Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY (ADHD)
DI RUMAH SAKIT JIWA dr. SOEHARTO HEERDJAN

Disusun Oleh :

Nama : Hana Maulidina R

NIM : 20220607016

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS FISIOTERAPI
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan salah satu diantara ciptaan tuhan yang paling sempurna,
tetapi setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing. Anak
adalah salah satu karunia dari tuhan yang paling didambakan oleh orang tua, oleh
karena itu setiap orang tua pasti memilki dorongan yang kuat agar anaknya tumbuh
dan berkembang dengan baik.
Masa anak – anak merupakan masa golden age di mana anak – anak sedang
berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, karena pada masa tersebut
menjadi masa pertumbuhan dasar yang akan menentukkan perkembangan anak ke
tahap berikutnya. Pekembangan pada periode ini terjadi sangat pesat seperti
perkembangan kemampuan dalam berbahasa, kognitif, kreatifitas, dan lain – lain.
Menurut Permenkes Tahun 2014 perkembangan adalah bertambahnya struktur
dan fungsi tubuh individu menjadi lebih kompleks dan kemampuan gerak kasar, gerak
halus, berbicara, bahasa serta bersosialisasi. Perkembangan seorang anak merupakan
bagian hal mendasar dari perkembangan manusia sebelum menjadi dewasa dan
matang, proses perkembangan yang terjadi pada setiap anak berbeda – beda dan
memiliki proses yang unik.
Proses perkembangan pada anak terjadi secara berkelanjutan dan terjadi
perubahan kemampuan motoric, kognitif, psikososial, dan bahasa yang semakin
kompleks. Seperti Sigmund Freud, Erik Erikson dan Jean Piaget yang memaparkan
bahwa perkembangan anak terjadi secara bertahap sesuai dengan perkiraan usia, yang
menggambarkan karakteristik perilaku atau kemampuan berbagai bidang seperti
emosional, motoric, dan kognitif (Latino at al, 2015).
Ada banyak faktor yang dapat mempengarui perkembangan seorang anak
diantaranya yaitu faktor biologis, faktor lingkungan, faktor psikososial, faktor
keluarga, pola asuh, dan lain – lain. Dari berbagai macam faktor yang mempengaruhi
perkembangan ada beberapa diantaranya yang berjalan tidak lancar dan mengalami
hambatan, hal ini didasari bahwa masih banyak permasalahan yang timbul saat anak
berada dalam tahap perkembangan, salah satu permasalahan yang kerap kali terjadi
yaitu gangguan perhatian atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Attention hyperactivity disorder (ADHD) di Indonesia terbilang cukup tinggi
angkanya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional 2007 menyatakan bahwa
terdapat 82 juta populasi anak di Indonesia yang mengalami gangguan ADHD.
Gangguan ADHD dapat dijumpai dalam kehidupan sehari – hari baik pada anak usia
sekolah sampai remaja dan jika tidak ditangani lebih lanjut agar berpengaruh terhadap
masa depan seseorang (Barkley, 1981).
Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan memilki peran yang cukup
penting terhadap rehabilitasi seseorang dengan gangguan ADHD, adapun peran
fisioterapi pada kasus ADHD yaitu untuk mengoptimalkan kemampuan aktivitas
individu tersebut secara mandiri dan optimal. Problematika yang kerap kali muncul
pada kondisi ADHD beberapa diantara yaitu adanya gangguan keseimbangan,
hipotonus pada otot, dan adanya gangguan aktivitas fungsional. Maka dari itu
fisioterapi dapat memberikan intervensi untuk menangani beberapa gangguan yang
terjadi pada individu dengan gangguan ADHD.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)?
2. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD)?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan laporan kasus mengenai Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD) ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Attention Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD)
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisoterapi yang tepat pada kasus Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
a. Definisi ADHD
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan
neurodevelopmental yang sangat umum didiagnosis di antara anak – anak pada
bangku sekolah. Gangguan ADHD ditandai dengan adanya kesulitan dalam
memusatkan perhatian atau fokus yang disertai dengan hiperaktivitas dan
impulsivitas yang muncul sebelum usia 12 tahun, minimal dalam 2 latar tempat
yang berbeda seperti di rumah dan di sekolah (Andres Martin et al, 2018).
