Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

PERDARAHAN SALURAN MAKAN


BAGIAN ATAS (PSMBA)
OLEH :

Zatul Fina 1507101030240


Vira Farhati 1507101030229
Zakiarrahman 1507101030198
Annisa Suherman 1507101030189
Ulva Yogia Guslaf 1507101030213
Ridha Rahmah Sufri 1507101030235
Anekke Dwi Aufia Masra 1507101030199

PEMBIMBING

dr. Azzaki Abubakar, SpPD-KGEH

SMF BAGIAN PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr.ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus ini dengan tema
Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas (PSMBA).
Laporan kasus ini disusun dengan mengamati salah satu kasus PSMBA pada
pasien penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin . Diharapkan dengan
adanya laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan menambah informasi
mengenai Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan Laporan Kasus ini. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan sumbangan gagasan, saran dan masukan
yang membangun demi penyempurnaan tulisan ini . Akhir kata penulis berharap
semoga Laporan Kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Banda Aceh, Agustus 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....... ii
DAFTAR ISI. iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Saluran Cerna Bagian Atas .... 3
2.2 Definisi...... 7
2.3 Etiologi...... 7
2.4 Epidemiologi ........ 8
2.5 Faktor Risiko. 8
2.6 Patogenesis.... 11
2.7 Diagnosis................... 13
2.8 Tatalaksana............ 17
2.9 Komplikasi. 21
2.10 Prognosis.................................................................... .... 21

BAB III LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien.. 23
3.2 Anamnesis.. 23
3.3 Pemeriksaan Fisik.. 24
3.4 Pemeriksaan Penunjang. 26
3.5 Diagnosis................................ 28
3.6 Terapi...................... 28
3.7 Prognosis............ 28

BAB IV PEMBAHASAN... 29

BAB V KESIMPULAN 33

DAFTAR PUSTAKA.. 34

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Saluran cerna bagian atas merupakan saluran cerna di proksimal ligamentum


Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus.(1) Dalam
beberapa keadaan saluran cerna bagian atas dapat mengalami perdarahan.
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSMBA) adalah perdarahan saluran makanan
proksimal deri ligamentum Treitz yang meliputi hematemesis dan/atau melena.
Hematemesis adalah muntah darah dapat berupa darah segar (bekuan/gumpalan
atau cairan berwarna merah), berubah berwarna kecoklatan atau seperti butiran kopi
karena enzim dan asam lambung. Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan
hitam seperti aspal, dengan bau busuk.(2,4,5)
Penyebab terbanyak PSMBA di Indonesia adalah perdarahan varises karena
sirosis hati (65%), sedangkan di negara Eropa dan Amerika adalah perdarahan non
variceal karena ulkus peptikum (60%). Penyebab lain yang jarang seperti, Malory
Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi
vaskuler), neoplasma, aortoenteric fistula, Gastric Antral Vascular Ectasia
(GAVE) dan gastropathy prolapse.(8)
Terdapat beberapa faktor risiko yang berperan dalam patogenesis PSMBA.
Faktor risiko yang telah diketahui adalah usia, jenis kelamin, penggunaan OAINS,
penggunaan obat antiplatelet, merokok, mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus,
diabetes mellitus dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.(8,9)
Diagnosis PSMBA dibuat berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
inspeksi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT), pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan endoskopi, radionuclide scanning, radiografi barium kontras.(9)
Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis, dengan
akurasi diagnosis > 90%. Waktu yang paling tepat untuk pemeriksaan endoskopi
tergantung pada derajat berat dan dugaan sumber perdarahan. Dalam 24 jam
pertama pemeriksaan endoskopi merupakan standar perawatan yang
direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan yang terus berlangsung, gagal
dihentikan dengan terapi suportif membutuhkan pemeriksaan endoskopi dini
(urgent endoscopy) untuk diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi. Tujuan

1
2

pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga


untuk menentukan aktivitas perdarahan.(9,11)
Tujuan utama pengelolaan PSMBA adalah stabilisasi hemodinamik,
menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan
mortalitas. Proton Pump inhibitor (PPI) merupakan pilihan utama dalam
pengobatan PSMBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam
menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan
berulang.(10)
Identifikasi letak pendarahan adalah langkah awal yang paling penting
dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat
secara langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak
perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari
pasien dengan PSMBA tidak dapat dibuktikan sumber pendarahannya. Oleh karena
itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur
untuk mengurangi persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak
terdiagnosis dan tidak terobati.(10,11)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Cerna Bagian Atas


Saluran cerna bagian atas merupakan saluran cerna di proksimal ligamentum
Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus.(1)

2.1.1 Esofagus
Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm
dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung.
Esofagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan
menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi
menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung.(1)

Gambar 2.1 Bentuk anatomi dari esophagus (1)

Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus


membentuk sfingter esofagus bagian atas dan teridri atas serabut serabut otot
rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau
kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun
secara anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan beperan sebagai sawar
terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini
menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau
muntah.(1)

2.1.2 Lambung (Gaster)

3
4

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
di bawah diafragma. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 L. Secara
anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum pilorikum atau pilorus
sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang
terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk
ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali.
Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah
kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam
duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran
balik isi usus ke dalam lambung. (2)

Gambar 2.2 Bentuk anatomi dari lambung (gaster) (3)

Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami
stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus
peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis
pilorus atau pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami
hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan
makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan
tersebut dan tidak mencerna atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat
diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan
relaksasi serabut otot. (2)
5

Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang
ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu
organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus
(disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong
lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor,
peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus
dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang
sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit
pankreatitis akut.(2)
Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan
sirkular di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot
yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum.(2)
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah, dan saluran limfe.(2)
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan lipatan longitudinal
yang disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan
menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di
dekat orifisium kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik
terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik
memiliki tiga tipe utama sel. Sel sel zimogenik (chief cell) mensekresikan
pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel sel
parietal mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor
intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan
6

faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel sel mukus
(leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan mensekresikan mukus. Hormon
gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin
merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan
pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan
berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan klorida.(2)

