MALPRESENTASI
Pembimbing :
dr. Adi Sukrisno, Sp.OG
Diajukan Oleh :
Salsa Nabila 1820221165
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
MALPRESENTASI
Disusun Oleh:
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-
Nya sehingga tugas referat ini berhasil diselesaikan. Presentasi referat yang berjudul
“MALPRESENTASI” ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi Pembelajaran Jarak Jauh Terpusat
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta.
Bukan suatu hal yang mudah bagi penulis untuk menyelesaikan tugas referat ini. Karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Adi Sukrisno, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan pengajaran, serta
terima kasih pula untuk seluruh teman dan semua pihak di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu
Penyakit Obstetri Ginekologi atas kerjasamanya selama penyusunan makalah ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan
yang lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Ductus pancreaticus dimulai dari cauda pancreatis. Ductus ini melintas ke kanan
melewati corpus pancreatis dan, setelah memasuki caput pancreatis, berbelok ke inferior.
Pada bagian bawah caput pancreatis, ductus pancreaticus bergabung dengan ductus
choledochus. Gabungan dari kedua struktur ini membentuk ampulla hepatopancreatica
(ampulla Vaterii), yang masuk ke pars descendens duodeni pada papilla duodeni major. Di
sekeliling ampulla terdapat sphincter ampulla (sphincter Oddii), yang merupakan kumpulan
otot polos. Ductus pancreaticus accessorius bermuara ke duodenum tepat di atas papilla
duodeni major yaitu pada papilla duodeni minor (Gambar 4.72). Bila ductus pancreaticus
accessorius diikuti dari papilla duodeni minor sampai caput pancreatis, suatu titik per-
cabangan dapat ditemukan:9
Satu cabang berlanjut ke kiri, melewati caput pancreatis, dan dapat berhubungan
dengan dtas pancreaticus di titik yang strukturnya berbelok ke inferior.
Suatu cabang kedua turun menuju ke bagian bawah caput pancreatis, di anterior
dari ductus pancreaticus, dan berakhir di processus uncinatus.
2.2 Malpresentasi
2.2.1 Definisi
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada anak adalah komplikasi kritis dari defisiensi
insulin relatif yang mempengaruhi Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1. 1,2 DM Tipe 1 adalah
kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh
hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh
proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
berhenti.11
2.2.2 Epidemiologi
KAD pada DM Tipe 1 lebih sering ditemukan pada anak yang lebih muda (usia <2
tahun) terutama karena penanganan yang terlambat dan sosial ekonomi rendah sehingga
memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan. Insidens KAD pada anak yang
sudah terdiagnosis DM tipe-1 adalah sebesar 1-10% per pasien tiap tahunnya.6
2.2.3 Etiologi
Risiko terjadinya KAD pada kelompok ini meningkat pada anak dengan kontrol
metabolik buruk, riwayat KAD sebelumnya, anak yang tidak menggunakan insulin, gadis
remaja atau peripubertal, anak dengan gangguan makan (eating disorders), sosial
ekonomi rendah, dan anak dari keluarga yang tidak memiliki asuransi kesehatan.6 Pada
tempat-tempat dengan fasilitas yang kurang memadai maka risiko kematian akibat KAD
lebih tinggi.6 Adapun faktor-faktor lainnya yang meningkatkan resiko terjadinya KAD
pada DM tipe-1 adalah penderita dengan kontrol metabolik yang buruk atau telah
mengalami KAD sebelumnya, penderita baru DM tipe-1 usia muda (kurang dari 5 tahun),
pubertas, anak-anak dengan gangguan psikiatri dan status sosial ekonomi rendah.12
Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus KAD adalah infeksi, stres atau
trauma, penghentian terapi insulin atau terapi insulin yang tidak adekuat dan gangguan
psikologis yang berat. Demikian juga beberapa obat-obatan telah dilaporkan dapat
mencetuskan KAD pada penderita DM tipe-1 yakni kortikosteroid dosis tinggi, anti-
psikotik dan imunosupresan.12
2.1.1 Patogenesis
Ketoasidosis terjadi saat tubuh benar-benar kekurangan insulin. Karena
terpakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka terbentuklah badan
keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan
tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak
mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa
dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti
kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya.
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan
menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan
menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan
dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan
ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan
kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrasi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal
dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (pernafasan Kussmaul).
2.2.5 Diagnosa
Kadar Na+ harus tetap dalam kisaran normal yaitu 135–145 mEq/L atau
perlahan-lahan menjadi normal jika pada awalnya meningkat. Kadar Na+
yang tinggi merupakan tanda adanya dehidrasi hipertonik dan rehidrasi perlu
dilakukan lebih lambat. Bila Na+ turun dibawah nilai normal maka hal ini
menunjukkan pemberian cairan yang terlalu cepat atau retensi air.
