Anda di halaman 1dari 161

DIKLAT RS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN M. DENGAN POST


OPERASI CORONARY ARTERY BYPASS GRAFTING (CABG) DENGAN
DEVICE CONTINOUS RENAL REPLACEMENT THERAPY (CRRT) DI
RUANG ICU BEDAH DEWASA RS JANTUNG DAN PEMBULUH
DARAH HARAPAN KITA, JAKARTA

STUDI KASUS
Disusun untuk Menyelesaikan Tugas Pelatihan Keperawatan
Kardiovaskular Tingkat Lanjut ICU Pasca Bedah Jantung Dewasa Tahun
2022

SUTRIANI UNDARININGSIH, S.Kep.Ns

PROGRAM PELATIHAN KEPERAWATAN KARDIOVASKULAR


TINGKAT LANJUT ICU PASCA BEDAH DEWASA RS JANTUNG DAN
PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA, JAKARTA
NOVEMBER 2022
HALAMAN PENGESAHAN

Studi Kasus ini diajukan oleh:

Nama : Sutriani Undariningsih, S.kep.Ns


Program : Pelatihan Keperawatan Kardiovaskuler Tingkat Lanjut
ICU Pasca Bedah Jantung Dewasa RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita
Judul studi kasus : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn M. dengan Post
Operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) I
dengan device Continuous Renal Replacement
Therapy (CRRT) Di Ruang ICU Bedah Dewasa RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.

Tim pembimbing:
Pembimbing : Ns. Wisnu Dwijanarko, S.kep (
)

Penguji I : Ns. Rachmat Basuki, S.kep (


)

Penguji II : Ns. Tandang Susanto, S.kep.,M.Kep ( )

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : November 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Studi
Kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn M. dengan Post
Operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) dengan device Continuous
Renal Replacement Therapy (CRRT) Di Ruang ICU Bedah Dewasa RS Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.” dengan lancar tanpa hambatan yang
berarti.

Studi Kasus ini disusun atas bimbingan, pengarahan, dan peran serta dari berbagai
pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:

1. Dr. dr Iwan Dakota, Sp. JP(K)., MARS., FACC., FESC selaku direktur utama
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

2. Ns. Wisnu Dwijanarko, S.Kep selaku pembimbing klinik

3. Ns. Rachmat Basuki, S.Kep selaku penguji I

4. Ns. Tandang Susanto, S.Kep.,M.Kep selaku penguji II

5. Perawat ruang ICU pasca bedah dewasa yang memberikan pengarahan dan
bimbingan

6. Staf pengajar DIKLAT yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat


dalam penulisan studi kasus ini

7. Teman-teman anggota kelompok dan semua pihak yang telah membantu


dalam penyelesaian studi kasus ini

Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam studi kasus


ini. Karena itu penyusun menerima saran dan kritik demi kesempurnaan laporan
studi kasus. Semoga laporan ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, November 2022

ii
Penyusun

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan penulisan .......................................................................... 3
1.3 Manfaat penulisan ........................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN TEORI .................................................................. 5
2.1 Konsep Dasar Coronary Artery Bypass Graft (CABG) ………... 5
2.2 Cardiac Surgery Associated-Acute Kidney Injury
(CSA-AKI) ……………………………………....................…. 21
2.3 Konsep Dasar Continous Renal Replacement Therapy
(CRRT) ..….................................................................................. 29
2.4 Asuhan Keperawatan Pasca Bedah CABG...…........................... 37
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ………………………………. 57
BAB IV TINJAUAN KASUS ................................................................ 60
4.1 Pengkajian ................................................................................... 60
4.2 Analisa Data ................................................................................ 72
4.3 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan ........................................ 77
4.4 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ................................... 89
BAB V PEMBAHASAN ........................................................................ 123

iii
5.1 CABG on Issues. ......................................................................... 123
5.2 Asuhan keperawatan pada pasien Tn M. ................................... 128
BAB VI PENUTUP ............................................................................... 145
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 145
6.2 Saran .......................................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mesin Pintas Jantung Paru (CPB)………………………… 10


Gambar 2.2 Alat Soft Cup-Like Suction pada Apeks di Ventrikel Kiri.. 16
Gambar 2.3 Plat Foot Suction untuk mengimobilisasi Posterior
Descending Artery untuk keperluan Anastomosi…………. 17
Gambar 2.4 Proses CABG off pump....................................................... 18
Gambar 2.5 Pembuluh Darah untuk Dilakukan Grafting ……………... 19
Gambar 2.6 Arteri Mammaria Interna (AMI) …………………………. 20
Gambar 2.7 Arteri Radialis ……………………………………………. 20
Gambar 2.8 Arterial and Venous of The Legs ………………………… 32
Gambar 2.9 Proses difusi ……………………………………………… 33
Gambar 2.10 Proses konveksi …………………………………………. 33
Gambar 2.11 Proses ultrafiltrasi ……………………………………….. 33
Gambar 2.12 Proses adsorbsi …………………………………………... 35
Gambar 2.13 Ilustrasi mode CRRT ……………………………………. 57
Gambar 3.1 Kerangka konseptual CABG on pump …………………… 58
Gambar 3.2 Model konseptual patofisiologi dari CSA-AKI …………... 59
Gambar 4.1 EKG postoperative hari ke-1 tgl 23/09/2022 jam 19.18 ….. 69
Gambar 4.2 Foto rontgen pasca operasi tgl 24/09/22 jam 09.46 ………. 70

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor resiko dari CSA-AKI ................................................... 22


Tabel 2.2 Kriteria RIFLE ........................................................................ 28
Tabel 2.3 Kriteria Acute Kidney Injury Network ……………………... 29
Tabel 2.4 Kriteria Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) ……………………………………………………. 29
Tabel 2.5 Status agitasi dan sedasi (SAS) ……………………………..
Tabel 2.6 Skala nyeri pasien yang terpasang ventilator ………………. 45
Tabel 4.1 hasil laboratorium …………………………………………... 46
Tabel 4.2 Hasil laboratorium analisa gas darah ……………………….. 65
Tabel 4.3 Hasil evaluasi echokardiografi ……………………………… 67
Tabel 4.4 Daftar terapi …………………………………………………. 68

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan kasus utama penyebab
kematian dan kesakitan pada manusia. Meskipun tindakan pencegahan sudah
dilakukan seperti pengaturan makanan (diet), menurunkan kolesterol dan
perawatan berat badan, diabetes dan hipertensi, penyakit jantung koroner ini
tetap menjadi masalah utama kesehatan. Penyakit jantung koroner merupakan
pembunuh nomor satu di negara-negara maju dan dapat juga terjadi di negara-
negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah mengemukakan
fakta bahwa penyakit jantung koroner merupakan epidemi modern dan tidak
dapat dihindari oleh faktor penuaan (Meilani dkk, 2021).
Data dari WHO tahun 2017 menyebutkan lebih dari 17 juta orang di dunia
meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Sekitar 31% dari
seluruh kematian di dunia, sebagian besar atau sekitar 8,7 juta disebabkan oleh
penyakit jantung koroner. Lebih dari 75% kematian akibat penyakit jantung
dan pembuluh darah terjadi di negara berkembang yang berpenghasilan rendah
sampai sedang. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020
menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh
kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker.
Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian,
yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian
yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu
diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK (Suciana
dkk, 2021).
PJK disebabkan adanya plak yang menumpuk di dalam pembuluh arteri
koroner. Padahal, pembuluh arteri bertugas untuk memasok darah kaya
oksigen ke jantung. Plak yang menumpuk menimbulkan penyempitan jalur

1
darah, sehingga aliran darah ke otot jantung bisa berkurang atau malah
tersumbat. Saat penyumbatan terjadi, seseorang dengan kondisi ini akan
mengalami gejala penyakit jantung, seperti nyeri dada, sesak napas, dan dalam
beberapa kasus serangan jantung bisa terjadi (Raikhanah, 2021). Prosedur
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan prosedur operatif yang
dilakukan untuk mengatasi PJK ketika terapi medikamentosa dan intervensi
perkutan tidak mampu mengatasi kondisi patologis (Ariany dkk, 2021).
CABG atau cangkok arteri koroner adalah prosedur pembedahan yang
bertujuan untuk menghilangkan penyumbatan arteri koroner dan
memaksimalkan aliran pembuluh darahnya. Pembuluh darah arteri atau vena
dari bagian tubuh lain dicangkokkan ke arteri koronaria pada daerah
penyumbatan, meningkatkan sirkulasi darah di arteri koronaria yang menuju
ke otot jantung. Arteri koronaria bisa mengalami sumbatan di satu atau lebih
dari satu titik. Prosedur ini dapat pula menurunkan resiko kematian akibat
penyakit jantung koroner (Naomi dkk, 2021).
Komplikasi yang mungkin terjadi setelah operasi CABG diantaranya
adalah komplikasi kardiovaskular, komplikasi hematologi dan komplikasi
ginjal. Komplikasi ginjal yang dapat terjadi yaitu kerusakan parenkim ginjal
tepatnya pada sistem tubular yang dapat menyebabkan timbulnya Acute
Kidney Injury (AKI) yang ditandai dengan peningkatan kreatinin dalam kurun
waktu 48 jam atau penurunan keluaran urin dalam kurun waktu 6 jam. Angka
kejadian AKI pasca operasi jantung berkisar antara 7,7% hingga 40%.
Penelitian yang dilakukan oleh Parlar & Saskin, mengidentifikasi angka
kejadian AKI pasca prosedur CABG sebesar 19,9% dari total 506 pasien. AKI
meningkatkan risiko kematian pada pasien pasca operasi jantung dengan
angka mortalitas mencapai 60% (Ariany dkk, 2021).
Cardiac Surgery Associated-Acute Kidney Injury (CSA-AKI) merupakan
salah satu komplikasi utama dari pembedahan jantung yang dapat terjadi pada
17% hingga 45% kasus, yang dimana 1-6,5% pasien yang terkena
membutuhkan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy/RRT).
CSA-AKI adalah penyebab paling umum kedua AKI dalam perawatan intensif
(setelah sepsis) dan secara independen terkait dengan mortalitas perioperatif 3-

2
8 kali lipat lebih tinggi, lama tinggal yang lama di unit perawatan intensif
(ICU) dan di rumah sakit, serta dapat menyebabkan peningkatan biaya
perawatan. Bahkan, resiko kematian yang terkait dengan AKI tetap tinggi
selama 10 tahun setelah operasi jantung terlepas dari faktor resiko lain,
walaupun pasien sudah mencapai pemulihan ginjal secara optimal (Fahmi dkk,
2020).
Perawatan pasca bedah jantung ini tentu saja memerlukan penanganan
yang sangat cepat dan tepat guna memulihkan kembali kondisi pasien karena
kondisi pasien pasca bedah jantung merupakan kondisi yang sangat kritis dan
dinamis. Oleh karenanya pasien pasca operasi jantung akan dirawat di ruang
intensif (ICU pasca bedah) agar dapat di observasi secara ketat (Hernawati,
2021). Perawatan paska bedah jantung melibatkan tim multidisiplin seperti
dokter bedah, anastesi dan perawat khusus intensive care.
Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Rumah Sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada periode 2021 tercatat jumlah operasi
CABG adalah 633 kasus dengan penggunaan device CRRT sebanyak 22
kasus. Pada tahun 2022 periode Januari hingga September tercatat jumlah
operasi CABG di kamar bedah sebanyak 450 kasus dengan penggunaan
device CRRT sebanyak 33 kasus.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil judul studi kasus
yaitu Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass
Graft (CABG) dengan device Continous Renal Replacement Therapy (CRRT)
Di Ruang ICU Dewasa Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Jakarta Tahun 2022.

1.2 Tujuan penulisan

1.2.1 Tujuan umum

Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien


pasca bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG) dengan device
Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) di ruang ICU dewasa

3
1.2.2 Tujuan khusus

1.2.2.1 Mampu melakukan pengkajian pada pasien pasca bedah Coronary Arteri
Bypass Graft (CABG) dengan device Continous Renal Replacement
Therapy (CRRT) di ruang ICU dewasa

1.2.2.2 Mampu merumuskan diagnosa pada pasien pasca bedah Coronary Arteri
Bypass Graft (CABG) dengan device Continous Renal Replacement
Therapy (CRRT) di ruang ICU dewasa

1.2.2.3 Mampu menentukan intervensi pada pasien pasca bedah Coronary Arteri
Bypass Graft (CABG) dengan device Continous Renal Replacement
Therapy (CRRT) di ruang ICU dewasa

1.2.2.4 Mampu melakukan implementasi pada pasien pasca bedah Coronary


Arteri Bypass Graft (CABG) dengan device Continous Renal Replacement
Therapy (CRRT) di ruang ICU dewasa

1.2.2.5 Mampu melakukan evaluasi pada pasien pasca bedah Coronary Arteri
Bypass Graft (CABG) dengan device Continous Renal Replacement
Therapy (CRRT) di ruang ICU dewasa

1.3 Manfaat penulisan

1.3.1 Dapat mendorong para perawat untuk lebih meningkatkan perhatiannya


terhadap perawatan pasien pasca bedah Coronary Arteri Bypass Graft
(CABG) dengan device Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) di
ruang ICU dewasa

1.3.2 Bisa menjadi salah satu referensi dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien pasca bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG) dengan
device Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) di ruang ICU
dewasa

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

2.1.1 Definisi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu operasi


yang dimaksudkan untuk memperbaiki aliran darah ke jantung, yang terutama
ditujukan pada penderita penyempitan berat koroner yang berpotensi tinggi
menimbulkan serangan jantung. Bypass juga dilakukan pada penderita dengan
penyempitan koroner yang berpotensi fatal, operasi ini juga direkomendasikan
apabila obat-obatan maupun pelebaran dengan balon atau pemasangan stent
tidak efektif dalam mengatasi gangguan koroner (Yahya, 2017).

Coronary artery bypass grafting (CABG) merupakan salah satu metode


untuk melakukan reperfusi pada pasien yang mengalami penyakit jantung
koroner. CABG adalah prosedur di mana arteri atau vena digunakan sebagai
cangkok untuk mengganti arteri koroner yang sebagian atau seluruhnya
tersumbat oleh plak atherosklerotik (Sibuea, 2020).

2.1.2 Tujuan Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Tujuan CABG adalah untuk revaskularisasi aliran arteri koroner akibat


adanya penyempitan atau sumbatan ke otot jantung (Muttaqin, 2020). Adapun
tujuan dari CABG adalah sebagai berikut:

 Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri coroner


 Mencegah terjadinya iskemia yang luas
 Meningkatkan kualitas hidup
 Meningkatkan toleransi aktifitas
 Memperpanjang masa hidup

5
2.1.3 Indikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Indikasi CABG tanpa gejala / angina ringan.

a. Kelas I

 Stenosis Left Main Coronary Artery yang signifikan


 Left main equivalen (stenosis signifikan 70% dari LAD proximal dan LCX
proximal)
 Three Vessel Desease (angka harapan hidup lebih besar dengan fungsi
LVEF 50%)

b. Kelas II

 Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease. Akan
menjadi kelas satu jika terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan non
invasif atau LV EF 50%
 Satu atau dua vessel desease tidak pada LAD
 Bila terdapat di daerah miocardium variabel yang besar berdasar kriteria
risiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasif akan menjadi kelas satu.

Indikasi CABG untuk angina stabil

a. Kelas I

 Stenosis Left Main Coronary Artery yang signifikan


 Left Main Equivalen stenosis 70% dari LAD proximal dan LCX proximal.
 Three Vessel Desease (dengan harapan hidup lebih besar dengan fungsi
LV terganggu misalnya LV EF 50%
 Two Vessel Desease dengan stenosis LAD proximal LV EF 50% atau
terdapat iskemik pada pemeriksaan non invasif.
 Satu atau dua Vessel Desease LAD yang signifikan tetapi terdapat daerah
miokardium variabel yang besar dan termasuk kriteria cukup tinggi dari
pemeriksaan non invasif
 Angina refraktur terhadap pengobatan yang maksimal.

6
b. Kelas II

 Stenosis LAD proximal dengan satu Vessel deseases


 Satu atau dua vessel desease tanpa stenosis LAD proximal yang signifikan

c. Kelas III

 Satu atau dua vessel desease tanpa LAD yang signifikan


 Stenosis coronary pada ambang batas (50 – 60% diameter pada lokasi
nonLeft Main Artery) dan tidak terdapat iskemik pada pemeriksaan non
invasif.

Indikasi CABG untuk Unstable Angina / NonQ Wave MI

a. Kelas I

 Stenosis Left Main Coronary yang signfikan


 Left Main Equivalen
 Iskemik yang mengancam dan tidak responsive terhadap terapi non bedah
yang maksimal

b. Kelas II A

 Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease

c. Kelas II B

 Satu atau dua vessel deasease tidak pada LAD

Indikasi CABG pada fungsi ventrikel kiri yang buruk

a. Kelas I

 Stenosis Left Main Coronary Artery yang signfikan


 Left Main Equivalen: stenosis signfikan 70% dari LAD proximal dan LCX
proximal
 Stenosis LAD proximal dengan dua atau tiga vessel desease

b. Kelas II

7
 Fungsi LV yang memburuk dengan area miokardium viable
terevaskularisasi tanpa adanya perubahan atau kelainan anatomis.

c. Kelas III

 Fungsi LV buruk tanpa adanya tanda dan gejala iskemik intermitten dan
tanpa adanya daerah miokardium yang viable dan terevascularisasi

Indikasi CABG pada Aritmia ventrikel yang mengancam jiwa

a. Kelas I

 Stenosis pada Left Main Coronary Artery


 Three Vessel Desease

b. Kelas II

 Satu atau dua vessel desease yang bisa dilakukan bypass.


 Akan menjadi kelas satu bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan
non invasif atau LV EF <50%.
 Jika terdapat miokardium yang besar dan termasuk kriteria resiko tinggi
dari hasil pemeriksaan non invasif akan menjadi kelas I
 Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease.

c. Kelas III

 Takikardi ventrikel tanpa skore dan tanpa bukti ada iskemik

Indikasi CABG pada pasca kegagalan PTCA

a. Kelas I

 Iskemik yang mengancam atau oklusi pada area miokard yang signfikan
 Hemodinamik yang tidak stabil

b. Kelas IIA

 Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem


koagulasi dan tidak memiliki riwayat sternotomi.

c. Kelas IIB

8
 Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem
koagulasi dan memiliki riwayat sternotomi.

d. Kelas III

 Tidak iskemik
 Revaskularisasi yang gagal oleh karena keadaan anatomi atau miokardium
yang tidak viable lagi.

Indikasi CABG pada pasien dengan riwayat CABG

a. Kelas I

 Angina refraktur terhadap pengobatan yang invasif maksimal

b. Kelas IIA

 Stenosis yamg nyata pada coroner distal yang memungkinkan dilakukan


bypass dengan daerah miokardium yang besar yang terancam pada
pemeriksaan

c. Kelas IIB

 Iskemik pada daerah distribusi nonLAD dengan graft arteri mamari interna
paten ke LAD yang memperdarahi area miokardium fungsional dan tanpa
usaha pengobatan medikal mentosa atau revaskularisasi percutan yang
agresif.

2.1.4 Kontraindikasi CABG

Adapun kontraindikasi CABG antara lain sebagai berikut (Terry &


Weaver, 2017):

 Faktor usia yang sudah sangat tua > 70 tahun


 Sumbatan kecil di koroner bagian distal
 Stenosis aorta yang berat
 Disfungsi ventrikel kiri yang berat
 Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner kronik akibat diabetes
mellitus dan EF yang sangat rendah <15%

9
 Sklerosis aorta yang berat
 Struktur arteri koroner yang tidak mungkin untuk disambung

2.1.5 Teknik CABG


Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu on pump dan
off pump. Masing – masing teknik memiliki kekurangan dan kelebihan
masing– masing.

2.1.5.1 CABG on pump

CABG on pump menggunakan mesin bypass cardiopulmonal (CPB)


dan operasi dilakukan dalam keadaan henti jantung. Operasi jantung dalam
keadaan henti jantung memberikan bidang operasi stabil, yang dapat
memfasilitasi anastomosis. Dalam beberapa dekade terakhir, CABG tanpa
CPB atau lebih dikenal dengan off pump menjadi lebih umum dilakukan
dengan kemajuan dalam instrumen dan teknik bedah (Amano et al, 2018).

Gambar 2.1 Mesin Pintas Jantung Paru (CPB)

Meskipun CABG dengan mesin CPB saat ini dilakukan dengan


morbiditas dan mortalitas yang sangat rendah dan dapat diterima (1,9%),
penggunaan bypass kardiopulmoner bukan tanpa risiko potensial yang
signifikan. CABG on-pump melibatkan penggunaan kanula di aorta
asenden dan atrium kanan untuk bypass kardiopulmoner serta kanula di

10
aorta asenden dan atrium kanan untuk kardioplegia. Selama operasi
CABG on-pump dilakukan, terjadi miokardium iskemik dan ditahan
dengan larutan kardioplegi yang formulanya tinggi kalium, mengandung
dekstrose, buffer pH, hiper osmolalitas, dan anastesi lokal. Rute
pemberiannya bisa melalui root aorta (antegrade) dan melalui sinus
coronaries (retrograde) serta melalui keduanya. Penjepit silang
ditempatkan pada aorta asendens untuk mengisolasi jantung (Lawton,
2017).
Pemanfaatan CPB melibatkan penggunaan tubing, reservoir vena,
oksigenator, pompa head roller, perangkat penghisap kardiotomi, dan
filter. Mesin CPB adalah sirkulasi ekstrakorporeal non-fisiologis yang
memberikan lapangan operasi yang tenang dan tanpa darah saat
dilakukan operasi jantung. Penggunaannya membutuhkan antikoagulasi
sistemik, hipotermia sistemik dan efek merugikan selanjutnya pada
sistem koagulasi dan paparan darah ke permukaan nonendotelial. CPB
juga terkait dengan respon inflamasi sistemik, hemodilusi dan
penghancuran konstituen darah, potensi embolisasi gas atau partikel, dan
potensi komplikasi yang melibatkan semua sistem organ (Lawton, 2017).
Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan mesin CPB
meliputi (Dabbagh et al, 2018):
 Reaksi inflamasi
Darah yang kontak dengan permukaan artificial dari sirkuit CPB akan
menimbulkan respon inflamasi dari seluruh sistem tubuh yang akan
bereperan penting pada kerusakan banyak organ. Paparan yang terus-
menerus dari darah yang sudah terheparinisasi ke permukaan artifisial
dari sirkuit perfusi dan sel-sel nonendotelial pada area luka akan
mengaktifkan komplemen anafilaksis, molekul adhesi, sitokin
proinflamasi, subtansi vasoaktif, koagulasi dan kaskade fibrinolitik.
Disamping itu, injuri reperfusi iskemik (akibat klem aorta, iskemia
miokard, cardioplegic arrest, dan declamping), endotoksemia (akibat
hipoperfusi splanik), hipotermia, trauma bedah, perdarahan, dan
transfusi darah yang dapat berkontribusi untuk mengaktifkan kaskade

11
inflamasi. Akumulasi dari neutrophil yang teraktivasikan bertanggung
jawab dalam menimbulkan pengeluaran mediator inflamasi yang
memberikan efek negatif pada semua organ. Derajat keparahan dari
respon inflamasi ini bisa memicu kondisi klinis yang ringan sampai
komplikasi yang berat (gagal respirasi, koagulapati, aritmia, dan
disfungsi organ.
 Efek hematologi
Semua komponen darah telah terkesan selama penggunaan CPB
dengan jalur kaskade yang berbeda. Interaksi tertutup dari sistem
koagulasi dan inflamasi mengagregasi efek ini. Waktu CPB yang lama
dan pengaruh dari substansi biomaterial pada area permukaan CPB
akan lebih berefek pada derajat keparahan dari aktivasi hormonal dan
selular. Pada sistem koagulasi, penurunan jumlah dan fungsi platelet,
aktivasi platelet, dilusi, dan konsumsi dari faktor-faktor koagulasi dan
peningkatan aktivitas fibrinolitik terjadi. Darah yang berkontak
dengan permukaan artifisial dan non fisiologis dari sirkuit CPB akan
menimbulkan aktivasi jalur koagulasi intrinsik. Jalur koagulasi
ekstrinsik diaktifkan pada darah perikardium, yang biasanya diaspirasi
dan dikembalikan ke pompa sirkulasi. Disamping itu, trauma mekanik
dari sel darah merah dan peningkatan fragilitas dari elemen sel dengan
oleh daya benturan, pencampuran dari darah pasien dengan larutan
primimg menimbulkan hemodilusi yang signifikan pada awal CPB.
Ada beberapa strategi untuk menurunkan semua respon ini yaitu
heparin coated pada sirkuit CPB, kortikosteroid, filter leukosit, dan
ultrafiltrasi.
 Pada ginjal
Setelah bedah jantung, hanya minimal perubahan kreatinin serum
sekecil 0,3 mg/dl atau 25% meningkat dari baseline dapat
memprediksikan prognosis yang buruk, bahkan itu masih dalam
rentang normal atau kembali ke baseline. Selama manajemen aktif
untuk mencegah perburukan ke depannya ada periode reversibilitas
yang sempit setelah itu. Deteksi awal dari AKI akan memberikan

12
kesempatan dalam memperbaiki hasil klinis. Keterlambatan dari injuri
sampe terdiagnosa dan setelah ditetapkannya AKI dapat
memyebabkan kurangnya kesuksesan dari penatalaksanaan AKI.
Penyebab utama dari AKI selama CPB meliputi:
o Kerusakan hemodinamik (low cardiac output perioperative,
hipovolemia, dan vasokontriksi)
o Injuri reperfusi iskemik dan pelepasan agen inflamasi
o Adanya emboli (antara gas atau partikel)
o Faktor predisposisi dari pasien itu sendiri (disfungsi ventrikel
kiri, bedah emergensi, disfungsi ginjal sebelumnya, faktor usia,
agen nefrotoksik, anemia preoperatif, transfusi darah, dan
kebutuhan penggunaan IABP).
CPB menyebabkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR akibat
aliran nonpulsatile. Di samping itu durasi dari penggunaan mesin CPB
dan waktu cross clamp aorta, hemolisis, dan hemodilusi.
 Masalah paru-paru
Disfungsi pulmonal dan ventilasi yang lama setelah bedah jantung
diketahui merupakan masalah dan penyebab dari morbiditas. Hal ini
terjadi sebagai kombinasi dari efek anastesi, trauma bedah, dan CPB.
Patofisiologinya begitu kompleks dan multifaktorial meliputi;
o Perfusi paru yang tidak adekuat
o Injuri reperfusi yang iskemik
o Perubahan mekanisme respirasi (pembukaan pleura, dan
kurangnya integritas dinding dada)
o Hiperoxemia
o Transfusi produk darah
o Kontak darah dengan permukaan sirkuit CPB
o Reaksi inflamasi lokal dan sistemik.
Aliran darah ke pulmonal dihentikan selama cross clemp aorta perfusi
paru berkurang ke sistem arterial bronkial. Kondisi iskemik ini
menghasilkan efek kerusakan yang berlebih. Penelitian menyebutkan
bahwa ada akumulasi neutrofil pada paru selama CPB teraktivasi,

13
pengeluaran dari mediator kimia dan enzim proteolitik selama
kerusakan paru. Disamping itu, respon inflamsi, volume yang
berlebihan selama CPB memainkan peran penting dalam akumulasi
cairan intertisial di paru. Hal ini menunjukkan bahwa waktu CPB
yang lama,bedah katuip aorta, kombinasi dari prosedur CABG/katup
merupakan faktor independen dari gangguan respirasi postoperatif.
 Masalah sistem saraf pusat
Abnormalitas neurologis meliputi stroke (prolong atau permanen
defisit neurologi fokal) dan disfungsi kognisi postoperatif yang
merupakan masalah yang relatif umum selain perbaikan masalah
anastesi teknik bedah. Faktor dari pasien yang dihubungkan dengan
gangguan neurokognitif meliputi:
o Peripheral vascular desease
o Diabetes melitus
o Riwayat stroke
o Kebutuhan transfuse yang tinggi
o Operasi yang urgensi
o Tipe dari pembedahan (CABG, operasi katup, atau operasi arkus
aorta)
o Usia
o Atrial fibrilasi post operatif
Mekanisme yang berkaitan dengan pengunaan CPB yaitu:
o Makro dan mikroemboli (udara, plak atheroma, partikel
inorganik dan biologis dari prosedur jantung terbuka)
o Respon inflamasi sitemik
o Hipoperfusi perioperatif dan status low cardiac output
o Kalsifikasi aorta yang luas
o Waktu penggunaan CPB yang lama
o Perdarahan
o Hipertermia serebral

14
2.1.5.2 CABG off pump

Dalam upaya untuk mengurangi efek negatif dari CPB, CABG off
pump (OPCAB) pada jantung yang berdetak disarankan sebagai solusi dan
pengurangan prosedur invasif menjadi pilihan sejak awal tahun 1990an.
Sangat penting untuk menyeimbangkan keuntungan/kerugian OPCAB vs
CPB. Selama CPB, aktivasi mekanisme fisiologis (karena kontak darah
dengan permukaan sirkuit bypass buatan, trauma bedah, dan cedera
reperfusi iskemik) adalah penyebab dari respon inflamasi sistemik, yang
mempengaruhi banyak sistem organ. Respons ini secara signifikan lebih
sedikit dalam operasi OPCAB. Koagulopati dan aktivasi kaskade
fibrinolitik sebagian besar disebabkan oleh CPB tidak terjadi pada pasien
OPCAB. Lebih sedikit kehilangan darah dan kebutuhan transfuse dalam
operasi OPCAB. Pemeliharaan fungsi ginjal yang lebih baik terlihat pada
pasien OPCAB dengan pencegahan hipoperfusi ginjal dan aliran non-
pulsatil dalam keadaan CPB. Bahkan pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis, operasi OPCAB dikaitkan dengan lebih sedikit kematian di rumah
sakit dan kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal. Ada perlindungan
miokard yang lebih baik dan pemulihan yang cepat di OPCAB. tidak
menggunakan klem silang aorta dan henti jantung. Penggunaan shunt
intrakoroner mempertahankan aliran darah mengalir ke bagian distal arteri
koroner selama operasi. Namun, tidak ada perbedaan yang meyakinkan
sehubungan dengan mortalitas jangka pendek dan MI pasca operasi.
Pasien OPCAB dengan penyakit paru yang sudah ada sebelumnya
memiliki klinis pasca operasi yang tidak lebih baik. Ini dapat dimaknai
karena lebih banyak reaksi inflamasi di paru-paru dan retensi cairan yang
diamati selama operasi dengan CPB. Efek perlindungan OPCAB pada
fungsi end-organ dan profil hasil yang lebih aman ditunjukkan pada
operasi ulangan. Tidak ada kecenderungan penurunan komplikasi
neurologis (stroke emboli dan disfungsi kognitif) pada pasien OPCAB. Ini
mungkin terkait bagian dari cross clamp aorta yang digunakan pada
anastomosis proksimal dan risiko embolisasi dari plak aterosklerotik.
Untuk mengurangi kejadian neurologis pasca operasi dengan adanya

15
penyakit aorta asendens, OPCAB dengan revaskularisasi arteri total
(teknik aorta tanpa sentuhan) dijelaskan untuk mencegah manipulasi aorta.
Dekompresi ventrikel oleh CPB mengurangi konsumsi oksigen miokard,
sementara operasi OPCAB mencegah iskemia miokard global dengan
menghindari cross clamp aorta (Dabbagh et all, 2018)

Kekhawatiran tentang OPCAB adalah revaskularisasi yang tidak


lengkap, lebih sedikit cangkok per pasien, anastomosis suboptimal dan
patensi cangkok, ketidakstabilan hemodinamik selama operasi, dan
peningkatan intervensi ulang koroner. Ini adalah suatu teknik yang
menantang bagi dokter bedah dan membutuhkan lebih banyak waktu dan
pengalaman dengan kurva pembelajaran yang panjang sehingga tidak akan
membahayakan pasien dalam jangka panjangnya (Dabbagh et all, 2018).

