Anda di halaman 1dari 7

Down Syndrome

1. Pengertian Down Syndrome


Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa Down
syndrome sebuah tipe reterdasi mental yang disebabkan oleh genetic kromosom 21. Sindrom
ini bisa terjadi akibat adanya proses yang disebut nondisjuction atau kesalahan dalam
pembelahan sel yang menghasilkan kromosom ekstra yang disebut trisomi 21. Penyebab
kesalahan dalam pembelahan sel ini belum diketahui, walaupun sebenarnya berkolerasi
dengan umur ibu penderita. Down syndrome atau trisomi 21 merupakan kelainan kromosom
yang timbul spontan dan menyebabkan penampilan wajah yang khas, kelainan fisik yang
nyata serta reterdasi mental. Dahulu nama sindrom ini dikenal dengan mongoloid atau
mongolism, karena penderita ini mempunyai ciri khas, yaitu wajah mongol dengan mata yang
membujur ke atas. Kata Down di ambil dari nama belakang penemu penyakit ini, sedangkan
syndrome dari kata sindroma. Arti kata sindroma sendiri adalah kumpulan dari gejala-gejala
klinik. Dengan demikian, Down syndrome adalah sindrom yang merupakan kumpulan gejala
klinik tertentu.
Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak yang yang
di akibatkan adanya abnormalitas kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan
sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Down Syndrome
adalah ketidakmampuan yang di tandai keterbatasan yang signifikan baik dari fungsi
intelektual dan perilaku adaptif seperti yang di ungkapkan dalam keterampilan adaptif
konseptual dan sosial. Down syndrome mengalami keterlambatan dalam aspek motorik kasar,
motorik halus, bahasa dan personal sosial, antara lain hipotonus, perhatian penglihatanyang
inkonsisten.
2. Etiologi

Down syndrome biasanya disebabkan karena kegagalan dalam pembelahan sel atau
disebut Nondisjunction. Tidak diketahui mengapa hal ini dapat terjadi. Namun, diketahui
bahwa kegagalan dalam pembelahan sel ini terjadi pada saat pembuahan dan tidak berkaitan
dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan. Pada Down syndrome, trisomi 21 dapat
terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga dapat terjadi
saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya terhenti
pada saat profase meiosis I tidak berubah pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Diantara
waktu tersebut, oosit mengalami nondisjunction. Pada Down syndrome, pada meiosis I
menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa
normal, yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Nondisjunction ini
dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1) Adanya virus/infeksi
2) Radiasi
3) Penuaan sel telur. Dimana peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel
telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh
spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan.
4) Gangguan fungsi tiroid. Dibeberapa penelitian ditemukan adanya hipotiroid pada
anak dengan Down syndrome termasuk hipotiroid primer dan transien, pituitary-
hypothalamic hypothyroidism, defisiensi thyroxin-binding globulin (TBG) dan
kronik limfositik tiroiditis. Selain itu, ditemukan pula adanya autoimun tiroid pada
anak dengan usia lebih dari 8 tahun yang menderita Down syndrome.
5) Umur ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi
dengan Down syndrome dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35
tahun). Angka kejadian Down syndrome dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam
400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun sebesar kurang
dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi
androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi
estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan hormon LH
(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) yang secara
tiba-tiba meningkat pada saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya nondisjunction.

Gambar Nondisjunction.

Pada gambar diatas, terlihat adanya kesalahan dalam pembelahan sel atau disebut
nondisjunction yang terjadinya pada saat meiosis, sehingga terjadi kelebihan
jumlah kromosom didalam tubuh manusia, yaitu menjadi 47 kromosom. Selain
nondisjunction, penyebab lain dari Down synrome adalah anaphase lag. Yaitu,
kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus
anak yang terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan/pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus
sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis.

3. Epidemiologi

Menurut penelitian, Down syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran hidup atau 1 di
antara 800-1000 kelahiran bayi. Diperkirakan saat ini terdapat empat juta penderita down
syndrome diseluruh dunia dan 300 ribu kasusnya terjadi di indonesia. Insidennya pada wanita
yang hamil di atas usia 35 tahun meningkat dengan cepat menjadi 1 di antara 250 kelahiran bayi.
Diatas 40 tahun semakin meningkat lagi, 1 diantara 69 kelahiran bayi. Angka kejadian Down
syndrome dikaitkan dengan usia ibu saat kehamilan adalah sebagai berikut :

1) 15-29 tahun – 1 kasus dalam 1500 kelahiran hidup


2) 30-34 tahun – 1 kasus dalam 800 kelahiran hidup
3) 35-39 tahun – 1 kasus dalam 270 kelahiran hidup
4) 40-44 tahun – 1 kasus dalam 100 kelahiran hidup
5) Lebih dari 45 tahun – 1 kasus dalam 50 kelahiran hidup

Down syndrome merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Di Indonesia


prevalensi Down syndrome lebih dari 300 ribu jiwa. Down syndrome merupakan salah satu
kelainan kongenital yang tersering, terjadi dalam 1 per 700 kelahiran di Amerika Serikat, dan
tidak terkait dengan unsur ras atau etnik. Meskipun angka kejadiannya lebih tinggi pada bangsa
kulit putih berbanding kulit hitam, perbedaan tersebut tidak begitu bermakna. Frekuensi
terjadinya Down syndrome meningkat dengan meningkatnya usia ibu. Pada ibu berusia 30 tahun
kebawah hanyalah sebesar 0,04% sedangkan angka ini meningkat kepada hampir 1% bila usia
ibu mencapai 40 tahun.

