Anda di halaman 1dari 141

Deteksi Hambatan

Perkembangan Anak & Remaja:


Telaah Literatur Dan Studi Pendahuluan

Dr. Endang Prastuti, M.Si, dkk.

Penerbit
Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi)
Universitas Negeri Malang (UM)
Jl Semarang No 5 Malang 65145
Telp/Fax (0341) 551312/ (0341-579700
Deteksi Hambatan
Perkembangan Anak & Remaja:
Telaah Literatur Dan Studi Pendahuluan

Dr. Endang Prastuti, M.Si, dkk.

ISBN: ISBN 978-623-92327-4-0

Editor : Dr. Endang Prastuti, M.Si


Rancang Sampul : Rizky Adi Saputro
Setting/Layout : Rizky Adi Saputro

Penerbit
Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi)
Universitas Negeri Malang (UM)
Jl Semarang No 5 Malang 65145
Telp/Fax (0341) 551312/ (0341-579700

Cetakan Pertama, Mei 2020

All right reserved. No part of this publication may be reproduced


or transmitted in any form or by any means, electronic or
mechanical, without the prior writen permission of the publisher.

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik
secara elektronis maupun mekanis, dan dengan cara apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar

Alhamdulillahirrobbil ‘alamin, segala puji syukur hanya


bagi Allah, atas ridho-Nya buku yang berjudul: “Deteksi
Hambatan Perkembangan Anak & Remaja: Telaah Literatur
Dan Studi Pendahuluan”, akhirnya terselesaikan. Buku ini
merupakan kerja kolaboratif dosen dan mahasiswa
Psikologi yang memprogram matakuliah: deteksi hambatan
perkembangan anak di semester Gasal 2019/2020. Desain
pembelajaran mata kuliah ini memberikan kesempatan
mahasiswa untuk mengoptimalkan kemandirian dalam
melakukan review literature dengan merujuk pada sumber
bacaan yang relevan, diikuti dengan melakukan penelitian
pendahuluan (pre-liminary study) mengenai suatu topik
secara berkelompok, sebagai wujud terapan learning based
project.
Tulisan ini terdiri dari sembilan topik merupakan hasil
review literature terkait berbagai bentuk hambatan
perkembangan anak & remaja, diikuti dengan hasil pre-
liminary study dengan tujuan melakukan deteksi hambatan
perkembangan anak dan remaja serta merekomendasikan
program simulasi atau program prevensi yang dibutuhkan.
Produk kolaboratif ini diharapkan dapat menginspirasi
mahasiswa dan dosen untuk melakukan penelitian lanjutan
yaitu mengembangkan program prevensi dan intervensi
berbasis penelitian pengembangan atau penelitian
eksperimen.
Akhir kata, tim penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih membutuhkan perbaikan ke depan, agar menjadi
lebih sempurna, oleh karena itu masukan, kritik dan saran
dibutuhkan.

Malang, 1 Maret 2020


Tim Penyusun,

Dr. Endang Prastuti, M.Si., dkk.

i
Daftar 1si

Halaman
Kata Pengantar………………………………………… i
Daftar Isi ……………………………………………… ii

1. Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down


Syndrome dengan Menggunakan Metode Game
Puzzle ................................................................................. 1
2. Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa dan
Program Stimulasi dengan Metode Story Telling ........ 17
3. Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial Anak Autis
dan Program Stimulasi Three Game Series for Peer
Group .................................................................................. 33
4. Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”
untuk Menurunkan Hiperaktivitas pada Anak
ADHD ................................................................................ 45
5. Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak-Kanak
Tengah (Middle Childhood) ............................................. 62
6. Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan pada
Anak Usia Sekolah ........................................................... 76
7. Deteksi dan Upaya Penanganan Body Dysmorphic
Disorder pada Remaja Perempuan .............................. 100
8. Upaya Preventif Disorientasi Seksual pada Remaja
Putri melalui Psiko-edukasi .......................................... 109
9. Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game Online
Pada Remaja ...................................................................... 122

ii
DETEKSI DAN STIMULASI
ASPEK KOGNITIF DOWN SYNDROME
DENGAN MENGGUNAKAN METODE
GAME PUZZLE

Ariesta Tri Pradani, Oliva Janti, Sigma Pujinastiti

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Down Syndrome (DS) adalah suatu kelainan genetik
yang dibawa sejak bayi lahir dan terjadi akibat dari
abnormalitas kromosom yang tidak dapat memisahkan diri
selama proses meiosis sehingga terjadi individu dengan
jumlah 47 kromosom. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan
perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual,
serta terjadi gangguan dalam fungsi fisiologis tubuh. Game
puzzle dapat menjadi suatu metode untuk memberikan
intervensi bagi anak down syndrome untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, motorik halus, dan menambah
pengetahuan. Tujuan dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan
kemampuan kognitif pada anak Down Syndrome serta
mendeskripsikan program intervensi kemampuan kognitif
pada anak Down Syndrome menggunakan game puzzle.
Teknik sampling menggunakan purposive sampling.
Instrumen penelitian untuk melakukan deteksi dini dengan
mengklasifikasikan down syndrome menggunakan behavioral
checklist berdasarkan beberapa karakteristik yaitu fisik,
kogntif, dan kepribadian.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 1


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dari ketiga
subjek: 1 subjek termasuk dalam kategori sedang,
sedangkan 2 subjek lainnya termasuk dalam kategori berat.
Subjek menunjukkan kesulitan berbicara dan memiliki
kemampuan bahasa yang rendah. Beberapa karakteristik
kepribadian anak down syndrome yang diketahui yaitu cukup
dapat bersosialisasi, terbuka dan bersahabat dengan orang
lain; (2) Pemberian intervensi berupa game puzzle dapat
diberikan dan menujukkan bahwa anak down syndrome
mampu memahami arahan terkait prosedur bermain atau
menyusun puzzle, namun dalam penyusunan membutuhkan
waktu yang cukup lama.
Implikasi temuan dalam penelitian ini sebagai metode
untuk mendeteksi dini dan mengklasifikasikan anak down
syndrome sehingga mampu diberikan intervensi yang sesuai
dalam meningkatkan segala aspek kemampuannya.
Karakteristik yang identik pada anak down syndrome adalah
memiliki keterbatasan kemampuan kognitif, maka dari itu
game puzzle dapat memberikan metode intervensi yang
sesuai untuk meningkatkan kemampuan kognitif tersebut.

Kata kunci: down syndrome, metode game puzzle

PENDAHULUAN
Anak yang mengalami Down Syndrome (DS)
merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang
mengalami keterbelakangan perkembagan fisik dan mental.
Down Syndrome adalah suatu kelainan genetik yang dibawa
sejak bayi lahir. Kelainan tersebut terjadi saat bayi dalam
masa embrio dimana saat itu terjadi kesalahan pembelahan
sel yang disebut nondisjunction embrio yang normalnya
menghasilkan dua salinan kromosom 21 tetapi justru
menghasilkan salinan tiga kromosom 21 akibatnya bayi
memiliki 47 kromosom dan bukan 46 kromosom seperti
normalnya (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Menurut
Gunarhadi (2005) Down Syndrome (DS) adalah suatu

2 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


kumpulan gejala akibat dari abnormalitas kromosom, yaitu
pada kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri
selama proses meiosis sehingga terjadi individu dengan
jumlah 47 kromosom. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan
perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual,
serta terjadi gangguan dalam fungsi fisiologis tubuh (Pathol,
2003).
World Health Organization (WHO) memperkirakan
terdapat 1 kejadian DS per 1.000 kelahiran hingga 1
kejadian per 1.000 kelahiran di seluruh dunia. Sekitar 3.000-
5.000 anak lahir dengan DS per tahunnya. Terdapat 8 juta
penderita DS di seluruh dunia yang diperkirakan oleh
WHO (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Kecenderungan
DS di Indonesia ada indikasi semakin meningkat.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2010, prevalensi anak DS yang berusia 24-59 bulan sebesar
0,12 persen. Angka tersebut meningkat menjadi 0,13
persen pada 2013 dan kembali meningkat pada 2018
menjadi 0,21 persen (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Berdasarkan tinjauan dari Kementrian Kesehatan RI
pada 2019, terdapat beberapa faktor penyebab ibu
melahirkan bayi dengan Down Syndrome, yaitu: usia ibu saat
hamil di atas 35 tahun; genetik turunan orang tua; pernah
melahirkan anak dengan down syndrome sebelumnya; jumlah
saudara kandung dan jarak lahirnya; kekurangan asam folat;
dan faktor lingkungan karena terpapar zat kimia dan zat
asing.
Terdapat ciri-ciri untuk dapat mendeteksi pada anak
yang mengalami Down Syndrome meliputi karakteristik fisik,
kognitif, dan kepribadian. Selikowitz (2001) menyebutkan
ciri-ciri yang penting dalam mengenali kelainan Down
Syndrome, yaitu: wajah yang bulat; kepala rata; mata yang
sedikit miring ke atas; rambut yang lemas dan lurus; leher
yang pendek dan lebar; rongga mulut yang kecil dan lidah
yang besar; kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 3


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
yang pendek; jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan
jarak yang lebar antara ibu jari dengan telunjuk; tungkai dan
leher sering terkulai; dan berat badan di bawah rata-rata.
Mangunsong (2009) mengklasifikasikan Down
Syndrome berdasarkan tingkat kecerdasan atau merujuk
pada skor IQ, yaitu: mild mental retardation (ringan, IQ 55-
70), mereka masih mampu untuk dididik di sekolah;
moderate mental retardation (sedang, IQ 40-55), mereka
dapat dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu; severe
mental retardation (berat, IQ 25-40), mereka memiliki
gangguan bicara dan dapat berkomunikasi secara vocal
setelah pelatihan intensif; dan pround mental retardation
(parah, IQ dibawah 25), mereka memiliki kelainan fisik,
kemampuan bicara yang rendah, dan kurang mampu untuk
berdiri. Sedangkan, karakteristik kepribadian anak Down
Syndrome yaitu bersahabat, suka bergaul, dan terbuka. Hal
ini karena mereka masih bisa bersosialisasi dengan
lingkungan secara baik meskipun terdapat keterbelakangan
mental yang membatasi ketrampilan sosialnya. Untuk
perilaku dan emosi anak DS sangat bervariasi, anak Down
Syndrome memiliki ciri lemah dan tidak aktif, sedangkan
yang lainnya agresif dan hiperaktif.
Kajian literatur menginformasikan bahwa sejauh ini,
belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk Down Syndrome. Namun, dengan dukungan dan
perhatian dari orang-orang terdekat, anak Down Syndrome
masih sangat dimungkinkan dapat hidup dengan baik dan
bahagia. Apabila keterbelakangan perkembangan anak yang
mengalami Down Syndrome ditangani sejak dini, maka anak
Down Syndrome dapat memaksimalkan potensi-potensi yang
dimiliki. Tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan deteksi
dini dengan tujuan mendeskripsi karakteristik fisik, ciri
kepribadian, dan kemampuan kognitif pada anak Down
Syndrome dan (2) mendeskripsikan penerapan program
stimulasi kemampuan kognitif pada anak menggunakan
game puzzle pada anak down syndrome.

4 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


Upaya stimulasi perkembangan dengan metode game
puzzle merujuk pada beberapa dasar teoritik. Bermain
adalah cara belajar yang efektif pada anak usia dini
(Fauziddin, 2014) dan aktivitas yang tidak dapat terpisahkan
dari kehidupan anak-anak. Bermain juga cara terbaik untuk
anak dapat belajar berkomunikasi, bersosialisasi, dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selain itu, bermain
juga dapat menurunkan tingkat stres, meningkatkan
kognitif, melatih motorik, mengembangkan sosio-emosi,
dan membangun kematangan mental anak (Srianis dkk,
2014). Salah satu media pembelajaran dengan metode
bermain adalah menggunakan game puzzle.
Menurut Rokhmat (2006) menyatakan “puzzle adalah
permainan kontruksi melalui kegiatan memasang atau
menjodohkan kotak-kotak, atau gambar bangun-bangun
tertentu sehingga akhirnya membentuk sebuah pola
tertentu”. Marasaoly (2009) menyatakan “salah satu
permainan edukatif yang dapat mengoptimalkan
kemampuan dan kecerdasan anak adalah permainan
puzzle”. Permainan ini memiliki manfaat yaitu dapat
meningkatkan kreativitas, daya ingat, dan problem solving
pada anak. Kegiatan tersebut akan banyak memunculkan
pengetahuan baru dan pengingatan kembali akan suatu
materi pembelajaran (Srianis dkk, 2014).
Menurut Yudiasmini, dkk. (2014), puzzle merupakan
permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan
anak dalam merangkainya. Oleh karena itu lambat laun,
mental anak juga terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan
sabar dalam menyelesaikan sesuatu. Fungsi puzzle yaitu: (1)
mengenalkan bentuk-bentuk yang tidak beraturan, (2)
melatih analisis-sintesa atau menguraikan dan menyatukan
kembali pada bentuk semula, (3) melatih motorik halus.
Game puzzle memberikan tantangan dan efek adiksi positif
untuk terus mencoba supaya berhasil dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Permainan ini dapat memberikan
kesempatan kepada anak untuk berfikir dan bertindak

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 5


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
imajinatif serta penuh daya khayal yang erat hubungannya
dengan perkembangan kreativitas anak (Marta, 2017).
Menurut Adenan (dalam Situmorang, 2012) menambahkan
“puzzle dan games adalah materi untuk memotivasi diri
secara nyata dan merupakan daya penarik yang kuat”.
Berdasarkan kajian teori di atas, maka program
stimulasi dapat dilakukan dengan metode permainan yang
menyenangkan dan adanya proses pembelajaran yang
efektif untuk mencapai tujuan dengan efisien. Metode
dengan game puzzle ini merupakan hasil adaptasi dan di
modifikasi dari metode penanganan kognitif Down Syndrome
pada anak usia dini oleh Marta (2017) untuk
mengembangkan kosakata dan memperluas wawasan pada
anak. Berikut jenis puzzle yang dapat dilakukan yaitu:
a) Spelling puzzle: puzzle yang terdiri dari gambar-gambar
dan huruf-huruf acak untuk dijodohkan menjadi
kosakata yang benar.
b) The thing puzzle: puzzle yang berupa deskripsi kalimat-
kalimat yang berhubungan dengan gambar-gambar benda
untuk dijodohkan.
c) The letter(s) readiness puzzle: puzzle yang berupa gambar-
gambar disertai dengan huruf-huruf dari nama gambar
tersebut, tetapi huruf itu belum lengkap.
Modifikasi game puzzle yang dapat dilakukan sesuai
dengan tahap perkembangan dan kemampuan dari anak
down syndrome untuk meningkatkan kognitif yaitu
mengembangkan permainan yang mengandung kata untuk
pengenalan huruf dan menambah kosakata dengan
memberikan pemahaman terkait anggota tubuh manusia.
Hasil modifikasi tersebut sebagai berikut: a) Spelling puzzle:
puzzle yang terdiri dari potongan gambar beserta kata dari
anggota tubuh yang acak untuk dijodohkan dengan benar;
b) The thing puzzle: puzzle yang berupa deskripsi kalimat-
kalimat untuk menggabungkan potongan anggota tubuh
menjadi satu bagian tubuh manusia; c) The letter(s) readiness

6 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


puzzle: puzzle yang berupa melengkapi wajah manusia
dengan bagian-bagian anggota tubuhnya.
Beberapa manfaat game puzzle bagi anak down
syndrome (Marta, 2017): (a) Meningkatkan keterampilan
kognitif, yakni berkaitan dengan kemampuan untuk belajar
dan memecahkan masalah. Puzzle adalah permainan yang
menarik bagi anak-anak karena pada dasarnya menyukai
bentuk gambar dan warna yang menarik. Dengan bermain
puzzle anak akan mencoba memecahkan masalah yaitu
menyusun gambar; (b) Meningkatkan kemampuan motorik
halus, yakni berkaitan dengan kemampuan anak
menggunakan otot-otot. Bermain puzzle tanpa disadari
anak akan belajar secara aktif menggunakan jari-jari
tangannya. Anak usia dini diharapkan dapat melatih
kemampuan motorik halus, salah satunya dengan
permainan; (c) Meningkatkan keterampilan sosial, yakni
berkaitan dengan kemampuan berinteraksi dengan orang
lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan dan
berkelompok. Permainan yang dilakukan oleh anak-anak
secara kelompok akan meningkatkan interaksi sosial dan
melatih sosio-emosi pada anak. Dalam kelompok anak akan
saling menghargai, saling membantu dan berdiskusi satu
sama lain; (d) Melatih koordinasi mata dan tangan, yakni
ketika anak belajar mencocokkan keping-keping puzzle dan
menyusunnya menjadi satu gambar; (e) Melatih logika, yakni
membantu melatih logika anak, misalnya puzzle bergambar
manusia, dimungkinkan anak dapat dilatih untuk
menyimpulkan di mana letak kepala, tangan, dan kaki sesuai
logika; (f) Melatih kesabaran, artinya dengan bermain puzzle
membutuhkan ketekunan, kesabaran dan memerlukan
waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan; (g)
Memperluas pengetahuan anak akan belajar banyak hal,
warna, bentuk, angka, huruf. Pengetahuan yang diperoleh
dari cara ini biasanya lebih mengesankan bagi anak.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan deteksi
dini dengan tujuan mendeskripsi karakteristik fisik, ciri

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 7


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
kepribadian, dan kemampuan kognitif pada anak Down
Syndrome, (2) mendeskripsikan program stimulasi
kemampuan kognitif pada anak menggunakan game puzzle
pada anak down syndrome.