CABG off-pump adalah teknik CABG dimana operasi dilakukan


tanpa bantuan mesin CPB dan dilakukan tanpa menghentikan detak
jantung pasien. Teknik CABG off pump (tanpa pintas kardiopulmoner)
membutuhkan manipulasi jantung sambil mempertahankan stabilitas
hemodinamik. Operasi dilakukan dengan sternotomi untuk mencapai
semua area jantung. Manipulasi jantung difasilitasi oleh penggunaan alat
penghisap/suction. Perangkat seperti cangkir lunak yang memungkinkan
pergerakan jantung dilokalisasi pada apeks ventrikel kiri untuk
memanipulasi jantung (Lawton, 2017).

Gambar 2.2 Alat Soft Cup-Like Suction pada Apeks di Ventrikel Kiri

16
Pembuluh target kemudian diimobilisasi lebih lanjut dengan
menggunakan perangkat foot plate dengan beberapa pod hisap. Lengan
kedua perangkat hisap dipasang di ruang ke retraktor sternum dan dapat
disesuaikan sesuai kebutuhan. Dengan cara ini, pembuluh target
diimobilisasi di ruang hampa untuk memfasilitasi anastomosis. Cangkok
bypass harus dijahit ke pembuluh target saat jantung berdetak dan paru-
paru berventilasi aktif. Pasien biasanya diposisikan dalam posisi
Trendelenburg untuk memfasilitasi pengembalian vena ke jantung.
Komunikasi yang konstan dengan ahli anestesi sangat penting untuk
keberhasilan operasi karena rentannya perubahan hemodinamik selama
prosedur operasi (Lawton, 2017).

Gambar 2.3 Plat Foot Suction untuk mengimobilisasi Posterior


Descending Artery untuk keperluan Anastomosis

Gambar 2.4 Proses CABG off pump

17
Berbeda dengan CABG on-pump, tidak ada penjepit silang yang
ditempatkan melintasi aorta, aorta tidak dikanulasi, atrium kanan tidak
dikanulasi, tidak ada kardioplegia yang diberikan, jantung tidak berhenti,
paru-paru tetap mengembang, dan tubuh tidak terkena aliran non - pulsatil
dan semua komplikasi potensial dari mesin bypass kardiopulmoner
(Lawton, 2017)

2.1.6 Teknik Pengambilan Pembuluh Darah

Pembuluh darah yang digunakan sebagai bypass ada 3 pembuluh darah


yang sering digunakan sebagai bypass, yaitu arteri mamaria interna kiri,
arteri intra thorakal kiri, arteri radialis dan vena safena magna (Smeltzer and
Bare, 2021).

Gambar 2.5 Pembuluh darah untuk dilakukan grafting

2.1.6.1 Arteri mammaria interna (AMI)

Biasanya berasal dari dinding bawah arteri subklavia, melewati bagian


atas pleura dan tepat lateral terhadap sternum. Penggunaan AMI dengan
ujung proksimal masih dihubungkan ke arteri subklavia. AMI kiri lebih
panjang dan lebih besar sehingga sering digunakan sebagai bypass arteri
coroner (Shapira et al, 2019). AMI sering digunakan karena memiliki
kepatenan pembuluh darah yang baik. Studi menunjukkan bahwa sekitar
96% kasus CABG yang menggunakan AMI dapat bertahan lebih dari 10
tahun. AMI sering digunakan untuk bypass arteri left anterior ascenden. Hal

18
ini disebabkan karena jarak/lokasi LIMA dan LAD berdekatan serta berada
pada sisi yang sama.

Gambar 2.6 Arteri mammaria interna (AMI)

2.1.6.2 Arteri radialis

Arteri ini melengkung melintasi sisi radialis tulang Carpalia di bawah


tendo Musculus Abductor Pollicis Longus dan tendo Musculus extensor
Pollicis Longus dan Brevis. Arteri radialis diinsisi lebih kurang 2 cm dari
siku dan berakhir 1 inchi dari pergelangan tangan. Biasanya sebelum
dilakukan pemeriksaan Allen Test untuk mengetahui kepatenan arteri
ulnaris jika arteri radialis diambil. Pada pasien yang menggunakan arteri
radialis harus mendapatkan terapi Ca Antagonis selama 6 bulan setelah
operasi menjaga agar arteri radialis tetap terbuka lebar. Sebuah studi
menunjukkan bahwa arteri radialis memberikan lebih banyak kemampuan
revaskularisasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan vena safena.

19
Gambar 2.7 Arteri radialis

2.1.6.3 Vena Safena

Ada dua vena safena yang terdapat pada tungkai bawah yaitu vena
safena magna dan parva. Namun yang sering dipakai sebagai saluran baru
pada CABG adalah vena safena magna. Vena safena sering digunakan
karena diameter ukurannya mendekati arteri coroner.

Gambar 2.8 Arterial and venous of the legs

20
2.2 Cardiac Surgery Associated-Acute Kidney Injury (CSA-AKI)

Operasi jantung hadir dengan komplikasi pasca operasi, terutama ketika


bypass cardiopulmonary (CPB) digunakan. Cedera ginjal akut (AKI)
masih menjadi salah satu komplikasi yang paling umum dengan efek
merusak setelah operasi jantung lebih dari dua juta prosedur bedah jantung
dilakukan di seluruh dunia setiap tahun. Sebuah tinjauan sistematis baru-
baru ini dan meta-analisis menemukan insiden total AKI pada pasien
dewasa setelah operasi jantung menjadi 22,3%.

AKI adalah sindrom klinis yang luas dimana terjadi perubahan kecil
pada penanda fungsi ginjal dan berkembang menjadi kebutuhan akan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT). Resiko kematian
pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi berkisar antara 5 sampai
30% ketika kadar kreatinin serum 1,5 mg/dl, yang menjadikan kreatinin
serum sebagai resiko independen faktor morbiditas dan mortalitas setelah
operasi jantung (Leballo and Chakane, 2020).

Dalam evaluasi retrospektif pasien dewasa dengan penyakit jantung di


unit perawatan intensif (ICU) setelah bypass arteri coroner graft (CABG)
atau operasi katup oleh Machado et al., menggunakan Kidney Disease
Improving Global Outcomes (KDIGO) kriteria dalam kelompok pasien
yang ditampilkan dengan peningkatan kadar kreatinin serum sebelum
operasi, pasien dengan peningkatan kreatinin serum pada periode pra-
operasi terkait dengan tingginya Nilai EuroSCORE dan peningkatan durasi
CPB dan lama rawat di ICU mengembangkan AKI terkait pasca operasi
jantung (CSA-AKI). Di studi kohort ini dari 918 pasien, 391 (43%)
berkembang menjadi CSA-AKI. Penentuan diagnosis AKI menggunakan
kriteria KDIGO menunjukkan menjadi prediktor kuat dari kematian dalam
30 hari. O'Neal dkk. faktor risiko dibagi menjadi pra, intra dan risiko pasca
operasi. Peningkatan usia, jenis kelamin perempuan dan penyakit penyerta
seperti hipertensi, diabetes melitus,

21
Penyakit ginjal kronis, hiperlipidemia, vaskular perifer penyakit,
anemia dan merokok merupakan faktor yang berkontribusi dalam periode
pra-operasi. CPB merupakan faktor risiko intraoperasi yang berperan
dalam patofisiologi CSA-AKI. Sel darah merah rusak oleh sirkuit CPB,
yang mengakibatkan dalam pelepasan hemoglobin bebas, merusak tubulus
ginjal dengan menurunkan kadar haptoglobin plasma dan meningkatkan
produksi radikal oksigen bebas (Leballo and Chakane, 2020).

Tabel 2.1 Faktor resiko dari CSA-AKI

(Sumber: Brazilian Journal of Cardiovascular Surgery, 2019)

22
2.2.1 Patofisiologi

Perkembangan AKI setelah operasi jantung adalah fenomena klinis


yang kompleks. Sebelumnya digambarkan sebagai sekunder hanya untuk
iskemia dan cedera reperfusi. Namun patofisiologi CSA-AKI baru-baru ini
terlihat menjadi multifaktorial dan penyebabnya telah diklasifikasikan
sebagai pra-renal, renal dan paska renal. Bellomo et al. menjelaskan
bahwa patofisiologi melibatkan beberapa mekanisme cedera. Faktor
genetik juga telah digambarkan ikut berkontribusi terhadap CSA-AKI.

 Iskemia ginjal dan cedera reperfusi

Iskemia dan cedera reperfusi telah digambarkan sebagai penyebab yang


paling umum CSA-AKI. Mekanisme cedera adalah: berhubungan dengan
penurunan pengiriman oksigen, transportasi nutrisi yang buruk dan
pembuangan produk limbah yang buruk di sel tubulus ginjal. Penelitian
telah menunjukkan bahwa itu bukan hanya penurunan GFR yang
mengarah ke AKI, tetapi juga perbedaan regional aliran darah. Ini
disebabkan oleh peningkatan metabolik yang tinggi luar medulla ginjal
dengan tekanan oksigen parsial lebih rendah (PaO2) 10-20 mmHg
terhadap bagian lain dari ginjal, sehingga rentan terhadap episode
hipoksia.

Pada periode peri-operatif, iskemia ginjal dapat terjadi karena curah


jantung (CO) rendah setelah syok kardiogenik. Aktifasi sistem saraf
simpatik (SNS) dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) karena
penurunan CO akan menyebabkan vasokonstriksi sistemik, sehingga
menurunkan aliran darah ginjal dan menyebabkan GFR rendah. Faktor
utama yang terkait dengan AKI pasca operasi jantung adalah penurunan
cadangan fungsional dan iskemia ginjal peri-operatif.

 Peradangan dan stress oksidatif

Hipoksia jaringan ginjal akibat hipoperfusi ginjal akibat penurunan CO


dan GFR bertanggung jawab untuk terjadinya proses inflamasi dan stress
oksidatif yang mengikutinya. Sel endotel cedera akibat iskemia sehingga

23
menimbulkan peradangan jaringan. Selectins memfasilitasi adhesi leukosit
pada endotel yang injury. Proses Ini menimbulkan respon kaskade
inflamasi. Sitokin pro-inflamasi seperti nekrosis tumor faktor-alpha (TNF-
α), interleukin 6 dan 8 (IL-6, IL-8) dan sitokin kemotaktik telah terlibat
dan berkontribusi terhadap respon iskemia jaringan lokal yang
mengakibatkan respon maladaptif jaringan inflamasi. Neutrofil dan
monocyte/lymphocyte ischaemia-induced kidney damage juga telah
disebutkan. Kaskade inflamasi ini menghasilkan disfungsi sistem dari
nitric oxside endotel ginjal, yang berperan penting dalam suplai oksigen
ginjal.

 Nefrotoksin

pasien bedah jantung terkena berbagai agen nefrotoksik pada periode


perioperatif. Ini mungkin termasuk obat-obatan dalam bentuk obat resep
seperti antibiotik, agen antihipertensi, diuretik, agen anti inflamasi non-
steroid (NSAID) dan agen radiokontras yang digunakan selama prosedur
diagnose medis.

Aminoglikosida dan antibiotik beta (β)-laktam adalah dua kelompok


agen yang paling terlibat dalam menyebabkan nefritis interstisial akut,
yang mengarah ke AKI yang diinduksi obat-obatan. Antibiotik juga dapat
menyebabkan cedera langsung pada ginjal.

Hipertensi telah terbukti menjadi salah satu faktor risiko AKI dari
tindakan pra-operasi. Pada pasien yang menjalani operasi jantung.
Fuhrman dan Kellum telah menghubungkan AKI terkait hipertensi dan
penggunaan agen penghambat reseptor angiotensin-2 (ARB), yang
menghambat vasokonstriksi arteriol eferen ginjal di periode pra-operasi.
Pasien dengan ARB dan agen diuretik memiliki peningkatan resiko
hipovolemia, yang dapat memperburuk kondisi renal. Percobaan acak telah
menunjukkan penggunaan profilaksis dari loop diuretic, seperti
furosemide, menjadi tidak efektif dan berbahaya saat digunakan pada
periode peri-operatif pada pasien yang dijadwalkan untuk operasi jantung.
Sebagai bagian dari rekomendasi mereka, Kellum, Lameire dan kelompok

24
kerja pedoman KDIGO AK. Disarankan terhadap penggunaan furosemide
sebagai agen profilaksis dalam mencegah AKI, dan untuk menghindari
penggunaan agen diuretik dalam mengobati AKI. NSAID juga telah
terbukti memperburuk fungsi ginjal. Pada kelompok pasien yang rentan.
Paparan terhadap radiokontras pada periode peri-operatif berkontribusi
pada risiko nefropati yang diinduksi oeh kontras dan idealnya harus
dihindari.

 Aktivasi metabolik dan neurohormonal

Operasi jantung merangsang SNS dan aksis hipotalamus adrenal


hipofisis. Aktivasi ini menghasilkan pelepasan agen neurohormonal,
termasuk adrenalin dan noradrenalin dari kelenjar adrenal. Zhang et al.
melaporkan bahwa selama jantung operasi dengan CPB, konsentrasi
plasma adrenalin dan noradrenalin mencapai tingkat puncak. Konsentrasi
yang tinggi dalam plasma dari zat endogen ini menimbulkan hemodinamik
yang tidak menentu. Sehingga kondisi ini yang berkontribusi terhadap
cedera ginjal intraoperatif. Peningkatan tonus simpatik telah
menyebabkan kebijakan penggunaan agonis alfa-2-adrenergik seperti
dexmedetomidine dan clonidine untuk mengurangi kejadian AKI.

 Genetika

Studi asosiasi genome-wide (GWAS) untuk AKI setelah operasi CABG


dilakukan pada tahun 2015 oleh Stafford-Smith dan rekannya. Mereka
menemukan dilaporan sebelumnya bahwa lokus polimorfisme nukleotida
tunggal (SNP) terkait dengan fungsi ginjal, ada dua lokus baru yang secara
khusus terkait dengan peningkatan risiko AKI setelah operasi jantung.
Penemuan ini berpotensi meningkatkan rasa ingin tahu peneliti untuk
meneliti lebih lanjut hubungan antara AKI dan pembedahan cardiac pada
tingkat genetik.

 Durasi CPB

CPB telah dilaporkan menginduksi systemic inflammatory response


syndrome (SIRS), yang merupakan mekanisme terkait dengan

25
perkembangan AKI pada pasien bedah jantung. Dalam meta-analisis 2012
oleh Kumar et al., sembilan studi dimasukkan, menghasilkan kohort
12.466 pasien, di mana total 756 pasien mengalami AKI setelah operasi
jantung, berkorelasi dengan durasi CPB yang lebih lama. Demikian pula,
Mao et al. telah menunjukkan hubungan yang kuat antara operasi jantung
terkait AKI dengan waktu CPB yang lebih lama. Mini-CPB telah
ditemukan untuk menawarkan manfaat dari peningkatan fungsi ginjal
setelah operasi jantung. Karena menyebabkan respons inflamasi yang lebih
rendah dengan penurunan hemodilusi bila dibandingkan dengan CPB
konvensional.

 Hipotermia

Selama operasi jantung, pasien sering didinginkan dengan suhu


sistemik di bawah 32°C memungkinkan periode penurunan aliran darah
yang lebih lama Dalam meta-analisis dari 19 acak, uji coba terkontrol
dengan 2.218 pasien, hipotermia terapeutik tidak terlihat untuk mencegah
perkembangan AKI atau persyaratan untuk RRT. Telah disimpulkan
bahwa proses penghangatan kembali pasien paska operasi jantung bisa
menjadi salah satu hal terkait peningkatan iskemia dan cedera reperfusi
pada ginjal. Hipotesis ini diuji dalam sebuah penelitian oleh Boodhwani et
al. pada efek hipotermia ringan dan rewarming pada fungsi ginjal setelah
operasi CABG. Dalam percobaan acak ini, pasien yang menjalani operasi
CABG elektif dibagi ke dalam dua kelompok. Pada kelompok pertama,
pasien didinginkan hingga suhu 32°C selama CPB dan kemudian
ditetapkan secara acak dihangatkan kembali hingga 34°C atau 37°C. Hasil
menunjukkan peningkatan serum kreatinin pada pasien yang dihangatkan
kembali hingga 37°C. Mereka menyimpulkan bahwa penghangatan ulang
hingga 37°C harus dihindari karena berkontribusi pada cedera ginjal pasca
operasi.

 Teknik on-pump versus off-pump

CPB terlibat dalam memunculkan respon SIRS yang menyebabkan AKI


terkait dengan operasi jantung. Off-pump coronary artery bypass

26
(OPCAB) menimbulkan lebih sedikit respons SIRS jika dibandingkan
dengan operasi CABG on-pump. Perfusi ginjal yang lebih baik dan
penurunan embolisasi sistemik telah ditemukan. Namun masih ada bukti
yang bertentangan dalam literatur saat ini Ketika membandingkan kedua
teknik ini, dengan beberapa penulis menunjukkan bahwa OPCAB lebih
unggul dari CABG on-pump, sementara penulis lain berasumsi hal ini
tidak menunjukkan variasi.

 Anemia

Pada AKI, anemia perioperative berkontribusi pada penurunan dalam


pengiriman oksigen ke tubulus ginjal, oleh karena itu menimbulkan stres
oksidatif, terutama di medula ginjal yang sudah terganggu. Stres oksidatif
adalah sebagai akibat dari pengurangan sel darah merah, yang juga
memiliki fungsi antioksidan. Kondisi anemia akan lebih diperburuk akbat
operasi jantung karena curah jantung akan menurun lebih lanjut, sehingga
mempengaruhi tekanan perfusi ginjal. Terkait komplikasi CPB yang
mengakibatkan fungsi trombosit yang buruk dikombinasikan dengan
anemia, yang membutuhkan transfusi darah, dipandang sebagai faktor
yang berkontribusi pada risiko tambahan AKI.

 Transfusi darah

Transfusi sel darah merah bukan tanpa komplikasi. Koch dkk.


Menunjukkan bahwa durasi penyimpanan sel darah merah dapat
menyebabkan komplikasi berikut: operasi jantung. Mereka menyimpulkan
bahwa sel darah merah yang lebih tua dari dua minggu dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi operasi jantung pasca operasi. Perubahan
struktur dan fungsional pada sel darah merah adalah terbukti termasuk
penipisan adenosin trifosfat (ATP) dan 2,3 diphosphoglyrecate (2,3 DPG)
dalam sel darah merah. Perubahan dalam struktur protein sel darah merah
membuat sel darah cepat rusak dan berkontribusi dalam kondisi pro
inflamasi sel. Kerusakan dari bentuk sel darah merah ini menyebabkan
injury pada organ target seperti ginjal dan gangguan dari oxygen delivery.
Miskinnya penghantaran oksigen ke ginjal menyebabkan gangguan pada

27
jaringan ginjal, yang fenomena ini dinamakan “kidney attack” yang
menghasilkan injury iskemik.

 Hipovolemia

Hipovolemia telah diakui sebagai faktor risiko yang signifikan dalam


perkembangan AKI setelah operasi jantung. Status volume seorang pasien
memainkan peran penting dalam periode perioperatif karena terkait dengan
CO. CO yang rendah menyebabkan aktivasi SNS yang akhirnya
merangsang RAAS, sehingga mengakibatkan vasokonstriksi. Pilihan
antara kristaloid dan koloid untuk ekspansi volume intravascular masih
menjadi topik perdebatan.

2.2.2 Kriteria AKI

Pada tahun 2012, The Kidney Disease Improving Global Outcomes


(KDIGO) membagi stadium klinis AKI berdasarkan kriteria RIFLE terdiri
dari stadium 1,2, dan 3. Insidensi AKI di ruang ICU meningkat bermakna
dimana didapatkan lebih dari 50% pasien ICU mengalami AKI stadium 1
dan sekitar 10% mengalmi stadium 2 atau 3.

Tabel 2.2 Kriteria RIFLE

Kelas Kriteria GFR Kriteria pengeluaran urin


Risk Kreatinin serum 1,5x < 0,5 ml/kg/jam selama 6jam
Injury Kreatinin serum 2x < 0,5/kg/jam selam 12jam
Failure Kreatinin serum 3x, atau ≥ < 0,3 ml/kg/jam selama 24
4mg/dl jam atau anuria selama12 jam
Loss Gagal ginjal akut persisten = fungsi ginjal hilang komplit
selam > 4 minggu

ESRD Penyakit ginjal tahap akhir > 3 bulan


(Sumber: buku konsep dasar CRRT, 2019)

28
Tabel 2.3 Kriteria Acute Kidney Injury Network

Kriteria kreatinin Kriteria pengeluaran urine


Kreatinin ≥ 0,3 mg/dl Pengeluaran urin < 0,5 ml/kg/jam
selama 6 jam
Risk atau stadium 1
Kreatinin ≥ 150% dan < 200%
dari nilai basal
Injury atau stadium 2 Pengeluaran urin < 0,5 ml/kg/jam
Kreatinin ≥ 200% dan < 300% selama 12 jam
dari nilai basal
Failure atau stadium 3 Pengeluaran urin < 0,3 ml/kg/jam
Kreatinin >300% dari nilai basal selama 24 jam atau anuria selama
ATAU ≥ 4,0 mg/dl dan ≥ 0,5 12jam
mg/dl
(Sumber: buku konsep dasar CRRT, 2019)

Table 2.4 Kriteria Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)

Stadium Kriteria kreatinin serum Kriteria pengeluaran urin


(SCr)
1 Peningkatan > 26 umol/l dalam <0,5 ml/kg/jam selama >6
48jam jam
2 ATAU peningkatan > 1,5-1,9 x <0,5 ml/kg/jam selam >12
SCr referensi jam
3 Peningkatan ≥ 2-2,9 x SCr <0,3 ml/kg/jam selama >24
referensi jam atau anuria selam 12
Peningkatan > 354 u.mol/l jam
ATAU mulai RRT tanpa

29
mempedulikan stadium
(Sumber: buku konsep dasar CRRT, 2019)

2.3 Continous Renal Replacement Theraphy (CRRT)

Salah satu aspek penting dalam penangan AKI di ICU adalah deteksi
dini kejadian AKI. Kurangnya sarana diagnostik sering menjadi halangan
utama dalam melakukan deteksi dini tersebut, khususnya pada negara-
negara berkembnag. Pedoman yang dibuat oleh Europian Society of
Intensive Care memberikan pendekatan terhadap pencegahan AKI. Namun
bila kondisi klinis pasien sudah berada pada kondisi yang berat, biasanya
akan terjadi ketidakseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, dan hasil
ekskresi lainnya. Kondisi pasien tersebut membutuhkan RRT untuk
mencegah terjadinya kerusakan dan komplikasi lanjutan lainnya yang
dapat mengancam jiwa (Jonny, 2019).

Pilihan modalitas RRT merupakan landasan dalam pengelolaan AKI di


ICU. Pada umumnya, 5% dari pasien ICU dengan AKI yang berat
membutuhkan RRT. Renal Replacement Therapy bekerja dengan cara
membuang solute atau zat terlarut dan cairan yang tidak diperlukan,
koreksi elektrolit, serta normalisasi gangguan asam basa melalui
membrane semi permeable. Beberapa modalitas RRT yang saat ini
digunakan di ICU antara lain dialisis peritoneal (Peritoneal Dialysis/PD),
hemodialisis intermiten (Intermitten Hemodialisis/IHD), Slow Low-
Efficiency Daily Dialysis (SLEDD), Continous Renal Replacement
therapy (CRRT) (Jonny, 2019).

CRRT merupakan dialisis yang dilakukan secara Continuous atau terus


menerus selama 24 jam dengan menggunakan alat extra corporal bagi
seluruh sirkulasi darah dari arteri ke vena, atau vena ke vena melalui
penyerapan hemofilter sebagai terapi pengganti ginjal ini sering digunakan
pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil karena dapat

30
mentoleransi pengeluaran cairan dan elektrolit dalam jumlah sedikit dan
terus menerus

2.3.1 Tujuan CRRT

Bertujuan untuk menggantikan beberapa fungsi ginjal yang hilang/rusak


dengan menggunakan ginjal buatan.

 Mengeluarkan produk akhir metabolisme protein. Seperti: Ureum,


BUN, Creatinin, Asam urat
 Mengoreksi elektrolit yang abnormal
 Membuang kelebihan cairan
 Mempertahankan dan mengembalikan sistem buffer tubuh.
 Stabilisasi hemodinamik
 Support nutrisi
 Pembersihan mediator sepsis

2.3.2 Indikasi CRRT

Indikasi penggunaan CRRT hampir sama dengan indikasi pada


penggunaan tehnik Renal Replacement Therapy lainnya, hanya berbeda
dalam kondisi klinis pasien dan waktu pemberian therapy. Pada CRRT
waktu yang diperlukan kontinue selama 24 jam dan proses dialisat nya
hanya menggunakan blood flow yang rendah dengan filtrasi cairan yang
rendah juga sehingga tidak menimbulkan gangguan hemodinamik lebih
lanjut lagi pada pasien yang masih tidak stabil hemodinamik. Indikasi
lainnya yaitu:

 Asidosis Metabolik
 Intoksifikasi
 Uremic / Azotemia
 Elektrolit Imbalanced
 Overhidras

31
2.3.3 Prinsip CRRT

 Difusi adalah perpindahan zat secara spontan dari area konsentrasi


tinggi ke area konsentrasi yang lebih rendah. Perpindahan zat ini
terjadi oleh karena adanya pergerakan tidak teratur dari zat senyawa
kimia. Kecepatan difusi biasanya sebanding dengan konsentrasi
perpindahan zat. Molekul mengalir secara berkesinambungan baik
saat masuk atau keluar dari area masing-masing. Difusi dari solute
yang melewati sebuah membrane disebut dialisis, khususnya Ketika
solute berhasil menembus membrane kemudian dipertahankan.
Selama proses hemodialisis, proses difusi didorong oleh adanya
perbedaan konsentrasi solute dalam darah dan cairan dialisat.
Perpindahan solute juga bergantung pada besarnya kecepatan difusi,
yang juga ditentukan oleh karakteristik solute (ukuran, beban, dan
ikatan protein), membrane dialisat (tipe, porositas, ketebalan, dan luas
permukaan), kecepatan pengantaran solute dan konsentrasi cairan
dialisat.

