Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

HEMATEMESIS MELENA

Penyusun:
Muhammad Refan Mahardhitya 030.14.130

PEMBIMBING:
dr. Afifah, Sp.PD.

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT BUDHI ASIH
PERIODE 4 JUNI – 25 AGUSTUS 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari:


Nama : Muhammad Refan Mahardhitya
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Trisakti
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Judul : Hematemesis Melena
Ditujukan untuk memenuhi nilai referat kepanitraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Budhi Asih.

Jakarta, 2018
Mengetahui

Dr. Afifah, Sp.PD

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Hematemesis Melena” dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Budhi Asih
periode 4 Juni – 25 Agustus 2018. Di samping itu, referat ini ditujukan untuk
menambah pengetahuan bagi kita semua tentang Hematemesis Melena.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada dr. Afifah, Sp.PD
yang telah membimbing penulis selama di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Budhi Asih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan –
rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Budhi Asih
serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Pencernaan ................................................... 2
2.2 Hematemesis Melena ............................................................... 6
2.2.1 Definisi ........................................................................ 6
2.2.2 Epidemiologi ................................................................ 7
2.2.3 Etiologi ........................................................................ 7
2.2.4 Patofisiologi ................................................................ 11
2.2.5 Manifestasi Klinik......................................................... 14
2.2.6 Penegakan Diagnosis..................................................... 16
2.2.7 Diagnosis Banding........................................................ 20
2.2.8 Tatalaksana ................................................................... 20
2.2.9 Memulangkan Pasien ................................................... 25
2.3 Komplikasi.................................................................... 25
2.4 Prognosis ..................................................................... 25
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


29

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar
pasien datang dalam keadaan stabil dan sebagian lainnya datang dalam keadaan
gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat. Kebanyakan kasus
hematemesis adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8-14%
kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka
kematian adalah kegagalan untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang
gawat dan kesalahan diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan.
Ari F. Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM Jakarta menyebutkan
kebanyakan penderita perdarahan saluran cerna atas disebabkan oleh varises
esophagus (33,5%). Tingginya angka penderita varises esophagus dikarenakan
adanya hubungan antara varises esophagus dengan penyakit hepatitis B dan C di
Indonesia.
Angka kematian di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah yang cukup
tinggi, terutama di Indonesia yang wajib menjadi perhatian khusus. Berdasarkan hasil
penelitian di Jakarta didapati bahwa jumlah kematian akibat perdarahan saluran cerna
atas berkisar 26 %.
Insiden perdarahan saluran cerna atas dua kali lebih sering pada pria daripada
wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi jumlah angka kematian tetap sama pada
kedua jenis kelamin. Angka kematian meningkat pada usia yang lebih tua (>60 tahun)
pada pria dan wanita. Usaha untuk mencari faktor resiko pecahnya varises amat
penting agar dapat melakukan upaya pencegahan perdarahan dan pengobatan
maksimal. Dan mengingat bahwa angka kematian yang tinggi oleh karena pecahnya
varises ini maka diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan mengenai
patofisologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian
atas pada varises esofagus.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Cerna Atas

2
1. Mulut 
Mulut adalah suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada
hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari
sistem pencernaan lengkapyang berakhir di anus.
2. Faring
Ada 3 pembagian faring, yaitu :
 nasofaring
 orofaring
 faringofaring
3. Esophagus
Esofagus (dari bahasa Yunani: oeso - "membawa", dan phagus -"memakan")
atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yangdilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
esofagus dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring
yang menghubungkan esofagus dengan rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang.
Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian
besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta
bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
4. Lambung
Lambung atau ventrikulus berupa suatukantong yang terletak di bawah sekat
rongga badan.Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitudaerah kardia, fundus
dan pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari
kerongkongan. Fundus adalah bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah
bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan duodenum. Dinding lambung
tersusun dari tiga lapisan otot, yakni oblique, sirkuler dan longitudinal. Kontraksi dan
ketiga macam lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik.

3
5. Usus Halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak
di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot
melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa
(sebelah luar). Dimana ia berakhir di usus besar. Villi usus halus terdiri dari pipa
berotot (> 6 cm), pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Usus halus dibagi
menjadi 3 bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum.
 Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang
terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke jejenum. Bagian
duodenum merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari
bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.

 Jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus


halus, diantara duodenum dan ileum. Pada manusia dewasa, panjang
seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian jejunum.
Jejunum dan ileum digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam ileum berupa membran mukus dan terdapat jonjot
usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis
dapat dibedakan dengan duodenum, yakni berkurangnya kelenjar
Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan ileum, yaitu
sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan
jejunum dan ileus secara makroskopis.

4
 ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan
manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum
memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.

6. Usus besar

Kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon
asendens, kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid (berhubungan dengan
rectum).

7. Organ Assesoris
 Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut
sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga
termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi
ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan
menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen
dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses
detoksifikasi. Sebagai kelenjar, hati menghasilkan empedu yang mencapai ½ liter
setiaphari. Empedu berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua.
Empedu merupakan cairan kehijauan dan terasa pahit. Zat ini disimpan di dalam
kantong empedu. Fungsi lain dari hati adalah mengubah zat buangan dan bahan
racun untuk dikeluarkan dalam empedu dan urin, serta mengubah glukosa yang
diambil dari darah menjadi glikogen yang disimpan di sel-sel hati.
 Kantung empedu (gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat
menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Pada manusia, panjang kantung empedu adalahsekitar 7-10 cm dan
berwarna hijau gelap - bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna

5
cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan
duodenum melalui saluran empedu.
 Pankreas adalah organ pada sistempencernaan yang memiliki dua fungsiutama:
menghasilkan enzim pencernaanserta beberapa hormon penting sepertiinsulin.
Pankreas terletak pada bagianposterior perut dan berhubungan erat dengan
duodenum.

2.2 Hematemesis Melena

2.2.1 Definisi

Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam yang berasal dari saluran
cerna bagian atas. Jika muntah darah terjadi tidak lama setelah onset perdarahan,
muntahan akan berwarna merah, jika terjadi lebih lambat, darah yang keluar akan
berwarna merah kehitaman, kecoklatan atau hitam. Hematemesis menandakan
perdarahan saluran cerna bagian atas (di atas ligamentum Treitz).

Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti aspal. Perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifes dalam
bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena biasanya
berasal dari perdarahan SCBA, walaupun usus halus dan bagian proksimal kolon
dapat bermanifes dalam bentuk melena, menandakan darah telah berada dalam
saluran cerna selama minimal 14 jam. Hematochezia biasanya menandakan
perdarahan saluran cerna bagian bawah, meskipun dapat ditemui pula pada lesi
SCBA yang berdarah masif dimana transit time dalam usus yang pendek.

6
2.2.2 Epidemiologi

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang terbanyak dijumpai di


Indonesia adalah pecahnya varises esophagus, gastritis erosive, tukak peptik,
gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan. Perbedaan diantara
laporan – laporan penyebab perdarahan SCBA terletak pada urutan penyebab
tersebut.

2.2.3 Etiologi

1. Kelainan di esophagus

a. Pecahnya varises esophagus

Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif, kehilangan darah
gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahan varises esofagus atau lambung
biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat sirosis
hepatis. Meskipun sirosis alkoholik merupakan penyebab varises esofagus yang
paling prevalen di Amerika Serikat, setiap keadaan yang menimbulkan hipertensi
portal dapat mengakibatkan perdarahan varises. Lebih lanjut, kendati adanya varises
berarti adanya hipertensi portal yang sudah berlangsung lama, penyakit hepatitis akut
atau infiltrasi lemak yang hebat pada hepar kadang-kadang menimbulkan varises
yang akan menghilang begitu abnormalitas hepar disembuhkan. Meskipun perdarahan
SMBA pada pasien sirosis umumnya berasal dari varises sebagai sumber perdarahan,
kurang lebih separuh dari pasien ini dapat mengalami perdarahan yang berasal dari
ulkus peptikum atau gastropati hipertensi portal. Keadaan yang disebut terakhir ini
terjadi akibat penggembungan vena-vena mukosa lambung. Sebagai konsekuensinya,
sangat penting menentukan penyebab perdarahan agar penanganan yang tepat dapat
dikerjakan.

