OLEH :
LUH EMI RISKA YUNIASTRI (P07124217038)
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Suryo, 2005). Down
syndrome dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang
pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli
genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya.
Down Syndrome adalah salah satu cacat lahir bawaan yang paling sering, dan penyebab
genetik yang paling umum dari keterbelakangan mental. Dalam kebanyakan kasus, DS hasil dari
kehadiran tambahan salinan kromosom 21. DS memiliki fenotipe yang kompleks (Robert et al,
2009).
Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk
akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Sindrom Down (bahasa inggris:Down Syndrome) adalah suatu kumpulan gejala akibat dari
abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21, yang tidak berhasil memisahkan diri selama
meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh
Langdon Down pada tahun 1866 (Guyton, 2007).
Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak down sindrom. Baik
perkembangan fisik maupun mental. Hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk
menerima keadaan anak dengan down sindrom. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang
berbeda - beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down syndrom,
sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu sedih, rasa tak percaya, menolak,
marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah. Untuk dapat membantu
mengoptimalkan perkembangan anak dengan down syndrom, peran dan sikap keluarga sangat
diharapkan anak down sindrom.
Pada penderita down syndrome, pengobatan yang dilakukan tentu saja tidak hanya dengan
satu cara. Untuk metode pengobatan secara konvensional, dapat dimulai dengan tindakan
preventif yaitu dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesisi bagi para ibu
hamil terutama pada trimester pertama. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak
dengan down syndrome atau mereka yang hamil diatas usia 40 tahun perlu hati-hati memantau
perkembangan janinnya karena memiliki risiko melahirkan anak down syndrome lebih tinggi.
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat
membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain. a) Pemeriksaan fisik penderita
b) Pemeriksaan kromosom
c) Ultrasonografi (USG)
d) Ekokardiografi (EKG)
e) Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
Guyton, A. C dan Hall, J. E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Philadelphia: Elsevier-Saunders: 389-391, 1029-1044.
Robert Lyle, Fre´de ´rique Be´na1, Sarantis Gagos, Corinne Gehrig, Gipsy Lopez,
Albert Schinzel, James Lespinasse. 2009. Genotype–phenotype
correlations in Down syndrome identified by array CGH in 30 cases of
partial trisomy and partial monosomy chromosome 21. European Journal
of Human Genetics. 17. 454 – 466.