Anda di halaman 1dari 10

DOWN SYNDROM

Kromosom 21

Manusia normalnya memiliki 46 kromosom di setiap selnya, terbagi menjadi 23 pasang. Dua
salinan kromosom 21, satu salinan diwarisi dari masing-masing orang tua, membentuk salah satu
pasangan. Kromosom 21 adalah kromosom manusia terkecil, mencakup sekitar 48 juta pasangan
basa (bahan penyusun DNA) dan mewakili 1,5 hingga 2 persen dari total DNA dalam sel.
Kromosom 21 kemungkinan besar mengandung 200 hingga 300 gen yang memberikan instruksi
untuk membuat protein. Protein ini melakukan berbagai peran berbeda dalam tubuh.

Definisi

Down Syndrome (DS) merupakan kelainan kromosom yang paling umum terjadi pada manusia
dan terjadi karena adanya kelebihan salinan kromosom 21. 1 Kromosom 21 tersebut tidak dapat
memisahkan diti selama proses meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom yang
menyebabkan abnormalitas perkembangan. Pertama kali ditemukan oleh Seguin pada tahun
1844. Dokter John Langdon Down dari Inggris melanjutkan penelitian pada tahun 1866. 2

Epidemiologi

Angka kejadian sindrom Down meningkat seiring bertambahnya usia ibu, dan kejadiannya
bervariasi pada populasi yang berbeda (1 dari 319 hingga 1 dari 1000 kelahiran hidup). 4 World
Health Organization (WHO) mencatat terdapat 1:1.000 kelahiran di seluruh dunia, dimana setiap
tahunnya terdapat 3.000 sampai 5.000 anak terlahir dengan sindrom down. Wanita yang berusia
25 tahun saat hamil memiliki resiko 1:1.200 untuk memiliki bayi down syndrome, sedangkan
wanita yang berusia 35 tahun saat hamil memiliki resiko hingga 1:350. Kemudian pada ibu
berusia 49 tahun, resikonya menjadi 1:10.2 Kasus Sindrom Down di Indonesia meningkat.
Berdasarkan riset Riskesdas tahun 2010, anak dengan usia 24-59 bulan sebesar 0,12%, tahun
2013 menjadi 0,13% dan pada tahun 2018 terjadi peningkatan menjadi 0,21% kasus. 3

Etiologi dan Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya Sindrom down : 3

● Usia ibu hamil. Menurut National Downs Syndrome Society (NDSS) semakin bertambahnya
usia ibu pada saat kehamilan maka semakin tinggi probabilitas anak lahir dengan Sindrom
Down.

● Genetik Terdapat 4% kasus dengan Sindrom Down akibat dari genetik salah satu pihak
keluarga. Jika ayah merupakan agen pembawa atau carrier, maka 3% dapat terjadi Sindrom
Down. Sedangkan jika ibu sebagai carrier terdapat 10-15 risiko terjadinya Sindrom Down.

● Riwayat melahirkan anak Sindrom Down. Ibu yang pernah melahirkan janin dengan Sindrom
down mempunyai risiko 1: 100 untuk memiliki anak Sindrom Down selanjutnya.

● Jarak kelahiran dan jumlah saudara kandung. Sindrom down bergantung pada seberapa banyak
saudara kandung dan seberapa jauh jarak usia antar kelahiran. Ibu dengan usia yang lebih tua
pada masa kehamilan memiliki risiko bayi lahir dengan Sindrom Down dan risiko tersebut akan
cenderung semakin meningkat jika jarak kelahiran semakin jauh.

● Kekurangan asam folat. Menurut para ahli Sindrom Down dapat terjadi akibat kerja
metabolism tubuh yang tidak optimal sebagai pemecah asam folat. Metabolism asam folat yang
turun dapat berpengaruh terhadap pengaturan epigenetic pembentukan kromosom, untuk
mencegah hal ini maka setiap wanita yang akan berencana hamil harus mencukupi pemberian
asam folat sejak sebelum hamil. Bahkan, asupan asam folat perlu diberikan sejak remaja.

● Faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang sering terjadi adalah paparan zat kimia dan zat
asing yang ibu terima dari lingkungan selama masa kehamilan. Rokok adalah salah satu zat yang
beracun yang dapat mempengaruhi pembentukan kromosom bayi sejak dalam kandungan. Ibu
dengan perokok memiki rantai kromosom yang lebih pendek dari normalnya

Patofisiologi

Ada tiga jenis sindrom Down. Orang sering kali tidak dapat membedakan masing-masing jenis
tanpa melihat kromosomnya karena ciri fisik dan perilakunya serupa. 6 Ketiga penyebab itu antara
lain sebagai berikut.

1) Nondisjuction, Trisomi 21 : Sekitar 95% penderita sindrom Down memiliki Trisomi 21. 6
Salinan tambahan kromosom 21 dikaitkan dengan sindrom Down, yang terjadi karena
kegagalan kromosom 21 untuk memisahkan selama gametogenesis sehingga
mengakibatkan tambahan kromosom yang awalnya 46 menjadi 47 di semua sel tubuh. 5
Jenis ini tidak dapat diwariskan dan dapat disebabkan oleh kegagalan pembelahan pada
sel telur maupun sperma.2
2) Sindrom Down Translokasi : Jenis ini terjadi pada sebagian kecil penderita sindrom
Down (sekitar 3%). Translokasi adalah suatu keadaan dimana tambahan kromosom 21
melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya.
Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Dibeberapa
kasus, translokasi sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.
Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang
ditimbulkan oleh trisomi 21.6

3) Mosaik : Jenis ini mempengaruhi sekitar 2% penderita sindrom Down. Mosaik berarti
campuran atau kombinasi. Untuk anak-anak dengan sindrom Down mosaik, beberapa sel
mereka memiliki 3 salinan kromosom 21, namun sel-sel lain memiliki dua salinan
kromosom 21. Anak-anak dengan sindrom Down mosaik mungkin memiliki ciri-ciri
yang sama dengan anak-anak dengan sindrom Down lainnya. Namun, mereka mungkin
memiliki ciri-ciri kondisi yang lebih sedikit karena adanya beberapa (atau banyak) sel
dengan jumlah kromosom yang normal.6
Gejala dan Tanda

Pasien-pasien ini memiliki beragam tanda dan gejala seperti cacat intelektual dan perkembangan
atau ciri-ciri neurologis, kelainan jantung bawaan, kelainan gastrointestinal (GI), ciri khas wajah,
dan kelainan.7 Diantaranya sebagai berikut.

1) Terdapat lipatan atau celah pada bagian mata (lipatan epikantus) dan memiliki bentuk
mata lebih sipit
2) Wajah memperlihatkan kurang perkembangan (hypoplasia) bagian mid face
3) Postur tubuh terlihat lebih kecil, pendek, dan bungkuk
4) Bentuk kepala brachycephaly
5) Bentuk leher tampak pendek dan lebar, serta terdapat lebihan kulit
6) Simian crease (garis tangan lurus, tidak bercabang)
7) Malformasi telinga termasuk “lop” ears, low-set ears dan ukuran telinga lebih kecil.
8) Nasal septum sering dijumpai mengakibatkan laluan udara menjadi sempit dan
menyebabkan masalah pernafasan melalui mulut.
9) Sandal gap, dimana jarak antara jari jempol kaki dengan jari selanjutnya cukup besar.
10) Terdapat bintik putih di iris
11) Lemah otot (hipotoni)

Kelaianan pada sistem tubuh diantara lain.7

1) Kelainan Jantung Bawaan (KJB)


