Anda di halaman 1dari 36

PENGARUH TERAPI BERMAIN TERHADAP KEMAMPUAN

MOTORIK HALUS ANAK DOWN SYNDROME

TUGAS

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas mata kuliah Metodologi


Keperawatan

Oleh:
DIVANDRIA ANANTA SUCITA
201211733
Kelas 3B

Dosen Pengampu:
Ns. Lenni Sastra, S.Kep, M.S

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses tumbuh kembang anak berlangsung secara teratur, saling berkaitan
dan berkesinambungan sejak awal konsepsi sampai dewasa, usia sekolah anak
mulai membangun prilaku yang sehat, belajar keterampilan fisik, keterampilan
motorik meningkat dan mengembangkan keterampilan dasar seperti menulis,
membaca dan berhitung .Sindrom Down adalah suatu kondisi di mana seseorang
memiliki kromosom ekstra. Kromosom adalah "paket" kecil gen dalam
tubuh. Mereka menentukan bagaimana tubuh bayi terbentuk dan berfungsi saat
tumbuh selama kehamilan dan setelah lahir. Biasanya, bayi lahir dengan 46
kromosom. Bayi dengan sindrom Down memiliki salinan ekstra dari salah satu
kromosom ini, kromosom 21.
Tiap-tiap tahap perkembangan memiliki potensi gangguan perkembangan
yang berbeda tergantung pada fase perkembangan yang dialami setiap anak. Pada
anak usia sekolah gangguan perkembangan yang mungkin terjadi yaitu gagal
sekolah, gangguan perkembangan koordinasi, retardasi mental, gangguan bicara
dan bahasa (Fadhli, 2010). Salah satu gangguan perkembangan tersebut adalah
Down Syndrom. Down Syndrome terjadi karena kelainan kromosom, yaitu
(trisomy 21) akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri
saat terjadi pembelahan (Fadhli, 2010).
Umumnya anak Down Syndrom usia sekolah masih mengalami
keterlambatan dalam hal kemampuan motorik, dimana gangguan yang sering
terjadi salah satunya yaitu kemampuan menulis. Anak Down Syndrom pada usia
ini masih kesulitan melakukan koordinasi antara mata dan tangan serta kurangnya
kemampuan ketangkasan jari-jemari. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
anak Down Syndrom memiliki kekuatan otot yang lemah bila dibandingkan
dengan anak normal (Gunarhadi, 2005).
World Health Organization (WHO) memperkirakan ada 8 juta
penderita Down Syndrome di seluruh dunia. Dengan estimasi kejadian 1 : 1.000
per kelahiran atau sekitar 3.000 hingga 5.000 kelahiran anak di dunia yang
mengalami kondisi tersebut. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun
2010 hingga 2018 kasusdown syndrome di Indonesia cenderung meningkat. Riset
terbaru tahun 2018 menunjukkan data kecacatan sejak lahir anak usia 24 hingga
59 bulan sebanyak 0, 41 persen. Berdasarkan riset yang dilakukandown
syndrome menyumbang kecacatan terbesar hingga 0,21 persen dari jumlah
tertimbang 57, 361.
Di Indonesia sendiri, sebagaimana negara berkembang lainnya, kelainan
ini belum mendapat cukup perhatian. Menurut catatan Indonesia Centre for
Biodiversity dan Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari
300 ribu anak pengidap Down Syndrome. Meskipun orang tua dari segala usia
mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita Down Syndrome,
tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun
(Aryanto,2008).
Indonesia dengan sekitar 5 juta kelahiran hidup, maka akan dijumpai
sekitar 5000 kasus baru Down Syndrom setiap tahunnya. Keadaan ini dapat
menjadi masalah besar dalam bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja,
maupun pendanaan yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah tersebut.
Secara statistik ditemukan lebih banyak dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih
dari 30 tahun dan juga jarang ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
masih muda (Malino, 2013)..
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat
menyatakan bahwa di Sumatera Barat sendiri belum ada data resmi tentang
penderita anak Down Syndrome, dikarenakan kehadiran anak Down Syndrome
tidak menetap tiap semester. Jumlah SLB yang ada di Sumatera Barat tahun 2013-
2014 sebanyak 126 sekolah, tahun 2014-2015 sebanyak 127 sekolah. Dari hasil
penelusuran jumlah penyandang Down Syndrome di sekolah luar biasa dari 13
sekolah yang menangani masalah Down Syndrome pada anak terdapat jumlah
penderita Down Syndrome yang ditangani di sekolah tersebut berjumlah 209
orang. Jumlah tersebut belum termasuk penyandang Down Syndrome yang belum
diketahui oleh Dinas Pendidikan.
Di kota Padang sendiri, pada tahun 2013-2014 terdapat 36 SLB yang
menangani anak berkebutuhan khusus. Tahun 2014-2015 sebanyak 37 SLB yang
menangani anak berkebutuhan khusus. Dimana tercatat jumlah anak berkebutuhan
khusus sebanyak 761 orang untuk tingkat SD dan 151 orang untuk tingkat SMP
dari 37 SLB yang ada dikota Padang yang terdiri dari laki- laki dan perempuan..
Belum berkembangnya kemampuan motorik halus anak disebabkan
berbagai faktor, dimana anak malas untuk menggerakkan jari-jemarinya, anak
lebih suka bermain dengan dunianya sendiri, anak kesulitan mengkoordinasikan
jari-jemarinya, kurangnya latihan dalam meningkatkan kemampuan motorik halus
anak, keterbatasan terapis dalam pemberian terapi, dan lemahnya keadaan daya
tangkap anak itu sendiri.
Anak- anak tersebut masih kesulitan untuk mengkoordinasikan gerakan
tangannya serta malas untuk menggerakkan jari jemarinya dalam meremas
adonan. Hal ini juga terlihat saat anak disuruh menulis, mereka mengalami
kesulitan dalam memegang pensil dan menulis apa yang diperintahkan seperti
menghubungkan garis vertikal dan horizontal mereka masih memerlukan bantuan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dekayati (2014) dengan judul Pengaruh terapi bermain menyusun menara donat
terhadap peningkatan kemampuan motorik anak Down Syndrome usia sekolah di
SLB Negeri Semarang, dimana perbedaannya hanya pada terapi yang diberikan.
Pada penelitian ini peneliti memberikan terapi meremas adonan, didapatkan hasil
bahwa kemampuan motorik halus anak Down Syndrom sesudah diberikan terapi
bermain berkembang sangat baik.
Hal ini sesuai dengan teori Janet dalam Anggani (2005) motorik halus
adalah gerakan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu, yang tidak
membutuhkan tenaga besar yang melibatkan otot besar, tetapi hanya melibatkan
sebagian anggota tubuh yang dikoordinasikan (kerja yang seimbang) antara mata
dengan tangan atau kaki. Tujuan dari melatih motorik halus adalah untuk melatih
anak agar terampil dan cermat menggunakan jari- jemari dalam kehidupan sehari-
hari, dimana semakin anak dilatih maka kemampuan motoriknya bisa semakin
meningkat.
Namun dalam penelitian ini juga ditemukan 1 orang anak yang berada
dikelas I tidak mengalami perkembangan motorik halus sesudah diberikan terapi
bermain, hal ini dikarenakan kurangnya daya tangkap anak itu sendiri serta
kurangnya keinginan anak untuk mengikuti terapi yang diberikan oleh peneliti,
anak lebih suka melakukan akivitas yang disukai.
Untuk anak Down Syndrom yang berada dikelas III mengalami
perkembangan motorik halus yang berbeda-beda, dimana 3 orang anak mampu
menulis dengan baik, rapi, sesuai perintah dan tanpa bantuan dan memperoleh
score 16 sedangkan 2 orang anak lagi masih belum rapi dalam menulis.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan rata-
rata perkembangan motorik halus sebelum diberikan terapi bermain adalah 5,08
dan sesudah diberikan terapi bermain didapatkan rata-rata tingkat perkembangan
motorik halus anak Down Syndrome meningkat menjadi 12,46. Berdasarkan
analisa uji wilcoxon diperoleh nilai p = 0,002 artinya ada pengaruh terapi bermain
terhadap kemampuan motorik halus anak Down Syndrom.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Budiman (2008)
menunjukkan rata-rata kemampuan motorik anak down syndrome sebelum
diberikan alat permainan edukatif (APE) adalah 0,7681 dan sesudah diberikan alat
permainan edukatif (APE) adalah 2,4783. Nilai signifikasi yang didapat adalah
0,000 atau > P Value 0,05.
Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau
mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran menjadi
kreatif, mempersiapkan diri untuk memperoleh score 12-14. Peningkatan
kemampuan motorik halus anak-anak tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti kurangnya latihan yang diberikan kepada anak, lemahnya kemampuan otot
anak untuk menggerakkan tangan dan jari-jemari.
Dalam hal ini dapat dilihat terapi bermain mempunyai kontribusi dalam
peningkatan perkembangan motorik halus anak Down Syndrome. Dimana tujuan
terapi bermain adalah anak dapat mengembangkan kreatifitas dan meningkatkan
kekuatan gerakan jari jemari serta meningkatkan kemampuan koordinasi antara
mata dan tangan. Diharapkan untuk terapi yang berkelanjutan dan terus menerus
maka responden dapat mengembangkan kemampuan motorik halusnya untuk
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dekayati (2014) Kemampuan
motorik halus anak Down Syndrome terdapat peningkatan diperoleh data sebelum
diberikan terapi yang mampu sebanyak 9 anak (30%) dan setelah diberikan terapi
bermain anak yang mampu menjadi sebanyak 16 anak (53,3%).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini, yaitu : “Apakah ada pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan
motorik halus anak down syndrome?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan motorik halus
anak down syndrome.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui bagaimana pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan
perkembangan motorik halus pada anak penderita down syndrome .
b. Mengetahui rerata skor kemampuan motorik halus setelah diberikan
terapi bermain pada anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan
motorik halus .
c. Mengetahui perbedaan skor perkembagan motorik halus sebelum dan
setelah diberikan terapi bermain pada anak-anak yang mengalami
gangguan motorik halus pada anak down syndrome.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian tentang terapi bermain pada anak down syndrome ini diharapkan
dapat menjadi sumber masukan bagi tenaga kesehatan/perawat sebagai salah
satu terapi non farmakologis untuk meningkatkan perkembangan
kemampuan motorik halus pada anak.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan masukan dalam bidang ilmu terkait khususnya dalam ilmu
riset keperawatan. Sebagai masukan bagi peserta didik untuk mengetahui
terapi non farmakologis dalam meningkatkan perkembangan motorik halus
pada anak yang mengalami gangguan perkembangan motorik halusnya serta
sebagai informasi untuk dijadikan masukan tambahan dalam pendidikan
terutama mata kuliah keperawatan anak.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau data pembanding untuk
penelitian yang akan datang dalam melaksanakan penelitian yang berkaitan
dengan terapi bermain terhadap peningkatan perkembangan motorik halus
pada anak yang mengalami gangguan down syndrome.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