2.1.3 Duodenum dan Jejunum


Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum.
Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu
suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esofagus dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum.
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung).
Sekitar duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian
akhirnya adalah ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis sinistra,
sedangkan ileum cenderung terletak di regio abdominalis dekstra sebelah bawah.
Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur oleh sfingter pilorus, sedangkan
pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus besar diatur oleh katup ileosekal.
(2)

Gambar 2.3 Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum (3)


7

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan
serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan
parietal, dan ruang yang terletak di antara lapisan lapisan ini disebut sebagai
rongga peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera
abdomen.(2)

2.2 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentum Treitz meliputi hematemesis dan atau melena. Untuk
keperluan klinis dibedakan perdarahan varises dan non varises, karena anatar
keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. (4)
Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar
(bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah) atau berubah karena enzim dan
asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi.
Memuntahkan sedikit darah dengan warna yang telah berubah adalah gambaran non
spesifik dari muntah berulang dan tidak selalu menandakan perdarahan saluran
pencernaan atas yang signifikan.(4)
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal/ter,
denganbau busuk, dan perdarahannya sejumlah 50-100 ml atau lebih. Melena
menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas. Tinja yang gelap dan padat
dengan hasil tes perdarahan samar (Occult Blood) positif menunjukkan perdarahan
pada usus halus dan bukan melena.(4)

2.3 Etiologi
Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) di Indonesia dengan laporan pustaka Barat. Penyebab terbanyak di
Indonesia adalah perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di negara
Eropa dan Amerika adalah perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%).
Penyebab lain yang jarang meliputi, Malory Weiss tears, duodenitis erosive, ulkus
dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler), neoplasma, aortoenteric fistula,
Gastric Antral Vascular Ectasia (GAVE) dan gastropathy prolapse.(5)
8

Tabel 2.1 Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (5)


Sering Kurang Sering Jarang
Ulkus Gaster Erosi/gastropati gaster Ulkus esophagus
Ulkus Duodenum Esofagitis Duodenitis erosive
Varises Esophagus Lesi Dielafoy Fistula Aortoenterik
Mallory Weiss tear Telangiektasis Hemofilia
Gastropati hipertensi portal Penyakit pancreas
GAVE (Gastric Antral
Vascular Ectasia)=
watermelon stomach
Varises gaster
Neoplasma

2.4 Epidemiologi
Perdarahan SMBA merupakan perdarahan yang berasal dari esofagus sampai
ligamentum Treitz. Insidens perdarahan SMBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus
per 100.000 populasi, insiden tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia.(5)
Lebih dari 60% perdarahan SMBA disebabkan oleh perdarahan ulkus
peptikum, perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%.5 Etiologi lain adalah
malformasi arteriovenosa, Mallory Weiss tear, gastritis, dan duodenitis. Di
Indonesia, sekitar 70% penyebab SMBA adalah ruptur varises esofagus. Namun,
dengan perbaikan manajemen penyakit hepar kronik dan peningkatan populasi
lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus peptikum diperkirakan bertambah. Data studi
retrospektif di RS Cipto Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien yang
menjalani endoskopi, diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan
SMBA. Penyebab perdarahan SMBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises
esofagus, 225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%)
gastritis erosif.(5)

2.5 Faktor Risiko


Faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas Terdapat beberapa faktor
risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis perdarahan SCBA. Faktor risiko
yang telah di ketahui adalah usia, jenis kelamin, penggunaan OAINS, penggunaan
9

obat antiplatelet, merokok, mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus, diabetes mellitus


dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.(6)

1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko
meningkat pada usia >60 tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan
studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terhadap 837
pasien yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA menunjukkan rata-rata
usia pasien laki-laki adalah 52,7 15,82 tahun dan rata-rata usia pasien
wanita adalah 54,46 17,6.26 Usia 70 tahun dianggap sebagai faktor
risiko karena terjadi peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan interaksi
penyakit komorbid yang menyebabkan terjadinya berbagai macam
komplikasi.(4)
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki.
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang
mengalami perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki. Dari penelitian
yang sudah dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi
dan belum ada penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan
perdarahan SCBA dengan jenis kelamin.(4)
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian)
terjadi pada orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross sectional
terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada dosis maksimal dalam
jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah normal, 50% menunjukkan
adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30% menunjukkan adanya ulkus.
Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen,
indomethacin, piroxicam, asam mefenamat, diklofenak.(5)
4. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat
menyebabkan faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis
subterapi 10 mg per hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Aspirin
dapat menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi
10

perdarahan dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti
clopidogrel berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan
komplikasi saluran cerna.(5)
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
terjadinya ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok
menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan
meningkatkan risiko komplikasi.(5)
6. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak
pertahanan mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi
akut mukosa gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.(5)
7. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus.
Pada kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam 15
tetapi oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan
proses penyembuhan.(5)
8. Diabetes mellitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit
komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya
perdarahan. Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme
pasti yang terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh diabetes
mellitus.(5)
9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral
yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi
H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum. Dari hasil penelitiandi New
York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari ulkus gaster disebabkan oleh
infeksi H.pylori.(6)

10. Chronic Kidney Disease


11

Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease


masih belum jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia
terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia,
hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta
heparinisasi pada saat dialysis. (5)
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena
jejas. Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah
melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet. Penelitian yang ada mengatakan
bahwa chronic heart failure dapat meningkatkan faktor risiko perdarahan
SCBA sebanyak 2 kali lipat. (5)

2.6 Patogenesis
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam
proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi
sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel
makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga
mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang
melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH
netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular
ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga
berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut
atau kronik dapat terjadi dengan adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme
protektif tersebut.(6)
Pada orang yang sudah lanjut usia, pembentukan musin berkurang sehingga
rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat antiplatelet
dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh
prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan
meningkatnya perlukaan mukosa gaster.(7)
12

