Anda di halaman 1dari 11

DOWN SYNDROME

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak 2

Dosen Pengampu : Ery Mulyani, M.Pd

Disusun oleh : Kelompok 5

1. Dwi Agustina Azzara (C1022124)


2. Sinta Puspita Sari (C1022133)
3. Sherly May Shinta (C1022137)
4. Muhammad Adhis Putra W (C1022148)
5. Syofirotun Nadia (C1022152)
6. Darojatun Aulia Rahmah (C1022166)
7. Nurul Hidayanti (C1022176)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI

TA. 2023/2024
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Down Syndrome / Sindrom Down merupakan kelainan genetik trisomi di mana terdapat
tambahan pada kromosom 21. Kelainan ini paling sering terjadi dan paling mudah diidentifikasi.
Insiden Down Syndrome diperkirakan 1:800 – 1000 kelahiran. Anak dengan Down Syndrome
sering disertai dengan kelainan di bidang jantung dan pembuluh darah, hormon, pendengaran,
penglihatan, tulang, dan keganasan. Perkembangan anak dengan Down Syndrome berbeda
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom berlebih menyebabkan penurunan
jumlah sel saraf pada sistem saraf pusat, keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan siklus
sel, dan produksi protein berlebih serta neurotransmisi yang tidak normal. Beberapa kondisi
tersebut menyebabkan gangguan kognitif, komunikasi, konsentrasi, memori, kemampuan
melaksanakan tugas, perkembangan motorik, dan kontrol tubuh. Oleh karena itu, untuk
mencapai kualitas hidup dan potensi maksimal, diperlukan optimalisasi dengan identifikasi dini
dan penanganan multidisipliner dari berbagai disiplin ilmu dengan tujuan yaitu memaksimalkan
kompetensi di seluruh domain perkembangan serta untuk mencegah dan meminimalkan
keterlambatan.
1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi, klasifikasi, faktor, karakteristik, terapi,
masalah kesehatan dan perkembangan pada anak dengan Down Syndrome.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

1.1 Definisi
Down Syndrome/Sindrom Down merupakan suatu kelainan genetik trisomi, di mana terdapat
tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom ekstra tersebut menyebabkan jumlah
protein tertentu juga berlebih sehingga mengganggu pertumbuhan normal dari tubuh dan
menyebabkan perubahan perkembangan otak yang sudah tertata sebelumnya. Selain itu,
kelainan tersebut dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan fisik, ketidakmampuan
belajar, penyakit jantung, bahkan kanker darah/leukemia. Kelainan ini sama sekali tidak
berhubungan dengan ras, negara, agama, maupun status sosial ekonomi. (Irwanto, 2019)
1.2 Etilogi
Down Syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia.
Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada
penderita Down Syndrome, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga total
menjadi 47 kromosom (Faradz, 2016). Penyebab lain dari Down Syndrome yaitu kegagalan dari
kromosom untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel,
sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase. Ini dapat terjadi
pada saat meiosis ataupun mitosis. Hall menuliskan bahwa Down Syndrome disebabkan oleh
adanya kromosom ekstra pada pasangan kromosom ke-21, yang dapat mengambil bentuk salah
satu di antara 4 pola, yaitu trisomi, translokasi, mosaik, dan duplikasi. (Irwanto, 2019)
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan kelainan struktur dan jumlah kromosom, Down Syndrome terbagi menjadi 3 jenis
(Irwanto, 2019), yaitu :
1. Trisomi 21 Klasik
Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita Down
Syndrome, di mana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian
trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita Down Syndrome.
2. Translokasi
Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21 melepaskan diri pada
saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom lainnya. Kromosom 21 ini dapat
menempel pada kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita
Down Syndrome. Pada beberapa kasus, translokasi Down Syndrome ini dapat diturunkan

