Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

MALPRESENTASI

Tugas Kepanitiaan Klinik


Pembelajaran Jarak Jauh Terpusat
SMF Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi
Periode 8 – 20 Mei 2020

Pembimbing :
dr. Adi Sukrisno, Sp.OG

Diajukan Oleh :
Salsa Nabila 1820221165

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU PENYAKIT OBSTETRI GINEKOLOGI
PEMBELAJARAN JARAK JAUH TERPUSAT FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
TAHUN 2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

MALPRESENTASI

Diajukan Sebagai Tugas Kepanitiaan Klinik


Pembelajaran Jarak Jauh Terpusat SMF Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi
Periode 8 – 20 Mei 2020

Disusun Oleh:

Salsa Nabila 1820221165

Jakarta, Juni 2020


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

dr. Adi Sukrisno, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-
Nya sehingga tugas referat ini berhasil diselesaikan. Presentasi referat yang berjudul
“MALPRESENTASI” ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Obstetri Ginekologi Pembelajaran Jarak Jauh Terpusat
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta.
Bukan suatu hal yang mudah bagi penulis untuk menyelesaikan tugas referat ini. Karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Adi Sukrisno, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan pengajaran, serta
terima kasih pula untuk seluruh teman dan semua pihak di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu
Penyakit Obstetri Ginekologi atas kerjasamanya selama penyusunan makalah ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan
yang lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................iii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................2


2.1 Anatomi Pankreas...........................................................................................................2
2.2 Fisiologi Insulin...............................................................................................................4
2.3 Ketoasidosis Diabetikum................................................................................................7
2.3.1 Definisi......................................................................................................................7
2.3.2 Epidemiologi..............................................................................................................7
2.3.3 Etiologi......................................................................................................................8
2.3.4 Patogenesis................................................................................................................8
2.3.5 Manifestasi Klinis....................................................................................................10
2.3.6 Diagnosa..................................................................................................................10
2.3.7 Tata Laksana............................................................................................................11
2.3.8 Komplikasi...............................................................................................................18

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Letak anak sangat penting berhubungan dengan prognosa persalinan. Presentasi


sungsang dan malpresentasi kurang umum lainnya mempengaruhi hingga 3%-4% dari
kehamilan saat aterm dan bahkan lebih umum pada kehamilan sebelumnya. 1 Faktor risiko
untuk malpresentasi beragam dan termasuk usia ibu, paritas, anomali rahim, prematuritas,
pembatasan pertumbuhan janin, kelainan janin, dan kelainan cairan amniotik.
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain verteks yang mungkin
menyebabkan partus lama atau partus macet. Letak janin (situs) di dalam rahim dapat
dalam letak memajang, melintang ataupun miring terhadap sumbu rahim. Pada letak
memanjang di bagian bawah dapat berupa kepala ataupun bokong. Pada kehamilan dengan
kepala berada di bagian bawah disebut presentasi kepala dan bila bokong berada dibagian
bawah disebut presentasi bokong. Janin yang melintang biasa bahu di bagian bawah
sehingga disebut presentasi bahu. Pada kehamilan normal didapatkan terbawah kepala yang
fleksi dengan ubun-ubun kecil terendah sebagai penunjuk yang berada di segmen depan,
disebut presentasi belakang kepala ubun-ubun kecil depan, kanan depan atau kiri depan dan
keadaan ini dinamakan normoposisi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, referat ini akan membahas mengenai
malpresentasi, faktor risiko, diagnosa hingga penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Panggul

Pankreas terletak retroperitoneal kecuali sebagian kecil cauda pancreatis. Pankreas


umumnya terletak di posterior gaster, terbentang di sepanjang dinding posterior abdomen
dari duodenum, di sisi kanan, sampai lien, di sisi kiri. Pankreas terdiri dari caput
pancreatis, processus uncinatus, collum pancreatis, corpus pancreatis dan cauda
pancreatis.9

Gambar 1. Anatomi Pankreas

Sumber: Gray Dasar-Dasar Anatomi, 2014


Berikut adalah bagian-bagian pankreas:9

 Caput pancreatis terletak di dalam suatu cekungan berbentuk huruf C


duodenum.
 Processus uncinatus terbentang dari bagian bawah caput pancreatis, yang
melintas di posterlor dari vasa mesenterica superior.
 Collum pancreatis terletak di anterior vasa mesenterica superior. Di posterior
collum pancreatis, venae mesenterica superior dan lienalis bergabung
membentuk vena portae hepatis.
 Corpus pancreatis memanjang dan terbentang dari collum hingga cauda
pancreatis.
 Cauda pancreatis melintas di antara lapisan-lapisan ligamentum splenorenale.