Cacat jantung kongenital sejauh ini merupakan penyebab paling umum dan utama yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sindrom Down
terutama pada 2 tahun pertama kehidupan. Angka kejadian KJB pada bayi yang lahir
dengan sindrom Down mencapai 50%. Cacat jantung paling umum yang terkait dengan
sindrom Down adalah cacat septum atrioventrikular (AVSD adalah kelainan jantung di
mana terdapat lubang antara bilik jantung kanan dan kiri, dan katup yang mengontrol
aliran darah antar bilik tersebut mungkin tidak terbentuk dengan benar.), dan cacat ini
mencapai 40% dari cacat jantung bawaan pada sindrom Down. Cacat jantung paling
umum kedua pada sindrom Down adalah cacat septum ventrikel (VSD adalah cacat lahir
jantung di mana terdapat lubang di dinding (septum) yang memisahkan dua ruang bawah
(ventrikel) dari hati.), yang terlihat pada sekitar 32% dari pasien dengan sindrom Down.
Kelainan jantung lain yang berhubungan dengan trisomi 21 adalah kelainan atrium
sekundum (10%), tetralogi Fallot (6%), dan PDA terisolasi (4%), sedangkan sekitar 30%
pasien mempunyai lebih dari satu kelainan jantung.
2) Kelainan Saluran Gastrointestinal (GI).
Penderita trisomi 21 memiliki banyak kelainan struktural dan fungsional yang
berhubungan dengan saluran pencernaan. Cacat struktural dapat terjadi di mana saja
mulai dari mulut hingga anus, dan telah ditemukan bahwa cacat tertentu seperti atresia
atau stenosis duodenum dan usus kecil, pankreas annular, anus imperforata, dan penyakit
Hirschsprung lebih sering terjadi pada pasien ini dibandingkan dengan populasi umum.
Terlepas dari cacat struktural pada pasien dengan sindrom Down, pasien juga rentan
terhadap banyak gangguan pencernaan lainnya seperti gastroesophageal reflux (GERD),
sembelit kronis, diare intermiten, dan penyakit celiac (intoleran terhadap gluten). Karena
terdapat hubungan yang kuat antara penyakit celiac dengan sindrom Down yang terjadi
pada sekitar 5% pasien, dianjurkan untuk melakukan skrining penyakit celiac setiap
tahun. Setelah didiagnosis, pasien ini harus tetap menjalani diet bebas gluten selama sisa
hidupnya.
3) Gangguan Hematologi
Kelainan hematologi pada bayi baru lahir dengan sindrom Down (HANDS) merupakan
neutrofilia, trombositopenia, dan polisitemia, yang masing-masing terlihat pada 80%,
66% dan 34% bayi sindrom Down. Pasien dengan sindrom Down mempunyai risiko 10
kali lebih besar terkena leukemia.
4) Gangguan Neurologis
Trisomi 21 berhubungan dengan penurunan volume otak terutama hipokampus dan otak
kecil. Hipotonia adalah ciri khas bayi dengan sindrom Down dan terjadi pada hampir
semua bayi. Hal ini didefinisikan sebagai penurunan resistensi terhadap peregangan otot
pasif dan bertanggung jawab atas keterlambatan perkembangan motorik pada pasien ini.
Selain itu, Risiko timbulnya penyakit Alzheimer dini sangat tinggi pada pasien dengan
sindrom Down, dimana 50% hingga 70% pasien mengalami demensia pada usia 60
tahun. Sindrom down juga berkaitan dengan disabilitas intelektual. Derajat retardasi
mental bervariasi, mulai dari retardasi mental ringan (IQ:50-70) hingga sedang (IQ:35-
49), dan kadang (jarang) ditemukan retardasi mental berat (IQ: 20- 34). Rerata derajat
retardasi mental pada anak sindrom Down adalah ringan dan sedang.
5) Gangguan Muskuloskeletal
Anak-anak dengan sindrom Down berisiko lebih tinggi mengalami penurunan massa otot
karena hipotonia, peningkatan kelemahan ligamen yang menyebabkan keterbelakangan
keterampilan motorik kasar dan dapat mengakibatkan dislokasi sendi. Pasien-pasien ini
juga mengalami kekurangan vitamin D karena beberapa faktor seperti paparan sinar
matahari yang tidak memadai, asupan vitamin D yang tidak memadai, malabsorpsi
sekunder akibat penyakit celiac, peningkatan kerusakan karena terapi antikonvulsan, dan
beberapa faktor lainnya. Faktor-faktor ini meningkatkan risiko penurunan massa tulang
pada anak-anak dengan sindrom Down dan mempengaruhi mereka untuk mengalami
patah tulang berulang.
6) Gangguan Endokrinologis
Disfungsi kelenjar tiroid paling sering dikaitkan dengan sindrom Down. Hipotiroidisme
dapat bersifat bawaan atau didapat kapan saja selama hidup.
7) Kelainan Bias dan Kelainan Penglihatan
Kelainan mata dan orbital sering terjadi pada anak-anak dengan sindrom Down. Ini
termasuk blefaritis (2-7%), keratoconus (5-8%), katarak (25% hingga 85%), kelainan
retina (0% hingga 38%), strabismus (23% hingga 44%), ambliopia (10% ). hingga 26%),
nistagmus (5% hingga 30%), kelainan refraksi (18% hingga 58%), glaukoma (kurang dari
1%), anomali iris (38% hingga 90%) dan anomali saraf optik (sangat sedikit kasus) .
8) Gangguan Otorhinolaryngological ( THT )
truktur anatomi telinga pada pasien sindrom Down merupakan faktor predisposisi
terjadinya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya konduktif karena
impaksi serumen dan patologi telinga tengah yang meliputi efusi telinga tengah kronis
akibat tuba eustachius kecil, otitis media akut, dan perforasi gendang telinga. Pasien-
pasien ini biasanya memerlukan tabung pemerataan tekanan untuk pengobatan.
Gangguan pendengaran sensorineural juga dikaitkan dengan sindrom Down karena
kelainan struktural pada telinga bagian dalam seperti saluran pendengaran internal yang
sempit.