A.Konsep Terapi Bermain


1. Pengertian Terapi Bermain
Terapi bermain adalah terapi yangmenggunakan alat-alat permainan
dalam situasi yang sudah dipersiapkan untuk membantu anak mengekspresikan
perasaannya,baik senang,sedih,marah,dendam,tertekan,atau emosi yang
lain.Bermain dilakukan dengan sukarela/spontan, untuk mendapatkan kepuasan
atau kegembiraan. Bermain adalah menyenangkan dan mengasyikkan. Bermain
dengan imajinasi dan fantasi, memungkinkan anak mengeksplorasi dunia
mereka, pertama melalui perasaan mereka dan kemudian menggunakan pikiran
dan logika. Melalui eksperimentasi bermain anak-anak menemukan bahwa
merancang sesuatu yang baru dan berbeda, dapat menimbulkan kepuasan.
Selanjutnya, mereka dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar
dunia bermain.
Menurut Landreth (2001), bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat
kompleks dan multi dimensional yang berubah secara signifikan seiring
pertumbuhan dan perkembangan anak.Bermain dilakukan dengan
sukarela/spontan, untuk mendapatkan kepuasan atau kegembiraan. Bermain
adalah menyenangkan dan mengasyikkan. Bermain dengan imajinasi dan
fantasi, memungkinkan anak mengeksplorasi dunia mereka, pertama melalui
perasaan mereka dan kemudian menggunakan pikiran dan logika. Melalui
eksperimentasi bermain anak-anak menemukan bahwa merancang sesuatu
yang baru dan berbeda, dapat menimbulkan kepuasan. Selanjutnya, mereka
dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar dunia bermain.
Menurut Saputro (2017), terapi bermain sangat penting untuk
kesejahteraan psikologis, emosional dan sosial anak. Terapi bermain ini bisa di
lakukan di dalam ruangan dan juga di luar ruangan. Biasanya anak yang
berusia 3-12 melakukan terapi bermain ini. Terapi ini dilakukan dalam bentuk
permainan dimana anak akan berhubungan dengan orang lain, lalu mengenal
dan bisa mengungkapkan apa yang di rasakannya karena saat bermain, anak
cenderung akan menunjukkan perasaan batin dan emosinya. Terapis akan
melihat dan menganalisa masalah apa yang dialami anak saat bermain itu.
2. Tujuan Terapi Bermain

Bermain di rumah sakit memberikan banyak manfaat,beberapa manfaat


diantaranya adalah,dapat memberikan pengalihan dan menyebabkan
relaksasi,membantu anak merasa lebih aman di lingkungan yang asing,membantu
mengurangi stres,serta sebagai alat untuk menciptakan tujuan terapi.

Supartini (2014) menjelaskan tujuan terapi bermain yaitu untuk melanjutkan


pertumbuhan dan perkembangan normal. Selain itu tujuan terapi bermain juga
antara lain yaitu :

 Menciptakan suasana kondusif bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri


mereka
 Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, menilik anggaran sosial &
mengatasi perkara mereka
 Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi & mencoba
sesuatu baru
Pada masa ini bermain mempunyai tujuan sebagai berikut :
1) Mengembangkan kemampuan bahasa, berhitung, serta menyamakan
dan membedakan.
2) Merangsang daya imajinasi
3) Menumbuhkan sportivitas, kreativitas dan kepercayaan diri.
4) Memperkenalkan ilmu pengetahuan, suasana gotong royong dan
kompetisi
5) Mengembangkan koordinasi motorik, sosialisasi dan kemampuan untuk
mengendalikan emosi

3.Fungsi Terapi Bermain

Terapi bermain pada anak ini berfungsi sebagai terapi yang dapat membantu
anak mengekspresikan perasaannya,baik senang,sedih,marah,dendam,tertekan
atau emosi.Berikut ini beberapa fungsi dari terapi bermain :
1) Perkembangan Sensorimotor
a) Memperbaiki koordinasi, ketrampilan motorik kasar dan halus
b) Meningkatkan perkembangan semua indera
c) Mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia
d) Memberikan pelampiasan kelebihan energi