Ductus pancreaticus dimulai dari cauda pancreatis. Ductus ini melintas ke kanan
melewati corpus pancreatis dan, setelah memasuki caput pancreatis, berbelok ke inferior.
Pada bagian bawah caput pancreatis, ductus pancreaticus bergabung dengan ductus
choledochus. Gabungan dari kedua struktur ini membentuk ampulla hepatopancreatica
(ampulla Vaterii), yang masuk ke pars descendens duodeni pada papilla duodeni major. Di
sekeliling ampulla terdapat sphincter ampulla (sphincter Oddii), yang merupakan kumpulan
otot polos. Ductus pancreaticus accessorius bermuara ke duodenum tepat di atas papilla
duodeni major yaitu pada papilla duodeni minor (Gambar 4.72). Bila ductus pancreaticus
accessorius diikuti dari papilla duodeni minor sampai caput pancreatis, suatu titik per-
cabangan dapat ditemukan:9

 Satu cabang berlanjut ke kiri, melewati caput pancreatis, dan dapat berhubungan
dengan dtas pancreaticus di titik yang strukturnya berbelok ke inferior.
 Suatu cabang kedua turun menuju ke bagian bawah caput pancreatis, di anterior
dari ductus pancreaticus, dan berakhir di processus uncinatus.

Gambar 2. Anatomi Pankreas

Sumber: Gray Dasar-Dasar Anatomi, 2014

Ductus pancreaticus major dan ductus pancreaticus accessorius biasanya saling


berhubungan. Keberadaan kedua ductus ini mencerminkan asal embryologis pancreas dari
kuncup-kuncup dorsal dan ventral dari pre-enteron.9

Suplai arterial untuk pancreas berasal dari:9

 arteria gastroduodenalis dari arteria hepatica communis (cabang dari truncus


coeliacus).
 arteria pancreaticoduodenalis superior anterior dari arteria gastroduodenalis.
 arteria pancreaticoduodenalis superior posterior dari arteria gastroduodenalis,
 arteria pancreatica dorsalis cubang dari arteria pancreatica inferior (cabang
arteria lienalis/ splenica),
 arteria pancreatica magna dari arteria pancreatica inferior (cabang arteria
lienalis/splenical)
 arteria pancreaticoduodenalis inferior anteri arteria pancreaticoduodenalis
inferior (cabang arteria mesenterica superior), dan
 arteria pancreaticoduodenalis inferior posterior arteria pancreaticoduodenalis
inferior (cabang arteria mesenterica superior).