3
dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama
dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.
3. Mosaik
Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, di mana hanya beberapa sel saja
yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan Down
Syndrome mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan yang lebih ringan
dibandingkan bayi yang lahir dengan Down Syndrome trisomi 21 klasik dan translokasi.
Trisomi 21 mosaik hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita Down Syndrome.
1.4 Faktor Penyebab Down Syndrome
Pada Down Syndrome, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer
yang perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut
sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-disjunction.
Pada Down Syndrome, meiosis 1 menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan
apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot
trisomi 21. Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal (Irwanto, 2019), yaitu:
1. Infeksi virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal yang bersifat
teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga
menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada Sindrom Down. Sekitar
30% ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome pernah mengalami radiasi di daerah
perut sebelum terjadinya konsepsi.
3. Usia Ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan Down
Syndrome dibandingkan dengan ibu usia muda (<35 tahun). Perubahan endoktrin seperti
peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi
estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon LH
(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) secara mendadak pada
saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
nondisjunction.

4
1.5 Karakteristik
Anak dengan Down Syndrome dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. Beberapa karakteristik
fisik khusus (Irwanto, 2019), meliputi:
a. Bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang normal (microchephaly)
dengan area datar di bagian tengkuk.
b. Ubun – ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata usia 2 tahun)
c. Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds).
d. Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga tampak menonjol
keluar.
e. Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran jika tidak diterapi.
f. Garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simiancrease)
g. Penurunan tonus otot (hypotonia)
h. Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan jalan napas lebih kecil
sehingga anak Down Syndrome mudah mengalami hidung buntu
i. Tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Down Syndrome tidak mencapai tinggi dewasa
rata-rata
j. Dagu kecil (micrognatia)
k. Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak sebagaimana
mestinya.
l. Spot putih di iris mata (brushfield spots)
m. Jarak berlebih antara jempol kaki dan telunjuk kaki
1.6 Terapi
Beberapa metode terapi dalam psikologi yang diberikan kepada anak Down Syndrome (Desa &
Amfotis, 2022), seperti:
1. Terapi Fisik (Physio Theraphy)
Terapi ini biasanya diperlukan pertama kali bagi anak Down Syndrome dikarenakan mereka
mempunyai otot tubuh yang lemas. Terapi ini diberikan agar anak dapat berjalan dengan
cara yang benar.
2. Terapi Wicara
Terapi ini diperlukan untuk anak Down Syndrome yang mengalami keterlambatan bicara dan
pemahaman kosakata.

5
3. Terapi Okupasi
Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman,
kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan karena pada dasarnya anak
Down Syndrome tergantung pada orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan
kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang
dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi
Sensori integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan/sensori yang diterima.
Terapi ini diberikan bagi anak Down Syndrome yang mengalami gangguan integrasi sensori
misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus, dll. Terapi ini bertujuan
agar anak dapat melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan
meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy)
Mengajarkan anak Down Syndrome yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah
laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di
masyarakat.
7. Terapi Akupuntur
Terapi ini dilakukan dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu
dengan jarum. Titik saraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak.
8. Terapi Musik
Terapi musik adalah anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak – anak sangat senang
dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan begitu
stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya
yang lain juga membaik.
9. Terapi Lumba – lumba
Terapi ini biasanya dipakai bagi anak autis tetapi dapat diterapkan pada anak dengan Down
Syndrome karena sel-sel saraf otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika
mendengar suara lumba – lumba.
10. Terapi Craniosacral

