusnya
diberikan kecuali terdapat kontraindikasi misalnya terdapat gagal ventrikel kiri. Pasien
dengan hasil EKG mengalami elevasi segmen ST yang berarti telah terjadi infark
transmural sebaiknya mendapatkan trombolisis dalam 30 menit atau intervensi koroner
perkutan pada arteri yang terblokade dalam 90 menit sejak manifestasi klinik.
Selanjutnya Pengobatan Jangka Panjang dengan aspirin, -bloker, dan ACE
73
inhibitor mengurangi komplikasi MI dan resiko reinfark. Usaha berhenti merokok,
pengobatan hipertensi dan diabeters, serta penurunan lipid dengan menggunakan statin.
Sebelum dipulangkan pasien diberikan exercise stress test (Gray et al., 2002).
a. Analgesik
Analgesik adekuat dan sedasi ringan karena kemungkinan mengalami aritmia
lebih kecil pada pasien yang relaks dan penurunan katekolamin endogen akan
menurunkan kemungkinan iskemia subendokardium. Pemberian morfin sulfat secara
iv juga memiliki kemampuan vasodilatasi tambahanyang berguna pada pasien dengan
edema paru. Karena memiliki efek samping mual dan muntah maka ditambahkan
antiemetik profilaksis seperti metoklopramid atau proklorperazin. Nyeri berulang
beberapa hari dapat diterapi dengan NSAID.
b. Agen trombolitik
Agen trombolitik menginduksi fibrinolisis yaitu fragmentasi benang-benang fibrin
yang mengikat bekuan, hal ini menyebabkan reperfusi zona infark (pembukaan
sumbatan zona infark). Referfusi membatasi ukuran infark dan mengurangi resiko
komplikasi seperti ekspansi infark, aritmia, dan gagal jantung. Dua agen utama
trombolisis adalah streptokinase (SK) dan aktivator plasminogen jaringan (tPA).
Kedua agen ini diberikan melalui infus. Reteplase dan tenektepase merupakan agen
yang memiliki bersihan plasma lebih lambat dibandingkan tPA. Kontraindikasi terapi
trombolitik adalah stroke yang pernah terjadi sebelumnya atau resiko tinggi
pendarahan intraserebral.
c. Antiplatelet dan Antikoagulan
Pemberian kombinasi kedua agen ini ditujukan untuk mencegah agregasi
trombosit dan trombosis lebih lanjut pada arteri yang mengalami infark. Setelah pasien
stabil, pemberian aspirin setiap hari pada pasien untuk mencegah oklusi pembuluh
darah dan infark. Heparin secara iv diberikan selama 48-72 jam untuk mengurangi
resiko trombosis lebih lanjut saat streptokinase diberikan atau bila pasien beresiko
mengalami emboli sistemik.
74
d. Beta bloker
Obat ini mengurangi kebutuhan oksigen dengan menurunkan laju denyut jantung dan
mengurangi ketegangan dinding ventrikel dengan menurunkan afterload. Mekanisme
kerjanya melalui penghambatan di reseptor 1 (beta bloker spesifik) dan 1 dan 2 (beta
bloker non spesifik) sehingga tidak terjadinya peningkatan laju denyut jantung dan
kontraktilitas otot jantung.
e. ACE inhibitor
Menurunkan afterload dan ketegangan dinding ventrikel serta memperbaiki fraksi
ejeksi karena mencegah terbentuknya AT2 yang dapat menyebabkan vasokontriksi
pembuluh darah. Inhibisi ACE menaikkan bradikinin yang dapat mempengaruhi fungsi
endotel dan membatasi vasospasme koroner. Terapi sebaiknya diberikan dalam waktu
24 jam pada pasien STEMI dan harus dilanjutkan dengan jangka panjang jika terdapat
disfungsi ventrikel kiri tetap terbukti. (Aaronson & Ward, 2007).