Gambar 2.4 Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas.(7)

Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan


sekresi asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi
pada antrum akan menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk
meningkatkan sekresi lambung. Perlukaan sel secara langsung juga dapat
disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam dan
isi minuman berakohol selain alkohol juga merangsang sekresi asam sehingga
menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna.(6)
Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan kemoterapi
menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan
regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus
merupakan salah satu penyakit komorbid pada perdarahan SCBA dan menjadi
faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien DM terjadi 18 perubahan
mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan prostasiklin yang berfungsi
mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah terjadi perdarahan. Gastritis
kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok memicu kekambuhan,
menghambat proses penyembuhan dan respon terapi sehingga memperparah
komplikasi ulkus kearah perforasi.(8)

2.7 Diagnosis
13

Diagnosis PSMBA dibuat berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


inspeksi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT), pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan endoskopi, radionuclide scanning, radiografi barium kontras.(12)

2.7.1 Presentasi Klinis


Presentasi klinis terbanyak PSMBA adalah hematemesis (muntah darah),
emesis hitam seperti bubuk kopi, dan melena (feses hitam seperti aspal). Sekitar
30% pasien perdarahan ulkus mengalami hematemesis, 20% melena, dan 50%
keduanya. Sekitar 5% pasien mengalami hematokezia (buang air besar berwarna
merah marun), biasanya jika perdarahan lebih dari 1000 mL. Pasien dengan
hematokezia dan tanda hemodinamik tidak stabil perlu dicurigai mengalami
PSMBA. Presentasi klinis non-spesifik adalah nausea, muntah, nyeri epigastrium,
fenomena vasovagal, sinkop, dan tanda komorbid pasien (seperti diabetes melitus,
penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal kronik, dan artritis). Riwayat
konsumsi obat perlu diketahui.(12)

2.7.2 Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah waktu terjadinya
perdarahan, perkiraan darah yang keluar, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat
perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain,
penggunaan obat-obatan terutama anti inflamasi non steroid, penggunaan obat
antiplatelet, kebiasaan minum alkohol, kemungkinan adanya penyakit hati kronik,
diabetes mellitus, demam tifoid, gagal ginjal, hipertensi dan riwayat transfusi
sebelumnya.(12)
Diperlukan sekali pengambilan anamnesis/allo-anamnesis yang teliti
diantaranya:
a. Setiap penderita dengan PSMBA, perlu ditanyakan apakah timbul
mendadak dan banyak, atau sedikit demi sedikit tetapi terus menerus,
atau apakah timbul perdarahan berulang kali, sehingga lama-kelamaan
badan menjadi lemah. Apakah perdarahan dialami pertama kali atau
sudah pernah.
14

b. Sebelum hematemesis apakah didahului dengan rasa nyeri atau pedih di


epigastrium yang berhubungan dengan makanan untuk memikirkan
tukak peptic yang mengalami perdarahan.
c. Adakah penderita makan obat-obatan atau jamu-jamuan yang
menyebabkan rasa nyeri atau pedih di epigastrium kemudian disusul
dengan muntah darah.
d. Penderita dengan hematemesis yang disebabkan pecahnya varises
esofagus,tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium.
Pada umumnya sifat perdarahan timbul secara spontan dan massif.
Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak
membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Kepada
penderita perlu ditanyakan apakah pernah hepatitis, alkoholisme atau
penyakit hati kronis.
e. Sebelum timbul hematemesis, apakah didahului muntah-muntah yang
hebat, misalnya pada peminum alcohol, wanita hamil muda. Hal ini
perlu dipikirkan akan kemungkinannya Sindroma Mallory-Weiss.(12)

2.7.3 Pemeriksaan Fisik


Evaluasi status hemodinamik (denyut nadi dan tekanan darah), laju
respirasi, kesadaran, konjungtiva pucat, waktu pengisian kapiler melambat, dan
stigmata sirosis hepatis, merupakan tanda utama yang harus segera dikenali.
Takikardi saat istirahat dan hipotensi ortostatik menandakan banyaknya darah yang
hilang. Perhatikan adanya keluaran urin yang rendah, bibir kering, dan vena jugular
kolaps. Pemeriksaan fisik harus menilai adanya defans muskuler, nyeri tekan lepas,
skar bekas operasi, dan stigmata penyakit hepar kronik. Pemeriksaan rektum
dilakukan untuk menilai warna feses. Spesimen feses perlu diambil untuk tes darah
samar.(11)
Pemasangan NGT dan inspeksi aspirat dapat digunakan pada penilaian
awal kasus. Aspirat warna merah terang, pasien memerlukan pemeriksaan
endoskopi segera baik untuk evaluasi maupun perawatan intensif. Jika cairan
aspirat berwarna seperti kopi, maka diperlukan rawat inap dan pemeriksaan
endoskopi dalam 24 jam pertama. Meskipun demikian aspirat normal tidak dapat
menyingkirkan PSMBA. Studi melaporkan 15% kasus PSMBA pemeriksaan NGT
15

normal tetapi terdapat lesi dengan risiko tinggi perdarahan (terlihat/ tidak terlihat
pembuluh darah dengan perdarahan) pada endoskopi.(11)