METODE
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah anak Down Syndrome yang
berusia 2 hingga 7 tahun dengan karakteristik fisik yang
langsung dapat terlihat. Penelitian ini menggunakan 3 subjek
untuk melakukan deteksi dini dalam menentukan beberapa
klasifikasi Down Syndrome. Selanjutnya dipilih satu subjek
untuk diberikan program stimulasi untuk meningkatkan
kemampuan kognitif anak Down Syndrome dengan
menggunakan game puzzle.

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menggunakan: (1) behavioral
checklist Down Syndrome yang disusun berdasarkan
beberapa karakteristik yaitu fisik, kogntif, dan kepribadian.
Instumen ini dapat diisi dengan memberikan checklist pada
pilihan “Ya” atau “Tidak” untuk menjawab beberapa
karakteristik yang muncul pada subjek penelitian.
Pemberian skor pada pilihan jawaban “Ya” adalah 1 dan
“Tidak” adalah 0. Sedangkan norma yang digunakan disusun
berdasarkan beberapa klasifikasi yaitu skor <10 tergolong
klasifikasi ringan; skor 11-20 tergolong klasifikasi sedang;
skor 21-29 klasifikasi berat; dan skor >30 tergolong
klasifikasi parah. Selain itu, terdapat instrumen untuk
mengetahui faktor penyebab, keadaan anak saat lahir, dan
tahap perkembangan anak Down Syndrome dengan
melakukan wawancara kepada orang tua. (2) Observasi,
merupakan proses penggalian data yang dilakukan langsung
oleh penulis dengan cara melakukan pengamatan mendalam
terhadap individu sebagai objek observasi dalam konteks

8 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


penelitian (Cresswel, dalam Herdiansyah 2010). Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan observasi behavioral
checklist sebagai instrumen deteksi DS.
Behavioral checklist merupakan suatu metode dalam
observasi yang mampu memberikan keterangan mengenai
muncul atau tidaknya perilaku yang diobservasi dengan
memberikan tanda cek () jika perilaku yang diobservasi
muncul (Herdianyah, 2010). Dalam penelitian ini behavioral
checklist berisi tentang karakteristik penderita Down
Syndrome (Vanesia, 2012), berupa karakteristik fisik,
karakteristik kognitif, dan karakteristik kepribadian.
Klasifikasi Down Syndrome dibedakan menjadi empat
tingkatan, yaitu: mild mental retardation, moderate mental
retardation, servere mental retardation, dan pround mental
retardation (Mangunsong, 2009). Pedoman Skoring
mengikuti aturan berikut: untuk jawaban Ya, subjek
mendapatkan skor 1, bila subjek memberikan jawaban
tidak, mendapatkan skor 0.
Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara yakni metode pengambilan data dengan
cara menanyakan sesuatu kepada seorang yang menjadi
responden atau informan, dengan cara memberikan
pertanyaan secara tatap muka. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur yang
memiliki ciri-ciri berupa pertanyaan terbuka namun
terdapat batasan tema dan alur permbicaraan, fleksibel tapi
terkontrol. Pedoman wawancara yang dijadikan patokan,
dan tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu
fenomena (Herdiansyah, 2010). Wawancara lebih ditujukan
kepada keluraga, guru atau orang terdekat dengan
penderita Down Syndrome, dengan tujuan menggali data
lebih mendalam tentang penderita Down Syndrome.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 9


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
analisis statistik deskriftif dengan menggunakan teknik
persentase.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil observasi yang menunjukkan
karakteristik fisik, kognitif, dan kepribadian dengan
menggunakan behavioral checklist diperoleh bahwa subjek M
termasuk dalam klasisifikasi sedang dengan total skor 16.
Sedangkan subjek S dengan total skor 21 dan R dengan total
skor 24 termasuk dalam klasifikasi berat. IQ subjek M
termasuk dalam kategori mild mental retardation (ringan, IQ
55-70). Sedangkan IQ subjek S dan R termasuk dalam
kategori moderate mental retardation (sedang, IQ 40-55).
Subjek M cukup mudah dapat memahami arahan dari orang
lain tetapi masih kesulitan berbicara dan memiliki
kemampuan bahasa yang rendah. Subjek M cukup dapat
bersosialisasi, terbuka dan bersahabat dengan orang lain.
Subjek S cukup dapat memahami arahan orang lain tetapi
masih kesulitan dalam berbicara dan memiliki kemampuan
berbahasa yang rendah.
Subjek S memiliki emosi yang lemah dan cenderung
hiperaktif dan agresif. Subjek S dapat bersosialisasi dan
bersahabat dengan orang lain namun kurang terbuka
dengan orang lain khususnya orang yang baru dikenal.
Sedangkan subjek R masih mengalami kesulitan dalam
berbicara, kemampuan berbahasa yang rendah, dan
kesulitan dalam memahami arahan orang lain. Subjek R juga
memiliki emosi yang lemah, cenderung hiperaktif tanpa
disertai sikap agresif, kurang dapat bersosialisasi, kurang
bersahabat, dan kurang terbuka dengan orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
terhadap Ibu subjek, menunjukkan temuan yang menarik
yakni subjek M, S, dan R memiliki riwayat keluarga dengan

10 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


down syndrome. Ibu subjek M hamil pada usia 27 tahun dan
sering terpapar asap rokok selama hamil. Ibu subjek S hamil
pada usia 23 tahun dan sering terpapar asap rokok juga
selama kehamilan. Ibu subjek S mengaku terkadang
mengonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, dan kacangan.
Ibu subjek S mengaku tidak suka mengonsumsi sayur-
sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan, namun
terpaksa mengonsumsinya tetapi dengan jenis yang tidak
bervariasi. Sementara itu, ibu dari subjek S hamil pada usia
20 tahun dan mengungkapkan bahwa suaminya adalah
seorang perokok namun tidak merokok di dekatnya selama
hamil. Ibu subjek R mengaku sering mengonsumsi sayur-
sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan.
Subjek M dilahirkan secara normal oleh ibunya
dengan usia kehamilan 8 bulan. Subjek M lahir dengan berat
badan 2,4 kg dan panjang 39,5 cm. Subjek M baru bisa
merangkak dan berjalan saat usianya 3 tahun. Ketika berusia
5 tahun, subjek M mulai mengoceh dan mengeluarkan kata-
kata. Saat ini, subjek M sudah dapat memegang benda tetapi
masih kesulitan dalam menulis. Saat ini subjek M bersekolah
di salah satu SLB di Kel. Paiton, Kab. Probolinggo.
Subjek S dilahirkan secara caesar oleh ibunya dengan
usia kehamilan 9 bulan. Subjek S lahir dengan berat badan
3,1 kg dan panjang 35,5 cm. Subjek S mulai bisa merangkak
dan berjalan saat usianya 2,5 tahun. Saat usia 4,5 tahun,
subjek S mulai mengoceh dan mengeluarkan kata-kata. Ibu
subjek S mengungkapkan bahwa saat ini subjek S sudah
dapat memegang benda, dan memegang pensil tetapi masih
kesulitan dalam menulis huruf. Subjek S bersekolah di salah
satu SLB di Kel. Arjosari, Kec. Blimbing, Kota Malang.
Subjek R dilahirkan secara caesar oleh ibunya dengan
usia kehamilan 9 bulan. Subjek R lahir dengan berat badan
2,7 kg dan panjang 33,4 cm. Subjek R mulai bisa merangkak
dan berjalan saat usianya 2 tahun. Saat usia 3,5 tahun, subjek
S mulai mengoceh dan mengeluarkan kata-kata. Ibu subjek
S mengungkapkan bahwa saat ini subjek S sudah dapat

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 11


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
memegang benda tetapi masih kesulitan memegang pensil.
Subjek S bersekolah di salah satu SLB di Kec. Singosari, Kab.
Malang.
Berdasarkan data deteksi dini dengan menggunakan
beberapa alat ukur pada penderita DS, selanjutnya
diperlukan upaya stimulasi perkembangan agar aspek-aspek
perkembangan berkembang secara optimal. Program
stimulasi perkembangan dalam penelitian dilakukan dengan
memberikan stimulasi berupa game puzzle, akan tetapi
implementasi program stimulasi hanya diberikan pada
subjek M. Hasil amatan menunjukkan bahwa subjek M dapat
memahami arahan penulis terkait prosedur bermain atau
menyusun puzzle yang diberikan. Subjek M juga mampu
menyelesaikan tugas yang diberikan tetapi dengan waktu
yang cukup lama yaitu 10-17 menit di setiap puzzle. Subjek
M terkadang melihat ke arah ibunya yang berada tidak jauh
dari subjek M yang sedang diberikan program stimulasi.
Selama proses stimulasi Subjek M menyusun puzzle tanpa
menunjukkan adanya perilaku agresif, bahkan Subjek M
cenderung tenang dalam menyusun dan menyelesaikan
puzzle. Berdasarkan hasil amatan terhadap dampak
program stimulasi ini, maka disimpulkan bahwa program
stimulasi ini (bermain puzzle) dapat digunakan sebagai salah
program stimulasi untuk meningkatkan perkembangan anak
usia dini yang mengalami down syndrome (DS).

DISKUSI & IMPLIKASI


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga
responden terbukti mempunyai riwayat keluarga dengan
down syndrome. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kementrian RI tahun 2019 yang menyatakan
bahwa 4% kasus down syndrome merupakan hasil genetik
yang diwariskan oleh orang tua. Selain, itu responden juga
menyatakan bahwa sejauh ini yang bersangkutan
mendapatkan paparan asap rokok dari orang sekitarnya.

12 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


Rokok merupakan zat yang dapat mempengaruhi
pembentukan kromosom janin di dalam kandungan
(Kementrian RI, 2019).
Faktor lain yang dapat menyebabkan down syndrome
yaitu kekurangan asam folat. Terkait dengan hal ini hasil
penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu responden
yang mengatakan bahwa ia sering mengkonsumsi buah-
buahan, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan. Responden
yang lain menyatakan bahwa ia jarang mengakonsumsi asam
folat, bahkan ada dari mereka yang tidak menyukainya.
Munculnya down syndrome juga dapat diakibatkan karena
usia kehamilan ibu di atas 35 tahun (Vanesia, 2012). Namun
dalam penelitian ini usia kehamilan ibu saat mengandung
anak down syndrome yaitu berkisar antara 20-27 tahun. Hal
ini berarti bahwa down syndrome dapat juga terjadi pada usia
ibu hamil di bawah 35 tahun. Keadaan bayi down syndrome
saat lahir mempunyai berat badan dibawah rata-rata bayi
normal, yaitu berkisar antara 2,4-2,7 kg dan panjang badan
berkisar antara 33-39,5 cm, serta diikuti dengan ciri-ciri
fisik anak down syndrome.
Selain perkembangan fisik yang nampak, anak down
syndrome mengalami keterlambatan pada perkembangan
kognitif. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa anak down
syndrome dapat mulai merangkak dan belajar berjalan pada
saat usia 2-3 tahun. Menurut Santrock (2012) anak mulai
dapat merangkak saat menginjak usia 8 bulan. Selanjutnya,
anak akan terus berlatih dan menunjukkan perkembangan-
perkembangan motorik yang signifikan. Hingga memasuki
usia 12 bulan, anak sudah mampu berjalan meskipun masih
terlihat limbung. Selain perkembangan motorik yang
lambat, anak down syndrome juga mengalami keterlambatan
dalam perkembangan bahasa. Santrock (2012) mengatakan
bahwa pada usia 6 bulan anak sudah mulai berceloteh. Usia
13 bulan rata-rata anak mampu menyebutkan kata
pertamanya. Kosa kata anak akan terus meningkat pesat
pada umur 2 tahun, dimana anak mampu mengucap 200

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 13


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
kata, namun demikian hal ini tidak muncul pada anak down
syndrome. Dari ketiga responden, hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak yang mengalami DS mulai dapat
berbicara saat menginjak usia 4-5 tahun, maknanya dari
aspek perkembangan bahasa atau berbicara anak DS juga
menunjukkan adanya keterlambatan.
Anak down syndrome juga mengalami permasalahan
dalam intelegensi. Mangunsong (2009) mengatakan bahwa
intelegensi anak down syndrome terdapat pada tingkat
mental retardation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1
anak mempunyai IQ 55-70 dimana ia termasuk dalam mild
mental retardation, sedangkan 2 anak lainnya mempunyai IQ
40-55, artinya termasuk dalam moderate mental retardation.
Hasil pengamatan menunjukkan karakteristik down
syndrome yang khas muncul pada ketiga subjek.
Karakteristik yang menonjol adalah di area wajah, dimana
anak down syndrome memiliki bentuk mata, hidung, mulut,
bentuk wajah, rambut, yang berbeda dengan anak normal
umumnya. Akan tetapi, meskipun subjek memiliki
keterbatasan, responden mempunyai sikap yang positif
yakni bersikap terbuka dan bersahabat dengan orang lain,
hal ini ditunjukkan selama proses stimulasi, subjek mampu
memahami arahan yang diberikan oleh penulis.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, memberi
implikasi terkait pentingnya intervensi game puzzle untuk
diberikan pada anak dengan down syndrome. Game puzzle
terbukti bermanfaat untuk menambah kosa kata yang
dimiliki oleh anak down syndrome. Penulis melakukan
program stimulasi pada satu anak down syndrome yang
berinisial M.
Pelaksanaan program stimulasi terhadap responden
dengan inisial M, membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Hasil amatan
menunjukkan terdapat beberapa kesalahan dalam
penyusunan puzzle, namun responden dapat
menyelesaikannnya dengan baik dan benar. Beberapa

