CAESAREAN SECTION
DENGAN REGIONAL ANESTESI
Pembimbing :
Disusun oleh :
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
STATUS PASIEN
I IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny F
Usia : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 88 kg
Agama : Islam
Diagnosis preop : G3P2A0 H 38 minggu Gemeli Presbo PEB
Jenis Pembedahan : Caesarean Section
Jenis Anestesi : Regional Anestesi
Tanggal Masuk : 18 April 2018
Tanggal Operasi : 19 April 2018
II ANAMNESIS
Pasien mengaku cemas sehari dan pada saat hari dilakukannya operasi,
Riwayat Obstetrik
Pasien memiliki 2 orang anak sebelumnya lahir normal dan hidup
persalinan dilakukan di Bidan, belum pernah melakukan abortus
4
Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga tidak terdapat penyakit yang dapat diturunkan, keluarga
tidak memiliki riwayat preeklampsi
Kebiasaan
Tidak ada kebiasaan merokok, meminum Alkohol, dan mengonsumsi obat
golongan narkotka
5
Ekstremitas : terdapat oedem non pitting pada kedua tungkai
bawah
IV PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.4
Hematokrit 35.8
Eritrosit 4.67
MCV/VER 76.7
MCH/HER 24.4
Jumlah Leukosit 9.28
Jumlah Trmbosit 279
BO Rh Typing
Golongan Darah O
Rhesus Positif
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 63
Imunoserologi
HbsAg (Rapitd) Non-reaktif
Anti HI Penyaring Non-reaktif
Rapid
6
Urin Lengkap
Warna Kuning
Kejernihan Agak keruh
Protein 2+
Glukosa negatif
Darah negatif
Bilirubin negatif
Sedimen
Leukosit 5-10
Eritrosit 0-2
Silinder negatif
Sel epitel 1+
Kristal negatif
Bakteri Positif
7
BAB III
Laporan Anestesi
1. Pre operatif
2. Pramedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberika ondansetron 4 mg
bolus IV
8
- Diberikan anestetik
lokal bupivacaine
20mg pada L4 – L5
- Mengecek sudah
ada rasa kebas atau
belum di bagian
ekstrimitas bawah
pasien
- Diberikan 02 2L
10.25 - Operasi dimulai 149/93 68 98
- Kondisi terkontrol
dan terpantau
10.30 - Kondisi terkontrol 140/93 69 98
- Bayi lahir
10.35 - Kondisi terkontrol 153/93 72 98
- Diberikan Oxytocin
10IU bolus iv
- Diberikan
Methylergometrine 1
amp
10.40 - Kondisi terkontrol 146/88 70 99
10.45 - Kondisi terkontrol 138/85 66 98
- Penambahan RL
500 cc
10.50 - Kondisi terkontrol 142/89 71 98
10.55 - Kondisi terkontrol 145/89 72 99
- Pemberian
Tramadol 100 mg
11.00 - Operasi selesai 141/88 72 99
- Alat monitoring di
lepas, O2 dihentikan
- Pasien dipindah ke
recovery room dan
pemberian O2 kanul
5. Intraoperatif
9
Jenis Anestesi : Regional Anestesi dengan teknik Subarachniod
Blok ( SAB ) dengan spinocain no.27
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Pramedikasi : Ondansetron 4 mg
Induksi : Bupivacain 20 mg
Rumatan : O2 2L
Medikasi : - Bupivacain 20 mg
- Oxytocin 10 IU
- Methylergometrine 1 amp
- Tramadol 100mg
6. Post Operatif
10
BAB IV
ANALISA KASUS
11
turut serta adalah cardiac output menurun, menginisiasi kemoreseptor trigger zone
sehingga mendatangkan rasa mual dan muntah tersebut, hal ini juga dapat terjadi
karen aadanya tarikan dari perinem. Seperti diketahui juga obat ansestesi lokal
tidak melakukan blokade terhadap nervus vagal menyebabkan tidka terblokadenya
nausea dan vomiting, sehingga dapat terjadi intraoperative maupun post operative.