2.5.6. Gagal Jantung
2.5.6.1 Definisi
Gagal jantung merupakan suatu keadaan patofisiologis di mana jantung gagal
memompa darah pada jumlah yang sepadan dengan kebutuhan metabolisme jaringan
tubuh. (PERKI, 2015).
2.5.6.2 Etiologi
Disfungsi miokard (DM, penyakit miokard, kardiomiopati, penyakit jantung
iskemik)
Overload Volume (Regurgitasi katup mitral atau aorta)
Overload tekanan (Stenosis aorta, hipertensi)
Gangguan pengisian (Perikarditis konstruktif, tekanan cairan berlebihan dalam
rongga perikard)
Aritmia (Fibriliasi atrium)
Curah tinggi (Tirotoksikosis, anemia).
2.5.6.3 Patofisiologi
75
a. Mekanisme adaptif untuk mempertahankan curah jantung & Tekanan darah
Tiap mekanisme kompensasi jantung dapat memberikan manfaat hemodinamik
segera namun dengan konsekuensi merugikan dalam jangka panjang yang berperan
dalam perkembangan gagal jantung. Mekanisme ini meningkatkan kerja jantung
sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen.
Hipertrofi miokard
Peningkatan overload yang menetap seperti pada hipertensi atau stenosis
menyebabkan penebalan dinding ventrikel karena sel-sel otot bertambah besar.
Walaupun hipertrofi memperbaiki kekuatan jantung namun ventrikel yang lebih tebal
bersifat kuurang elastis sehingga meningkatankan EDP (End Diastolic Pressure) untuk
mpengisian adekuat, hal ini menyebabkan gagal jantung diastolik (Aaronson & Ward,
2007).
Neurohormonal & Aktivasi renin angiotensin aldosteron
Penurunan tekanan darah menginisiasi refleks baroreseptor dan menstimulasi
sistem saraf simpatis. Refleks ini meningkatkan laju denyut jantung dan kontraktilitas,
serta memperbaiki curah jantung. Namun demikian afterload meningkat dan
redistribusi curah dari otot skelet dan sirkulasi splanknik menyebabkan kelemahan otot
dan kelelahan. Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem RAA yang
menyebabkan peningkatan kadar renin angiotensin II, dan aldosteron.
Aktivasi sistem saraf simpatik
Aktivasi sistem saraf melalui baroreseptor menyebabkan peningkatan
kontraktilitas pada awalnya, namun kemudian pada aktivasi sistem RAA dan
neurohormonal menyebabkan peningkatan preload jantung dan afterload jantung,
meningkatkan noreprinefrin plasma, retensi progresif garam dan air, dan edema.
Peptida natriuretik, ADH, endotelin
Peptida neuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal, dan sistem saraf.
Peptida natriuretik arterial (ANP) dilepaskan dari atrium jantung sebagai respon
terhadap peregangan, menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Pada manusia, peptida
76
natriuretik otak (BNP) juga dilepaskan dari jantung terutama oleh ventrikel dengan
kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai antagonis fisiologis
terhadap efek AT2 pada tonus vaskular, sekresi aldosteron, dan reabsorpsi natrium
ginjal (Gray et al., 2002).
Mekanisme FrankStarling
Penurunan curah jantung dan fraksi ejeksi meningkatkan preload. Oleh sebab itu,
kekuatan jantung meningkat berdasarkan hukum Starling, yang secara parsial
memulihkan curah jantung namun dengan konsekuensi peningkatan tekanan pengisian.
b. Kelainan non jantung
Endotelium vaskular berperan dalam regulasi tonus vaskular dengan melepas
faktor kontriksi dan relaksasi. Peningkatan tonus vaskular pada pasien gagal jantung
kronis disebabkan oleh peningkatan aktivasi saraf simpatis, sistem RAA, dan gangguan
pelepasan faktor relaksasi dari endotelium.