Gambar 2.9 Proses difusi

 Konveksi adalah pergerakan solven dan zat terlarut melalui


membrane dengan adanya perbedaan tekanan “solvent drag”.
Transport konveksi terjadi karena kekuatan bergesek antara solute dan
air, efektif mengeluarkan molekul yang besar.

32
Gambar 2.10 Proses konveksi

 Ultrafiltrasi adalah Pergerakan cairan membran karena pressure


gradient atau pergerakan solvent dan zat terlarut melalui membran
semi permeable dengan tenaga pendorong, peningkatan tekanan
hidrostatik pada satu sisi membran mendorong cairan dan zat-zat
terlarut melewati sisi yang berlawanan.

Gambar 2.11 Proses ultrafiltrasi

 Adsorbsi adalah Pergerakan molekul atau solute melewati membran


dan menempel dalam filter.

Gambar 2.12 Proses adsorbsi

33
2.3.4 Mode CRRT
 Slow continuous ultrafltration (SCUF) adalah adalah terapi
hemofltrasi yang digunakan denga teknik ultrafiltasi sehingga dapat
mengeluarkan cairan saja. Biasanya digunakan pada overload cairan
tetapi tidak azotemia serta refrakter terhadap diuretik seperti edema
paru, sepsis, gagal jantung dan acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Terapi ini hanya menggunakan hemoflter dan tidak
menggunakan dialisat atau cairan pengganti.
 Continuous venovenous hemofltration (CVVH) merupakan teknik
vena ke vena yang berdasarkan pada prinsip konveksi dan ultrafltrasi.
Terapi ini menggunakan hemofilter. Acute Kidney Injury (AKI) pada
pasien kritis dan cairan pengganti (cairan elektrolit fsiologis). Cairan
pengganti dapat diletakkan pada sebelum ataupun sesudah filter.
CVVH diindikasikan untuk uremia atau asidosis berat atau
ketidakseimbangan elektrolit dengan atau tanpa kelebihan cairan.
Dalam CVVH, konveksi dan ultrafiltrasi digunakan untuk
mengeluarkan produk sampah. Konveksi adalah perpindahan zat
terlarut di bawah tekanan melalui membran bersama dengan gerakan
air. Terapi konvektif tampaknya memiliki keunggulan dibandingkan
terapi terus menerus lain karena kemampuan untuk menghapus lebih
luas zat terlarut dengan ultra filtrat, termasuk beberapa sitokin,
karakteristik yang dapat mempengaruhi hasil CVVH.
 Continuous venovenous hemodialysa (CVVHD). Pada CVVHD
menggunakan prinsip difusi dan ultrafltrasi. Teknik ini memompakan
darah menuju filter dengan cairan dialisat (cairan kristaloid yang
berisi elektrolit, glukosa, dan bufer) di luar kompartemen hemofilter.
Cairan dialisat mempunyai arah yang berlawanan dengan darah yang
dipompa. CVVHD serupa dengan hemodialisis dan efektif
mengeluarkan substansi/ toksin metabolit dengan berat molekul
berukuran kecil sampai sedang.

34
 Continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHDF). CVVHDF ini
menggunakan prinsip difusi, konveksi dan ultrafltrasi untuk
mengeluarkan sisa metabolisme dan air. CVVHDF memompakan
darah menuju filter dengan cairan dialisat di luar kompartemen
hemoflter dengan arah yang berlawanan dan cairan pengganti
diberikan pada setelah filter. Tujuan terapi konveksi untuk berat
molekul berukuran sedang dan terapi difusi untuk mengeluarkan
substansi dengan berat molekul kecil. Laju cairan pengganti adalah
1.000–2.000 mL/jam. Laju yang lambat tidak akan efektif untuk
pengeluaran solute secara konveksi.

Gambar 2.13 Ilustrasi mode CRRT

2.3.5 Antikoagulan pada CRRT


Pada CRRT membutuhkan antikoagulan untuk mencegah pembekuan
pada extracoporeal circuit. Tujuan antikoagulasi di CRRT adalah untuk
mengurangi pembekuan dalam hemofilter untuk memaksimalkan fungsi
sirkuit CRRT. Menghindari gangguan dalam CRRT dengan mencegah
pembekuan sehingga terapi berlanjut lama untuk pasien. CRRT dapat
dilakukan dengan atau tanpa antikoagulasi. Pemilihan antikoagulan
tergantung pada preferensi dokter dan kondisi pasien. Antikoagulasi tidak
dapat diindikasikan pada pasien yang baru menjalani bedah, memiliki

35
sepsis atau imunosupresi, atau memiliki gagal hati atau trombositopenia.
Alasan lain untuk menggunakan antikoagulan adalah untuk
memaksimalkan sirkuit CRRT sehingga terapi ini terus menerus selama
beberapa hari. Tingkat antikoagulasi ini paling sering ditentukan dengan
menggunakan APTT. APTT dipertahankan pada 1,5 sampai 2 kali normal
untuk mempertahankan patensi dari sirkuit. Perawat bertanggung jawab
untuk memantau pengaruh yang merugikan akibat antikoagulasi, termasuk
perdarahan, pembentukan hematoma, trombositopenia, dan reaksi alergi.
Heparin adalah antikoagulan paling murah dan dapat digunakan baik
secara sistemik maupun regional. Ketika heparin digunakan, hemofilter
dapat memerah dengan larutan heparin encer terus menerus atau sebentar-
sebentar. Heparinization sistemik termasuk memberikan heparin ke dalam
akses intravena yang terpisah atau ke sisi arteri dari sirkuit CRRT. Infus
heparin ke sisi arteri dari sirkuit CRRT memungkinkan pencampuran
heparin dengan darah dari pasien sebelum darah mencapai filter (prefilter).
Heparin-induced trombositopenia merupakan komplikasi dari terapi
heparin. Heparin-induced trombositopenia terjadi ketika antibodi untuk
mengikat heparin untuk koagulasi faktor IV pada trombosit, menyebabkan
aktivasi platelet dan agregasi. Perubahan ini pada gilirannya menyebabkan
generasi vena dan arteri trombus dan penurunan jumlah trombosit.

2.3.6 Komplikasi penggunaan CRRT


 Perdarahan
Perdarahan yang terlihat diantaranya perdarahan diluar, hematoma dan
ecchimosi. Daerah ini harus di monitor tiap jam dan setiap terjadi
perubahan. Monitor hemoglobin dan hematokrit bila terjadi penurunan
dapat mengindikasikan adanya perdarahan tersembunyi. Perhatikan
alarm low access pressure dan alarm return acces, hal ini bisa menjadi
petunjuk tidak tersambungnya sirkuit. Jaga line dan koneksi tetap
diatas jika memungkinkan, karena bila sambungan lepas bisa segera
terlihat dan cepat diatasi. Komplikasi perdarahan bisa terjadi akibat
efek samping penggunaan antikoagulan atau akibat penyakit kritis

36
pada pasiennya. Monitor faktor-faktor koagulan seperti penurunkan
trombosit, jumlah platelet dan fibrinogen dan peningkatan APTT, PT,
dan ACT. Monitor pasien dan data laboratorium untuk tanda-tanda
DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation). Tanda-tanda
perdarahan seperti penurunan Hb, Ht dan sel darah merah,
hemodinamik tidak stabil seperti penurunan BP, takikardi, penurunan
pulsasi. Perdarahan saluran pencernaan seperti hematemesis dan
melena.
 Hipotermia
Pasien yang sedang mendapat terapi CRRT beresiko terjadinya
hipotermia sebab darah disirkulasikan keluar tubuh (extrakorporal
sirkulasi) dan terbuka dengan suhu ruangan. Monitor suhu tubuh tiap
2jam. Ada beberapa teknik untuk menjaga pasien tetap hangat dengan
blanket warmer bisa digunakan warm air. Beberapa mesin CRRT
dilengkapi penghangat darah yang terintegrasikan di dalam atau
mendapatkan alat tambahan. Selama proses CRRT terjadi thermal
energi loses tergantung banyaknya volume cairan pengganti dan
dialisa yang digunakan.
 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Banyak pasien dengan CRRT mempunyai nilai elektrolit yang tidak
normal. Cairan dialisa yang banyak mengandung glukosa
menyebabkan hiperglikemia yang dapat menganggu keseimbangan
elektrolit.
 Ketidakseimbangan asam-basa
Komplikasi CRRT menyebabkan ketidakseimbangan asam-basa
akibat kelebihan koreksi asidosis metabolik. Jika bikarbonat
digunakan lebih besar dari kadar PH fisiologis besar perubahan bisa
terjadi. Sehingga perlu monitor kadar PH bersamaan dengan monitor
elektrolit.
 Infeksi
CRRT adalah tindakan invasif sehingga beresiko untuk infeksi. Ketika
CRRT berjalan terjadi peningkatan suhu tubuh oleh karena pemakaian

37
pengaturan suhu extracorporal sehingga perlu diperhatikan tanda-
tanda infeksi lain seperti peningkatan sel darah putih/leukosit,
procalsitonin dan segmen pada pemeriksaan hitung jenis. Gejala
infeksi lokal seperti kemerahan, bengkak dan drainage purulent di
daerah akses vaskular. Teknik aseptik pada perawatan daerah akses
vaskular, cuci tangan, oral hygiene, bantu mobilsasi pasien dan batasi
pengunjung harus dilakukan untuk menghindari terjadi infeksi.

2.4 Perawatan pasca bedah jantung


Konsep dari unit perawatan kritis pertama kali diperkenalkan pada
akhir 1950-an untuk pasien yang mengancam jiwa dengan parameter
pemantauan hemodinamik dan pernapasan secara terus menerus yang
tersentralisasi di nurse station. Selama masa studi eksperimental untuk
CPB, ventilasi mekanis, hemodialisis, defibrilasi, dan pemasangan alat
pacu jantung dirancang. Peningkatan pengetahuan tentang fisiologi
kardiovaskular untuk membantu dalam mengukur tekanan arteri dan vena
sentral, curah jantung, dan untuk penentuan terapi seperti resusitasi cairan
dan penggunaan agen inotropik. Para insinyur dan teknisi dengan
pemahaman tentang life-support biology memperkenalkan bedside monitor
dan alat-alat yang memiliki kemampuan pengukuran untuk intervensi yang
tepat (seperti elektrokardiogram, oksimetri nadi, penilaian analisa gas
darah, end-tidal CO2, radiografi dada, Near Infra-Red
Spectroscopy/NIRS) (Dabbagh et al, 2018).
Manajemen pasca operasi di ICU membutuhkan tim multidisiplin,
termasuk ahli bedah jantung, anestesi, dan perawat spesialis intensive.
Perbedaan utama dengan ICU umum adalah manajemen pasien yang telah
menjalani CPB terkait dengan gejala sisa fisiologis dan patologis sekunder
yang luas akibat penggunaan CPB. Perubahan signifikan disebabkan oleh
dilusi anemia, koagulopati, dan respon inflamasi sistemik. Perhatian yang
paling utama setelah operasi jantung di ICU meliputi perdarahan dan
koagulopati, kebutuhan untuk eksplorasi mediastinum, dukungan sirkulasi
mekanis, obat vasoaktif, aritmia, komplikasi paru (intubasi

38
berkepanjangan, pneumonia, emboli paru, atelektasis, dan efusi pleura),
kejadian neurologis (stroke, gangguan kognitif), cedera ginjal,
trombositopenia, dan infeksi luka. Memperpendek lama rawat di ICU
adalah masalah penting lainnya. Lama rawat di ICU yang panjang selain
meningkatkan biaya dan penggunaan sumber daya, secara signifikan akan
berdampak pada prognosis jangka panjang. Beberapa faktor yang
menentukan lamanya hari rawat di ICU: anemia pra operasi, operasi
darurat, gagal jantung, disfungsi neurologis dan ginjal, waktu klem aorta
yang berkepanjangan, keadaan hiperglikemik pasca operasi, dan jenis
pembedahan. Ada konsensus untuk mengurangi waktu intubasi (jalur
cepat) untuk pasien bedah jantung jika kondisi hemodinamik stabil dengan
penggunaan agen inotropik yang minimal, tidak ada perdarahan besar, dan
tidak ada masalah neurologis dan ginjal (Dabbagh et al, 2018).

2.4.1 Komplikasi paska bedah jantung


2.4.1.1 Masalah kardiovaskular
Komplikasi jantung setelah operasi jantung dapat ditangani
berdasarkan empat komponen yang mempengaruhi curah jantung meliputi
preload, afterload, frekuensi denyut nadi, dan kontraktilitas (Black and
Hawks, 2019).
 Gangguan preload meliputi hipovolemia, perdarahan menetap,
tamponade jantung dan kelebihan cairan.
Hipovolemia merupakan penyebab tersering terjadinya penurunan
curah jantung setelah operasi jantung. Prosedur operasi menyebabkan
kehilangan darah meski sudah dilakukan penggantian cairan. Namun
pada saat suhu tubuh dinaikkan yang awalnya hipotermi
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dibutuhkan
lebih banyak cairan untuk memenuhi rongga pembuluh darah.
Perdarahan pasca operasi jantung terbagi 2 yaitu medical dan
surgical. Perdarahan medikal terjadi karena gangguan pembekuan
darah akibat rusak dan pecahnya trombosit. Selain itu mekanisme
pembekuan darah juga akan terganggu bila pasien dalam keadaan

39
hipotermi. Kedua, perdarahan surgical terjadi karena faktor
pembedahan seperti jahitan yang bocor atau dari dinding dada akibat
tusukan kawat sternum. Jumlah drainase tidak boleh melebihi
3cc/kgBB/jam selama 3 jam berturut-turut.
Tamponade jantung adalah kondisi dimana terkumpulnya cairan di
lapisan pericardium jantung yang menekan jantung dari luar sehingga
menghalangi darah untuk masuk ke ventrikel. Manifestasi klinisnya
adalah terjadi hipotensi arteri, bunyi jantung lemah, penurunan
haluaran urine, tekanan PCWP dan CVP meningkat, takikardi,
drainase berkurang, pulsus paradoksus (penurunan lebih dari 10
mmHg selama inspirasi), akral dingin.
Overload cairan merupakan masalah yang jarang terjadi pada pasien
pasca bedah jantung. Tekanan arteri pulmonal, PCWP dan CVP
meningkat. Biasanya diberikan diuretik dan kecepatan pemberian
cairan via intravena diperlambat.

 Gangguan afterload sering disebabkan oleh perubahan suhu tubuh


pasien. Pada hipotermia terjadi konstriksi pembuluh darah sehingga
terjadi peningkatan afterload. Penanganannya adalah dengan
menghangatkan kembali pasien secara bertahap dan jika diperlukan
dilakukan pemberian vasodilator sementara menunggu penghangatan.
Sebaliknya demam atau kondisi hipertermik akan meningkatkan
afterload. Penanganannya dengan menjaga normotermia tubuh atau
dengan pemberian vasopressor.

 Hipertensi terjadi akibat peningkatan afterload. Jika pasien sudah


mengalami hipertensi sebelum pembedahan maka penatalaksaan
terapinya disesuaikan seperti sebelum operasi.

 Aritmia dapat mempengaruhi curah jantung. Tujuan utama


penanganannya adalah mengembalikan irama jantung ke irama sinus

40
normal dan mencapai irama stabil yang menghasilkan curah jantung
yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

 Gangguan kontraktilitas
Gagal jantung terjadi jika jantung tidak mampu memompakan darah
sesuai kebutuhan tubuh. Gejala klinis yang muncul adalah terjadi
penurunan tekanan arteri rata-rata, takikardi, gelisah, bernafas, edema
dan terjadi peningkatan PCWP, PA dan CVP.

 Infark miokard post operasi (PMI)


Terjadi kematian sebagian otot jantung sehingga menurunkan
kontraktilitas. Pengkajian yang dilakukan harus teliti untuk
membedakan dengan nyeri karena faktor pembedahan. Infark miokard
harus dicurigai jika tekanan arteri rata – rata menurun dengan preload
yang normal. Serial EKG dan enzim dapat membantu penegakkan
diagnosa.

2.4.1.2 Masalah respirasi


 Hematothorax dan Pneumothorax
Adanya insisi atau perlukaan pada thorax dan komponen-
komponennya dapat menyebabkan perdarahan. Pemasangan WSD
berguna untuk mengalirkan perdarahan yang terjadi sehingga dapat
mencegah akumulasi darah pada rongga thorax (hematothorax).
Hematothorax harus di drain karena darah yang terakumulasi bisa
menyebabkan pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya fibrous
dan penghambatan ekspansi paru. Pencabutan WSD pun harus
dihindari adanya kebocoran udara.
 Atelektasis
Atelektasis bisa disebabkan oleh obat-obat anastesi atau faktor-faktor
negatif dari pasien itu sendiri. Saat intubasi vetilator hendaknya
disesuaikan dengan kondisi pasien dan adekuat untuk mencegah
atelektasis terutama pada post operasi.

41
 Pneumonia
Insiden pneumonia pada operasi jantung terjadi sekitar 29%. Pasien
yang mengalami penyakit paru kronik pra operasi kolonisasi disaluran
pernapasan, atau perokok mempunyai insiden angka kejadian untuk
terkena pneumonia. Oleh karena itu pengkajian kesehatan secara
lengkap sangat diperlukan dan dikomunikasikan juga di pasca operasi.
Pada pasca operasi penggunaan NGT, reintubasi, kedisiplinan cuci
tangan, elevasi kepala sedini mungkin, frekuensi perawatan dan
pembersihan mulut dan suction ETT merupakan hal yang harus
diperhatikan untuk pencegahan pneumonia.
 Emboli Paru
Insiden emboli paru 12% terutama disebabkan oleh heparinisasi
selama operasi dan hemodilusi setelah operasi. Stoking kompresi dan
latihan mobilisasi di bed dan ROM tiap hari mungkin diperlukan
untuk mencegah emboli paru.
 Kegagalan weaning
Insufisiensi respirasi adalah salah satu komplikasi setelah operasi
jantung. Ketergantungan ventilator yang lama akan menyebabkan
kegagalan weaning. Intervensi keperawatan yang penting segera
dilakukan adalah weaning ventilator sesuai protokol, mobilisasi pasien
sedini mungkin, pasien didorong untuk bernapas spontan, manajemen
nyeri dan cemas.

2.4.1.3 Masalah Neurologis


Kebanyakan pasien mulai pulih kesadarannya dari efek anastesi
dalam 1 sampai 6 jam pasca operasi. Pasien yang tidak mampu mengikuti
perintah sederhana dalam 6 jam atau menunjukkan perbedaan
kemampuan antara tubuh kanan dan kiri harus dievalusi kemungkinan
stroke. Defisit neurologi yang dihasilkan dari prosedur intra operasi
biasanya terjadi 24–48 jam pertama setelah operasi. Selain dari
penggunaan CPB, gangguan neurologis yang terjadi setelah beberapa hari

42
perawatan biasanya dikarenakan tidak stabilnya hemodinamik pasca
operasi atau terjadi AF (Atrial Fibrilasi).

2.4.1.4 Gagal ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit


 Hipokalemi dapat diakibatkan oleh masukan yang kurang, pemberian
diuretik, muntah, diare dan stress pembedahan. Perubahan EKG yang
muncul adalah gelombang T yang datar atau terbalik dan adanya
gelombang U. Kolaborasi pemberian kalium intravena perlu dilakukan
 Hiperkalemi dapat disebabkan oleh peningkatan asupan, hemolisis sel
darah merah, insufisiensi ginjal, nekrosis jaringan. Gejala yang terjadi
adalah konfusi mental, gelisah, mual, kelemahan, parastesia
ekstremitas. Perubahan EKG yang spesifik adalah gelombang T yang
tinggi dan lancip, peningkatan amplitude, pelebaran QRS, dan QT
yang memendek. Penanganannya adalah kolaborasi pemberian
natrium bikarbonat, insulin IV dan glukosa.
 Hipernatremi dan hiponatremi
Hiponatremi cukup jarang terjadi, biasanya lebih disebabkan
peningkatan cairan yang masuk ke tubuh sehingga terjadi pengenceran
natrium tubuh.
 Hipokalsemi dan hiperkalsemi
Hipokalsemi biasanya terjadi akibat alkalosis yang menurunkan
jumlah Ca dalam cairan ekstrasel. Hiperkalsemi dapat menyebabkan
aritmia yang serupa dengan keracunan digitalis. Penanganan segera
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya asistole dan kematian.

2.1.12 Infeksi
Komplikasi yang sering dialami oleh pasien yang mendapatkan
tindakan pembedahan. Penggunaan mesin CPB dan anastesi akan
menurunkan sistem imunitas tubuh. Selain itu alat invasif yang melekat
pada pasien bisa menjadi sumber infeksi. Penangan infeksi biasanya
didasarkan pada protokol di setiap rumah sakit.

43
2.4.2 Asuhan Keperawatan Pasca Bedah
2.4.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam melakukan asuhan
keperawatan. Menurut Elvira (2020), proses pengkajian pada pasien
kritis meliputi pre arrival assessment, admission and quick check,
comprehensive assessment dan ongoing assessment
 Pre arrival assessment
Pengkajian ini dimulai ketika perawat sudah mendapatkan informasi dari
unit lain bahwa akan ada pasien kritis yang akan dirawat. Pengkajian ini
dilakukan sebelum pasien masuk ke ruang ICU. Untuk pasien post
operasi, unit kamar bedah akan memberikan catatan mengenai kondisi
pasien selama pre dan intra operasi serta alat-alat kesehatan dan obat-
obatan yang akan diberikan ke pasien. Tujuan dilakukan pengkajian ini
adalah agar saat pasien datang ke ruang ICU, semua peralatan kesehatan
sudah tersedia dan siap digunakan.
 Admission and quick check
Pengkajian ini dimulai saat pasien masuk dan dirawat di ICU, kemudian
perawat mengobservasi secara general dan melakukan pengkajian
ABCDE (airway, breathing, circulation, drugs and equipment).
 Comprehensive assessment
Pengkajian ini merupakan pengkajian lengkap meliputi riwayat kesehatan
masa lalu, status kesehatan sekarang, bio psiko, sosio, spiritual dan
pengkajian fisik. Pengkajian fisik yang dilakukan meliputi:
o Status kardiovaskular
Manajemen hemodinamik pasca operasi. perpindahan pasien dari ruang
operasi ke ruang ICU dapat menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik,
dengan demikian pemantauan dari alat-alat monitoring merupakan hal
yang penting. Pasien harus diletakkan dalam posisi terlentang dengan
kaki ditinggikan untuk memungkinkan blood pressure (tekanan darah)
meningkat sampai penyebab BP yang rendah bisa ditentukan dan
tindakan korektif diambil. Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan
darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji

44
paru (PCWP), bentuk gelombang pada tekanan darah invasif, curah
jantung dan cardiac index, drainase rongga dada, fungsi pacemaker.
Penting bagi perawat untuk melakukan pemantauan secara hati-hati dan
ketat, perawat harus menghangatkan kembali pasien setelah operasi jika
hipotermia berlanjut. Efek negatif dari hipotermia termasuk depresi
miokardium, disritmia ventrikel, vasokonstriksi, depresi faktor
pembekuan (meningkatkan resiko perdarahan pasca operasi). Jika pasien
mengalami hipotermia, penghangatan kembali dilakukan dengan
penggunaan selimut hangat atau warm air.
o Status respirasi
Manajemen paru pasca operasi. Disfungsi paru dan hipoksemia dapat
terjadi pada 30% sampai 60% pasien setelah CABG. Riwayat pasien dan
faktor intraoperatif harus dipertimbangkan, manajemen paru pasca
operasi, terutama riwayat merokok, penyakit paru obstruktif, penggunaan
steroid, penyakit gastroesophageal refluks, gagal jantung, dan nutrisi
yang buruk dapat meningkatkan komplikasi paru pasca operasi.
Meskipun ada beberapa variasi dalam protokol ini. Kebanyakan pasien
akan diintubasi dan diberi ventilasi mekanik saat tiba di ruang ICU.
Perawat harus menilai kesiapan pasien ekstubasi dini. Ekstubasi harus
dipertimbangkan Ketika pasien terangsang, mampu mengikuti perintah,
stabil secara hemodinamik, dan memulai ventilasi spontan tanpa
pernapasan berlebihan, dukungan ventilasi secara bertahap dan pasien
harus menopang ventilasi spontan. Penilaian fisik ventilasi efektif, dan
analisa laboratorium gas darah arteri dan parameter ventilasi spesifik
harus diselesaikan sebelum ekstubasi. Selama proses perawat harus
menilai pasien untuk peningkatan pernapasan dan atau detak jantung.
o Status neurologi
Pasien yang membutuhkan CABG berada pada peningkatan resiko
komplikasi neurologis. Stroke dapat disebabkan oleh hipoperfusi atau
emboli selama atau setelah operasi. Perawat harus sangat pandai dalam
menilai neurologis pada periode pasca operasi. Pupil harus dinilai pada
awalnya selama beberapa jam pertama setelah operasi dan hasil penilaian

45
neurologis harus meningkat bertahap. Pada saat pasien siap ekstubasi,
pasien harus mengikuti perintah dan memiliki gerakan dan kekuatan yang
sama dari ekstremitas dengan fungsi neurologis pasien mendekati
normal. Perawat harus memberikan kenyamanan, sedapat mungkin
pasien diberikan orientasi terhadap orang, tempat, waktu, dan keadaan
sekitar.

Tabel 2.4 Status agitasi dan sedasi (SAS)

o Sistem percernaan
Perawat harus memantau pasien apakah ada bising usus, distensi
abdomen, mual, muntah. Perawat harus memberikan antiemetik seperti
yang diinstruksikan dokter jika pasien mual Status pembuluh darah
perifer. Denyut nadi perifer, warna kulit, warna kuku, mukosa bibir, suhu
kulit, edema, CRT
o Sistem perkemihan
Observasi produksi urin setiap jam dan perubahan warna yang terjadi
akibat hemolisis dan lain-lain. Pemeriksaan ureum kreatinin harus
dikerjakan jika fasilitas memungkinkan.
o Status cairan dan elektrolit

46
Haluaran semua selang drainase, parameter curah jantung dan indikasi
ketidak seimbangan elektrolit
o Nyeri
Perawat harus dapat melakukan penilaian nyeri, mobilisasi, gangguan
dan teknik relaksasi diantara beberapa metode manajemen nyeri. Kontrol
nyeri biasanya dicapai dengan intravena narkotika saat pasien diintubasi,
atau narkotika intravena dapat digunakan setelah ekstubasi. Perawat
harus menyeimbangkan kebutuhan akan pengendalian nyeri tanpa depresi
pernafasan dengan kebutuhan pasien utuk meminimalkan rasa sakitnya.

Table 2.5 Skala nyeri pasien yang terpasang ventilator

o Status gastrointestinal
Auskultasi bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi, distensi
abdomen.
o Status alat yang dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya
meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri
paru, infus intravena, pacemaker, sistem drainase dan urin. Selanjutnya
jika pasien sudah sadar dan mengalami perkembangan yang baik,
perawat harus mengembangkan pengkajian terhadap status psikologis
dan emosional pasien dan risiko akan komplikasi.
 Ongoing assessment

47
Pada fase ini pengkajian lebih terfokus dan lebih sering dilakukan untuk
mengetahui kondisi kestabilan pasien. Pemantauan lanjutan ini dilakukan
1-2 jam sekali pada pasien yang status fisiologisnya menurun dan 2-4
jam sekali pada pasien yang sudah stabil. Tetapi bahkan per 15 menit saat
kondisi pasien kritis. Hal ini perlu dikaji meliputi tanda vital,
hemodinamik, alat-alat yang dipasang kepada pasien serta obat-obatan.
Selanjutnya jika pasien sudah sadar dan mengalami perkembangan yang
baik, perawat harus mengembangkan pengkajian terhadap status
psikologis, emosional pasien dan resiko akan komplikasi.