Sebelum dilakukan anestesi spinal pasien terlebih diposisikan dalam posisi
duduk . posisi ini merupakan posisi yang paling tepat ketimbang posisi lateral
dekubitus. Obat anestesi lokal ditusukkan kedalam LCS didalam ruangan
subarachnoid setinggi L3-L4 atau L4-L5, tidak dianjurkan melakukan penusukan
pada tempat yang lebih tinggi, karena ditakutkan dapat mencederai medula
spinalis. Volume lumbar LCS (Liquod cerebro spinal) berbanding terbalik dengan
penyebaran dermatom anestesi spinal. Peningkatan tekanan intrabdominal atau
kondisi yang menyebabkan pembesaran vena epidural dapat menurunkan volume
LCS, hal ini berhubungan dengan penyebaran dermatom yang lebih besar,
termasuk kondisi seperti kehamilan salah satunya, dalam situasi seperti ini tingkat
anestesi yang lebih tinggi dicapai dengan dosis anestesi lokal yang diberikan.
Untuk itu pada anestesi spinal untuk operasi persalinan, dokter mengurangi dosis
anestesi 1/3 dari pasien tidak hamil, hal lain yang dapat ditimbulkan dari
pemakaian dosis seperti biasa adalah dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial.
Obat anestesi yang biasa digunakan adalah golongan Amida yaitu
Bupivakain, bupivakain termasuk golongan obat hiperbarik, yaitu obat dengan
berat jenis yang lebih besar bila dibandingkan dengan LCS, hal ini menyebabkan
letak cairan dari bupivakain berada dibawah LCS (bekerja sesuai gravitasi).
Cairan hiperbarik menyebar ke arah cephalad, untuk itu pasien diposisikan head-
down bila efek anestesi nya belum juga ada setelah dilakukan anestesi spinal.
Larutan hoperbarik cenderung bergerak kedaerah yang paling tergantung pada
vertebra (T4-T8 dalam posisi terlentang). Dengan anatomi tulang belakang yang
normal puncak kelengkungan thoracolumbar adalah T4. Dosis untuk Bupivacain
untuk abdomen bawah adalah 12-14 mg (maksimal dosis 3mg/kg), dengan onset
5-10 menit.
12
Medikasi lain yang diberikan adalah Oxytocin dan metil ergometrin, yang
bertujuan untuk membantuk kontraksi dari uterus dalam mengeluarkan plasenta
sehingga meminimalisir kejadian retensio plasenta yang ditandai dengan
perdarahan massive post partum.
Monitoring tekanan darah , saturasi, nadi dilakukan, mengingat efek dari
obat anestesi lokal adalah memblokade saraf simpatis, menyebabkan dapat
menyebabkan menurunnya tekanan darah. Untuk itu terapi cairan sangat penting
untuk diperhatikan untuk dapat maintanance dan mengontrol tekanan darah. Jenis
cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid. Selama operasi pasien
menunjukkan keadaan stabil dengan tekanan darah yang masih dalam batas norma
Setelah operasi dilakukan, pasien diberikan analgetik non-opioid tramadol
100 mg, analgesik lain tidak diberikan, karena efek dair obat anestesi lokal sendiri
adalah memblokade saraf sensoris salah satunya nyeri. Penggunaa obat analgesik
opioid seperti fentanyl tidak dianjurkan karena efek yang diberikan menimbulkan
depresi nafas.
13
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
5. 1 Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis merupakan penyusun rangka axial yang utama,
tersusun oleh 26 tulang, yaitu 7 ruas tulang servikalis, 12 ruas tulang toraks, 5
ruas tulang lumbar serta sakrum dan koksigis. Kolumna vertebralis memiliki
beberapa fungsi, diantaranya menyangga berat badan dan kepala, melindungi
medula spinalis, mempertahankan posisi tubuh tegak saat berdiri dan duduk,
tempat perlekatan otot, dan memungkinkan pergerakan kepala dan batang tubuh.
Panjang total kolum vertebralis pada orang dewasa rata-rata 71 cm (28 inchi).