2.1 Fisiologi Partus


Pankreas merupakan kelenjar campuran yang mengandung jaringan eksokrin dan
endokrin. Bagian eksokrin yang predominan terdiri dari kelompok-kelompok sel
sekretorik mirip anggur yang membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang
berhubuangan dengan duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Bagian endokrin
yang lebih kecil terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin terisolasi, yaitu pulau
Langerhans, yang terbesar di seluruh pankreas. Hormon-hormon penting yang
disekresikan oleh sel pulau-pulau Langerhans adalah insulin dan glukagon.10 Sel Sel
endokrin pankreas yang terbanyak adalah sel B (beta), tempat sintesis dan sekresi insulin,
dan sel a (alfa), yang menghasilkan glukagon. Sel D (delta), yang lebih jarang, adalah
tempat sintesis somatostatin. Sel pulau Langerhans yang paling jarang, sel PP,
mengeluarkan polipeptida pankreas, yang mungkin berperan dalam mengurangi nafsu
makan dan asupan makanan.10
Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino darah serta mendo-
rong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini masuk ke darah
selama keadaan absorptif, insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan
pengubahannya masing-masing menjadi glikogen. trigliserida, dan protein. Insulin
melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi transpor nutrien darah spesifik
masuk ke dalam sel arau mengubah aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam jalur-
jalur metabolik tertentu. Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa
darah dan mendorong penyimpanan karbohidrat, yaitu:10
1. Insulin mempermudah transpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.
2. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di
otot rangka dan hati.
3. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.
Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin
cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi
pengeluaran glukosa oleh hati.
4. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di
hati. Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di
darah tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat
enzim-enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi
glukosa.
Pengangkutan glukosa antara darah dan sel dilaksanakan oleh suatu pembawa/
pengangkut membran plasma yang dikenal sebagai pengangkut glukosa (glucose
transporter, GLUT). Terdapat enam bentuk pengangkut glukosa yang telah diketahui dan
dinamai sesuai urutan penemuannya, GLUT-I, GLUT-2, dan seterusnya. Pengangkut
glukosa yang bertanggung jawab atas sebagian besar penyerapan glukosa oleh mayoritas
sel tubuh adalah GLUT-4, yang bekerja hanya setelah berikatan dengan insulin. 10
Molekul glukosa tidak dapat dengan mudah menembus membran sebagian besar sel
tanpa adanya insulin sehingga kebanyakan jaringan bergantung pada insulin untuk
menyerap glukosa dari darah dan menggunakannya. GLUT-4 sangat banyak terdapat di
jaringan yang paling banyak menyerap glukosa dari darah selama keadaan absorptif yaitu
otot rangka dan sel jaringan lemak.10
GLUT-4 adalah satu-satunya jenis pengangkut glukosa yang berespons terhadap
insulin. Tidak seperti jenis molekul GLUT lainnya yang selalu ada di membran plasma di
tempat mereka melaksanakan fungsinya, GLUT-4 akan dikeluarkan dari membran
plasma jika tidak terdapat insulin. Insulin memicu vesikel-vesikel bergerak ke membran
plasma dan menyatu dengannya sehingga GLUT-4 dapat disisipkan ke dalam membran
plasma. Dengan cara ini, peningkatan sekresi insulin menyebabkan peningkatan pesat
penyerapan glukosa 10 sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin. Ketika sekresi
insulin berkurang, pengangkut glukosa tersebut diambil kembali dari membran plasma
dan dikembalikan ke dalam vesikel. Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin
untuk menyerap glukosa, yaitu, otak, otot yang sedang aktif, dan hati. Otak, yang
memerlukan pasokan konstan glukosa untuk kebutuhan energinya setiap saat, bersifat
permeabel bebas terhadap glukosa setiap waktu melalui molekul GLUT-1 dan GLUT-3.
Saat olahraga, sel-sel otot rangka tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa,
meskipun saat istirahat mereka memerlukannya. Kontraksi otot memicu penyisipan
GLUT-4 ke membran plasma sel otot yang aktif meskipun tidak tendapat insulin. Hati
juga tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa karena organ ini tidak
menggunakan GLUT-4. Namun, insulin meningkatkan metabolisme glukosa oleh hati
dengan merangsang langkah pertama dalam metabolisme glukosa, fosforilasi glukosa
untuk membentuk glukosa-6-fosfat, sehingga mempermudah difusi terfasilitasi glukosa
ke dalam sel.10
Secara singkat, insulin terutama menimbulkan efek dengan bekerja pada otot
rangka inaktif, hati dan jaringan lemak. Selain merangsang jalur-jalur biosintetik yang
menyebabkan peningkatan pemakaian glukosa, hormon ini juga meningkatkan
penyimpanan karbohidrat dan lemak, serta meningkatkan sintesis protein. Jadi hormon ini
menurunkan kadar glukosa, asam lemak dan asam amino darah. Ketika ekskresi insulin
rendah, efek sebaliknya yang terjadi. Laju pemasukan glukosa ke dalam sel berkurang
dan terjjadi katabolisme netto melebihi sintesis glikogen, trigliserida dan protein.10

Gambar 3. Faktor yang mengontrol sekresi Insulin


Sumber: Sherwood Fisiologi Manusia, 2014

2.2 Malpresentasi

2.2.1 Definisi
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada anak adalah komplikasi kritis dari defisiensi
insulin relatif yang mempengaruhi Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1. 1,2 DM Tipe 1 adalah
kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh
hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh
proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
berhenti.11