7
Angka kejadian pecahnya varises esophagus yang menyebabkan perdarahan
cukup tinggi yaitu 54,8%. Sifat perdarahan hematemesisnya mendadak dan masif,
tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna kehitaman dan tidak akan
membeku karena sudah tercampur asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul
dengan melena.

b. Karsinoma esophagus

Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan melena daripada


hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis. Hanya
sesekali penderita muntah darah tidak masif. Pada panendoskopi jelas terlihat
gambaran karsinoma yang hampir menutup esophagus dan mudah berdarah terletak
di sepertiga bawah esophagus.

c. Sindrom Mallory-Weiss

Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitus tanpa darah).
Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa dan submukosa daerah kardia atau
esophagus bawah sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi aktif disertai ulserasi,
maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat terlalu sering muntah sehingga
tekanan intraabdominal naik menyebabkan pecahnya arteri di submukosa esophagus/
kardia. Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah pasien berulangkali
muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di epigastrium. Misalnya pada hiperemesis
gravidarum.

d. Esofagogastritis korosiva

Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang muntah darah setelah tidak
sengaja meminum air keras untuk patri. Air keras tersebut mengandung asam sitrat
dan asam HCl yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esophagus dan lambung.

8
Penderita juga mengeluh nyeri dan panas seperti terbakar di mulut, dada dan
epigastrium.

e. Esofagitis dan tukak esophagus

Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat intermiten atau


kronis, biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada hemetemesis.
Tukak esophagus jarang menimbulkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak
lambung dan duodenum.

2. Kelainan di lambung

a. Gastritis erosiva hemoragika

Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi mukosa


lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Misalnya
obat-obat golongan salisilat seperti Aspirin, Ibuprofen, obat bintang tujuh dan
lainnya. Obat-obatan lain yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu :
golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain. Golongan
obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas.

Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua penyebab perdarahan


saluran cerna atas. Pada endokopi tampak erosi di angulus, antrum yang multipel,
sebagian tampak bekas perdarahan atau masih terlihat perdarahan aktif di tempat
erosi. Di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak terlihat varises di esophagus dan
fundus lambung. Sifat hematemesis tidak masif dan timbul setelah berulang kali
minum obat-obatan tersebut, disertai nyeri dan pedih di ulu hati.

9
b. Tukak lambung

Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama di angulus dan


prepilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak lambung akut biasanya
bersifat dangkal dan multipel yang dapat digolongkan sebagai erosi.

Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien mengeluh nyeri dan pedih
di ulu hati selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sesaat sebelum hematemesis
rasa nyeri dan pedih dirasakan bertambah hebat, namun setelah muntah darah rasa
nyeri dan pedih tersebut berkurang. Sifat hematemesis tidak begitu masif, lalu disusul
melena.

c. Karsinoma lambung

Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase lanjut dengan keluhan
rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang mengalami
hematemesis, tetapi sering melena.

3. Kelainan di duodenum

a. Tukak duodeni

Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan panendoskopi terletak di bulbus.


Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan melena, sedangkan sebagian kecil
mengeluh melena saja. Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan pedih di
perut atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam saat
sedang tidur pulas sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri dan pedih,
pasien biasanya mengkonsumsi roti atau susu.

10
b. Karsinoma papilla Vateri

Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di ampula


menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran pancreas yang umumnya
sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul selain kolestatik ekstrahepatal, juga dapat
menimbulkan perdarahan tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul
hematemesis. Selain itu pasien juga mengeluh badan lemah, mual dan muntah.

2.2.4 Patofisiologi

Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut :


1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau adanya anemia
defisiensi Fe+)
2. Perdarahan masif dengan renjatan
Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat dikembalikan pada
faktor-faktor penyebab perdarahan, yaitu (1):
1. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik, pecahnya
varises esophagus
2. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic Thrombocytopenia
Purpura (ITP)
3. Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti pada hemophilia,
sirosis hati, dan lain-lain
Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di atas : vasculopathy (pecahnya
varises esophagus); trombopathy (pengurangan trombosit di tekanan perifer akibat
hipersplenisme); coagulopathy (kegagalan sel-sel hati)(1).
Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori(1) :
1. Teori erosi : pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan kasar
(berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID

11
2. Teori erupsi : karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatan tekanan
intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat barang berat, dan
lain-lain
 Patofisiologi varises esofagus
Salah satu tempat potensial untuk komunikasi antara sirkulasi splanknik
intraabdomen dan sirkulasi vena sistemik adalah melalui esofagus. Apabila aliran
darah vena porta ke hati terhambat oleh sirosis atau penyebab lain, hipertensi porta
yang terjadi memicu terbentuknya saluran pintas kolateral di tempat bertemunya
sistem porta dan sistemik. Oleh karena itu, aliran darah porta dialihkan melalui vena
koroner lambung ke dalam pleksus vena subepitel dan submukosa esofagus ,
kemudian kedalam vena azigos dan vena kava superior. Peningkatan tekanan di
pleksus esofagus menyebabkan pembuluh melebar dan berkelok kelok yang dikenal
sebagai varises. Pasien dengan sirosis mengalamai varises dengan laju 5%-15% per
tahun, sehingga varises terdapat pada sekitar dua pertiga dari semua pasien sirosis.
Varises paling sering berkaitan dengan sirosis alkoholik.

Ruptur varises menimbulkan pendarahan masif ke dalam lumen, serta


merembesnya darah ke dalam dinding esofagus. Varises tidak menimbulkan gejala
sampai mengalami ruptur. Pada pasien dengan sirosis hati tahap lanjut separuh
kematian disebabkan oleh ruptur varises, baik sebagai konsekuensi langsung
perdarahan atau karena koma hepatikum yang dipicu oleh perdarahan. Meskipun
terbentuk, varises merupakan penyebab pada kurang dari separuh episode
hematemesis. Sisanya sebagian besar disebabkan oleh pendarahan akibat gastritis,
ulkus peptik, atau laserasi esofagus.

Faktor yang memicu ruptur varises belum jelas: erosi mukosa di atasnya yang
sudah menipis, meningkatnya tekanan pada vena yang secara progresif mengalami
dilatasi, dan muntah disertai peningkatan tekanan intraabdomen mungkin berperan.
Separuh pasien juga ditemukan mengidap karsinoma haepato selular, yang

12
mengisyaratkan bahwa penurunan progresif cadangan fungsional hati akibat
pertumbuhan tumor meningkatkan kemungkinan ruptur varises. Setelah terjadi,
perdarahan varises mereda secara spontan hanya pada 50% kasus.

 Patofosiologi tukak peptik dan gastritis

Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila terdapat


ketidakseimbangan faktor ofensif (penyerang) dan faktor defensive (pertahanan) pada
mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan
kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin,
asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pyllori yang bersifat gram-
negatif, OAINS (obat anti inflamasi non steroid), alkohol, dan radikal bebas.
Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari
3 lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial.

Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan


mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai
bahan kimia termasuk ion hidrogen. Mukus tersusun dari lipid, glikoprotein, dan air
sebanyak 95%. Fungsi mukus ini menghalangi difusi ion dan molekul, misalnya
pepsin. Bikarbonat yang disekresi sel epitel permukaan membentuk gradasi pH di
lapisan mukus. Stimulasi sekresi bikarbonat oleh kalsium, prostaglandin, asam, dan
rangsang cholinergik. Prostaglandin adalah metabolit asam arakhidonat dan
menduduki peran sentral dalam pertahanan epitelial yaitu mengatur sekresi mukus
dan  bikarbonat, menghambat sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulasi mukosa,
dan restitusi sel. Lapis pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas
pertahanannya meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk
mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel. Bila pertahanan  preepitelial bisa
dilewati akan segera terjadi restitusi, sel sekeliling mukosa yang rusak terjadi migrasi
dan mengganti sel-sel epitel yang rusak. Proses ini tidak tergantung pada pembelahan
sel, membutuhkan sirkulasi darah yang utuh, dan pH sekitar yang alkali. Pada

13
umumnya sel epitel yang rusak akan sembuh dan mengalami regenerasi selama 3
sampai 5 hari Bila kerusakan mukosa luas dan tidak teratasi dengan proses restitusi
akan diatasi dengan  proliferasi sel epitel. Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran
darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi
subepitelial yang adekuat. Sirkulasi darah ke epitel sangat diperlukan untuk
mempertahankan keutuhan dan kelangsungan hidup sel epitel dengan memasok
oksigen, mikronutrien, dan membuang produk metabolisme yang toksik sehingga sel
epitel dapat  berfungsi dengan baik untuk melindungi mukosa lambung.