2.4.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi antara lain:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload,
(D.0011)
b. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan pemakaian obat sedasi
dan relaksan (D.0004)
c. Resiko perfusi renal tidak efektif ditandai dengan pembedahan jantung
dan disfungsi ginjal (D0015)
d. Risiko perdarahan ditandai dengan tindakan pembedahan (D.0012)
e. Risiko gangguan keseimbangan elektrolit ditandai dengan efek samping
pembedahan dan disfungsi ginjal (D.0037).
f. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan tindakan pembedahan
(D.0036)

2.4.2.3 Intervensi keperawatan

48
No Diagnosa Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
Keperawatan
Penurunan curah ja Luaran Utama : Pemantauan hemodinamik invasif (I.02058)
1.
ntung berhubungan Curah Jantung (L.02008) Setelah dila Observasi :
dengan perubahan kukan intervensi keperawatan selama  Monitor frekuensi dan irama jantung
afterload (D.0011) 1x24 jam,  Monitor tekanan vena central
penurunan curah jantung tidak terjadi deng  Monitor perfusi perifer distal pada sisi insersi setiap 4
an kriteria hasil : jam
CRT, dari tingkat 3→5 Ket :  Monitor tanda – tanda vital
1: Memburuk Terapeutik :
2: Cukup Memburuk  Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
3: Sedang pasien
4: Cukup Membaik
 Dokumentasikan hasil pemantauan
5: Membaik paru dalam batas normal
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

49
Diagnosa
No Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
Keperawatan
2. Gangguan ventilasi sp Luaran Utama : ventilasi sponta Dukungan ventilasi (I.01002)
ontan berhubungan de n (L.01007) Observasi
ngan Pemakaian obat s Setelah dilakukan intervensi keperawatan sela •Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
edasi dan relaksan (D. ma 1 x 24 jam, mampu bernafas secara adekua •Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status perna
0004) t dengan kriteria hasil : fasan
a. Volume tidal meningkat •Monitor status respirasi dan oksigenasi
b. Tidak ada dyspnea Terapeutik
c. Tidak ada penggunaan otot bantu pernaf •Pertahankan kepatenan jalan nafas
asan •Berikan posisi semi fowler / fowler
d. Tidak gelisah •Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
e. PCO2 membaik Kolaborasi
f. PO2 membaik • Kolaborasi pemberian obat bronkodilator jika perlu
g. Tidak ada takikardi

50
Diagnosa
No Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
Keperawatan
3. Risiko perfusi renal Luaran Utama : Perfusi renal Manajemen hemofiltrasi (I.02039)
tidak efektif ditandai (L.02013) Observasi

dengan pembedahan Setelah dilakukan intervensi keperawatan sela  Identifikasi kondisi pasien (mis. tekanan darah, nadi,
jantung dan disfungsi ma 1 x 24 jam, perfusi renal meningkat denga pernapasan dan suhu tubuh, berat badan, edema, keseimbangan
cairan)
ginjal n kriteria hasil :
 Monitor status hemodinamik selama proses hemofiltrasi
(D.0016) a. Jumlah urine meningkat  Monitor ultrafiltration rate, hemodinamik Dan kebocoran
b. Tekanan arteri rata-rata membaik  Monitor tanda dan gejala infeksi
c. Kadar urea nitrogen darah membaik  Monitor intake dan output cairan tiap jam
Terapeutik
d. Kadar kreatinin plasma membaik
e. Tekanan darah sistolik membaik  Ambil sampel darah untuk pemeriksaan fungsi ginjal, dan
elektrolit sebelum terapi
f. Tekanan darah diastolik membaik
 Gunakan teknik steril untuk melakukan priming blood line
g. Kadar elektrolit membaik hemofiltrasi, saat menyambungkan arteri - blood line dan vena
pasien
 Bebaskan sirkuit hemofiltrasi dari udara
 Berikan heparin sesuai protokol
 Periksa kepatenan hubungan blood line, arteri maupun Vena
 Rawat lokasi insersi dan selang sesuai protokol
 Hentikan hemofiltrasi jika kondisi menurun

51
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur hemofiltrasi pada pasien dan


keluarga.

Diagnosa
No Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
Keperawatan
4. Risiko gangguan Luaran Utama : Keseimbangan Manajemen elektrolit (I.03102)
keseimbangan elektrolit (L.03021)
Observasi
elektrolit ditandai Setelah dilakukan intervensi keperawatan sela
dengan efek samping ma 1 x 24 jam, keseimbangan elektrolit  Identifkasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan

pembedahan dan meningkat dengan kriteria hasil : elektrolit

disfungsi ginjal a. Serum natrium meningkat  Monitor mual, muntah dan diare
 Monitor kadar eletrolit serum
(D.0037). b. Serum kalium meningkat
 Monitor kehilangan cairan, jika perlu
c. Serum klorida meningkat
 Monitor tanda dan gejala hypokalemia (mis. Kelemahan otot,
d. Serum kalsium meningkat
interval QT memanjang, gelombang T datar atau terbalik,
e. Serum natrium meningkat
depresi segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia,
penurunan refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas usus

52
menurun, pusing, depresi pernapasan)
 Monitor tanda dan gejala hyperkalemia (mis. Peka rangsang,
gelisah, mual, munta, takikardia mengarah ke bradikardia,
fibrilasi/takikardia ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P
datar, kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol)
 Monitor tanda dan gejala hipontremia (mis. Disorientasi, otot
berkedut, sakit kepala, membrane mukosa kering, hipotensi
postural, kejang, letargi, penurunan kesadaran)
 Monitor tanda dan gejala hypernatremia (mis. Haus, demam,
mual, muntah, gelisah, peka rangsang, membrane mukosa
kering, takikardia, hipotensi, letargi, konfusi, kejang)
 Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis. Peka rangsang,
tanda IChvostekI [spasme otot wajah], tanda Trousseau
[spasme karpal], kram otot, interval QT memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis. Nyeri tulang,
haus, anoreksia, letargi, kelemahan otot, segmen QT
memendek, gelombang T lebar, kompleks QRS lebar, interval
PR memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia (mis. Depresi

53
pernapasan, apatis, tanda Chvostek, tanda Trousseau, konfusi,
disritmia)
 Monitor tanda dan gejala hipomagnesia (mis. Kelemahan otot,
hiporefleks, bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi)
Terapeutik

 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien


 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Diagnosa
No Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
Keperawatan
5. Risiko Luaran Utama : Keseimbangan Manajemen cairan (I.03098)

54
ketidakseimbangan cairan (L.0302) Observasi
cairan ditandai dengan Setelah dilakukan intervensi keperawatan sela Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
tindakan pembedahan ma 1 x 24 jam, keseimbangan cairan Monitor frekuensi nafas
(D.0036) meningkat dengan kriteria hasil : Monitor tekanan darah
a. Haluaran urin meningkat Monitor berat badan
b. Tekanan darah membaik Monitor waktu pengisian kapiler
c. Tekanan nadi radial membaik Monitor elastisitas atau turgor kulit
d. Tekanan arteri rata-rata membaik Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
e. Turgor kulit membaik Monitor kadar albumin dan protein total
Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, he
matocrit, natrium, kalium, BUN)
Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi me
ningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekana
n nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukos
a kering, volume urine menurun, hematocrit meningkat, hau
s, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menuru
n dalam waktu singkat)
Identifikasi tanda-tanda hypervolemia 9mis. Dyspnea, edema
perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, r

55
efleks hepatojogular positif, berat badan menurun dalam wa
ktu singkat)
Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Pros
edur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, ap
heresis, obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit
ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik
Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Diagnosa
No Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
Keperawatan
6. Risiko perdarahan dita Luaran Utama : Pencegahan Perdarahan (I.02067)
ndai dengan tindakan Tingkat Perdarahan (L.02017) Observasi
Setelah dilakukan intervensi ke

56
pembedahan (D.0012) perawatan selama 1 x 24 jam, ris  Monitor tanda dan gejala perdarahan
iko perdarahan tidak terjadi den  Monitor nilai hematrokit atau hemoglobin sebelum dan setela
gan kriteria hasil: Perdarahan pa h kehilangan darah
sca operasi, dari tingkat 3→5  Monitor tanda-tanda vital
Ket :  Monitor produksi drain
1: Meningkat
2: Cukup Meningkat Terapeutik
3: Sedang  Pertahankan bedrest selama perdarahan
4: Cukup Menurun
 Hindari pengukuran suhu rektal
5: Menurun
Edukasi
 Hindari pengukuran suhu rektal
Kolaborasi
Pemberian produk darah jika perlu

57
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
OPCAB CABG On PUMP (CAB)

Pemakaian CPB

Pemakaian Sternotomi
sedative dan Hipotermi hemodilusi Emboli Kardioplegik Aktivasi komp. CPB
relaksan udara
Luka insisi hematothorak
Trauma Tek. Onkotik Pada SIRS
Depresi pusat Cardioplegia
Port de entry sistem plasma turun graft
pernapasan Pasang drain konduksi
mikroorganisme Platelet Permeabilitas
Flow renal Miocardial disfunction kapiler
Cedera
Resiko stunning
Kelemahan Resiko infeksi Aritmia iskemia
perdarahan Gangguan
otot Urine hipovolume
surgical cascade
pernapasan output >>> Infark Gangguan
koagulan
Nyeri Trauma jaringan miokard kontaktilitas
Gangguan Ggn elektrolit Gangguan
ventilasi spontan Resiko preload
Gangguan Gangguan perdarahan
Vasokonstriksi tonus
Resiko kerusakan Afterload medikal
Intubasi dan pembuluh darah vaskular
pemasangan integritas kulit
ventilator
Low Cardiac Output Syndrome

Penurunan Tirah baring/imobilisasi di ICU


Pasang IABP Penurunan CO Perfusi renal
Venous return

Resiko perfusi Butuh CRRT CSA-AKI Gangguan


perifer tidak efektif keseimbangan
elektrolit

Gambar 3.1 Kerangka konseptual CABG on pump

58
Prerenal Renal Postrenal

Volume darah SAS & RAS Nekrosis tubular Lesi interstisial renal Tekanan tractus
Injury glomerolus
sirkulasi efektif renal urinary

Perubahan permeabilitas Infiltrasi sel inflamasi


BP Vasokonstriksi Obstruksi membrane dasar Konduksi tekanan
tubular renal glomerolus backward ke
Mediator inflamasi kavitas glomerolus

Perfusi renal Tekanan Volume cairan


tubular renal tubular renal Tubular renal atrofi Hipoperfusi atau
dan muncul scar, tidak ada perfusi
hilangnya kapiler di korteks renal
perivascular

GFR

Gambar 3.2 Model konseptual patofisiologi dari CSA-AKI

(Sumber: Brazilian journal of cardiovascular surgery (2019))

59
BAB IV

STUDI KASUS

4.1 Pengkajian

4.1.1 Identitas pasien

Nama pasien : Tn M.
Tanggal lahir : 15-05-1969
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Kewarganegaraan : WNI
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Alamat tempat tinggal : Jl. Pangeran Antasari. Tulang Banjar. Jambi
Diagnosa medis : CAD 3VD, MR Severe
Tindakan medis : CABG 3x (LIMA to LAD, SVG to PDA, SVG
to OM), MV repair, On Pump CPB
Tanggal masuk rumah sakit : 21/09/2022
Tanggal masuk ICU : 22/09/2022 jam 13.15
Tanggal pengkajian : 24/09/22 jam 13.00
Nama penanggung jawab : Yuliwarni
Hubungan dengan pasien : Istri

4.1.2 Keluhan utama

Pasien terintubasi

4.1.3 Riwayat penyakit sekarang

Pasien Tn. M. masuk ke RS PJNHK tanggal 21/09/2022 jam 12.48 dengan


diagnosa medis CAD 3VD + MR severe pro CABG + MVr/R tanggal
22/09/2022. Pasien dilakukan persiapan preoperasi di ruang GP II lantai 4.
Tanggal 22/09/2022 jam 06.40 pasien masuk ke ruang OK. Masalah yang

60
ditemukan di OK: post Aox off irama jantung VF dilakukan DC 1x10J
irama menjadi SR kemudian VT dilakukan DC kembali 1x10 J irama
jantung menjadi AV block kemudian dipasang pacing wire 2 buah di
ventrikel lanjut on pacing, post off CPB hemodinamik tidak stabil
diputuskan on CPB lagi, post off CPB kedua hemodinamik belum stabil BP
70/42 mmHg diputuskan pasang IABP (IntraAortic ballon Pump) no 7,5 Fr
30 cc di A. femoralis dextra, Aox/CPB 101’/129’+7’.

Post operasi pasien di masukkan ke ICU pasca bedah jam 13.15. pasien
dalam kondisi SAS 1, TTV saat tiba di ICU adalah ABP 100/60 mmHg
MAP 73 mmHg dengan support adrenalin 0,15 mcg/kgBB/menit dan
dobutamin 5 mcg/kgBB/menit, HR 80x/menit irama pacing, CVP 8, S.
350C, Spo2 100% dengan bantuan ventilator Volume Control fio2 50%, VT
500cc, RR 12, PEEP 5. Pada jam 16.35 pasien mengalami ventrikel fibrilasi
dan dilakukan CPR +2x DC shock 150J. Kemudian irama berubah menjadi
SVT dan dilakukan kardioversi 50J. Setelah kardioversi irama berubah
menjadi junctional accelerated. Jam 18.30 pasien dibawa ke ruang Cathlab.
Di ruang Cathlab dilakukan early POBA (Percutaneous Ballon Angioplasty)
pada LAD. Pada jam 21.00 pasien masuk lagi ke ruang ICU dengan kondisi
SAS 1, TTV ABP 105/50mmHg MAP 67 mmHg HR 100x/menit irama
junctional accelerated, Spo2 100% on ventilator. Tanggal 23/09/2022 jam
13.00 pasien dibawa ke OK untuk dilakukan redo sternotomy. Dilakukan
tindakan pembedahan redo sternotomy untuk eksplorasi sumber perdarahan
(tidak ditemukan sumber perdarahan) dan evakuasi tamponade sekitar
500cc.

Pada hari kedua perawatan di ICU tanggal 24/09/22 jam 07.00 hasil
laboratorium pasien untuk pemeriksaan ureum 103 mg/dL, kreatinin 3,3
mg/dL, BUN 38 mg/dL, eGFR 20. Dari hasil echo evaluasi pada jam 13.00
menunjukkan status volume cukup. Produksi urin 50-200 cc/jam
Hemodinamik pasien ABP 140/78 mmHg MAP 99 mmHg dengan inotropic
dan vasopresor, HR 135x/menit irama AFRVR RR 16 x/menit, CVP 11
mmHg, Sp02 100% on ventilator. Pasien direncanakan dilakukan CRRT
mode CVVH.

61
4.1.4 Riwayat penyakit terdahulu

Dari data rekam medis dan keluarga, pasien mengetahui memiliki penyakit
jantung sejak sejak 2017, awalnya mengeluhkan nyeri dada. Keluhan
dirasakan terutama saat beraktivitas sedang. Kemudian pasien
memeriksakan diri ke RS Jambi dan dinyatakan adanya penyumbatan pada
jantung. Namun pasien tidak meneruskan pengobatannya karena pandemi.
Februari 2022 pasien sesak dan lemas kemudian dirawat di RS Jambi dan
disarankan untuk berobat ke RS Harapan Kita. Pasien tidur dengan 1 bantal,
DOE (+), PND (-). Pasien pernah mengalami stroke 4 thn yang lalu (2018)
tanpa gejala sisa. Riwayat hipertensi (+), dislipidemia (+), riwayat DM di
sanggah, Covid (+) tahun 2021, riwayat operasi (-).

4.1.5 Riwayat penyakit keluarga

Di keluarga pasien, ibu dari pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan
hipertensi seperti pasien, begitu juga saudara nomor 2 dan no 6 memiliki
penyakit jantung (pasien merupakan anak ke-7 dari 10 bersaudara).

4.1.6 Pemeriksaan fisik

4.1.6 Keadaan umum

Keadaan umum lemah, kesadaran on SAS 1

4.1.6.2 Tanda-tanda vital

ABP 140/78 mmHg MAP 99 mmHg on inotropik dan vasopressor HR 135


x/menit irama AFRVR, S 36 0C, SpO2 98% CVP 11 mmHg RR 16x/menit

4.1.6.3 Antropometri

Pasien memiliki BB 62 kg, tinggi 165 cm, lingkar lengan atas 26 cm

4.1.6.3 Pengkajian persistem

4.1.6.3.1 Sistem respirasi

62
Pasien terintubasi dengan ETT no 7,5 batas bibir 21 cm yang dihubungkan
dengan ventilator mekanik settingan mode P-SIMV Fio2 50% RR12, VT
500 cc, VTe 467cc, Pins 19 PEEP 5, pengembangan dinding dada simetris,
tidak ada penggunaan otot- otot bantu nafas tambahan, produksi sputum (+)
minimal warna putih konsistensi kental, refleks batuk (-). Terpasang drain
WSD intrapleural kiri no 20 Fr dan substernal no 28 Fr, suction berfungsi
baik tekanan -20 mmH, undulasi (+), air leak (-), jumlah cairan darah yang
keluar 10-30 cc/jam, warna hemoragik. Tidak terdapat emfisema subkutis.
Pada auskultasi paru suara paru vesikuler tidak terdapat suara rhonki dan
wheezing.

4.1.6.3.2 Sistem kardiovaskular

Hemodinamik tidak stabil on support inotropic dan vasopresor. Arteri line


terpasang di A. radialis sinistra dengan ABP 140/78 mmHg, MAP 99
mmHg, HR 135x/menit irama AFRVR.

CVC no 7 Fr line triple lumen terpasang di subklavia sinistra dengan nilai


CVP 11 mmHg, S 36 0C. Kateter mahukar no 12 Fr di vena jugularis interna
dextra.

Terpasang IABP di A. femoralis dextra dengan tekanan sistolik 88 mmHg,


tekanan diastolik 52 mmHg, MAP 85 mmHg, trigger berdasarkan EKG
augmentasi maksimal, frekuensi 1:1, IABP inflasi/deflasi point Auto,
pulsasi ektremitas dorsalis pedis Ka/Ki +/+, pulsasi poplitea Ka/Ki +/+,
femoralis pedis Ka/Ki +/+, kehangatan ekstremitas kanan dan kiri dingin,
warna kulit ekstremitas kanan dan ekstremitas kiri normal (tidak pucat).
Capillary Refill Time < 2 dtk, edema tungkai tidak ada.

Suara jantung S1S2, murmur (-), gallop (-)

4.1.6.3.3 Sistem neurologi

Kesadaran SAS 1 dengan recofol 20mg/jam, GCS E1M1VETT, terpasang


NIRS (Near InfraRed Spectroscopy) monitor L58-74 R57-73, pupil 2+/2+,
refleks cahaya +/+. Skala nyeri BPS 3

63
4.1.6.3.4 Sistem renalis

Terpasang dower catheter no.18, Produksi urin 50-200 cc/jam. Warna urin
kuning. Bladder teraba supel. Pasien direncanakan dilakukan CRRT mode
CVVH blood flow 200, fluid loss 50 cc, cairan replacement pre dilution
1000 ml, post dilution 1000 mL/jam, heparin 1000 iu/jam

4.1.6.3.5 Sistem gastrointestinal

Mulut pasien tampak bersih, lembab dan tidak ada stomatitis, warna lidah
pink kemerahan, bibir tidak sianosis. Terpasang NGT ukuran 18 Fr, residu
lambung (-), bising usus 10 x/menit, enteral nutrisi 6x50 cc, dan belum
BAB. Tidak ada hepatomegali dan tidak ada asites. Perkusi abdomen suara
timpani

4.1.6.3.6 Sistem integument dan skeletal

Terdapat luka operasi di midsternal panjang ± 10 cm kondisi luka bersih,


kering, tampak sedikit kemerahan, pus (-). Terdapat luka operasi ±15 cm
pada ekstremitas bawah dextra dan sinistra kondisi luka bersih dan kering.
Area insersi dari AL, CVC dan IABP tampak bersih, tidak menunjukkan
tanda-tanda flebitis. Area disekitar ETT, NGT dan dower kateter dalam
kondisi bersih. Pasien imobilisasi di tempat tidur dan masih tersedasi
dengan posisi semifowler. Kekuatan otot tidak dapat dikaji. Tidak tampak
atrofi otot. Tidak terdapat luka dekubitus dan kondisi kulit pasien lembab.
Nilai resiko jatuh dengan skala Morse 50 (termasuk resiko tinggi).

64
4.1.7 Pemeriksaan penunjang

4.1.7.1 Data laboratorium

Tabel 4.1 Hasil laboratorium

Jenis Tanggal pemeriksaan Nilai normal


Pemeriksaan 08/09/22 22/09/22 23/09/22 24/09/22
Pre Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2
operarati post post post
f operatif operatif operatif
Hemoglobin 13,3 8,9 10,5 10,9 13.00-16,6 g/dl
Hematokrit 40,5 28,0 26,4 32,9 41.3 – 52.1 %
Leukosit 6370 13420 16640 24440 3580 – 8150 /µL
Trombosit 230 128 80 124 172 – 359 ribu/ µL
fibrin - 359 - - 200-400 mg/dL
Ureum 35,5 - 54,1 103 12.60 – 42.6 mg/dL
Kreatinin 1,25 - 2.06 3,3 0.67 – 1.17 mg/dL
BUN 16.5 - - 38,1 6.0 – 20.0 mg/dL
eGFR 52 - - 20 ≥90: Normal
60-89: mildly
decreased
45-59: mildly to
moderately
decreased
30-44: moderately
to severely
decreased
15-29: severely
decreased
<15: Kidney failure
KDIGO 2012

65
mL/mnt/1.7m²
CK/CKMB - 426/54 5153/461 - <190U/L / <25U/L
Hs Trop T - 17029 25943 - <14 ng/L
PT 11,2 11,9 12,5 - 9,4-11,3 detik
(10.4) (10.06) (10.4)
APTT 22.8 26,4 26,00 31,1 23.0-34.7 dtk
(28.9) (28.9) (28,5) (28.9)
INR 22,8 1,16 1,22 - Nilai rujukan: 0,90-
1,08 - target terapi
2.00-4,80
CRP 2 - - 129
PCT 0,04 139 70,90 < 0.05: normal
<0.5: local
bacterial infection
(sepsis)
0.5-2: systemic
infection (sepsis)
Albumin 4,2 - - - 3.5-5.2 gr/dL
SGOT 23 - - - 0-50 U/L
(AST)
SGPT 35.2 - - - 0-41U/L
(ALT)
Bilirubin 0.79 - - - 0-14 mg/dL
total
HbA1C 6.3 - - - < 5.7: normal
5.7-6.4: prediabetes
> 6.5: diabetes
<: therapeutic agent

66
Tabel 4.2 Hasil laboratorium Analisa gas darah

Jenis Tanggal pemeriksaan Nilai normal


Pemeriksaan 24/09/22 24/09/22 24/09/22 24/09/22
jam 05.30 Jam 09.00 Jam Jam 24.00
18.00
pH 7,27 7,52 7,52 7,46 7.35 – 7.45
PaO2 147,3 121,2 162,1 172 80 – 100
PaCO2 64,8 29,8 28,7 32,5 35 – 45
HCO3 30,1 24,6 24,2 23,3 22 – 26
BE 2,4 1,6 1,6 -1 (-2) – (+3)
SaO2 99,1 99,4 99,9 99,3 95.0 – 98.0
K 5,0 4,1 3,2 4,9 3.5 – 5.1
Na 148 143 139 136 136 – 145
Cl 109 115 111 113 98 – 107
Ca 1,16 1,11 1,14 1,16 1.09 – 1.30
Mg 109 0,49 0,47 0,48 0.45 - 0.60
Laktat 1,7 2,1 2,0 3,5 0.7 – 2.5
GDS 131 101 240 174 74 – 99:
Bukan DM
100 – 199:
Belum pasti
DM
>= 200: DM

67
4.1.7.2 Pemeriksaan Echokardiografi

Table 4.3 Hasil evaluasi echokardiografi

Tanggal/jam ECHO Hasil


22/09/22 Transtorakal echo post Afib HR 120-135. Kontraktilitas LV
jam 15.19 operatif menurun (EF 25% Teich) lebih rendah
dibandingkan preop. RWMA baru
inferoseptal anteroseptal anterior.
Kontraktilitas RV menurun (TAPSE
8mm), TR mild MR trivial, VTI 15 CO
cukup 4,2L, SVR tinggi 1580, PE
vminimal inferior dan lateral LV, efusi
pleura (-), status volume cukup

23/09/22 Transtorakal echo post


Kontaktilitas LV menurun (EF 25%
jam 12.50 operatif
teach) stqe. RWMA (+) stqe anterior
anteroseptal. Kontraktilitas RV
menurun (TAPSE 9mm) MV inflow
variation 35%, PE sekeliling jantung 2-
5-3 cm, Efusi pleura (-), status volume
cukup, IVC tegang
24/09/22 Transtorakal echo post Afib HR 110-120
jam 12.51 operatif Kontraktilitas LV menurun (EF 35%
TEICH) kesan perbaikan. RWMA
anteroseptal anterior stqe. Kontraktilitas
RV menurun (TAPSE 10 mm) TR mild
MR trivial. VTI 15 CO cukup 5L SVR
tinggi 1400, PE minimal inferior dan
lateral LV superior RA 13 mm, efusi
pleura (-), status volume cukup.