14 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


manfaat dari diberikan game puzzle pada anak down
syndrome adalah untuk meningkatkan kemampuan kognitif,
meningkatkan kemampuan motorik halus, melatih
koordinasi antara mata dan tangan dan dapat memperluas
pengetahuan.
Saran untuk penelitian ke depan program stimulasi
berupa game puzzle diduga dapat diterapkan untuk
menstimulasi perkembangan anak DS serta teruji
efektivitasnya dengan menggunakan desain eksperimen
misalnya dengan single case design, dengan cara melakukan
pengukuran yang cermat terhadap perubahan aspek
perkembangan pada DS.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab down syndrome dipengaruhi oleh faktor
keturunan dan faktor lingkungan, seperti paparan asap
rokok, dan kurangnya asupan makanan bergizi dari sayuran
serta buah-buahan. Dari ketiga subjek dapat diketahui
bahwa 1 subjek tergolong klasifikasi sedang, dan 2 subjek
lainnya tergolong kedalam klasifikasi berat. Karakteristik
fisik pada keseluruhan subjek penelitian sangat menonjol
dan dapat langsung teramati dengan menunjukkan beberapa
ciri yang identik dengan down syndrome.
Kemampuan kognitif dari ketiga subjek menunjukkan
bahwa 1 subjek berada pada skor IQ mild mental retardation
(ringan) dan 2 subjek berada pada skor IQ moderate mental
retardation (sedang). Sedangkan, anak down syndrome
memiliki kepribadian yang lebih terbuka dan bersahabat
dengan orang lain. Down syndrome berkaitan erat dengan
terbatasnya kemampuan kognitif, maka dari itu metode
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
kognitif, motorik halus, dan menambah wawasan pada anak
down syndrome adalah dengan memberikan program
stimulasi berupa game puzzle.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 15


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Salah satu subjek mampu memainkan game puzzle
dengan baik, meskipun membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Saran
untuk penelitian ke depan program stimulasi berupa game
puzzle dapat diterapkan untuk menstimulasi perkembangan
anak DS, serta diuji efektivitasnya dengan menggunakan
desain eksperimen misalnya dengan single case design serta
dengan melakukan pengukuran yang cermat terhadap
perubahan aspek perkembangan pada DS.

Daftar Pustaka
Gunahardi. (2005). Penanganan Anak Syndrome Down Dalam
Lingkungan Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Infodatin (Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI): Antara Fakta
dan Harapan Sindrom Down. Kementerian Kesehatan
RI Pusat Data dan Informasi. Jakarta Selatan. Diakses
pada tanggal 2 November 2019.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus Jilid 1. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI, Depok.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development :
Perkembangan Masa Hidup Jilid I. (B. Widyasinta,
Penerjemah) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Selikowitz, M. (2001). Mengenal Sindrom Down. Jakarta:
Arcan.
Vanesia, Kenzia Chrisantia. (2012). Gambaran Stres dan
Coping pada Ibu yang Memiliki Anak Penyandang
Down Syndrome: Studi Kasus Pada SLB Cahaya Jaya.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi.
Universitas Bina Nusantara: Jakarta.

16 | Deteksi dan Stimulasi Aspek Kognitif Down…..


DETEKSI KETERLAMBATAN
PERKEMBANGAN BAHASA DAN
PROGRAM STIMULASI DENGAN METODE
STORY TELLING

Nurul Af’idah I., Refi Amalia R., Zafira Mumtaza A.

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Perkembangan anak mengalami peningkatan yang pesat
pada usia 0-5 tahun, sehingga ahli psikologi perkembangan
menamai dengan masa golden age. Maknanya adalah pada usia ini
anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup
cepat sehingga anak mudah dalam menerima stimulus dari
lingkungan sekitar. Pemberian perhatian terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak merupakan hal yang dibutuhkan.
Deteksi dini merupakan salah satu hal yang penting untuk
dipehatikan dalam tumbuh kembang anak. Pemberian intervensi
dengan menggunakan metode story telling merupakan suatu
alternatif bagi anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan, termasuk perkembangan bahasa.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan deteksi dini
keterlambatan perkembangan bahasa pada anak dengan
menggunakan teknik observasi checklist di salah satu daycare kota
Malang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga anak yang
mengalami keterlambatan perkembangan bahasa ekspresif.

Kata kunci: Keterlambatan perkembangan bahasa, metode


story telling.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 17


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
PENDAHULUAN
Anak usia dini merupakan anak yang berada dalam
rentang usia 0-6 tahun. Beberapa ahli mengungkapkan
bahwa pada saat anak menginjak usia 0-6 tahun
sesungguhnya anak berada pada usia keemasan (golden age)
di mana anak dapat menangkap informasi dari penglihatan,
pendengaran, dan pengamatan melalui lingkungan sekitar,
hal ini dikarenakan anak berada dalam fase perkembangan
dan pertumbuhan yang meningkat secara pesat.
Pertumbuhan anak usia dini meliputi pertumbuhan fisik
seperti: tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, serta
kemampuan motorik halus dan motorik kasar anak, selain
itu perkembangan anak usia dini juga meliputi aspek bahasa,
kognitif dan sosio-emosional.
Fakta menunjukkan bahwa terdapat juga anak yang
mengalami keterlambatan secara perkembangan seperti
gangguan berbicara, gangguan menulis, dan gangguan
lainnya. Keterlambatan berbicara termasuk dalam gangguan
berbicara (gangguan bahasa). Menurut Hardiono (2010)
secara klinis seorang anak yang mengalami keterlambatan
bahasa apabila dalam usia 2 tahun anak hanya dapat
mengucapkan 50 kata atau belum bisa mengkombinasikan
dua kata.
Data menunjukkan bahwa prevalensi dari
perkembangan bicara mencapai 15% pada anak usia 2 tahun,
sedangkan sebagian dokter lebih memilih untuk menunggu
berdasarkan fakta bahwa perkembangan bicara yang
tergolong masih bervariasi pada umur 2 tahun. Disisi lain
50% anak yang mengalami keterlambatan bicara akan
mengejar keterlambatan tersebut pada umur 3 tahun, dan
bila keterlambatan bicara hanya disebabkan oleh
keterlambatan perkembangan, prognosisnya cukup baik
(dalam Hardiono, 2010). Salah satu keterlambatan bicara
yang dialami oleh anak usia dini yakni gangguan bahasa
reseptif.
Gangguan bahasa reseptif merupakan suatu kondisi di
mana seorang anak mengalami kesulitan dalam menyatakan

18 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..


atau mengungkapkan suatu ide dan perasaan. Secara klinis
gejala dari gangguan ekspresif diantaranya: tidak mau
berbicara, perbendaharaan kata terbatas, membuat
kesalahan dalam kosa kata, mengalami kesulitan dalam
mengingat kata atau bentuk kalimat panjang, mengalami
kesulitan dalam mencapai nilai akademik/komunikasi sosial,
tidak mampu memulai suatu percakapan, dan sulit dalam
menceritakan kembali suatu cerita.
Faktor yang menyebabkan anak mengalami gangguan
bahasa ekspresif yaitu: intelegensi, jenis disiplin, posisi
urutan kelahiran, besarnya keluarga, status sosial ekonomi,
status ras, berbahasa dua dan penggolongan peran seks.
Gangguan bahasa ekspresif sebagian besar dialami oleh anak
usia dini dengan rentang usia 0-6 tahun. Pemberian stimulasi
dengan menggunakan metode tepat merupakan kebutuhan
bagi anak yang mengalami gangguan bahasa ekspresif
(Hurlock, 2011).
Metode mendongeng menurut Soebadi (dalam IDAI,
2013) diduga dapat mengoptimalkan perkembangan bahasa
anak. Kegiatan mendongeng merupakan media yang
menarik dan atraktif serta dapat memperluas
perbendaharaan kata pada anak. Metode mendongeng juga
dapat membantu anak mengekspresikan diri selain
mengandung nilai-nilai moral bagi kehidupan anak. Oleh
karenanya, penulis memilih menggunakan metode
mendongeng (bercerita) sebagai program stimulasi
terhadap anak yang mengalami gangguan bahasa ekspresif.
Gangguan perkembangan bahasa menurut DSM-V
(dalam Pusponegoro, 2010) disebut dengan gangguan
bahasa (language disorder), yang merupakan kesulitan
menetap dalam bertambahnya kemampuan bahasa dan
penggunaan bahasa (bicara, tulisan, bahasa tubuh) karena
adanya defisit produksi (ekspresif) dan pengertian (reseptif)
bahasa. Ciri dari language disorder adalah kurangnya
perbendaharaan kata, keterbatasan struktur kalimat, dan

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 19


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
gangguan penggunaan bahasa secara tepat dan kemampuan
bahasa anak kurang dibandingkan dengan anak seumurnya.
Language disorder dapat dibagi menjadi gangguan
ekspresif, reseptif, atau kombinasi keduanya dengan derajat
berbeda-beda, mulai dari ringan sampai berat. Berbagai
komponen bahasa dapat terganggu, misalnya pragmatik,
semantik atau sintaks. Karakteristik gangguan bahasa
ekspresif pada anak biasanya mempunyai inteligensi normal,
pendengaran normal, hubungan emosi yang baik, dan
kemampuan artikulasi normal. Gangguan utama berupa
disfungsi otak yang menyebabkan ketidak-mampuan untuk
mengubah ide ke dalam bentuk perkataan. Anak dapat
menggunakan mimik untuk menambah terbatasnya ekspresi
verbalnya. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan
keterlambatan bicara ekspresif.
Anak dengan keterlambatan bicara ekspresif akan
berkembang dengan sendirinya, sedangkan anak dengan
gangguan bicara ekspresif tidak akan membaik tanpa
diberikan stimulasi atau intervensi. Adanya gangguan fungsi
reseptif mempersulit diagnosis banding dengan disabilitas
intelektual dan dapat menjadi petunjuk bahwa anak
mengalami kesulitan yang lebih besar di kemudian hari.
Kharakteristk & kriteria gangguan bicara adalah
sebagai berikut:
 Kriteria diagnosis gangguan bahasa ekspresif
a) Perkembangan bahasa ekspresif kurang bila
dibandingkan kapasitas intelektual non-verbal dan
perkembangan bahasa reseptif. Secara klinis, ditandai
dengan perbendaharaan kata yang terbatas,
kesalahan dalam mengucapkan kalimat, kesulitan
memilih kata untuk berbicara atau kesulitan
membuat kalimat yang kompleks dan panjang sesuai
dengan umur perkembangan.
b) Gangguan bahasa ekspresif menyebabkan gangguan
akademis, pekerjaan, atau komunikasi sosial.
c) Tidak memenuhi kriteria gangguan bahasa campuran
reseptif-ekspresif atau spektrum gangguan autistik.

20 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..


d) Bila disertai retardasi mental, defisit bicara karena
gangguan fungsi oral-motor atau deprivasi
lingkungan, derajat kesulitan berbahasa melebihi
yang biasanya ditemukan pada keadaan tersebut.
 Kriteria diagnosis gangguan bahasa reseptif-ekspresif
a) Perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif kurang
bila dibandingkan kapasitas intelektual non-verbal.
Secara klinis, terlihat sebagai gejala gangguan bahasa
ekspresif ditambah dengan kesulitan mengerti dan
memahami kata atau kalimat yang diucapkan orang
lain.
b) Gangguan bahasa reseptif dan ekspresif
menyebabkan gangguan akademis, pekerjaan, atau
komunikasi sosial.
c) Tidak memenuhi kriteria spektrum gangguan
autistik.
d) Bila disertai retardasi mental, defisit bicara karena
gangguan fungsi oral-motor, defisit sensoris atau
deprivasi lingkungan, derajat kesulitan berbahasa
melebihi yang biasanya ditemukan pada keadaan
tersebut.
Faktor-faktor penyebab gangguan bahasa: (a) Faktor
genetik, adanya riwayat keluarga dengan gangguan
berbahasa atau belajar merupakan faktor risiko penurunan
secara genetik ini bukan secara gen tunggal tetapi
melibatkan banyak gen secara kompleks ditambah pengaruh
faktor lingkungan, (b) Faktor lingkungan dan sosial. Anak
yang dibesarkan di lingkungan dengan pendidikan orangtua
yang rendah, miskin, jumlah anak yang banyak, stres sosial
yang tinggi dan kurang ekspresif, seringkali tertinggal dalam
perkembangan bicara dan bahasa, menggunakan 2 bahasa
pada awalnya menunjukkan sedikit keterlambatan bicara
ekspresif, namun biasanya sudah dapat mengejar pada umur
2 tahun bila tidak ada faktor lain, (c) Faktor risiko seperti
gender, prematuritas, berat badan ketika lahir, lahir
kembar, urutan lahir, sosio-ekonomi, status mental ibu,

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 21


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
edukasi dan perbendaharaan kata ibu, serta riwayat
keluarga kesulitan bicara-bahasa.
Berdasarkan kajian literatur penanganan anak yang
mengalami gangguan bahasa menurut Van Tiel (2011) salah
satunya dapat dilakukan dengan bantuan profesional,
seperti psikolog dan dokter. Penanganan dari profesional
diperlukan untuk mengetahui pasti permasalahan yang
terjadi pada anak hingga nanti akan muncul diagnosa yang
mengarah pada penanganan apa yang sebaiknya dilakukan
kepada anak.
Dalam proses belajar di kelas guru juga dapat
memberikan stimulus kepada siswanya melalui media
permainan. Berdasarkan pendapat Skinner, mengatakan
bahwa bahasa adalah sama halnya dengan pola perilaku lain
yang dapat dipelajari jika seseorang mendapatkan stimulus
yang baik dari lingkungan eksternal.
Media permainan dapat menjadi salah satu upaya yang
efektif untuk membantu menangani anak dengan gangguan
bahasa. Hal ini selaras dengan Parten (dalam Papalia, dkk.,
2014) yang mengungkapkan bahwa dalam sebuah
permainan anak akan mengembangkan kemampuan sosial
karena bermain sifatnya lebih interaktif dan koorporatif.
Salah satu media permaianan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan bahasa anak adalah dengan
bercerita (story telling). Story telling merupakan media
permainan yang berisi cerita singkat yang diceritakan
dengan berbagai media, seperti boneka, gambar dan
sebagainya. Hal ini baik untuk perkembangan bahasa anak,
karena anak mengembangkan pola belajar sosial, dimana
mereka akan mengamati dan melakukan hal-hal yang biasa
dilihat dari cerita yang disajikan.
Menurut Pellowski (dalam Nurcahyani, 2010) story
telling didefinisikan sebagai ketrampilan bernarasi dari
cerita-cerita dalam bentuk syair atau prosa, yang
dipertunjukkan atau dipandu oleh satu orang di hadapan
audience secara langsung dimana cerita tersebut dapat
dinarasikan dengan cara diceritakan atau dinyanyikan,
dengan atau tanpa musik, gambar, ataupun dengan iringan
22 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..
lain yang mungkin dapat dipelajari secara lisan, baik melalui
sumber tercetak, ataupun melalui sumber rekaman
mekanik.
Story telling bermanfaat sekali bagi guru untuk
memberi motivasi dan mengembangkan daya kesadaran
serta memperluas imajinasi anak (Loban, dalam Aliyah,
2011). Orangtua juga dapat melakukan kegiatan story
telling di berbagai kesempatan seperti ketika anak-anak
sedang bermain. Metode story-telling atau bercerita
merupakan metode yang tepat dalam memenuhi
kebutuhan tersebut karena dalam cerita terdapat nilai-nilai
yang dapat dikembangkan yakni: (1) Nilai personal,
maksudnya cerita itu dapat mengembangkan nilai personal
apabila pesan yang disampaikan dapat memberikan
kesenangan dan kenikmatan, mengembangkan imajinasi,
memberikan pengalaman yang benar-benar dapat dihayati,
mengembangkan pandangan ke arah perilaku manusia,
menyuguhkan pengalaman-pengalaman yang bersifat
universal, (2) Nilai edukatif atau intelektual diantaranya
dapat mengembangkan kemampuan berbahasa,
kemampuan membaca, kepekaan terhadap cerita,
kemampuan menulis, mengembangkan aspek sosial dan
emosional, kreativitas, dan aspek kognitif (Siswanto, 2008).
Ada berbagai macam cara menyampaikan story telling
yang dapat dipilih oleh pendongeng kepada pendengar.
Sebelum acara story telling dimulai, biasanya pendongeng
telah mempersiapkan terlebih dahulu jenis cerita yang
akan disampaikan agar pada saat mendongeng nantinya
dapat berjalan lancar. Dalam hal ini, penulis menyebut
bercerita atau story telling sebagai tuturan tentang kisah
fiktif dan nyata. Sementara itu, mendongeng yang
merupakan bagian dari cerita adalah menuturkan cerita
fiktif seperti fabel, kisah, atau legenda. Jenis story telling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cerita yang
mempunyai misi edukasi artinya story telling tidak hanya