Berdasarkan American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical
Manual (DSM-IV) ADHD merupakan suatu keadaan yang menetap dari inatensi
atau hiperaktifitas-impulsivitas yang lebih sering frekuensinya lebih berat
dibandingkan dengan individu lainnya. ADHD ditandai dengan kurangnya
kemampuan memusatkan perhatian, termasuk peningkatan distractibility dan
kesulitan dalam mempertahankan fokus, kesulitan mempertahankan kontrol
impuls, overaktivitas motoric dan kegelisahan motorik (Tanoyo, 2013).
DSM-IV menyatakan bahwa ada 3 tipe pada ADHD diantaranya yaitu tipe
yang dominan hiperaktif, tipe dominan gangguan perhatian dan tipe kombinasi
keduanya. Anak yang mengalami gangguan ADHD biasanya sering mengalami
masalah dalam hal pendidikan, hubungan interpersonal dengan anggota keluarga
dan teman seusianya, serta rasa harga diri yang rendah. Gangguan ADHD juga
sering beriringan dengan terjadinya gangguan emosional, gangguan perilaku,
gangguan berbahasa, serta gangguan belajar (Tanoyo, 2013).
.
b. Epidemiologi
Studi menunjukkan bahwa prevalensi dari gangguan ADHD berkisar antara 3
– 10 % pada anak usia sekolah, dan 35 – 50% kasus ADHD berlanjut pada masa
remaja atau dewasa. Di Amerika Serikat insiden ADHD berkisar antara 2 – 20%
pada anak usia sekolah dan 3 – 7% pada usia prapubertas. Di Inggris Raya insiden
ADHD terpantau lebih rendah, yaitu kurang dari 1%. Prevalensi pada laki – laki
lebih tinggi dari perempuan dengan rentang rasio 2:1 sampai 9:1 (Setyawan,
2022).
Shatmari tahun 1989 mengatakan bahwa anak – anak dengan gangguan
ADHD lebih banyak didapatkan pada masyarakat urban dibandingkan dengan
masyarakat rural. Kira – kira 75% dari anak ADHD juga disertai dengan
gangguan psikiatrik lainnya seperti gangguan sikap menentang, gangguan tingkah
laku, gangguan belajar, gangguan cemas, dan lain – lain.
Di Indonesia prevalensi anak dengan ADHD masih belum banyak yang
mengkaji, penelitian pada sekolah dasar di Kabupaten Sleman Yogyakarta pada
tahun 2000 menunjukkan bahwa prevalensi ADHD 9,5% dan pada sebuah
penelitian terbatas yang dilakukan tahun 2009 menyebutkan 2,9% sampel dewasa
mempunyai gejala sisa ADHD dengan rasio anak laki – laki dua kali lebih banyak
dibandingkan dengan anak perempuan (Saputro D., 2012 dalam (Ayu & Setiawati,
2017)).

c. Etiologi
ADHD merupakan suatu kondisi dimana tidak hanya satu penyebab yang
dapat diidentifikasi. Diperkirakan adanya peranan faktor dari genetic dan
lingkungan sekitar yang berperan penting dalam tahap perkembangan fetus dan
postnatal yang kemudian berpengaruh pada terjadinya ADHD pada anak usia dini.
Adapun faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya ADHD adalah
kombinasi dari genetic, neurologis, dan pathogenesis & fenotipe heterogennya
(Bélanger et al., 2018).
Studi membuktikan bahwa faktor keluarga, kembar dan adopsi dapat
berpengaruh terhadap kejadian ADHD, selain itu variasi genetic memprediksi
bahwa risiko ADHD terjadi karena perkembangan otak yang tidak sempurna,
migrasi sel dan pengkodean reseptor dengan transport gen. Hal tersebut
berpengaruh terhadap jalur neurotransmitter di otak yang menunjukkan bahwa
terdapat salinan langka dari akumulasi jumlah varian atau penghapusan lebih
besar yang dapat mempengaruhi transkripsi gen pada individu dengan ADHD
(Bélanger et al., 2018).