2.2.2 Epidemiologi
KAD pada DM Tipe 1 lebih sering ditemukan pada anak yang lebih muda (usia <2
tahun) terutama karena penanganan yang terlambat dan sosial ekonomi rendah sehingga
memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan. Insidens KAD pada anak yang
sudah terdiagnosis DM tipe-1 adalah sebesar 1-10% per pasien tiap tahunnya.6
2.2.3 Etiologi
Risiko terjadinya KAD pada kelompok ini meningkat pada anak dengan kontrol
metabolik buruk, riwayat KAD sebelumnya, anak yang tidak menggunakan insulin, gadis
remaja atau peripubertal, anak dengan gangguan makan (eating disorders), sosial
ekonomi rendah, dan anak dari keluarga yang tidak memiliki asuransi kesehatan.6 Pada
tempat-tempat dengan fasilitas yang kurang memadai maka risiko kematian akibat KAD
lebih tinggi.6 Adapun faktor-faktor lainnya yang meningkatkan resiko terjadinya KAD
pada DM tipe-1 adalah penderita dengan kontrol metabolik yang buruk atau telah
mengalami KAD sebelumnya, penderita baru DM tipe-1 usia muda (kurang dari 5 tahun),
pubertas, anak-anak dengan gangguan psikiatri dan status sosial ekonomi rendah.12
Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus KAD adalah infeksi, stres atau
trauma, penghentian terapi insulin atau terapi insulin yang tidak adekuat dan gangguan
psikologis yang berat. Demikian juga beberapa obat-obatan telah dilaporkan dapat
mencetuskan KAD pada penderita DM tipe-1 yakni kortikosteroid dosis tinggi, anti-
psikotik dan imunosupresan.12

2.1.1 Patogenesis
Ketoasidosis terjadi saat tubuh benar-benar kekurangan insulin. Karena
terpakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka terbentuklah badan
keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan
tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak
mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa
dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti
kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya.
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan
menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan
menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan
dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan
ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan
kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrasi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal
dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (pernafasan Kussmaul).

Gambar 4. Efek akut DM

Sumber: Sherwood Fisiologi Manusia, 2014

Gambar 5. Patofisiologi KAD

Sumber: Manual of Medicine, 2018


Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang juga. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali.
Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan
glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa
bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang
ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan
kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-
kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama
periode waktu 24 jam.Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak
(lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah
menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton
yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan
mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk
dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.

2.2.4 Manifestasi Klinis


Gejala yang biasanya dapat terjadi adalah:6
 Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsi, serta penurunan berat badan.
 Dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi.
 Mual, muntah, nyeri perut, takikardi, hipotensi, turgor kulit menurun dan syok.
 Perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari bingung sampai
koma.
 Pola napas Kussmaul.

2.2.5 Diagnosa

Kriteria diagnosis ketoasidosis diabetik ditegakkan jika terdapat:6


• Hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah >200 mg/dL (>11 mmol/L)
• Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3- <15 mEq/L, dan
• Ketonemia dan ketonuria.
Untuk kepentingan tata laksana, KAD juga diklasifikasikan berdasarkan derajat
beratnya asidosis dan dibagi menjadi:
• KAD ringan : pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L
• KAD sedang : pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L
• KAD berat : pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L

2.2.6 Tata Laksana


Tujuan utama tata laksana KAD pada anak dengan DM Tipe 1 adalah
menghentikan proses asidosis bukan hanya menurunkan kadar glukosa. Prinsip tata
laksana KAD meliputi terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan menstabilkan
fungsi sirkulasi, pemberian insulin untuk menghentikan produksi badan keton yang
berlebihan, mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi penyakit yang
mendasari KAD serta monitor komplikasi terapi. Anak dengan KAD harus dirawat di
tempat yang memiliki perawat terlatih dalam menangani KAD, memiliki panduan tata
laksana KAD, memiliki laboratorium yang memungkinkan evaluasi pasien secara ketat.
Indikasi perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah KAD berat, risiko edema serebri, usia
sangat muda (< 5 tahun) dan aritmia.6