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 23


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki muatan
pendidikan di dalamnya.
Menurut Asfandiyar (2007), berdasarkan isinya story
telling dapat digolongkan ke dalam berbagai jenis antara
lain: a) Story telling pendidikan, yaitu dongeng yang
diciptakan dengan suatu misi pendidikan bagi anak-anak,
misalnya menggugah sikap hormat kepada orang tua, b)
Fabel adalah dongeng tentang kehidupan binatang yang
digambarkan dapat bicara seperti manusia. Cerita-cerita
fabel sangat fleksibel digunakan untuk menyindir perilaku
manusia tanpa membuat manusia tersinggung, misalnya;
dongeng kancil, kelinci, dan kura-kura.
Hibana (dalam Kusmiadi, 2008), manfaat dari
kegiatan mendongeng ini antara lain mengembangkan
fantasi, empati dan berbagai jenis perasaan lain,
menumbuhkan minat baca, membangun kedekatan dan
keharmonisan, dan media pembelajaran, sementara itu
bagi anak dengan mendongeng b er m a n f a a t u n t u k
mengembangkan daya pikir dan imajinasi, mengembangkan
kemampuan berbicara mengembangkan daya sosialisasi,
sarana komunikasi, media terapi anak-anak bermasalah,
mengembangkan spiritualitas anak, menumbuhkan
motivasi atau semangat hidup, menanamkan nilai-nilai dan
budi pekerti, membangun kontak batin antara pendidik
dengan murid, membangun watak-karakter,
mengembangkan aspek kognitif, afektif sosial, dan aspek
konatif.
Beberapa manfaat yang akan d i peroleh dengan
bercerita: sebagai saran untuk menyampaikan nasehat dan
tauladan dari khasanah cerita-cerita islami, membentuk
perilaku yang baik, menyampaikan ajaran agama terutama
Islam, kisah Nabi dan Rasul, orang-orang sholeh, selain
sebagai sarana hiburan yang sederhana, efektif dan menarik
(Mubarok,2008).
Tujuan penelitian ini: (1) melakukan deteksi dini
hambatan perkembangan bahasa pada anak usia dini, (2)
merekomendasikan program stimulasi story telling, yang
diduga dapat digunakan sebagai program stimulasi untuk
24 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..
mengurangi hambatan berbicara ekspresif pada anak usia
dini.

METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif digunakan agar mendapatkan data
yang akurat maka peneliti turun langsung ke lapangan dan
berbaur dengan subjek dalam jangka waktu tertentu
disebut dengan observasi partisipatif.

Partisipan
Karakteristik subjek dalam penelitian ini yaitu anak
yang berumur 2 tahun sampai 3 tahun, berjenis kelamin
perempuan atau laki-laki, diduga mengalami gangguan
keterlambatan bahasa ekspresif. Lokasi penelitian
bertempat di Griya Imut Care Malang, yang merupakan salah
satu tempat daycare di Malang. Jumlah populasi anak di Griya
Imut Care berjumlah 26 anak dengan rentang usia 1 tahun
hingga 6 tahun. Namun, sesuai dengan tujuan penelitian,
penulis membatasi hanya pada anak dengan rentang usia 2
hingga 3 tahun. Subjek penelitian dalam penelitian ini
berjumlah 10 anak yang memiliki rentang usia 2 hingga 3
tahun.
Prosedur penelitian: (a) melakukan pra-skrining
untuk melihat kondisi lapangan dan mengetahui subjek
mana yang mengalami tanda-tanda gangguan keterlambatan
berbahasa. Pra-skrining menggunakan KPSP (Kuesioner Pra
Skrining Perkembangan) yang disusun oleh IDAI dan
DEPKES, yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan
anak normal sesuai umurnya atau ada penyimpangan.
Pemeriksaan KPSP adalah penilaian perkembangan anak
dalam empat sektor perkembangan yaitu, bicara/bahasa,
motorik kasar, motorik halus, dan sosialisasi/kemandirian,

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 25


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
(b) kemudian penulis menggunakan instrumen berupa
observasi dengan menggunakan check list. Pedoman check
list observasi menggunakan indikator pedoman dari DSM IV
dan PPDGJ III pada gangguan perkembangan bahasa
ekspresif, yang telah disesuaikan untuk umur 2 hingga 3
tahun.

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
observasi dan wawancara. Jenis observasi yang digunakan
yaitu observasi partisipan. Menurut Borden & Abbot (dalam
Ni’matuzahroh & Prasetyaningrum, 2016) yaitu dimana
pengamat terlibat aktif pada kegiatan yang sedang diamati
dan mencatat perilaku yang muncul pada saat itu. Dalam hal
ini pengamat ikut terlibat langsung dalam beberapa aktivitas
seperti partisipasi kegiatan, dokumentasi, dan wawancara.
Teknik observasi yang dilakukan adalah check list
observation. Sedangkan, wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk wawancara semi terstruktur,
dimana tidak ada standar baku namun hanya terdapat point-
point utama yang diajukan dalam pertanyaan. Wawancara
dilakukan kepada pihak daycare untuk memperkaya data
dan informasi dalam penelitian.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil skrining atau deteksi awal,
observasi dan wawancara dengan pengasuh daycare,
diperoleh data mengenai perkembangan bahasa anak usia 2
hingga 3 tahun. Sebelumnya dilakukan skrining melalui KPSP
(kuesioner pra-skrining perkembangan) sesuai dengan
umurnya masing-masing untuk mengetahui usia
perkembangan anak. Dari 10 anak yang berusia 2 hingga 3
tahun ditemukan tiga anak yang mengalami kecenderungan
keterlambatan bahasa ekspresif, dua subjek berumur 2
tahun dan satu subjek berumur 3 tahun. Keterlambatan
bahasa ditunjukkan dengan ciri-ciri yaitu sebagai berikut: (a)
pada anak usia 2 tahun pada indikator pengurangan kosa
26 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..
kata; anak hanya dapat mengucapkan kurang dari 50 kata,
anak sulit mengganti kosa kata dengan tepat, anak tidak
dapat menyebutkan gambar yang ditunjukkan dengan benar
(minimal 3 gambar).
Pada indikator keterbatasan struktur kalimat, anak
tidak dapat menggunakan kata kerja/kata benda/kata ganti,
dan tidak dapat mengucapkan kalimat yang terdiri dari dua
jenis kata. Sedangkan pada indikator penurunan dalam
pembicaraan, anak kesulitan dalam menceritakan atau
mengulang suatu kejadian, menyampaikan sesuatu
menggunakan isyarat dengan menunjuk-nunjuk, dan 80%
perkataan anak tidak dapat dipahami. (b) pada anak yang
berumur 3 tahun ditunjukkan dengan ciri-ciri
keterlambatan bahasa sebagai berikut: pada indikator
pengurangan kosa kata, anak tidak dapat menyebut kurang
dari 250 kata serta sulit mengganti kosa kata yang tepat.
Merujuk pada indikator keterbatasan struktur
kalimat, ditunjukkan dengan indikasi berikut: tidak dapat
menggunakan kata penghubung dan kata kerja, kata ganti,
tidak dapat menggunakan 3 jenis kata dalam satu kalimat,
tidak dapat mengulang 3 digit angka. Pada indikator
penurunan dalam pembicaraan, ditandai adanya kesulitan
dalam menceritakan ulang peristiwa, menyampaikan
sesuatu menggunakan isyarat dengan menunjuk-nunjuk, dan
60-70% perkataan tidak dapat dipahami.
Faktor yang melatarbelakangi subjek mengalami
keterlambatan bahasa diantaranya yaitu: faktor kecerdasan,
status sosial ekonomi, gaya pengasuhan, penggunaan dua
bahasa atau lebih, dan kesehatan. Pada keadaan subjek lebih
dipengaruhi pada gaya pengasuhan yang cenderung jarang
melakukan komunikasi dua arah oleh orang tua maupun
pengasuh.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
ditemukan tiga subjek yang memiliki ciri-ciri sesuai
karakteristik keterlambatan bahasa ekspresif. Dua
diantaranya berumur 2 tahun dan satu anak lainnya

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 27


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
berumur 3 tahun. Ciri-ciri yang telah disebutkan di atas
merupakan karakteristik yang dialami anak yang mengalami
gangguan keterlambatan bahasa ekspresif ditandai dengan:
anak tidak banyak bicara/cenderung pendiam, kurangnya
penguasaan kosa kata, pengungkapan kalimat yang tidak
jelas, belum mampu berbicara dengan lancar, ketika
menginginkan sesuatu anak hanya memberikan isyarat
dengan menunjuk-nunjuk atau mengungkapkan dengan kata
“aahh, ouuh, ehhh”, dan sulit berkonsentrasi pada waktu
tertentu.
Gangguan keterlambatan bahasa ekspresif bercirikan
anak mengalami kesulitan dalam merespon tetapi anak
dapat memahami perkataan yang diutarakan oleh orang
dewasa. Hal tersebut membuat anak sulit untuk
mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung menjadi
anak yang pendiam. Sebenarnya anak ingin berkomunikasi
dengan orang lain, namun terhambat karena anak sulit
untuk merespon perkataan mereka.
Kajian teoritik menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi anak mengalami keterlambatan
perkembangan bahasa diantaranya: intelegensi, jenis
disiplin, urutan kelahiran, besarnya saudara, status sosial
ekonomi, berbahasa dua atau lebih, penggolongan peran
seks, dan interaksi orang tua (Marimbi, 2010).

DISKUSI & IMPLIKASI


Fenomena yang ditemukan dilapangan, adanya anak
yang mengalami keterlambatan bicara tetapi pengasuh
daycare maupun orangtua belum memahami betul bahwa
hal tersebut merupakan indikasi gangguan bicara, sehingga
belum ada upaya penangganan secara serius. Oleh karena
itu penulis berusaha memberikan program stimulasi untuk
mengatasi permasalahan di atas. Target utama program
stimulasi keterlambatan bicara adalah mengajarkan anak
dengan strategi yang dapat dipahami apa yang diucapkan
orang lain sehingga menghasilkan komunikasi yang baik.
Media permainan dapat menjadi salah satu upaya yang

28 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..


efektif untuk membantu menangani anak dengan gangguan
bahasa.
Hal ini selaras dengan pendapat dari Parten (dalam
Papalia dkk, 2014) yang mengungkapkan bahwa dalam
sebuah permainan anak akan mengembangkan kemampuan
sosial karena bermain sifatnya lebih interaktif dan
kooperatif. Salah satu media permaianan yang dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa anak
adalah story telling. Story telling merupakan media permainan
yang memuat cerita singkat yang diceritakan dengan
berbagai media, seperti boneka, gambar dan sebagainya.
Metode ini diduga efektif untuk perkembangan bahasa anak,
karena anak mengembangkan pola belajar sosial, dimana
mereka akan mengamati dan melakukan hal-hal yang biasa
mereka lihat dari cerita yang sering disajikan.
Story telling merupakan metode bermain yang mudah
dan dapat dilakukan oleh orangtua maupun guru. Berbeda
dengan metode permainan lainnya, story telling dapat
dilakukan dengan memanfaatkan benda atau permainan
yang ada di sekitar anak. Story telling yang interaktif dapat
membantu anak menguasai perbendaharaan kata. Selain itu,
story telling yang dilakukan secara kelompok dapat melatih
kemampuan sosial anak serta membantu anak dengan
gangguan perkembangan bahasa untuk meningkatkan
penguasaan bahasa. Metode story telling merupakan media
permainan yang interaktif dan sederhana yang dapat
menjadi solusi bagi orangtua dan guru dengan tujuan
membantu anak dengan gangguan perkembangan bahasa.

KESIMPULAN
Periode 36 bulan pertama atau usia 3 tahun
merupakan masa kritis dalam perkembangan bahasa anak.
Hartanto (2010) mengungkapkan bahwa kecepatan
perkembangan bahasa pada masa ini tidak pernah diulang
dimasa yang lain. Sehingga diperlukan intervensi sedini

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 29


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
mungkin. Prognosis anak-anak di usia 2 tahun dengan
gangguan keterlambatan bahasa ekspresif 2-5 kali lebih
beresiko menjadi gangguan permanen di masa akhir pra-
sekolah maupun sekolah dasar daripada anak yang tidak
mengalami keterlambatan bahasa (Hartanto, 2010).
Kurangnya perhatian yang serius oleh pengasuh
maupun orang tua menyebabkan penangganan anak dengan
keterlambatan bahasa menjadi lambat untuk dilakukan
intervensi lebih lanjut, sehingga dapat beresiko bagi
perkembangan anak kedepannya. Dengan menggunakan
metode story telling diharapkan dapat menjadi metode
komprehensif bagi anak yang mengalami keterlambatan
bahasa ekspresif untuk meningkatkan kosa kata, sehingga
perkembangan bahasa sesuai dengan perkembangan anak
seusianya.
Story telling dapat menjadi solusi sederhana bagi
orangtua dan guru di sekolah untuk melatih membelajarkan
bahasa pada anak khususnya pada anak dengan gangguan
perkembangan bahasa. Story telling dapat dilakukan tanpa
perlu media khusus, dapat pula dilakukan dengan
memanfaatkan benda di sekitar anak untuk memulai
bercerita. Karena penerapannya yang sederhana metode
story telling dapat diterapkan oleh orangtua dan pengasuh di
sela-sela aktivitas anak, seperti ketika anak akan tidur atau
dapat juga dilakukan sebagai sesi permainan pagi sebelum
anak makan atau tidur siang.
Penelitian yang dilakukan lebih berfokus pada upaya
melakukan deteksi dini pada anak yang memiliki
kecenderungan keterlambatan bahasa ekspresif.
Rekomendasai penelitian ke depan dapat dilanjutkan untuk
menerapkan program stimulasi dengan metode story telling
sebagai strategi penangganan anak dengan keterlambatan
bahasa ekspresif, dengan menggunakan desain eksperimen,
dengan tujuan menguji pengaruh intervensi metode story
telling untuk meningkatkan perkembangan bahasa pada anak
usia dini.

