Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Down Syndrome disebabkan oleh kelainan kromosom 21 dan

merupakan bentuk genetik yang paling sering diidentifikasi dari gangguan

perkembangan intelektual (Masgutova & Sadowska, 2015). Hal ini

dikarenakan adanya gangguan pembelahan kromosom yang disebut non-

disjungsi atau aneuploidi (Sherman et al., 2007). Bertambahnya kromosom

berdampak pada ketidakseimbangan genetik, retardasi mental dan

terganggunya fungsi fisik, intelektual bahkan fisiologi tubuh (Mohammed dan

Harasi, 2010).

Prevalensi sindrom down di seluruh dunia rata rata adalah 1 dari 700 -

1000 kelahiran hidup dan terjadi rata – rata sebanyak 0.45% dari setiap

konsepsi (Mohammed dan Harasi, 2010). Menurut data Riskesdas tahun 2013,

angka kecacatan sindrom down sebesar 0,12 pada tahun 2010 dan mengalami

peningkatan sebesar 0,13 % pada tahun 2013. Prevalensi Down Syndrome

tampaknya meningkat, Menurut Indonesian Center for Biodiversity dan

Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 300 ribu

anak dengan kasus Down Syndrome. Angka kemungkinan munculnya Down

Syndrome makin tinggi dengan didasari umur ibu saat melahirkan. Dari data

penelitian di atas telah mengidentifikasi bahwasannya pada tahun 2013, total

kasus Down Syndrome mengalami peningkatan kurang lebih 0,01

dibandingkan pada tahun 2012. Pada tahun 2010, kasus Down Syndrome ini

1
berada pada peringkat ketiga dengan kasus terbanyak setelah tuna daksa dan

tuna wicara yaitu dengan total 0,12 serta menduduki peringkat keempat

sebagai kasus terbanyak pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,13. Jumlah kasus

Down Syndrome di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan pada

tahun 2010 (Mahendra, 2013).

Frekuensi terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1

dalam 700 kelahiran hidupatau 1 diantara 800-1000 kelahiran

bayi.Diperkirakan saat ini terdapat empat juta penderita sindrom Down di

seluruh dunia, dan 300 ribu kasusnya terjadi di Indonesia. Analisis baru

menunjukkan bahwa dewasa ini lebih banyak bayi dilahirkan dengansindrom

Down dibanding 15 tahun lalu. Karena merupakan suatu kelainan yang

tersering yang tidak letal pada suatu kondisi trisomi, maka skrining genetik

dan protokol testing menjadi fokus dibidang obstetri. Angka kejadian

sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Semakin

meningkat usia ibu saat kehamilan, semakin besar resiko melahirkan anak

dengan sindroma Down. Insidensnya pada Wanita yang hamil diatas usia 35 th

meningkat dengan cepat menjadi 1 diantara 250 kelahiran bayi. Diatas 40 th

semakin meningkat lagi, 1 diantara 69 kelahiran bayi (Stewart, 2007).

Pada umumnya bayi dengan Down Syndrome memiliki berat dan

panjang lahir normal namun mengalami hypotonus. Akibat hypotonus tersebut

tumbuh kembang mengalami keterlambatan baik motorik kasar, sensory

feedback dan stabilitas postural (Richard, 2013). Fisioterapi dapat berperan

dalam menguatkan tonus dan stimulasi motorik kasar. Upaya fisioterapi bisa

melalui pendekatan metode neurosenso, stimulasi tumbuh kembang, Neuro

2
Development Treatment (NDT) maupun play therapy. Pendekatan yang

dipilih penulis yaitu Neuro Development Treatment. Neuro Development

Treatment dianggap sebagai cara penatalaksanaan terapi yang komprehensif

yang ditujukan untuk fungsi pergerakan sehari-hari yang relevan. Neuro

Development Treatment biasanya digunakan untuk rehabilitasi pada bayi,

Down Syndrome cerebral palsy serta gangguan perkembangan motorik

lainnya (Lee et al., 2017). Stimulasi adalah rangsangan yang datang dari

lingkungan luar dan akan berakibat pada proses tumbuh kembang. Pemberian

stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhan anak sesuai

tahap perkembangannya. Efek dari diberikannya stimulasi motorik adalah

terjadinya kontraksi pada otot-otot yang mengalami kelayuhan sehingga akan

terjadi peningkatan tonus pada otot-otot tersebut dan stimulasi tumbuh

kembang (Skotko et al., 2009). Pendekatan NDT berfokus pada normalisasi

otot hipertonus atau hipotonus (Ulyanik, 2013). Metode neuro developmental

treatment juga difungsikan untuk melatih reaksi keseimbangan, gerakan anak

serta fasilitasi (Hazmi, 2013).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Apakah manfaat metode NDT untuk kasus Down Syndrome terhadap

peningkatan otot?