Tata Laksana Awal6


1. Amankan airway, breathing, circulation:
a. Airway: amankan jalan napas. Jika perlu kosongkan isi lambung
b. Breathing: berikan oksigen pada pasien dengan dehidrasi berat atau
syok.
c. Circulation: pemantauan jantung sebaiknya menggunakan EKG untuk
mengevalusi adanya kemungkinan hiperkalemia atau hipokalemia.
d. Sebaiknya dipasang dua kateter intravena (IV).
2. Nilai kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
3. Timbang berat badan pasien
Gunakan berat badan aktual untuk menghitung kebutuhan cairan maupun
kebutuhan insulin.
4. Nilai derajat dehidrasi
a. Dehidrasi dianggap sedang jika dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda-
tanda dehidrasi meliputi:
 Capillary refill memanjang
 Turgor menurun
 Hiperpnea
 Serta adanya tanda-tanda dehidrasi seperti membran mukus yang
kering, mata cekung, dan tidak ada air mata.
b. Dehidrasi dianggap lebih dari 10% atau berat jika terdapat nadi yang
lemah, hipotensi, dan oliguria.
c. Mengingat derajat dehidrasi dari klinis sangat subyektif dan seringkali
tidak akurat maka direkomendasikan bahwa pada KAD sedang
dehidrasinya adalah 5-7% sedangkan pada KAD berat derajat
dehidrasinya adalah 7-10%
5. Evaluasi klinis apakah terdapat infeksi atau tidak.
6. Ukur kadar glukosa darah dan kadar beta hidroksi butirat/BOHB (atau keton
urin) dengan alat bedside.
7. Lakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium
setidaknya glukosa plasma, elektrolit serum (perhitungan anion gap), analisis
gas darah (pH, HCO3 dan pCO2) vena, kadar BOHB, dan darah tepi lengkap.
Pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan adalah serum kreatinin,
osmolalitas plasma, serum albumin, fosfor, dan magnesium.
8. Periksa HbA1c.
9. Lakukan pemeriksaan urinalisis.
10. Jika terdapat demam atau tanda infeksi lainnya lakukan kultur (darah, urin,
atau kultur dari spesimen lainnya) sebelum pemberian antibiotik.
11. Lakukan EKG jika hasil pemeriksaan elektrolit tertunda. Perhatikan ada
tidaknya perubahan EKG sebagai berikut:
a. Hiperkalemia
 Interval PR memanjang
 QT memendek
 Gelombang T simetris, tinggi, tajam
 Gelombang sinus
b. Hipokalemia
 Terdapat gelombang U
 Interval QT melebar
 Gelombang T mendatar
 Segmen ST menurun
c. Hipokalsemia: Interval QT memanjang
d. Lain-lain
 QTc memanjang
 QTc: Corrected QT.

Cairan dan Elektrolit6


1. Defisit cairan dan elektrolit harus diganti.
2. Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20 ml/kgBB dan dapat
diulangi sampai renjatan teratasi.
a. Bila renjatan sudah membaik tetapi sirkulasi belum stabil, cairan dapat
diberikan dengan kecepatan 10 ml/kgBB dalam waktu 1-2 jam.
b. Rehidrasi harus segera dimulai dengan cairan isotonik (NaCl 0,9%
atau cairan yang hampir isotonik misalnya Ringer Laktat/RL atau
Ringer Asetat).
c. Rehidrasi awal harus menggunakan NaCl 0,9% atau ringer asetat
paling tidak selama 4-6 jam.
d. Setelah itu, penggantian cairan harus dengan cairan yang memiliki
tonisitas sama atau lebih dari 0,45% dengan ditambahkan kalium
klorida, kalium fosfat atau kalium asetat.
e. Penilaian osmolalitas efektif berguna untuk evaluasi terapi cairan dan
elektrolit.
3. Rehidrasi selanjutnya dilakukan dalam kurun waktu 48 jam dengan
memperhitungkan sisa defisit cairan ditambah kebutuhan cairan rumatan
untuk 48 jam.
4. Gunakan cairan kristaloid dan hindari penggunaan koloid.
5. Karena derajat dehidrasi mungkin sulit ditentukan dan dapat diestimasi
berlebihan, maka cairan infus per hari tidak boleh melebihi 1,5-2x kebutuhan
cairan rumatan berdasarkan usia, berat maupun luas permukaan tubuh.
6. Salah satu indikator status hidrasi adalah kadar Natrium. Pada KAD terjadi
pseudohiponatremia sehingga kadar natrium pasien KAD dihitung untuk
mengetahui kadar Natrium sebenarnya (Na+), dengan rumus:

Gambar 6. Rumus koreksi Na+ pada KAD

Sumber: PPK KAD

Kadar Na+ harus tetap dalam kisaran normal yaitu 135–145 mEq/L atau
perlahan-lahan menjadi normal jika pada awalnya meningkat. Kadar Na+
yang tinggi merupakan tanda adanya dehidrasi hipertonik dan rehidrasi perlu
dilakukan lebih lambat. Bila Na+ turun dibawah nilai normal maka hal ini
menunjukkan pemberian cairan yang terlalu cepat atau retensi air.
7. Kandungan natrium dalam cairan perlu ditambah jika kadar natrium serum
rendah dan tidak meningkat sesuai dengan penurunan kadar glukosa darah.
8. Hati-hati, penggunaan NaCl 0,9% dalam jumlah besar dapat mengakibatkan
timbulnya asidosis metabolik hiperkloremik.
Hiperkloremia didefinisikan dengan rasio klorida : Natrium > 0,79
9. Kebutuhan cairan pada KAD yang sudah teratasi sama dengan kebutuhan
cairan anak normal lainnya.
Cara penghitungan kebutuhan cairan pada awal tata laksana:
1. Estimasi derajat dehidrasi = A%
2. Estimasi defisit cairan = A% x BB (Kg) x1000 mL =B mL
3. Hitung cairan rumatan untuk 48 jam = C mL
4. Hitung kebutuhan cairan total 48 jam = Defisit + Rumatan = D mL
5. Hitung kecepatan cairan infus per jam= D mL/48 jam

Insulin6
1. Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan. Pemberian insulin
sejak awal tata laksana meningkatkan risiko hipokalemia.
2. Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid acting
3. Rute pemberian insulin adalah intravena (IV). Lakukan flushing pada karet
infus sebelum terpasang pada pasien.
4. Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
a. Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD
b. Untuk memudahkan pemberian, monitoring dan titrasi insulin selama
tata laksana KAD maka buatlah line IVFD untuk insulin secara
tersendiri dengan kadar cairan 1 mL = 0,01 U insulin.

Cara pengencerannya adalah:


50 Unit insulin diencerkan dalam 50 mL NaCl 0,9% (1 mL = 1 U) atau 5 Unit
insulin diencerkan dalam 50 mL NaCl (1mL = 0,1 U)
a. Pertahankan dosis insulin tetap 0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai KAD
teratasi (pH > 7,30, bikarbonat > 15 mEq/L, BOHB < 1 mmol/L).
b. Dosis insulin dapat diturunkan lebih rendah dari 0,05 U/kgBB/ jam
jika pasien sensitif terhadap insulin dan tetap menunjukkan adanya
perbaikan asidosis metabolik.
5. Untuk mencegah penurunan glukosa darah yang terlalu cepat selama asidosis
belum teratasi maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam cairan intravena
(Dekstrosa 5% ditambahkan pada NaCl 0,9% atau 0,45%) jika kadar glukosa
plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-17 mmol/L).
a. Terkadang perlu menggunakan cairan Dekstrosa 10% atau 12,5%
untuk mencegah terjadinya hipoglikemia sekaligus mengkoreksi
asidosis metabolik.
b. Jika penurunan glukosa darah lebih dari 90 mg/dL/jam (5
mmol/L/jam) maka pertimbangkan untuk menambahkan cairan
yang mengandung glukosa meskipun kadar glukosa darah belum
turun < 300 mg/dL.
6. Jika parameter KAD (seperti pH, anion gap, konsentrasi betahidroksi butirat)
tidak mengalami perbaikan, evaluasi ulang pasien, dosis insulin, dan penyebab
lainnya yang menyebabkan pasien tidak berespon terhadap terapi insulin
(misalnya infeksi atau salah dalam pengenceran insulin dll).
7. Jika pemberian insulin intravena kontinu tidak memungkinkan pada pasien
dengan KAD tanpa gangguan sirkulasi perifer maka dapat diberikan insulin
subkutan atau intramuskuler tiap jam atau tiap dua jam. Insulin yang
digunakan adalah insulin kerja cepat atau kerja pendek.
a. Dosisnya dapat dimulai dari 0,3 U/kgBB dilanjutkan satu jam
kemudian dengan insulin lispro atau aspart dengan dosis 0,1
U/kgBB/jam atau 0,15-0,2 U/kgBB tiap 2 jam.
b. Jika kadar glukosa darah < 250 mg/dL (< 14 mmol/L) sebelum
KAD teratasi, kurangi dosis insulin menjadi 0,05 U/kgBB/jam
untuk mempertahankan glukosa darah 200 mg/dL sampai KAD
teratasi.