2.7.4 Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penunjang awal ditujukan untuk menilai kadar
hemoglobin, fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia dasar yang berhubungan
dengan status haemodinamik. Pemeriksaan kadar haemoglobin dan hematokrit
dilakukan secara serial (setiap 6-8 jam) agar dapat dilakukan antisipasi transfusi
secara lebih tepat serta untuk memantau lajunya proses perdarahan. ureum darah,
kreatinin, hitung trombosit, prothrombin time (PT), partial thromboplastin time
(PTT), international normalized ratio (INR), tes fungsi hepar, serta tes golongan
darah dan crossmatch. Dan pada penderita, yang diduga menderita sirosis hati
dengan pecahnya varises esofagus terutama dengan perdarahan massif, perlu sekali
diperiksa apakah ada kelainan faal hati.(10)
Selain dari pada itu, perlu dilakukan pemeriksaan biokimia darah, antara lain
terhadap faal hati pada penderita dugaan karena pecahnya varises esofagus, tes faal
ginjal untuk mengetahui ada tidaknya gangguan faal ginjal BUN, kreatinin serum
karena pada pasien PSMBA pemecahan darah oleh kuman usus alkan
mengakibatakan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau
sedikit meingkat. bila perlu gula darah apabila ada riwayat diabetes.(10)
b. Endoskopi diagnostik
Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis, dengan
akurasi diagnosis > 90%. Waktu yang paling tepat untuk pemeriksaan endoskopi
tergantung pada derajat berat dan dugaan sumber perdarahan. Dalam 24 jam
pertama pemeriksaan endoskopi merupakan standar perawatan yang
direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan yang terus berlangsung, gagal
dihentikan dengan terapi suportif membutuhkan pemeriksaan endoskopi dini
(urgent endoscopy) untuk diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi. Tujuan
pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga
untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan
16

ulkus peptikum atas dasar penemuan endoskopi yang bermanfaat untuk


menentukan tindakan selanjutnya.(11)

Tabel 2.2 Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut Forest (11)
Aktivitas Perdarahan Kriteria endoskopi

Forest Ia Perdarahan aktif - Perdarahan arteri menyembur

Forest Ib Perdarahan aktif - Perdarahan merembes

Forest II Perdarahan berhenti dan masih - Gumpalan darah pada dasar tukak atau
terdapat sisa perdarahan terlihat pembuluh darah

Forest III Perdarahan berhenti - Lesi tanpa tanda sisa perdarahan


tanpa sisa perdarahan

Gambar 2.5 Endoscopic Stigmata of Bleeding Peptic Ulcer, Classified as High


Risk or Low Risk

c. Radionuclide Scanning
Labeling sel darah merah pasien dengan menggunakan zat radioaktif yang
kemudian dimasukkan lagi dalam sistem sirkulasi pasien dapat menentukan lokasi
sumber perdarahan walaupun laju perdarahan relative sedikit (0,1 mililiter/menit),
17

tapi kurang spesifik untuk menentukan tempat perdarahan dibandingkan teknik


arteriografi.(11)
d. Arteriografi selektif
Arteriografi selektif melalui aksis seliak, arteri mesenterika superior, arteri
mesenterika inferior dan cabangnya dapat digunakan untuk diagnosis, sekaligus
dapat untuk terapeutik. Pemeriksaan ini membutuhkan laju perdarahan minimal
0,5-1,0 mililiter permenit.
e. Radiografi barium kontras
Teknik pemeriksaan ini kurang direkomendasikan. Selain sulit untuk
menentukan sumber perdarahan, juga adanya zat kontras akan mempersulit
pemeriksaan endoskopi maupun arteriografi.(11)

2.8 Tatalaksana
Tujuan utama pengelolaan PSMBA adalah stabilisasi hemodinamik,
menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan
mortalitas. (10)

2.8.1 Resusitasi/Transfusi
Bila sudah dalam keadaan hemodinamik tidak stabil atau dalam keadaan
renjatan, maka proses resusitasi cairan (cairan kristaloid atau koloid) harus segera
dimulai tanpa menunggu data pendukung lainnya. Pilihan akses, jenis cairan
resusitasi, kebutuhan transfuse darah, tergantung derajat perdarahan dan kondisi
klinis pasien. Cairan kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan pada
perdarahan ringan sampai sedang tanpa gangguan hemodinamik. Cairan koloid
diberikan jika terjadi perdarahan yang berat sebelum transfuse darah bisa diberikan.
Pada keadaan syok dan perlu monitoring ketat pemberian cairan, diperlukan akses
sentral. Target resusitasi adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30
cc/jam), tekanan vena sentral 5-10 cm H2O, kadar Hb tercapai (8-10 gr%). (10)
Kapan tranfusi darah di berikan sifatnya sangat individual, tergantung
jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Indikasi transfuse
darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan seperti ini:
1. Perdarahan dalam keadaan hemodinamik tidak stabil
18

2. Perdarahan baru atau masi berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1


liter atau lebih
3. Perdarahan baru atau masi berlangsung dengan hemoglobin , 10 % g
atau hematokrit < 30 %
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun.

Perlu di pahami dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan


jumlah perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskular 24-27 jam setelah onset perdarahan. Target
penapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang di hadapi,
untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25 % usia lanjut 30 %, sedangkan
pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.(9)
Istirahat sangat dianjurkan, sekurang-kurangnya selama 3 hari setelah
perdarahan yang masif berhenti. Tapi pada umumnya diberikan istirahat mutlak
lebih kurang 2 minggu. Pada saat-saat tersebut perlu diperhatikan hygiene
penderita.(9)
Dianjurkan berpuasa sekurang kurangnya sampai 24 jam setelah perdaran
terhenti. Setelah 24-48 jam perdarahan berhenti, dapat diberikan makanan cair.
Sebelum itu dapat diberikan batu es, selain untuk menjaga mulut jangan kering,
dapat juga menghentikan perdarahan.(9)

2.8.2 Stratifikasi risiko dan penatalaksanaan preendoskopi


Untuk memprediksi risiko perdarahan ulang dan kematian dapat diguanakan
sistem Skoring Rockall.(13)
Tabel 2.3 Skoring Rockall
SKOR
0 1 2 3
Usia (Tahun) <60 60-79 >80 -
Syok Tidak ada HR > 100 bpm SBP < 100 -
(takikardi) mmhg
(hipotensi)
Komorbid Tidak ada Tidak ada Gagal jantung Gagal ginjal
Peny. Hepar
Metastasis
Kanker
19

Diagnosis Robekan M-W Diagnosis lain Keganasan -


Tidak ada lesi saluran cerna
Tidak ada SRH bagian atas

SRH mayor Tidak ada/titik - Darah SMBA, -


hitam bekuan melekat,
visible vessel or
spurting vessel

Sistem skoring lain yang hanya menggunakan variable dari klinik dan
laboratorium tanpa pemeriksaan endoskopi, yaitu Blatchord Scoring System.(13)
Tabel 2.4 Skor Blatchford