6
Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan pada saraf pusat. Dengan terapi
ini anak Down Syndrome diperbaiki metabolisme tubuhnya sehingga daya tahan tubuh lebih
meningkat.
1.7 Masalah Kesehatan
Anak dengan Down Syndrome memiliki berbagai kelainan kongenital yang memerlukan
penanganan medis, kelainan tersebut antara lain (Desa & Amfotis, 2022):
a. Kelainan jantung
Kelainan jantung bawaan ditemukan pada 40%-60% bayi dengan Down Syndrome, berupa
defek kanal atrioventikular komplit (60%), defek septum atrium sekundum (1%), dan
isolated mitral cleft (1%). Anak Down Syndrome dengan kelainan jantung bawaan berat
yang stabil secara klinis dapat memberikan gejala berat setelah usia 8 bulan.
b. Masalah Endokrin/Hormon
Masalah hormon pada anak Down Syndrome tersering yang berkaitan dengan pertumbuhan
dan perkembangan adalah gangguan pada hormon tiroid dan gonad.
1) Gangguan Hormon Tiroid
Kelainan ini yang paling sering dijumpai pada sekitar 16-20% penderita Down
Syndrome. Sekitar separuh anak dengan Down Syndrome mengalami peningkatan
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dengan nilai T3 dan T4 normal yang menyebabkan
hipotiroid subklinis (tidak memiliki gejala).
2) Gangguan Gonad
Pasien dengan Down Syndrome memiliki angka kejadian tinggi untuk mengalami
kelainan perkembangan seksual dan keterlambatan pubertas di kedua jenis kelamin.
c. Masalah Kelainan Darah (Hematologi) dan Onkologi
Pasien dengan Down Syndrome memiliki 10-20 kali lipat peningkatan risiko menderita
leukemia dan sebesar 2% dapat terjadi hingga usia 5 tahun dan 2,7% hingga usia 30 tahun.
Sebesar 2% anak dengan Down Syndrome menderita leukemia limfoblastik akut (LLA) dan
sekitar 10% menderita kelainan leukemia myeloid akut (LMA).
d. Masalah Saluran Cerna
Anak dengan Down Syndrome akan mengalami beberapa gejala saluran cerna dari waktu ke
waktu seperti muntah, diare, sulit BAB (konstipasi), nyeri perut, dan ketidaknyamanan yang
dapat hilang dengan intervensi minimal atau bahkan tanpa terapi. Salah satu kelainan
saluran cerna yang sering dijumpai pada anak Down Syndrome dibanding anak sehat adalah
penyakit Hirschsprung.

7
e. Infeksi dan Gangguan Sistem Pertahanan Tubuh
Adanya kelainan sistem pertahanan tubuh (imunitas) berkaitan dengan Down Syndrome
dihubungkan dengan proses metabolik atau kekurangan nutrisi yang akan menjadi faktor
predisposisi pencetus infeksi.
f. Masalah Neurologi
Pasien dengan Down Syndrome memiliki risiko lebih besar untuk menderita penyakit
Alzheimer. Setelah usia 50 tahun, risiko untuk berkembangnya demensia meningkat pada
pasien Down Syndrome mencapai hampir 70%.
g. Gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Anak dengan Down Syndrome seringkali mengalami gangguan pendengaran, baik
sensorineural maupun konduktif. Semua bayi dengan Down Syndrome perlu dievaluasi
dengan Auditory Brainstem Response Test (ABR) atau dengan transient evoked otoacoustic
test.
h. Gangguan penglihatan
Katarak kongenital adalah masalah serius bagi bayi dengan Down Syndrome, tidak adanya
red reflex, terdapatnya nistagmus dan strabismus.
1.8 Perkembangan Pada Anak dengan Down Syndrome
Anak penderita Down Syndrome bervariasi dalam perkembangannya. Sebagian berkembang
cepat, sebagian berkembang dengan kecepatan lebih lambat dibandingkan anak normal namun
dengan kecepatan tetap, sehingga optimalisasi tumbuh kembang perlu dilakukan agar proses
tumbuh kembang berlangsung dengan kecepatan yang tetap dan anak dapat mencapai potensi
yang seharusnya.
Pada anak dengan Down Syndrome, pola perkembangan motorik kasar maupun halus
mengikuti pola yang sama dengan perkembangan anak normal, namun tonggak
perkembangannya dicapai pada waktu yang lebih lambat karena adanya faktor kognisi, hipotoni,
kekuatan otot yang berkurang, sendi dan ligament yang longgar, serta faktor susunan tangan.
Penelitian telah membuktikan bahwa anak dengan Down Syndrome mempunyai kesulitan
memproses informasi yang diterima oleh saraf mereka untuk kemudian dikoordinasikan
membentuk gerakan.