68
4.1.7.3 Pemeriksaan EKG

a) EKG on pacing

b) EKG on beat pasien

Gambar 4.1. EKG postoperative hari ke-1 tgl 23/09/2022 jam 19.18

Irama : Reguler
HR : 62 x/menit

69
Gel p : Tidak ada
PR interval : Tidak ada
Kompleks QRS : Sempit, 0,08 sec
Gel Q : terdapat Q patologis di lead I, AVL, V1-V4
Gel T : Normal
Segmen ST : Isoelektrik
Tanda tanda hipertrofi : R/S di V1 >1
Tanda-tanda blok : Bentuk M shape di V2-V4
Axis : Normal
Interpretasi : Junctional accelerated dengan RBBB, hipertrofi
ventrikel kanan, OMI anterolateral dengan normal
axis

4.1.7.4 Foto rontgen

Gambar 4.2 Foto rontgen pasca operasi tgl 24/09/22 jam 09.46

Kesan:

70
Cardiomegali (CTR >50%), Letak ujung ETT ICS 3, CVC dan Mahukar di ICS 4,
tip IABP 2-3 cm di bawah arkus aorta

4.1.9 Terapi medikamentosa

Table 4.4 Daftar terapi

No Nama obat Dosis Rute


1 Paracetamol 3x1 gr IV
2 Primperan 3x10 mg IV
3 Ventolin 3x2,5 mg Inhalasi
4 Meropenem 3x2 gr IV
5 Levofloxacyin 1x750 mg IV
6 Dexametason 2x5 mg IV
7 Concor 1x1,25 PO
8 Vascon 0,05 mcg/kgBB/mnt IV
9 Adrenalin 0,05 mcg/kgBB/mnt IV
10 Dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt IV
11 Insulin 1 iu/jam IV
12 NTG 0,5 mcg/mnt IV
13 MO 10 mcg/kgBB/jam IV
14 Recofol 20 mg/jam IV
15 Heparin 620 iu/jam IV
16 Furosemid 20 mg/jam IV
17 Smove kabiven 60 cc/jam IV
18 Citicoline 2 gr/24 jam IV
19 OMZ 40 mg/24 jam IV
20 Brilinta 2x90 mg PO
21 Aptor 1x100 mg PO
22 Simvastatin 1x20 mg PO
23 Ondansentron 4mg/12jam IV

71
72
4.2 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1 DS: - Pemakaian obat Gangguan ventilasi spontan
DO: sedasi dan relaksan
 Pasien terintubasi, terpasang ETT No 7.5
tersambung ventilator dengan settingan mode
PSIMV fio2 50% RR12, VT 500 cc, VTe 467cc,
Pins 19 PEEP 5
 Pasien masih dalam pengaruh obat sedasi
(terpasang propofol 20 mg)
 Pengembangan dinding dada simetris, tidak ada
penggunaan otot bantu nafas tambahan
 TTV: ABP 140/78 mmHg MAP 99 mmHg on
inotropic dan vasopresor HR 135 x/menit irama
AFRVR, S 36 0C, Spo2 98% CVP 11 mmHg RR
16x/menit
 Hasil laborat AGDA: pH 7.52, PO2 121.2,
2 PCO2 29.8, HCO3 24, BE 1.6, SO2 99.4, K 4.1, Perubahan irama jantung, Penurunan curah jantung

Na 143 perubahan frekuensi jantung,

73
Cl 115, Ca 1.11, Mg 0.49, laktat 2.1 perubahan kontraktilitas,
DS: - perubahan preload dan
DO: perubahan aftreload
 Terpasang IABP di A. femoralis dextra dengan
tekanan sitolik 88 mmHg, tekanan diastolik 52
mmHg, MAP 85 mmHg, trigger berdasarkan
EKG augmentasi maksimal, frekuensi 1:1,
pulsasi perifer teraba kuat
 Hemodinamik tidak stabil on support inotropic
dan vasopresor (vascon 0.05 mcg/kgBB/mnt,
dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt, adrenalin 0.05
mcg/kgBB/mnt) ABP 140/78 mmHg, MAP 99
mmHg HR 135x/menit irama AFRVR, S 36 0C
 CVP 11 mmHg, CRT < 2dtk, akral dingin,
edema tungkai (-)
 Hasil ECHO tanggal 24/09/22 jam 12.45: Atrial
fibrilasi HR 110-120, Kontraktilitas LV menurun
(EF 35% TEICH) kesan perbaikan. RWMA
anteroseptal anterior stqe. Kontraktilitas RV

74
menurun (TAPSE 10 mm) TR mild MR trivial.
VTI 15 CO cukup 5L SVR tinggi 1400, PE
minimal inferior dan lateral LV superior RA 13
mm, efusi pleura (-), status volume cukup.
 Hasil EKG tanggal 23 jam 19.18: Junctional
accelerated dengan RBBB, hipertrofi ventrikel
kanan
 Urin output 50-200 cc/jam

3 DS: - Pembedahan jantung dan Perfusi renal tidak efektif


DO: disfungsi ginjal
 Hasil pemeriksaan fungsi ginjal: ureum 103
kreatinin 3.3 BUN 38.1, eGFR 20
 TTV ABP 140/78 mmHg MAP 99 mmHg on
triple inotropik (vascon 0.05 mcg/kgBB/mnt,
dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt, adrenalin 0.05
mcg/kgBB/mnt) HR 135 x/menit irama AFRVR,
S 36 0
C, Spo2 98% CVP 11 mmHg RR
16x/menit

75
 Urin output 50-200 cc/jam
 Pasien direncanakan dilakukan CRRT mode
CVVH blood flow 200, fluid loss 50 cc, cairan
replacement pre dilution 1000 ml, post dilution
1000 mL/jam, heparin 1000 iu/jam

4 DS: - Efek samping pembedahan Resiko ketidakseimbangan elektrolit


DO: dan disfungsi ginjal
 Hasil pemeriksaan elektrolit: K 4.1, Na 143
 Cl 115, Ca 1.11, Mg 0.49
 Hasil EKG tanggal 23 jam 19.18: Junctional
accelerated dengan RBBB, hipertrofi ventrikel
kanan, OMI anterolateral
 TTV ABP 140/78 mmHg MAP 99 mmHg on
inotropic dan vasopresor (vascon 0.05
mcg/kgBB/mnt, dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt,
adrenalin 0.05 mcg/kgBB/mnt) HR 135 x/menit
irama AFRVR, S 36 0C, Spo2 98% CVP 11
mmHg RR 16x/menit

76
 Pasien direncanakan dilakukan CRRT mode
CVVH blood flow 200, fluid loss 50 cc, cairan
replacement pre dilution 1000 ml, post dilution
1000 mL/jam, heparin 1000 iu/jam
 Balance cairan -1442cc (jam 06-14)

5 DS: - Perubahan sirkulasi, Resiko gangguan integritas


DO: perubahan status nutrisi, kulit/jaringan
 Pasien dengan kesadaran SAS 1 dengan sedasi penurunan mobilitas,
propofol 20 mg/jam kekurangan/kelebihan volume
 Pasien imobilisasi di tempat tidur dengan posisi cairan, faktor mekanis
semifowler (penekanan, gesekan), suhu
 Pasien terpasang alat bantu sirkulasi IABP yang lingkungan yang ekstrim
diinsersi di A. femoralis dextra
 Pasien terpasang ETT, arteri line di A. radialis
sinistra, CVC di subklavia sinistra, terpasang
kabel elektrode monitor, terpasang NGT di
nasal, dower kateter, mahukar line di vena
jugularis interna dextra

77
 Terdapat luka post operasi dengan panjang ±10
cm, dan terpasang drain WSD intrapleural kiri
no 20 Fr dan substernal no 28 Fr, terdpat luka
operasi ±15 cm pada ekstremitas bawah dextra
dan sinistra
 TTV ABP 140/78 mmHg MAP 99 mmHg on
inotropi dan vasopressor (vascon 0.05
mcg/kgBB/mnt, dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt,
adrenalin 0.05 mcg/kgBB/mnt) HR 135 x/menit
irama AFRVR, S 36 0C, Spo2 98% CVP 11
mmHg RR 16x/menit

6 DS: - Prosedur endovaskuler Resiko Perfusi perifer


DO: dan hiperglikemia tidak efektif (D.0015)
 Pasien post CABG 3 graft on pump
 Terpasang IABP di A. femoralis dextra dengan
tekanan sistolik 88 mmHg, tekanan diastolik 52
mmHg, MAP 85 mmHg, trigger berdasarkan
EKG augmentasi maksimal, frekuensi 1:1, IABP

78
inflasi/deflasi point Auto, pulsasi ektremitas
dorsalis pedis Ka/Ki +/+, pulsasi poplitea Ka/Ki
+/+, femoralis pedis Ka/Ki +/+, kehangatan
ekstremitas kanan dan kiri dingin, warna kulit
ekstremitas kanan dan ekstremitas kiri normal
(tidak pucat)
 CRT < 2dtk
 GDS 240 mg/dl

4.3 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)


Keperawatan (SDKI)

1 Gangguan ventilasi spontan Luaran Utama: ventilasi spontan (L.01007) Dukungan ventilasi (I.01002) dan pemantauan
berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi keperawatan respirasi (I.01014)
Pemakaian obat sedasi dan selama 3 x 24 jam, mampu bernafas secara Observasi
relaksan (D.0004) adekuat dengan kriteria hasil:  Identifikasi adanya kelelahan otot bantu

79
 Volume tidal meningkat nafas
 Tidak ada dyspnea  Identifikasi efek perubahan posisi
 Tidak ada penggunaan otot terhadap status pernafasan
bantu pernafasan  Monitor status respirasi dan oksigenasi
 Tidak gelisah  Monitor pola nafas
 PCO2 membaik  Monitor kemampuan batuk efektif
 PO2 membaik  Monitor adanya produksi sputum
 Tidak ada takikardi  Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi nafas
 Monitornilai AGD
 Monitor hasil X-Ray
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berikan posisi semi fowler / fowler
 Fasilitasi mengubah posisi senyamn
mungkin
 Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
 Atur interval waktu pemantauan respirasi

80
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi:
 Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
 Ajarkan teknik batuk efektif
 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat brokodilator
jika perlu
2 Penurunan Curah jantung Luaran Utama: Curah Jantung meningkat Pemantauan hemodinamik invasif (I.02058) dan
berhubungan dengan (L.02008) perawatan jantung akut (I.02076)
perubahan irama jantung, Setelah dilakukan intervensi keperawatan Observasi:
perubahan frekuensi selama 3x24 jam, penurunan curah jantung  Monitor frekuensi dan irama jantung
jantung, perubahan tidak terjadi dengan kriteria hasil:  Monitor tekanan vena central
kontraktilitas, perubahan  Tekanan darah  Monitor perfusi perifer distal pada sisi
preload dan perubahan  Pengisian kapiler insersi setiap 4 jam
aftreload (D.0008)  Central venous pressure (CVP)  Monitor tanda – tanda vital
 CRT dari tingkat 3→5 Ket:  Monitor intake dan output cairan
1: Memburuk  Monitor saturasi oksigen

81
2: Cukup Memburuk  Monitor EKG 12 sadapan
3: Sedang  Monitor nilai elektrolit yang dapat
4: Cukup Membaik meningkatkan resiko aritmia
5: Membaik  Monitor alat pacu jantung
Terapeutik:
 Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
 Posisikan semifowler/fowler dengan kaki
di bawah atau posisi nyaman
Edukasi:
 Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
 Jelaskan prosedur yang akan dijalankan
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian antiaritmia jika
perlu
 Kolaborasi pemberian antiplatelet,
antianginal, antikoagulan jika perlu

82
 Kolaborasi pemberian morfin jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropik jika
perlu
 Kolaborasi pemriksaan X-Ray jika perlu
3 Perfusi renal tidak efektif Luaran utama: perfusi renal meningkat Manajemen hemofiltrasi
ditandai dengan adanya (L.02013) Observasi
pembedahan jantung dan Setelah dilakukan intervensi keperawatan  Identifikasi kondisi pasien (mis. tekanan
disfungsi ginjal selama 2 x 24 jam, perfusi renal meningkat darah, nadi, pernapasan dan suhu tubuh,
(D.0016) dengan kriteria hasil: berat badan, edema, keseimbangan
 Jumlah urine meningkat cairan)
 Tekanan arteri rata-rata membaik  Monitor status hemodinamik selama
 Kadar urea nitrogen darah membaik proses hemofiltrasi
 Kadar kreatinin plasma membaik  Monitor ultrafiltration rate, hemodinamik
 Tekanan darah sistolik membaik Dan kebocoran
 Tekanan darah diastolik membaik  Monitor intake dan output cairan tiap
 Kadar elektrolit membaik jam
Terapeutik
 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan
fungsi ginjal, dan elektrolit sebelum

83
terapi
 Gunakan teknik steril untuk melakukan
priming blood line hemofiltrasi, saat
menyambungkan arteri - blood line dan
vena pasien
 Bebaskan sirkuit hemofiltrasi dari udara
 Berikan heparin sesuai protokol
 Periksa kepatenan hubungan blood line,
arteri maupun Vena
 Rawat lokasi insersi dan selang sesuai
protokol
 Hentikan hemofiltrasi jika kondisi
menurun
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
hemofiltrasi pada pasien dan keluarga
4 Risiko gangguan Luaran Utama: Keseimbangan elektrolit Pemantauan elektrolit (I.03122) dan manajemen
keseimbangan elektrolit meningkat (L.03021) cairan (I.03098)
ditandai dengan efek Setelah dilakukan intervensi keperawatan Observasi:

84
samping pembedahan dan selama 2 x 24 jam, keseimbangan elektrolit  Identifkasi kemungkinan penyebab
disfungsi ginjal (D.0037) meningkat dengan kriteria hasil: ketidakseimbangan elektrolit
 Serum natrium dalam batas normal  Monitor mual, muntah dan diare
 Serum kalium dalam batas normal  Monitor kadar eletrolit serum
 Serum klorida dalam batas normal  Monitor kehilangan cairan, jika perlu
 Serum kalsium dalam batas normal  Monitor tanda dan gejala hypokalemia
 Serum magnesium dalam batas (mis. Kelemahan otot, interval QT
normal memanjang, gelombang T datar atau
terbalik, depresi segmen ST, gelombang
U, kelelahan, parestesia, penurunan
refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas
usus menurun, pusing, depresi
pernapasan)
 Monitor tanda dan gejala hyperkalemia
(mis. Peka rangsang, gelisah, mual,
munta, takikardia mengarah ke
bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel,
gelombang T tinggi, gelombang P datar,
kompleks QRS tumpul, blok jantung

85
mengarah asistol)
 Monitor tanda dan gejala hipontremia
(mis. disorientasi, otot berkedut, sakit
kepala, membrane mukosa kering,
hipotensi postural, kejang, letargi,
penurunan kesadaran)
 Monitor tanda dan gejala hypernatremia
(mis. Haus, demam, mual, muntah,
gelisah, peka rangsang, membrane
mukosa kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
 Monitor tanda dan gejala hipokalsemia
(mis. Peka rangsang, tanda IChvostekI
[spasme otot wajah], tanda Trousseau
[spasme karpal], kram otot, interval QT
memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia
(mis. nyeri tulang, haus, anoreksia,
letargi, kelemahan otot, segmen QT

86
memendek, gelombang T lebar,
kompleks QRS lebar, interval PR
memanjang)
 Monitor tanda dan gejala
hipomagnesemia (mis. Depresi
pernapasan, apatis, tanda Chvostek,
tanda Trousseau, konfusi, disritmia)
 Monitor tanda dan gejala hipomagnesia
(mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi, koma,
depresi)
 Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi
nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian
kapiler, kelembapan membrane mukosa,,
turgor kulit, tekanan darah)
 Monitor status hemodinamik (MAP,
CVP, PCWP jika tersedia)
Terapeutik:
 Atur interval waktu pemantauan sesuai

87
dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
 Catat intake dan output dan hitung balans
cairan dalam 24 jam
 Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian diuretik jika perlu
5 Resiko gangguan integritas Luaran utama: integritas kulit dan jaringan Perawatan integritas kulit (I.11353) dan
kulit/jaringan Perubahan meningkat (L.14125) perawatan luka (I.14564)
sirkulasi, perubahan status Setelah dilakukan intervensi keperawatan Observasi:
nutrisi, penurunan selama 2 x 24 jam, integritas kulit dan  Identifikasi penyebab gangguan
mobilitas, jaringan meningkat dengan kriteria hasil: integritas kulit misalnya perubahan
kekurangan/kelebihan  Elastisitas meningkat sirkulasi, perubahan status nutrisi,
volume cairan, faktor  Hidrasi meningkat penurunan kelembapan, suhu lingkungan

88
mekanis (penekanan,  Perfusi jaringan meningkat ekstrim, penurunan mobilitas
gesekan), suhu lingkungan  Kerusakan jaringan menurun  Monitor karakteristik luka
yang ekstrim (D.0139)  Kerusakan lapisan kulit menurun  Monitor tanda-tanda infeksi
 Perdarahan menurun Terapeutik:
 Kemerahan menurun  Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
 Hematoma menurun  Lakukan masase pada area penonjolan
 Pigmentasi abnormal menurun tulang
 Jaringan parut menurun  Bersihkan perineal dengan air hangat
 Nekrosis menurun  Gunakan produk berbahan petroleum,
 Suhu kulit membaik atau minyak pada kulit yang kering
 Tekstur membaik  Gunakan produk berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada kulit sensitive
 Hindari produk berbahan dasar alcohol
pada kulit kering
 Lepaskan balutan dan plester secara
perlahan
 Bersihkan dengan cairan NaCl atau
pembersih nontoksik
 Bersihkan jaringan nekrotik

89
 Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi,
jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
Edukasi:
 Anjurkan menggunakan pelembab (mis
lotion, minyak)
 Anjurkan minum air yang cukup
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi,
nuah dan sayur
 Anjurkan menghindari terpapar suhu
yang ekstrim
 Anjurkan mandi dan menggunakan
sabun secukupnya
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori
 Ajarkan prosedur perawatan luka secar

90
mandiri
Kolaborasi:
 Kolaborasi prosedur debridemen (mis.
Enzimatik biologis mekanis, autolitik)
 Kolaborasi pemberian antibiotik jika
perlu

6 Resiko perfusi perifer tidak Luaran Utama: Perfusi perifer (L.02011) Perawatan Sirkulasi (I.02079)
efektif ditandai dengan Setelah dilakukan intervensi selama Observasi:
prosedur endovaskuler dan 3x24jam perfusi perifer dapat meningkat,  Periksa sirkulasi perifer (mis, nadi
hiperglikemia dengan kriteria hasil: perifer,edema, kapiler, warna, suhu,
(D.0015) 1. Denyut nadi perifer dari ankle brachial index)
(1) menjadi baik (5)  Monitor status oksigenasi (oksimetri,
2. Warna kulit pucat dari nadi, AGD)
meningkat (1) menjadi menurun (5)  Identifikasi faktor resiko gangguan
3. Pengisiam kapiler dari memburuk (1) sirkulasi (mis, diabetes, hipertensi dan
menjadi membaik (5) kadar kolesterol)
4. Tekanan darah dari memburuk (1)  Monitor panas, kemerahan, nyeri, dan

91
menjadi (5) bengkak pada ekstremitas.
5. Tekanan arteri rata-rata membaik (5) Terapeutik:
 Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan
torniquet pada area yang cedera

4.4 Implementasi dan evaluasi keperawatan

No Tanggal/jam Diagnosa Implementasi Evaluasi


keperawatan
1 24-09-2022 Gangguan ventilasi  Mengidentifikasi adanya kelelahan Jam 21.00
Jam 13.00-21.00 spontan berhubungan otot bantu nafas DS: -
dengan Pemakaian  Mengidentifikasi efek perubahan DO:
obat sedasi dan posisi terhadap status pernafasan  Pasien kesadaran SAS 2, GCS
relaksan (D.0004)  Monitoring status respirasi dan E2M4VT, NIRS L55-R 56
oksigenasi  Pasien terpasang ETT yang
 Monitoring pola nafas dihubungkan dengan ventilator dg
 Monitoring kemampuan batuk mode PSIMV FIo2 50%, RR 12 VTe

92
efektif 438 cc MV 8,5 cc Pins 12 PEEP 5
 Monitor adanya produksi sputum  Pengembangan dinding dada simetris,
 Monitoring adanya sumbatan jalan auskultasi suara paru vesikuler, tidak
nafas/mempertahankan kepatenan ada penggunaan otot bantu nafas
jalan nafas tambahan
 Melakukan auskultasi bunyi nafas  Ketika disuction terdapat sekret
 Mengambil sample dan menilai warna kuning, jumlah sedikit
hasil AGD konsistensi sedikit kental, respon
 Memposisikan pasien semi fowler batuk (+)
 Mengubah posisi pasien senyaman  ABP: 125/67 mmHg MAP HR 118
mungkin x/mnt irama AFRVR, RR 21x/mnt, S
 Memberikan oksigenasi sesuai 36,50C, Spo2 100%
kebutuhan  Hasil AGD pH 7.52, pO2 162.1,
 Mengatur interval waktu pCO2 28.7, HCO3 24.2, BE 1.6 laktat
pemantauan respirasi sesuai 2,0
kondisi pasien A: Masalah belum teratasi
 Mendokumentasikan hasil P: lanjutkan intervensi
pemantauan
 Melakukan kolaborasi pemberian

93
obat ventolin 2,5 mg inhalasi
 Melakukan kolaborasi penyapihan
ventilator
2 24-09-2022 Penurunan Curah  Monitoring frekuensi dan irama Jam 21.00
Jam 13.00-21.00 jantung berhubungan jantung DS: -
dengan perubahan  Monitoring tekanan vena central DO:
irama jantung,  Monitoring perfusi perifer distal  Pasien kesadaran SAS 2, GCS
perubahan frekuensi pada sisi insersi setiap 4 jam E2M4VT, NIRS L 55-R 56
jantung, perubahan  Monitoring tanda – tanda vital  ABP: 125/67 mmHg MAP 85 mmHg
kontraktilitas,  Monitoring intake dan output HR 118 x/mnt irama AFRVR, RR
perubahan preload cairan 21x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
dan perubahan  Monitoring saturasi oksigen  CVP 8-10 mmHg
aftreload (D.0008)  Monitor nilai elektrolit yang dapat  Akral dingin, pulsasi perifer teraba
meningkatkan resiko aritmia kuat, CRT <2dtk
 Mengatur interval waktu  IABP terpasang di femoralis dextra
pemantauan sesuai dengan kondisi sistolik 85 mmHg, diastolik 62
pasien mmHg, MAP 72 mmHg, augmentasi
 Mendokumentasikan hasil 86, trigger ECG, frekuensi 1:1 pulsasi
pemantauan kedua ektremitas teraba, kehangatan

94
 Memposisikan pasien semifowler kedua ekstremitas dingin, warna
 Melakukan kolaborasi pemberian kedua ekstremitas merah
antiaritmia berupa cordaron  Urine output 50-150cc/jam
300mg/24 jam  Intake cairan 2304 cc, output cairan
 Melakukan kolaborasi pemberian 3840 cc balance cairan -1536 cc/ 24
antiplatelet, antiangina, jam
antikoagulan  Nilai elektrolit: K 3.2, Na 139, Cl
 Melakukan kolaborasi pemberian 111, Ca 1.14, Mg 0,47
morfin 10 mcg/kgBB/jam A: Masalah belum teratasi
 Melakukan kolaborasi pemberian P: lanjutkan intervensi
inotropik berupa vascon 0,05
mcg/kgBb/mnt, adrenalin 0,05
mcg/kgBb/mnt, dobutamine 3
mcg/kgBB/mnt
3 25-09-2022 Perfusi renal tidak  Mengidentifikasi kondisi pasien Jam 07.30
Jam 07.00-14.00 efektif ditandai (mis. tekanan darah, nadi, DS: -
dengan pembedahan pernapasan dan suhu tubuh, berat DO:
jantung dan disfungsi badan, edema, keseimbangan  ABP: 108/70 mmHg MAP 82 mmHg
ginjal (D.0016) cairan) HR 132 x/mnt irama Sinus takikardi,

95
 Monitoring status hemodinamik RR 18x/mnt, S 37,5 0C, Spo2 100%
selama proses hemofiltrasi  CVP 10-14 mmHg
 Monitoring ultrafiltration rate,  Intake cairan 3260 cc, output cairan
hemodinamik dan kebocoran 4005 cc balance cairan -745 cc/24
 Monitoring intake dan output jam
cairan tiap jam  Urine output 20-60 cc/jam
 Mengambil sampel darah untuk  Fungsi ginjal: ureum 81.60, kreatinin
pemeriksaan fungsi ginjal, dan 2.16, BUN 38.1, eGFR 32
elektrolit sebelum terapi  Nilai elektrolit: K 4.3, Na 140, Cl
 Menggunakan teknik steril untuk 107, Ca 1.24, Mg 0,49
melakukan priming blood line  Terpasang CRRT mode CVVH,
hemofiltrasi, saat menyambungkan blood flow 150 ml/mnt, fluid loss
arteri - blood line dan vena pasien 100ml/jam cairan replacement pre
 Membebaskan sirkuit hemofiltrasi dilusi 1000ml/jam, Post dilusi
dari udara 1000ml/jam, heparin 700 iu/jam, hasil
 Memberikan heparin sesuai ACT 158
protokol A: Masalah belum teratasi
 Memeriksa kepatenan hubungan P: Lanjutkan intervensi
blood line, arteri maupun vena

96
 Melakukan perawatan lokasi
insersi dan selang sesuai protokol
 Menghentikan hemofiltrasi jika
kondisi menurun
 Menjelaskan tujuan dan prosedur
hemofiltrasi pada pasien dan
keluarga
4 25-09-2022 Risiko gangguan  Mengidentifkasi kemungkinan Jam14.00
Jam 07.00-14.00 keseimbangan penyebab ketidakseimbangan DS: -
elektrolit ditandai elektrolit DO:
dengan efek samping  Monitoring mual, muntah dan diare  Kesadaran SAS 4, GCS E4M5VT
pembedahan dan  Monitoring kadar eletrolit serum  ABP: 110/68 mmHg MAP 79 mmHg
disfungsi ginjal  Monitoring tanda dan gejala HR 141 x/mnt irama Sinus takikardi,
(D.0037) hipokalemia (mis. Kelemahan otot, RR 22x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 98%
interval QT memanjang,  CVP 10-14 mmHg
gelombang T datar atau terbalik,  Akral dingin, nadi perifer teraba kuat
depresi segmen ST, gelombang U, dan cepat, CRT < 2 dtk, turgor kulit
kelelahan, parestesia, penurunan bagus, mukosa mulut lembab
refleks, anoreksia, konstipasi,  Intake cairan 3260 cc, output cairan

97
motilitas usus menurun, pusing, 4005 cc balance cairan -745 cc/24
depresi pernapasan) jam
 Monitoring tanda dan gejala  Urine output 20-60 cc/jam
hyperkalemia (mis. Peka rangsang,  Nilai elektrolit: K 4.0, Na 133, Cl
gelisah, mual, muntah, takikardia 107, Ca 1.19, Mg 0,51
mengarah ke bradikardia,  Muntah (-), diare (-), residu makanan
fibrilasi/takikardia ventrikel, (-), bising usus 8x/menit
gelombang T tinggi, gelombang P  Tanda Chvostek (-), tanda Trousseau
datar, kompleks QRS tumpul, blok (-)
jantung mengarah asistol) A: Masalah belum teratasi
 Monitoring tanda dan gejala P: Lanjutkan intervensi
hipontremia (mis. disorientasi, otot
berkedut, sakit kepala, membrane
mukosa kering, hipotensi postural,
kejang, letargi, penurunan
kesadaran)
 Monitoring tanda dan gejala
hypernatremia (mis. Haus, demam,
mual, muntah, gelisah, peka

98
rangsang, membrane mukosa
kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
 Monitoring tanda dan gejala
hipokalsemia (mis. Peka rangsang,
tanda IChvostekI [spasme otot
wajah], tanda Trousseau [spasme
karpal], kram otot, interval QT
memanjang)
 Monitoring tanda dan gejala
hiperkalsemia (mis. nyeri tulang,
haus, anoreksia, letargi, kelemahan
otot, segmen QT memendek,
gelombang T lebar, kompleks QRS
lebar, interval PR memanjang)
 Monitoring tanda dan gejala
hipomagnesemia (mis. Depresi
pernapasan, apatis, tanda Chvostek,
tanda Trousseau, konfusi, disritmia)

99
 tanda dan gejala hipomagnesia
(mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi,
koma, depresi)
 Monitoring status hidrasi (mis.
Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
akral, pengisian kapiler,
kelembapan membrane mukosa,
turgor kulit, tekanan darah)
 Monitoring status hemodinamik
(MAP, CVP)
 Mengatur interval waktu
pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
 Mendokumentasikan hasil
pemantauan
 Mencatat intake dan output dan
hitung balans cairan dalam 24 jam
 Memberikan asupan cairan sesuai

100
kebutuhan
 Melakukan kolaborasi diuretik jika
perlu
5 25-09-22 Resiko gangguan  Mengidentifikasi penyebab DS: -
Jam 07.00-14.00 integritas gangguan integritas kulit misalnya DO:
kulit/jaringan perubahan sirkulasi, perubahan  Kondisi kulit lembab, mukosa mulut
ditandai dengan status nutrisi, penurunan bersih
perubahan sirkulasi, kelembapan, suhu lingkungan  Tidak ada luka dekubitus pada area
perubahan status ekstrim, penurunan mobilitas tulang yang menonjol
nutrisi, penurunan  Monitoring karakteristik luka  Tidak ada tanda-tanda flebitis pada
mobilitas,  Monitoring tanda-tanda infeksi semua area insersi
kekurangan/kelebihan  Mengubah posisi tiap 2 jam  Kondisi luka operasi bersih, sedikit
volume cairan, faktor  Memasang kasur anti dekubitus kemerahan, mulai mengering, pus (-)
mekanis (penekanan,  Melakukan masase pada area  Diet nefrisol 6x100 cc, residu (-),
gesekan), suhu penonjolan tulang terpasang smove kabivent 60 cc/jam
lingkungan yang  Membantu pasien dalam  Intake cairan 3260 cc, output cairan
4005 cc balance cairan -745 cc/24
ekstrim (D.0139) pemenuhan kebersihan diri seperti
jam
memandikan, melakukan oral  Nilai laboratorium: Hb 10.5 gr/dl, Ht
hygiene 31.5, leukosit 28650, trombosit 111

101
 Membersihkan perineal dengan air rb
hangat  ABP: 110/68 mmHg MAP 79 mmHg
 Menggunakan produk berbahan HR 141 x/mnt irama Sinus takikardi,
minyak zaitun pada kulit RR 22x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 98%
 Melepaskan balutan dan plester  CVP 10-14 mmHg
secara perlahan pada area luka  Akral dingin, nadi perifer teraba kuat
operasi dan insersi alat-alat yang dan cepat, CRT < 2 dtk, turgor kulit
digunakan seperti ETT, NGT, AL, bagus
Side port, kateter urin, CVC, IABP, A: Masalah belum teratasi
drain WSD P: pertahankan intervensi
 Membersihkan dengan cairan NaCl
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Mempertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
 Menghindarkan terpapar suhu yang
ekstrim
 Kolaborasi pemberian nutrisi
enteral dan parenteral yang tinggi
protein