c. Disfungsi miokard diastolik
Gangguan relaksasi miokard, karena peningkatan kekakuan dinding ventrikel
menyebabkan gangguan pengisian diastolik ventrikel. Fibrosis iskemik miokard dan
hipertrofik ventrikel kiri serta infiltrasi miokard merupakan penyebabnya.
d. Remodeling Miokard
Setelah infark miokard, proses remodeling terjadi dengan hipertrofi regional dari
segmen non infark serta penipisan dan dilatasi pada zona infark. Akibat dari proses
remodeling terjadi perubahan bentuk dan ukuran ventrikel kiri (Aaronson & Ward,
2007).
77
Gambar 32. Gejala Gagal Jantung (PERKI, 2015).
2.5.6.4 Pemeriksaan
a. Exercise stress testong
Digunakan untuk mendiagnosa penyebab nyeri dada, menentukan kapasitas fungsional
jantung setelah miokard infak atau pembedahan jantung, mengidentifikasi disritmia
yang terjadi selama latihan fisik.
b. Ekokardiografi & Ekokardiogram
78
Ekokardiografi digunakan untuk memberikan penilaian mengenai struktur dan
fungsi jantung (mendeteksi kelainan struktur anatomi katup jantung, penyempitan
pembuluh koroner)
Ekokardiogram digunakan untuk mendeteksi aritmia dan dapat memberikan
gambaran evidence suggestif dari MI atau hipertropi ventricular
c. Chest Radiograph
Digunakan untuk mendiagnosa penyebab dyspnea seperti efusi pleura atau pulmonary
edema yang dapat mendukung diagnosis dari gagal jantung.
d. Electrocardiogram
Digunakan untuk mendeteksi aritmia, infark miokard dan hipertrofi ventrikular.
e. Magnetic Resonance Imaging
digunakan untuk memberikan gambaran dengan resolusi tinggi mengenai struktur
kardiak dan fungsi ventrikular. Agen kontras seperti gadolinium dapat memberikan
informasi mengenai letak dan keadaan inflamasi, fibrosis, dan perfusi miokardial.
Fungsi katup juga dapat diperiksa meskipun dengan reabilitas yang lebih rendah
dibanding fungsi dan struktur miokardium.
f. Plasma B Type Natriuretic Peptide
BNP disekresikan di hati dan BNP dalam plasma mengindikasikan hipertrofi
ventrikular kiri atau disfungsi sistolik atau diastolik yang merupakan keadaan yang
terjadi pada gagal jantung. Peningkatan kadar BNP dalam plasma juga dapat terjadi
pada infark miokard akut, embolism pulmonary, dan gagal ginjal.
g. Cardiac Catheterization
Kateterisasi kardiak merupakan pengukuran dari tekanan intrakardiak, perkiraan
kardiak output, deteksi abnormalitas dari katup, dan deteksi penyakit arteri koroner
(Fuster et al., 2011).
2.5.6.5 Penatalaksanaan
Terapi gagal jantung kronik bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup dengan
mengurangi gejala, memperpanjang usia harapan hidup, dan menghambat progesi
79
perburukan jantung.
81
meningkatnya waktu pengisian ventrikel kiri dan FEVKi, serta menurunnya volume
sistolik akhir dan diastolik akhir, regurgitasi mitral dan diskinesia septum.120-122
Mekanisme manfaat yang utama dari TRJ dapat bervariasi dari pasien ke pasien dan
bahkan bervariasi antar periode waktu tertentu pada satu pasien. Tidak ada pengukuran
akurat yang dapat memprediksi respon terhadap TRJ, karena mekanismenya sangat
bervariasi.