Variable Skor
Kadar Urea Darah(mmol/L)
6,5 7,9 2
8-9,9 3
10-24.9 4
25 6
Hemoglobin Laki-laki (g/dl)
12-13 1
10-11,9 3
<10 6
Haemoglobin Perempuan (g/dl)
10-12 1
<10 6
Tekanan Darah Sistolik(mmHg)
100-109 1
90-99 2
<90 3
Tanda-tanda lain
Denyut 100/ menit 1
Melena 1
Sinkop 2
Penyakit Hepar 2
Gagal jantung 2

2.8.3 Terapi obat


Proton Pump inhibitor (PPI) merupakan pilihan utama dalam pengobatan
perdarahan SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam
menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan
berulang. PPI memiliki dua mekanisme kerja yaitu menghambat H+/K+ATPase
dan enzim karbonik anhidrase mukosa lambung manusia. Hambatan pada
H+/K+ATPase menyebabkan sekresi asam lambung dihambat dan pH lambung
meningkat.Hambatan pada pada enzim karbonik anhidrase terjadi perbaikan
20

vaskuler, peningkatan mikrosirkulasi lambung, dan meningkatkan aliran darah


mukosa lambung. PPI yang tersedia di Indonesia antara lain omeprazol,
lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole, dan esomeprazole. (14)
PPI intravena mampu mensupresi asam lebih kuat dan lama tanpa
mempunyai efek samping toleransi. Studi Randomized Controlled Trial (RCT)
menunjukkan PPI efektif jika diberikan dengan dosis tinggi intravena selama 72
jam setelah terapi endoskopi pada perdarahan pada ulkus dengan stigmata
endoskopi risiko tinggi misalnya, lesi tampak pembuluh darah dengan atau tanpa
perdarahan akut. (14)
Dosis rekomendasi omeprazol untuk stigmata resiko tinggi pada
pemeriksaan endoskopi adalah 80 mg bolus diikuti dengan 8 mg/jam infuse selama
72 jam dilanjutkan dengan terapi oral. Pada pasien dengan stigmata endoskopi
risiko rendah PPI oral dosis tinggi direkomendasikan. PPI oral diberikan selama 6-
8 minggu setelah pemberian intravena, atau bisa lebih lama diberikan jika ada
infeksi Helicobacter pylori atau penggunaan regular aspirin, OAINS dan obat
antiplatelet.(14)

2.8.4 Pengobatan khusus


a. Vasopressin
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan PSMBA lewat efek
vasokontriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan
vena porta menurun. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung
vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan
oxcytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5 %, diberikan 0.5-1 mg/menit/iv
selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam atau setelah pemberian pertama
dilanjutkan per infuse 0.1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek
samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu
pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin iv
dengan dosis awal 40mcg/ menit kemudian secara titrasi dinaikkan maksimal
hingga 400mcg/menit dengan mempertahankan tekanan sistolik diatas 90
mmHg.(15)
21

b. Somatostatin
Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan
aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif disbanding vasopressin.
Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar
tahun1978. Somastotatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus
pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan non varises. Dosis
pemberian diawali dengan bolus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai
perdarahan berhenti, oktreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infuse 25
mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.(14)
c. Anti Sekresi Asam
Anti Skeresi Asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan
ulang SMBA karena tukak peptic ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali
bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infuse 8 mg/kgBB/jam selama
72 jam, perdarahan ulang pada kelompok placebo 20% sedangkan yang diberi
omeprazol hanya 4.2%. Suntik omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk
pemberian bolus yang bisa digunakana per infuse ialah persediaan esomeprazol dan
pantoprazol dengan dosis sama dengan omeprazol. Pada PSMBA ini, antasida,
sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan dengan tujuan
penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam
mencegah perdarahan ulang SMBA karena tukak peptic kurang bermanfaat.(14)

2.9 Komplikasi
a. Syok hipovolemia
b. Aspirasi pneumonia
c. Gagal ginjal akut
d. Anemia karena perdarahan
e. Sindrom hepatorenalKoma hepatikum. (12)

2.10 Prognosis
Identifikasi letak pendarahan adalah langkah awal yang paling penting
dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat
secara langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak
perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari
22

pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan
sumber pendarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan
evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan
saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati. (12)
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Paisen


Nama : Ny. TA
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. CM : 1-13-70-05
Alamat : Delima, Pidie Jaya
Tanggal masuk : 20 Juli 2017
Tanggal Pemeriksaan : 20 Juli 2017

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Pucat dan mudah lelah.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan pucat dan mudah lelah sejak 2 bulan SMRS
dan dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu terakhir. Pasien juga
mengeluhkan mual namun tanpa muntah dan penurunan nafsu makan. Awalnya
pasien merasa nyeri pada ulu hati disertai perut kembung dan mulut terasa pahit.
Keluhan tersebut sudah dirasakan sekitar 6 bulan dan semakin memberat dalam 2
minggu terakhir. Pasien mengatakan BAB berwarna hitam seperti aspal, lunak dan
berbau busuk dengan frekuensi 1 kali sehari. Keluhan BAB hitam sudah dirasakan
sejak 3 hari terakhir. Riwayat muntah hitam disangkal, muntah atau BAB berwarna
merah seperti darah segar disangkal. Keluhan pandangan mata kabur dan telinga
berdenging disangkal. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada kedua lutut yang
dirasakan sejak 5 tahun yang lalu. Pasien suka mengkonsumsi jamu tradisional
untuk mengurangi keluhan tersebut. Pasien tidak pernah memeriksa ke dokter atau
mengkonsumsi obat untuk keluhan tersebut. Riwayat mata dan kulit berwarna
kuning disangkal. Riwayat BAB seperti dempul dan BAK berwarna pekat seperti
teh disangkal.