102
 Kolaborasi pemberian antibiotik
meronem 3x1 gr dan levofloxacyin
750 mg/24 jam
6 24-09-2022 Resiko Perfusi perifer  Memeriksa sirkulasi perifer (mis, Jam 21.00
Jam 13.00-21.00 tidak efektif ditandai nadi perifer, edema, kapiler, warna, DS: -
prosedur suhu) DO:
endovaskuler dan  Monitor status oksigenasi  ABP: 125/67 mmHg MAP 85 mmHg
hiperglikemia (oksimetri, nadi, AGD) HR 118 x/mnt irama AFRVR, RR
(D.0015)  Mengidentifikasi faktor resiko 21x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
gangguan sirkulasi (mis, diabetes,  Akral dingin, pulsasi perifer teraba
hipertensi dan kadar kolesterol) kuat, CRT <2dtk
 Memonitor panas, kemerahan,  IABP terpasang di femoralis dextra
nyeri, dan bengkak pada sistolik 85 mmHg, diastolik 62
ekstremitas. mmHg, MAP 72 mmHg, augmentasi
86, trigger ECG, frekuensi 1:1 pulsasi
 Menghindari pengukuran tekanan kedua ektremitas teraba, kehangatan
darah pada ekstremitas dengan kedua ekstremitas dingin, warna
keterbatasan perfusi kedua ekstremitas merah
 Menghindari penekanan dan  Hasil AGD pH 7.52, pO2 162.1,

103
pemasangan torniquet pada area pCO2 28.7, HCO3 24.2, BE 1.6 laktat
yang cedera 2,0, GDS 180 gr/dl
 Memberikan drip insulin sesuai A: Masalah belum teratasi
hasil GDS P: lanjutkan intervensi

1 25-09-22 Gangguan ventilasi  Mengidentifikasi adanya kelelahan Jam 14.00


Jam 07.00-14.00 spontan berhubungan otot bantu nafas DS: -
dengan Pemakaian  Mengidentifikasi efek perubahan DO:
obat sedasi dan posisi terhadap status pernafasan  Pasien kesadaran SAS 4, GCS
relaksan (D.0004)  Monitoring status respirasi dan E4M5VT, nilai NIRS L 47-R 49
oksigenasi  Pasien terpasang ETT yang
 Monitoring pola nafas dihubungkan dengan ventilator dg
 Monitoring kemampuan batuk mode PSIMV Fio2 50%, RR 12 VTe
efektif 450 cc MV 8,5 cc Pins 12 PEEP 5
 Monitor adanya produksi sputum  Pengembangan dinding dada simetris,
 Monitoring adanya sumbatan jalan auskultasi suara paru rhonki di basal
nafas/mempertahankan kepatenan paru, tidak ada penggunaan otot bantu
jalan nafas, suction berkala nafas tambahan

104
 Melakukan auskultasi bunyi nafas  Ketika disuction terdapat sekret
 Mengambil sample dan menilai warna putih kekuningan, jumlah
hasil AGD banyak konsistensi kental, respon
 Memposisikan pasien semi fowler batuk (+)
 Mengubah posisi pasien senyaman  ABP: 110/68 mmHg MAP 79 mmHg
mungkin HR 141 x/mnt irama Sinus takikardi,
 Memberikan oksigenasi sesuai RR 22x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 98%
kebutuhan  Hasil AGD pH 7.41, pO2 138.3,
 Mengatur interval waktu pCO2 38.9, HCO3 25.4, BE 1.2 laktat
pemantauan respirasi sesuai kondisi 1.2
pasien A: Masalah belum teratasi
 Mendokumentasikan hasil P: lanjutkan intervensi
pemantauan
 Melakukan kolaborasi pemberian
obat ventolin 2,5 mg inhalasi
 Melakukan kolaborasi penyapihan
ventilator
2 25-09-22 Penurunan Curah  Monitoring frekuensi dan irama Jam 14.00
Jam 07.00-14.00 jantung berhubungan jantung DS: -

105
dengan perubahan  Monitoring tekanan vena central DO:
irama jantung,  Monitoring perfusi perifer distal  Pasien kesadaran SAS 4, GCS
perubahan frekuensi pada sisi insersi setiap 4 jam E4M5VT, nilai NIRS L 47-R 49
jantung, perubahan  Monitoring tanda – tanda vital  ABP: 110/68 mmHg MAP 79 mmHg
kontraktilitas,  Monitoring intake dan output cairan HR 141 x/mnt irama Sinus takikardi,
perubahan preload  Monitoring saturasi oksigen RR 22x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 98%
dan perubahan  Monitor nilai elektrolit yang dapat  CVP 10-14 mmHg
aftreload (D.0008) meningkatkan resiko aritmia  Akral dingin, nadi perifer teraba kuat
 Mengatur interval waktu dan cepat, CRT < 2 dtk,
pemantauan sesuai dengan kondisi  IABP terpasang di femoralis dextra
pasien sistolik 88 mmHg, diastolik 72
 Mendokumentasikan hasil mmHg, MAP 85 mmHg, augmentasi
pemantauan 90, trigger ECG, frekuensi 1:2 pulsasi
 Memposisikan pasien semifowler kedua ektremitas teraba, kehangatan
 Melakukan kolaborasi pemberian kedua ekstremitas hangat, warna
antiaritmia kedua ekstremitas merah
 Melakukan kolaborasi pemberian  Urine output 20-50 cc/jam
antiplatelet, antiangina,  Intake cairan 3260 cc, output cairan
antikoagulan 4005 cc balance cairan -745 cc/24

106
 Melakukan kolaborasi pemberian jam
morfin 10 mcg/kgBB/jam  Nilai elektrolit: K 4.0, Na 133, Cl
 Melakukan kolaborasi pemberian 109, Ca 1.19, Mg 0,51
inotropik berupa vascon 0,1 A: Masalah belum teratasi
mcg/kgBb/mnt, adrenalin 0,05 P: Pertahankan intervensi
mcg/kgBb/mnt, dobutamine 5
mcg/kgBB/mnt
3 26-09-22 Perfusi renal tidak  Mengidentifikasi kondisi pasien Jam 14.00
Jam 07.00-14.00 efektif ditandai (mis. tekanan darah, nadi, DS: -
dengan pembedahan pernapasan dan suhu tubuh, berat DO:
jantung dan disfungsi badan, edema, keseimbangan  ABP: 118/60 mmHg MAP 79 mmHg
ginjal (D.0016) cairan) HR 105 x/mnt irama Sinus takikardi,
 Monitoring status hemodinamik RR 16x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
selama proses hemofiltrasi  CVP 8-12 mmHg
 Monitoring ultrafiltration rate,  Intake cairan 2062 cc, output cairan
3590 cc, balance cairan -1528 cc/24
hemodinamik dan kebocoran
jam
 Monitoring intake dan output cairan  Urine output 90-160 cc/jam
tiap jam  Fungsi ginjal: ureum 79, kreatinin
 Mengambil sampel darah untuk 1.74, BUN 36.9, eGFR 41

107
pemeriksaan fungsi ginjal, dan  Nilai elektrolit: K 3.1, Na 135, Cl
elektrolit sebelum atau terapi 108, Ca 1.20, Mg 0,60
 Menggunakan teknik steril untuk  Terpasang CRRT mode CVVHDF,
melakukan priming blood line blood flow 150 ml/mnt, fluid loss
hemofiltrasi, saat menyambungkan 100ml/jam cairan replacement
arteri - blood line dan vena pasien 1000ml/jam, cairan dialisat
 Membebaskan sirkuit hemofiltrasi 1000ml/jam, heparin 800 iu/jam, hasil
dari udara ACT 124, nilai PT/APTT 11.3/30.6
 Memberikan heparin sesuai dtk, INR 1.09
protokol  A: Masalah belum teratasi
 Memeriksa kepatenan hubungan  P: Pertahankan intervensi
blood line, arteri maupun vena
 Melakukan perawatan lokasi insersi
dan selang sesuai protokol
 Menghentikan hemofiltrasi jika
kondisi menurun
 Menjelaskan tujuan dan prosedur
hemofiltrasi pada pasien dan
keluarga

108
4 26-09-22 Resiko gangguan  Mengidentifkasi kemungkinan Jam14.00
Jam 07.00-14.00 keseimbangan penyebab ketidakseimbangan DS: -
elektrolit ditandai elektrolit DO:
dengan efek samping  Monitoring mual, muntah dan diare  Kesadaran SAS 4, GCS E4M5VT
pembedahan dan  Monitoring kadar eletrolit serum  ABP: 118/60 mmHg MAP 79 mmHg
disfungsi ginjal  Monitoring tanda dan gejala HR 105 x/mnt irama Sinus takikardi,
(D.0037) hipokalemia (mis. Kelemahan otot, RR 16x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
interval QT memanjang,  CVP 8-12 mmHg
gelombang T datar atau terbalik,  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat
depresi segmen ST, gelombang U, dan cepat, CRT < 2 dtk, turgor kulit
kelelahan, parestesia, penurunan bagus, mukosa mulut lembab
refleks, anoreksia, konstipasi,  Intake cairan 2062 cc, output cairan
motilitas usus menurun, pusing, 3590 cc, balance cairan -1528 cc/24
depresi pernapasan) jam
 Monitoring tanda dan gejala  Urine output 90-160 cc/jam
hyperkalemia (mis. Peka rangsang,  Nilai elektrolit: K 3.1, Na 135, Cl
gelisah, mual, muntah, takikardia 108, Ca 1.20, Mg 0,60
mengarah ke bradikardia,  Muntah (-), diare (-), residu makanan
fibrilasi/takikardia ventrikel, (-), bising usus 10-12x/menit

109
gelombang T tinggi, gelombang P  Tanda Chvostek (-), tanda Trousseau
datar, kompleks QRS tumpul, blok (-)
jantung mengarah asistol) A: Masalah belum teratasi
 Monitoring tanda dan gejala P: Lanjutkan intervensi
hipontremia (mis. disorientasi, otot
berkedut, sakit kepala, membrane
mukosa kering, hipotensi postural,
kejang, letargi, penurunan
kesadaran)
 Monitoring tanda dan gejala
hypernatremia (mis. Haus, demam,
mual, muntah, gelisah, peka
rangsang, membrane mukosa
kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
 Monitoring tanda dan gejala
hipokalsemia (mis. Peka rangsang,
tanda IChvostekI [spasme otot
wajah], tanda Trousseau [spasme

110
karpal], kram otot, interval QT
memanjang)
 Monitoring tanda dan gejala
hiperkalsemia (mis. nyeri tulang,
haus, anoreksia, letargi, kelemahan
otot, segmen QT memendek,
gelombang T lebar, kompleks QRS
lebar, interval PR memanjang)
 Monitoring tanda dan gejala
hipomagnesemia (mis. Depresi
pernapasan, apatis, tanda Chvostek,
tanda Trousseau, konfusi, disritmia)
 tanda dan gejala hipomagnesia
(mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi,
koma, depresi)
 Monitoring status hidrasi (mis.
Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
akral, pengisian kapiler,

111
kelembapan membrane mukosa,
turgor kulit, tekanan darah)
 Monitoring status hemodinamik
(MAP, CVP)
 Mengatur interval waktu
pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
 Mendokumentasikan hasil
pemantauan
 Mencatat intake dan output dan
hitung balans cairan dalam 24 jam
 Memberikan asupan cairan sesuai
kebutuhan
 Melakukan kolaborasi diuretik
furosemide 20 mg/jam
 Memberikan koreksi elektrolit jika
terjadi imbalance elektrolit
5 26-09-22 Resiko gangguan  Mengidentifikasi penyebab Jam 14.00
Jam 07.00-14.00 integritas gangguan integritas kulit misalnya DS: -

112
kulit/jaringan perubahan sirkulasi, perubahan DO:
ditandai dengan status nutrisi, penurunan  Kondisi kulit lembab, mukosa mulut
perubahan sirkulasi, kelembapan, suhu lingkungan bersih
perubahan status ekstrim, penurunan mobilitas  Tidak ada luka dekubitus pada area
nutrisi, penurunan  Monitoring karakteristik luka tulang yang menonjol
mobilitas,  Monitoring tanda-tanda infeksi  Tidak ada tanda-tanda flebitis pada
kekurangan/kelebihan  Mengubah posisi tiap 2 jam semua area insersi
volume cairan, faktor  Memasang kasur anti dekubitus  Kondisi luka operasi bersih, sedikit
mekanis (penekanan,  Melakukan masase pada area kemerahan, mulai mengering, pus (-)
gesekan), suhu penonjolan tulang  Diet nefrisol 6x100 cc, residu (-),
lingkungan yang  Membantu pasien dalam terpasang smove kabivent 60 cc/jam
ekstrim (D.0139) pemenuhan kebersihan diri seperti  Intake cairan 2062 cc, output cairan
memandikan, melakukan oral 3590 cc, balance cairan -1528 cc/24
hygiene jam
 Membersihkan perineal dengan air  Nilai laboratorium: Hb 10.3 gr/dl, Ht
hangat 31.8, leukosit 35850, trombosit 119
 Menggunakan produk berbahan rb
minyak zaitun pada kulit  ABP: 118/60 mmHg MAP 79 mmHg
 Melepaskan balutan dan plester HR 105 x/mnt irama Sinus takikardi,

113
secara perlahan pada area luka RR 16x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
operasi dan insersi alat-alat yang  CVP 8-12 mmHg
digunakan seperti ETT, NGT, AL,  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat
Side port/mahokar, kateter urin, dan cepat, CRT < 2 dtk, turgor kulit
CVC, IABP, drain WSD bagus
 Membersihkan dengan cairan NaCl A: Masalah belum teratasi
 Pasang balutan sesuai jenis luka P: Pertahankan intervensi
 Mempertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
 Menghindarkan terpapar suhu yang
ekstrim
 Kolaborasi pemberian nutrisi
enteral dan parenteral yang tinggi
protein
 Kolaborasi pemberian antibiotik
meronem 3x1 gr dan levofloxacyin
750gr/24 jam
6 26-09-22 Resiko Perfusi perifer  Memeriksa sirkulasi perifer (mis, Jam 14.00
Jam 07.00-14.00 tidak efektif ditandai nadi perifer, edema, kapiler, warna, DS:

114
prosedur suhu), kaji tanda-tanda ALI DO:
endovaskuler dan  Monitor status oksigenasi  ABP: 118/60 mmHg MAP 79 mmHg
hiperglikemia (oksimetri, nadi, AGD) HR 105 x/mnt irama Sinus takikardi,
(D.0015)  Mengidentifikasi faktor resiko RR 16x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
gangguan sirkulasi (mis, diabetes,  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat
hipertensi dan kadar kolesterol) dan cepat, CRT < 2 dtk
 Memonitor panas, kemerahan,  IABP terpasang di femoralis dextra
nyeri, dan bengkak pada sistolik 101 mmHg, diastolik 92
ekstremitas. mmHg, MAP 81 mmHg, augmentasi
 Menghindari pengukuran tekanan 110, trigger ECG, frekuensi 1:2
darah pada ekstremitas dengan pulsasi kedua ektremitas teraba,
keterbatasan perfusi kehangatan hangat di kedua
 Menghindari penekanan dan ekstremitas, warna kulit merah di
pemasangan torniquet pada area kedua ektremitas
yang cedera  AGD: pH 7.46, PaO2 109.9, PaCO2
 Memberikan drip insulin sesuai 37.4, HCO3 26.8, BE 3.0, SaO2 98.7,
nilai GDS Laktat 1.0, GDS 227

1 26-09-22 Gangguan ventilasi  Mengidentifikasi adanya kelelahan Jam 14.00

115
Jam 07.00-14.00 spontan berhubungan otot bantu nafas DS: -
dengan Pemakaian  Mengidentifikasi efek perubahan DO:
obat sedasi dan posisi terhadap status pernafasan  Pasien kesadaran SAS 4, GCS
relaksan (D.0004)  Monitoring status respirasi dan E4M5VT, nilai NIRS L 47-R 45
oksigenasi  Pasien terpasang ETT yang
 Monitoring pola nafas dihubungkan dengan ventilator dg
 Monitoring kemampuan batuk mode PS 12 Fio2 40%, VTe 640 cc
efektif Pins 12 PEEP 5
 Monitor adanya produksi sputum  Pengembangan dinding dada simetris,
 Monitoring adanya sumbatan jalan auskultasi suara paru vesikuler, tidak
nafas/mempertahankan kepatenan ada penggunaan otot bantu nafas
jalan nafas, suction berkala tambahan
 Melakukan auskultasi bunyi nafas  Ketika disuction terdapat sekret
 Mengambil sample dan menilai warna putih kekuningan, jumlah
hasil AGD sedikit konsistensi encer, respon
 Memposisikan pasien semi fowler batuk (+)
 Mengubah posisi pasien senyaman  ABP: 118/60 mmHg MAP 79 mmHg
mungkin HR 105 x/mnt irama Sinus takikardi,
 Memberikan oksigenasi sesuai RR 16x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%

116
kebutuhan  Hasil AGD pH 7.46, pO2 131, pCO2
 Mengatur interval waktu 37.4, HCO3 26.8, BE 1.2 laktat 1.0
pemantauan respirasi sesuai kondisi A: Masalah belum teratasi
pasien P: Pertahankan intervensi
 Mendokumentasikan hasil
pemantauan
 Melakukan kolaborasi pemberian
obat ventolin 2,5 mg inhalasi
 Melakukan kolaborasi penyapihan
ventilator
2 26-09-22 Penurunan Curah  Monitoring frekuensi dan irama Jam 14.00
Jam 07.00-14.00 jantung berhubungan jantung DS: -
dengan perubahan  Monitoring tekanan vena central DO:
irama jantung,  Monitoring perfusi perifer distal  Pasien kesadaran SAS 4, GCS
perubahan frekuensi pada sisi insersi setiap 4 jam E4M5VT, nilai NIRS L 47-R 45
jantung, perubahan  Monitoring tanda – tanda vital  ABP: 118/60 mmHg MAP 79 mmHg
kontraktilitas,  Monitoring intake dan output cairan HR 105 x/mnt irama Sinus takikardi,
perubahan preload  Monitoring saturasi oksigen RR 16x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
dan perubahan  Monitor nilai elektrolit yang dapat  CVP 8-12 mmHg

117
aftreload (D.0008) meningkatkan resiko aritmia  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat
 Mengatur interval waktu dan cepat, CRT < 2 dtk,
pemantauan sesuai dengan kondisi  IABP terpasang di femoralis dextra
pasien sistolik 101mmHg, diastolik 92
 Mendokumentasikan hasil mmHg, MAP 81 mmHg, augmentasi
pemantauan 110, trigger ECG, frekuensi 1:1
 Memposisikan pasien semifowler pulsasi kedua ektremitas teraba,
 Melakukan kolaborasi pemberian kehangatan kedua ekstremitas hangat,
antiaritmia warna kedua ekstremitas merah
 Melakukan kolaborasi pemberian  Urine output 90-160 cc/jam
antiplatelet, antiangina,  Intake cairan 2062 cc, output cairan
antikoagulan 3590 cc, balance cairan -1528 cc/24
 Melakukan kolaborasi pemberian jam
morfin 10 mcg/kgBB/jam  Nilai elektrolit: K 3.1, Na 135, Cl
 Melakukan kolaborasi pemberian 108, Ca 1.20, Mg 0,60
inotropik berupa vascon 0,1  Hasil Echo tgl 26-09-22 jam 19.06
mcg/kgBb/mnt, adrenalin 0,05 Kontraktilitas LV menurun (EF 38%)
mcg/kgBb/mnt, dobutamine 5 kesan perbaikan, RWMA anteroseptal
mcg/kgBB/mnt anterior stqe, kontraktilitas RV

118
menurun (TAPSE 12 mm) VTI 14
CO cukup 5,2 l SVR normal 900 PE
minimal inferior, efusi pleura kiri
100-150 cc, efusi pleura kanan (-)
atelektasis sebagian kiri, status
volume kurang
A: Masalah belum teratasi
P: Pertahankan intervensi
3 27-09-22 Perfusi renal tidak  Mengidentifikasi kondisi pasien Jam 21.00
Jam 14.00-21.00 efektif ditandai (mis. tekanan darah, nadi, DS: -
dengan pembedahan pernapasan dan suhu tubuh, berat DO:
jantung dan disfungsi badan, edema, keseimbangan  ABP: 124/60 mmHg MAP 81 mmHg
ginjal (D.0016) cairan) HR 108 x/mnt irama AFRVR, RR
 Monitoring status hemodinamik 14x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
selama proses hemofiltrasi  CVP 6-10 mmHg
 Monitoring ultrafiltration rate,  Intake cairan 2081 cc, output cairan
hemodinamik dan kebocoran 2950cc, balance cairan -869 cc/ 24
 Monitoring intake dan output cairan jam
tiap jam  Urine output 10-20 cc/jam

119
 Mengambil sampel darah untuk  Fungsi ginjal: ureum 66.6, kreatinin
pemeriksaan fungsi ginjal, dan 1.48, BUN 30.4, eGFR 49
elektrolit sebelum atau terapi  Nilai elektrolit: K 3.3, Na 132, Cl
 Menggunakan teknik steril untuk 111, Ca 1.14, Mg 0,53
melakukan priming blood line  Terpasang CRRT mode CVVHDF,
hemofiltrasi, saat menyambungkan blood flow 150 ml/mnt, fluid loss
arteri - blood line dan vena pasien 100ml/jam cairan replacement 1000
 Membebaskan sirkuit hemofiltrasi ml, cairan dialisat 1000 ml, heparin
dari udara 700 iu/jam, hasil ACT 185
 Memberikan heparin sesuai A: Masalah belum teratasi
protokol P: Pertahankan intervensi
 Memeriksa kepatenan hubungan
blood line, arteri maupun vena
 Melakukan perawatan lokasi insersi
dan selang sesuai protokol
 Menghentikan hemofiltrasi jika
kondisi menurun
 Menjelaskan tujuan dan prosedur
hemofiltrasi pada pasien dan

120
keluarga
4 27-09-22 Resiko gangguan  Mengidentifkasi kemungkinan Jam 21.00
Jam 14.00-21.00 keseimbangan penyebab ketidakseimbangan DS: -
elektrolit ditandai elektrolit DO:
dengan efek samping  Monitoring mual, muntah dan diare  Kesadaran compos mentis, GCS
pembedahan dan  Monitoring kadar eletrolit serum E4M6VT
disfungsi ginjal  Monitoring tanda dan gejala  ABP: 124/60 mmHg MAP 81 mmHg
(D.0037) hipokalemia (mis. Kelemahan otot, HR 108 x/mnt irama AFRVR, RR
interval QT memanjang, 14x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
gelombang T datar atau terbalik,  CVP 6-10 mmHg
depresi segmen ST, gelombang U,  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat
kelelahan, parestesia, penurunan dan cepat, CRT < 2 dtk, turgor kulit
refleks, anoreksia, konstipasi, bagus, mukosa mulut lembab
motilitas usus menurun, pusing,  Intake cairan 2081 cc, output cairan
depresi pernapasan) 2950cc, balance cairan -869 cc/ 24
 Monitoring tanda dan gejala jam
hyperkalemia (mis. Peka rangsang,  Urine output 10-20 cc/jam
gelisah, mual, muntah, takikardia  Nilai elektrolit: K 3.3, Na 132, Cl
mengarah ke bradikardia, 111, Ca 1.14, Mg 0,53

121
fibrilasi/takikardia ventrikel,  Muntah (-), diare (-), residu makanan
gelombang T tinggi, gelombang P (-), bising usus 10x/menit
datar, kompleks QRS tumpul, blok  Tanda Chvostek (-), tanda Trousseau
jantung mengarah asistol) (-)
 Monitoring tanda dan gejala A: Masalah belum teratasi
hipontremia (mis. disorientasi, otot P: Lanjutkan intervensi
berkedut, sakit kepala, membrane
mukosa kering, hipotensi postural,
kejang, letargi, penurunan
kesadaran)
 Monitoring tanda dan gejala
hypernatremia (mis. Haus, demam,
mual, muntah, gelisah, peka
rangsang, membrane mukosa
kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
 Monitoring tanda dan gejala
hipokalsemia (mis. Peka rangsang,
tanda IChvostekI [spasme otot

122
wajah], tanda Trousseau [spasme
karpal], kram otot, interval QT
memanjang)
 Monitoring tanda dan gejala
hiperkalsemia (mis. nyeri tulang,
haus, anoreksia, letargi, kelemahan
otot, segmen QT memendek,
gelombang T lebar, kompleks QRS
lebar, interval PR memanjang)
 Monitoring tanda dan gejala
hipomagnesemia (mis. Depresi
pernapasan, apatis, tanda Chvostek,
tanda Trousseau, konfusi, disritmia)
 tanda dan gejala hipomagnesia
(mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi,
koma, depresi)
 Monitoring status hidrasi (mis.
Frekuensi nadi, kekuatan nadi,

123
akral, pengisian kapiler,
kelembapan membrane mukosa,
turgor kulit, tekanan darah)
 Monitoring status hemodinamik
(MAP, CVP)
 Mengatur interval waktu
pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
 Mendokumentasikan hasil
pemantauan
 Mencatat intake dan output dan
hitung balans cairan dalam 24 jam
 Memberikan asupan cairan sesuai
kebutuhan

5 27-09-22 Resiko gangguan  Mengidentifikasi penyebab Jam 21.00


Jam 14.00-21.00 integritas gangguan integritas kulit misalnya DS: -
kulit/jaringan perubahan sirkulasi, perubahan DO:
ditandai dengan status nutrisi, penurunan  Kondisi kulit lembab, mukosa mulut

124
perubahan sirkulasi, kelembapan, suhu lingkungan bersih
perubahan status ekstrim, penurunan mobilitas  Tidak ada luka dekubitus pada area
nutrisi, penurunan  Monitoring karakteristik luka tulang yang menonjol
mobilitas,  Monitoring tanda-tanda infeksi  Tidak ada tanda-tanda flebitis pada
kekurangan/kelebihan  Mengubah posisi tiap 2 jam semua area insersi
volume cairan, faktor  Memasang kasur anti dekubitus  Kondisi luka operasi bersih, sedikit
mekanis (penekanan,  Melakukan masase pada area kemerahan, mengering, pus (-)
gesekan), suhu penonjolan tulang  Diet nefrisol 6x200 cc, residu (-),
lingkungan yang  Membantu pasien dalam  Intake cairan 2081 cc, output cairan
ekstrim (D.0139) pemenuhan kebersihan diri seperti 2950cc, balance cairan -869 cc/ 24
memandikan, melakukan oral jam
hygiene  Nilai laboratorium: Hb 9.2 gr/dl, Ht
 Membersihkan perineal dengan air 27.8, leukosit 45720, trombosit 115
hangat rb
 Menggunakan produk berbahan  ABP: 124/60 mmHg MAP 81 mmHg
minyak zaitun pada kulit HR 108 x/mnt irama AFRVR, RR
 Melepaskan balutan dan plester 14x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
secara perlahan pada area luka  CVP 6-10 mmHg
operasi dan insersi alat-alat yang  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat

125
digunakan seperti ETT, NGT, AL, dan cepat, CRT < 2 dtk, turgor kulit
Side port/mahokar, kateter urin, bagus
CVC, IABP, drain WSD A: Masalah belum teratasi
 Membersihkan dengan cairan NaCl P: Pertahankan intervensi
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Mempertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
 Menghindarkan terpapar suhu yang
ekstrim
 Kolaborasi pemberian nutrisi
enteral dan parenteral yang tinggi
protein
 Kolaborasi pemberian antibiotik
meronem 3x1 gr dan levofloxacyin
750 mg/24 jam
6 27-09-22 Resiko Perfusi perifer  Memeriksa sirkulasi perifer (mis, Jam 21.00
Jam 14.00-21.00 tidak efektif ditandai nadi perifer, edema, kapiler, warna, DS:
prosedur suhu), kaji tanda-tanda ALI DO:
endovaskuler dan  Monitor status oksigenasi  ABP: 124/60 mmHg MAP 81 mmHg

126
hiperglikemia (oksimetri, nadi, AGD) HR 108 x/mnt irama AFRVR, RR
(D.0015)  Mengidentifikasi faktor resiko 14x/mnt, S 36,5 0C, Spo2 100%
gangguan sirkulasi (mis, diabetes,  Akral hangat, nadi perifer teraba kuat
hipertensi dan kadar kolesterol) dan cepat, CRT < 2 dtk
 Memonitor panas, kemerahan,  IABP terpasang di femoralis dextra
nyeri, dan bengkak pada sistolik 95 mmHg, diastolik 80
ekstremitas. mmHg, MAP 84 mmHg, augmentasi
 Menghindari pengukuran tekanan 96, trigger ECG, frekuensi 1:1 pulsasi
darah pada ekstremitas dengan kedua ektremitas teraba, kehangatan
keterbatasan perfusi kedua ekstremitas hangat, warna
 Menghindari penekanan dan kedua ekstremitas merah
pemasangan torniquet pada area  AGD pH 7.41, PaO2 116.3, PaCO2
yang cedera 37.6, HCO3 24.4, BE 0.3, SaO2 98.8,
 Memberikan drip insulin sesuai laktat 1.8, GDS 271
nilai GDS A: Masalah belum teratasi
P: Pertahankan intervensi

127
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 CABG on issues

Pasien atas nama Tn M. dengan diagnosa medis CAD 3VD dan MR


Severe telah menjalani operasi CABG 3x (LIMA to LAD, SVG to PDA, SVG
to OM) dan MV repair pada tanggal 22-09-2022 di RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita. Operasi CABG ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Aziza (2013) dan Rosidawati (2016) dalam Suyanti
dan Rahayu (2020) yang menjelaskan bahwa pasien post CABG mengalami
perubahan dalam memandang kualitas hidupnya yang sekarang menjadi puas
karena merasa lebih baik dibandingkan dengan sebelum menjalankan
prosedur CABG. Pasien post operasi CABG juga memandang kualitas
hidupnya meningkat dari berbagai aspek, seperti fisik, keluarga, dan
lingkungan pekerjaan. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Prasetyaningrum
dkk (2021) menyatakan bahwa tidak semua pasien post CABG mengalami
peningkatan kualitas hidup, ada beberapa faktor yang mempengaruhi meliputi
faktor usia, koping individu terhadap perubahan yang didapat, persepsi nyeri,
faktor spiritual, kondisi kesehatan mental sebelum dan sesudah operasi,
dukungan keluarga dan lingkungan sosial.

