Anda di halaman 1dari 30

STUDI KASUS ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

ANAK DENGAN DOWN SYNDROME


(untuk memenuhi Tugas mata Kuliah Keperawatan Anak)

OLEH KELOMPOK 13:


1. DIVENTY YUSTI SUNDARI
2. SEPTYAN WILDA G

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir saat ini pada bayi yang baru lahir 1 dari 700 diantaranya
mengalami kelainan bawaan pada kromosom 21 karena berlebihnya nukleosom
pada komorom tersebut atau sering disebut dengan nama Trisomi 21 (Sindrom
Down). Mongolisma (Sindrom down) ditandai oleh kelainan jiwa atau cacat
mental mulai dari yang sedang sampai berat. Sejauh ini di Indonesia masih
kurang pengetahuan masyarakat tentang penyebab sindrom down dan
bagaimana cara menangani anak – anak yang terkena sindrom down. Banyak
keluarga yang memperlakukan anak – anak sindrom down dengan tidak wajar,
dan ada juga keluarga yang menyembunyikan anak mereka yang terkena
sindrom down. Seseorang dengan sindrom down mampu melakukan hal – hal
yang dapat dilakukan oleh anak – anak pada umumnya asalkan mereka dilatih
dengan diberikan terapi dan bisa di sekolahkan disekolah luar biasa (SLB).
Sering juga kita lihat anak –anak dengan sindrom down di perlakukan
kasar, karena perlakuan kasar inilah tak jarang anak sindrom down berperilaku
kasar dan sering disebut pengganggu di lingkungannya. Dampak negatif dari
perlakuan inilah yang membuat anak dengan sindrom down akan kehilangan
waktu untuk mengembangkan potensi dirinya.
Anak usia dini berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk
dapat menerima pendidikan seperti teman-temannya yang lain. Seperti yang
telah diamanahkan pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1 bahwa, “Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Selama mereka
warga negara Indonesia maka dalam kondisi apapun mereka layak
mendapatkan pendidikan yang bermutu untuk dapat mengembangkan potensi
yang dimiliki. Oleh sebab itu, upaya pemberian intervensi pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan anak yang memiliki hambatan perkembangan perlu
dilakukan dengan berdasar pada hasil asesmen awal kondisi
perkembangannya.
Intervensi pendidikan yang bermutu menjadi hak seluruh anak di
Indonesia termasuk di salah satu wilayah di Jawa Timur yang ditemukan
banyak penduduk mengalami hambatan khusus pada perkembangannya.
Kategori atau jenis kekhususan pada individu yang mengalami hambatan itu
cukup beragam, termasuk yang dapat dialami oleh anak usia dini. Salah satu
anak usia dini di daerah tersebut yang mengalami hambatan perkembangan
adalah seorang anak yang mengalami down syndrome. Data tersebut diperoleh
melalui hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rohmadheny mengenai
asesmen anak usia dini berkebutuhan khusus yang telah memasuki lembaga
pendidikan anak usia dini di dekat tempat tinggal mereka. Pada hasil penelitian
tersebut ditemukan 5 anak usia dini yang mengalami hambatan perkembangan,
salah satu diantaranya adalah anak perempuan (N) yang mengalami down
syndrome (Rohmadheny, 2014). Informasi lain yang diperoleh melalui
wawancara dengan kepala desa setempat adalah anak tersebut telah diperiksa
dokter dan didiagnosis mengalami kretisnisme. Dokter menyampaikan salah
satu karakteristik atau kondisi yang dialami oleh N, di mana karakteristik
tersebut merupakan salah satu karakteristik dari anak-anak yang mengalami
down syndrome.
Jenis down syndrome merupakan jenis kekhususan pada anak usia dini
yang merupakan akibat dari kelebihan kromosom saat berada dalam
kandungan. Wiyani (2014: 113-114) menyebutkan bahwa down syndrome
terjadi karena adanya kelainan susunan kromosom ke 21, dari 23 kromosom
manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan
hingga jumlahnya mennjadi 46. Pada penderita down syndrome, kromosom
nomor 21 tersebut berjumlah tuga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47
kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan kegoncangan
pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan down syndrome.
Menurut data badan UNICEF (Wiyani, 2014: 114), Indonesia
diperkikrakan kehilangan 140 juta poin IQ (Intelligence Quotient) setiap tahun
akibat kekurangan Yodium. Salah satu penyebab down syndrome juga karena
adanya kekurangan zat yodium pada saat janin berada dalam kandungan ibu.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dihasilkan oleh dinas kesehatan
setempat tentang kandungan yodium dalam air di tempat tinggal seorang anak
usia dini yang mengalami down syndrome tersebut. Penelitian tersebut
menyebutkan bahwa kandungan yodium pada air di wilayah tersebut sebanyak
0%, sehingga besar kemungkinan kurangnya yodium tersebut mempengaruhi
pertumbuhan anak tersebut ketika masih berada dalam kandungan.
Anak down syndrome yang ditemukan di wilayah penelitian ini pun
memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Intervensi pendidikan
yang diperlukan olehnya perlu disesuaikan dengan kondisi perkembannya dan
potensi yang dimilikinya saat ini. Meskipun telah disebutkan dalam Wiyani
(2014, 114) bahwa down syndrome (DS) adalah suatu cacat fisik bawaan yang
disertai dengan keterbelakangan mental anak sejak lahir yang disebabkan
abnormalitas perkembangan kromosomnya, namun kondisi satu anak DS
dengan kondisi anak DS yang lainnya tentu saja berbeda. Oleh sebab itu,
diperlukan gambaran yang tepat tentang kondisi anak terkini dan intervensi
pendidikan seperti apa yang sesuai sehingga dapat dilakukan intervensi
pendidikan yang sesuai baginya. Pada artikel ini akan dibahas tindak lanjut
hasil penelitian terdahulu yangberupadeksripsi kondisi terkini subyek,
minatnya dan rekomendasi intervensi yang akan diberikan bagi anak DS
tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
Apakah yang dimaksud dengan anak dengan Down syndrome?
C. TUJUAN
Tujuan umum:
Untuk mengetahui tentang anak dengan Sindrom Down
Tujuan khusus:
1. Mengetahui Definisi Sindrom Down
2. Etiologi Sindrom Down
3. Patofisiologi Sindrom Down
4. Karakteristik anak Sindrom Down
5. Pemeriksaan Diagnostik dari Sindrom Down
6. Penatalaksanaan Sindrom Down
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) adalah suatu
kumpulan gejala akibat dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21,
yang tidak berhasil memisahkan diri selama meiosis sehingga terjadi individu
dengan 47 kromosom. Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh Langdon Down
pada tahun 1866.
Syndrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling
banyak terjadi pada manusia. Diperkirakan 20 % anak dengan down syndrom
dilahirkan oleh ibu yang berusia diatas 35 tahun. Syndrom down merupakan
cacat bawaan yang disebabkan oleh adanya kelebiha kromosom x. Syndrom ini
juga disebut Trisomy 21, karena 3 dari 21 kromosom menggantikan yang
normal, 95 % kasus syndrom down disebabkan oleh kelebihan kromosom
Secara harfiah, syndrome diartikan sebagai suatu gejala atau tanda yang
muncul secara bersama-sama (Alwi, 2002:1069). Sementara kata down yang
digunakan dalam hal ini adalah istilah yang diambil dari nama seorang dokter
berkebangsaan Ingriss yaitu John Langdon Down.
Kosasih (2012: 79) menyebutkan bahwa down syndrome merupakan
kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan
adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom merupakan serat-
serat khusus yang terdapat di dalam setiap sel yang berada di dalam tubuh
manusia, di mana terdapat bahan-bahan genetik yang menentukan sifat-sifat
seseorang di sana. Wiyani (2014: 113-114) melengkapi penjelasan bahwa
down syndrome terjadi karena adanya kelainan susunan kromosom ke 21, dari
23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut
berpasang-pasangan hingga jumlahnya mennjadi 46. Pada penderita down
syndrome, kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga
totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut
mengakibatkan kegoncangan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya
memunculkan down syndrome..
Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative
pendek, kepala mengecil, hidung yangdatar menyerupai
orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada tahun
1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang
terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini
dengan istilah sindrom Down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan
istilah yang sama.