2. Apakah manfaat metode NDT untuk kasus Down Syndrome terhadap

kemampuan fungsional anak?

3
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui adanya manfaat metode NDT pada anak Down

Syndrome terhadap penigkatan kekuatan otot?

2. Untuk mengetahui adanya manfaat metode NDT pada anak Down

Syndrome terhadap perbaikan kemampuan fungsional anak?

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan laporan akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis Penulis dapat menambah pengetahuan tentang

neurodevelopment treatment pada Delay Development akibat Down

Syndrome.

2. Bagi fisioterapis Fisioterapis dapat menambah pengetahuan di bidang

pediatri serta sebagai pertimbangan dalam memberikan terapi pada

penderita Down Syndrome dengan modalitas neurodevelopment

treatment.

3. Bagi masyarakat Masyarakat dapat mengerti peran fisioterapis pada

kasus Down Syndrome sehingga masyarakat dapat mencegah masalah

lebih lanjut

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindrom Down adalah suatu kumpulan gejala akibat dari abnormalitas

kromosom, sindrom Down pertama kali ditemukan oleh Seguin pada tahun

1844, pada tahun 1866 dokter Down menindaklanjuti kelainan yang

dikemukakan oleh Seguin. Pada tahun 1970 para ahli dariAmerika dan Eropa

merevisi nama dari kelainan pada anak tersubut denganmenggunakan nama

dari penemu kelainan tersebut yaitu Down, dankelainan tersebut diberi nama

sindrom Down (Gunarhadi, 2005).

Pada Sindrom Down terjadi suatu kondisi dimana terdapat tambahan

kromosom pada kromosom 21 atau dikenal juga dengan istilah trisomi 21

5
yang menyebabkan keterlambatan perkembangan fisik, ketidakmampuan

belajar, penyakit jantung, tanda awal alzeimer, dan leukimia (Wiseman et al.,

2009). Terdapat juga suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak

yang diakibatkan adanya abnormalitas kromosom. Kromosom ini terbentuk

akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat

terjadi pembelahan (Judarwanto, 2012).

Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan

hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita down syndrome, kromosom

nomor 21 berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom.

Jumlah yang berlebihan ini mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem

metabolisme sel dan kelainan dari jumlah kromosom ini mengakibatkan

kelainan perkembangan otak dan terganggunya keseimbangan motorik yang

akhirnya memunculkan down syndrome. Hingga saat ini, penyebab terjadinya

down syndrome dikaitkan dengan hubungan antara usia sang ibu ketika

mengandung dengan kondisi bayi. Yaitu semakin tua usia ibu, maka semakin

tinggi pula risiko melahirkan anak dengan down syndrome (Miftah, 2013).

Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat di dalam setiap sel di

dalam badan manusia dimana terdapat beberapa genetik yang menentukan

sifat-sifat seseorang. Manusia secara normal memiliki 46 13 kromosom,

sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu

(Soetjiningsih, 2015). Kromosom pada anak down syndrome hampir selalu

memiliki 47 kromosom bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2

kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil gagal

membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma akan terdapat kromosom 21

6
yang istilah teknisnya adalah trisomi 21. Down syndrome bukanlah suatu

penyakit menular, karena sudah terjadi sejak dalam kandungan (Hazmi, 2014).

B. Klasifikasi

Sindrom Down dibagi menjadi 3 jenis menurut patofisiologinya, yaitu:

1. Translokasi

Suatu keadaan dimana tambahan kromosom 21 melepaskan diri pada saat

pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom

21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi

sekitar 3-4% dari seluruh penderita sindrom Down. Dibeberapa kasus,

translokasi sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua kepada

anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan

gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21 (Clark, 2015).