2) Perkembangan Intelektual
a) Memberikan sumber sumber yang beranekaragam untuk
pembelajaran tentang eksplorasi dan manipulasi bentuk , ukuran,
tekstur dan warna, serta pengalaman dengan angka
b) Kesempatan untuk mempraktikkan dan memperluas ketrampilan
berbahasa
c) Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa lalu
dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan hubungan
baru
d) Membantu anak memahami dunia dimana mereka hidup dan
membedakan antara fantasi dan realita
3) PerkembanganSosialisasidanMoral
a) Mengajarkan peran orang dewasa , termasuk perilaku peran seks
b) Memberikan kesempatan untuk menguji hubungan
c) Mengembangkan ketrampilan sosial
d) Mendorong interaksi dan perkembangan sikap yang positif
terhadap orang lain
4) Kreativitas
a) Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minat yang kreatif
b) Memungkinkan fantasi dan imajinatif
c) Meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus

4. Macam-macam Terapi Bermain


Terapi pada anak berkebutuhan khusus memiliki berbagai macam sesuai
dengan kebutuhannya. Berikut jenis-jenis terapi pada anak berkebutuhan
khusus antara lain : terapi okupasi, fisioterapi, terapi wicara, terapi perilaku,
terapi biomedis, terapi remidial, terapi fisik, terapi musik dan seni, terapi
sensori integrasi, terapi bermain.
 Visualisasi kreatif
 Mendongeng
 Bermain peran
 Telepon mainan
 Topeng-topengan atau mainan binatang
 Boneka atau action figure
 Seni dan kerajinan
 Permainan air dan pasir
 Blok dan mainan konstruksi
 Tarian dan gerakan kreatif
 Permainan musik

Berbagai jenis permainan tersebut tak hanya membuat anak-anak merasa


senang, namun juga dapat memudahkan terapis untuk mengamati dan
mengatasi masalah yang dialami anak.

5.Prosedur Terapi Bermain


1. Tujuan bermain
a) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mendapat terapi bermain selama 30 menit, anak diharapkan bisa
merasa tenang selama perawatan dirumah sakit dan tidak takut lagi terhadap
perawat sehingga anak bisa merasa nyaman selama dirawat di rumah sakit.
b) Tujuan Instruksional Khusus
1) Anak merasa tenang selama dirawat
2) Anakbisamerasasenangdantidaktakutlagidengandokterdan
perawat
3) Mau melaksanakan anjuran dokter dan perawat
4) Anak menjadi kooperatif pada perawat dan tindakan
keperawatan
5) Kebutuhan bermain anak dapat terpenuhi
6) Dapat melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang
normal
7) Dapat mengekspresikan keinginan, perasaan dan fantasi anak
tentang suatu permainan
8) Dapatmengembangkankreativitasmelaluipengalamanbermain yang
tepat
9) Agaranakdapatberadaptasilebihefektifterhadapstresskarena sakit
10) Anak dapat merasakan suasana yang nyaman dan aman seperti
dirumah sebagai alat komunikasi antara perawat – klien

B. Konsep Down Syndrome


1. Definisi Down Syndrome
Down Syndrome adalah suatu kumpulan gejala dari adanya abnormalitas
kromosom yaitu kromosom 21 yang gagal mengalami meiosis sehingga
terbentuk individu dengan 47 kromosom. Faktor resiko lahirnya anak dengan
Down Syndrome yaitu kesalahan asupan makanan maupun obat-obatan saat
kehamilan, paparan radiasi, kelainan kromosom saat pembuahan dan faktor usia
saat ibu mengandung yaitu lebih dari 30 tahun (Rahma and Indrawati, 2017).
Down Syndrome memiliki fenotip kognitif yang cenderung berbeda
sehingga terdapat adanya gangguan di berbagai tingkat perkembangan seperti
perkembangan motorik, fungsi sosial emosional, perilaku dan pengaturan diri,
kognisi, perhatian, serta bahasa. Terdapat adanya gangguan intelektual seperti
gangguan pada pemrosesan visual, daya ingat jangka pendek, visuospasial, dan
imitasi. Down Syndrome juga memiliki kekuatan otot yang rendah serta gait
yang lebar sehingga menyebabkan adanya gangguan pada perkembangan
motorik yang mencangkup keseimbangan, kontrol motorik halus dan motorik
kasar, serta kekuatan otot (Esbensen et al. 2017). Selain itu, Down Syndrome
juga mengalami gangguan psikomotorik yang ditandai dengan
ketidakseimbangan kepribadian seperti agitasi, perhatian mudah teralihkan,
kurangnya konsentrasi dan kemauan, serta kesulitan dalam koordinasi gerak
(Balint 2019).

2.Penyebab Down Syndrome


Sindrom Down pada umumnya (95%) disebabkan karena gagalnya
pembelahan sel gamet (sel telur atau sperma) pada proses Meiosis
I ataupun Miosis II (non-disjunction) sehingga mengakibatkan terjadinya
kelebihan kromosom 21 sel gamet, apabila sel gamet tersebut dibuahi akan
menghasilkan bayi dengan kelebihan 1 kromosom 21 atau disebut Trisomi 21
dengan kariotip: 47, XX,+21 (Perempuan) atau 47, XY, +21 (Laki-laki).

Penyebab dari Down Syndrome ini terjadi dikarenakan kesalahan


pembelahan sel yang terjadi pada saat embrio yang disebut “nondisjunction”
embrio yang biasanya mengahsilkan 2 salinan kromosom 21, justru menghasilkan
3 salinan kromosom 21. Akibat dari hal ini, bayi menjadi memiliki 47 kromosom
bukan 46 kromosom seperti pada normalnya.

3. Klasifikasi Down Syndrome


Berdasarkan jumlah kromosom dan kelainan pada struktur , Down Sindrom
dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Trisomi 21 yaitu kelainan yang paling sering ditemui pada penderita Down
Sindrom, terdapat penambahan pada kromosom 21, sekitar 94% dari jumlah
penderita Down Sindrom adalah kejadian trisomi 21. Pada kasus ini di semua sel
dalam tubuh terajadi ekstra copy kromosom (Irwanto et al., 2019).
b) Translokasi yaitu kejadian melepasnya tambahan kromosom 21 pada waktu
pembelahaan sel lalu menempel di kromosom lainnya . Kromosom tersebut bisa
bergabung dengan bagian kromosom 13, 14, 15 serta 22. Kurang lebih 3-4 %
mengalami kejadian translokasi dari jumlah orang yang menderita Down
Syndrome (Irwanto et al., 2019). Kasus tersebut sifatnya diturunkan, jadi apabila
ada suami istri yang sebelumnya mempunyai anak dengan Down Sindrom ,
dengan demikian berpotensi pada kehamilan selanjutnya memiliki resiko tinggi
untuk mengalami kehamilan dengan Down Sindrom. (POTADS, 2019).
c) Mozaik/Mosaicis yaitu kejadian dimana kesalahan pada penyebaran kromosom
sewaktu sel membelah sesudah dibuahi, dan menyebabkan sebagian dari sel
menjadi ekstra copy 21 , sehingga menyebabkan jumlah semua selnya ada 47
kromosom, serta beberapan selnya normal, dengan jumlahnya sebanyak 46
kromosom (POTADS, 2019).