B. Etiologi
Penyebab dari Sindrom Down adalah adanya kelainan kromosom yaitu
terletak pada 21 dan 15, dengan kemungkinan-kemungkinan :
1. Non Disjunction sewaktu osteogenesis ( Trisomi )
Bagi ibu-ibu yang berumur 35 tahun keatas, semasa mengandung
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan anak Down
Syndrom. Sembilan puluh lima penderita down syndrom disebabkan oleh
kelebihan kromosom 21. Keadaan ini disebabkan oleh “non-dysjunction”
kromosom yang terlibat yaitu kromosom 21 dimana semasa proses
pembahagian sel secara mitosis pemisahan kromosom 21 tidak berlaku
dengan sempurna.
2. Translokasi kromosom 21 dan 15
Di kalangan 5 % lagi, kanak-kanak down syndrom disebabkan oleh
mekanisma yang dinamakan “Translocation“. Keadaan ini biasanya
berlaku oleh pemindahan bahan genetik dari kromosom 14 kepada
kromosom 21.
3. Postzygotic non disjunction ( Mosaicism )
Bilangan kromosomnya normal iaitu 23 pasang atau jumlah
kesemuanya 46 kromosom. Mekanisme ini biasanya berlaku pada ibu-ibu
di peringkat umur yang lebih muda. Sebahagian kecil down syndrom
disebabkan oleh mekanisma yang dinamakan “mosaic”.
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kelainan kromosom
(Kejadian NonDisjunctional ) adalah :
 Genetik
Karena menurut hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya
peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan
syndrom down.
 Radiasi
Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan
ank dengan syndrom down pernah mengalami radiasi di daerah
sebelum terjadi konsepsi.
 Infeksi Dan Kelainan Kehamilan
 Autoimun dan Kelainan Endokrin Pada ibu
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.
 Umur Ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan “non dijunction” pada kromosom.
Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen,
menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi
estradiolsistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon
danpeningkatan kadar LH dan FSH secara tiba-tiba sebelum dan
selam menopause. Selain itu kelainan kehamilan juga berpengaruh.
 Umur Ayah
Selain itu ada faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi
nukleolus, bahan kimia dan frekuensi koitus.

C. Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem
organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan
proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak – anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan
pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi
yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang
khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung
kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru
dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab
utama retardasi mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine
Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan
akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi
terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita
hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas
terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh,
anak – anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya
resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita
leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute
Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita
sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi
hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada
anak – anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21,
mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik
yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).

D. Karakteristik Anak Down Syndrome


Menurut Olds, London, & Ladewing (dalam anonymous, 2013: 3),
karakteristik yang muncul pada anak yang mengalami down syndrome dapat
bervariasi, mulai dari yang tidak nampak sama sekali, tampak minimal,
hingga muncul tanda yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang
mengalami down syndrome adalah adanya keterbelakangan perkembangan
mental dan fisik.Penderita down syndrome biasanya mempunyai tubuh pendek
dan puntung, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah
membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar,
kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak lebar antar kedua mata, kelopak
mata mempunyai lipatan epikantus, sehingga mirip dengan orang oriental, iris
mata kadangkadang berbintik, yang disebut bintik “Brushfield”.
Suryo menyebutkan berdasarkan tanda-tanda yang mencolok itu,
biasanya dengan mudah kita dapat mengenalnya pada pandangan pertama.
Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan kerap kali
memiliki garis tangan yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai sebuah
garis mendatar saja. Ibu jari kaki dan jari kedua adakalanya tidak rapat.Mata,
hidung, dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan
karena ia tidak sadar untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri (anonymous,
2013: 3).
Wiyani (2014: 115-114) mencatat beberapa gejala yang muncul akibat
down syndrome. Disebutkan oleh Wiyani bahwa gejala tersebut dapat muncul
bervariasi dari mulai yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal, hingga
muncul ciri-ciri yang dapat diamati seperti berikut ini:
1. Penampilan fisik tampak melalui kepala yang relatif lebih kecil dari
normal (microchepaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar.
2. Paras wajah yang mirip seperti orang Mongol, sela hidung datar, pangkal
hidung kemek.
3. Jarak antara dua mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran
mulutnya kecil, tetapi ukuran lidahnya besar dan menyebabkan lidah
selalu terjulur (macroglossia).
4. Pertumbuhan gigi penderita down syndrome lambat dan tidak teratur.
5. Paras telinga lebih rendah dan leher agak pendek.
6. Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthol folds) sebesar 80%.
7. Penderita down syndrome mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan
bicara.
8. Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testis kecil), hypospadia,
cryptorchism, dan keterlambatan perkembangan pubertas.
9. Penderita down syndrome memiliki kulit lembut, kering, dan tipis.
Sementara itu, lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatologlyphics).
10. Tangannya pendek, ruas-ruas jarinya serta jarak antara jari pertama dan
kedua pendek, baik pada tangan maupun kaki melebar. Mereka juga
mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke
dalam. Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat
dinamakan “simian crease”.
11. Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu hari kaki dan jari kaki kedua
agak jauh terpisah.
12. Ototnya lemah sehingga mereka menjadi lembek dan menghadapi masalah
dalam perkembangan motorik kasar. Masalah-masalah yang berkaitan
seperti masalah kelaianan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan
usus.
13. Tulang-tulang kecil di bagian lehernya tidak stabil sehingga menyebabkan
berlakunya penyakit lumpuh (atlantaoxial instability).
14. Sebagian kecil penderita berpotensi untuk mengalami kanker sel darah
putih atau leukimia.
15. Masalah perkembangan belajar penderita down syndrome secara
keseluruhan mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan
akal. Pada tahap awal perkembangannya, mereka mengalami masalah
lambat dalam semua aspek perkembangan, yaitu lambat untuk berjalan,
perkembangan motor halus, dan bercakap.
16. IQ penderita down syndrome ada di bawah 50.
Pada saat berusia 30 tahun, mereka kemungkinan dapat
mengalami demensia (hilang ingatan, penuruanan kecerdasan, dan
perubahan kepribadian).
E. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa
pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
 Pemeriksaan fisik penderita
 Pemeriksaan kromosom
 Ultrasonografi (USG)
 Ekokardiogram (ECG)
 Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan “brachyaphalic” sutura dan
frontale yang terlambat menutup. Tulang ileum dan sayapnya melebar
disertai sudut asetabular yang lebar. Pemeriksaan kariotiping untuk mencari
adanya translokasi kromosom. Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan
cairan amnion atau vili karionik, dapat dilakukan secepatnya pada
kehamilan 3 bulan atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak
dengan syndrom down. Bila didapatkan janin yang dikandung menderita
sydrom down dapat ditawarkan terminasi kehamilan kepada orang tua.
Pada anak dengan Sindrom Down mempunyai jumlah kromosom 21
yang berlebih ( 3 kromosom ) di dalam tubuhnya yang kemudian disebut
trisomi 21. Adanya kelebihan kromosom menyebabkan perubahan dalam
proses normal yang mengatur embriogenesis. Materi genetik yang berlebih
tersebut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan
interaksinya dengan fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan
homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan
fisik (kelainan tulang), SSP (penglihatan, pendengaran) dan kecerdasan
yang terbatas.
F. Penatalaksanaan
 Penanganan Secara Medis
a. Pendengarannya : sekitar 70-80 % anak syndrom down terdapat
gangguan pendengaran dilakukan tes pendengaran oleh THT sejak dini.
b. Penyakit jantung bawaan
c. Penglihatan : perlu evaluasi sejak dini.
d. Nutrisi : akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi /
prasekolah.
e. Kelainan tulang : dislokasi patela, subluksasio pangkal paha /
ketidakstabilan atlantoaksial.
Bila keadaan terakhir ini sampai menimbulkan medula spinalis
atau bila anak memegang kepalanya dalam posisi seperti tortikolit,
maka perlu pemeriksaan radiologis untuk memeriksa spina servikalis
dan diperlukan konsultasi neurolugis.
 Pendidikan
a. Intervensi Dini
Program ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk
memberi lingkunga yang memeadai bagi anak dengan syndrom down,
bertujuan untuk latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak
mampu berbahasa. Selain itu agar ankak mampu mandiri sperti
berpakaian, makan, belajar, BAB/BAK, mandi,yang akan memberi anak
kesempatan.
b. Taman Bermain
Misal dengan peningkatan ketrampilan motorik kasar dan halus
melalui bermain dengan temannya, karena anak dapat melakukan
interaksi sosial dengan temannya.
c. Pendidikan Khusus (SLB-C)
Anak akan mendapat perasaan tentang identitas personal, harga diri
dan kesenangan. Selain itu mengasah perkembangan fisik, akademis dan
dan kemampuan sosial, bekerja dengan baik dan menjali hubungan baik.
 Penyuluhan Pada Orang Tua
 Terapi fisik
Pada anak usia dini yang mengalami down syndrome, terapi yang
diberikan adalah terapi fisik. Wiyani (2014: 118) menuliskan bahwa terapi
fisik yang dapat digunakan adalah dengan terapi treadmill, yaitu dengan
cara melatih ibu, pengasuh, dan pendidik PAUD anak yang mengalami
gangguan down syndrome (DS). Mereka dilatih cara tepat untuk melatih
anak DS. Agar dapat berjalan dan dapat melatih keterampilan motoriknya.
Pendidik anak usia dini yang mendapati peserta didik down syndrome,
dapat mengajarkan beberapa hal berikut ini seperti: gerakan tari atau
melakukan olahraga bersama dengan anak yang memiliki gangguan down
syndrome lain agar terlatih keterampilan motoriknya. Apabila hal tersebut
kurang menarik bagi mereka, maka arahkan mereka untuk kegiatan
bermain fungsional. Kegiatan fungsinal tersebut dapat berupa bermain
lempar tangkap bola, berlari, menendang bola. Hal ini secara tidak
langsung juga akan membangun karakter anak. Mereka yang merasa
mampu melakukannya akan semakin percaya diri sehingga mereka tidak
canggung lagi untuk bermain denga teman sebaya lainnya.
 Terapi wicara
Di samping terapi fisik, mereka juga dapat diberikan terapi bicara
secara fokus sehingga dapat memberikan modal bagi mereka untuk dapat
berinteraksi sosial dengan orang lain, sedangkan terapi okupasi dapat
membekali anak untuk dapat melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan
keperluan pribadi mereka secara mandiri. .
Dukungan dari orangtua juga sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurlailiwangi, dkk (2011: 73)
tentang dukungan sosial orangtua untuk anak down syndrome dalam
melakukan self help. Pada penelitian tersebut menunjukkan kurangnya
dukungan orangtua dalam pemerian latihan aktivitas sosial self help anak-
anak DS, sehingga kemampuan self helf mereka pun cukup rendah.
BAB IV
STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN SINDROM DOWN