2. Mosaik

Bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, dimana hanya beberapa sel

saja yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir

dengan sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran klinis dan

masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan

sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya

mengenai sekitar 2-4% dari penderita sindrom Down (Dawes, 2014).

3. Trisomi

Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada

penderita sindrom Down, dimana terdapat tambahan kromosom pada

7
kromosom 21. Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari

semua penderita sindrom Down (Staff, 2011).

C. Etiologi

Sindrom Down biasanya disebabkan karena kegagalan dalam

pembelahan sel atau disebut nondisjunction.Nondisjunction ini dapat

disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (Reynolds dan Janzen, 2007):

1. Adanya virus/infeksi

2. Radiasi

3. Penuaan sel telur.

Usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi

kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur

akan mengalami kesalahan dalam pembelahan.

4. Gangguan fungsi tiroid.

Dibeberapa penelitian ditemukan adanya hipotiroid pada anak dengan

sindrom Down termasuk hipotiroid primer dan transien, pituitary-

hypothalamic hypothyroidism, defisiensi thyroxin-binding globulin (TBG)

dan kronik limfositik tiroiditis. Selain itu, ditemukan pula adanya

autoimun tiroid pada anak dengan usia lebih dari 8 tahun yang menderita

sindrom Down.

5. Umur ibu.

Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi

dengan sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari

35 tahun). Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen,

8
menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol

sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan hormon LH

(LuteinizingHormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) yang

secara tiba-tiba meningkat pada saat sebelum dan selama menopause,

dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.

D. Manifestasi Klinis

Gejala yang muncul akibatsindrom Down dapat bervariasi mulai dari

yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampaimuncul tanda yang

khas, antara lain (Patterson, 2009):

1. Bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan

bagian (anteroposterior) kepala mendatar. Kepala biasanya lebih kecil

dan agak lebar dari bahagian depan ke belakang.

2. Paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol.

3. Sela hidung yangdatar, pangkal hidungnya pendek.

4. Jarak diantara 2 mata jauh danberlebihan kulit di sudut dalam. Seringkali

mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan

(epicanthal folds) (80%), white Brushfield spots di sekililing lingkaran di

sekitar iris mata (60%), medial epicanthal folds, keratoconus,

strabismus, katarak (2%), dan retinal detachment. Gangguan penglihatan

karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.

5. Ukuran mulut kecil dan ukuran lidah besar, menyebabkan lidah selalu

terjulur (macroglossia), gangguan mengunyah menelan dan bicarascrotal

tongue, rahang atas kecil (hypoplasia maxilla), keterlambatan

9
pertumbuhan gigi, hipodontia, juvenile periodontitis, dan kadang timbul

bibir sumbing.

6. Paras telinga adalahlebih rendah.

7. Leher agak pendek.

8. Tangan yang pendek, termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari

pertama dan kedua, baik pada tangan maupun kaki melebar. Tapak

tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan

“simian crease”.

9. Kulit lembut, kering dan tipis, Xerosis (70%), atopic dermatitis (50%),

palmoplantar hyperkeratosis (40-75%), dan seborrheic dermatitis

(31%).Premature wrinkling of the skin, cutis marmorata, and

akrosianosis, Infeksi bakteri, infeksi jamur (tinea), dan infeksi parasit

(scabies), Elastosis perforans serpiginosa, syringomas, alopecia areata

(6-8.9%), vitiligo, angular cheilitis. Lapisan kulit biasanya tampak

keriput (dermatoglyphics).

10. Hypogenitalism(penis, scrotum, dan testis kecil), hypospadia,

cryptorchism, danketerlambatan perkembangan pubertas.

11. Bisa disertai gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang

lain.Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa penyakit jantung bawaan,

seperti Ventricular Septal Defect (VSD), Atrial Septal Defect (ASD),

Patent Ductus Ateriosis (PDA).

12. Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa atresia esofagus

atau atresia duodenum.

10
13. Hipotonus, yang dapat menyebabkan mereka mengalami masalah dalam

perkembangan motorik kasar.