4. Tanda dan Gejala Down Syndrome


Tanda anak dengan syndrome down pada saat lahir bayi dengan Sindrom
Down mempunyai tonus otot yang lemah (floppy baby) sehingga sering
mangakibatkan bayi mengalami kesulitan minum susu yang mengakibatkan berat
badan bayi rendah.
Selain mengalami disabilitas intelektual dengan IQ berkisar antara 50-70, anak
dengan Sindrom Down mempunyai karakteristik fisik yang khas berupa:
 Kepala dan Leher: kepala kecil, mata sipit dan kecil dengan kelopak mata
yang up-slanting, hidung pesek, lidah besar (menjulur), telinga kecil dan rendah,
leher pendek
 Tangan dan Kaki: garis tangan tunggal dan lurus (simean creases), jari-jari
tangan dan kaki pendek, antara jari kaki ke-1 dan ke-2 lebar (sandal gap), kaki
bebek (flat feed)
 Perawakan pendek (short stature)

Gejala down syndrome pada anak kecil mempunyai beberapa ciri fisik yang
serupa karena adanya faktor keturunan dari orang tua dan keluarga. Ada beberapa
ciri fisik yang berperan dalam penampilan pengidap down syndrome seperti:

 Telapak tangan yang hanya memiliki satu lipatan.


 Mata miring ke atas dan ke luar.
 Berat dan panjang saat lahir dibawah berat pada umumnya.
 Mulut kecil.
 Bagian hidung kecil dan tulang hidung rata.
 Tangan lebar dengan ukuran jari yang pendek.
 Bertubuh pendek.
 Mempunyai kepala kecil.
 Lidah menonjol keluar.
 Terdapat jarak yang luas antara jari kaki pertama dan kedua.

5. Faktor Resiko Down Syndrome

1. Usia Ibu Saat Hamil

NDSS (National Down Syndrome Society) mengungkapkan jika semakin


bertambah usia pada saat kehamilan akan semakin tinggi pula probabilitas
memiliki janin dengan potensi Down Syndrome, terutama usia di atas 35 tahun.

2. Genetik Turunan Orang Tua

Dilansir dari Mayo Clinic, kurang lebih sebesar 4% kasus Down Syndrome adalah
hasil dari genetik warisan salah satu pihak orang tua. Baik pria dan wanita bisa
menjadi pembawa Down Syndrome di dalam gennya. Pembawa genetik disebut
sebagai carrier. Seorang carrier bisa tidak menunjukkan tanda atau gejala Down
Syndrome, namun ia bisa menurunkan kelainan tersebut ke janinnya, yang
menyebabkan tambahan atau salinan pada kromosom 21.

Mengutip Info Datin Kementerian Kesehatan RI, Ibu adalah carrier dengan risiko
lebih besar, dengan detail sebagai berikut:

 Jika Ayah adalah carrier, risiko Down Syndrome sekitar 3%


 Jika Ibu adalah carrier, risiko Down Syndrome berkisar antara 10-
15%

3. Pernah Melahirkan Bayi Down Syndrome Sebelumnya

Wanita yang pernah mengandung janin dengan Down Syndrome sebelumnya,


memiliki risiko 1:1000 untuk memiliki janin selanjutnya yang juga berpotensi
dapat mengidap Down Syndrome.

4. Jumlah Saudara Kandung dan Jarak Lahirnya

Menurut penelitian Institute of Medical Informatics, Biometry, and


Epidemiology di University Hospital Essen, Jerman, risiko bayi lahir dengan
Down Syndrome tergantung pada seberapa banyak saudara kandung dan seberapa
jauh jarak usia antar anak paling bungsu dengan kehamilan terkini. Risiko
memiliki bayi dengan Down Syndrome akan semakin tinggi pada ibu yang hamil
untuk pertama kali di usia yang lebih tua. Risiko ini juga akan semakin meningkat
bila jarak antar kehamilan semakin jauh.

5. Kekurangan Asam Folat

Beberapa ahli berpendapat bahwa Down Syndrome dapat dipicu oleh kerja
metabolisme tubuh yang kurang optimal dalam memecah asam folat. Penurunan
metabolisme asam folat bisa berpengaruh terhadap perubahan pada pembentukan
kromosom.

Untuk mencegah hal ini, setiap wanita yang akan berencana hamil diwajibkan
untuk mencukupi kebutuhan asam folat sejak sebelum hamil atau saat berencana
untuk menjalani program hamil. Bahkan, asupan asam folat perlu dipenuhi sejak
remaja, bukan saat hamil saja, melihat manfaatnya yang begitu banyak untuk
tubuh.

6. Faktor Lingkungan

Faktor risiko yang paling umum dan seringnya menyebabkan bayi terlahir
dengan Down Syndrome adalah paparan bahan kimia dan zat asing yang diterima
dari lingkungan sehari-hari sebelum atau selama masa kehamilan.

Polusi udara, asap kendaraan bermotor, dan air yang tercemar serta faktor
lingkungan yang buruk hingga pengunaan skincare berbahan kimia, dan
kandungan zat beracun, dapat memengaruhi pembentukan kromosom bayi
semenjak dalam kandungan. Selain itu, wanita yang merokok memiliki rantai
kromosom yang lebih pendek dari pada normalnya. Merokok saat hamil juga
dapat menyebabkan bayi lahir dengan kelainan jantung dan otak.

6. Komplikasi Down Syndrome

Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, yang di antaranya dapat


makin terlihat jelas seiring bertambahnya usia. Komplikasi tersebut antara lain:

 Sleep apnea
Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita Down syndrome bisa
menyumbat saluran napas dan berujung pada sleep apnea.
 Gangguan pencernaan
Sebagian anak dengan sindrom Down menderita gangguan pencernaan,
seperti penyakit celiac.
 Gangguan pendengaran
Sebagian besar anak dengan Down syndrome berisiko mengalami tuli atau
hilang pendengaran. Kondisi ini bisa terjadi akibat kelainan bentuk tulang di
bagian dalam telinga atau infeksi telinga.
 Gangguan penglihatan
Lebih dari setengah penderita Down syndrome mengalami gangguan
penglihatan, seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, atau mata juling.
 Hipotiroidisme
Penderita sindrom Down dapat terkena hipotiroidisme, atau kekurangan
hormon tiroid. Kondisi ini dapat terjadi sejak lahir atau berkembang seiring
bertambahnya usia.
 Penyakit Alzheimer
Saat mencapai usia lanjut, penderita Down syndrome cenderung
terserang penyakit Alzheimer.
 Gangguan mental
Anak dengan Down syndrome berisiko mengalami gangguan mental, seperti
gangguan obsesif–kompulsif, autisme, depresi, dan gangguan kecemasan.
 Kelainan jantung
Sekitar setengah dari anak dengan Down syndrome diketahui terlahir
dengan penyakit jantung bawaan sehingga harus menjalani operasi.
 Gangguan lain
Kondisi lain yang juga berisiko terjadi pada penderita sindrom Down antara
lain leukemia, obesitas, demensia, penyakit autoimun, dan epilepsi.

7. Pencegahan Down Syndrome

Ada beberapa cara melakukan pencegahan terjadinya Sindrom Down.


Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis, bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terkbih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan
Sindrom Down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-
hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko
melahirkan anak dengan Sindrom Down lebih tinggi. Sindrom Down tidak
dapat dicegah, karena Sindrom Down merupakan kelainan yang disebabkan
oleh kelainan jumlah kromosom.

Pencegahan Sindrom Down juga dapat dilakukan dengan cara gaya atau
pola hidup sehat. Meskipun dapat terjadi pada siapapun , kebiasaan bergaya
hidup sehat kemungkinan dapat membantu mencegah terjadinya Sindrom Down
pada janin.