I. BIODATA
A. Identitas Klien
Nama : An. “ N ”
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat :-
Tgl. Masuk :-
Tgl. Pengkajian :-
Diagnosa Medik : Sindrom Down

II. KELUHAN UTAMA


Perhatian orangtua terhadap kesehatan, kebersihan, dan pendidikan An.N
sangat kurang.

III. RIWAYAT KESEHATAN


A. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kuku kaki dan tangan An.N terlihat panjang dan kotor, nutrisi dan gizi
makanan tidak seimbang, dalam berpakaian seragam ke sekolah tidak
sesuai (antara atasan, bawahan, dan jilbab yang dikenakan). Penerimaan
teman-teman di sekolah kurang mendukung N untuk dapat menjadi lebih
percaya diri melakukan hal-hal yang diminatinya
B. Riwayat kesehatan Lalu
Sejak balita An.N menunjukkan kondisi wajah mirip orang mongoloid,
mata sipit, dan tangan mungil
C. Riwayat Kesehatan Keluarga
An.N berada dalam kandungan lahir pada saat usia ibunya telah mencapai
usia 40 tahun lebih. Tidak ada anggota keluarga yang menderita down
sindrom seperti klien.

IV. Riwayat Imunisasi


N Jenis Imunisasi Waktu Pemberian Reaksi Klien
o
1. BCG
2. DPT (I,II,III)
3. POLIO (I,II,III,IV)
4. CAMPAK
5. HEPATITIS

Pemeriksaan fisik
1. Berat badan : -
2. Tinggi badan : -
3. Waktu tumbuh gigi : -

Perkembangan tiap tahap


Tumbuh kembang klien secara keseluruhan terlambat jika dibandingkan
dengan teman-teman seusianya

V. Riwayat Nutrisi
A. Pemberian Asi: tidak terkaji
B. Pemberian Susu Formula: tidak terkaji
C. Pemberian makanan tambahan
D. Nutrisi dan gizi makanan tidak seimbang

VI. Riwayat psychososial


- Anak tinggal bersama ibu dan ayahnya
- Anak diasuh oleh kedua orang tuanya.
- Perhatian orang tua terhadap pendidikan kurang
- Penerimaan teman-teman di sekolah kurang mendukung An. N untuk
dapat menjadi lebih percaya diri melakukan hal-hal yang diminatinya

VII. Pendidikan
Pendidikan yang telah dan sedang diterima oleh An.N belum cukup
mumpuni untuk dapat menutupi kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang
membekali bagi An.N

VIII. Aktivitas sehari-hari


A. Nutrisi
Nutrisi dan gizi makanan tidak seimbang
B. Olahraga
An.N tampak tertarik dan penuh semangat saat senam pagi mengawali
kegiatan harian di halaman, meskipun koordinasi gerakan tangan dan
kakinya belum sempurna.
C. Personal Hygiene
Kuku kaki dan tangan An.N panjang dan kotor
D. Aktivitas/Mobilitas fisik
- Klien merupakan anak yang mandiri dalam hal pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
- Klien bisa berangkat dan pulang sendiri, klien dapat makan tanpa
bantuan.
- Klien sangat tertarik pada kegiatan yang melibatkan motoric kasar.
E. Minat dan bakat
An. N menunjukkan minatnya pada kegiatan menari sambil bernyanyi
F. Emosional
N memiliki kecenderungan untuk mudah marah dan beberapa kali
menarik diri dari lingkungannya
G. Penampilan
Dalam berpakaian seragam ke sekolah tidak sesuai (antara atasan,
bawahan, dan jilbab yang dikenakan)
IX. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum klien baik
2. Wajah mirip orang mongoloid, mata sipit, dan tangan mungil
- Mata
Sipit, tidak ada gangguan penglihatan
- Hidung
Penciuman baik
- Telinga
Keadaan daun telinga baik, fungsi pendengaran baik
3. Sistem muskuloskletal
- Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut.
- Warna kulit sawo matang, temperatur hangat, tampak kotor
- Tangan kecil
4. Sistem immun
- Tidak ada riwayat alergi

X. Pemeriksan tingkat perkembangan


- Perkembangan motoric halus klien terlambat
- Kognitif: An.N sudah mulai mengenal beberapa warna dan simbol
- Klien tertarik pada kegiatan motoric kasar
- Perkembangan psikososial
An.N merasa tidak percaya diri kemudian menarik diri dari
lingkungan kelompok bermainnya
ANALISA DATA

N Analisa Data Etiologi Problem


o
1 DS: - Kurangnya dukungan Deficit perawatan diri:
DO: keluarga, berpakaian
- Kuku kaki dan tangan keterlambatan
An.N panjang dan kotor perkembangan
- Dalam berpakaian
seragam ke sekolah
tidak sesuai (antara
atasan, bawahan, dan
jilbab yang dikenakan)
2 DS: - Keterlambatan Isolasi social
DO: perkembangan
- An. N mudah marah
- An.N merasa tidak
percaya diri kemudian
menarik diri dari
lingkungan kelompok
bermainnya
3 DS: - Kurang informasi Difisien pengetahuan
DO: (orang tua)
Perhatian orangtua
terhadap kesehatan,
kebersihan, dan
pendidikan An.N sangat
kurang
4 DS: - Asupan diet kurang Ketidakseimbangan
DO: nutrisi: kurang dari
Nutrisi dan gizi makanan kebutuhan tubuh
tidak seimbang
5 DS: - Ketidakmampuan Risiko keterlambatan
DO: belajar pemberi asuhan perkembangan
- An.N seringkali menari
sambil bernyanyi,
namun gerakan yang
ditirukannya tidak
sesempurna teman yang
lainnya dan lafal
kalimat lirik lagu yang
ditirukannya pun tidak
terlalu jelas.
- An. N dalam
melakukan gerakan
senam, koordinasi
gerakan tangan dan
kakinya belum
sempurna