Kolum vertebralis tidak lurus dan kaku, tampilan lateral menunjukkan 4
kurva spinalis, diantaranya kurva servikalis (lordosis), kurva toraks (kifosis),
kurva lumbar (lordosis), dan kurva sakrum (kifosis). Kurva kolum vertebralis
memainkan peran fungsional penting dalam meningkatkan kekuatan dan menjaga
keseimbangan bagian atas tubuh, saat manusia dalam posisi bediri berat badan
harus ditransmsikan melalui kolum vertebralis ke panggul dan akhirnya ke
anggota tubuh bagian bawah. 4 kurva vertebra tidak terdapat pada bayi. Kurva
serviks mulai berkembang sekitar 3 bulan ketika bayi mulai mengangkat kepala,
dan menjadi jelas ketika bayi belajar duduk. Kurva lumbal berkembang ketika
seorang anak mulai berjalan kedua kurva tersebut disebut kurva sekunder atau
disebut juga kurva kompensasi karena kurva tersebut membantu menggeser bobot
untuk memungkinkan postur tegak. Sedangkan kurva toraks dan kurva sakrum
disebut sebagai kurva primer atau kurva akomodasi, karena mengakomodasi
organ-organ viseral yang berada di toraks dan abdominopelvis.
14
bawah dan atas. Arcus vertebra yang menempel pada bagian posterior dari bdadan
vertebra dan terdiri dari 2 pedikel. Dan prosesus artikular yang memiliki
permukaan cekung halus yang disebut facet artikular. Gabungan dari vertebra
membentuk sebuah terowongan yang disebut foramen verterba yang merupakan
tempat lewatnya medula spinalis, diantara pedikel verterba yang berdekatan
adalah foramina intravertebral, dimana saraf tulang belakang munucl ketika
bercabang dari medula spinalis.
A. Vertebra Servikal
Ketujuh servikal membentuk kerangka fleksibel untuk leher dan
mendukung kepala. Jaringan tulang vertebra servikalis lebih padat
daripada yang ditemukan didaerah vertebra lainnya. Pembeda lain
antara regio servikalis dan regio lainnya adalah adanya foramen
transversus, arteri dan vena vertebra melewati foramen tersebut karena
berkaitan pada aliran darah yang terkait dengan perdarahan ke otak.
15
Vertebra servikalis C2-C6 umumnya memiliki proses bifid atau
berlekuk. Prosesus spinosus bifida eningkatkan luas permukaan untuk
melekatnya ligamentum nuchal kuat yang menempel pada bagian
oksipital. Vertebra servikalis C1 tidak memiliki prosesus spinosus.
B. Vertebra Toraks
12 vertebra torakalis berartikulasi dengan tulang costae. Foramen
vertebra relatif lebih kecil dan memiliki procesus spinosus yang lebih
yang panjang memproyesikan posterior dan inferior. Prosesus spinosus
mulai dari T10, T11,T12 semakin mirip dengan daerah lumbal sebagai
transisi antara kurva toraks dan lumbar. Prosesus transversus vertebra
T1-T10 relatif lebih tebal
C. Vertebra Lumbar
Memilik 5 segmen , merupakan vertebra yang paling besar dan tebal
diantara vertebra lainnya. Vertebra lumbal memiliki tugas menaha
tahanan yagn paling besar dari berat badan. Prosesus spinosus yang
besar memberikan area permukaan untuk perlekatan otot punggung
bawah yang memperkuat atau menyesuaikan kurva lumbar.
16
5.1.2 Medula spinalis
Kanalis spinalis berisi medula spinalis dengan lapisan pelindungnya
(meningen), jaringan lemak, dan pleksus vena. Menigen terdiri dari 3 lapisan,
yaitu piamater, arachnoidmater, dan duramater. Pia mater erat melekat pada
medula spinalis, sedangakan subarachnoid erat melekat pada duramate yang lebih
tebal dan padat. Cairan serebrospinal terkandung diantara pia dan araknoid. Ruang
subdural umumnya merupakan ruang potensial yang terbatas. Ruang epidura
adalah ruang potensial yang lebih baik didefinisikan dalam kanal vertebra yang
dibatasi oleh dura dan ligamentum flavum. Medula spinals memanjang dari
foramen magnum ke tingkat L1 pada orang dewasa, pada anak-anak berkahir di
L3 dan bergerak naik seiring bertambahnya usia. Akar saraf anteriot dan posterior
pada setiap tingkat tulang belakang bergabung satu sama lain dan keluar dari
foramina intervertebralis, membentuk saraf vertebra dari C1 sampai S5. Suplai
daraah ke medula spinalis berasal dari arteri spina anterior. Arteri spinal anterior
dibentuk dari arteri vertebralis didasar tengkorak. Arteri spinal anterior mensuplai
2/3 dari medula spinalis, sedangakan arteri posteror memasok 1/3 posterior
Definisi
Adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh untuk sementara pada
impuls saraf sensorik, dan saraf otonom sehingga impuls nyeri dari suatu bagian
17
tubuh diblokir untuk sementara atau dapat kembali seperti semula. Fugsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam keadaan
sadar
Mekanisme Kerja
Mekanisme dari spinal dan epidural anestesi dipercaya memiliki prinsip
melakukan blokade terhadap nerve root. Anestesi lokal diinjeksikan ke cairan
Serebrospinal atau ke ruang epidural hingga mencapai medula spinalis tanpa
melakukan penusukan jarum pada medula spinalis, karena hal ini dapat
berisiko menimbulkan cedera medula spinalis. Obat anestesi lokal melakukan
blokade terhadap saraf somatik (saraf sensroik dan motorik) dan otonom .