Kalium6
1. Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat, atau
menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
2. Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
3. Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
4. Jika hiperkalemia (K+ >6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
5. Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan hiperkalemia atau
hipokalemia.
6. Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L. Selanjutnya
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.
7. Jenis preparat kalium yang digunakan sebaiknya adalah kalium fosfat
bersama-sama dengan kalium klorida atau asetat untuk mencegah terjadinya
asidosis hiperkloremia dan hipokalsemia. Contoh: kalium fosfat diberikan 20
mEq/L sedangkan kalium klorida juga 20 mEq/L.
8. Pemberian kalium harus dilakukan secara terus menerus selama pasien
mendapatkan cairan intravena.
9. Kecepatan penggantian kalium tidak boleh melebihi 0,5 mEq/kgBB/jam.
10. Jika hipokalemia menetap meskipun penggantian kalium sudah pada
kecepatan maksimal maka dosis insulin dapat diturunkan.

Asidosis6
1. Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
2. Terapi bikarbonat dapat menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan
meningkatkan risiko terjadinya hipokalemia.
3. Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi hiperkalemia berat atau jika pH
darah < 6,8. Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV selama lebih dari
60 menit.

Pemantauan6
Pemantauan pada pasien KAD meliputi:
1. Tanda vital (kesadaran, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, suhu)
tiap jam.
2. Balans cairan tiap jam (jika terdapat penurunan kesadaran maka perlu
dipasang kateter urin).
3. Pada KAD berat, monitoring dengan EKG membantu untuk mendeteksi
adanya hiperkalemia atau hipokalemia.
4. Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler tiap jam.
5. Pemeriksaan laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah dan
analisis gas darah harus diulang tiap 4-6 jam (pada kasus yang berat elektrolit
harus diperiksa tiap jam). Peningkatan leukosit dapat disebabkan oleh stres
dan belum tentu merupakan tanda infeksi.
6. Observasi tanda-tanda edema serebri, meliputi tiba-tiba sakit kepala hebat,
perubahan tanda-tanda vital (bradikardia, hipertensi, apnea), muntah, kejang,
perubahan status neurologis (iritabilitas, mengantuk, inkontinensia) atau tanda
neurologis spesifik (parese saraf kranial-opthalmoplegia, pelebaran pupil dan
respon pupil terganggu), menurunnya saturasi oksigen.
7. Pemantauan keton urin tidak menggambarkan intervensi untuk perbaikan
metabolik asidosis. Dengan perbaikan metabolik asidosis, keton urin tampak
seolah-olah meningkat. Perbaikan metabolik asidosis mengakibatkan BOHB
diubah menjadi asetoasetat, sedangkan pemeriksaan keton urin tidak bisa
mendeteksi BOHB.

Transisi ke insulin subkutan dan mulai asupan peroral6

1. Cairan oral mulai diberikan jika sudah terdapat perbaikan klinis nyata.
2. Jika sudah mulai diberikan cairan per oral maka jumlah cairan per oral ini
harus dimasukkan dalam perhitungan cairan total.
3. Jika KAD sudah teratasi dan asupan per oral sudah ditoleransi dengan baik
maka waktu paling baik untuk mengganti insulin menjadi insulin subkutan
adalah saat sebelum makan.
4. Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia rebound maka insulin subkutan
pertama harus diberikan 15-30 menit (insulin kerja cepat) atau 1-2 jam
(insulin kerja pendek) sebelum insulin intravena dihentikan.
2.2.7 Komplikasi
Anak-anak dengan DKA pada diagnosis diabetes tipe 1 memiliki kecenderungan
glikemik yang lebih buruk untuk setidaknya 15 tahun berikutnya, meningkatkan risiko
komplikasi jangka panjang.7 Edema serebri bertanggung jawab atas 60-90% kematian
akibat KAD. Mortalitas akibat edema serebri sebesar 21-24%.6 Selain itu, KAD sedang
hingga berat pada anak-anak saat diagnosis dikaitkan dengan skor kognitif yang lebih
rendah dan pertumbuhan otak yang berubah.8 Penyebab morbiditas dan mortalitas pada
KAD selain edema serebri adalah hipokalemia, hiperkalemia, hipoglikemia, komplikasi
SSP yang lain, hematoma, trombosis, sepsis, rhabdomiolisis, dan edema paru.6
BAB III
KESIMPULAN

Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada anak adalah komplikasi kritis dari defisiensi
insulin relatif yang mempengaruhi Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1. Risiko terjadinya
KAD pada kelompok ini meningkat pada anak dengan kontrol metabolik buruk, riwayat
KAD sebelumnya, anak yang tidak menggunakan insulin, gadis remaja atau peripubertal,
anak dengan gangguan makan (eating disorders), sosial ekonomi rendah, dan anak dari
keluarga yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
Diagnosis dini DM Tipe 1, pemantauan pemakaian insulin yang patuh dan tata
laksana yang tepat akan menurunkan terjadinya KAD. Anak dengan KAD harus dirawat
di tempat yang memiliki perawat terlatih dalam menangani KAD, memiliki panduan tata
laksana KAD, memiliki laboratorium yang memungkinkan evaluasi pasien secara ketat.
Rehidrasi yang adekuat adalah tata laksana awal KAD yang optimal. Lalu dilanjutkan
pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan. Untuk mencegah penurunan glukosa
darah yang terlalu cepat maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam cairan intravena jika
kadar glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-17 mmol/L).
DAFTAR PUSTAKA

1. Abulebda K, Whitfill T, Montgomery EE, Kirby ML, Ahmed RA, Cooper DD,
Nitu ME, Auerbach MA, Lutfi R, Abu-Sultaneh S. Improving Pediatric Diabetic
Ketoacidosis Management in Community Emergency Departments Using a
Simulation-Based Collaborative Improvement Program. Pediatr Emerg
Care. 2019 Mar 12; 
2. Agarwal HS. Subclinical cerebral edema in diabetic ketoacidosis in children. Clin
Case Rep. 2019 Feb;7(2):264-267
3. Flood K, Nour M, Holt T, Cattell V, Krochak C, Inman M. Implementation and
Evaluation of a Diabetic Ketoacidosis Order Set in Pediatric Type 1 Diabetes at a
Tertiary Care Hospital: A Quality-Improvement Initiative. Can J Diabetes. 2019
Jul;43(5):297-303.
4. Danne T, Garg S, Peters AL, Buse JB, Mathieu C, Pettus JH, Alexander CM,
Battelino T, Ampudia-Blasco FJ, Bode BW, Cariou B, Close KL, Dandona P,
Dutta S, Ferrannini E, Fourlanos S, Grunberger G, Heller SR, Henry RR, Kurian
MJ, Kushner JA, Oron T, Parkin CG, Pieber TR, Rodbard HW, Schatz D, Skyler
JS, Tamborlane WV, Yokote K, Phillip M. International Consensus on Risk
Management of Diabetic Ketoacidosis in Patients With Type 1 Diabetes Treated
With Sodium-Glucose Cotransporter (SGLT) Inhibitors. Diabetes Care. 2019
Jun;42(6):1147-1154.
5. EL-Mohandes N, Huecker MR. Pediatric Diabetic Ketoacidosis. [Updated 2019
Apr 1]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada
Diabetes Melitus Tipe-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017
7. Duca LM, Wang B, Rewers M, Rewers A. Diabetic ketoacidosis at diagnosis of
type 1 diabetes predicts poor long-term glycemic control. Diabetes Care
2017;40:1249–1255 2.
8. Aye T, Mazaika PK, Mauras N, et al.; Diabetes Research in Children Network
(DirecNet) Study Group. Impact of early diabetic ketoacidosis on the developing
brain. Diabetes Care 2019;42: 443–449
9. Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M., 2014. GRAY Dasar-Dasar
Anatomi. 1st ed. Singapore: Elsevier.
10. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus
Tipe-1 pada Anak dan Remaja Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017
12. Australian Paediatric Endocrine Group. Clinical Practice Guildelines: Type -1
Diabetes in children and Adolescents. 2005

Anda mungkin juga menyukai