30 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..


DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, S. (2011). Pengaruh Metode Story telling dengan
Media Panggung.
Asfandiyar Yudha, A. (2009). Cara Pintar Mendongeng.
Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Hartanto, Wiliam (2018). Deteksi keterlambatan bicara
dan bahasa pada anak. Jurnal RSUD Depati Hamzah
Volume (45) No. (7) Bangka Belitung.
Herdiasyah, H. (2015). Metodologi penelitian Kualitatif.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hurlock, Elizabeth (2011). Psikologi Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:
Erlangga.
Nurcahyani, D. (2010). Pengarah Kegiatan Story Telling
Terhadap Pertumbuhan Minat Baca Siswa di TK
Bangun 1 Getas Kec. Pabelan Kab. Semarang: Skripsi
Universitas Diponegoro.
Nurgiyantoro, B. (2013). Penilaian Pembelajaran Bahasa
Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2014). Menyelami
Perkembangan Manusia Edisi 12. Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika.
Pusponegoro, H. (2010). A Journey to Child
Neurodevelopment: Application in Daily Practice. Jakarta:
Badan Penerbit Dokter Anak Indonesia.
Pusponegoro, H.D. (2010). Specific Language Impairment.
(online)
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/hardiono.puspo
negoro/publication/specific_language_impairments.p
df diakses pada 31 Oktober 2019.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 31


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Santrock, J. W. (2011). Life Span Development. Jakarta:
Erlangga.
Sari, A.K. (2018). Penanganan Anak Usia Dini dengan
Gangguan Bahasa Ekspresif di KB Al Azkia Lab
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Purwokerto Tahun Ajaran 2017/2018. Skripsi. IAIN
Purwokerto.
Soebadi, M. (2013). Keterlambatan Bicara.
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-
anak/keterlambatan-bicara. Diakses pada 01
November 2019.
Usia Dini. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, UPI, Bandung.
Van Tiel, J. (2011). Pendidikan Anakku Terlambat Bicara.
Jakarta: Prenada.

32 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..


DETEKSI HAMBATAN PERKEMBANGAN
SOSIAL ANAK AUTIS DAN PROGRAM
STIMULASI MENGGUNAKAN
THREE GAME SERIES FOR PEER GROUP

Aulia Hapsari H.P., Dyah Fitrianingrum,


Zulfa Sabilun Najah

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Autism Spectrum Disorder atau biasa disingkat ASD
adalah salah satu gangguan yang dapat dialami oleh anak,
ketika mengalami beberapa ciri-ciri seperti yang terdapat
pada DSM V. Biasanya, anak autis bersekolah di Sekolah
Luar Biasa (SLB) atau dapat pula bersekolah di sekolah
inklusi. Sekolah inklusi yaitu sekolah yang terdiri dari anak-
anak normal dan anak berkebutuhan khusus, di mana
mereka belajar dan berinteraksi bersama seperti misalnya
SDN Percobaan 1 Malang. Anak autis yang bersekolah di
sekolah inklusi dituntut untuk dapat pula beradaptasi
dengan lingkungan sekitar termasuk dengan teman-
temannya. Proses adaptasi yang terjadi dapat berjalan
dengan baik apabila anak memiliki ketrampilan sosial yang
mumpuni. Keterampilan sosial ini termasuk interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku. Sebagai upaya membantu anak
autis dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
terutama ketika berada di sekolah inklusi, penulis
melakukan deteksi dini terlebih dahulu terhadap rentang
tingkat level keparahan kondisi ketrampilan sosial anak
autis yang menjadi subjek penelitian. Tujuan dari penelitian

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 33


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
ini yaitu untuk dapat meningkatkan keterampilan
sosial yang dialami oleh anak ASD kelas 1 di sekolah inklusi.
Desain penelitian menggunakan metode penelitian
kuantitatif dengan analisis deskriptif. Partisipan terdiri dari
dua orang GPK (Guru Pendamping Khusus) yang berada di
SDN Percobaan 1 Malang. Teknik sampling menggunakan
purposive sampling dengan analisis data menggunakan
analisis deskriptif dan tabel dikotomisasi skala likert serta
rater judgment.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ditemukan
anak yang mengalami ASD dengan ditandai hambatan pada
ketrampilan sosialnya; (2) tingkat ketrampilan sosial ASD
sang subjek berada pada level 2 yang menunjukkan bahwa
dirinya membutuhkan bantuan dalam meningkatkan
ketrampilan sosialnya; (3) three game series for peer group
sebagai upaya intervensi guna meningkatkan keterampilan
sosial anak autis.
Implikasi temuan penelitian adalah ketrampilan sosial
anak ASD perlu ditingkatkan. Rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya perlu diberikan intervensi berupa
three game series for peer group khususnya pada ASD guna
meningkatkan keterampilan sosial dengan penelitian
eksperimen.

Kata Kunci: autism spectrum disorder, ketrampilan sosial.

PENDAHULUAN
Secara umum, anak autis mengalami hambatan di
semua aspek perkembangan yaitu kognitif, fisik, dan sosio-
emosional. Menurut DSM-V, Gangguan Spektrum Autisme
(ASD) adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan
kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta perilaku
yang terbatas dan berulang (restricted and repititive behavior)
yang dapat mengganggu performa anak dalam aktivitas
sehari-hari. Anak-anak yang termasuk dalam kriteria
diagnosis autism spectrum disorder berdasarkan DSM V ada
lima kriteria, diantaranya: (1) Mengalami defisit yang terus-
34 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..
menerus ketika berkomunikasi dan berinteraksi sosial di
berbagai situasi, (2) Pola perilaku, minat, atau kegiatan yang
berulang dan terbatas, (3) Gejala autisme harus ada pada
periode tahapan perkembangan awal (tetapi mungkin tidak
terlalu terlihat sepenuhnya sampai terdapat tuntunan sosial
yang melebihi batasan yang ada, atau gejala tersebut dapat
ditutupi oleh strategi yang dipelajari di kemudian hari), (4)
Gejala autisme menyebabkan gangguan signifikan secara
klinis di bidang sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya
yang berfungsi saat ini, (5) Gangguan ini tidak lebih baik
dijelaskan oleh kecacatan intelektual (gangguan
perkembangan intelektual) atau keterlambatan
perkembangan secara global.
Ciri-ciri penting dari gangguan spektrum autisme
adalah gangguan persisten pada komunikasi sosial dan
interaksi sosial (Kriteria A), dan pola berulang yang dibatasi
perilaku, minat, atau aktivitas (Kriteria B). Gejala-gejala ini
muncul sejak anak usia dini dan membatasi kesehariannya
(Kriteria C dan D). Prevalensi ASD yang ada di Indonesia
belum ditemukan data yang pasti.
Menurut Dokter Rudy, yang merujuk pada Incidence
dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder), terdapat 2
kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus
per 1000 penduduk (BMJ, 1997). Sementara itu, penduduk
Indonesia yaitu 237,5 juta dengan laju pertumbuhan
penduduk 1,14% (BPS, 2010), oleh karena itu diperkirakan
penyandang ASD di Indonesia yakni 2,4 juta orang dengan
pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun.
Kesulitan pada keterampilan sosial dan interaksi
sosial adalah ciri khas ASD, meskipun kesulitan-kesulitan
tersebut berbeda dari satu anak ke anak lainnya dan
tergantung batas tertentu sesuai usia dan functioning level
anak. Prastini (dalam Rizki, 2017) mengatakan bahwa
ketrampilan sosial merupakan elemen utama untuk
mengadakan hubungan sosial dengan lingkungan yang
didalamnya meliputi kegiatan interaksi sosial,

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 35


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
berkomunikasi, serta berperilaku. Kebutuhan ketrampilan
sosial dibutuhkan untuk berinteraksi dengan orang lain,
seperti berkomunikasi, bermain, dan lain-lain. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial menurut
Cartledge dan Milburn (dalam Putri & Purnamasari, 2014)
diantaranya: (1) cognitive and behavioral skill deficit, (2) umur,
(3) jenis kelamin, (4) tingkat perkembangan, dan (5)
lingkungan sosial.
Semakin dini anak dideteksi, maka pemberian
stimulasi dan intervensi sebagai langkah kuratif dapat
menjadi langkah preventif untuk aspek-aspek
perkembangan anak di masa mendatang. Terutama anak-
anak berkebutuhan khusus yang dimasukkan ke dalam
sekolah inklusi dengan tujuan melatih kemandirian dan
melihat keharusan bahwa anak nantinya akan dikembalikan
kedalam masyarakat, sehingga ketrampilan sosial sangat
diperlukan.
Tujuan penelitian ini: (1) melakukan deteksi terhadap
anak-anak yang mengalami ASD, (2) merekomendasikan
program stimulasi yang tepat untuk anak-anak yang
mengalami ASD.

METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang siswi
yang terdiagnosis autism spectrum disorder, bernama R dan
sedang duduk di bangku kelas 1 SDN X di kota Malang.
Sekolah tersebut merupakan salah satu Sekolah Dasar yang
telah menerapkan kelas inklusi di kota Malang sejak tahun
2004. Penulis menggunakan teknik purposive sampling,
dikarenakan hanya subjek tertentu dengan syarat
memenuhi kriteria yang bisa dijadikan sampel dalam
penelitian ini.

Instrumen Penelitian

36 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..


Instrumen dalam penelitian ini menggunakan dua alat
ukur yang telah diadaptasi dan divalidasi sesuai dengan
kaidah penelitian, yaitu: (1) untuk mengukur tingkat
keterampilan sosial ASD menggunakan Coolidge Autistic
Symptoms Survey (berupa skala likert) yang diberikan
kepada dua orang GPK dan (2) Instrumen Asesmen
Keterampilan Interaksi dan Komunikasi pada Anak Autistic
Spectrum Disorder (ASD) yang digunakan untuk mengukur
level keparahan keterampilan sosial anak penyandang ASD.
Coolidge Autistic Symptoms Survey (CASS) adalah
inventori terdiri dari 84-item, di mana orangtua sebagai
responden yang telah dirancang untuk menilai Autism
Spectrum Disorder sesuai dengan kriteria DSM-5. Pada saat
mengumpulkan data, penulis mengadaptasi 25 item yang
masuk ke dalam Kriterion A terkait keterampilan sosial.
Selanjutnya, instrumen asesmen ketrampilan interaksi dan
komunikasi pada Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)
merupakan sebuah alat ukur untuk mengukur level
keparahan anak yang mengalami ASD terkait ketrampilan
sosialnya. Terdapat 4 level dalam instrumen tersebut, yang
masing-masing terdiri atas 10 item. Cara melakukan
asesmen melalui pengamatan langsung atau observasi pada
subjek dalam natural setting selama periode tertentu untuk
melihat intensitas dan frekuensi gejala yang ditunjukkan.
Kedua instrumen tersebut telah dicek validitasnya
dengan menggunakan expert judgement yang terdiri,
mahasiswa lulusan S1 bahasa inggris, serta dosen
pembimbing. Kemudian untuk analisis CASS menggunakan
tabel dikotomisasi dan analisis deskriptif dan instrumen
kedua menggunakan rater judgement.

Prosedur Penelitian
Sebelum mengambil data, penulis memberikan
formulir persetujuan kepada orangtua/wali murid untuk
memberikan ijin kepada anaknya yang ASD ikut

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 37


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
berpartisipasi dalam penelitian ini. Kemudian penulis
menyampaikan gambaran besar tujuan dan rangkaian
kegiatan penelitian ini. Setelah mendapat ijin,penulis
mengumpulkan data dengan mendeteksi melalui asesmen
menggunakan alat ukur atau instrumen yang telah
ditetapkan. Kemudian dirancang sebuah intervensi sesuai
dengan kebutuhan subjek sesuai dengan level keparahan
ASD yang dialami anak.

HASIL PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Prosedur skoring dilakukan dengan cara memberi
skor individual dengan menghitung jumlah skor seluruh
pernyataan atau item, baik favorabel dan unfavorabel. Skor 1
atau 0 ini diperoleh dari dikotomisasi kategori respons per
item (lihat Tabel 1). Menginterpretasi skor masing-masing
responden dengan kriteria yang mendapat skor > ½ k, di
mana k sebagai jumlah pernyataan/item skala sikap, maka
responden tersebut dapat dikatakan favorabel atau setuju
dengan topik skala sikap. Penulis menggunakan skala Likert
pada instrumen yang diadaptasi yaitu Collidge Autistic
Symptoms Survey (CASS) pada 2 responden guru
pendamping khusus (shadow) dari subjek R (lihat Tabel 2).
Berdasarkan tabel skoring pada 25 item per individu,
diperoleh informasi bahwa skor 1 dapat ditafsirkan sebagai
indikasi adanya sikap favorabel, sedangkan skor 0
merupakan indikasi sikap tak favorabel.

38 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..


Pada skor individual yang sama dengan atau lebih
besar daripada ½ k dapat diartikan adanya sikap yang
favorabel, sedangkan pada skor individual yang lebih kecil
daripada ½ k dapat diartikan adanya sikap yang tak
favorabel. ½ k berarti ½ dari 25 sama dengan di atas 12. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa subjek yang memiliki total
skor sama dengan atau di atas 12 menandakan adanya sikap
favorabel, sedangan subjek yang memiliki total skor dibawah
8 menandakan adanya sikap unfavorabel. Dapat disimpulkan
bahwa kedua responden di SDN X Malang dengan skor >
12, yang menunjukkan bahwa mereka setuju apabila subjek
R terdiagnosis mengalami autism spectrum disorder sesuai
dengan kriteria DSM-V terkait keterampilan sosialnya.

Analisis Rater Judgment


Pengumpulan data selanjutnya menggunakan
instrumen kedua yaitu instrumen asesmen keterampilan
interaksi dan komunikasi pada penderita: Autistic Spectrum
Disorder (ASD) dan diperoleh hasil temuan bahwa subjek
R masuk tergolong level 2 dalam perkembangan interaksi-
komunikasi (lihat Tabel 3).

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 39


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Data yang diperoleh dari intrumen kedua
menunjukkan bahwa subjek R memiliki tingkat keparahan di
level 2, yang berarti bahwa subjek R dapat mengungkapkan
sebuah keinginan dengan memberi tanda, dapat merespon
stimulus, terjadinya kontak mata, dan mampu mengucapkan
kata-kata walaupun belum memahami artinya, oleh karena
itu, dapat dikatakan subjek R membutuhkan program
intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosialnya
sesuai dengan level keparahan yang dimiliki.