7. Kandungan natrium dalam cairan perlu ditambah jika kadar natrium serum
rendah dan tidak meningkat sesuai dengan penurunan kadar glukosa darah.
8. Hati-hati, penggunaan NaCl 0,9% dalam jumlah besar dapat mengakibatkan
timbulnya asidosis metabolik hiperkloremik.
Hiperkloremia didefinisikan dengan rasio klorida : Natrium > 0,79
9. Kebutuhan cairan pada KAD yang sudah teratasi sama dengan kebutuhan
cairan anak normal lainnya.
Cara penghitungan kebutuhan cairan pada awal tata laksana:
1. Estimasi derajat dehidrasi = A%
2. Estimasi defisit cairan = A% x BB (Kg) x1000 mL =B mL
3. Hitung cairan rumatan untuk 48 jam = C mL
4. Hitung kebutuhan cairan total 48 jam = Defisit + Rumatan = D mL
5. Hitung kecepatan cairan infus per jam= D mL/48 jam
Insulin6
1. Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan. Pemberian insulin
sejak awal tata laksana meningkatkan risiko hipokalemia.
2. Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid acting
3. Rute pemberian insulin adalah intravena (IV). Lakukan flushing pada karet
infus sebelum terpasang pada pasien.
4. Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
a. Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD
b. Untuk memudahkan pemberian, monitoring dan titrasi insulin selama
tata laksana KAD maka buatlah line IVFD untuk insulin secara
tersendiri dengan kadar cairan 1 mL = 0,01 U insulin.
Kalium6
1. Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat, atau
menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
2. Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
3. Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
4. Jika hiperkalemia (K+ >6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
5. Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan hiperkalemia atau
hipokalemia.
6. Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L. Selanjutnya
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.
7. Jenis preparat kalium yang digunakan sebaiknya adalah kalium fosfat
bersama-sama dengan kalium klorida atau asetat untuk mencegah terjadinya
asidosis hiperkloremia dan hipokalsemia. Contoh: kalium fosfat diberikan 20
mEq/L sedangkan kalium klorida juga 20 mEq/L.
8. Pemberian kalium harus dilakukan secara terus menerus selama pasien
mendapatkan cairan intravena.
9. Kecepatan penggantian kalium tidak boleh melebihi 0,5 mEq/kgBB/jam.
10. Jika hipokalemia menetap meskipun penggantian kalium sudah pada
kecepatan maksimal maka dosis insulin dapat diturunkan.
Asidosis6
1. Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
2. Terapi bikarbonat dapat menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan
meningkatkan risiko terjadinya hipokalemia.
3. Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi hiperkalemia berat atau jika pH
darah < 6,8. Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV selama lebih dari
60 menit.
Pemantauan6
Pemantauan pada pasien KAD meliputi:
1. Tanda vital (kesadaran, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, suhu)
tiap jam.
2. Balans cairan tiap jam (jika terdapat penurunan kesadaran maka perlu
dipasang kateter urin).
3. Pada KAD berat, monitoring dengan EKG membantu untuk mendeteksi
adanya hiperkalemia atau hipokalemia.
4. Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler tiap jam.
5. Pemeriksaan laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah dan
analisis gas darah harus diulang tiap 4-6 jam (pada kasus yang berat elektrolit
harus diperiksa tiap jam). Peningkatan leukosit dapat disebabkan oleh stres
dan belum tentu merupakan tanda infeksi.
6. Observasi tanda-tanda edema serebri, meliputi tiba-tiba sakit kepala hebat,
perubahan tanda-tanda vital (bradikardia, hipertensi, apnea), muntah, kejang,
perubahan status neurologis (iritabilitas, mengantuk, inkontinensia) atau tanda
neurologis spesifik (parese saraf kranial-opthalmoplegia, pelebaran pupil dan
respon pupil terganggu), menurunnya saturasi oksigen.
7. Pemantauan keton urin tidak menggambarkan intervensi untuk perbaikan
metabolik asidosis. Dengan perbaikan metabolik asidosis, keton urin tampak
seolah-olah meningkat. Perbaikan metabolik asidosis mengakibatkan BOHB
diubah menjadi asetoasetat, sedangkan pemeriksaan keton urin tidak bisa
mendeteksi BOHB.
1. Cairan oral mulai diberikan jika sudah terdapat perbaikan klinis nyata.
2. Jika sudah mulai diberikan cairan per oral maka jumlah cairan per oral ini
harus dimasukkan dalam perhitungan cairan total.
3. Jika KAD sudah teratasi dan asupan per oral sudah ditoleransi dengan baik
maka waktu paling baik untuk mengganti insulin menjadi insulin subkutan
adalah saat sebelum makan.
4. Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia rebound maka insulin subkutan
pertama harus diberikan 15-30 menit (insulin kerja cepat) atau 1-2 jam
(insulin kerja pendek) sebelum insulin intravena dihentikan.
2.2.7 Komplikasi
Anak-anak dengan DKA pada diagnosis diabetes tipe 1 memiliki kecenderungan
glikemik yang lebih buruk untuk setidaknya 15 tahun berikutnya, meningkatkan risiko
komplikasi jangka panjang.7 Edema serebri bertanggung jawab atas 60-90% kematian
akibat KAD. Mortalitas akibat edema serebri sebesar 21-24%.6 Selain itu, KAD sedang
hingga berat pada anak-anak saat diagnosis dikaitkan dengan skor kognitif yang lebih
rendah dan pertumbuhan otak yang berubah.8 Penyebab morbiditas dan mortalitas pada
KAD selain edema serebri adalah hipokalemia, hiperkalemia, hipoglikemia, komplikasi
SSP yang lain, hematoma, trombosis, sepsis, rhabdomiolisis, dan edema paru.6
BAB III
KESIMPULAN
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada anak adalah komplikasi kritis dari defisiensi
insulin relatif yang mempengaruhi Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1. Risiko terjadinya
KAD pada kelompok ini meningkat pada anak dengan kontrol metabolik buruk, riwayat
KAD sebelumnya, anak yang tidak menggunakan insulin, gadis remaja atau peripubertal,
anak dengan gangguan makan (eating disorders), sosial ekonomi rendah, dan anak dari
keluarga yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
Diagnosis dini DM Tipe 1, pemantauan pemakaian insulin yang patuh dan tata
laksana yang tepat akan menurunkan terjadinya KAD. Anak dengan KAD harus dirawat
di tempat yang memiliki perawat terlatih dalam menangani KAD, memiliki panduan tata
laksana KAD, memiliki laboratorium yang memungkinkan evaluasi pasien secara ketat.
Rehidrasi yang adekuat adalah tata laksana awal KAD yang optimal. Lalu dilanjutkan
pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan. Untuk mencegah penurunan glukosa
darah yang terlalu cepat maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam cairan intravena jika
kadar glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-17 mmol/L).
DAFTAR PUSTAKA
1. Abulebda K, Whitfill T, Montgomery EE, Kirby ML, Ahmed RA, Cooper DD,
Nitu ME, Auerbach MA, Lutfi R, Abu-Sultaneh S. Improving Pediatric Diabetic
Ketoacidosis Management in Community Emergency Departments Using a
Simulation-Based Collaborative Improvement Program. Pediatr Emerg
Care. 2019 Mar 12;
2. Agarwal HS. Subclinical cerebral edema in diabetic ketoacidosis in children. Clin
Case Rep. 2019 Feb;7(2):264-267
3. Flood K, Nour M, Holt T, Cattell V, Krochak C, Inman M. Implementation and
Evaluation of a Diabetic Ketoacidosis Order Set in Pediatric Type 1 Diabetes at a
Tertiary Care Hospital: A Quality-Improvement Initiative. Can J Diabetes. 2019
Jul;43(5):297-303.
4. Danne T, Garg S, Peters AL, Buse JB, Mathieu C, Pettus JH, Alexander CM,
Battelino T, Ampudia-Blasco FJ, Bode BW, Cariou B, Close KL, Dandona P,
Dutta S, Ferrannini E, Fourlanos S, Grunberger G, Heller SR, Henry RR, Kurian
MJ, Kushner JA, Oron T, Parkin CG, Pieber TR, Rodbard HW, Schatz D, Skyler
JS, Tamborlane WV, Yokote K, Phillip M. International Consensus on Risk
Management of Diabetic Ketoacidosis in Patients With Type 1 Diabetes Treated
With Sodium-Glucose Cotransporter (SGLT) Inhibitors. Diabetes Care. 2019
Jun;42(6):1147-1154.
5. EL-Mohandes N, Huecker MR. Pediatric Diabetic Ketoacidosis. [Updated 2019
Apr 1]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada
Diabetes Melitus Tipe-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017
7. Duca LM, Wang B, Rewers M, Rewers A. Diabetic ketoacidosis at diagnosis of
type 1 diabetes predicts poor long-term glycemic control. Diabetes Care
2017;40:1249–1255 2.
8. Aye T, Mazaika PK, Mauras N, et al.; Diabetes Research in Children Network
(DirecNet) Study Group. Impact of early diabetic ketoacidosis on the developing
brain. Diabetes Care 2019;42: 443–449
9. Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M., 2014. GRAY Dasar-Dasar
Anatomi. 1st ed. Singapore: Elsevier.
10. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus
Tipe-1 pada Anak dan Remaja Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017
12. Australian Paediatric Endocrine Group. Clinical Practice Guildelines: Type -1
Diabetes in children and Adolescents. 2005