Adapun faktor neurologis non genetic yang dapat mempengaruhi
perkembangan otak atau menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak telah
dikaitkan dengan terjadinya ADHD. Adapun faktor penyebabnya yaitu kontribusi
pada masa kehamilan dan persalinan dengan komplikasi yang beragam seperti
janin yang terkena paparan dari intrauterine terhadap alcohol atau tembakau, berat
badan lahir rendah <2.500g, hipoksia, gangguan epilepsy dan cedera traumatic
pada otak. Selain itu beberapa faktor eksternal juga berkontribusi terhadap risiko
terjadinya ADHD seperti paparan racun lingkungan terutama timbal, pestisida,
organofosfat, dan bifenil poliklorinasi (Bélanger et al., 2018).
Studi neuroimaging juga menunjukkan bahwa ADHD merupakan gangguan
awal pada perkembangan otak, berdasarkan studi ditemukan bahwa terdapat
perbedaan dalam perkembangan structural dan aktivasi fungsional korteks
prefrontal, basal ganglia, korteks cingulate anterior dan cerebellum, aktivitas antar
area ini tergantung pada aksi katekolamin di sirkuit otak, meskipun terdapat bukti
deficit yang lemah tetapi peran neurotransmitter ini dibuktikan dengan
distribusinya di area otak yang terkait dengan ADHD (Bélanger et al., 2018).

d. Patofisiologi
Penyebab pasti dari terjadinya gangguan ADHD belum diketahui dengan jelas,
namun beberapa penelitian mengatakan bahwa area korteks frontal pada otak
merupakan area utama yang secara teoritis bertanggung jawab atas patofisiologi
ADHD. Sebagaimana yang diketahui bahwa lobus frontalis berfungsi dalam
mengatur pusat perhatian pada perintah, konsentrasi yang terfokus, membuat
keputusan yang baik, membuat sebuah rencana, belajar dan mengingat serta
menyesuaikan diri dengan situasi yang tepat. Mekanisme inhibisi pada korteks
berfungsi untuk mencegah agar kita tidak hiperakitf, berbicara sesuatu yang tidak
terkontrol, serta marah pada situasi dan kondisi yang tidak tepat. Dapat dikatakan
bahwa 70% dari otak kita berfungsi untuk menghambat 30% yang lain (Tanoyo,
2013)
Beberapa data dalam pemeriksaan MRI mendukung hal ini yaitu pada korteks
prefrontal mesial kanan penderita ADHD menunjukkan terdapat penurunan
aktivasi. Selama pemeriksaan terlihat adanya hambatan dalam respon motoric
yang berasal dari isyarat sensorik. Pemeriksaan MRI pada penderita ADHD
menunjukkan aktivitas yang melemah pada korteks prefrontal inferior kanan dan
kaudatum kiri, neurotransmitter utama yang teridentifikasi lewat fungsi lobus
frontal adalah katekolamin. Neurotransmisi dopaminergic dan noradrenergic
terlihat sebagai fokus utama pada aktifitas pengobatan yang digunakan untuk
penanganan ADHD. Dopamine merupakan zat yang bertanggung jawab pada
tingkah laku dan hubungan sosisal serta mengontrol aktivitas fisik seseorang,
sedangkan norepinefrin berkaitan dengan konsentrasi, memusatkan perhatian dan
perasaan (Tanoyo, 2013)

e. Gejala Klinis
Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder 5 th Edition from
American Psychiatric Association menyatakan bahwa ciri terpenting dari
gangguan ADHD adalah pola persisten dari kurangnya perhatian dan atau
hiperaktivitas serta impulsivitas yang dapat mengganggu fungsi dan
perkembangan seseorang. Diagnosis ADHD didasarkan pada riwayat klinis yang
didapatkan dari hasil wawancara dengan pasien dan orangtua. Diagnosis ADHD
menurut DSM-V sesuai dengan kriteria di bawah ini:
1. Ditemukan 6 dari 9 gejala hiperaktivitas dan impulsivitas untuk usia 17 tahun
atau lebih dan cukup ditemukan 5 dari masing – masing gejala.