2.2.5 Manifestasi Klinik

Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada :

1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus


2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan
4. Keadaan penderita sebelum perdarahan
Gejala yang ada yaitu :
a. Muntah darah (hematemesis)  
b. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
c. Denyut nadi yang cepat, TD rendah
e. Akral teraba dingin dan basah
f. Nyeri perut
g. Nafsu makan menurun
h. Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing.

Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari asam


hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan darah. Jika vomitus terjadi

14
segera setelah perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah dan baru beberapa
waktu kemudian penampakannya menjadi merah gelap, coklat atau hitam. Bekuan
darah yang mengendap pada muntahan akan tampak seperti ampas kopi yang khas.
Hematemesis biasanya menunjukkan perdarahan di sebelah proksimal ligamentum
Treitz karena darah yang memasuki traktus gastrointestinal di bawah duodenum
jarang masuk ke dalam lambung.
Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan hematemesis biasanya
mengakibatkan melena, kurang dari separuh pasien melena menderita hematemesis.
Melena biasanya menggambarkan perdarahan esophagus, lambung atau duodenum.
Namun lesi di jejunum, ileum bahkan kolon ascendens dapat menyebabkan melena
jika waktu perjalanan melalui traktus gastrointestinal cukup panjang. Diperkirakan
darah dari duodenum dan jejunum akan tertahan di saluran cerna selama ± 6–8 jam
untuk merubah warna feses menjadi hitam. Feses tetap berwarna hitam seperti ter
selama 48–72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses
warna hitam tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah sebanyak
±60 mL cukup untuk menimbulkan satu kali buang air besar dengan tinja warna
hitam. Kehilangan darah akut yang lebih besar dari jumlah tersebut dapat
menimbulkan melena lebih dari tujuh hari. Setelah warna tinja kembali normal, hasil
tes untuk adanya perdarahan tersamar dapat tetap positif selama 7–10 hari setelah
episode perdarahan tunggal.
Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl sehingga
terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket) dan menimbulkan bau
khas. Konsistensi ini berbeda dengan tinja yang berwarna hitam/ gelap yang muncul
setelah orang mengkonsumsi zat besi, bismuth atau licorice. Perdarahan
gastrointestinal sekalipun hanya terdeteksi dengan tes occult bleeding yang positif,
menunjukkan penyakit serius yang harus segera diobservasi.
Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik kecuali
perdarahan pada manula atau pasien anemia dengan jumlah kehilangan darah yang

15
sedikit sudah menimbulkan perubahan hemodinamika. Perdarahan yang banyak dan
cepat mengakibatkan penurunan venous return ke jantung, penurunan curah jantung
(cardiac output) dan peningkatan tahanan perifer akibat refleks vasokonstriksi.
Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt test) menandakan perdarahan minimal 20% dari
volume total darah. Gejala yang sering menyertai : sinkop, kepala terasa ringan, mual,
perspirasi (berkeringat), dan haus. Jika darah keluar ±40 % terjadi renjatan (syok)
disertai takikardi dan hipotensi. Gejala pucat menonjol dan kulit penderita teraba
dingin.
Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas singkat dan
berulang disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi “normal”, dipertimbangkan lesi
Dieulafoy (adanya arteri submukosa dekat cardia yang menyebabkan perdarahan
saluran cerna intermiten yang banyak).

2.2.6 Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan frekuensi


perdarahan

b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam


keluarga

c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain

d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom


Mallory-Weiss)

16
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang
menyebabkan nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan
dengan makanan)

f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)

g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal ginjal


kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat

h. Riwayat tranfusi sebelumnya

2. Pemeriksaan fisik

Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus pada status
hemodinamik, pemeriksaannya meliputi :

a. Tekanan darah dan nadi posisi baring

b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi

c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)

d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran

e. Produksi urin

Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume intravaskuler) mengakibatkan
kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda :

a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi >
100 x/menit

b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20 mmHg.