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Deficit perawatan diri: berpakaian berhubungan dengan kurangnya


dukungan keluarga, keterlambatan perkembangan (Domain 4, kelas 5,
00109)
2. Isolasi social berhubungan dengan keterlambatan perkembangan (Domain
12, kelas 3, 00053)
3. Defisien pengetahuan (orang tua) berhubungan dengan kurangnya
informasi (Domain 5, kelas 4, 00126)
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan asupan diet kurang (Domain 2, kelas 1, 00002)
5. Risiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan
ketidakmampuan belajar pemberi asuhan (Domain 13, kelas 2, 00112)
INTERVENSI KEPERAWATAN

NO Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Deficit perawatan diri: OUTCOME 1. Berpakaian
berpakaian, 1. Perawatan diri: berpakaian - Monitor kemampuan pasien untuk berpakaian

kebersihan Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak sendiri


tergang tergangg tergang tergan tergang - Dukung penggunaan perangkat perawatan diri
berhubungan dengan Indicator
gu u gu ggu gu
1 2 3 4 5 dengan tepat
kurangnya dukungan
Memilih - Dukung pasien untuk berpartisipasi dalam
keluarga, pakaian
Mengambil pemilihan pakaian
keterlambatan
pakaian dari - Dukung keluarga untuk memekaikan pakaian
perkembangan lemari
pribadi dengan tepat
Memakai
pakaian 2. Peningkatan latihan
Memakai
- Hargai keyakinan individu terkait latihan fisik
sepatu
Membuka - Galipengalaman individu sebelumnya mengenai
baju
latihan
2. Kebersihan - Gali hambatan untuk melakukan latihan
Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak - Libatkan keluarga/ orang yang memberi
tergang tergangg tergang tergan tergang
Indicator perawatan dalam program latihan
gu u gu ggu gu
1 2 3 4 5
Memperhatik
an kuku jari
tangan
Memperhatik
an kuku kaki
Mempertaha
nkan
penampilan
yang rapi

2 Isolasi social
OUTCOME 1. Peningkatan sosialisasi
berhubungan dengan
1. Keterlibatan sosial - Tingkatkan keterlbatan dalam minat yang baru
keterlambatan
perkembangan Tidak - Berikan model peran yang mengekspresikan
Jarang Secara
pernah menunju Kadan Sering konsiste kemarahan dengan tepat
g
Indicator menunj kkan -kadang n
ukkan - Berikan umpan balik positif saat pasien
1 2 3 4 5
bersedia menjangkau orang lain
Berinteraksi
dengan 2. Terapi aktivitas
teman dekat
- Pertimbangkan kemampuan klien dalam
Berinteraksi
dengan berpartisipasi melalui aktivitas spesifik
anggota
- Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
keluarga
Berpartisipa yang diinginkan
s i dalam
- Bantu klien dan keluarga untuk
aktifitas
waktu luang mengidentifikasi kelemahan dalam level
dengan
aktifitas tertentu
orrang lain

3 Defisien pengetahuan
OUTCOME 1. Pengajaran: proses penyakit
(orang tua)
1. Pengetahuan: proses penyakit - Kaji tingkat pengetahuan pasien terkait
berhubungan dengan
Tidak ada dengan proses penyakit
Pengetah Pengeta Penget
kurangnya informasi Indicator pengeta uan huan ahuan
Sangat
banya
k - Jelaskan mengenai kondisi yang dialami
huan terbatas sedang banyak pasien saat ini
1 5 - Kenali pengetahuan pasien mengenai
Factor 2 3 4
penyebab kondisinya
dan factor - Berikan ketenangan terkait kondisi pasien,
yang
berkontribusi sesuai kebutuhan
Tanda dan - Beri informasi kepada keluarga/ orang yang
gejala
Efek penting bagi pasien mengenai kondisi
psikososial pasien.
penyakit
pada individu - Eksplorasi suber dukungan yang ada
Efek - Perkuat informasi yang diberikan dengan
psikososial
penyakit anggota tim kesehatan lain, sesuai
pada kebutuhan
keluarga
Sumber
informasi
yang
terpercaya

4 Ketidakseimbangan OUTCOME 1. Manajemen nutrisi


nutrisi: kurang dari 1. Status nutrisi - Tentukan status gizi pasien dan kemampuan

kebutuhan tubuh Sangat pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi


menyim
Banyak Cukup Sedikit Tidak - Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
berhubungan dengan pang
Indicator dari menyimp menyim menyi menyim
ang pang mpang pang favorot pasien
asupan diet kurang rentang
normal - Pastikan makanan disajikan dengan cara yang
1 2 3 4 5 menarik
Asupan gizi - Monitor kecenderungan terjadinya penurunan
Asupan
dan kenaikan berat badan
makanan
Energy 2. Pengajaran: peresepan diet