Diagnosis

Diagnosis Sindrom Down dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik (diagnosis klinis) dan
pemeriksaan sitogenetika (pemeriksaan laboratorium dengan melihat kromosom) untuk
memastikan jenisnya dengan pemeriksaan gold standard. Pentingnya pemeriksaan ini bukan
untuk kesembuhan secara total, tetapi untuk menentukan jenis sindrom Down diturunkan atau
tidak sehingga dapat dilakukan konseling genetika dan edukasi kepada orag tua mengenai risiko
diturunkan atau tidak pada anak selanjutnya.9

Ada beberapa metode berbeda yang digunakan untuk diagnosis prenatal sindrom Down.
Ultrasonografi antara usia kehamilan 14 dan 24 minggu dapat digunakan sebagai alat diagnosis
berdasarkan penanda lunak seperti peningkatan ketebalan lipatan nukal, tulang hidung kecil atau
tidak ada sama sekali, dan ventrikel besar. Amniosentesis dan pengambilan sampel vilus
korionik telah banyak digunakan untuk diagnosis, namun terdapat risiko keguguran yang kecil
antara 0,5% hingga 1%.

Beberapa metode lain juga telah dikembangkan dan digunakan untuk deteksi cepat trisomi 21
baik selama kehidupan janin maupun setelah lahir. Yang paling umum digunakan adalah FISH
inti interfase dengan menggunakan probe spesifik 21 atau seluruh 21. Metode lain yang saat ini
digunakan adalah QF-PCR, dimana keberadaan 3 alel berbeda ditentukan dengan menggunakan
penanda polimorfik DNA. Keberhasilan metode ini bergantung pada penanda informatif dan
keberadaan DNA. Diketahui hingga 86,67% kasus sindrom Down dapat diidentifikasi dengan
menggunakan metode penanda STR.

Metode yang relatif baru yang disebut kuantifikasi urutan paralog (PSQ) menggunakan urutan
paralog pada nomor salinan 21. Ini adalah metode berbasis PCR yang menggunakan gen paralog
untuk mendeteksi kelainan jumlah kromosom yang ditargetkan yang dikenal sebagai kuantifikasi
urutan paralog.

Ada metode diagnostik prenatal non-invasif yang sedang dipelajari untuk digunakan dalam
diagnosis sindrom Down sebelum melahirkan. Hal ini didasarkan pada keberadaan sel janin
dalam darah ibu dan adanya DNA janin bebas sel dalam serum ibu.

DNA janin bebas sel membentuk 5% hingga 10% plasma ibu, dan meningkat selama kehamilan
dan hilang setelah melahirkan. Meskipun metode ini telah digunakan untuk menentukan status
Rh janin pada wanita Rhive, jenis kelamin pada gangguan terkait seks, dan untuk mendeteksi
sifat resesif dan dominan autosomal yang diturunkan dari pihak ayah, namun metode ini
digunakan untuk menentukan status Rh janin. Deteksi aneuploidi kromosom khususnya trisomi
masih menjadi tantangan.