Jalur penghantaran rasa nyeri hingga disampaikan ke otak melalu beberapa
tahapan, diantaranya,
1. Transduksi
Stimulasi dari reseptor perifer menghasilkan lokal inflammatory mediator
yang menyebabkan perubahan pada aktivitas dan sensitivitas neuron.
Neurotransmitter yang dihasilkan dapat berupa asetilkolin. Pre-insisi dari
lokal anestesi efektif melakukan blokade terhadap tahapan trasnduksi.
2. Transmisi
Bila rangsangan nyeri telah di transduksikan, impuls dihantarkan melalui
A-delta dan C-fiber dari bagian yang mengalami cedera menuju ke kornu
dorsalis menuju colum spinalis dimana mereka bersinaps lalu tereksitasi
dan membentuk neuron pertama. Pada tahap ini dapat diblokade oleh
regional anestesi, salah satu diantaranya bupivacaine yang lebih
melakukan blokade terhadap saraf sensoris bila dibandingkan dengan saraf
18
motorik, dan merupakan analgesi persalingan, dimana diharapkan
pemeliharaan mobilitas ibu.
3. Persepsi
Serat aferen dari kornu dorsalis menuju ke tingkat yang lebih tinggi yaitu
sistem saraf pusat , melalui traktus spinotalamikus. Agen agen yang
bekerja sentral dapat mengubah persepsi, seperti opioid
4. Modulasi
Jalur eferen termasuk neurotransmitter inhibitor memodifikasi informasi
nosiseptif aferen.
19
Tabel 1. Klasifikasi serabut saraf
20
Kontra indikasi absolut
1. pasien menolak
2. infeksi pada tempat suntikan
3. hipovolemi berat, syok
4. koagulopati atau mendapat terapi koagulan
5. tekanan intrakranial meninggi
6. fasilitas resusitasi minim
7. kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesi
Kontra Indikasi Relatif
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemi ringan
8. Nyeri punggung kronis
21
B. Posisi pasien
1. Posisi duduk
Garis midline pada posisi duduk lebih mudah diindentifikasi
dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus, terutama pada pasien yang
obesitas. Dalam menentukan lokasi penyuntikkan untuk spinal anestesi,
dapat digunakan garis imajiner yang ditarik antara titik tertinggi dari kedua
puncak iliaka (garis Tuffler) yang menuju prosesus spinos L4 atau
biasanya merupakan interspinosus L4-L5, tingkat vertebra lainnya dapat
diidentifikasi dari titik ini , dengan menghitung prosesus spinosus diatas
atau dibawahnya.
Pasien duduk dengan siku bertumpu pada paha atau dapat memeluk
bantal (membungkukkan verterba) bertujuan untuk memaksimalkan target
antara prosesus spinosus yang berdekatan dan membawa verterba lebih
dekat ke permukaan kulit.
22
2. posisi lateral decubitus
pasien berbaring disisi mereka dengan lutut tertekuk dan ditarik tinggi
terhadap abdomen atau dada, dengan asumsi ‘fetal position’, dan dibantuk
dengan oleh asisten untuk mempertahankan posisi tersebut selama
dilakukan anestesi spinal.
C. Lokasi Penyuntikan
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis > subkutis> ligamentum supraspinosum>ligamentum
Interspinosum>Ligamentum flavum>ruang epidural>durameter>ruang
subarachnoid
23
jarum, kemudia jarum memasuki ligamen supraspinosum dan intraspinosum dan
akan terasa sebagai peningkatan resistensi jaringan.