8
Bayi dengan Down Syndrome memiliki keterlambatan proses sensoris. Anak yang tidak
dapat memproses informasi sensoris dari lingkungannya dapat bereaksi dengan tingkah laku
yang tidak tepat.
Perkembangan bahasa pada anak Down Syndrome, seperti halnya dengan perkembangan
bahasa pada anak-anak pada umumnya dapat bervariasi tergantung pada tingkat perkembangan
mereka dan intervensi yang mereka terima. Anak Down Syndrome seringkali menghadapi
tantangan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Adapun ciri khas dalam perkembangan
bahasa pada anak Down Syndrome (Dayana, 2023), antara lain:
1. Kemampuan bicara terbatas
Anak-anak dengan Down Syndrome sering mengalami keterlambatan bicara dan dapat
mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata dengan jelas. Mereka mungkin memiliki
pengucapan yang tidak akurat, gangguan suara, atau ketidakmampuan mengartikulasikan
suara tertentu.
2. Keterbatasan kosakata
Anak-anak dengan Down Syndrome mungkin memiliki kosakata yang terbatas dan kesulitan
dalam memahami dan menggunakan kata-kata baru. Mereka dapat mengalami kesulitan
dalam mempelajari kata-kata baru dan mengaitkan makna dengan kata-kata tersebut.
3. Kesulitan dalam struktur kalimat
Anak-anak dengan Down Syndrome mungkin mengalami kesulitan dalam
mengorganisasikan kata-kata menjadi kalimat yang terstruktur dengan baik. Mereka
mungkin memiliki kesulitan dalam memahami aturan tata bahasa dan menghasilkan kalimat
yang gramatikal.
4. Kesulitan dalam komunikasi sosial
Anak-anak dengan Down Syndrome seringkali menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi
secara sosial. Mereka mungkin memiliki kesulitan dalam memahami bahasa tubuh,
mengenali ekspresi wajah, atau memahami aturan-aturan sosial dalam percakapan.

9
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Down Syndrome/Sindrom Down merupakan suatu kelainan genetik trisomi, di mana terdapat
tambahan kromosom pada kromosom 21. Down Syndrome terjadi karena kelainan susunan
kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Berdasarkan kelainan struktur dan jumlah
kromosom, Down Syndrome terbagi menjadi 3 jenis yaitu trisomi 21 klasik, translokasi, dan
mosaik. Faktor penyebab Down Syndrome diantaranya faktor usia ibu, infeksi virus dan radiasi.
Anak dengan Down Syndrome dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. Beberapa metode terapi
dalam psikologi yang diberikan kepada anak Down Syndrome, seperti terapi okupasi, terapi
fisik, terapi sensori integrasi dll. Anak dengan Down Syndrome memiliki berbagai kelainan
kongenital seperti kelainan jantung, masalah endokrin/hormon, masalah kelainan darah
(hematologi) dan onkologi, masalah saluran cerna, infeksi dan gangguan sistem pertahanan
tubuh, masalah neurologi, gangguan telinga, hidung dan tenggorokan, gangguan penglihatan.
Perkembangan pada anak dengan Down Syndrome yang perlu diperhatikan yaitu perkembangan
kognitif, perkembangan motorik kasar dan motorik halus, perkembangan sensorik, dan
perkembangan bahasa.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dayana, I. (2023). Perkembangan Bahasa Anak Down Syndrome. Journal of Special Education
Lectura, 1(1), 24-28.

Desa, M. V., & Amfotis, S. (2022). MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS


MELALUI MENCORET DENGAN KRAYON PADA ANAK DOWN SYNDROME DI
WISMA BHAKTI LUHUR MALANG. JURNAL PELAYANAN PASTORAL, 3(1), 55-62.

Faradz, S. M. (2016). Mengenal Sindrom Down Panduan Untuk Orang Tua dan Profesional.
Semarang: Undip Press.

Irwanto. (2019). A-Z Sindrom Down. Surabaya: Airlangga University Press.

Kumar, V., & Abbas, A. (2019). Buku Ajar Patologi Robbins - EBook. Singapura: Elsevier Health
Sciences.

11

Anda mungkin juga menyukai