Beberapa metode terbaru lainnya seperti PCR digital dan pengurutan generasi berikutnya (NGS)
juga sedang dikembangkan untuk diagnosis sindrom Down.7

Tatalaksana

Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Down syndrome bertujuan untuk memperbaiki
kualitas hidup dan memperpanjang usianya. Adapun bentuknya adalah sebagai berikut: 10

1. Perawatan Medis
a. Terapi fisik
Kinetic exercise dapat meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bagian atas. Teknik
ini dilakukan untuk meningkatkan stabilitas pergelangan dan jari-jari tangan,
mengontrol gerakan, serta ketepatan gerakan yang dilakukan oleh sendi ini. Teknik
ini akan meningkatkan kondisi klien secara umum
b. Occupational therapy
Terapi ini dilakukan dengan mempertimbangan dan memperhatikan berbagai unsur
yang ada pada individu seperti pengkajian pada faktor fisik, status psikologis dan
sosial, evaluasi terhadap keluarga dan lingkungan sosial, dan evaluasi terhadap profil
occupasional dan penampilan yang ditunjukkan. Pelaksanaannya dapat dilakukan
menggunakan aktivitas fisik dan fungsional berdasarkan pada pendekatan neurofisik.
c. Speech therapy
d. Pemeriksaan pendengaran
e. Hormon tiroid untuk hipotiroidism
f. Perawatan medis untuk CHD melalui pemberian digitalis dan diuretik secara periodik
serta profilaksis untuk bakteri penyebab endokarditis subakut.
g. Penanganan segera untuk infeksi saluran pernafasan dan telinga.
h. Pemberian vaksin pneumococcus dan influenza untuk anak dengan penyakit jantung
kronik dan penyakit pernafasan.
i. Pemberian antikonvulsan untuk kejang.
j. Pemberian obat-obatan, terapi perilaku, dan psikoterapi untuk gangguan perilaku dan
psikiatrik. 167
k. Perawatan kulit dengan cara mengurangi berat badan, personal hygiene, dan
pemberian antibiotik.
l. Pencegahan karies gigi dan penyakit gigi yang lain dengan cara melakukan perawaan
gigi yang sesuai, fluroide treatments, dan penerapan kebiasan makan yang baik.
2. Operasi
a. Operasi berkala pada abnormalitas jantung untuk mencegah komplikasi yang serius.
b. Operasi yang berhubungan dengan gangguan gastrointestinal meliputi: TE fistula,
pyloric stenosis, duodenal atresia, annular atresia, aganglionic megacolon, dan
imperforate anus.
c. Adenotonsillectomy diperlukan untuk mengatasi obstructive sleep apnea.
d. Operasi untuk mengatasi congenital cataracts.
e. Anesthetic airway management:
i. Mengevaluasi sesacara tepat jalan nafas dan statusneurologis.
ii. Cervical spine radiotherapy.
iii. Mencegah kepala hyperextension selama laringoskopi dan intubasi.
iv. Meresepkan antikolinergik untuk mengontrol hipersekresi jalan nafas.
v. Waspada terhadap kemungkinan komplikasi jalan nafas.

Prognosis

Dengan kemajuan terkini dalam praktik medis, pengembangan teknik bedah untuk koreksi cacat
bawaan dan peningkatan pelayanan umum, telah terjadi peningkatan luar biasa dalam
kelangsungan hidup bayi dan harapan hidup pasien dengan sindrom Down. Sebuah penelitian di
Birmingham (Inggris) yang dilakukan hampir 60 tahun yang lalu menunjukkan bahwa 45% bayi
dapat bertahan hidup pada tahun pertama kehidupannya, dan hanya 40% yang dapat hidup pada
usia 5 tahun. Penelitian selanjutnya yang dilakukan sekitar 50 tahun setelah itu menunjukkan
78% pasien dengan sindrom Down ditambah kelainan jantung bawaan bertahan selama 1 tahun,
sementara jumlahnya meningkat hingga 96% pada pasien tanpa kelainan tersebut. Peningkatan
angka harapan hidup pasien ini seharusnya terus meningkat secara signifikan karena
perkembangan ilmu kedokteran. Fasilitas layanan kesehatan bertujuan untuk memberikan
penatalaksanaan yang tepat dan tepat waktu kepada pasien-pasien ini dan membantu mereka
mendapatkan kehidupan yang memuaskan dan produktif. 7 Setiap penyandang sindrom Down
mempunyai keterbelakangan yang berbeda skalanya, namun tidak menutup kemungkinan adanya
kekuatan atau kelebihan bakat pada setiap individu. Anak Sindrom Down dapat melakukan
kegiatan seperti anak lainnya meski tentunya lebih lambat daripada anak yang bukan penyandang
Sindrom Down. Sindrom Down tidak bisa disembuhkan namun dengan dukungan dan perhatian
maksimal anakanak SD dapat tumbuh kembang dengan bahagia dan optimal dan mempunyai
angka kelangsungan hidup yang panjang mencapai usia 47 tahun. Sudah banyak komunitas
penyandang sindrom Down seperti Ikatan Sindrom Down Indonesia yang mempunyai visi untuk
membangkitkan rasa percaya diri dengan mengenali potensi masing-masing.9