DISKUSI & IMPLIKASI


Berdasarkan prosedur deteksi dini terhadap
Responden R, berdasarkan data menunjukkan adanya ASD
dengan keparahan level 2, oleh karena itu perlu diberikan
program stimulasi sebagai langkah awal penanganan.
Program intervensi yang di tawarkan berupa Three Game
Series for Peer Group yang berisi tiga rangkaian permainan
berupa terowongan naga, puzzle/balok, dan kotak
berhadiah. Ketiga permainan ini bersifat fleksibel yang
dapat diberikan kepada anak sesuai dengan situasi dan
kondisi (waktu dan urutan permainan diberikan). Rangkaian
permainan ini bertujuan untuk meningkatkan aspek sosio-
emosi anak serta untuk meningkatkan keterampilan sosial
anak. Rata-rata durasi permainan yang diberikan yaitu
berkisar 15 menit per permainan sehingga total waktu kira-
kira menghabiskan kurang lebih 1 jam.
Langkah-langkah dalam melakukan permainan
tersebut yaitu diawali dengan memainkan terowongan naga
terlebih dahulu, bisa dilanjut dengan bermain puzzle/balok
dan dilanjutkan dengan memainkan kotak berhadiah. Alat
dan bahan dapat menggunakan barang yang sederhana.
Misalnya ketika bermain terowongan naga dapat
menggunakan kedua tangan sebagai terowongan dan anak-
anak yang lain berbaris membentuk naga. Puzzle/balok
dapat menggunakan permainan yang berada di ruang
permainan sumber. Permainan kotak berhadiah dapat
menggunakan matras yang ada di ruang sumber. Hal

40 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..


terpenting dari rangkaian permainan ini adalah perlunya
dimainkan antara anak yang mengalami ASD dengan anak-
anak yang lain sehingga permainan-permainan ini dapat
meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.
Peer group adalah kelompok teman sebaya yang
sukses ditandai dengan kemampuan berinteraksi satu sama
lain. Dalam kelompok teman sebaya (peer group),
dimungkinkan terjadi interaksi antara satu individu dengan
lainnya, sehingga diharapkan apabila teman sendiri yang
terlibat dalam keseharian subjek (R) maka dapat
membangun ketrampilan sosial yang efektif.
Hal ini yang mendasari alasan penulis merekomendasi
intervensi berbasis peer group, dikarenakan teman sebaya
adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah sosial pada
masa kanak-kanak. Semakin intens waktu yang dihabiskan
anak berinteraksi dengan temannya, maka diharapkan
semakin baik pula keterampilan sosialnya.
Manfaat three games series for peer group di sekolah
inklusi, diharapkan membantu beberapa hal seperti: (1)
membangun kelekatan (attachment) antar siswa
berkebutuhan khusus dengan siswa yang normal lainnya, (2)
menanamkan penerimaan (acceptance) sejak dini terkait
teman berkebutuhan khusus pada anak regular, (3)
membantu adaptasi atau penyesuaian anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusi, (4) mengembangkan jiwa sosial
anak sejak dini yaitu empati, (5) menambah pengetahuan
dan memberikan informasi kepada para guru tentang
bagaimana cara mengajarkan dan memperlakukan anak
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian
selanjutnya adalah intervensi ini dapat menjadi model
pembelajaran yang dapat diterapkan di sekolah-sekolah
terutama sekolah inklusi. Untuk penelitian selanjutnya
dapat dilakukan uji efektivitas program intervensi terhadap
ASD, menggunakan desain eksperimen.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 41


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
KESIMPULAN
Temuan penelitian menunjukkan bahwa subjek R
memiliki gangguan pada ketrampilan sosial dengan tingkat
keparahan level 2, sehingga memiliki keterbatasan dalam hal
interaksi bersama teman sebaya di lingkungan sekolah.
Oleh karena itu, perlu diberikan program intervensi yang
diduga dapat meningkatkan ketrampilan sosial anak ASD.
Deteksi ASD dalam penelitian ini menggunakan Coolidge
Autistic Symptoms Survey dan Instrumen Asesmen
Keterampilan Interaksi dan Komunikasi pada Anak Autistic
Spectrum Disorder (ASD). Program intervensi yang
direkomendasikan adalah Three Game Series for Peer Group
yang berisi tiga rangkaian permainan dengan waktu, alat dan
bahan yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
anak di sekolah inklusi. Intervensi didasarkan dengan teori
yang menyatakan bahwa peer group merupakan teman-
teman sebaya saling bekerjasama dan saling membantu
diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan sosial pada
ASD. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya untuk
mengetahui efek dari program intervensi yang diberikan
dapat diuji menggunakan penelitian dengan desain
eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”.
Washington DC: American Psychiatric Publishing.
Washington DC.
Bohlander, A.J. & Varley, C.K. (2012). Social Skills Training
for Children with Autism, no. 59,165-174. Dari
pediatric.theclinics.com.
Coolidge, F.L. (2016). Coolidge Autistic Symptoms Survey.
(Online),
(http://coolidgetests.org/sample/CASS_Sample.php),
diakses 7 September 2019.

42 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..


Kirk, S.; Gallagher, J.J., Coleman, M.R., & Anastasiow, N.
(2009). Education Exceptional Children, 12th edition.
New York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing
Company.
Koegel, L., Matos-Fredeen, R., Lang, R. & Koegel, R. (2011).
Interventions for Children with Autism Spectrum
Disorders in Inclusive School Settings, Cognitive and
Behavioral Practice. Dari
www.elsevier.com/locate/cabp.
Putri, S.D.N.O & Purnamasari, A. (2014). Keterampilan
Sosial pada Siswa Taman Kanak-Kanak Tahfidz. Jurnal
Psikologi Integratif, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 71 – 85.
Diakses dari ejournal.uin-suka.ac.id.
Rizki, A.N. (2017). Profil Keterampilan Sosial Anak Autistik di
Sekolah Penyelenggara Program Inklusi (SPPI) Kota
Yogyakarta. Jurnal Widia Ortodidaktika Vol 6 No 2. Dari
journal.student.uny.ac.id.
Sugiamin, M., Alimin, & Homdidjah, O.S., (2009). Instrumen
Asesmen Keterampilan Interaksi dan Komunikasi pada
Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) (Dikembangkan
Berdasarkan Bukti Empirik). Diakses dari file.upi.edu.
(2015). Sekolah Penyelenggara Inklusi Kota
Malang Tahun 2015. (Online),
(https://diknas.malangkota.go.id/sekolah-
penyelenggara-inklusi-kota-malang-tahun-2015/),
diakses 7 September 2019.
(2018). Hari Peduli Autisme Sedunia: Kenali
Gejalanya, Pahami Keadaannya. (Online),
(https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/
read/31/1682/hari-peduli-autisme-sedunia-kenali-
gejalanya-pahami-keadaannya), diakses 7 September
2019.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 43


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
(2019). Sekolah Inklusi Tempat Belajar Anak
Berkebutuhan Khusus. (Online),
(http://pk.kemdikbud.go.id/2019/03/15/sekolah-
inklusi-tempat-belajar-anak-berkebutuhan-khusus/),
diakses 7 September 2019.

44 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..


DETEKSI DAN PROGRAM STIMULASI
“TARI GEMBIRA” UNTUK MENURUNKAN
HIPERAKTIVITAS PADA ANAK ADHD

Izza Safira P., Kencana Nendrarani D.,


Zakkiyatul Bariza

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Attention-deficit hyperactivity disorder atau ADHD
merupakan salah satu gangguan perkembangan dengan
gejala utama yaitu: (1) kurang perhatian, (2) hiperaktif dan
(3) impulsif. Gangguan ini dialami oleh setidaknya 8%-12%
anak di seluruh dunia. Sejumlah penelitian yang telah
dilakukan mengungkapkan bahwa dance/movement therapy
(DMT) atau terapi gerakan tari dapat menurunkan gejala-
gejala ADHD, salah satunya adalah hiperaktif.
Hiperaktivitas pada anak dengan ADHD ditandai dengan
level aktivitas yang tinggi dan hampir selalu bergerak.
Upaya deteksi adanya gangguan ADHD dilakukan
dengan mengembangkan alat ukur mengacu pada kriteria
diagnostik dalam DSM-IV-TR. Program intervensi yang
dirancang untuk mengurangi ADHD adalah program terapi
gerakan tari yang diberi nama “Tari Gembira”. Namun
demikian, program intervensi yang direkomendasikan perlu
dilakukan uji efektivitas untuk penelitian selanjutnya.

Kata kunci: ADHD, hiperaktivitas, terapi gerakan tari

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 45


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
PENDAHULUAN
Attention-Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD
merupakan salah satu gangguan perkembangan yang
umumnya dialami anak sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala
utama dalam gangguan perkembangan ini adalah kurang
perhatian, hiperaktif dan impulsif. ADHD merupakan salah
satu ganguan perkembangan yang mempengaruhi
setidaknya 8%-12% anak di seluruh dunia (Faraone, dkk.,
2003).
Penelitian oleh Kim, dkk. (2016) mengungkapkan
bahwa prevalensi anak dengan ADHD di Korea adalah
11,7% pada anak laki-laki dan 5,2% pada anak perempuan,
dengan prevalensi keseluruhan adalah 8,5%. Selain itu, pada
tahun 2016, diperkirakan 6,1 juta anak-anak Amerika
Serikat (AS) berusia 2-17 tahun (9,4%) AS pernah
menerima diagnosis ADHD. Dari jumlah tersebut, 5,4 juta
saat ini masih memiliki ADHD, yang mana 89,4% anak-anak
yang pernah didiagnosis dengan ADHD dan 8,4% dari
semua anak-anak AS yang berusia 2-17 tahun (Danielson
dkk., 2018). Penelitian lain oleh Liu, dkk (2018)
menunjukkan bahwa prevalensi yang memperkirakan
ADHD di Tiongkok Daratan, Hong Kong, Taiwan secara
berturut-turut adalah sebanyak 6,5%, 6,4% dan 4,2%.
Di Indonesia, belum ada perevalensi yang pasti terkait
dengan ADHD. Namun, terdapat beberapa penelitian
terbatas yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi
ADHD di beberapa wilayah di Indonesia. Penelitian oleh
Indriyani, dkk. (2008) mengungkapkan bahwa prevalensi
ADHD di Denpasar adalah sebesar 49,5%. Selain itu,
penelitian oleh Novriana, Yanis & Masri (2014)
mengungkapkan bahwa prevalensi ADHD di kecamatan
Padang Timur adalah sebesar 8%. Selain itu, dalam suatu
penelitian yang dilakukan di Jakarta dilaporkan bahwa
prevalensi ADHD sebesar 4,2% (Adiputra, Sutarga &
Pinatih, 2015).

46 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..


Gangguan perkembangan ADHD yang tidak
memperoleh penanganan tepat dapat berdampak negatif,
baik bagi penderita maupun bagi orang-orang di sekitarnya.
Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan bagi
penderita adalah gangguan pada kegiatan akademik dan
pekerjaan, serta efek negatif pada rasa harga diri (self-
esteem). Sementara itu, dampak negatif terhadap
masyarakat atau orang-orang di sekitar penderita di
antaranya adalah permasalahan finansial dan stres,
khususnya bagi keluarga (Biederman dalam Kim, dkk.,
2016).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai
penanganan untuk anak dengan gangguan perkembangan
ADHD adalah dengan memberikan aktivitas fisik. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara efektif
dalam membantu dalam menurunkan gejala-gejala ADHD
pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Smith, dkk. (2013)
mengungkapkan bahwa aktivitas fisik menunjukkan mampu
berperan untuk mengatasi gejala ADHD pada anak.
Selain itu, penelitian lain juga mengungkapkan bahwa
aktivitas fisik tampaknya efektif untuk mengurangi gejala
seperti perhatian, hiperaktif, impulisif, kecemasan, fungsi
eksekutif dan gangguan sosial pada anak-anak dengan
ADHD (Cerrillo-Urbina, dkk. 2015) Salah satu bentuk
aktivitas fisik yang dapat digunakan untuk menangani anak
dengan gangguan perkembangan ADHD adalah
dance/movement therapy (DMT) atau terapi gerakan tari.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gronlund, Renck & Weibull (2005) yang mengungkapkan
bahwa DMT dapat meningkatkan fungsi motor serta
mengurangi gejala perilaku dan emosional pada anak
berusia 5-7 tahun yang didiagnosa ADHD. Selain itu,
penelitian lain juga menguatkan bahwa DMT merupakan
intervensi yang lebih baik untuk meningkatkan masalah
perilaku dan perhatian pada anak dengan ADHD (Parekh,
Malawade & Rokade, 2018).Terapi gerakan tari juga dapat

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 47


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
menurunkan hiperaktivitas anak dengan ADHD (Dani,
Utami & Sumijati, 2017).
Kajian literartur menjelaskan bahwa hiperaktivitas
merupakan gejala utama gangguan perkembangan ADHD.
Menurut Ormrod (2008), siswa dengan hiperaktivitas
ditandai dengan gejala berikut: memiliki energi yang besar,
selain itu mudah gelisah, lalu-lalang di kelas pada saat yang
tidak tepat, atau sulit bekerja atau bermain dengan lebih
tenang.
Attention-deficit hyperactivity disorder atau ADHD
merupakan gangguan yang ditandai dengan satu atau
beberapa dari sejumlah karakteristik berikut selama
periode waktu tertentu, yaitu kurang perhatian, hiperaktif
dan impulsif. Anak-anak yang kurang perhatian ini kesulitan
untuk memberikan perhatian terhadap apa pun dan mudah
bosan jika harus menghadapi tugas selama beberapa menit,
atau bahkan beberapa detik. Anak-anak yang hiperaktif
memperlihatkan level aktivitas yang tinggi dan hampir selalu
bergerak. Sedangkan, anak-anak yang impulsif kesulitan
mengontrol reaksi-reaksinya dan sulit berpikir secara baik
sebelum bertindak (Santrock, 2011).
Kriteria diagnostik untuk gangguan perkembangan
ADHD menurut APA (2000) dalam Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision
(DSM-IV-TR) adalah sebagai berikut:
A. Baik (1) maupun (2):
(1) enam (atau lebih) gejala tidak perhatian (inattention)
berikut telah berlangsung selama setidaknya 6 bulan
hingga pada tingkatan yang maladaptif dan
inkonsisten dengan tahapan perkembangan:
Tidak Perhatian (In-attention)
(a) sering gagal untuk memperhatikan hingga detail
atau membuat kesalahan yang ceroboh dalam
pekerjaan sekolah, bekerja, atau aktivitas
lainnya.
(b) sering mengalami kesulitan untuk
mempertahankan perhatian dalam tugas atau
aktivitas bermain.
48 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..
(c) sering tampak tidak mendengarkan saat diajak
bicara secara langsung.
(d) sering tidak mengikuti instruksi dan gagal
menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan
rumah, atau tanggung jawab di tempat kerja
(bukan karena perilaku oposisi atau kegagalan
untuk memahami instruksi).
(e) sering mengalami kesulitan dalam mengatur
tugas dan aktivitas.
(f) sering menghindari, tidak menyukai, atau enggan
untuk terlibat dalam tugas yang memerlukan
upaya mental berkelanjutan (seperti pekerjaan
sekolah atau pekerjaan rumah).
(g) sering kehilangan hal-hal yang diperlukan untuk
tugas atau aktivitas (misalnya, mainan, tugas
sekolah, pensil, buku, atau alat).
(h) seringkali mudah terganggu oleh rangsangan
asing (extraneous).
(i) sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
(2) enam (atau lebih) dari gejala hiperaktivitas-
impulsivitas berikut ini telah bertahan selama
setidaknya 6 bulan hingga pada tingkatan yang
maladaptif dan inkonsisten dengan tahap
perkembangan:
Aktivitas Berlebihan (Hiperaktivitas)
(a) sering bergerak/tidak tenang dengan tangan atau
kaki atau bergurau di tempat duduk.
(b) sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau
dalam situasi lain di mana perilaku duduk tenang
diharapkan oleh lingkungan.
(c) sering berlarian atau memanjat secara
berlebihan di situasi yang tidak tepat (pada
remaja atau dewasa, mungkin terbatas pada
perasaan gelisah subjektif).
(d) sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat
dalam aktivitas santai dengan tenang.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 49


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
(e) sering bertindak seolah-olah “di perjalanan”
atau “digerakkan oleh mesin”.
(f) sering berbicara secara berlebihan.