c. Indikasi TRJ: Pasien dengan Irama Sinus
Terdapat bukti yang kuat bahwa TRJ menurunkan mortalitas dan angka rawat
ulang, memperbaiki fungsi dan struktur kardiak pada pasien GJ kronik simtomatik
(kelas fungsional II-IV NYHA) meskipun dalam terapi medis yang optimal,
penurunan FEVKi (Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri) berat (35%), dan BBCKi (Blok
Berkas Cabang Kiri) komplit. Pada pasien seperti di atas, TRJ lebih unggul
dibandingkan terapi medis berbasis pedoman atau DKI. Tidak terdapat manfaat TRJ
pada pasien GJ dengan durasi QRS <120 mdet. TRJ terbukti tidak meningkatkan
konsumsi puncak oksigen (luaran primer) atau kualitas hidup subgrup pasien dengan
durasi QRS <120 mdet dan tidak memperbaiki disinkroni pada ekokardiografi. Oleh
karena itu, indikasi implantasi TRJ tidak ditentukan adanya bukti disinkroni mekanik
82
d. Pemilihan moda pacu jantung (dan optimalisasi TRJ)
Moda pemacuan TRJ umumnya berupa pemacuan simultan ventrikel kiri dan
kanan dengan interval AV diprogram antara 100-120 mdet dimana kabel-pacu
ventrikel kiri ditempatkan di vena lateral atau posterolateral. Pemilihan ini didasarkan
secara empirik sesuai dengan patofisiologi dan bukti pada beberapa studi sebelumnya.
Optimalisasi TRJ memiliki tujuan menurunkan persentase non-responder. Empat area
yang menjadi perhatian penelitian adalah:
- Cara mencapai pemacuan biventrikular hingga 100%
- Pemilihan posisi kabel-pacu yang terbaik
- Penentuan interval AV optimal untuk mencapai kontribusi maksimal kontraksi
atrium kiri dalam mengisi ventrikel kiri (resinkronisasi AV)
- Menghilangkan disinkroni residual ventrikel kiri dengan optimalisasi waktu
pemacuan antara ventrikel kiri dan kanan (termasuk yang paling ekstrim
dengan pemacuan ventrikel kiri saja).
e. Indikasi TRJ: Pasien dengan Fibrilasi Atrium (FA)
Ada dua cara untuk mempertimbangkan TRJ pada pasien FA: (i) pasien FA
dengan GJ sedang berat yang memiliki indikasi TRJ secara hemodinamik dan (ii)
pasien dengan laju ventrikel cepat disertai GJ atau disfungsi ventrikel kiri dan cocok
untuk strategi kendali laju dengan ablasi nodus AV. Pasien FA berbeda dengan pasien
irama sinus karena laju ventrikelnya ireguler dan biasanya lebih cepat. Disfungsi
ventrikel kiri pada sebagian pasien FA akibat takikardiomiopati. Sedangkan pada
sebagian pasien lain, fungsi ventrikel kiri buruk karena GJ yang berkepanjangan.
Kedua situasi ini dapat diperbaiki dengan kendali laju ventrikel melalui ablasi nodus
AV.
Pada studi Ablate and Pace in Atrial Fibrillation(APAF), pada subgrup pasien
dengan FEVKi yang rendah, kelas fungsional III NYHA dan durasi QRS 120 mdet,
TRJ secara signifikan menurunkan luaran primer termasuk kematian akibat GJ, rawat
83
ulang akibat GJ atau perburukannya, dan menunjukkan efek yang menguntungkan
berupa reverse remodeling ventrikel kiri (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2014).
84
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini diantaranya :
Sistem sirkulasi di dalam tubuh terdiri dari :
1) Sirkulasi sistemik , yaitu dari jantung ke seluruh tubuh kembali ke jantung.
2) Sirkulasi pulmonal, yaitu dari jantung ke paru kembali ke jantung.
3) Sirkulasi koroner, yaitu dari jantung untuk otot jantung sendiri.
Pemeriksaan laboratororium perlu dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
fungsi jantung. Berikut beberapa parameter biologis (biomarker) untuk mengetahui
adanya gangguan fungsi jantung, meliputi aspartate aminotransferase (AST),
lactatedehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), C-reaktive Protein
(CRP), homosistein, mioglobin, cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT).
