Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
TAHUN 2023/2024
A. Anak Berkebutuhan Khusus ASD/autisme
Di dunia angka kejadian anak dengan gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD)
terus mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan dari data Center for Disiase Control
and Prevention (CDC) tahun 2008 menyatakan bahwa prevalensi angka kejadian anak
dengan ASD ialah 1: 8 dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2013 yaitu 1:50 di
Amerika Serikat Hal ini didukung data UNESCO ( United Nations Educational, Scientific,
and Cultural Organization) tahun 2011 mencatat 35 juta jiwa anak mengalami gangguan
ASD (Onibala, Dundu & Kondou ,2016). Anak dengan gangguan ASD di Indonesia
diperkirakan terus mengalami peningkatan berdasarkan Badan Statistik tahun 2010
menyebutkan 500 jiwa atau 1,14 % mengalami gangguan ASD dari total populasi 237,5
juta jiwa penduduk. Di Pontianak data anak dengan gangguan ASD berdasarkan laporan
sekolah berkebutuhan khusus dan pusat autism kota Pontinak pada tahun 2014 terdapat 81
anak yang terdiagnosis ASD dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2015 yang
mencapai 130 anak dengan gangguan ASD yang terdiri dari 61 anak (< 10 tahun), 66
remaja ( 10-19 tahun),dan 3 orang dewasa (> 19 tahun) ( Lestari, Herini &
Gamayanti,2017).
ASD merupakan gangguan perkembangan yang dialami oleh anak secara kompleks
baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik pada anak (Bregman, & Higdon, 2012).
Anak dengan gangguan ASD biasanya ditandai dengan gangguan sosial, komunikasi, serta
gangguan prilaku berulang pada anak (American Pchyatric Association dalam Maye,
2016).
Pelatihan toilet tranning adalah usaha untuk melatih anak agar memiliki kemampuan
mengendalikan perilaku BAK dan BAB. Tindakan pelatihan toilet tranning pada anak
membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis, dan intelektual. Persiapan
kemandirian toilet training sejak dini anak dapat mengenali urgensi untuk mengeluarkan
dan menahan sensasi eliminasi (Hidayat dalam Mahmudah, 2016).
Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya
perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu
kepribadian anak dimana anak cenderung minder dan tidak percaya diri, bersikap keras
kepala dan kikir. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka
anak dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh,
suka membuat gara-gara, emosional dan seenaknya dalam kegiatan sehari-hari (Hidayat,
2009). Selain itu Toilet training yang tidak tepat juga dapat menimbulkan beberapa
masalah yang dialami anak seperti sembelit, menolak toileting, disfungsi berkemih, infeksi
saluran kemih, dan enuresis (Hockenberry & Wilson, 2012).
Anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan ASD biasanya
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar keterampilan. Oleh karena itu
diperlukan suatu pelatihan khusus yang berulang untuk meningkatkan keterampilan anak
dengan gangguan ASD (Kratz & McClannahan dalam Farrier, 2017).
B. Anak Berkebutuhan Khusus ADHD/Hiperaktivitas
Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang istimewa dengan jenis
dan karakteristik yang berbeda dibandingkan anak pada umumnya. Dalam perkembangan
mereka, banyak orang yang mengalami gangguan, hambatan, atau keterlambatan, yang
merupakan faktor-faktor yang berpotensi berbahaya. Untuk mencapai perkembangan yang
optimum, mereka memerlukan pendidikan atau penanganan khusus. Sementara itu, anak
berkebutuhnan khusus juga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar
dan kebutuhan individunya, sesuai dengan individu yang berbeda beda dan sesuai dengan
perkembangan pengakuan terdahap azas manusia termasuk anak-anak ini. Agar
mendapatkan peran, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek
pembangunan. Anak berkebutuhan khusus anak istimewa yang memerlukan pelayanan
khusus seperti pelayanan medis, pelayanan pendidikan khusus, dan pelatihan khusus yang
bertujuan untuk mengatasi keterbatasan atau ketergantungan akibat kelainan dan penyakit
yang dideritanya, mereka sering dibedakan dari anak biasa dalam kehidupan di masyarakat
(Hamzar, 2012).
Anak-anak dengan ADHD tertinggal jauh dari anak-anak lain dalam hal
pendidikan. Jika gangguan tersebut tidak ditangani sejak dini, akan mengalami hambatan
kemampuan belajar, berkurangnya rasa percaya diri dan tentunya akan mempengaruhi
keoptimalan tumbuh kembang anak serta mengalami masalahmasalah lain yang
mempunyai potensi efek berkepanjangan (Baihaqi & Sugiarmin, 2006). Penyebabnya
masih belum diketahui diduga berkaitan dengan faktor genetika dan lingkungan (Sugeng
et al., 2021). Untuk itu, anak dengan ADHD perlu mendapatkan pendampingan secara
khusus dari orang tua maupun guru.
Banyak pakar ahli kesehatan mencoba mengembangkan metode intervensi untuk
mangatasi masalah anak-anak dengan ADHD. Intervensi yang dapat dilakukan pada anak
ADHD untuk mengatasi kurangnya kosentrasi pada anak ADHD dengan cara diet makan,
terapi obat-obatan dan play therapy. Terapi nutrisi dan diet digunakan terutama dalam
pengobatan penderita ADHD. Terapi ini bertujuan untuk mengatur zat-zat makanan yang
bisa menyebabkan alergi.