Sulit Mengontrol Dorongan (Impulsivitas)


(g) sering melontarkan jawaban sebelum
pertanyaan selesai/lengkap.
(h) sering mengalami kesulitan dalam menunggu
giliran.
(i) sering menyela atau mengganggu orang lain
(misalnya, menyela dalam percakapan atau
permainan).
B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau kurang
perhatian yang menyebabkan gangguan muncul sebelum
usia 7 tahun.
C. Beberapa gangguan dari gejala-gejala hadir dalam dua
keadaan atau lebih (misalnya: di sekolah, di kantor dan
di rumah).
D. Harus ada bukti yang jelas tentang gangguan klinis
signifikan dalam fungsi sosial, akademis dan pekerjaan.
E. Gejala-gejalanya tidak muncul secara khusus selama
perkembangan gangguan perkembangan pervasif,
skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan
sebaiknya tidak dikaitkan dengan gangguan mental
lainnya (seperti gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadian).
American Dance Therapy Association atau ADTA
(dalam Serlin, 2010) menjelaskan dance/movement therapy
(DMT) atau terapi gerakan tari sebagai “penggunaan
gerakan psikoterapi sebagai proses yang memadukan
integrasi emosional, kognitif, sosial dan fisik individu.”
Definisi lain dari terapi gerakan tari yaitu “penggunaan
gerakan ekspresif dan tarian sebagai sarana yang melaluinya
individu dapat terlibat dalam proses integrasi dan
pertumbuhan pribadi” (Payne,1992). Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa dance movement therapy atau
terapi gerakan tari adalah penggunaan gerakan ekspresif
dan tarian dalam psikoterapi. Bila individu dapat melaluinya,
50 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..
maka individu dapat meningkatkan integrasi emosional,
kognitif, sosial dan fisiknya.
Terapi menari dapat berfungsi sebagai intervensi bagi
individu dengan kondisi psikologis dan fisik termasuk
kecemasan, depresi, gangguan psikosomatis, penyakit
jantung, kanker, dan kerusakan neurologis. Selain itu, terapi
menari dapat digunakan untuk anak-anak yang mengalami
masalah perkembangan, trauma dan perpisahan, kecemasan
berkaitan dengan hospitalisasi, dan perubahan pada fungsi
dan citra tubuh. Dalam lingkungan seperti komunitas
pendukung kanker dan rumah sakit, kelompok yang
menggunakan terapi gerakan tari membantu pasien
menghadapi kehilangan dan kematian serta menemukan
harapan dan arti dibalik penyakitnya (Serlin, 2010).
Tujuan penelitian (1) melakukan deteksi dini terhadap
ADHD (2) merancang program stimulasi menggunakan
dance / movement therapy (DMT) atau terapi gerakan tari
untuk mengurangi ADHD.

METODE PENELITIAN
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah orangtua/wali
murid di Taman Penitipan Anak (TPA) X di Kota Malang
berjumlah 25 anak. Rentang usia dari partisipan adalah 25-
41 tahun. Dalam penelitian ini, partisipan diperkenankan
untuk tidak menulis nama secara terang (inisial) dengan
tujuan menjaga kerahasiaan identitas responden. Kriteria
utama dari partisipan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Bersedia dengan sukarela menjadi subjek penelitian, (2)
Memiliki anak dengan rentang usia 4-7 tahun.

Instrumen Pengumpulan Data


Untuk melakukan deteksi awal terhadap gangguan
ADHD penulis menggunakan instrumen yang

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 51


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
dikembangkan dari kriteria diagnostik ADHD dalam DSM
IV TR. Menurut DSM IV TR disebutkan bahwa anak
dikatakan mengalami gangguan ADHD jika terdapat 6 gejala
(memenuhi 6 pernyataan pada instrumen) hiperaktivitas
dan impulsivitas untuk waktu minimal 6 bulan dan
ditemukan kurang dari 6 gejala gangguan pemusatan
perhatian dan dimulai sebelum usia 7 tahun. Gejala-gejala
yang muncul tetap ada pada saat anak berada di sekolah
ataupun di rumah, bersifat maladaptif, dan tidak sesuai
dengan tahap perkembangan anak.
Untuk mengimplementasikan program stimulasi
ADHD menggunakan gerakan “Tari Gembira”. Untuk
menguji perubahan ADHD menggunakan Conners Teacher
Rating Scale yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan
oleh Tanoyo (2015). Skala pengukuran tersebut dipakai
untuk mengukur perubahan tingkah laku anak ADHD
sebelum dan sesudah terapi gerakan “tari gembira”
dilakukan.
Alat ukur untuk deteksi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Skala Conners Teacher Rating Scale
(CTRS) berisi 10 aitem yang dapat diisi oleh guru sebagai
observer. Seorang anak dikatakan mengalami gangguan
ADHD jika jumlah atau skor dari instrumen yang telah
disusun melebihi dari angka lima belas (≥ 15), sedangkan
jika mendapat skor ≥ 12 dapat dicurigai adanya gangguan
hiperkinetik, selanjutnya dapat dikonsultasikan ke seorang
ahli (psikiater anak).

Analisis Data
Data penelitian diperoleh dari kuesioner penelitian
deteksi ADHD pada anak, dianalisis dengan mengacu pada
kriteria diagnostik menurut DSM-IV-TR (APA, 2000), di
mana: (1) enam (atau lebih) gejala tidak perhatian
(inattention), hiperaktif dan impulsivitas telah berlangsung
selama setidaknya 6 bulan hingga pada tingkatan yang
maladaptif dan inkonsisten dengan tahapan perkembangan,
(2) beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau kurang

52 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..


perhatian menyebabkan gangguan muncul sebelum usia 7
tahun, (3) beberapa gangguan dari gejala-gejala muncul
dalam dua keadaan atau lebih (misalnya, di sekolah dan di
rumah), (4) ada bukti yang jelas tentang gangguan klinis
signifikan dalam fungsi sosial, akademis, dan pekerjaan, serta
(5) gejala-gejalanya tidak muncul secara khusus selama
perkembangan gangguan perkembangan pervasif,
skizofrenia atau gangguan psikotik lainnya, dan sebaiknya
tidak dikaitkan dengan gangguan mental lainnya (seperti
gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif,
atau gangguan kepribadian).
Untuk menganalisis data yang diperoleh dari
kuesioner penelitian efektivitas terapi gerakan tari terhadap
hiperaktivitas anak yang mengalami ADHD, digunakan
norma berdasarkan Conners’ Teacher Rating Scale (CTRS),
di mana seorang anak dikatakan mengalami gangguan
ADHD jika skor dari instrumen yang telah dikembangkan
di atas angka lima belas (≥ 15), sedangkan jika mendapat
skor ≥ 12 dapat dicurigai adanya gangguan hiperkinetik
dapat dikonsultasikan ke seorang ahli (psikiater anak).

PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur Deteksi ADHD
Peneliti mengunjungi TPA X di kota Malang
menyesuaikan jadwal pulang siswa di TPA. Kemudian,
penulis menyerahkan kuesioner penelitian pada kepala
sekolah TPA X di kota Malang untuk disebarkan kepada
orangtua murid. Responden yang terlibat dalam penelitian
ini, berjumlah 25 orang. Selanjutnya orangtua diminta untuk
mengisi kuesioner. Daftar pertanyaan (kuesioner) dalam
penelitian ini terdiri dari dua macam sub-pernyataan yang
masing-masing berjumlah sembilan pernyataan. Pernyataan
di sub pertama merujuk pada gangguan perhatian
sedangkan pertanyaan sub kedua merujuk pada gangguan
hiperaktif dan impulsivitas. Kuesioner yang telah diisi

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 53


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
kemudian diserahkan kembali kepada penulis di hari
berikutnya untuk dilakukan analisis.

Prosedur Program Stimulasi “Tari Gembira”


Rancangan program stimulasi “Tari Gembira” adalah
adaptasi dari dance movement therapy oleh Parekh,
Malawade & Rokade (2018). Program stimulasi ini
dirancang untuk diterapkan dalam kelompok. Satu
kelompok tari berjumlah lima orang beranggotakan siswa
yang normal dan siswa ADHD. Program stimulasi ini
dilaksanakan tiga kali dalam satu minggu, di setiap
pertemuan berdurasi sekitar 30 menit hingga 45 menit.
Implementasi program ini didampingi oleh tiga orang
pendamping.
Program stimulasi “tari gembira” terdiri atas tiga
tahapan, yaitu:
a. Tahap pemanasan, dimulai dengan peregangan selama
kurang lebih lima menit, kemudian dilanjutkan dengan
berlari kecil secara melingkar selama dua hingga tiga
menit dan lompat ditempat selama kurang lebih dua
hingga tiga menit.
b. Tahap pelaksanaan latihan tari gembira, kurang lebih
selama dua puluh menit yang didalamnya terdapat
penyesuaian gerakan tari dengan ritme musik.
c. Tahap pendinginan, siswa diminta untuk duduk dengan
kaki terjulur lurus ke depan.
HASIL PENELITIAN
Hasil Analisis Data Deteksi ADHD Pada Anak
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan gambaran
hasil analisis data deteksi dini anak dengan ADHD dengan
rentang usia 4-7 tahun, serta memenuhi enam kriteria atau
lebih menurut DSM-IV-TR (APA, 2000).

Tabel 1: Data Deteksi ADHD (N= 25 anak)

No Kriteria Jumlah (N)

54 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..


A Gejala kurang perhatian
5
(inattention)
B Gejala hiperaktivitas &
1
impulsivitas
C Gejala kurang perhatian
(inattention), hiperaktivitas & 1
impulsivitas
D Tidak memenuhi kriteria A, B
18
dan C
Total (N) 25

Hasil penelitian sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1


di atas memberikan informasi bahwa dari 25 partisipan,
dengan rentang usia 4-7 sebagai berikut: (a) 5 dari 25 anak
(20%) memenuhi enam atau lebih kriteria gejala kurang
perhatian (inattention), (b) 1 dari 25 anak (4%) yang
memenuhi kriteria gejala hiperaktivitas & impulsivitas, (c) 1
dari 25 anak (4%) yang memenuhi kriteria gejala kurang
perhatian (inattention), hiperaktivitas dan impulsivitas, dan
(d) 18 dari 25 anak (72%) tidak memenuhi kriteria dari
gejala kurang perhatian (inattention), gejala hiperaktivitas &
impulsivitas, serta gejala kurang perhatian (inattention)
hiperaktivitas & impulsivitas.

DISKUSI & IMPLIKASI


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25
partisipan penelitian yang memiliki anak dengan rentang
usia 4-7 tahun, terdapat: (a) 5 anak yang memenuhi enam
atau lebih kriteria gejala kurang perhatian (inattention); (b)
1 anak yang memenuhi kriteria gejala hiperaktivitas &
impulsivitas; (c) 1 anak yang memenuhi kriteria gejala
kurang perhatian (inattention), hiperaktivitas dan
impulsivitas; serta (d) 18 anak yang tidak memenuhi kriteria
dari gejala kurang perhatian (inattention), gejala

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 55


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
hiperaktivitas & impulsivitas, gejala kurang perhatian
(inattention) hiperaktivitas & impulsivitas.
Santrock (2011) mengemukakan bahwa ada tiga
karakteristik yang secara konsisten diperlihatkan oleh anak-
anak dengan ADHD selama periode waktu tertentu, yaitu
kurang perhatian, hiperaktif dan impulsif. Selain itu,
menurut DSM-IV-TR (APA, 2000) anak dengan ADHD
mengalami enam atau lebih gejala yakni tidak perhatian,
hiperaktif dan impulsif selama setidaknya 6 bulan hingga
pada tingkatan mal-adaptif yang inkonsisten dengan tahap
perkembangan.
Merujuk pada hasil penelitian dapat diketahui bahwa
terdapat 1 anak dari 25 anak yang terlibat dalam penelitian
diduga memiliki gejala ADHD. Namun, untuk memastikan
hal ini, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut ke tenaga
profesional agar memperoleh penanganan yang tepat. Hal
ini disebabkan karena pemeriksaan ini hanya dilakukan
melalui pengisian kuesioner oleh orangtua/wali dari anak
tersebut.
Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya yang ingin
melakukan penelitian dengan tema serupa, diharapkan
untuk menambahkan teknik pengumpulan data dengan
metode observasi dan juga wawancara untuk mendukung
data yang diperoleh dari kuesioner (daftar pertanyaan).
Implikasi dari temuan penelitian adalah perlunya
dilakukan tindakan lanjutan terhadap anak yang telah
terdeteksi mengalami ADHD dengan mendesain program
stimulasi atau program intervensi yang tepat. Berdasarkan
kajian literatur Dance/movement therapy (DMT) atau terapi
gerakan tari merupakan salah satu aktivitas fisik yang dapat
digunakan untuk menurunkan hiperaktivitas pada anak
dengan gangguan perkembangan ADHD.
Implementasi program ini dapat diterapkan kepada
anak usia 2-5 tahun, yang secara positif dan menyakinkan
mengalami ADHD, meskipun pada penerapannya di
lapangan dapat diintegrasikan dengan anak yang tidak
mengalami ADHD. “Tari Gembira” merupakan program
stimulasi & intervensi yang dikembangkan penulis terdiri
56 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..
dari beberapa tahapan, yaitu: (1) pemanasan, (2)
pelaksanaan latihan gerakan tari gembira, dan (3)
pendinginan.
Rekomendasi untuk penelitian ke depan bahwa
efektivitas program ini dapat diujikan berbasis desain
eksperimen. Instrumen Conners Teacher Rating Scale
(CTRS) dapat digunakan untuk mengetahui efektivitas
program intervensi dance / movement therapy atau terapi
gerakan tari dengan judul “Tari Gembira” dapat
menurunkan hambatan perkembangan anak yakni ADHD.

KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa dari 25 partisipan penelitian yang memiliki anak
dengan rentang usia 4-7 tahun, terdapat: (1) 5 anak yang
memenuhi enam atau lebih kriteria gejala kurang perhatian
(inattention); (2) 1 anak yang memenuhi kriteria gejala
hiperaktivitas & impulsivitas; (3) 1 anak yang memenuhi
kriteria gejala kurang perhatian (inattention), hiperaktivitas
dan impulsivitas; serta (4) 18 anak yang tidak memenuhi
kriteria dari gejala kurang perhatian (inattention), gejala
hiperaktivitas & impulsivitas, gejala kurang perhatian
(inattention) hiperaktivitas & impulsivitas. Instrumen untuk
mendeteksi gangguan ADHD, dikembangkan oleh penulis
dengan mengacu pada karakteristik diagnostik menurut
DSM-IV-TR.
Dance/movement therapy (DMT) atau terapi gerakan
tari merupakan salah satu aktivitas fisik yang dapat
direkomendasikan untuk menurunkan hiperaktivitas pada
anak yang mengalami gangguan perkembangan ADHD,
khususnya dimungkinkan untuk diterapkan pada 25 anak,
usia 2-5 tahun, di Sekolah X di Malang.
“Tari Gembira” merupakan program terapi yang
dikembangkan oleh penulis terdiri dari 3 tahap yaitu: (1)
pemanasan, (2) pelaksanaan, dan (3) pendinginan. Conners

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 57


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Teacher Rating Scale (CTRS) digunakan untuk mengetahui
efektivitas dance/ movement therapy atau terapi gerakan tari
untuk mengurangi gangguan ADHD berbasis desain
penelitian eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra, I. M. S., Sutarga, I. M. & Pinatih, G. N. I. (2015).