Paramedian approach Teknik paramedia diplih terutama pada pasien yang tidak
dapat diposisikan dengan mudah (misalnya arthritis berat, kyphoscoliosis, atau
pembedahan tulang sebelumnya.
24
sedikit ke sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
kelubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum
spinal dicabut dan keluar liquor, pasang spuit berisi obat dapat dimasukan
secara perlahan (o.5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik
25
jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras. Setelah yakin
ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis
26
5.3.2. Obat anestetik lokal / regional
Anestetik lokak dibagi menjadi dua golongan :
Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium,
sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi
saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.
Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta
dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal dipengaruhi oleh :
Mula kerja
Bergantung beberapa factor, yaitu :
27
Lama kerja
Farmakokinetik
A. Absorpsi sistemik dipengaruhi oleh:
1. Tempat suntikan
Kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat
suntikan : abosropsi intravena > trakeal > intercostal > kaudal > para servikal >
epidural > pleksus brakial > skiatik > subkutan
2. Penambahan vasokonstriktor
Adrenalin 5 mcg/ml atau 1:200.000 membuat vasokonstriksi pembuluh darah
pada tempat suntikan sehingga dapat memperlambat abosropsi sampai 50%
1. Perfusi jaringan
28
Kelarutan dalam lemak tinggi meningkatkan ambilan jaringan
3. Massa jaringan
Otot merupakan tempat reservoir bagi anestetika lokal
1. Golongan ester
Golongan ester di metabolisme oleh pseudocholinesterase. Hidrolisa ester sangat
cepat dan kemudian metabolit dieksresi melalui urin.
2. Golongan amida
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolismenya
lebih lambat dari hidrolisis ester. Metabolit dieksresi lewat urin dan sebagian kecil
dalam bentuk utuh
Sistem kardiovaskular
1. Depresi automatsasi miokard
2. Depresi kontraktilitas miokard
3. Dilatasi arteriolar
4. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia
Sistem pernapasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise
intercostal atau depresi langsung pusat pengaturan napas
29
Sistem saraf pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anestetika lokal, dengan tanda – tanda awal
parestesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan kabur, agitasi,
twitching, depresi pernapasan, tidak sadar, konvulsi dan komaa.
Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf.
Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan
derivate para amino benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen
Sistem musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain>lidokain>prokain)
Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3 – 4
minggu
30
7. Hipersensitivitas
8. Usia
9. Keadaan umum
10. Berat badan
31
BAB VI
KESIMPULAN
32
Daftar Pustaka
1. Butterworth JF, David CM, John DW. Morgan & Mikahil’s Clinical
Anestehesiology 5th edition. United states : Mc Graw-Hill ; 2013
2. Euliano TY, JK Gravenstein. Essential Anesthesia from science to
practice. Cambridge : Cambridge University Press ; 2014
3. Ehrenfeld JM, Richard DU, Scott S. Anesthesia Student Survival Guide : a
case-based approach. New York : Springer Science;2010
4. Guideline for obstetric Anesthesia. : An Updated report by the American
society of anesthesiologist task force on obstetric anesthesia and the
society for obstetric anesthesia and perinatology. The American society of
anesthesiologist, Inc Wolters Kluwer Health. Anesthesiology V 124.
2016;124:00-00
5. Paez JJ. Jose RN. Regional versus general anesthesia for cesarean section
delivery. Colombian journal of anesthesiology.2012
6. Chibueze CE, Nabhan AF, Sato M, Usama N. Spinal anaesthesia drugs for
caesarean section (protocol). Cochrane library. 2012
7. Van De Graaff : Human Anatomy, sixh edition. UK : The McGraw-Hill
companies ; 2011
8. Hanretty KP. Obstetric illustrated 6 th edition. Edinburg : Churchill
livingstone; 2013
9. Scanlon VC, Tina S. Essentials of anatomy and physiology 5th edition.
Philadelphia : F A Davis Compay ;2007
10. Latief SA, Kartini AS. Petunjuk praktis anestesiologi edisi kedua. Bagian
Anestesiologi dan terapi intensif . Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia
11. Handoko, Tony. Anestetik Umum, dalam Farmakologi dan terapi FKUI,
edisi ke-4 jakarta: Gaya baru
12. Rodrigues FR, Maria JN. Regional anestheisa for cesarean section in obese
pregnant women : a retrospective study. Rev bras anestesil ;2011
33