Rasio BB/TB - Kaji pasien dan keluarga mengenai pandangan,


kebudayaan dan factor lain
- Alibatkan pasien dan keluarga
5 Risiko keterlambatan OUTCOME 1. Peningkatan perkembangan: anak
perkembangan 1. Perawatan diri: aktivitas sehari-hari - Anjurkan keluarga untuk selalu mendampingi

berhubungan dengan Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak anak untuk menyadari bahwa anak adalah
tergang tergangg tergang tergan tergang pribadi yang penting
ketidakmampuan Indicator
gu u gu ggu gu
1 2 3 4 5 - Ajarkan orangtua mengenai tingkat
belajar pemberi
Makan perkembangan normal dari anak dan perilaku
asuhan Memakai yang berhubungan
baju
- Demonstrasikan pada orangtua mengenai
Kebersihan
kegiatan yang mendukung tumbunh kembang
Mandi
anak
- Berikan kesempatan dan mendukung aktifitas
motorik
2. Peningkatan system dukungan
- Identifikasi tingkat dukungan keluarga,
dukungan keuangan, dan sumber daya lainnya
- Libatkan keluarga, orang terdekat dan teman-
teman dalam perawatan
- Idetifikasi sumber daya yang tersedia terkait
dengan dukungan pemberi perawatan
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kondisi An. N
Sejak balita An. N menunjukkan kondisi sebagai berikut: wajah mirip
orang mongoloid, mata sipit, dan tangan mungil. Karakteristik tersebut sudah
sesuai dengan karakteristik down syndrome. Beberapa ciri fisik penyandang
kelainan ini di antaranya, bagian belakang kepala rata, mata sipit, alis mata
miring (slanting of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil, otot
lunak, persendian longgar, dan tangan kaki yang mungil.
Pada penelitian sebelumnya telah disebutkan bahwa An.N berada
dalam kandungan lahir pada saat usia ibunya telah mencapai usia 40 tahun
lebih, sehingga potensi An.N mengalami DS sangat besar. Dalam teori
disebutkan bahwa adanya korelasi antara usia ibu dan kelahiran anak-anak
yang berpotensi mengalami DS.
Pada dasarnya, N merupakan anak yang ceria seperti anak-anak pada
umumnya. Akan tetapi, perhatian orangtua terhadap kesehatan, kebersihan,
dan pendidikannya sangat kurang. Meskipun dia sudah dimasukkan ke
lembaga pra sekolah, namun untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kebutuhannya secara mendasar secara tepat belum diterima oleh N. Hal
tersebut ditunjukkan dengan kuku kaki dan tangan N yang panjang dan kotor,
nutrisi dan gizi makanan tidak seimbang, dalam berpakaian seragam ke
sekolah tidak sesuai (antara atasan, bawahan, dan jilbab yang dikenakan).
Penerimaan teman-teman di sekolah kurang mendukung N untuk dapat
menjadi lebih percaya diri melakukan hal-hal yang diminatinya. Sehingga
muncul berbagai masalah keperawatan pada An.N yang dibahas pada bab 3.
Sehari-hari, An.N biasa berangkat dan pulang sendiri dari rumah ke
sekolah tanpa diantar, mampu makan mandiri, dan tertarik untuk melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan motoric kasar seperti menari dan
berolahraga meskipun dalam melaakukan koordinasi gerakan masih kurang
baik. Kondisi ini sedikit bertentangan dengan karakteristik fisik dan
kemandirian (self help) yang dirumuskan oleh Wiyani (2014: 115-114),
meskipun telah disebutkan bahwa karakteristik tersebut kemunculannya
bervariasi: mulai yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal, hingga
muncul ciri-ciri yang salah satunya menyebutkan tentang minimnya
pertumbuhan tulang dan otot sehingga seringkali mempengaruhi
perkembangan motoriknya. N ini merupakan studi kasus dari seorang anak
DS yang justru memiliki minat yang tinggi pada aktivitas motorik dan
memiliki kemandirian khususnya berkaitan dengan self help yang cukup
memadai untuk seusianya.