Gambar 1. Manifestasi klinis sindrom Down

Selain itu, anak-anak dengan sindrom Down biasanya disertai dengan

masalah kesehatan lain, seperti (Weijerman, 2011):

Tabel 1. Prevalensi gangguan kesehatan anak dengan sindrom Down

Anak dengan kondisi sindrom Down mengalami keterbelakangan

secara fisik dan mental, karena sindrom Down merupakan salah satu dari

penyebab retardasi mental. Keterbelakangan mental ini diakibatkan oleh

11
adanya gangguan pada sistem saraf pusat. Anak dengan sindroma down lebih

lambat dari anak-anak lain dalam belajar menggunakan tubuh dan pikiran

mereka. Salah satu cara membedakan apakah bayi itu termasuk dalam katagori

normal atau sindrom Down adalah ketika beranjak besar perlu pemeriksaan

Intelegensi (IQ) (Gunarhadi, 2005).

Anak sindrom Down tergolong dalam retardasi mental ringan

dansedang dengan skor IQ antara 40-70. Karakteristik anak tunagrahita ringan

dan sedang seperti yang disandang oleh anak sindrom Down, antara lain

dalam segi (Gunarhadi, 2005):

1. Kecerdasan

 Kapasitas anak sindrom Down terbatas pada benda konkrit

yangdapat dilihat dan diraba

 Anak sindrom Down memiliki keterbatasan dalam

menerimainformasi dan pelajaran yang bersifat abstrak.

 Anak sindrom Down lebih mudah mengingat gambar dari pada

angka

2. Sosial

 Dalam pergaulan anak sindrom Down tidak dapat mengurus,memelihara

dan memimpin diri sendiri

 Anak sindrom Down masih banyak memerlukan bantuan orang laindalam

aktivitas sehari-hari

 Anak sindrom Down lebih tertarik bermain dengan anak yang lebihmuda

dari pada anak yang sebaya denganya

12
 Tingkah laku anak sindrom Down memerlukan pengawasan

danbimbingan

3. Emosi

 Anak sindrom Down cenderung menarik diri dan memiliki motivasiyang

rendah

 Tidak peka terhadap rangsangan positif maupun bahaya yangmenghadang

 Minat dan motivasi untuk belajar cenderung rendah

4. Fungsi mental lain

 Anak sindrom Down mengalami kesulitan dalam

memusatkanperhatian

 Perhatiannya mudah beralih manakala dihadapkan dengan tugas

 Anak sindrom Down mudah lupa dan mempunyai kesulitan

dalammenyampaikan informasi

 Daya asosiasi yang rendah sulit membuat inisiatif yang baru

5. Organisme

 Fisik dan cara bergerak dalam perkembangannya tidak secepat

anaknormal

 Organ pendengaran dan bicara serta fungsinya kurang sempurna

baikletak, bentuk, dan ukuran

Permasalahan anak sindrom Down adalah terdapat pada

karakteristiknya yang akan menjadi hambatan pada kegiatan belajarnya.

Mereka dihadapkan dengan masalah internal dalam mengembangkan dirinya

13
melalui pendidikan yang diikutinya. Masalah-masalah tersebut tampak dalam

hal (Gunarhadi, 2005):