23
24

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


- Nyeri pada kedua lutut sejak 5 tahun yang lalu
- Riwayat hipertensi dan riwayat DM disangkal.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan serupa
- Hipertensi dan DM disangkal
3.2.5 Riwayat Penggunaan Obat
Jamu tradisional untuk menghilangkan nyeri lutut.
3.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien merupakan penderita radang sendi dan suka mengonsumsi jamu-
jamuan. Pola makan tidak teratur (+). Riwayat konsumsi alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dan tampak lemas saat dilakukan anamnesis,
pasien sedang berbaring di tempat tidur. Pasien cukup kooperatif dan komunikatif
dalam menjawab pertanyaan.
3.3.2 Tanda Vital
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmhg
Nadi : 82x/menit, regular, kuat angkat
Laju Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 36,8oC
3.3.3 Status Generalis
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sclera ikterik (-/-),
pupil isokor (3 mm/ 3mm), refleks cahaya langsung (+/+),
refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Tanda radang (-/-), pengeluaran sekret (-/-), fungsi
pendengaran dalam batas normal
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), rinorrhea (-/-), nyeri tekan sinus (-
/-) deformitas septum nasi (-)
25

Mulut : Candidiasis (-), Stomatitis (-), leukoplakia (-), atrofil papil lidah
(-)
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba
pembesaran kelenjar tiroid, tidak terdapat peningkatan JVP
R-2 cmH2O.
Thorax :
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris saat statis dan dinamis, penggunaan alat bantu
napas (-), barrel chest (-), jejas (-) spider nevi (-).
Palpasi Stem fremitus kanan (normal)
Stem fremitus kiri (normal)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+/+), Vesikuler (+/+)
wheezing (-/-) wheezing (-/-)
Ronkhi(-/-) Ronkhi(-/-)

Cor :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea aksilaris anterior kiri
Batas-batas jantung :
Atas : ICS III linea midklavikula kiri
Perkusi
Kanan : ICS IV linea parasternalis kanan
Kiri : ICS V linea aksilaris anterior kiri
Auskultasi BJ I > BJ II, reguler, tidak ada bising atau gallop S3

Abdomen :
Datar, collateral vein (-), darm steifung (-), darm contour
Inspeksi
(-), caput medusa (-)
Palpasi Nyeri (+), soepel (+), organomegali (-)
Perkusi Tympani, asistes (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+) 2-3 kali/menit

Ekstremitas :
1. Ekstremitas Atas
Warna : sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
26

Suhu raba :N/N Kekuatan : 5555/5555


Pucat : (+/+) Palmar Eritem : (-/-)
2. Ekstremitas bawah
Warna : sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (+/+) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5555/5555
Pucat : (+/+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium (28 Juli 2017)

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal


Darah Rutin
Hb 5,9 gr/dl 12-15 gr/dl
Ht 18 % 37-47 %
Leukosit 15.500 /mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 2,2 x 106 /L 4,2-5,4 jt/ L
Trombosit 305.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 83fL 80-100 fL
MCH 27pg 27-31 pg
MCHC 33 % 32-36 %
RDW 16,1 % 11,5-14,5 %
MPV 10,7 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil 0% 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
Netrofil Batang 1% 2-6%
Netrofil segmen 80 % 50-70 %
Limfosit 13 % 20-40 %
Monosit 6% 2-8 %
Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu 101 <200 mg/dL
Elektrolit
Natrium (Na) 141 mmol/L 132-146 mmol/L
Kalium (K) 4,7 mmol/L 3,7-5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 110 mmol/L 98-106 mmol/L
Ginjal-Hipertensi
Ureum 40 mg/dL 13-43 mg/dL
Kreatinin
1,00 mg/dL 0,67-1,17 mg/dL
27

Faal Hemostasis
Waktu perdarahan 2 1-7 menit
Waktu pembekuan 8 5-15 menit
Hepatitis
HbsAg Negatif Negatif
Anti HCV Negatif Negatif

2. Laboratorium (31 Juli 2017)

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal


Darah Rutin
Hb 10,3 gr/dl 12-15 gr/dl
Ht 31 % 37-47 %
Leukosit 9,3 /mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 3,7 x 106 /L 4,2-5,4 jt/ L
Trombosit 294.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 85 fL 80-100 fL
MCH 28 pg 27-31 pg
MCHC 33 % 32-36 %
RDW 15,5 % 11,5-14,5 %
MPV 10,3 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil 1% 0-6 %
Basofil 1% 0-2 %
Netrofil Batang 0% 2-6%
Netrofil segmen 78 % 50-70 %
Limfosit 12 % 20-40 %
Monosit 8% 2-9 %

3. Endoskopi
28

Kesimpulan : - Esofagitis 1/3 distal grade B


- Ulkus antral gaster Forrest 3

3.5 Diagnosis
1. Anemia berat NN ec perdarahan
2. PSMBA ec ulkus antral gaster
3. Esofagitis grade B

3.6 Terapi
a. Terapi awal
Bed rest
Pemasangan NGT dan kateter urin
Diet MB II TKTP
IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
IV. Lansoprazol 40 mg/12jam
Sucralfat sirup 3 x C1
Transfusi PRC hingga Hb >10mg/dL
b. Terapi Eradikasi (Post Endoskopi)
Lansoprazole 2 x 40 mg
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Azitromisin 1 x 500 mg