Selain itu, untuk evaluasi fungsi jantung dapat dilakukan dengan melihat gambaran
EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan
inversi gelombang T.
Penyakit terkait fungsi jantung diantaranya penyakit selaput jantung, penyakit katup
jantung, penyakit arteri coroner yang terdiri dari aterosklerosis, angina pectoris, infark
miokardium dan gagal jantung yang diagnosanya ditungjang dengan pembacaan hasil
laboratorium yang terkait biomarker jantung dan gambaran dari pemriksaan penunjang.
Pengobatan yang dapat dilakukan bergantung pada jenis penyakit dan tingkat
keparahan dari penyakit tersebut.
84
DAFTAR PUSTAKA
Aaronson, P.I. & Ward, J.P.T. 2007. The Cardiovascular System at A Glance. UK:
Blackwell Science Ltd.
Ahmad., Sharma. (2012). Review Articles : Biomarkers in Acute Myocardial Infarction.
J Clin Exp Cardiolog, 3, 11.
Anatomy And Physiology Of Cardiovascular System. 5th ed. jones and bartlett publisher.
Babuin L. and Allan S. 2005. Troponin: the biomarker of choice for the detection of
cardiac injury. Canadian Medical Association.
Bustan, M.N., 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.
Christenson R. and Hasan M. Beckman Conference. Clinical Chemistry. Biochemical
Markers of The Acute Coronary Syndromes. Clinical Chemistry 44:8(B) 1855-
1864(1998).
DAngelo, R, dkk., 2007. The Ultimate Guide to Heart Attack Treatment. Penerbit
Prestasi Pustakaraya, Jakarta.
Davidson, C, 2003. Penyakit Jantung Koroner. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.
Dharma, Surya. 2009. Sistematika Interpretasi EKG: Pedoman Praktis. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Dipiro, C. 2012. Pharmacotherapy Handbook ninth edition. United States: The Mc Graw
Hill.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien
Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alkes
Eva Roswati, Zainal Safri. 2013.Perikardiosentesis pada Efusi Perikardium Masif,
Laporan Kasus CDK-202/ vol. 40 no. 3, th. 2013
Filatov VL, Katrukha AG, Bulargina TV, Gusev NB. Troponin: structure, properties, and
mechanism of functioning (review). Biochem (Moscow) 1999;64:969-85.
Fuster, V., Walsh, R.A., Harrington, R.A., Hunt, S.A., Prystowky, E.N., King III, S.B.,
Robert, R., Nash, I.S. & Rose, E. 2011. Hursts The Hurt, Thirteenth Edition. USA:
Mc Graw Hill
Gerald RA,.2012.CT SCANNING. Department Of Radiology Michigan State UnIversity
Gibson, John. 2003. Fisiologis & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Buku
85
Kedokteran EGC
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Simpson, I.A. & Morgan, J,M. 2002. Lectures Notes on
Cardiology. UK: Blackwell Science Ltd.
Grey, H H., dkk., 2003. Lecture Notes Kardiologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
He L, Li G, Feng X, Shi H, Chang D, Ye K, Wang S.Effect of energy compound on
skeletal muscle strain injury and regeneration in rats. Ind Health. 2008
Oct;46(5):506-12.
Ignatius WF. Infection and Their Role in Atherosclerotic Vascular Disease. Journal
American Dental Association. June 2002; 133; 7s-13s.
Indrati, Agus R.2015. Peranan High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) pada
Penyakit Jantung Koroner dalam acara Current Biomarker in Acute Coronary
Syndrome. Bandung: Dept Patologi Klinik RS Hasan Sadikin/FK Universitas
Padjajaran Bandung
Limdi., Hyde. (2003). Review: Evaluation of abnormal liver function tests. Postgrad Med
J.