Terlepas dari itu semua pasien yang akan menjalani operasi CABG
harus melewati serangkaian pemeriksaan, persiapan, dan perawatan
perioperatif. Sementara menunggu jadwal operasi, dilakukan persiapan
operasi seperti pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan laboratorium darah
(hematologi, fungsi hati, ginjal, gula darah dan imunologi), pemeriksaan gigi
dan THT untuk mencari sumber infeksi yang mungkin ada. Minimal 7 hari
sebelum operasi, pasien diminta menghentikan konsumsi obat pengencer
darah (misalnya aspirin, cardioaspirin, CPG, aspilet, askardia, tromboaspilet,

128
vaclo, clopidogrel, plavix). Pasien juga diminta untuk tidak mengkonsumsi
obat cina dan jamu. Satu atau dua hari sebelum operasi pasien masuk ruang
rawat inap agar dapat istirahat dengan tenang. Pasien diberi obat pencahar
dan seluruh bulu di tubuh akan dicukur (PJNHK, 2018).

Tatacara pelaksanaan tindakan meliputi (1) dokter anastesi akan


melakukan pembiusan umum, (2) pembuluh darah yang akan dipasang di
jantung diambil dari pembuluh vena safena magna di kaki atau arteri radialis
di lengan, (3) dokter bedah akan memulai sayatan di mid sternum, mulai dari
dari kulit hingga menggergaji tulang dada, (4) kemudian rongga dada
dilebarkan dengan menggunakan refraktor. Apabila mesin jantung paru
(CPB) digunakan (on pump) jantung akan dihubungkan dengan mesin
tersebut dan zat kardioplegik dimasukkan, (5) zat kardioplegik akan membuat
jantung berhenti berdenyut sementara dan mesin jantung paru akan
mengambil alih fungsi kedua organ vital itu. Namun apabila mesin tersebut
tidak digunakan (off pump CABG) jantung akan terus berdenyut selama
operasi berlangsung, (6) selanjutnya pangkal pembuluh darah baru akan
disambungkan ke aorta (pembuluh darah utama yang keluar dari jantung),
sedangkan ujungnya disambungkan ke bagian arteri koroner sesudah
sumbatan, (7) setelah itu jantung dibuat berdenyut kembali sehingga mesin
CPB dapat disapih. Bila kerja jantung dan paru sudah stabil, dinding dada
akan ditutup dan tulang dada disambung kembali menggunakan kawat
khusus, (8) setelah tindakan operasi selesai selanjutnya pasien akan dirawat di
ICU pasca bedah, kemudian ruang rawat intermediate dan kemudian memulai
mobilisasi di ruang perawatan (PJNHK, 2018).

Penggunaan mesin CPB saat intraoperatif menimbulkan komplikasi


seperti reaksi inflamasi, masalah hematologi, masalah pada ginjal, masalah
paru-paru, dan masalah sistem saraf pusat yang akan mempengaruhi outcome
pasien pasca operasi. Dalam upaya untuk mengurangi efek negatif dari CPB,
CABG off pump (OPCAB) pada jantung yang berdetak disarankan sebagai
solusi dan pengurangan prosedur invasif menjadi pilihan sejak awal tahun
1990an (Dabbagh et al, 2018). Sebuah studi kohort yang dilakukan oleh
Chikwe et al (2018) yang ingin membandingkan kelangsungan hidup dan

129
morbiditas jangka panjang pasien setelah CABG on pump versus off pump.
Studi dilakukan pada 42.570 pasien post CABG dimana 6.950 off pump dan
15.295 menggunakan on pump. Dari hasil studi didapatkan CABG off pump
dihubungkan dengan lebih tingginya mortalitas (33.4% vs 29,6% dalam 10
tahun), dihubungkan juga dengan lebih tingginya incomplete
revascularization (15,7% vs 8,8%) yang merupakan prediktor dari mortalitas
dan repeat revascularization dalam kurun waktu 10 tahun, tetapi tidak ada
perbedaan yang signifikan terhadap kejadian stroke, infark miokard, dan
dialisis baru. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Trianita dkk (2021)
bertujuan untuk menganalisa mortalitas dan morbiditas pasien dengan EF
30% dan ischemic burden 10% paska OPCAB dibandingkan Conventional
CABG (CCABG). Dalam penelitian retrospektif ini, terdapat subjek
penelitian sebanyak 109 pasien yang terdiri dari 35 pasien kelompok OPCAB
dan 74 pasien kelompok CCABG di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita selama bulan Januari 2015 – November 2018. Kejadian
aritmia, gagal ginjal, sepsis, dan stroke pasca prosedur pada kelompok
OPCAB bermakna secara statistik lebih rendah dibandingkan kelompok
CCABG, Namun mortalitas pasca teknik OPCAB dibandingkan CCABG
tidak bermakna secara statistik.

5.2 Asuhan keperawatan pada pasien Tn M.

Pasien atas nama Tn M. dengan diagnosa medis CAD 3VD dan MR


Severe telah menjalani operasi CABG 3x (LIMA to LAD, SVG to PDA, SVG
to OM) dan MV repair pada tanggal 22-09-2022 di RS Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita. Pada perawatan hari ke-2 paska bedah (tanggal 24-09-
2022), penulis mengambil beberapa masalah keperawatan yang dialami oleh
pasien. Masalah tersebut didapatkan dari data pengkajian ke pasien, keluarga
dan data rekam medik. Masalah keperawatan yang muncul meliputi:

1) Gangguan ventilasi spontan

130
Masalah keperawatan ini dikaitkan dengan pemakaian obat sedasi
dan relaksan. Pada saat pasien masuk ruang ICU permintaan atau
tatalaksana respirasi awal meliputi (Bojar, 2021):
 Setting awal ventilator (Tidal volume 6–8 mL/kg, respiratory rate: 10–
12/min, FiO2: 1.0, PEEP: 5 cm H2O)
 Pantau status oksimetri pada layer monitor
 Chest x‐ray setelah tiba di ICU
 Cek AGD 15-30 menit setelah tiba di ICU
 Kurangi Fio2 sampai 40% dan saturasi >95%
 Atur settingan ventilator dengan mempertahankan PCO2 35-45 dengan
pH 7.35–7.45
 Propofol 25–75 μg/kg/min; yang secara bertahap dosisnya diturunkan
sampai pasien berencana weaning ventilator
Saat pengkajian, pasien mendapatkan obat propofol 20 mg/ jam IV
drip. Pasien terintubasi untuk mempertahankan patensi jalan nafasnya
dengan penggunaan ventilator dengan settingan mode P-SIMV fio2 50%
RR 12, VT 500 cc, VTe 467cc, Pins 19 PEEP. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan saat pasien dengan penggunaan ventilator adalah menjaga
patensi jalan nafas pasien dengan melakukan suction berkala, pemberian
obat mukolitik agar sekret pasien encer; memantau pengembangan dinding
dada, auskultasi paru berkala, memantau posisi ETT masih dalam tempat
sewajarnya; memantau hemodinamik dan respon pasien terhadap
pemberian ventilasi mekanik; mulai melakukan penyapihan ventilator
sesuai respon pasien; memantau hasil analisa gas darah secara berkala
guna melihat efektifitas dari settingan ventilator terhadap kondisi pasien;
mencegah terjadinya ventilator associated pneumonia (VAP).
Pasien kritis dengan intubasi dan menggunakan ventilator dalam
jangka lama di ICU beresiko terjadinya VAP. VAP merupakan salah satu
HAIs atau infeksi nosokomial yang sering ditemukan di RS dan
merupakan suatu infeksi pneumonia yang terjadi setelah 48 jam pemakaian
ventilator ventilator mekanis baik berupa pipa endotracheal maupun
tracheostomy. Kejadian VAP di RS dapat diminimalkan dengan suatu

131
protap VAP bundles care meliputi menaikkan kepala tempat tidur 300-450
(meminimalkan mikro respirasi), penghentian sedasi harian dan penilaian
kesiapan penyapihan atau ekstubasi (mengurangi rawat tinggal),
profilaksis ulkus peptikum (meminimalkan komplikasi), profilaksis
thrombo-emboli vena, serta perawatan mulut dengan klorhexidin
(yuniandita dan hudiyawati, 2020).
Pada perawatan hari ke-4 (tanggal 26-09-2022) pasien Tn M. masih
menggunakan ventilator karena kegagalan weaning-ekstubasi. Proses
ekstubasi akan dilakukan apabila pasien memenuhi kriteria penyapihan
dari mesin ventilator mekanik yaitu suhu pasien harus >35 0C, normal
neurologis seperti sadar, orientasi baik dan mampu mengikuti perintah,
tidak adanya aritmia yang signifikan, hemodinamik yang stabil dan
pemeriksaan gas darah yang sesuai (pO2>60, PCO2 < 55, SpO2 >95%,
pH> 7,3) serta tidak adanya respiratory distress (Ramadantie dan
Adisasmita, 2021). Berdasarkan studi kohort yang dilakukan oleh
Ramadantie dan Adisasmita (2021) yang dimana tujuan studi ini adalah
mencari faktor resiko pemakaian ventilator lebih dari 24 jam pasca bedah
pintas arteri coroner yang dilakukan pada pasien di Unit Pelayanan
Jantung Terpadu RSCM dari tahun 2016-2020. Dari hasil studi didapatkan
bahwa insiden pemakaian ventilator lebih dari 24 jam adalah sebesar 28%
(89/313) dengan faktor resiko preoperasi yang signifikan yaitu status gagal
jantung NYHA Class III dan IV, fraksi ejeksi <50%, dan faktor
intraoperasi yaitu durasi proses klem silang aorta ≥86 menit. Dalam studi
lain yang dilakukan oleh Sudjud dkk (2020) yang ingin mengetahui angka
kejadian ventilasi mekanis berkepanjangan pasca bedah arteri koroner
berdasarkan usia, jenis kelamin, fraksi ejeksi ventrikel kiri preoperatif,
waktu pintas jantung paru, kadar hemoglobin pasca operasi, dan
komorbiditas pada pasien di RSUP Hasan Sadikin Bandung pada tahun
2014-2016. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa angka kejadian
ventilasi mekanik yang berkepanjangan lebih tinggi pada pada pasien usia
> 65 tahun, pasien perempuan, pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 50%, waktu
pintas jantung paru > 90 menit dan kadar Hb pasca operasi <10 gr/dL.

132
Dari hasil echokardiografi yang dilakukan tanggal 26-09-2022 yang
didapatkan kondisi atelektasis sebagian paru kiri Tn M. Penurunan
kapasitas paru atau yang disebut atelektasis paru yang merupakan salah
satu komplikasi pasca bedah dapat disebabkan oleh penggunaan alat bantu
nafas, obat-obat anastesi, sumbatan lendir, tumor, efusi pleura, pneumonia,
pneumothoraks (Makarim, 2019). Salah satu upaya untuk mencegah dan
mengurangi komplikasi pasca bedah dengan dilakukannya rehabilitasi
jantung fase 1. Intervensi rehabilitasi jantung pasca operasi CABG
meliputi (Astuti et al, 2019):
 Latihan fisik. Latihan fisik meliputi mobilisasi, range of motion
(ROM), latihan aktif ekstremitas atas dan bawah, latihan transfer.
Latihan tersebut dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi
pasien. Dalam sebuah penelitian menyatakan dengan memberikan
latihan fisik berupa mobilisasi dini secara bertahap dimulai 2 jam
pasca ekstubasi memiliki status oksigenasi yang lebih baik serta
komplikasi (atelektasis dan efusi pleura) yang lebih kecil
dibandingkan dengan kelompok yang tidak dilakukan intervensi.
 Latihan bernapas. Latihan bernapas merupakan upaya yang dilakukan
untuk membantu memaksimalkan fungsi paru melalui pernafasan
abdomen-diafragma dan lip purse breathing (LPB). Tujuan Latihan
pernapasan dan napas dalam adalah untuk mencapai ventilasi yang
lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernapas,
meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot,
mengurangi ansietas, mengurangi udara yang terperangkap. LPB
adalah upaya bernafas dengan cara menghembuskan napas perlahan-
lahan melalui celah bibir yang tertutup, dilakukan untuk mengontrol
ekspirasi dan untuk memfasilitasi pengosongan alveoli yang
maksimal. LPB meningkatkan tidal volume dan mengurangi udara
yang terperangkap di alveoli.
 Latihan batuk efektif. Latihan batuk efektif dilakukan di hari pertama
pasca operasi (setelah dilakukan ekstubasi) untuk membantu
mengeluarkan sekret/dahak yang ada di saluran nafas

133
2) Penurunan curah jantung
Masalah keperawatan ini dikaitkan dengan perubahan irama
jantung, perubahan frekuensi jantung, perubahan kontraktilitas, perubahan
preload dan perubahan afterload. Mekanisme patofisiologi low cardiac
output syndrome (LCOS) adalah disfungsi sistolik ventrikel kiri, disfungsi
sistolik ventrikel kanan, dan disfungsi diastolik atau sering disebut gagal
jantung tanpa penurunan fraksi ejeksi, kondisi seperti penyakit katup
jantung, hipertensi pulmonal, disfungsi katup mekanik, dan kegagalan
pernafasan juga berpengaruh terhadap terjadinya LCOS. Kriteria LCOS
sebagai berikut: pertama menggunakan inotropik dan obat vasoaktif atau
menggunakan alat sirkulasi mekanik seperti IABP untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik lebih besar dari 90 mmHg setelah nilai elektrolit dan
gas darah dikoreksi. Kedua adanya tanda-tanda gangguan perfusi jaringan
(ekstremitas dingin, hipotensi, oligoria atau anuria, penurunan kesadaran)
atau kombinasi setelah nilai elektrolit dan gas darah dikoreksi (Nadeak dan
Herawati, 2022).
Manajemen LCOS menurut (Bojar, 2021) meliputi:
 Kaji adanya penyebab nonkardiak yang dapat dikoreksi seperti
masalah respiratori, asam basa, dan elektrolit
 Treatment iskemia atau spasme koroner
 Optimalkan preload (PAD/PCW atau LA pressure antara 18–
20 mm Hg)
 Optimalkan denyut jantung pada 90 x/menit dengan pacing
 Kontrol aritmia
 Kaji cardiac output dan mulai menggunakan inotropik jika cardiac
index/ CI 2.0 L/min/m2, Epinephrine jika tidak aritmia atau takikardia,
Dobutamine (jika SVR tinggi), Milrinone bersama catecholamine
 Hitung SVR dan mulai gunakan vasodilator jika SVR lebih dari 1500,
Clevidipine atau nitroprusside jika tekanan pengisian sedang sampai
tinggi, SVR, and BP
 Gunakan IV NTG jika tekanan pengisiannya tinggi dan terbukti
adanya iskemik atau spasme coroner

134
 Jika SVR rendah gunakan norepinephrine atau vasopressin 0.01-0.11
units/min
 Transfusi darah jika hematokrit kurang dari 22%
 IABP jika intervensi farmakologi tidak mengatasi
 Ventricular assist device (VAD) jika semua hal sudah dilakukan
Saat pengkajian kondisi pasien tanggal 24-09-2022 jam 13.00:
terpasang IABP di A. femoralis dextra dengan tekanan sistolik 88 mmHg,
tekanan diastolik 52 mmHg, MAP 85 mmHg, trigger berdasarkan EKG
augmentasi maksimal, frekuensi 1:1, pulsasi perifer teraba kuat;
Hemodinamik tidak stabil on support triple inotropic (vascon 0.05
mcg/kgBB/mnt, dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt, adrenalin 0.05
mcg/kgBB/mnt); ABP 140/78 mmHg, HR 135x/menit irama AFRVR, S
36 0C, CVP 11 mmHg, CRT < 2dtk, akral dingin, edema tungkai (-); Hasil
ECHO tanggal 24/09/22 jam 12.45: Atrial fibrilasi HR 110-120,
Kontraktilitas LV menurun (EF 35% TEICH) kesan perbaikan. RWMA
anteroseptal anterior stqe. Kontraktilitas RV menurun (TAPSE 10 mm) TR
mild MR trivial. VTI 15 CO cukup 5L SVR tinggi 1400, PE minimal
inferior dan lateral LV superior RA 13 mm, efusi pleura (-), status volume
cukup; Hasil EKG tanggal 23 jam 19.18: Junctional accelerated dengan
RBBB, hipertrofi ventrikel kanan; Urin output 50-200 cc/jam. Nilai
marker kardiak CK/CKMB 5153 u/L/461 u/L, troponin T 25943 n/.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat masalah pasien dengan
penurunan curah jantung adalah monitor frekuensi dan irama jantung;
monitor tekanan vena central; monitor perfusi perifer distal pada sisi
insersi setiap 4 jam; monitor tanda – tanda vital; monitor intake dan output
cairan; monitor saturasi oksigen; monitor EKG 12 sadapan; monitor nilai
elektrolit yang dapat meningkatkan resiko aritmia; monitor alat pacu
jantung; posisikan semifowler/fowler dengan kaki di bawah atau posisi
nyaman; kolaborasi pemberian antiaritmia antiplatelet, antianginal,
antikoagulan morfin jika perlu; kolaborasi pemberian inotropik; kolaborasi
pemriksaan X-Ray; dokumentasikan hasil pemantauan dalam flowsheet 24
jam.

135
Pasien Tn M. terpasang IABP saat intraoperasi. Tujuan pemasangan
IABP adalah saat inflasi pada fase diastolik akan meningkatkan aliran
darah koroner, meningkatkan tekanan diastolik, potensi peningkatan
sirkulasi kolateral koroner dan memperbaiki perfusi sistemik. Pada saat
deflasi akan menurunkan afterload, mempersingkat fase IVC,
meningkatkan stroke volume, dan meningkatkan cardiac output. Hal-hal
yang perlu diperhatikan saat pasien terpasang IABP (The Teleflex
Academy, 2018):
 Evaluasi respon pasien terhadap counterpulsasi dalam hal status
hemodinamik, kontrol aritmia, perfusi sistemik, dan meredakan gejala
iskemia jantung
 Pengamatan tanda-tanda awal komplikasi dari terapi IABP seperti
iskemia ekstremitas, pedarahan, infeksi, pembentukan thrombus,
malposisi kateter ballon dan kerusakan arteri
 Memastikan berfungsinya IABP itu sendiri termasuk timing yang
tepat, trigger yang konsisten, troubleshooting yang sesuai untuk semua
alarm dan pengorganisasian yang aman
 Perawatan lumen kateter IABP
 Tempat tidur bagian kepala ditinggikan ≥ 30o
 Pantau keluaran urin (IABP terlalu rendah)
 Monitor integritas kulit (potensi kerusakan kulit karena imobilisasi)
 Kurangi kecemasan pasien dan keluarga
Sejumlah gangguan atau masalah ritme jantung sering merupakan
manifestasi dari pasien yang menjalani operasi bedah jantung.
Elektrofisiologi jantung yang abnormal merupakan akibat sekunder dari
manipulasi jantung, pemberian cairan plegic, gangguan anatomi/
mekanikal dari jalur kelistrikan dan atau kerusakan perfusi kardiak selama
iskemia. Diagnosa dari gangguan ritme bisa dikaji secara akurat dengan
monitoring minimal 2 lead elektrokardiografi. Aritmia yang dapat muncul
meliputi bradiaritmia, takiaritmia, takiaritmia malignan, multiple AV
block. Aritmia yang sering muncul pada fase akut dan akhir dari
pemulihan pasca operasi adalah munculnya atrial fibrilasi (AF). Prediktor

136
dari AF selama hospitalisasi meliputi usia lebih dari 65 tahun, riwayat
intermiten AF, atrial pacing, COPD, pulmonal hipertensi, bedah katup dan
pasca CABG. Pasien dengan AF mempunyai mortalitas 2x lebih besar
daripada pasien tanpa AF. Sinus rithm merupakan rithm pilihan untuk
memaksimalkan performa kardiak dan pengisian ventrikel. Kardioversi
atau intervensi farmakologi dengan pacing akan dibutuhkan untuk
mempertahankan normal sinus rithm. Bradikardi dikoreksi dengan internal
atau eksternal pacing dan atau dengan pemberian antikolinergik dan atau
katekolamin. Takikardi perioperatif berespon baik terhadap kardioversi
elektrikal dan atau dengan terapi farmakologi. Tidak adanya gangguan
elektrolit, new onset dari atrial flutter dan atrial fibrilasi akan berespon
terhadap kardioversi sinkronized. Post elektrokardioversi pacing bisa
membantu mengontrol disritmia. Pacing Bi-atrial efektif mencegah AF
pasca CABG. Beta bloker, calcium channel bloker dan digoksin dapat
membantu mengkontrol rate. Ventrikel takikardi bisa dikoreksi dengan
magnesium, lidokain, procainamide dan direct current kardioversi. Onset
dari AF mungkin di kaji dengan penggunaan betablocker, ACE inhibitor,
supplemen kalium, amiodaron atau NSAID ketika inisiasi di fase pre
operasi dan berlanjut pada fase post operasi (Dabbagh et al, 2018).
Pada post operasi hari ke-0 tanggal 22/09/2022 jam 16.35 pasien
mengalami ventrikel fibrilasi dan dilakukan CPR + 2x DC shock 150J.
Kemudian irama berubah menjadi SVT dan dilakukan kardioversi 50J.
Setelah kardioversi irama berubah menjadi junctional accelerated. Jam
18.30 pasien dibawa ke ruang Cathlab. Di ruang Cathlab dilakukan early
POBA (Percutaneous Ballon Angioplasty) di LAD. Pasien dinyatakan
mengalami perioperative miokardial infarction (PMI). Terdapat 2
mekanisme yang dapat menyebabkan PMI (Suparto dan Boom, 2014)
yaitu:
 PMI tipe 1, sindrom koroner akut. Terjadi ketika plak yang rapuh atau
tidak stabil mengalami ruptur atau erosi spontan sehingga
menyebabkan terjadinya thrombosis, iskemia dan infark akut. Selain
inflamasi intraplak, stressor eksternal seperti kondisi paska bedah

137
memegang peranan penting dalam terjadinya sindrom koroner akut ini
seperti: (1) stress fisiologi dan emosional akan menyebabkan
peningkatan rangsangan simpatis, sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan hemodinamik, vasokonstriksi koroner dan mengakibatkan
pecahnya plak. Katekolamin dan kortisol meningkat setelah operasi
dan akan meningkat selama beberapa hari. Hormon stress juga
meningkat dengan adanya nyeri, trauma pembedahan, anemia dan
hipotermia; (2) gejolak hemodinamik seperti takikardi dan hipertensi
yang sering terjadi pada periode perioperatif dapat mengakibatkan
rupturnya plak; (3) prokoagulan pasca bedah yang meningkat seperti
fibrinogen, faktor VIII koagulan, reaksi platelet yang meningkat,
menurunnya fibrinolysis adalah suatu hiperkoagulasi pasca bedah
yang disebabkan karena adanya statis dan imobilisasi.
 PMI tipe II, ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokardial. Pada kebanyakan pasien, iskemia seringkali terjadi saat
akhir pembedahan dan pada saat bangun dari anstesia. Manifestasi
yang terjadi adalah depresi segmen ST pada monitor EKG. Deperesi
segmen ST didahului dengan peningkatan laju nadi, dan juga
ditunjukan dengan kenaikan level troponin kardiak. PMI lebih sering
disebabkan karena prolonged stress ischemia daripada rupture plak.
Monitoring dalam deteksi PMI meliputi EKG serial, melalui
ekokardiografi (transtorakal maupun trans esophageal), biomarker kardiak
(adanya peningkatan level CK/CKMB/Troponin T/ troponin C),
peningkatan dari Brain natriuretic peptide (BNP). Jika dicurigai terjadinya
PMI maka dilakukan tatalaksana:
 Adanya tanda iskemia dari EKG 12 lead jika ST segmen elevasi maka
konsultasikan ke kardiologi (khususnya jika terdapat peningkatan
troponin) dan pertimbangkan untuk angiografi koroner dan reperfusi.
 Jika ST segmen depresi, lihat apakah takikardi dengan hipertensi/ atau
normal maka kontrol HR/ BP gunakan betablocker atau calcium
chanel bloker, cek kontrol nyeri secara tepat, jika muncul takiaritmia
seperti atrial flutter atau fibrilasi koreksi untuk rate atau ritme-nya.

138
Apabila takikardi dengan hipotensi maka evaluasi dan tatalaksana
penyebab dari hipotensi, monitoring invasive hemodinamik dan echo
untuk menentukan fungsi kardiak dan status volume, jika takiaritmia
muncul maka lakukan kardioversi, hati-hati penggunaan beta blocker
dan calcium channel bloker.
 Penatalaksanaan dan tes tambahan yaitu dengan mengkoreksi hasil
AGD, terapi anemia jika Hb <10 gr/dl, troponin.