1. Kehidupan sehari-hari

 Masalah yang berkaitan dengan kesehatan anak sindrom Down

 Masalah dalam pemeliharaan diri anak sindrom Down

 Masalah dalam aktivitas sehari-hari anak sindrom Down

2. Kesulitan belajar

 Kesulitan dalam membaca

 Kesulitan dalam menulis

 Kesulitan dalam berhitung

 Keterbatasan dalam keseluruhan aspek akademik

3. Penyesuaian Diri

 Anak sindrom Down perlu mendapatkan porsi pembelajaran

untukmeningkatkan keterampilan sosialnya

4. Ketrampilan Bekerja

 Kreatifitas yang minim pada anak sindrom Down menghalangi

anaksindrom Down untuk dapat berkarya

 Sebagian anak sindrom Down tersingkir dalam kompetisi dunia kerja

 Anak sindrom Down banyak tergantung hidupnya kepada orang

lain,bagi sekolah keadaan demikian selain diberikannya akademik

makaperlu diberikan keterampilan bekerja

5. Kepribadian dan Emosinya

 Anak sindrom Down sering menampilkan kepribadian yang

tidakseimbang

14
 Sering termenung atau berdiam diri

 Kadang menunjukan sikap tantrum atau ngambek

 Mudah tersinggung dan marah

 Anak sindrom Down sering membuat kacau bahkan merusak

 Anak sindrom Down lebih suka berdiam diri dan menjauh

darikeramaian

 Sikapnya yang tidak aktif dan cekatan

 Memiliki kepribadian yang tidak sehat

 Memiliki rasa bosan yang sering timbul

E. Diagnosis

Diagnosa sindrom Down dapat ditegakkaan sejak bayi dalam masa

kehamilan denganamniocentesis kemudian dilanjutkan test kromosom

(karyotyping). Pemeriksaan antenatal seharusnya meliputi serum triple

screenyang dilakukan pada usia gestasi 15 dan 20, yang dapat menunjukkan

adanya pola sindrom Down (Toy et al., 2011).

F. Tatalaksana

Setiap anak dengan sindrom Down pada dasarnya memiliki kekuatan

dan kelemahan atau kemampuan dan ketidakmampuan yang bersifat pribadi

sebagai dampak dari sindrom Down. Identifikasi secara seksama dan teliti

kebutuhan khusus masing-masing anak sangat penting dilakukan baik oleh

orangtua ataupun tenaga profesional, karena kebutuhan khusus tersebut akan

15
dijadikan dasar penyusunan program intervensi. Langkah-langkah dalam

mengidentifikasi kebutuhan khusus tersebut antara lain (Gunarhadi, 2005):

1. Amatilah anak dengan cermat, menilai apa yang dapat dan tidak dapat

dilakukannya dalam tiap bidang perkembangan

2. Perhatikan apa-apa yang baru mulai dilakukannya atau yang masih sulit

baginya

3. Tentukan kecakapan baru apa yang dibutuhkan anak atau perbuatan apa

yang harus didorong untuk membantu anak

4. Bagilah tiap-tiap kecakapan batu yang dibutuhkan anak menjadi langkah-

langkah kecil berupa aktivitas-aktivitas yang dapat dipelajari oleh anak.

Intervensi anak dengan sindrom Down umumnya meliputi fisioterapi,

terapi okupasi, terapi wicara, dan pendidikan khusus. Kegiatan fisioterapi

umumnya berhubungan dengan persoalan postur dan gerak serta latihan

keterampilannya, sedangkan kegiatan terapi okupasi berkaitan dengan

keterampilan koordinasi mata dan tangan serta sejumlah keterampilan

akademik dini. Kegiatan terapi wicara menekankan latihan komunikasi,

sedang pendidikan khusus merupakan pendidikan yang membantu anak-anak

belajar dalam bidang akademik, seperti keterampulan akademik permulaan

yang dapat mendasari keterampilan membaca, menulis, dan menghitung, serta

membantu memajukan keterampilan yang membutuhkan konsentrasi,

menanamkan kebisaan bekerja pada anak-anak sejak usia dini (Gunarhadi,

2005).

16
G. Intervensi Fisioterapi

Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik

kasar untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk

tahap perkembangan yang berkelanjutan. Tujuan dari fisioterapi disini adalah

membantu anak mencapai perkembangan terpenting secara maksimal bagi

sang anak.

Fisioterapi pada sindrom Down adalah membantu anak belajar untuk

menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat. anpa fisioterapi

sebagian banyak anak dengan sindrom Down menyesuaikan gerakannya untuk

mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga selanjutnya akan

timbul nyeri atau salah postur.

Teknologi Intervensi Fisioterapi yang dapat digunakan pada kasus

anak-anak dengan sindrom Down adalah terapilatihan dengan metode Bobath

atau NDT (Neuro Development Treatment). Metode Bobath / NDT merupakan

suatu teknik yang dikembangkanoleh Karel dan Bertha Bobath pada tahun

1997. Metode ini khususnya ditujukanuntuk menangani gangguan sistem saraf

pusat pada bayi dan anak-anak (Sheperd,1997).