Gaya hidup yang dimaksud antara lain meliputi :

1. Konsumsi makanan bergizi

2. Makanlah sayuran dan buah-buahan segar

3. Hindari kebiasaan merokok

BAB III

KERANGKA TEORI
A. Kerangka Teori

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis dalam penelitian ini adalah penelitian
PENGARUH TERAPI BERMAIN TERHADAP KEMAMPUAN
MOTORIK HALUS ANAK DOWN SYNDROME

TUGAS

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas mata kuliah Metodologi


Keperawatan

Oleh:
DIVANDRIA ANANTA SUCITA
201211733
Kelas 3B

Dosen Pengampu:
Ns. Lenni Sastra, S.Kep, M.S

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses tumbuh kembang anak berlangsung secara teratur, saling berkaitan
dan berkesinambungan sejak awal konsepsi sampai dewasa, usia sekolah anak
mulai membangun prilaku yang sehat, belajar keterampilan fisik, keterampilan
motorik meningkat dan mengembangkan keterampilan dasar seperti menulis,
membaca dan berhitung .Sindrom Down adalah suatu kondisi di mana seseorang
memiliki kromosom ekstra. Kromosom adalah "paket" kecil gen dalam
tubuh. Mereka menentukan bagaimana tubuh bayi terbentuk dan berfungsi saat
tumbuh selama kehamilan dan setelah lahir. Biasanya, bayi lahir dengan 46
kromosom. Bayi dengan sindrom Down memiliki salinan ekstra dari salah satu
kromosom ini, kromosom 21.
Tiap-tiap tahap perkembangan memiliki potensi gangguan perkembangan
yang berbeda tergantung pada fase perkembangan yang dialami setiap anak. Pada
anak usia sekolah gangguan perkembangan yang mungkin terjadi yaitu gagal
sekolah, gangguan perkembangan koordinasi, retardasi mental, gangguan bicara
dan bahasa (Fadhli, 2010). Salah satu gangguan perkembangan tersebut adalah
Down Syndrom. Down Syndrome terjadi karena kelainan kromosom, yaitu
(trisomy 21) akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri
saat terjadi pembelahan (Fadhli, 2010).
Umumnya anak Down Syndrom usia sekolah masih mengalami
keterlambatan dalam hal kemampuan motorik, dimana gangguan yang sering
terjadi salah satunya yaitu kemampuan menulis. Anak Down Syndrom pada usia
ini masih kesulitan melakukan koordinasi antara mata dan tangan serta kurangnya
kemampuan ketangkasan jari-jemari. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
anak Down Syndrom memiliki kekuatan otot yang lemah bila dibandingkan
dengan anak normal (Gunarhadi, 2005).
World Health Organization (WHO) memperkirakan ada 8 juta
penderita Down Syndrome di seluruh dunia. Dengan estimasi kejadian 1 : 1.000
per kelahiran atau sekitar 3.000 hingga 5.000 kelahiran anak di dunia yang
mengalami kondisi tersebut. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun
2010 hingga 2018 kasusdown syndrome di Indonesia cenderung meningkat. Riset
terbaru tahun 2018 menunjukkan data kecacatan sejak lahir anak usia 24 hingga
59 bulan sebanyak 0, 41 persen. Berdasarkan riset yang dilakukandown
syndrome menyumbang kecacatan terbesar hingga 0,21 persen dari jumlah
tertimbang 57, 361.
Di Indonesia sendiri, sebagaimana negara berkembang lainnya, kelainan
ini belum mendapat cukup perhatian. Menurut catatan Indonesia Centre for
Biodiversity dan Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari
300 ribu anak pengidap Down Syndrome. Meskipun orang tua dari segala usia
mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita Down Syndrome,
tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun
(Aryanto,2008).
Indonesia dengan sekitar 5 juta kelahiran hidup, maka akan dijumpai
sekitar 5000 kasus baru Down Syndrom setiap tahunnya. Keadaan ini dapat
menjadi masalah besar dalam bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja,
maupun pendanaan yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah tersebut.
Secara statistik ditemukan lebih banyak dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih
dari 30 tahun dan juga jarang ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
masih muda (Malino, 2013)..
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat
menyatakan bahwa di Sumatera Barat sendiri belum ada data resmi tentang
penderita anak Down Syndrome, dikarenakan kehadiran anak Down Syndrome
tidak menetap tiap semester. Jumlah SLB yang ada di Sumatera Barat tahun 2013-
2014 sebanyak 126 sekolah, tahun 2014-2015 sebanyak 127 sekolah. Dari hasil
penelusuran jumlah penyandang Down Syndrome di sekolah luar biasa dari 13
sekolah yang menangani masalah Down Syndrome pada anak terdapat jumlah
penderita Down Syndrome yang ditangani di sekolah tersebut berjumlah 209
orang. Jumlah tersebut belum termasuk penyandang Down Syndrome yang belum
diketahui oleh Dinas Pendidikan.
Di kota Padang sendiri, pada tahun 2013-2014 terdapat 36 SLB yang
menangani anak berkebutuhan khusus. Tahun 2014-2015 sebanyak 37 SLB yang
menangani anak berkebutuhan khusus. Dimana tercatat jumlah anak berkebutuhan
khusus sebanyak 761 orang untuk tingkat SD dan 151 orang untuk tingkat SMP
dari 37 SLB yang ada dikota Padang yang terdiri dari laki- laki dan perempuan..
Belum berkembangnya kemampuan motorik halus anak disebabkan
berbagai faktor, dimana anak malas untuk menggerakkan jari-jemarinya, anak
lebih suka bermain dengan dunianya sendiri, anak kesulitan mengkoordinasikan
jari-jemarinya, kurangnya latihan dalam meningkatkan kemampuan motorik halus
anak, keterbatasan terapis dalam pemberian terapi, dan lemahnya keadaan daya
tangkap anak itu sendiri.
Anak- anak tersebut masih kesulitan untuk mengkoordinasikan gerakan
tangannya serta malas untuk menggerakkan jari jemarinya dalam meremas
adonan. Hal ini juga terlihat saat anak disuruh menulis, mereka mengalami
kesulitan dalam memegang pensil dan menulis apa yang diperintahkan seperti
menghubungkan garis vertikal dan horizontal mereka masih memerlukan bantuan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dekayati (2014) dengan judul Pengaruh terapi bermain menyusun menara donat
terhadap peningkatan kemampuan motorik anak Down Syndrome usia sekolah di
SLB Negeri Semarang, dimana perbedaannya hanya pada terapi yang diberikan.
Pada penelitian ini peneliti memberikan terapi meremas adonan, didapatkan hasil
bahwa kemampuan motorik halus anak Down Syndrom sesudah diberikan terapi
bermain berkembang sangat baik.
Hal ini sesuai dengan teori Janet dalam Anggani (2005) motorik halus
adalah gerakan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu, yang tidak
membutuhkan tenaga besar yang melibatkan otot besar, tetapi hanya melibatkan
sebagian anggota tubuh yang dikoordinasikan (kerja yang seimbang) antara mata
dengan tangan atau kaki. Tujuan dari melatih motorik halus adalah untuk melatih
anak agar terampil dan cermat menggunakan jari- jemari dalam kehidupan sehari-
hari, dimana semakin anak dilatih maka kemampuan motoriknya bisa semakin
meningkat.
Namun dalam penelitian ini juga ditemukan 1 orang anak yang berada
dikelas I tidak mengalami perkembangan motorik halus sesudah diberikan terapi
bermain, hal ini dikarenakan kurangnya daya tangkap anak itu sendiri serta
kurangnya keinginan anak untuk mengikuti terapi yang diberikan oleh peneliti,
anak lebih suka melakukan akivitas yang disukai.
Untuk anak Down Syndrom yang berada dikelas III mengalami
perkembangan motorik halus yang berbeda-beda, dimana 3 orang anak mampu
menulis dengan baik, rapi, sesuai perintah dan tanpa bantuan dan memperoleh
score 16 sedangkan 2 orang anak lagi masih belum rapi dalam menulis.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan rata-
rata perkembangan motorik halus sebelum diberikan terapi bermain adalah 5,08
dan sesudah diberikan terapi bermain didapatkan rata-rata tingkat perkembangan
motorik halus anak Down Syndrome meningkat menjadi 12,46. Berdasarkan
analisa uji wilcoxon diperoleh nilai p = 0,002 artinya ada pengaruh terapi bermain
terhadap kemampuan motorik halus anak Down Syndrom.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Budiman (2008)
menunjukkan rata-rata kemampuan motorik anak down syndrome sebelum
diberikan alat permainan edukatif (APE) adalah 0,7681 dan sesudah diberikan alat
permainan edukatif (APE) adalah 2,4783. Nilai signifikasi yang didapat adalah
0,000 atau > P Value 0,05.
Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau
mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran menjadi
kreatif, mempersiapkan diri untuk memperoleh score 12-14. Peningkatan
kemampuan motorik halus anak-anak tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti kurangnya latihan yang diberikan kepada anak, lemahnya kemampuan otot
anak untuk menggerakkan tangan dan jari-jemari.
Dalam hal ini dapat dilihat terapi bermain mempunyai kontribusi dalam
peningkatan perkembangan motorik halus anak Down Syndrome. Dimana tujuan
terapi bermain adalah anak dapat mengembangkan kreatifitas dan meningkatkan
kekuatan gerakan jari jemari serta meningkatkan kemampuan koordinasi antara
mata dan tangan. Diharapkan untuk terapi yang berkelanjutan dan terus menerus
maka responden dapat mengembangkan kemampuan motorik halusnya untuk
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dekayati (2014) Kemampuan
motorik halus anak Down Syndrome terdapat peningkatan diperoleh data sebelum
diberikan terapi yang mampu sebanyak 9 anak (30%) dan setelah diberikan terapi
bermain anak yang mampu menjadi sebanyak 16 anak (53,3%).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini, yaitu : “Apakah ada pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan
motorik halus anak down syndrome?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan motorik halus
anak down syndrome.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui bagaimana pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan
perkembangan motorik halus pada anak penderita down syndrome .
b. Mengetahui rerata skor kemampuan motorik halus setelah diberikan
terapi bermain pada anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan
motorik halus .
c. Mengetahui perbedaan skor perkembagan motorik halus sebelum dan
setelah diberikan terapi bermain pada anak-anak yang mengalami
gangguan motorik halus pada anak down syndrome.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian tentang terapi bermain pada anak down syndrome ini diharapkan
dapat menjadi sumber masukan bagi tenaga kesehatan/perawat sebagai salah
satu terapi non farmakologis untuk meningkatkan perkembangan
kemampuan motorik halus pada anak.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan masukan dalam bidang ilmu terkait khususnya dalam ilmu
riset keperawatan. Sebagai masukan bagi peserta didik untuk mengetahui
terapi non farmakologis dalam meningkatkan perkembangan motorik halus
pada anak yang mengalami gangguan perkembangan motorik halusnya serta
sebagai informasi untuk dijadikan masukan tambahan dalam pendidikan
terutama mata kuliah keperawatan anak.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau data pembanding untuk
penelitian yang akan datang dalam melaksanakan penelitian yang berkaitan
dengan terapi bermain terhadap peningkatan perkembangan motorik halus
pada anak yang mengalami gangguan down syndrome.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