3) Perfusi renal tidak efektif


Masalah keperawatan ini dikaitkan dengan pembedahan jantung
dan disfungsi ginjal. Dari data pengkajian didapatkan hasil pemeriksaan
fungsi ginjal: ureum 103 kreatinin 3.3 BUN 38.1, eGFR 20; TTV ABP
140/78 mmHg MAP 70 mmHg on triple inotropik (vascon 0.05
mcg/kgBB/mnt, dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt, adrenalin 0.05
mcg/kgBB/mnt) HR 135 x/menit irama AFRVR, S 36 0C, Spo2 98% CVP
11 mmHg RR 16x/menit; Urin output 50-200 cc/jam; Pasien direncanakan
dilakukan CRRT mode CVVH blood flow 200, fluid loss 50 cc, cairan
replacement pre dilution 1000 ml, post dilution 1000 mL/jam, heparin
1000 iu/jam. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat masalah pasien
dengan penurunan fungsi renal: kondisi pasien (mis. tekanan darah, nadi,
pernapasan dan suhu tubuh, berat badan, edema, keseimbangan cairan);
monitor status hemodinamik selama proses hemofiltrasi; monitor
ultrafiltration rate, hemodinamik dan kebocoran; monitor intake dan
output cairan tiap jam; ambil sampel darah untuk pemeriksaan fungsi
ginjal, dan elektrolit sebelum dan sesudah terapi; gunakan teknik steril
untuk melakukan priming blood line hemofiltrasi, saat menyambungkan
arteri - blood line dan vena pasien; bebaskan sirkuit hemofiltrasi dari
udara; berikan heparin sesuai protokol; kepatenan hubungan blood line,
arteri maupun vena; rawat lokasi insersi dan selang sesuai protokol;
hentikan hemofiltrasi jika kondisi menurun.
Cardiac surgery-associated AKI (CSA-AKI) mempunyai
manajemen yang sama untuk semua jenis AKI, tidak mempunyai terapi

139
khusus, tetapi mempunyai atensi klinis secara teliti yang dibutuhkan untuk
mensupport pasien sampai memungkinkan perbaikan AKI. Kunci dari
manajemen AKI di Cardiac Intensive Care Unit berdasarkan pada
pengenalan faktor yang berkontribusi terhadap injury dan disfungsi renal.
Berikut ini KDIGO guidelines: manajemen dari AKI stage 1 berfokus
primer pada (1) mengkaji dan mengkoreksi etiologi, (2) menghilangkan
dan menghindari penyebab, (3) mengoptimalkan hemodinamik, (4)
manajemen komplikasi. Pada AKI stage 2-3 yang berkembang (5)
memeriksa dosis medikasi dari ginjal, (6) kaji kebutuhan akan Renal
Replacement Therapy (RRT) (Dabbagh et al, 2018).
KDIGO guidelines melakukan strategi dalam pencegahan AKI
yang termasuk menghentikan semua jenis agen nefrotoksik dan
mempertimbangkan alternatif terhadap zat radiokontras, menjamin status
volume dan tekanan perfusi jaringan, monitoring status hemodinamik,
monitoring level ureum dan kreatinin dan urin output dan menghindari
kondisi hiperglikemia. Kondisi hipervolume saat oliguria atau anuria pada
AKI merupakan kondisi yang berbahaya akibat odema pulmonal
khususnya pada pasien bedah jantung. Pendekatan awal sudah tentu untuk
mepertahankan kondisi euvolemia dan menghindari kongesti vena dan
overload cairan. Resusitasi cairan dengan cairan koloid secara umum
merupakan pilihan yang tepat karena kemampuannya untuk mengekspansi
volume plasma secara efisien dibandingkan kristaloid. Akan tetapi cairan
koloid bukan superior dari cairan kristaloid pada semua kondisi. Sekalinya
status volume telah optimal, pengaruhnya akan positif terhadap
mempertahankan aliran darah renal, oksigenasi, dan tekanan perfusi renal.
Pada kondisi cardiac output yang rendah, inotropik akan digunakan untuk
memperbaiki perfusi renal dan vasopressor digunakan untuk ststus
vasodilatasi. Komponen kedua dari manajemen hemodinamik adalah
adanya disfungsi ventrikel dan penyakit katup yang merupakan penyebab
disfungsi renal dan secara simultan diperburuk kondisi AKI. Kongesti
vena yang dibuktikan dengan peningkatan CVP akan meningkatkan
tekanan subkapsular renal yang menurunkan GFR. Mengidentifikasi

140
pasien yang berespon terhadap cairan dengan meningkatkan stroke volume
ventrikel kiri merupakan sesuatu yang penting untuk mengoptimalkan
cardiac output dan meminimalkan overload cairan, hipertensi vena dan
kongesti renal. Hal ini merupakan sesuatu yang penting pada pasien pasca
bedah jantung dengan disfungsi ventrikel kanan guna mengurangi gagal
ginjal kongestif dan recovery dari fungsi renal (Dabbagh et al, 2018).
Penggunaan medikasi seperti: (1) diuretik yang akan meningkatkan
urin output dengan cara menurunkan reabsorpsi tubular melalui beberapa
mekanisme. Sebuah metaanalisis menyatakan penggunaan loop diuretic
dihubungkan dengan pendeknya durasi penggunaan RRT dan peningkatan
urine output. Tetapi penggunaannya tidak menurunkan mortalitas dan
ketergantungan terhadap RRT. Penggunaannya hanya dalam manajemen
dari overload cairan dengan diuresis yang memfasilitasi kontrol terhadap
cairan, asam basa dan elektrolit; (2) dopamin beraksi pada beberapa
reseptor yang akan meningkatkan aliran darah dan tekanan perfusi ke
renal. Reseptor dopaminergic menyebabkan vasodilatasi sehingga
meningkatkan aliran darah ginjal, aktivasi beta adrenoreseptor
meningkatkan cardiac output dan stimulasi alpha adrenoceptor
meningkatkan perfusi renal; (3) N-acetylcysteine merupakan antioksidan
yang meningkatkan glutathione scavenging system endogen yang
merupakan agen renoprotektif (Dabbagh, et al, 2018).
Inisiasi RRT diindikasikan untuk mengkoreksi overload cairan
yang tidak berenspon terhadap diuretik, tanda dan gejala uremik, asidosis
metabolik yang berat, dan hiperkalemia. RRT memindahkan cairan dan
konsentrasi elektrolit yang mengganggu di cairan ekstraselular dan
memindahkan cairan ekstrasel. KDIGO guidelines menyarankan
menggunakan continous RRT untuk pasien dengan hemodinamik tidak
stabil dibandingkan pengunaan intermittent dialysis (Dabbagh et al, 2018).

4) Resiko gangguan keseimbangan elektrolit


Masalah keperawatan ini dikaitkan dengan efek samping
pembedahan dan disfungsi ginjal. Dari data pengkajian didapatkan hasil

141
pemeriksaan elektrolit: K 4.1, Na 143, Cl 115, Ca 1.11, Mg 0.49. Hasil
EKG tanggal 23 jam 19.18: Junctional accelerated dengan RBBB,
hipertrofi ventrikel kanan. TTV ABP 140/78 mmHg MAP 70 mmHg on
triple inotropik (vascon 0.05 mcg/kgBB/mnt, dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt,
adrenalin 0.05 mcg/kgBB/mnt) HR 135 x/menit irama AFRVR, S 36 0C,
Spo2 98% CVP 11 mmHg RR 16x/menit. Pasien direncanakan dilakukan
CRRT mode CVVH blood flow 200, fluid loss 50 cc, cairan replacement
pre dilution 1000 ml, post dilution 1000 mL/jam, heparin 1000 iu/jam.
Balance cairan -1442cc (jam 06-14). Beberapa intervensi keperawatan
terkait dengan manajamen keseimbangan elektrolit meliputi: Identifkasi
kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit; monitor mual,
muntah dan diare; monitor kadar eletrolit serum; koreksi gangguan
keseimbangan elektrolit yang ada; monitor kehilangan cairan, jika perlu;
Monitor tanda dan gejala danya ketidakseimbangan elektrolit; Monitor
status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan membrane mukosa, turgor kulit, tekanan darah); monitor
status hemodinamik (MAP, CVP, PCWP jika tersedia); Catat intake dan
output dan hitung balans cairan dalam 24 jam; kolaborasi pemberian
diuretik jika perlu.
Masalah gangguan keseimbangan elektrolit berkaitan dengan
manajemen cairan dan manajemen elektrolit. AKI adalah penurunan fungsi
ginjal yang terjadi mendadak dalam beberapa jam sampai beberapa
minggu, diikuti dengan kegagalan ginjal dalam mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen dengan atau tanpa disertai terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Dua adaptasi penting yang dilakukan
ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit: (1) sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya
untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal; (2) terjadi peningkatan
beban filtrasi, beban solute dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron,
meskipun GFR diseluruh massa nefron turun. Selama terjadi kegagalan
fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun terganggu
dibawah normal (Kairupan dan Palar, 2020). CRRT menyerupai fungsi

142
ginjal dalam pengaturan air, elektrolit dan sisa pembuangan, memindahkan
cairan dan zat terlarut secara perlahan-lahan. CRRT dapat dilakukan pada
pasien yang kondisinya tidak stabil, dapat menyaring racun dengan berat
molekul yang besar serta menyerap dan membunuh bakteri (Fatoni dan
Kestriani, 2018).

5) Resiko kerusakan integritas jaringan


Masalah keperawatan ini berkaitan dengan perubahan sirkulasi,
perubahan status nutrisi, penurunan mobilitas, kekurangan/kelebihan
volume cairan, faktor mekanis (penekanan, gesekan), suhu lingkungan
yang ekstrim. Dari data pengkajian didapatkan pasien dengan kesadaran
SAS 1 dengan sedasi propofol 20 mg/jam; pasien imobilisasi di tempat
tidur dengan posisi semifowler; pasien terpasang alat bantu sirkulasi IABP
yang diinsersi di A. femoralis dextra; pasien terpasang ETT, arteri line di
A. radialis sinistra, CVC di subklavia sinistra, terpasang kabel elektrode
monitor, terpasang NGT di nasal, dower kateter, mahokar line di vena
jugularis interna dextra; terdapat luka post operasi dengan panjang ±10
cm, dan terpasang drain WSD intrapleural kiri no 20 Fr dan substernal no
28 Fr, terdapat luka operasi ±15 cm pada ekstremitas bawah dextra dan
sinistra; TTV ABP 140/78 mmHg MAP 70 mmHg on triple inotropik
(vascon 0.05 mcg/kgBB/mnt, dobutamin 3 mcg/kgBB/mnt, adrenalin 0.05
mcg/kgBB/mnt) HR 135 x/menit irama AFRVR, S 36 0C, Spo2 98% CVP
11 mmHg RR 16x/menit. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan oleh
perawat terkait masalah tersebut; identifikasi penyebab gangguan
integritas kulit misalnya perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi,
penurunan kelembapan, suhu lingkungan ekstrim, penurunan mobilitas;
monitor karakteristik luka; monitor tanda-tanda infeksi; ubah posisi tiap 2
jam jika tirah baring; lakukan masase pada area penonjolan tulang;
bersihkan perineal dengan air hangat; gunakan produk berbahan
petroleum, atau minyak pada kulit yang kering; gunakan produk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitive; hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit kering; lepaskan balutan dan plester secara

143
perlahan; bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik;
bersihkan jaringan nekrotik; berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika
perlu; pasang balutan sesuai jenis luka.
Salah satu aspek penting dalam pelayananan keperawatan adalah
menjaga dan mempertahankan kulit pasien agar senantiasa terjaga dan
utuh. Intervensi dalam perawatan kulit pasien akan menjadi salah satu
indikator dalam kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.
Kerusakan integritas kulit dapat disebabkan karena trauma pada kulit,
tertekannya kulit dalam waktu yang lama, sehingga menyebabkan lesi
primer yang dapat memperburuk dengan cepat menjadi lesi sekunder,
seperti pada luka tekan atau dekubitus. Akibat dari kerusakan integritas
kulit tersebut, akan membutuhkan asuhan keperawatan yang lebih luas.
Kerusakan integritas kulit dapat berasal dari luka karena trauma dan
pembedahan, namun juga dapat disebabkan karena kerusakan atau
kematian kulit sampai jaringan akibat adanya penekanan pada suatu area
secara terus menerus. Menurut America Health of Care Plan Resources
(AHCPR) terdapat tiga kategori dalam pencegahan dekubitus, kategori
pertama ialah perawatan kulit yang bertujuan untuk mempertahankan
integritas kulit yang terdiri dari mengkaji risiko terjadinya luka tekan,
meningkatkan keadaan umum pasien, pemeliharaan, perawatan kulit yang
baik, mencegah terjadinya luka tekan dengan mengubah posisi setiap 2
jam, dan memberikan pijatan pada area yang mengalami tekanan. Kategori
kedua yaitu dengan meminimalkan tekanan eksternal dengan penggunaan
tempat tidur/matras dekubitus dan mempertahankan alas tempat tidur yang
kering. kategori yang ketiga yaitu pemberian edukasi pada klien dan
keluarga sebagai pencegahan terjadinya luka tekan (Agusrianto dkk,
2020).
Pengkajian dan penilaian kondisi kulit secara menyeluruh harus
dilakukan minimal satu kali saat pasien berada di ICU atau ketika terdapat
perubahan status kesehatan, pasien ICU merupakan yang mempunyai
risiko luka tekan harus sering dilakukan pengkajian fisik kulit. Petugas
kesehatan ICU melakukan penilaian kulit lengkap, setiap perubahan

144
kondisi kulit harus dicatat, dan frekuensi pengkajian harus ditingkatkan
ketika terdapat perubahan kondisi kulit. Luka tekan pada tahap 1
kemungkinan akan meningkat menjadi tahap 2 dan seterusnya hingga tiga
kali lipat, oleh karena itu pasien dengan luka tekan mulai dari tahap 1
harus dipantau dengan cermat (Primalia dan Hudiyawati, 2020).
Permukaan pendukung adalah permukaan yang mendukung untuk
pencegahan luka tekan adalah matras yang secara khusus dirancang untuk
mengurangi tekanan dan meminimalkan gaya geser yang dapat
memperparah luka tekan. Permukaan dengan tekanan rendah mengurangi
kejadian luka tekan dibandingkan dengan kasur yang standar, untuk
mencegah perkembangan luka tekan perlu adanya modifikasi tekanan pada
kulit untuk mengurangi gaya geser dan gesekan, selain itu kelembaban
pada permukaan harus diperhatikan. Permukaan tempat tidur pasien
sebaiknya menghindari bahan – bahan dari plastik untuk menjaga
kelembaban. Penggunaan bantal sebagai alat penopang untuk mencegah
tekanan berlebih. Bahan produk bantal yang digunakan beraneka ragam,
mulai dari silikon, busa, hingga menggunakan udara (Primalia dan
Hudiyawati, 2020).
Peran perawat sangat dibutuhkan dalam pemantauan nutrisi pada
pasien, kadar albumin sebagai indikator malnutrisi. Perawat harus
mengidentifikasi status gizi pasien pada saat masuk dan menganjurkan
untuk sedini mungkin suplementasi nutrisi bila perlu. Memastikan nutrisi
yang cukup sangat sulit pada pasien yang menerima vasopresor karena
cara kerja vasopressors mengerutkan mukosa lambung, mencegah
penyerapan nutrisi. Selain itu, pemberian nutrisi enteral sering
menyebabkan keluaran feses yang cair yang menyebabkan kesinambungan
dengan kontaminasi kulit dengan feses. Sebuah penelitian terbaru
melaporkan bahwa pasien yang menerima formula nutrisi enteral
diperkaya dengan minyak ikan yang mengandung lemak tak jenuh ganda
rantai-u ringan 3-rantai asam (PUFA) dan mikronutrien, kejadian luka
tekan berkurang secara signifikan Untuk mengoptimalkan kebutuhan

145
nutrisi sebaiknya diberikan protein yang tinggi serta dikonsulkan pada ahli
nutrisi (Primalia dan Hudiyawati, 2020).
Menurut Rahmanti (2021) dalam bukunya menyatakan mobilisasi
progresif dapat dilakukan pada pasien ICU terkait dengan masalah
integritas kulit. Mobilisasi berarti kemampuan untuk berpindah atau
bergerak. Progresif berarti secara berkelanjutan atau berjenjang. Mobilisasi
progresif yaitu serangkaian rencana yang dibuat untuk mempersiapkan
pasien agar mampu bergerak atau berpindah tempat secara berjenjang dan
berkelanjutan. Mobilisasi progresif digunakan untuk menggambarkan
posisi bertingkat sesuai dengan kondisi pasien Tujuan dilaksanakan
mobilisasi progresif pada pasien di ICU adalah untuk mengurangi risiko
kerusakan integritas kulit, menurunkan lama penggunaan ventilator, untuk
mengurangi insiden VAP, untuk mengurangi waktu penggunaan sedasi,
menurunkan delirium, meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah
dan meningkatkan fungsi organ - organ tubuh. Pemberian mobilisasi
diharapkan dapat meningkatkan transport oksigen dari pasien. Mobilisasi
pasien di ICU dapat dilihat sebagai proses rehabilitasi dini untuk
mempertahankan kekuatan otot dan untuk mencegah perubahan dalam
respon kardiovaskuler saat intervensi diberikan, hal ini diharapkan dapat
mempercepat proses penyapihan dan mempersingkat lama rawat di ICU.
Mobilisasi progresif dilakukan dengan penyesuaian kondisi pasien sambil
memantau hemodinamik. Contoh mobilisasi progresif meliputi:
a. Head of Bed. Memposisikan tempat tidur pasien secara bertahap
hingga pasien posisi setengah duduk. Posisi ini dapat dimulai dari 30 0
kemudian bertingkat ke posisi 450, 650 hingga pasien dapat duduk
tegak.
b. Range of motion (ROM). Kegiatan ROM dilakukan pada ekstremitas
atas maupun ekstremitas bawah, dengan tujun untuk menguatkan dan
melatih otot agar kembali ke fungsi semula. Kegiatan ROM dilakukan
sebanyak 2-3 kali dalam sehari. Kegiatan ROM dilakukan dengan
fleksi, ekstensi, rotasi, hiperektensi lengan, bahu, maupun kaki. Pasif
ROM yang dilakukan pada ekstremitas atas dilakukan pengulangan

146
sebanyak 5 kali pada tiap gerakan, berupa memfleksikan dan
mengekstensikan jari, begitu juga pada pergelangan tangan, deviasi
ulnar dan radial, siku dan bahu di ekstensifleksi,supinasi, pronasi serta
rotasi. Pasif ROM pada ekstremitas bawah dilakukan pengulangan
sebanyak lima kali gerakan berupa memfleksi, ekstensikan jari kaki,
dorsofleksi pergelangan kaki, plantar fleksi, ektensi, dan fleksikan
lutut, fleksi, abduksi, adduksi dan rotasi pada pinggang.
c. Continous Lateraly Rotation Teraphy (CLRT). CLRT adalah sutu
bagian dari mobilisasi progresif, dilakukan untuk mengurangi
komplikasi fungsi pernapasan. Terapi ini dilakukan melalui gerakan
kontinu rangka tempat tidur yang memutar pasien dari sisi ke sisi.
Posisi miring (side-lying), klien diistirahatkan pada sisi dengan
sebagian besar berat badan ditopang pada pinggul dan bahu yang
bergantung. Posisi miring 300 direkomendasikan untuk klien yang
beresiko ulkus tekan.
6) Resiko penurunan perfusi perifer
Masalah ini terkait dengan tindakan endovascular dan kondisi
hiperglikemia. Tn M. terpasang IABP selama durante operasi karena
hemodinamik tidak stabil. Intervensi yang dapat dilakukan terkait
manajemen sirkulasi meliputi: memeriksa sirkulasi perifer (mis, nadi
perifer, edema, kapiler, warna, suhu); monitor status oksigenasi (oksimetri,
nadi, AGD); mengidentifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis,
diabetes, hipertensi dan kadar kolesterol); memonitor panas, kemerahan,
nyeri, dan bengkak pada ekstremitas; menghindari pengukuran tekanan
darah pada ekstremitas dengan keterbatasan perfusi; menghindari
penekanan dan pemasangan torniquet pada area yang cedera; memberikan
drip insulin sesuai hasil gula darah.
IABP dilakukan sebagai terapi pada kondisi infark miokard akut, MR
dan VSD akut, syok kardiogenik, sepsis, pembedahan jantung, weaning
dari CPB. Untuk pembedahan jantung IABP dapat dipasang sebelum
operasi atau durante operasi. Dari sudut pandang hemodinamik dan
fisiologi, penurunan tekanan intra aorta selama fase sistolik menyebabkan

147
berkurangnya afterload. Sedangkan peningkatan tekanan aorta oleh balon
selama diastolik meningkatkan aliran koronor. Namun komplikasi
vaskular terkait pemasangan IABP dapat berupa komplikasi mayor
(iskemia tungkai bawah akut, perforasi aorta atau arteri perifer, diseksi
aorta, fasiotomi sampai amputasi kaki) dan komplikasi inor (hematom
local, infeksi dan iskemia yang reversible dengan pengangkatan sheath)
(Oktaviono, 2020).
Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menempel pada dinding
pembuluh darah. Sehingga terjadi proses oksidasi, glukosa darah akan
bereaksi dengan protein dari dinding pembuluh darah yang menimbulkan
AGEs. Advanced Glycosylated Endproducts (AGEs) merupakan zat yang
dibentuk dari kelebihan gula dan protein yang saling berikatan. Keadaan
ini merusak dinding bagian dalam dari pembuluh darah dan menarik lemak
yang jebuh atau kolesterol menempel pada dinding pembuluh darah,
sehingga reaksi inflamasi terjadi. Sel darah putih (leukosit) dan sel
pembekuan darah (trombosit) serta bahan-bahan lain akan ikut menyatu
menjadi satu bekuan plak (plaque) yang membuat dinding pembuluh darah
menjadi keras, kaku dan akhirnya timbul pemyumbatan (Widyaswara dkk,
2022).
Dari uraian diatas bahwa ada kesesuaian antara kasus dengan teori.
Sehingga seorang perawat ruang ICU harus mampu melakukan interpretasi
keadaan klien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat
mengancam jiwa serta dapat melakukan tindakan keperawatan mandiri.
Seorang perawat memberikan keperawatan holistik dalam meningkatkan
kesehatan manusia baik fisik, emotional, intelektual, sosial dan spiritual.

148
149
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
a) CABG merupakan tindakan revaskularisasi pembuluh darah coroner
melalui proses pembedahan pada pasien PJK ketika terapi medika mentosa
dan intervensi perkutan tidak optimal. Tindakan ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup bagi penderita PJK
b) Kejadian AKI pasca bedah jantung bisa disebabkan oleh kondisi pra renal,
renal dan post renal sehingga identifikasi dini dan manajemen
penatalaksanaan yang tepat dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas bagi penderitanya
c) Asuhan keperawatan pada Tn M. dengan post CABG memunculkan
beberapa masalah keperawatan pasca bedah sehingga peran perawat
intensive beserta tim sangat berperan penting dalam proses pemulihan
pasien.

6.2 Saran
Semoga kedepannya ada panduan atau buku yang membahas khusus
tentang asuhan keperawatan pada pasien pasca bedah jantung sehingga dapat
dijadikan acuan untuk proses asuhan keperawatan mendatang.

150
DAFTAR PUSTAKA

Agusrianto., Nurviana, D., Manggasa, D., Fadila, V. (2020). Penerapan Swedish


Massase Dengan Menggunakan Minyak Zaitun Terhadap Risiko
Kerusakan Integritas Kulit Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Kasus Stroke. Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.14 No.2 Oktober 2020: Hal.
134-140
Ariany, S., Tua, I. J. M., Danial, D., & Tandirogang, N. (2021). Perbedaan Nilai
Rasio Neutrofil-Limfosit Pre Dan Post Operasi Coronary Artery
Bypass Grafting On-Pump Terhadap Kejadian Acute Kidney Injury
Dan Non-Acute Kidney Injury. Jurnal Kedokteran Mulawarman, 8(3),
109-115.
Astuti, I., Akbar, M., Nuraeni, A. (2019). Intervensi Rehabilitasi Jantung Fase I
Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Bedah Pintas Koroner (Bpk):
Literatur Review. Jurnal Keperawatan Indonesia, 2019, 22 (2), 110–121
Bojar, Robert. (2020). Manual Of Perioperative Care in Adult Cardiac Surgery
Sixth Edition. John Wiley & Sons. USA
Chikwe, J., Lee, T., Itagaki, S., Adams, D., Egorova, N. (2018). Long-Term
Outcomes After Off-Pump Versus On-Pump Coronary Artery Bypass
Grafting by Experienced Surgeons. Journal Of the American College of
Cardiology. Vol. 72, No. 13
Dabbagh, A., Esmailian, F., Aranki, S. (2018). Postoperative Critical Care for
Adult Cardiac Surgical Patients Second Edition. Springer
Dwijanarko, Wisnu. (2022). CRRT: Dalam Pembelajaran Program Pelatihan
Kardiologi Tingkat Dasar RS Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Angkatan V. Jakarta
Fahmi, I., Nurachmah, E., & Herawati, T. (2020). Glycemia Control Pada Pasien
Paska Pembedahan Jantung: Studi Kasus. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia, 6(2), 157-162.
Fatoni, AZ., Kestriani., ND. (2018). Acute Kidney Injury (AKI) Pada Pasien
Kritis. Jurnal Anesthesia Critical Care Vol 36. No 2 Juni
Hernawati, Lestari. (2021). Sekelumit Tentang Perawatan Pasien Di ICU Pasca
Bedah. https://pjnhk.go.id/artikel/sekelumit-tentang-perawatan-pasien-
di-icu-paska-bedah

151
Jannati, M., Attar, M. (2019). Analgesia and sedation post-coronary artery
bypass graft surgery: a review of the literature. Journal of Therapeutics
and Clinical Risk Management 2019:15 773–781
Jonny. (2019). Konsep Dasar CRRT. Penerbit: Pillar. Denpasar-Bali
Kairupan, J., Palar, S. (2020). Gangguan Ginjal Akut et Kausa Sepsis: Laporan
Kasus. Medical Scope Journal (MSJ). 2020;2(1):36-47
Leballo, Gontse., Chakane, Palesa M. (2020). Cardiac Surgery-Associated Acute
Kidney Injury: Pathophysiology and Diagnostic Modalities and
Management. Cardiovascular Journal of Africa Volume 31, No 4,
July/August
Mailani, R., Nazhira, F., & Sirada, A. (2022). Penanganan Fisioterapi Pada
Kasus Post Operasi Coronary Artery Bypass Graft: Studi Kasus.
Indonesian Journal of Physiotherapy, 2(1), 106-109.
Makarim, fadli rizal. (2019). Waspadai Komplikasi Yang Diakibatkan Atelektasis.
www.halodocter.com
Muttaqin, Arif. 2020. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika
Oktaviono, Yudi Her. (2020). Tata Laksana Khusus Pada Intervensi Koroner
Perkutan. Airlangga University Press. Surabaya
PJNHK. (2018). Coronary Artery Bypass graft (CABG). http://pjnhk.go.id
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1
Cetakan 3. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1 Cetakan
2. PPNI. Jakarta
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1 Cetakan 2.
PPNI. Jakarta
Prasetyaningrum, W., Akbar, R., Prawesti, A. (20210. Faktor yang Memengaruhi
Kualitas Hidup Pasien Paska Bedah Pintas Arteri Koroner . Jurnal
Kesehatan Volume 12, Nomor 1, Tahun 2021
Primalia, P., Hudiyawati, D. (2020). Pencegahan dan Perawatan Luka Tekan
pada Pasien Stroke di Ruang ICU. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan
Vol. 13 (2), 2020, 110-116
Rahmanti, Ainnur. (2019). Manajemen Keselamatan Pasien Kritis. Penerbit:
EUREKA MEDIA AKSARA. Purbalingga
Raikhanah, S. (2021). Mengenal Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
https://sardjito.co.id/2021/12/06/mengenal-coronary-artery-bypass-
graft-cabg/

152
Ramadantie, R., Adisasmita, A. (2021). Faktor Risiko Pemakaian Ventilator
Mekanik Lebih Dari 24 Jam Pasca Bedah Pintas Arteri Koroner Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tarumanagara Medical Journal Vol.
3, No. 1, 152-160, April 2021
Rochfika. (2022). Askep Pasien Paska Bedah CABG di RSUP dr Wahidin
Sudirohusodo Makasar.
Shi-Min Yuan. (2019). Acute Kidney Injury after Cardiac Surgery: Risk Factors
and Novel Biomarkers. Brazillian J Cardiovascular Surgery
2019;34(3):352-360
Sudjud, RW., Kurniadi, R., Hintono, E. (2020). Angka Kejadian Ventilasi
Mekanis Berkepanjangan pada Pasien Pasca bedah Pintas Arteri
Koroner di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2014–2016.
Jurnal Anestesi Perioperatif JAP. 2020;8(1)
Suparto, Boom, Cindy. (2014). Infark Miokard Perioperatif. J. Kedokt Meditek
Vol. 20 No. 53, Mei-Agust 2014
Suyanti, T., Rahayu, S. (2020). Lama Post Operasi Coronary Artery Bypass Graft
(CABG) dengan Kualitas Hidup Pasien Post Operasi CABG Di RSPAD
Gatot Soebroto. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, Vol 9, No. 2,
September 2020
Terry, Cynthia Lee. (2017). Edisi 2. Keperawatan Kritis. Rapha Publishing.
Yogyakarta
The Teleflex academy. (2018). Penerapan Prinsip Counterpulsasi Dalam Aortic
Ballon Pump. PT Multidaya Medika. Jakarta
Trianita, W., Arman, D., Sugisman. (2021). Cardiovascular Outcomes in High-
Risk Patients Undergoing OPCAB Surgery Compared to Traditional
CABG. Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 31, No. 4, August 2021, pp.
242-246
Widyaswara, G., Wulandari, T., Putri, A.C. (2022). Hubungan Kadar Glukosa
Darah Dan Tekanan Darah Pada Anggota Proklim di Desa Purbayan
Baki, Sukoharjo. Journal Of Health Research, Vol 5 No 1. Maret 2022
(19-26)
Yahya, A.F. (2017). Menaklukan Pembunuh No. 1: Mencegah dan Mengatasi
Penyakit Jantung Koroner Secara Tepat dan Cepat. Penerbit: Mizan.
Jakarta
Yuniandita, N., Hudiyawati.D. (2020). Prosedur Pencegahan Terjadinya
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) di Ruang Intensive Care Unit
(ICU): A Literature Review. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan Vol. 13
(1), 2020, 62-74

153
Lampiran

LEMBAR KONSUL

Nama pembimbing : Ns. Wisnu Wijanarko, S.kep

Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn M. dengan Post


Operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
dengan Device Continous Renal Replacement Therapy
(CRRT) di Ruang ICU Bedah Dewasa RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta

No Tanggal Materi Saran pembimbing TTD


1 20 Oktober 2022 Bab 1, Bab 2 ACC

2 21 Oktober 2022 Bab 3, Bab 4 Tambahkan diagnosa,


diagnosa untuk perfusi
renal dibuat aktual bukan
resiko
3 25 Oktober 2022 Bab 5, Bab 6 ACC

154

Anda mungkin juga menyukai