3.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
29
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan pucat dan mudah lelah. Keluhan ini telah dirasakan
sejak 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan lain ialah BAB hitam seperti
aspal yang disadari sejak 3 hari yang lalu, tanpa adanya muntah darah.
Keluhan pucat dan mudah lelah merupakan gejala umum pasien anemia,
diagnosis dapat didukung oleh pemeriksaan kadar hemoglobin darah pasien. Gejala
umum anemia lainnya ialah mata kunang-kunang dan telinga berdenging. Anemia
dapat timbul salah satunya karena perdarahan dan umumnya terjadi simptomatik
ketika Hb < 7 g/dL, berbeda dengan anemia karena defisiensi besi yang tidak
menunjukkan gejala klinis anemia akibat adanya proses kompensasi.(8,12)
Keluhan BAB hitam atau melena merupakan suatu kondisi yang terjadi jika
terjadi Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas atau pada organ yang terletak
proksimal ligamentum Treitz. Kondisi klinis yang terjadi pada PSMBA beragam,
tergantung pada lama, kecepatan, banyaknya kehilangan darah, dan apakah
perdarahan berlangsung secara terus menerus atau tidak. Umumnya pasien datang
dengan gejala klinis anemia, hematemesis dan melena yang disertai atau tanpa
anemia, serta dengan atau tanpa gangguan hemodinamik.(5,8,12)
Perdarahan saluran makan bagian atas dan bawah dapat diidentifikasi
berdasarkan kondisi klinis. Gejala klinis PSMBA berdasarkan PAPDI diantaranya
Hematemesis dan melena, aspirasi nasogastrik mengandung darah, rasio
BUN/Kreatinin > 35, auskultasi usus hiperaktif. Sementara gejala klinis PSMBB
meliputi hematoskezia, aspirasi nasogastrik yang jernih, rasio BUN/kreatinin <35,
dan auskultasi usus yang normal. Pada pasien ini gejala yang timbul hanya melena
yang berdasarkan epidemiologi merupakan 20% keluhan yang terjadi pada
PSMBA, sementara hematemesis dan melena terjadi sebanyak 50%.(8,12)
Keluhan tambahan diantaranya mual namun tidak muntah, nafsu makan
berkurang karena mual, nyeri di epigastrium. Pasien degan riwayat nyeri lutut dan
sering mengkonsumsi jamu-jamuan yang diakui pasien mengurangi nyeri lututnya.
Kondisi ini merupakan gejala klinis dyspepsia yang mengarahkan pada kondisi
gastritis erosif atau tukak peptik sebagai kondisi yang awalnya mendasari. Pasien
juga dengan riwayat penggunaan obat atau jamu penghilang rasa nyeri yang secara

29
31

patofisiologi bersifat defensif terhadap mukosa lambung sehingga penggunaan anti


nyeri terutama OAINS merupakan predisposisi terjadinya keluhan ini. OAINS
merupakan faktor defensif yang dapat memicu histamin dan kemudian memicu
sekresi asam lambung yang lebih banyak lagi. Kondisi seperti ini yang terjadi terus
menerus akan berujung pada kondisi klinis berupa erosi hingga ulkus pada lapisan
mukosa lambung. Obat-obatan, alkohol, dan bakteri merupakan faktor perusak
eksogen yang secara patofisiologi telah merusak sistem pertahanan pre epitel yang
mengandung mukus-bikarbonat dan bertugas sebagai pertahanan fisiko-kimia,
pertahanan epitel yang bertugas sebagai resistensi seluler dan pembaharuan sel
epitel yang rusak, serta pertahanan subepitel yang merupakan lapisan yang terdapat
mikrovaskular yang dapat menyerukan pertahanan humoral dan faktor
inflamasi.(11,12)
Status hemodinamik pasien ketika masuk IGD dalam keadaan stabil dengan
tekanan darah 130/70 mmHg, Nadi 82 x/menit, Laju pernapasan 20 x/menit, dan
suhu 36 C. Status hemodinamik merupakan salah satu penilaian awal setelah
anamnesis yang menjurus terhadap PSMBA. Kondisi perdarahan akut dengan
kehilangan darah sebanyak 20% volume intravaskular akan menyebabkan hipotensi
dan takikardi, akral dingin, kesadaran menurun, anuria atau oliguria. Kondisi
seperti ini merupakan fase akut yang paling awal harus ditangani.(12)
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva pucat, tanpa sklera ikterik.
Pemeriksaan thoraks dan jantung dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen
ditemukan peningkatan motilitas usus. Ekstremitas atas dan bawah tampak pucat.
Konjungtiva pucat menunjukkan kondisi anemia, sklera yang tidak ikterik
menyingkirkan kemungkinan anemia hemolitik. Peningkatan aktivitas usus
merupakan salah satu gejala yang membantu mengidentifikasi kondisi PSMBA,
dibandingkan PSMBB yang aktifitas usus dalam batas normal. Penting memeriksa
klinis yang berkaitan dengan gangguan hati seperti sirosis yang dapat menyebabkan
PSMBA melalui rupturnya varises akibat hipertensi portal. Pada pemeriksaan fisik
tidak ditemukan eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral atau varises esofagus,
asites dengan atau tanpa edema, splenomegali. (10,13)
Pada pasien dengan perdarahan perlu dilakukan pemeriksan laboratorium.
Pemeriksaan yang disarankan adalah hemoglobin, hematokrit, ureum darah,
32

kreatinin, hitung trombosit, prothrombintime (PT), partial thromboplastin time (PTT),