Kebutuhan makanan anak berkebutuhan khusus saat ini harus memenuhi gizi yang
beragam, bergizi dan seimbang. Pemberian snack makanan di ajurkan selama dua atau
empat minggu serta menghindari makanan yang memprovikasi peningkatan terjadinya
gangguan hiperaktif. Makanan ataupun snack selingan dapat menyumbangkan energi
sekitar 25% AKG. Makanan anak terutama anak berkebutuhan khusus (ADHD)
mengandung zat gizi yang cukup, terutama yang menyediakan karbohidrat, protein dan
kalsium yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan tubuh selama tumbuh kembang. Ada
beberapa makanan yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada anak berkebutuhan khusus
(ADHD) seperti gula, susu sapi, gandum, coklat, telur. Selain itu, anak-anak berkebutuhan
khusus (ADHD) harus menghindari konsumsi gluten dan kasein karena secara umumnya
tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Gluten adalah 7 protein yang bersifat khas yang
terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten
terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Gliadin adalah jenis protein
glutein khusus yang dibentuk oleh glutein dan biasanya ditemukan pada makanan gandum
dan barley. Sedangkan kasein adalah protein kompleks yang ditemukan dalam susu yang
cenderung mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang
kompak. Demikian pula dengan anak berkebutuhan khusus sangat membutuhkan makanan
yang berkualitas bagi tubuhnya dan perlu mencerna dan mengkonsumsi makanan untuk
memenuhi kebutuhan gizinya.
Onibala, E. M., Dundu, A. E., & Kandou, L. F. (2016). Kebiasaan makan pada anak
gangguan spektrum autisme. e-CliniC, 4(2).
Lestari, L., Herini, E. S., & Gamayanti, I. L. (2017). Main Caregiver’s Experience
In Meeting Self-Care Needs Among Adolescents With Asd In Pontianak Municipality,
West Borneo, Indonesia: A Qualitative Study. Belitung Nursing Journal, 3(4), 316-328.
Maye, M. P., Kiss, I. G., & Carter, A. S. (2016). Definitions and Classification of
Autism Spectrum Disorders. Autism Spectrum Disorders: Identification, Education, and
Treatment, 1.
Machmudah, M. (2016). The Effectiveness Of The Psychoeducation Toilet
Training With Demonstration Video And Card Picture Toward Increasing Mother’s
Knowledge And Ability To Toilet Training Toddler In Informal School Play Group.
Surabaya : Universitas Nadhatul Ulama Surabaya.
Hidayat, A. Aziz. (2009). Pengantar ilmu kesehatan anak 1. Jakarta: Salemba
Medika.
Hockenberry & Wilson. (2012). Essentials of Pediatric Nursing. (Eighth Edition).
St.Louis, Missouri : Mosby Elsevier.
(Zahroh et al., 2023)Zahroh, A., Jurusan, F., Anak, P., Dini, U., Tarbiyah, I., &
Keguruan, D. (2023). Variasi Menu Sehat Dan Etika Makan Anak Berkebutuhan Khusus
(Adhd) Dalam Progam Diet Di Paud Griya Ananda Karangploso. 2(1), 57–68.
http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/jpaui
S. Ren et al., “Altered gut microbiota correlates with cognitive impairment in Chinese
children with Down’s syndrome,” Eur. Child Adolesc. Psychiatry, vol. 31, no. 1, pp. 189–
202, Jan. 2022, doi: 10.1007/s00787-021-01799-2.
V. Sideropoulos, H. Kye, D. Dukes, A. C. Samson, O. Palikara, and J. Van
Herwegen, “Anxiety and Worries of Individuals with Down Syndrome During the COVID-
19 Pandemic: A Comparative Study in the UK,” J. Autism Dev. Disord., vol. 53, no. 5, pp.
2021–2036, May 2023, doi: 10.1007/s10803-022-05450-0.
M. Koizumi and M. Kojima, “Syntactic development and verbal short-term memory
of children with autism spectrum disorders having intellectual disabilities and children with
down syndrome,” Autism Dev. Lang. Impair., vol. 7, p. 239694152211096, Jan. 2022, doi:
10.1177/23969415221109690.
S. Dragonieri, G. E. Carpagnano, and S. Caccamese, “S-Adenosylmethionine May
Mitigate Obstructive Sleep Apnea in an Adult with Down Syndrome: A Case Report,” Nat.
Sci. Sleep, vol. Volume 14, pp. 175–178, Feb. 2022, doi: 10.2147/NSS.S350350.
M. O. Ede, C. I. Okeke, and P. E. Obiweluozo, “Intervention for Treating Depression
in Parents of Children with Intellectual Disability of Down’s Syndrome: A Sample of
Nigerian Parents,” J. Ration. Cogn. Ther., vol. 41, no. 3, pp. 511–535, Sep. 2023, doi:
10.1007/s10942-022-00471-1.
S. Serel Arslan, “Swallowing Related Problems of Toddlers with Down Syndrome,”
J. Dev. Phys. Disabil., vol. 35, no. 4, pp. 697–707, Aug. 2023, doi: 10.1007/s10882- 022-
09875-4.