A.Konsep Terapi Bermain


1. Pengertian Terapi Bermain
Terapi bermain adalah terapi yangmenggunakan alat-alat permainan
dalam situasi yang sudah dipersiapkan untuk membantu anak mengekspresikan
perasaannya,baik senang,sedih,marah,dendam,tertekan,atau emosi yang
lain.Bermain dilakukan dengan sukarela/spontan, untuk mendapatkan kepuasan
atau kegembiraan. Bermain adalah menyenangkan dan mengasyikkan. Bermain
dengan imajinasi dan fantasi, memungkinkan anak mengeksplorasi dunia
mereka, pertama melalui perasaan mereka dan kemudian menggunakan pikiran
dan logika. Melalui eksperimentasi bermain anak-anak menemukan bahwa
merancang sesuatu yang baru dan berbeda, dapat menimbulkan kepuasan.
Selanjutnya, mereka dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar
dunia bermain.
Menurut Landreth (2001), bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat
kompleks dan multi dimensional yang berubah secara signifikan seiring
pertumbuhan dan perkembangan anak.Bermain dilakukan dengan
sukarela/spontan, untuk mendapatkan kepuasan atau kegembiraan. Bermain
adalah menyenangkan dan mengasyikkan. Bermain dengan imajinasi dan
fantasi, memungkinkan anak mengeksplorasi dunia mereka, pertama melalui
perasaan mereka dan kemudian menggunakan pikiran dan logika. Melalui
eksperimentasi bermain anak-anak menemukan bahwa merancang sesuatu
yang baru dan berbeda, dapat menimbulkan kepuasan. Selanjutnya, mereka
dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar dunia bermain.
Menurut Saputro (2017), terapi bermain sangat penting untuk
kesejahteraan psikologis, emosional dan sosial anak. Terapi bermain ini bisa di
lakukan di dalam ruangan dan juga di luar ruangan. Biasanya anak yang
berusia 3-12 melakukan terapi bermain ini. Terapi ini dilakukan dalam bentuk
permainan dimana anak akan berhubungan dengan orang lain, lalu mengenal
dan bisa mengungkapkan apa yang di rasakannya karena saat bermain, anak
cenderung akan menunjukkan perasaan batin dan emosinya. Terapis akan
melihat dan menganalisa masalah apa yang dialami anak saat bermain itu.
2. Tujuan Terapi Bermain

Bermain di rumah sakit memberikan banyak manfaat,beberapa manfaat


diantaranya adalah,dapat memberikan pengalihan dan menyebabkan
relaksasi,membantu anak merasa lebih aman di lingkungan yang asing,membantu
mengurangi stres,serta sebagai alat untuk menciptakan tujuan terapi.

Supartini (2014) menjelaskan tujuan terapi bermain yaitu untuk melanjutkan


pertumbuhan dan perkembangan normal. Selain itu tujuan terapi bermain juga
antara lain yaitu :

 Menciptakan suasana kondusif bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri


mereka
 Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, menilik anggaran sosial &
mengatasi perkara mereka
 Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi & mencoba
sesuatu baru
Pada masa ini bermain mempunyai tujuan sebagai berikut :
1) Mengembangkan kemampuan bahasa, berhitung, serta menyamakan
dan membedakan.
2) Merangsang daya imajinasi
3) Menumbuhkan sportivitas, kreativitas dan kepercayaan diri.
4) Memperkenalkan ilmu pengetahuan, suasana gotong royong dan
kompetisi
5) Mengembangkan koordinasi motorik, sosialisasi dan kemampuan untuk
mengendalikan emosi

3.Fungsi Terapi Bermain

Terapi bermain pada anak ini berfungsi sebagai terapi yang dapat membantu
anak mengekspresikan perasaannya,baik senang,sedih,marah,dendam,tertekan
atau emosi.Berikut ini beberapa fungsi dari terapi bermain :
1) Perkembangan Sensorimotor
a) Memperbaiki koordinasi, ketrampilan motorik kasar dan halus
b) Meningkatkan perkembangan semua indera
c) Mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia
d) Memberikan pelampiasan kelebihan energi