2. Beberapa gejala intensi dan hiperaktif impulsive muncul sebelum usia 12
tahun
3. Gejala akan muncul pada minimal dua latar tempat yang berbeda (contoh: di
rumah dan di sekolah)
4. Gejala dapat berpengaruh terhadap penurunan kualitas fungsi social, akademis
dan pekerjaan
5. Gejala – gejala tersebut bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa yang lain.
Manifestasi klinis dari gejala – gejala tersebut dapat merupakan predominan
intentif, predominan hiperaktif-impulsid, atau kombinasi dari keduanya.
Berdasarkan fungsi social individu dengan ADHD dapat dikelompokakan menjadi
ringan, sedang dan berat (APA, 2013).
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
- Nama : An. MA
- Usia : 7 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Berat badan : 27,9 kg
B. Diagnosa Medis : Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
C. Keluhan Utama
Ibu pasien mengeluhkan anak sulit fokus, belum bisa membedakan warna,
menunjuk gambar dan dan hanya mampu menghitung kurang dari 10, anak
belum lancar bicara, serta kurangnya keseimbangan.
D. Riwayat Penyakit Sekarang
- Saat usia 8 bulan sampai 1 tahun pasien sering mengalami demam tinggi
tetapi tidak langsung ditangani
- Usia 5 tahun orang tua pasien baru mengetahui anak di diagnose ADHD
- Pada tahun 2021 pasien melakukan terapi di dua rumah sakit yang berbeda
tetapi tidak ada perubahan
E. Riwayat Penyakit Dahulu / Riwayat Kehamilan
- Prenatal : Tidak ada keluhan, selama masa kehamilan ibu sering
mengkonsumsi vitamin dan rutin kontrol ke bidan.
- Perinatal : Tidak ada keluhan, anak lahir normal dengan berat badan lahir
3,4 gram.
- Postnatal : Usia 8 bulan sampai 1 tahun pasien mengalami demam tinggi
F. Riwayat Perkembangan
- Pada usia 6 bulan pasien hanya mampu tengkurap dan saat posisi
tengkurap tidak mampu mengangkat kepala
- Pasien baru bisa merangkak di usia 11 bulan dan mampu berjalan saat
menginjak usia 1 tahun 8 bulan
G. Riwayat Psikososial
Anak hanya berinteraksi dengan keluarga dan hanya bermain di dalam rumah
karena pernah mengalami bullying oleh teman – temannya sehingga orang tua
membatasi anak dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
H. Pemeriksaan Khusus
1. Inspeksi
- Dinamis : anak bergerak aktif menggunakan keempat ekstremitasnya,
tetapi saat berdiri pada papan keseimbangan kaki terlihat shaking dan
belum mampu menjaga keseimbangannya
- Statis : pada posisi berdiri kaki membentuk genu valgus, pada posisi duduk
postur terlihat anterior dan arcus hanya terlihat sedikit pada telapak kaki.
2. Palpasi
- Hipotonus pada m. gastrocnemius dan m. tibialis posterior
- Springy end feel pada saat dorso fleksi ankle
3. Pemeriksaan Gerak Dasar
- Pemeriksaan Gerak Pasif : terdapat kekakuan ligamen ATFL pada ankle
sinistra dan dextra dengan springy end feel
- Pemeriksaan Gerak Aktif : Pasien tidak mampu melakukan full rom
pada posisi dorsal fleksi ankle
4. Pemeriksaan Arcus
Dari hasil pengukuran arch index pasien mengalami flat foot derajat I
dengan nilai AI sebesar 0,26 yang berarti kaki masih memiliki arcus
meski sangat sedikit
5. Pemeriksaan Sensorik
- Tactile : Saat diberi stimulus tampak hypersensitive pada
telapak kaki sisi dextra
- Proprioseptif : Keseimbangan dan koordinasi dengan tangan kurang
- Vestibular : Saat diberikan arahan untuk mencoba naik ke atas
papan keseimbangan pasien shaking & terlihat seperti takut jatuh
- Visual : Visual anak kurang karena belum mampu
membedakan hal – hal dasar dan masih sering kali terdistract
- Olfactory : Anak dapat membedakan bau-bauan (berdasarkan
keterangan orang tua)
- Gustatory : Anak dapat membedakan rasa makanan (berdasarkan
keterangan orang tua)
6. Kognitif, Intrapersonal, Interpersonal