international normalized ratio (INR), tes fungsi hepar, serta tes golongan darah dan
crossmatch.(12) Pada pasien ini didapatkan hasil berupa anemia berat normositik
normokrom, dan leukositosis. Pada pasien ini didapatkan Hb 5.9 g/dL yang
termasuk dalam kategori anemia berat dan membutuhkan transfusi darah sebesar
615 cc PRC. Faal hemostasis pada pasien ini dalam batas normal dan pemeriksaan
hepatitis B dan hepatitis C menunjukkan hasil negatif.
European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) merekomendasikan
dilakukan penilaian status hemodinamik pada pasien dengan perdarahan akut
saluran cerna bagian atas disertai pergantian cepat volume intravaskular
menggunakan cairan kristaloid apabila terdapat ketidakstabilan hemodinamik.
ESGE juga menyarankan transfusi sel darah merah dengan target Hb antara 7 g/dL
hingga 9 g/dL/ Target yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
komorbid yang signifikan seperti penyakit iskemik kardiovaskular.(11)
Endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan SMBA, bukan
hanya menentukan diagnosis dan perdarahan, tetapi juga untuk tindakan
hemostasis. Stigmata penting diketahui karena dapat menentukan risiko perdarahan
ulang. Klasifikasi stigmata Forrest sering dipakai di Asia dan Eropa.(10)
The international consensus and Asia Pacific Guidelines merekomendasikan
dilakukan endoskopi pada 24 jam setelah pasien dirawat, dimana hal ini secara
signifikan mengurangi lama hari rawatan. Endoskopi yang dilakukan < 12 jam
setelah rawatan tidak memperlihatkan keuntungan dalam mengurangi risiko
perdarahan berulang, operasi, dan mortalitas. Namun, endoskopi emergency harus
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan masif. Endoskopi dalam 12 jam
awal dapat memberikan prognosis yang lebih baik pada pasien dengan manifestasi
klinis seperti takikardi, hipotensi, hematemesis, atau darah merah segar pada
NGT.(9)
Dari pemeriksaan endoskopi ditemukan esofagitis dengan mucosal break > 5
mm pada 1/3 distal esofagus, ulkus pada antrum gaster dan tidak dijumpai
perdarahan. Berdasarkan The Los Angles Classification maka esofagitis pada pasien
ini termasuk grade B. Berdasarkan klasifikasi Forrest untuk ulkus, pasien ini
termasuk dalam Forrest 3 dimana terdapat lesi tanpa sisa perdarahan.(11,13)
33

Tujuan terapi pada pasien dengan ulkus peptikum adalah menghilangkan


keluhan, memperbaiki kondisi ulkus, mencegah kekambuhan dan komplikasi. Pada
pasien PSMBA akibat ulkus peptikum yang telah dilakukan endoskopi perlu
diberikan farmakoterapi. Pada pasien dengan perdarahan ulkus peptikum
direkomendasikan test H.Pylori. Jika hasil positif maka diberikan terapi tripel
selama 1 minggu. Setelah pemberian terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi
harus dilakukan menggunakan urea breath test (UBT) atau H.Pylori stool antigen test.
Pemeriksaan dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir terapi.(11,12)
Pada pasien ini terapi farmakologi yang disarankan berupa lansoprazol,
amoksisilin, azitromisin dan sirup sucralfat. Pemberian PPI intravena dosis tinggi
selama 72 jam direkomendasikan pada pasien risiko tinggi. Pasien dengan ulkus
dasar bersih dapat diberi terapi PPI dosis standar (oral satu kali per hari). Pasien
perdarahan ulkus peptikum yang dipulangkan direkomendasikan mendapat PPI oral
sekali sehari. Durasi dan dosis PPI tergantung etiologi dan penggunaan obat lain.
Pemberian PPI dapat dihentikan setelah eradikasi H. pylori dinyatakan berhasil,
kecuali jika pasien memakai OAINS. Bila OAINS tetap diperlukan, sebaiknya dari
golongan COX-2-selective dengan dosis efektif terendah ditambah PPI.(7,10,12)
34

Alur tatalaksana PSMBA terkait ulkus peptikum


BAB V
KESIMPULAN

Pasien datang dengan pucat dan mudah lelah. Keluhan ini telah dirasakan
sejak 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan lain ialah BAB hitam seperti
aspal yang disadari sejak 3 hari yang lalu, tanpa adanya muntah darah. Keluhan
pucat dan mudah lelah merupakan gejala umum pasien anemia, diagnosis dapat
didukung oleh pemeriksaan kadar hemoglobin darah pasien. Keluhan BAB hitam
atau melena merupakan suatu kondisi yang terjadi jika terjadi Perdarahan Saluran
Makan Bagian Atas atau pada organ yang terletak proksimal ligamentum Treitz.
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian) terjadi pada
orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross sectional terhadap individu yang
mengkonsumsi OAINS pada dosis maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil
endoskopi adalah normal, 50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30%
menunjukkan adanya ulkus.
Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis, dengan
akurasi diagnosis > 90%. Dalam 24 jam pertama pemeriksaan endoskopi
merupakan standar perawatan yang direkomendasikan.
Stabilisasi hemodinamik, menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan
ulang dan menurunkan mortalitas merupakan tujuan dri pengobatan PSMBA. PPI
(Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan perdarahan
SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam
menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan
berulang.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson, paul D.2008. Anatomi dan Fisiologi Tubuh manusia.


Jakarta:EGC
2. Guyton, A.C., dan Hall, J. E.2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta:EGC
3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC, 2003.
4. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP.
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: 2007
5. Lindseth, Glenda N. Gangguan Lambung dan Duodenum.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I.
Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 417-419, 423,
428.
6. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Gastritis. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007.
Hal: 142, 146.
7. Tarigan, Pengarapen. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 341.
8. Sabatine, Marc S. Gastrointestinal Bleeding. Pocket Medicine: The
Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth
Edition. Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 3.
9. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on
management of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in
Indonesia. Acta Medica Indonesiana. 2014;46(2):163-71
10. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J
Gastroenterol. 2012;107:345- 60
11. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M,
et al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal
hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE)
Guideline. Endoscopy. 2015;47(10):1-46. doi: 10.1055/s-0034-1393172.
12. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of
upper gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician 2012;85(5):469-76
13. Stanley AJ. Update on risk scoring systems for patients with upper
gastrointestinal haemorrhage. World J Gastroenterol. 2012;18(22):2739-44

34
37

14. Leontiadis GI, Sharma VK, Howden CW. Systematic review and meta-
analysis of proton pump inhibitor therapy in peptic ulcer bleeding. BMJ.
2005;330(7431):568. doi:10.1136/bmj.38356.641134.8F
15. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia danKelompokStudi Helicobacter
pylori Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan
Infeksi Helicobacter pylori [Internet]. 2014 [cited 2017 January 6].
Available from: http://pbgi.esy.es/wp-content/uploads/2015/09/Konsensus-
Dispepsia-dan-Helibacter-Pylori-2014.pdf

Anda mungkin juga menyukai