2) Perkembangan Intelektual
a) Memberikan sumber sumber yang beranekaragam untuk
pembelajaran tentang eksplorasi dan manipulasi bentuk , ukuran,
tekstur dan warna, serta pengalaman dengan angka
b) Kesempatan untuk mempraktikkan dan memperluas ketrampilan
berbahasa
c) Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa lalu
dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan hubungan
baru
d) Membantu anak memahami dunia dimana mereka hidup dan
membedakan antara fantasi dan realita
3) PerkembanganSosialisasidanMoral
a) Mengajarkan peran orang dewasa , termasuk perilaku peran seks
b) Memberikan kesempatan untuk menguji hubungan
c) Mengembangkan ketrampilan sosial
d) Mendorong interaksi dan perkembangan sikap yang positif
terhadap orang lain
4) Kreativitas
a) Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minat yang kreatif
b) Memungkinkan fantasi dan imajinatif
c) Meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus

4. Macam-macam Terapi Bermain


Terapi pada anak berkebutuhan khusus memiliki berbagai macam sesuai
dengan kebutuhannya. Berikut jenis-jenis terapi pada anak berkebutuhan
khusus antara lain : terapi okupasi, fisioterapi, terapi wicara, terapi perilaku,
terapi biomedis, terapi remidial, terapi fisik, terapi musik dan seni, terapi
sensori integrasi, terapi bermain.
 Visualisasi kreatif
 Mendongeng
 Bermain peran
 Telepon mainan
 Topeng-topengan atau mainan binatang
 Boneka atau action figure
 Seni dan kerajinan
 Permainan air dan pasir
 Blok dan mainan konstruksi
 Tarian dan gerakan kreatif
 Permainan musik

Berbagai jenis permainan tersebut tak hanya membuat anak-anak merasa


senang, namun juga dapat memudahkan terapis untuk mengamati dan
mengatasi masalah yang dialami anak.

5.Prosedur Terapi Bermain


1. Tujuan bermain
a) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mendapat terapi bermain selama 30 menit, anak diharapkan bisa
merasa tenang selama perawatan dirumah sakit dan tidak takut lagi terhadap
perawat sehingga anak bisa merasa nyaman selama dirawat di rumah sakit.
b) Tujuan Instruksional Khusus
1) Anak merasa tenang selama dirawat
2) Anakbisamerasasenangdantidaktakutlagidengandokterdan
perawat
3) Mau melaksanakan anjuran dokter dan perawat
4) Anak menjadi kooperatif pada perawat dan tindakan
keperawatan
5) Kebutuhan bermain anak dapat terpenuhi
6) Dapat melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang
normal
7) Dapat mengekspresikan keinginan, perasaan dan fantasi anak
tentang suatu permainan
8) Dapatmengembangkankreativitasmelaluipengalamanbermain yang
tepat
9) Agaranakdapatberadaptasilebihefektifterhadapstresskarena sakit
10) Anak dapat merasakan suasana yang nyaman dan aman seperti
dirumah sebagai alat komunikasi antara perawat – klien

B. Konsep Down Syndrome


1. Definisi Down Syndrome
Down Syndrome adalah suatu kumpulan gejala dari adanya abnormalitas
kromosom yaitu kromosom 21 yang gagal mengalami meiosis sehingga
terbentuk individu dengan 47 kromosom. Faktor resiko lahirnya anak dengan
Down Syndrome yaitu kesalahan asupan makanan maupun obat-obatan saat
kehamilan, paparan radiasi, kelainan kromosom saat pembuahan dan faktor usia
saat ibu mengandung yaitu lebih dari 30 tahun (Rahma and Indrawati, 2017).
Down Syndrome memiliki fenotip kognitif yang cenderung berbeda
sehingga terdapat adanya gangguan di berbagai tingkat perkembangan seperti
perkembangan motorik, fungsi sosial emosional, perilaku dan pengaturan diri,
kognisi, perhatian, serta bahasa. Terdapat adanya gangguan intelektual seperti
gangguan pada pemrosesan visual, daya ingat jangka pendek, visuospasial, dan
imitasi. Down Syndrome juga memiliki kekuatan otot yang rendah serta gait
yang lebar sehingga menyebabkan adanya gangguan pada perkembangan
motorik yang mencangkup keseimbangan, kontrol motorik halus dan motorik
kasar, serta kekuatan otot (Esbensen et al. 2017). Selain itu, Down Syndrome
juga mengalami gangguan psikomotorik yang ditandai dengan
ketidakseimbangan kepribadian seperti agitasi, perhatian mudah teralihkan,
kurangnya konsentrasi dan kemauan, serta kesulitan dalam koordinasi gerak
(Balint 2019).

2.Penyebab Down Syndrome


Sindrom Down pada umumnya (95%) disebabkan karena gagalnya
pembelahan sel gamet (sel telur atau sperma) pada proses Meiosis
I ataupun Miosis II (non-disjunction) sehingga mengakibatkan terjadinya
kelebihan kromosom 21 sel gamet, apabila sel gamet tersebut dibuahi akan
menghasilkan bayi dengan kelebihan 1 kromosom 21 atau disebut Trisomi 21
dengan kariotip: 47, XX,+21 (Perempuan) atau 47, XY, +21 (Laki-laki).

Penyebab dari Down Syndrome ini terjadi dikarenakan kesalahan


pembelahan sel yang terjadi pada saat embrio yang disebut “nondisjunction”
embrio yang biasanya mengahsilkan 2 salinan kromosom 21, justru menghasilkan
3 salinan kromosom 21. Akibat dari hal ini, bayi menjadi memiliki 47 kromosom
bukan 46 kromosom seperti pada normalnya.

3. Klasifikasi Down Syndrome


Berdasarkan jumlah kromosom dan kelainan pada struktur , Down Sindrom
dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Trisomi 21 yaitu kelainan yang paling sering ditemui pada penderita Down
Sindrom, terdapat penambahan pada kromosom 21, sekitar 94% dari jumlah
penderita Down Sindrom adalah kejadian trisomi 21. Pada kasus ini di semua sel
dalam tubuh terajadi ekstra copy kromosom (Irwanto et al., 2019).
b) Translokasi yaitu kejadian melepasnya tambahan kromosom 21 pada waktu
pembelahaan sel lalu menempel di kromosom lainnya . Kromosom tersebut bisa
bergabung dengan bagian kromosom 13, 14, 15 serta 22. Kurang lebih 3-4 %
mengalami kejadian translokasi dari jumlah orang yang menderita Down
Syndrome (Irwanto et al., 2019). Kasus tersebut sifatnya diturunkan, jadi apabila
ada suami istri yang sebelumnya mempunyai anak dengan Down Sindrom ,
dengan demikian berpotensi pada kehamilan selanjutnya memiliki resiko tinggi
untuk mengalami kehamilan dengan Down Sindrom. (POTADS, 2019).
c) Mozaik/Mosaicis yaitu kejadian dimana kesalahan pada penyebaran kromosom
sewaktu sel membelah sesudah dibuahi, dan menyebabkan sebagian dari sel
menjadi ekstra copy 21 , sehingga menyebabkan jumlah semua selnya ada 47
kromosom, serta beberapan selnya normal, dengan jumlahnya sebanyak 46
kromosom (POTADS, 2019).