Agar lebih efektif, penanganan harus dimulai secepatnya, sebaiknya

sebelum anak berusia 6bulan. Hal ini sesungguhnya masih efektif untuk anak

pada usia yang lebih tua,namun ketidaknormalan akan semakin tampak seiring

dengan bertambahnya usia anak dengan sindrom Down dan biasanya

membawa terapi pada kehidupan sehari-hari sangatsulit dicapai (Sheperd,

1997).

17
Prinsip-prinsip Bobath / NDT, antara lain:

 Kemampuan mekanik setelah mengalami lesi atau dengan

menggunakan penanganan yang tepat memungkinkan untuk diperbaiki

 Lesi pada susunan saraf pusat menyebabkan gangguan fungsi secara

keseluruhan namun dalam NDT yang ditangani adalah motorik

 Spastisitas dalam NDT dipandang sebagai gangguan dari sikap yang

normal dan kontrol gerakan

 Pembelajaran pada gerakan yang normal merupakan dasar gerakan

dapat dilakukan jika tonus normal

 Mekanisme Postural Reflex yang normal merupakan dasar gerakan

yang normal

 Otot tidak tahu fungsi masing-masing otot tapi pola geraknya

 Gerakan dicetuskan di sensoris dilaksanakan oleh motorik dan

dikontrololeh sensoris.

Tujuan konsep Bobath / NDT, antara lain :

 Memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal.

 Mengajarkan postur dan pola gerak yang normal.

Prinsip terapi dan penanganan :

 Simetris dalam sikap dan gerakan

 Seaktif mungkin mengikuti sertakan sisi yang sakit pada segala

kegiatan.

 Pemakaian gerakan-gerakan ADL dalam terapi.

18
 Konsekuensi selama penanganan (ada tahap-tahap dalam terapi).

 Pembelajaran bukan diarahkan pada gerakannya, tetapi padaperasaan

gerakan.

 Terapi dilakukan secara individu.

Metode Bobath / NDT mempunyai beberapa teknik:

 Inhibisi dari postur yang abnormal dan tonus otot yang dinamis

 Stimulasi terhadap otot-otot yang mengalami hipertonik

 Fasilitasi pola gerak normal

Metode ini dimulai dengan mula-mula menekankan reflek-reflek

abnormalyang patologis menjadi penghambat terjadinya gerakan-gerakan

normal. Anakharus ditempatkan dalam sikap tertentu yang dinamakan Reflek

Inhibiting Posture (RIP) yang bertujuan untuk menghambat tonus otot yang

abnormal.

Handling digunakan untuk mempengaruhi tonus postural,

mengaturkoordinasi, menginhibisi pola abnormal, dan memfasilitasi respon

otomatis normal. Dengan handling yang tepat, tonus serta pola gerak yang

abnormal dapatdicegah sesaat setelah terlihat tanda-tandanya.

Key Point of Control (KPoC) yaitu teknikyang digunakan terapis

dalaminhibisi dan fasilitasi. Teknik ini berupaya untuk mempermudah reaksi-

reaksi automatik dan gerak motorik yang mendekati normal. KPoC harus

dimulai dari proksimal ke distal/bergerak mulai dari kepala-leher-trunk-kaki

dan jari kaki. Dengan bantuan KPoC, pola inhibisidapat dilakukan pada

penderita sindrom Down dengan mengarahkan pada pola kebalikannya.

19
Selain Bobath / NDT terdapat pula teknik-teknik lain yang dapat

digunakan sebagai terapi latihan pada anak dengan sindrom Down, antara lain:

Massage, Tapping, Stimulasi propioseptif sendi, Pengenalan pola gerak,

Terapi wicara, Okupasi terapi, Terapi remedial (Terapi ini diberikan bagi anak

yang mengalami gangguan kemampuan akademis), Terapi sensori intergrasi

dan Terapi tingkah laku.

20
BAB III

LAPORAN KASUS

A. BLANKO STUDI KASUS

KOMPETENSI :

NAMA MAHASISWA : Endang Takariyanti Theresia

N.I.M. : P27226016386

TEMPAT PRAKTIK : RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

PEMBIMBING : Wiyatno

Tanggal Pembuatan SK :

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Agama :

Pekerjaan :

Alamat :

21
No. CM :

II. SEGI FISIOTERAPI

1. Deskripsi Pasien dan Keluhan Utama

2. Data Medis Pasien

III. PEMERIKSAAN FISIOTERAPI

1. Pemeriksaan Tanda Vital (Umum)

22
(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan, berat

badan)

Tekanan Darah , Denyut nadi x/mnt, Pernapasan x/mnt, Temperatur oC, Tinggi

badancm, Berat badankg.