B. Minat Subyek N
Pada beberapa kesempatan, N menunjukkan minatnya pada kegiatan
menari sambil bernyanyi, meskipun gerakan yang ditirukannya tidak
sesempurna teman yang lainnya dan lafal kalimat lirik lagu yang ditirukannya
pun tidak terlalu jelas. N juga tampak tertarik dan penuh semangat saat senam
pagi mengawali kegiatan harian di halaman, meskipun koordinasi gerakan
tangan dan kakinya belum sempurna.Minat tersebut dapat menjadi modalitas
bagi N untuk memicu dirinya memiliki prestasi.
Minat akan mempengaruhi percepatan belajarnya. Ketika N berminat
pada hal dipelajari, maka dia akan melakukannya dengan senang hati dan
penuh kegembiraan. Suasana hati yang gembira akan mempengaruhi kerja
sistem limbik pada otak, sehingga dia akan lebih cepat belajar. Hal tersebut
sejalan dengan teori 3 in 1 brain yang dikemukakan oleh MacLean. MacLean
(1978: 6) menjelaskan istilah 3 in 1 Brain yang mewakili dari struktur
bagian-bagian yaitu batang otak, limbik, dan korteks. Salah satu bagian otak
yang erat kaitannya dengan emosi adalah bagian limbik. Orang dewasa yang
memicu System Limbic anak dengan menyanyi,bermain, menghargai, peduli,
mencintai, mengembangkan hubungan positif, dan sebagianya terhadap anak
akan membantu mengoptimalkan kegiatan belajarnya. Sebaliknya, jika yang
dilakukan pada anak adalah perilaku-perilaku yang tidak menyenangkan,
kekerasan, dan aktivitas yang memicu rasa takut akan mengakibatkan system
limbic tertutup sehingga kegiatan belajarnya tidak dapat berkembang dengan
optimal. Penerimaan yang baik dari lingkungan tentu juga akan dapat
mempengaruhi proses belajarnya.
C. Intervensi Pendidikan dan Pelatihan yang Direkomendasikan
Pendidikan yang telah dan sedang diterima oleh N belum cukup
mumpuni untuk dapat menutupi kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang
membekali bagi N. Tipe pendidikan yang dapat direkomendasikan untuk N
dan yang lebih sesuai adalah model program pendidikan prasekolah yang
khusus untuk menangani anak berkebutuhan khusus terpisah seperti yang
khususdown syndromeatau program pendidikan inklusi yang bergabung dari
anak biasa dengan anak berkebutuhan khusus, sehingga sarana dan tenaga
pendidiknya tersedia dengan baik. Model program pendidikan prasekolah
yang terbukti efektif dalam pelaksanaan dan hasilnya adalah Model Preschool
Program for Children with Down Syndrome seperti penelitian yang dilakukan
oleh Rebeca & Patricia(1991: 56-68) pada 92 anak dengan down syndrome.
Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang efektif pada pelaksanaan salah
satumodel programasli dariProgram Pendidikan Anak Usia Dini bagi
penyandang cacat.
Bentuk intervensi pendidikan yang sesuai untuk anak down syndrome
seperti kondisi subyek N adalah rekomendasi bentuk pendidikan yang dapat
diberikan untuk dapat mengotimalkan perkembangan N adalah dukungan dan
latihan melalui kegiatan yang melibatkan motorik kasar dan kemandiriannya
seperti: menari, dan olah raga (senam, lari, lompat, menyapu, membereskan
mainan sendiri, dan sebagainya). Di samping itu, menempatkan N pada
lingkungan yang mendukung dan dapat menerima kondisinya yang berbeda
dari rata-rata anak akan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya serta
memudahkannya untuk lebih cepat belajar terutama lingkungan keluarga.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Syndrome Down atau dulu disebut juga mongolism merupakan gangguan
pada kromosom yang ditandai dengan cranium kecil, bagian
anteroposterior yang mendatar, jembatan hidung yang dataar, lipatan
epikantus, ruas-ruas jari yang pendek, jarak yang lebar antara jari tangan
dan kaki pertama dan kedua, dan retardasi mental sedang sampai berat,
dengan penyakit Alzheimer yang berkembang pada dekade keempat atau
kelima. Kelainan kromosom adalah trisomi kromosom 21 yang berhubungan
dengan usia ibu yang sudah lanjut.
2. Syndrome Down trisomi 21 dan mosaik tidak terkait faktor hereditas,
sehingga tidak diturunkan.
3. Syndrome Down yang terkait faktor herediter adalah Down syndrome jenis
translokasi.
4. Terapi pada penderita Syndrome Down lebih terkait dengan latihan
kemandirian penderita Syndrome Down dan perawatan kesehatan untuk
meningkatkan harapan hidup penderita.
5. Pada kasus An.N secara ciri-ciri fisik khas wajah mongoloid dan memiliki
tangan yang kecil. Namun An.N tergolong anak DS yang mandiri, masih
dapat mandiri melakukan kegiatan sehari-hari/ self help seperti berangkat
sekolah dan makan. Meskipun An.N masih memiliki keterlambatan
perkembangan dibandingkan dengan anak seusianya.

B. Saran
Anak dengan DS sebaiknya segera diberikan terapi bicara dan
latihan fisik, sehingga tetap dapat bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya serta belajar hidupdengan mandiri.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Kosasih, E.,dkk. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung: Yrama Widya
Jurnal CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah (Vol. 03 No.3 Maret2016)
Nurlailiwangi, Eneng, Sri Rahayu, Mukaromah, & Juwita Okma. 2011. Studi
Mengenai Dukungan Orangtua Dalam Melatih Self Help Anak yang
Mengalami Down
Syndrome di PKA Puspa Suryakanti Bandung. Prosiding SnaPP 2011: Sosial,
Ekonomi, Humaniora.
Rohmadheny, Prima. 2015. Studi kasus Anak Down Syndrome. (online) Diakses
pada tanggal 2i Februasri 2020
http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JPAUD/article/view/616
Situmorang, Charina. 2011. Hubungan Sindroma Down dengan Umur Ibu,
Pendidikan Ibu,
Pendapatan Keluarga, dan Faktor Lingkungan, Jurnal Kedokteran Indonesia,
VOL. 2 NO. 1 Januari 2011
Wiyani, Novan Adri. 2014. Penanganan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Anda mungkin juga menyukai