- Kognitif : Kurang (anak hanya bisa meniru ucapan belum bisa
mengenal dan membedakan warna, huruf dan angka dengan baik)
- Intrapersonal : Baik (pasien kooperatif dalam mengikuti serangkaian
terapi dan beberapa pemeriksaan)
- Interpersonal : Baik (anak mau melakukan terapi dan ada dukungan
dari orang tua)
I. Problem Fisioterapi
a. Body Function and Structure Impairment
b1400 Sustaining attention function
b2351 Vestibular function of balance
b7408 Muscle endurance function, other specified
s75003 Ligamen and fasciae of thigh
s75012 Muscle of lower leg
s75023 Ligament and fasiae of ankle and foot
b. Activity Limitation
d130 Copying basic component of learning
d4158 Maintaining a body position, other specified
d5409 Dressing, unspecified
c. Participation Restriction
d7501 Informal relationship with neighbours
d8208 School education, other specified
J. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan gerak dan fungsi keseimbangan disebabkan oleh muscle weakness
pada lower leg dan kekakuan ligament ATFL pada structure ankle et causa
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
K. Differential Diagnosis : Mental retardation
L. Perencanaan
- Jangka Pendek : Penguatan pada otot lower leg dan meningkatkan
fleksibilitas ankle serta mampu menjaga fokus.
- Jangka Panjang : Dapat mengkoordinasikan keseimbangan dan
meningkatkan fungsi kognitifnya dalam membedakan hal-hal mendasar.
M. Intervensi
1. Heel raises and toe curl exercise
- Kedua latihan ini dilakukan selama 3 kali seminggu, latihan heel raises
dilakukan secara aktif dengan dosis 3 set x 10 repetisi. Sedangkan latihan
toe curl dilakukan secara aktif dengan dosis 3 set x 5 repetisi dengan diberi
tahanan selama 15 detik.
- Tujuan dari kombinasi kedua latihan ini yaitu untuk penguatan otot yang
dapat membantu dalam stabilisasi strcture ankle and foot untuk
meningkatkan keseimbangan.
2. Contract relax stretching ankle
- Latihan ini dilakukan setiap hari dalam 2 minggu dengan dosis 10 menit 4
repetisi.
- Tujuan dari latihan ini yaitu untuk meningkatkan fleksibilitas pada
ketegangan ligament dan otot di structure ankle dan foot
3. Perceptual motor training
a. Balance activites
- Lempar tangkap bola dengan papan keseimbangan dan trampoline, latihan
ini dilakukan selama 10 menit dengan masing – masing 5 menit selama
sesi terapi.
- Tujuan latihan ini yaitu untuk mempertahankan posisi tubuh dalam
menjaga keseimbangan serta melatih anak dalam mengurangi perilaku
hiperaktivitas.
b. Fine motor activities
- Melakukan susun puzzle dalam bentuk angka dan huruf dengan puzzle
yang berwarna, latihan ini dilakukan selama 15 menit dalam setiap sesi
terapi.
- Tujuan latihan ini yaitu untuk melatih fokus anak dalam menyelesaikan
satu tugas dan meningkatkan fungsi kognitif anak dalam mengenal hal –
hal dasar.
N. Edukasi dan Home Program
- Terapi latihan heel raises, toe curl dan contract relax stretch exercise yang
diberikan sebagai intervensi dapat dilakukan di rumah dengan
menyesuaikan endurance anak
- Untuk meningkatkan fokus anak diharap bisa mencoba menyelesaikan satu
pekerjaan yang mudah secara mandiri
- Sering mengulangi pembelajaran hal – hal dasar sambil diucapkan, belajar
bisa diselingi dengan bermain agar anak tidak jenuh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil laporan studi kasus yang telah dijelaskan dalam
pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa fisioterapi dapat memberikan
intervensi dan memiliki peran yang cukup penting terhadap penanganan kasus anak
dengan gangguan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dalam
mempertahankan dan meningkatkan gerak dan fungsi tubuh pasien menjadi optimal.

Anda mungkin juga menyukai