Luthra, Atul,.2012.ECHO MADE EASY Fourth Edition.India: Jaypee Brothers Medical
Publishers
Muttaqin,Arif.2009. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
kardiovaskuler. . Jakarta : Salemba Medika
Naga, S., 2012. Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. Jakarta: Diva Press hal:143.
Nigam P. 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of Clinical
Biochemistry 2007/22 (1) 10-17. lUCKNOW
Nijjer, Sukhjinder Dkk.2008. Valvular Heart Disease Pathofisiologu and Management.
Hospitally Pahrmacist Volume 15
Oemar, Hamed,.2005.TEXTBOOK OF ECHOCARDIOGRAPHY: INTERPRETASI
DAN DIAGNOSIS KLINIK.Jakarta: YMB Publisher
Pakpahan, H.A.P. 2012. Elektrokardiografi Ilustratif. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Perhimpuanan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Centra Communication : Jakarta.
86
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2014. Pedoman
Terapi Memakai Alat Elektronik Kardiovaskular Implan . Centra Communication :
Jakarta
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung . Centra Communication : Jakarta
Price, S,.2011. Transthoracic Echocardiography: Normal Two Dimensional and Doppler
Imaging.Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg
Rampengan, Starry Homenta.2014. Buku Praktis Kardiologi.Jakarta: Badan Penerbit
FKUI
Sadip Pant., Abhishek Deshmukh, Pritam Neupane, M.P. Kavin Kumar, C.S.
Vijayashankar4. (2012). Cardiac Biomarkers. Intech.
Schlattner U, Mckli N, Speer O, Werner S, Wallimann T.Creatine kinase and creatine
transporter in normal, wounded, and diseased skin. J Invest Dermatol. 2002
Mar;118(3):416-23.
Scroeder S, et.al,. Cardiac computed tomography: indications, applications, limitations,
and training requirements. European Heart Journal (2008) 29, 531556
doi:10.1093/eurheartj/ehm544
Sherwood, Laurale. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokterran EGC.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: ECG
Sobotta, Johannes, Reinhard V Putz, and Reinhard Pabst. 2006. Sobotta Atlas Of Human
Anatomy. 1st ed. Munchen: Urban and Fischer.
Soeharto, I, 2004. Serangan Jantung dan Stroke. Penebit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Sungkar M., Harmani K., dan Sjukri K.Jurnal Kardiologi Indonesia. Trigliseridemia
Postprandial Sebagai Faktor Prediksi Kejadian Kardiak Sindroma Koroner Akut
Berulang.J Kardiol Ind 2008; 29:5-11 ISSN 0126/3773
Syarif,Amir, dkk. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI
Ten Kate GJR, AC Weustink, PJ de Feyter,.2008. Coronary artery anomalies detected
by MSCT-coronary angiography in the adult. Netherlands Heart Journal, Volume
16, Number 11, November 2008
87
Thygesen dkk. European Heart Journal. Recommendations For The Use of Cardiac
Troponin Measurement in Acute Cardiac Care. (2010) 31, 2197-2206.
Doi:10.1093/eurheartj/ehq251
Van Geldorp, Martjin. 2013. Severe Aortic Stenosis : diagnosis, treatment, and prognosis.
Thesis. Erasmus Universiteit Rotterdam American Heart Association, 2014)
Whiting P, N Singatullina, JH Rosser,.2015. Computed tomography of the chest: I. Basic
principles. BJA Education, 15 (6): 299304 (2015) doi:10.1093/bjaceaccp/mku063
Advance Access Publication Date: 2 February 2015
WHO, 2011. The underlying pathology of ischaemic heart attacks and strokes. In WHO
Global Atlas on cardiovascular disease prevention and control. Geneva: WHO.
Williams, Lippincott & Wilkins.2011. ECG interpretation made incredibly easy!. 5th
ed.China: Wolters Kluwer Health
88