2. Inspeksi / Observasi

Statis :

Dinamis :

Kognitif :

3. Palpasi

4. Joint Test

5. Muscle Test dan Antropometri

6. Kemampuan Fungsional

B. ALGORITMA

(CLINICAL REASONING)

23
Diagnosa medis

Observasi dan pemeriksaan fisik

Tes khusus

Pemeriksaan penunjang

Diagnosa

C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Impairment

2. Functional Limitation

3. Disability / Participation restriction

D. PROGRAM FISIOTERAPI

1. Tujuan Jangka Panjang

2. Tujuan Jangka Pendek

24
3. Teknologi Intervensi Fisioterapi

E. RENCANA EVALUASI

F. PROGNOSIS

 Quo ad sanam: Baik

 Quo ad vitam: Baik

 Quo ad fungsionam: Baik

 Quo ad cosmeticam: Baik

G. PELAKSANAAN TERAPI

H. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT

I. HASIL TERAPI AKHIR

25
(Tempat, Tanggal Bulan Tahun)

Mengetahui,

Pembimbing, Praktikan,

(Nama Pembimbing) (Nama Praktikan)

NIP. NIM.

Catatan Pembimbing:

DAFTAR PUSTAKA

Badang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI

(2013). Riset Kesehatan Dasar.

Bobath K (1996)The Motor Defisit in Patient with Cerebral Palsy. Philadelphia:

WilliamHeinemann Meedical Books Ltd

Clark H (2015). Translocation Sindrom Down.

http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?

ContentTypeID=90&ContentID=P02153 – Diakses April 2018

26
Dawes CG (2014). Mosaic Down’s Syndrome.

http://www.stanfordchildrens.org/en/topic/default?id=mosaic-down-

syndrome-90-P0213 – Diakses April 2018

Gunarhadi (2005). Penanganan Anak Syndrome Down dalam Lingkungan.

Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Mohammed S, Harasi AL (2010). Sindrom Down in Oman: Etiology, Prevalence

and Potential Risk Factors. A Cytogenetic, Molecular Genetic and

Epidemiological Study, pp 1-12

NDTA (2018). Neuro Developmental Treatment.

http://www.ndta.org/treatment.php

Patterson B (2009). The Facts About Sindrom Down. Siskin Children’s Institute

http://siskin.org/downloads/FactsonDownSyndrome.pdf – Diakses April

2018

Reynolds CR, Janzen EF (2008). Encyclopedia of Special Education. Edisi 3.

New Jersey: John Wiley & Sons, p 2068.

Sheperd (1997).Penanganan dengan NDT. http://www.penanganan–ndt.html –

Diakses April 2018

Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB (2007). Epidemiology of sindrom

Down. Mental Retardation and Developmental Disabilities Research

Reviews, 13(3):221-7

Staff H (2011). Classification of Sindrom Down.

http://www.uofmhealth.org/health-library/hw152695 – Diakses April 2018

Stewart KB (2007). Trisomi 21-sindroma Down. The Australasian Genetiks

Resource Book. www.genetiks.edu.au– Diakses April 2018

27
Toy, Yetman, Girardet, Horman, Lahoti, Mc. Neese, Sanders (2011). Case

FilesPediatri. Edisi ke-3. Tangerang Selatan: Karisma Publishing Grup.

Ulyanik M, Kayihan H (2013). Sindrom Down: Sensory Integration,

VestibularStimulation and Neurodevelopmental Therapy Approaches for

Children.International Encyclopedia of Rehabilitation.

http://cirrie.buffalo.edu/encyclopedia/en/article/48/ – Diakses April 2018

Weijerman M (2011). Consequences of Sindrom Down for Patient and Family

[dissertation]. Amsterdam (Belanda): Vrije Universiteit

Wiseman FK, Alford K, Tybulewicz VLJ, Fisher EMC (2009).Sindrom Down--

recent progress and future prospects. Hum Mol Genet, 75-83

28

Anda mungkin juga menyukai