4. Tanda dan Gejala Down Syndrome


Tanda anak dengan syndrome down pada saat lahir bayi dengan Sindrom
Down mempunyai tonus otot yang lemah (floppy baby) sehingga sering
mangakibatkan bayi mengalami kesulitan minum susu yang mengakibatkan berat
badan bayi rendah.
Selain mengalami disabilitas intelektual dengan IQ berkisar antara 50-70, anak
dengan Sindrom Down mempunyai karakteristik fisik yang khas berupa:
 Kepala dan Leher: kepala kecil, mata sipit dan kecil dengan kelopak mata
yang up-slanting, hidung pesek, lidah besar (menjulur), telinga kecil dan rendah,
leher pendek
 Tangan dan Kaki: garis tangan tunggal dan lurus (simean creases), jari-jari
tangan dan kaki pendek, antara jari kaki ke-1 dan ke-2 lebar (sandal gap), kaki
bebek (flat feed)
 Perawakan pendek (short stature)

Gejala down syndrome pada anak kecil mempunyai beberapa ciri fisik yang
serupa karena adanya faktor keturunan dari orang tua dan keluarga. Ada beberapa
ciri fisik yang berperan dalam penampilan pengidap down syndrome seperti:

 Telapak tangan yang hanya memiliki satu lipatan.


 Mata miring ke atas dan ke luar.
 Berat dan panjang saat lahir dibawah berat pada umumnya.
 Mulut kecil.
 Bagian hidung kecil dan tulang hidung rata.
 Tangan lebar dengan ukuran jari yang pendek.
 Bertubuh pendek.
 Mempunyai kepala kecil.
 Lidah menonjol keluar.
 Terdapat jarak yang luas antara jari kaki pertama dan kedua.

5. Faktor Resiko Down Syndrome

1. Usia Ibu Saat Hamil

NDSS (National Down Syndrome Society) mengungkapkan jika semakin


bertambah usia pada saat kehamilan akan semakin tinggi pula probabilitas
memiliki janin dengan potensi Down Syndrome, terutama usia di atas 35 tahun.

2. Genetik Turunan Orang Tua

Dilansir dari Mayo Clinic, kurang lebih sebesar 4% kasus Down Syndrome adalah
hasil dari genetik warisan salah satu pihak orang tua. Baik pria dan wanita bisa
menjadi pembawa Down Syndrome di dalam gennya. Pembawa genetik disebut
sebagai carrier. Seorang carrier bisa tidak menunjukkan tanda atau gejala Down
Syndrome, namun ia bisa menurunkan kelainan tersebut ke janinnya, yang
menyebabkan tambahan atau salinan pada kromosom 21.

Mengutip Info Datin Kementerian Kesehatan RI, Ibu adalah carrier dengan risiko
lebih besar, dengan detail sebagai berikut:

 Jika Ayah adalah carrier, risiko Down Syndrome sekitar 3%


 Jika Ibu adalah carrier, risiko Down Syndrome berkisar antara 10-
15%

3. Pernah Melahirkan Bayi Down Syndrome Sebelumnya

Wanita yang pernah mengandung janin dengan Down Syndrome sebelumnya,


memiliki risiko 1:1000 untuk memiliki janin selanjutnya yang juga berpotensi
dapat mengidap Down Syndrome.

4. Jumlah Saudara Kandung dan Jarak Lahirnya

Menurut penelitian Institute of Medical Informatics, Biometry, and


Epidemiology di University Hospital Essen, Jerman, risiko bayi lahir dengan
Down Syndrome tergantung pada seberapa banyak saudara kandung dan seberapa
jauh jarak usia antar anak paling bungsu dengan kehamilan terkini. Risiko
memiliki bayi dengan Down Syndrome akan semakin tinggi pada ibu yang hamil
untuk pertama kali di usia yang lebih tua. Risiko ini juga akan semakin meningkat
bila jarak antar kehamilan semakin jauh.

5. Kekurangan Asam Folat

Beberapa ahli berpendapat bahwa Down Syndrome dapat dipicu oleh kerja
metabolisme tubuh yang kurang optimal dalam memecah asam folat. Penurunan
metabolisme asam folat bisa berpengaruh terhadap perubahan pada pembentukan
kromosom.

Untuk mencegah hal ini, setiap wanita yang akan berencana hamil diwajibkan
untuk mencukupi kebutuhan asam folat sejak sebelum hamil atau saat berencana
untuk menjalani program hamil. Bahkan, asupan asam folat perlu dipenuhi sejak
remaja, bukan saat hamil saja, melihat manfaatnya yang begitu banyak untuk
tubuh.

6. Faktor Lingkungan

Faktor risiko yang paling umum dan seringnya menyebabkan bayi terlahir
dengan Down Syndrome adalah paparan bahan kimia dan zat asing yang diterima
dari lingkungan sehari-hari sebelum atau selama masa kehamilan.

Polusi udara, asap kendaraan bermotor, dan air yang tercemar serta faktor
lingkungan yang buruk hingga pengunaan skincare berbahan kimia, dan
kandungan zat beracun, dapat memengaruhi pembentukan kromosom bayi
semenjak dalam kandungan. Selain itu, wanita yang merokok memiliki rantai
kromosom yang lebih pendek dari pada normalnya. Merokok saat hamil juga
dapat menyebabkan bayi lahir dengan kelainan jantung dan otak.

6. Komplikasi Down Syndrome

Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, yang di antaranya dapat


makin terlihat jelas seiring bertambahnya usia. Komplikasi tersebut antara lain:

 Sleep apnea
Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita Down syndrome bisa
menyumbat saluran napas dan berujung pada sleep apnea.
 Gangguan pencernaan
Sebagian anak dengan sindrom Down menderita gangguan pencernaan,
seperti penyakit celiac.
 Gangguan pendengaran
Sebagian besar anak dengan Down syndrome berisiko mengalami tuli atau
hilang pendengaran. Kondisi ini bisa terjadi akibat kelainan bentuk tulang di
bagian dalam telinga atau infeksi telinga.
 Gangguan penglihatan
Lebih dari setengah penderita Down syndrome mengalami gangguan
penglihatan, seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, atau mata juling.
 Hipotiroidisme
Penderita sindrom Down dapat terkena hipotiroidisme, atau kekurangan
hormon tiroid. Kondisi ini dapat terjadi sejak lahir atau berkembang seiring
bertambahnya usia.
 Penyakit Alzheimer
Saat mencapai usia lanjut, penderita Down syndrome cenderung
terserang penyakit Alzheimer.
 Gangguan mental
Anak dengan Down syndrome berisiko mengalami gangguan mental, seperti
gangguan obsesif–kompulsif, autisme, depresi, dan gangguan kecemasan.
 Kelainan jantung
Sekitar setengah dari anak dengan Down syndrome diketahui terlahir
dengan penyakit jantung bawaan sehingga harus menjalani operasi.
 Gangguan lain
Kondisi lain yang juga berisiko terjadi pada penderita sindrom Down antara
lain leukemia, obesitas, demensia, penyakit autoimun, dan epilepsi.

7. Pencegahan Down Syndrome

Ada beberapa cara melakukan pencegahan terjadinya Sindrom Down.


Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis, bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terkbih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan
Sindrom Down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-
hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki resiko
melahirkan anak dengan Sindrom Down lebih tinggi. Sindrom Down tidak
dapat dicegah, karena Sindrom Down merupakan kelainan yang disebabkan
oleh kelainan jumlah kromosom.

Pencegahan Sindrom Down juga dapat dilakukan dengan cara gaya atau
pola hidup sehat. Meskipun dapat terjadi pada siapapun , kebiasaan bergaya
hidup sehat kemungkinan dapat membantu mencegah terjadinya Sindrom Down
pada janin.

Gaya hidup yang dimaksud antara lain meliputi :

1. Konsumsi makanan bergizi

2. Makanlah sayuran dan buah-buahan segar

3. Hindari kebiasaan merokok

BAB III

KERANGKA TEORI
A. Kerangka Teori

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis dalam penelitian ini adalah penelitian

Anda mungkin juga menyukai