Konseling dan Edukasi

Pendidikan orang tua adalah salah satu aspek terpenting dalam penanganan sindrom Down,
karena orang tua perlu mewaspadai berbagai kemungkinan kondisi yang terkait dengannya
sehingga mereka dapat didiagnosis dan diobati dengan tepat. Pengobatan pada dasarnya bersifat
simtomatik dan pemulihan total tidak mungkin dilakukan. Walaupun masa hidup telah
meningkat selama 3 dekade terakhir, orang-orang ini masih mempunyai harapan hidup yang
lebih pendek dibandingkan dengan orang sehat. 7 Langkah yang dapat diambil adalah dengan
konseling genetika yang dimana merupakan sebuah proses membantu seseorang untuk
memahami dan beradaptasi terhadap efek medis, psikologis, implikasi keluarga, dan
kontribusi genetik terhadap suatu penyakit. Proses ini meliputi:

1) Interpretasi riwayat keluarga dan anamnesa medis untuk mengetahui kemungkinan


terjadinya penyakitnya atau kekambuhan penyakit dalam keluarga.
2) Mengedukasi tentang pola penurunan penyakit, pemeriksaan, menejemen, pencegahan,
sumber daya, dan penelitian yang berkaitan dengan penyakit.

Tujuan dari proses konseling genetik adalah untuk membantu individu atau keluarga
untuk mengetahui dan memahami manajemen penyakit, prognosis, dasar genetik dan
kemungkinan kekambuhan, pilihan perawatan atau pemeriksaan genetik dan membantu mereka
untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi mereka pribadi dan keluarga.8

Daftar Pustaka

1. Bejaoui Y, Alresheq S, Durand S, Vilaire-Meunier M, Maillebouis L, Zen AAH,


Mégarbané A, Hajj NE. DNA methylation profiling in Trisomy 21 females with and
without breast cancer. Front Oncol. 2023 Jul 19;13:1203483. doi:
10.3389/fonc.2023.1203483. PMID: 37538118; PMCID: PMC10395079.
2. Irawan R. Kelainan Genetik dan Diagnosis Sindrom Down. Surabaya : Airlangga
University Press. 2021.
3. Apriliani, Syahna, and Siti Ariffatus Saroh. "Seorang Anak Laki-Laki Usia 1 Tahun
Sindrom Down dengan Hipotiroid Kongenital Suspek Bronkitis: Laporan
Kasus." Proceeding Book Call for Papers Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta (2022): 69-81.
4. Bittles AH, Glasson EJ. Implikasi klinis, sosial, dan etika dari perubahan harapan hidup
pada sindrom Down. Neurol Anak Dev Med. April 2004; 46 (4):282-6. [ PubMed ]
5. Asim A, Kumar A, Muthuswamy S, Jain S, Agarwal S. "Down syndrome: an insight of
the disease". J Biomed Sci. 2015 Jun 11;22(1):41. [PMC free article] [PubMed]
6. Shin M, Siffel C, Correa A. Survival of children with mosaic Down syndrome. Am J Med
Genet A. 2010;152A:800-1.
7. Akhtar F, Bokhari SRA. Down Syndrome. [Updated 2023 Aug 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526016/
8. Setiawan, Henri, et al. Pengetahuan Dasar Konseling Genetik Pada Pasien Thalasemia.
Purbalingga : Eureka Media Aksara. 2021 Oct;81.
9. Sari MGK. Sindrom Down Pada Anak [Internet]. 2021 [cited 2023 Oct 3]. Available
from: https://rs.uns.ac.id/hari-down-syndrome-sedunia/#:~:text=Sindrom%20Down
%20berkaitan%20dengan%20disabilitas,Down%20adalah%20ringan%20dan%20sedang
10. Erawati M, Safitri N. Buku Ajar Konseling dalam Perawatan. Lembaga Pengembangan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Semarang : Universitas Diponegoro. 2014;147-180.

Anda mungkin juga menyukai