Kasus Down syndrome di Indonesia, yaitu satu kasus setiap 600 kelahiran. Risiko mendapat
anak Down syndrome dikaitkan dengan usia ibu ketika mengandung, terutama jika mengandung
pada umur diatas 35 tahun. Kemungkinan mendapat anak Down syndrome ialah satu kasus bagi
setiap 350 kelahiran (jika umur ibu berusia 35-45 tahun) dan satu kasus bagi 25 kelahiran jika
usia ibu melebihi 45 tahun.

4. Patofisiologi
Tubuh manusia memiliki sel didalamnya terdapat nukleus, dimana materi genetik disimpan di
dalam gen. Gen membawa kode yang bertanggung jawab atas semua sifat yang di warisi oleh
orang tua, kemudian dikelompokan bersama batang seperti struktur yang disebut kromosom.
Biasanya inti dari setiap sel mengandung 23 pasang kromosom. Down syndrome biasanya
memiliki 47 kromosom bukan 46 kromosom. Pada Down syndrome memiliki kromosom ekstra
atau tambahan gen yang terdapat pada kromosom 21. Jumlah berlebihan yang terdapat pada
kromosom tersebut mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya
menimbulkan Down syndrome. Untuk mendeteksi terjadinya Down syndrome harus melalui
prosedur yang disebut kariotipe. Kariotipe adalah suatu visual yang menampilkan kromosom lalu
dikelompokan menurut ukuran, jumlah dan bentuk. Kromosom dapat diketahui dengan memeriksa
darah atau sel-sel jaringan. Masing-masing kromosom di identifikasi mulai dari yang terbesar
sampai yang terkecil.
Selama masa pembuahan, cedera otak bisa terjadi bila ada faktor genetik yang memengaruhi,
seperti kelainan kromosom yang menyebabkan kelainan otak pada anak Down syndrome. Anak
yang mengalami cedera otak kehilangan kemampuan untuk menyerap informasi (sensorik) dan
merespon informasi (motorik). Kromosom dapat dianggap sebagi pengaruh penting untuk
perkembangan otak, dan karena kelainan kromosom dapat mengganggu perkembangan otak pada
semua tahap, seperti perkembangan otak di bangsal ganglia, hipotalamus mengalami gangguan
neurologis.
Bangsal ganglia memiliki peran kompleks dalam mengontrol gerakan selain memiliki fungsi-
fungsi non-motorik yang masih belum diketahui. Secara khusus, basal ganglia penting dalam
perkembangan tonus otot diseluruh tubuh. Pada Down syndrome basal ganglia tidak berkembang
dengan baik untuk melaksanakan peran-peran integratif yang kompleks. Kelebihan kromosom
menyebabkan perubahan dalam proses normal yang mengatur embriogenesis. Materi genetik yang
berlebih tersebeut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan
fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan homeostatis yang memungkinkan terjadinya
penyimpangan perkembangan fisik (kelainan otot), SSP (penglihatan, pendengaran,
keseimbangan) dan kecerdasan yang terbatas.
Area korteks motorik merupakan tempat asal kortikospinalis dan kortikobulbaris, umumnya
dianggap daerah yang perangsangannya cepat menghasilkan gerakan tersendiri. Korteks yang
paling dikenal adalah korteks motorik di girus prasentrali. Namun terdapat daerah motorik
suplementer di atas tepi superior sulkus singulatum disisi medial hemisfer yang mencapai korteks
pramotorik dipermukaan lateral otak. Selain gangguan struktural, pengembangan neuron tampak
normal selama kehamilan, namun stelah kehamilan jumlah dendrit berkurang dibandingkan
dengan anak normal. Keterlambatan mengidentifikasi atlantoxial dan atlanto-occipital yang tidak
stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran,
visual, reterdasi mental dan defek lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak-anak dengan
Down syndrome dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah
dalam pembelajaran, proses berbahasa, kemampuan interpersonal dan kemampuan motorik
(Villaroya, 2012).

5. Karakteristik
Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak
sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas :
1) Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang
menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan
bagian (anteroposterior) kepala mendatar
2) Sifat pada kepala, muka dan leher : penderita down syndrome mempunyai paras muka yang
hampir sama seperti muka orang Mongol. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung
yang datar. Pangkal hidungnya pendek. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di
sudut dalam. Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang besar menyebabkan lidah
selalu terjulur. Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia).
Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur. Paras telinga adalah lebih rendah. Kepala
biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bagian depan ke belakang. Lehernya agak pendek.
3) Manifestasi mulut : gangguan mengunyah menelan dan bicara. scrotal tongue, rahang atas
kecil (hypoplasia maxilla), keterlambatan pertumbuhan gigi, hypodontia, juvenile
periodontitis, dan kadang timbul bibir sumbing.
4) Sifat pada tangan dan lengan : Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai
jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak tangan mereka
biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”. Tampilan kaki : Kaki
agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah dan tapak
kaki. Tampilan klinis otot : mempunyai otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi
lembek dan menghadapi masalah dalam perkembangan motorik kasar. Masalah-masalah
yang berkaitan dengan masa kanak-kanak down syndrome mungkin mengalami masalah
kelainan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan usus.

Anda mungkin juga menyukai