17
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit

d. Akral dingin

e. Kesadaran turun

f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)

Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal berikut :

a. Hematemesis

b. Hematokezia

c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera jernih

d. Hipotensi persisten

e. Tranfusi darah > 800 – 1000 ml dalam 24 jam

Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi


jumlah perdarahan, dengan criteria :

Perdarahan (%) Keadaan hemodinamik

<8 Hemodinamik stabil

8 – 15 Hipotensi ortostatik

15 – 25 Renjatan (syok)

25 – 40 Renjatan + penurunan kesadaran

>40 Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah :

18
a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali,
eritema palmaris, edema tungkai)

b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik

c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas


dengan interpretasi :

1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif

2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)

d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain

e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan
saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi

b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan


primer atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT

c. Elektrolit : Na, K, Cl

d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT

e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru kronis

19
f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai
pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi
prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan

2.2.7 Diagnosis Banding

1. Hemoptoe

2. Hematokezia

Beda Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Scba) Dengan Bawah (Scbb)

2.2.8 Tatalaksana

1. Tatalaksana Umum

Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation (ABC).


Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera dirawat untuk
terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.

Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti :

20
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no
18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP

b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT

c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine

d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid

e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi :

a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%

b. Pemberian vitamin K 3x1 amp

c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)

d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid

2. Tatalaksana Khusus

a. Varises gastroesofageal

1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif

a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek


vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah
dan tekanan vena porta menurun. Pemberian dengan mengencerkan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,5–1
mg/menit/iv selama 20–60 menit dan dapat diulang tiap 3–6 jam; atau
setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1–0,5 U/menit

21
b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif
daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises. Dosis
pemberian awal dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam
selama 12–24 jam atau sampai perdarahan berhenti.

2) Terapi endoskopi

a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1–2 cm.
Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau ditemukan tanda baru
saja mengalami perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda
hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari, mengurangi
frekuensi ulserasi dan striktur.

b)Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena perdarahan


masif, terus berlangsung atau teknik tidak memungkinkan. Yang
digunakan campuran yang sama banyak antara polidokanol 3%, NaCl
0,9% dan alcohol absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi.
Penyuntikan dari bagian paling distal mendekati cardia, lanjut ke
proksimal bergerak spiral sejauh 5cm.

3) Terapi radiologi : pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic


shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi spleno-porta.

4) Terapi pembedahan

a) Shunting

b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi

c) Devaskularisasi + splenektomi

22
b. Tukak peptic

1) Terapi medikamentosa

a) PPI (proton pump inhibitor)(9) : obat anti sekresi asam untuk


mencegah perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80
mg/iv lalu per infuse 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam Antasida,
sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk
tujuan penyembuhan lesi mukosa perdarahan.

b) Obat vasoaktif

2) Terapi endoskopi

a) Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan


adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan batas 10
ml atau alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml

b) Termal : koagulasi, heatprobe, laser

c) Mekanik : hemoklip, stapler

3) Terapi bedah

c. Gastritis erosiva Tujuan terapi adalah :

1. Menghilangkan keluhan/symptom

2. Menyembuhkan/memperbaiki kerusakan lambung

3. Mencegah kekambuhan

4. Mencegah Komplikasiritis erosiva

23
Medikamentosa :

a) Penyebab OAINS

1. Jika mungkin menghentikan pemakaian OAINS, walaupun biasanya


tidak memungkinkan pada penyakit seperti RA ataupun OA.
2.Penggunaan preparat OAINS (prodrug, OAINS terikat pada bahan lain
seperti Nitrit Oxide

3.Pemberian obat spesifik COX-2 inhibitor walaupun hal ini tidak 100%
mencegah efek samping pada gastroduodenal

b. Penyebab non-OAINS 1.

1. Antasida : untuk menetralisir asam cukup diberikan 120-240 mEq/hari


dalam dosis terbagi

2. H2 Receptor Antagonist (H2RA) Obat ini berperan menghambat


pengaruh histamine sebagai mediator untuk sekresi asam melalui reseptor
histamine-2 pada sel parietal. Beberapa jenis preparat yang dapat
digunakan adalah: Ranitidin 2 x 150 mg/hari Famotidin 2 x 20 mg/hari

3.PPI Dapat diberikan sekali sehari atau dua kali sehari. Adapun sediaan
yang tersedia adalah: Omeprazole 20 mg, rabeprazol 10 mg, pantoprazol
40mg, lanzoprazol 30mg.

4.Obat lain seperti sucralfat 2 x 2 gr/hari atau 4 x 1 gr sehari berfungsi


untuk menghindari iritasi.pengaruh asam-pepsin dan garam empedu.

c. Mengatasi perdarahan Untuk mengatasi perdarahan dapat diberikan


beberapa obat berikut ini:

24
1. Injeksi Kalnex Digunakan untuk menghentikan perdarahan pada
gastritis erosif. Diberikan 50 mg injeksi. Sehari 1-2 ampul (5-10 mL)
disuntikkan secara intravenous atau intramuskular, dibagi dalam 1-2
dosis. Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan
intravenous sebanyak 2-10 ampul (10-50 mL) dengan cara infus.

2. Injeksi Vitamin K Membantu menyembuhkan luka. Inflamasi, infeksi,


dan sebagai hemostatik. Dapat diberikan oral ataupun intravena. Sediaan
tablet 10 mg (4xsehari) atau injeksi 10 mg (4 x sehari)

2.2.9 Memulangkan pasien

Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4 perawatan. Perdarahan
ulang (komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila tidak ada komplikasi,
perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah
pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu
selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe.

2.3 Komplikasi

1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan

2.4 Prognosis

Prognosis Keadaan memperburuk prognosis : gagal jantung kongestif/ infark


miokard, PPOK, sirosis, gagal ginjal, keganasan, >60 tahun, gangguan pembekuan.

25
Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA

26
BAB III
KESIMPULAN

1. perdarahan saluran cerna atas yaitu perdarahan dari lumen saluran cerna di
atas ligamentum Treitz mengakibatkan melena dan hematemesis.
2. Melena adalah tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau khas.
3. Hematemesis adalah muntah darah dalam bentuk segar atau berubah karena
enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan berbentuk butiran kopi.
4. Etiologi perdarahan SCBA diantara lain

a. Kelainan esophagus : pecah varises esophagus, Ca esophagus sindrom


Mallory-Deiss, esofagogastritis korosiva, esofagitis dan tukak esofagus 

b. Kelainan lambung : gastritis erosif hemoragika, tukak lambung, Ca


lambung

c. Kelainan di duodenum : tukak duodeni, Ca papilla vaterii.

5. Manifestasi klinis perdarahan SCBA tergantung dari : a) letak sumber


perdarahan & kecepatan gerak usus; b) kecepatan perdarahan; c) penyakit
penyebab perdarahan; d) keadaan sebelum perdarahan.
6. Diagnosis perdarahan SCBA yaitu :

a. Anamnesis 

27
b. Pemeriksaan fisik : penentuan status hemodinamik evaluasi jumlah
perdarahan, tanda fisik lain.

c. Pemeriksaan penunjang : tes darah, faal hemostasis, elektrolit, faal hati,


EKG & foto thorax, endoskopi (gold standar)

7. Diagnosis bandingnya yaitu hemoptoe dan hematokezia.


8. Penatalaksaan secara umum dan khusus.
9. Keadaan memperburuk prognosis : gagal jantung kongestif/infark miokard,
PPOKK, Sirosis, gagal ginjal, keganasan, >60 tahun, gangguan pembekuan.
10. Komplikasinya yaitu : syok hipoolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal
akut, sindrom hepatorenal koma hepatikum anemia karena perdarahan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Djumhana A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian. Bandung: FK UNPAD,


2011.
2. Ponijan AP. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Medan: FK USU, 2012.
3. Friedlander J, Mamula P: Gastrointestinal hemorrhage in Wyllie R, Hyams JS,
Kay m (eds) Pediatric gastrointestinal and liver diseases, IVth Ed. Philadelphia
PA: Elsevier, 2011.
4. Shah VH. Sleisenger and fordan’s gastrointestinal and liver disease
pathophysiology diagnosis/management 9th edition vol.2. USA: Saunder
Elsevier, 2010.
5. Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006
6. Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis & Melena : dalam Kedaruratan
Medik. Jakarta : Binarupa Aksara. 2000
7. PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005
8. Katz, J. Peptic ulcer disease. Pennsylvania: Division of Gastroenterology and
Hepatology
9. Hadi, S. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung : PT
Alumni. 2002
10. Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta :
Erlangga. 2006

29

Anda mungkin juga menyukai