Faktor Risiko Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) pada Anak di Denpasar. Public
Health and Preventive Medicine Archive. Juli 2015; Vol.
3, No. 1. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/21490-
ID-risk-factors-of-attention-deficit-hyperactivity-
disorder-adhd-among-children-in.pdf.
Alan, L. S., Hoza, B., Linnea, K., McQuade, J. D., Tomb, M.,
Vaughn, A. J., Shoulberg, E. K. & Hook, H. (2013).
Pilot Physical Activity Intervention Reduces Severity
of ADHD Symptoms in Young Children. Journal of
Attention Disorders. 17(1) 70–82. DOI:
10.1177/1087054711417395.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition,
Text Revision (DSM-IV-TR). Washington, DC:
American Psychiatric Association.
Cerrillo-Urbina, A., Garcia-Hermoso, A., Sanchez-Lopez,
Mairena, Pardo-Guijarro, M., Gomez, J. & Martinez-
Vizcaino, V. (2015). The effects of physical exercise
in children with attention deficit hyperactivity
disorder: a systematic review and meta-analysis of
randomized control trials: Exercise and attention
deficit hyperactivity disorder. Child Care Health and
Development. DOI: 10.1111/cch.12255.
Dani, R. A., Utami, M. S. S. & Sumijati, S. (2017). Efek
penerapan terapi gerakan tari dalam menurunkan
hiperaktivitas pada anak ADHD. In: Prosiding Temu
58 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..
Ilmiah X Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia.
ISBN: 978-602-1145-49-4.
Danielson, M. L., Bitsko, R. H., Ghandour, R. M., Holbrook,
J. R., Kogan, M. D., & Blumberg, S. J. (2018).
Prevalence of Parent-Reported ADHD Diagnosis and
Associated Treatment among U.S. Children and
Adolescents, 2016. Journal of Clinical Child &
Adolescent Psychology. 47(2), 199–212.
doi:10.1080/15374416.2017.1417860.
Edisi Ketigabelas, Jilid I Terjemahan: Benedictine
Wisdyasinta. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Faraone, S.V., Sergeant, J., Gillberg, C. & Biederman, J.
(2003). The worldwide prevalence of ADHD: is it an
American condition? World Psychiatry. 2003 Jun;
2(2):104-13. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1525
089/pdf/wpa020104.pdf.
Gronlund, E., Renck, B. & Weibull, J. (2005).
Dance/Movement Therapy as an Alternative
Treatment for Young Boys Diagnosed as ADHD: A
Pilot Study. American Journal of Dance Therapy. Vol. 27
(2), Fall/Winter 2005. DOI: 10.1007/s10465-005-
9000-1.
Helen, P. (1992). Dance Movement Therapy: Theory and
Practice. London: Routledge.
Indriyani, S. A. K., Soetjiningsih, Ardjana, I. G. A. E. &
Windiani, I. G. A. T. (2008). Prevalensi dan Faktor-
Faktor Risiko Gangguan Pemusatan Perhatian Anak
dan Hiperaktivitas di Klinik Tumbuh Kembang RSUP
Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. Vol. 9 (5), Februari
2008. DOI: 10.14238/sp9.5.2008.335-41.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 59


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Kim, M. J., Park, I. H., Lim, M. H., Ki, C. P., Cho, S. J., Kwon,
H. J., Lee, S. G., Yoo, S. J. & Ha, M. N. (2016).
Prevalence of Attention-Deficit/Hyperactivity
Disorder and its Comorbidity among Korean
Children in a Community Population. J Korean Med
Sci. 2017; 32: 401-406. Diakses dari
https://www.jkms.org/Synapse/Data/PDFData/0063J
KMS/jkms-32-401.pdf.
Liu, A., Xu, Y., Yan, Q., & Tong, L. (2018). The Prevalence
of Attention Deficit/Hyperactivity Disorder among
Chinese Children and Adolescents. Scientific reports,
8(1). 11169. doi:10.1038/s41598-018-29488-2.
Novriana, D. E., Yanis, A. & Masri, M. (2014). Prevalensi
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
pada Siswa dan Siswi Sekolah Dasar Negeri
Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2013.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2). Diakses dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/dow
nload/52/47.
Ormrod, J. E. (2008). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa
Tumbuh dan Berkembang, Edisi Keenam (Educational
Psychology Developing Learners, Sixth Edition).
Terjemahan: Dra. Wahyu Indianti, M.Si., dkk. 2009.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Parekh, S., Malawade, M. & Rokade, P. (2018). Effectiveness
of dance/movement therapy on attention deficit
disorder(add)–parents and teacher’s perspective.
International J. of Healthcare and Biomedical Research.
Volume: 06, Issue: 02, January 2018, 52-58. Diakses
dari
http://ijhbr.com/pdf/ijhbr%20January%202018%2052-
58.pdf.
Santrock, J. W. (2011). Perkembangan Masa Hidup, (Life
Span Development)

60 | Deteksi dan Program Stimulasi “Tari Gembira”…..


Serlin, I. A. (2010). Dance/Movement Therapy. In I. B.
Weiner & W. E. Craighead (Eds.), The Corsini
Encyclopedia of Psychology, Fourth Edition, Volume 2 (pp.
459-460). John Wiley & Sons, Inc.
Tanoyo, D. P. (2005). Diagnosis dan Tata Laksana
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder. Diakses
dari
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/581
1/4374.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 61


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
DETEKSI CONDUCT DISORDER
USIA KANAK-KANAK TENGAH
(MIDDLE CHILDHOOD)

Karenina Graceilia Herwandha

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Conduct Disorder merupakan pola perilaku yang tidak
sesuai dengan norma sosial untuk rata-rata seusianya. Anak
masa sekolah dasar yang memiliki hambatan perkembangan
pada aspek emosi akan memiliki kecenderungan untuk
mendapat gangguan ini. Bentuk Conduct Disorder cukup luas
yaitu seperti mencuri, melanggar aturan dan agresi
terhadap orang, binatang dan barang. Hambatan ini
mempengaruhi anak dalam perkembangan emosi hingga
muncul pada kecenderungan perilaku. Akibat lebih lanjut
perkembangan kehidupan sosial anak akan terganggu baik
dengan teman sebaya maupun dengan yang lebih luas. Oleh
karena itu penting untuk melakukan deteksi dini dalam
mendeteksi hambatan dalam perkembangan emosi
khususnya conduct disorder.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi
mengenai deteksi dini terhadap kecenderungan Conduct
Disorder. Subjek dalam penelitian ini adalah anak Sekolah
Dasar yang tergabung dalam Lembaga X yang bergerak di
bidang sosial anak. Di Kota X berjumlah 15 anak (N=15
anak). Pengukuran digunakan menggunakan turunan aspek
dari alat ukur BASC3 (Reynold & Kamphaus, 2013). Daftar
pertanyaan dan gambar disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak sekolah dasar dan kondisi normatif
anak Indonesia. Tes ini dilakukan secara individual dan
membutuhkan waktu 10 menit.

62 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....


Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Sebagian
besar anak dalam lembaga X berada dalam kecenderungan
conduct disorder kategori sedang, (2) Terdapat satu anak
dengan kecenderungan conduct disorder kategori tinggi, (3)
Aspek agresi pada orang lain dan hewan adalah aspek yang
menunjukan kecenderungan perilaku agresi paling tinggi,
yaitu 14 anak kategori sedang dan 1 anak kategori tinggi.
Setelah melakukan langkah deteksi dini, peneliti
merekomendasi berbentuk rancangan stimulasi
menggunakan metode cerita bergambar dalam
meningkatkan empati pada anak. Cerita bergambar dipilih
karena mempermudah anak dalam membayangkan situasi-
siatuai sosial yang dimaksud dalam cerita.

Kata kunci: Conduct Disorder, BASC3, Cerita Bergambar

PENDAHULUAN
Sesuai dengan tugas perkembangannya, anak sekolah
dasar berkembang baik secara fisik, kognitif dan sosio-
emosional dibanding masa prasekolah. Aspek
perkembangan sosio-emosional pada periode middle
childhood ini ditandai dengan berkembangnya pemahaman
tentang emosi, regulasi diri hingga cara untuk menghadapi
tekanan (coping stress). Selain itu anak juga memasuki tahap
perkembangan moral yang kedua menurut Korlberg.
(dalam Santrock, 2011), yaitu tahap individualisme, tujuan
instrumental dan pertukaran. Pada tahap tersebut anak
berusaha memuaskan kepentingannya sendiri dan
mendapatkan balasan dari orang lain sesuai dengan yang
mereka lakukan.
Akan tetapi, fakta menunjukan bahwa tidak semua
anak melalui masa perkembangan tanpa masalah dan
hambatan. Perkembangan aspek sosio-emosi, tidak jarang
anak mengalami gangguan perilaku yang kemudian disebut
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 63
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
conduct disorder. Secara umum, conduct disorder merupakan
pola perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial untuk
rata-rata seusianya. Bentuk conduct disorder cukup luas yaitu
seperti mencuri, melanggar aturan dan agresi terhadap
orang, binatang dan barang.
Data di lapangan mengindikasikan adanya fenomena
yang menarik, bahwa pada tahun 2018 terdapat sejumlah
kasus tawuran yang dilakukan anak SD di Indonesia
(mediaindonesia.com156541). Tindakan kekerasan
tersebut dipicu oleh masalah sepele yaitu perbedaan
pendapat dan perasaan out-group. Selain itu, anak-anak
tersebut juga menggunakan senjata tajam dalam melakukan
tindak kekerasan. Kasus tawuran pada anak SD
menunjukan kecenderungan conduct disorder yang merujuk
pada perilaku agresif. Hal ini menarik untuk dikaji melalui
langkah deteksi dan upaya penanganan conduct disorder pada
periode kanak-kanak tengah (middle childhood).
Berdasarkan perspektif perkembangan, masa kanak-
kanak tengah ditinjau dari aspek perkembangan sosio-
emosional, anak-anak sudah mengembangkan konsep diri
(self-concept) dan penghargaan diri (self-esteem). Selain itu,
anak juga mulai mengembangkan pemahaman terkait
perspektif orang lain. Perkembangan moral pada anak-anak
tengah, umumnya berada di Sekolah Dasar lebih
berkembang dibanding dengan perode sebelumnya
Santrock mengungkapkan (2011) terdapat enam aspek
perkembangan emosi yang meningkat pada periode ini
yaitu: (1) meningkatnya pemahaman emosi yang lebih
kompleks, (2) meningkatnya pemahaman bahwa pada suatu
kondisi anak dapat mengalami lebih dari satu emosi, (3)
meningkatnya kecenderungan untuk lebih menyadari
kejadian yang menimbulkan reaksi emosi, (4) meningkatnya
kemampuan untuk menekan dan mengungkapkan reaksi-
reaksi emosi negatif, (5) mulai menggunakan strategi inisiatif
diri untuk mengarahkan kembali perasaan (6) meningkatnya
kemampuan untuk berempati secara tulus.
Anak pada periode kanak-kanak tengah (middle
childhood), ditinjau dari perkembangan moral masuk pada
64 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....
tahap perkembangan moral level 1 tahap kedua. Level satu
yaitu level prakonvensional di mana belum terbentuk
internalisasi sehingga dengan demikian moral dibentuk dari
hadiah dan hukuman eksternal, sedangkan pada tahap
kedua pada level ini yaitu individualism, tujuan dan
petukaran individu. Pada tahap tersebut anak berusaha
memuaskan kepentingannya sendiri dan mendapatkan
balasan dari orang lain sesuai dengan yang mereka lakukan
(Santrock, 2011).
Menurut DSM-IV, conduct disorder adalah pola
perilaku yang menetap dan berulang, ditunjukkan dengan
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang
dianut oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan norma
sosial untuk rata-rata seusianya. Pada pembahasan ini,
perilaku tawuran yang dilakukan anak SD merupakan
perilaku di luar norma anak seusianya. Seseorang baru
dapat dikatakan memenuhi kriteria ini jika anak
menunjukkan 3 gejala spesifik selama sekurang-kurangnya
12 bulan dan paling tidak 1 gejala muncul selama lebih dari
6 bulan terakhir. Gangguan perilaku (conduct disorder)
terbagi dalam 3 tingkatan yaitu: ringan (mild), sedang
(moderate) dan berat (severity).
Berdasarkan DSM V, terdapat 4 gejala conduct disorder
yakni: (1) agresi pada orang dan hewan, (2) merusak barang,
(3) berbohong atau mencuri, (4) pelanggaran serius
terhadap peraturan misalnya: membolos, melarikan diri
dari rumah. Ditinjau dari DSM V ini, maka kasus tawuran
memenuhi gejala conduct disorder.
Menurut Kearey (dalam Rini, 2010) aspek-aspek yang
menjadi penyebab munculnya perilaku conduct disorder
adalah karakteristik kepribadian, temperamen dan
karakter, fungsi kognitif, organis dan neurologis, dinamika
keluarga, faktor sosial dan lingkungan. Lazimnya aspek yang
terganggu pada anak dengan conduct disorder adalah aspek
emosi. Untuk itu diperlukan deteksi yang dapat mengukur
aspek emosional anak. Lebih spesifiknya anak-anak dengan
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 65
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
conduct disorder akan memiliki karakteristik yang kurang
dalam empati, perasaan bersalah dan emosi prososial lain
yang penting (Frick, 2016).
Berdasarkan karakteristik perkembangan fisik,
kognitif dan sosio-emosi anak sekolah dasar belum bisa
untuk memahami asesmen formal dengan bentuk daftar
pertanyaan, oleh karena itu, buku cerita bergambar
diharapkan mampu menjadi jawaban dalam melakukan
deteksi dini terhadap kecenderungan conduct disorder pada
anak Sekolah Dasar.Buku cerita dirancang untuk mengukur
aspek emosi pada anak dengan memunculkan kejadian
sehari-hari yang dialami anak. Konsep ini sudah diterapkan
oleh Daytner dkk (2016), tetapi tidak menggunakan
gambar. Untuk tujuan penelitian ini, penulis
mengembangkan konsep serupa tetapi menggunakan
gambar ilustrasi untuk mempermudah anak dalam
mengungkap aspek emosi dalam dirinya.
Tujuan penelitian ini: (1) melakukan deteksi conduct
disorder pada anak Sekolah Dasar (SD), (2) merancang
program stimulasi untuk mengurangi conduct disorder pada
anak Sekolah Dasar (SD).

METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
dalam Lembaga Sosial X yang berada di Bululawang Malang
Selatan, berpendidikan SD berjumlah 15 anak Alasan
penulis memilih anak SD (Sekolah Dasar) karena sesuai
dengan tahapan perkembangan sosio-emosinya.
Perkembangan sosio-emosional pada periode middle
childhood ini ditandai dengan berkembangnya pemahaman
tentang emosi, regulasi diri hingga cara untuk menangani
tekanan (coping stress). Selain itu, pada usia ini, anak juga
memasuki tahap perkembangan moral yang kedua menurut
Korlberg. Tahap tersebut yaitu tahap individualisme,
berorientasi pada tujuan instrumental dan pertukaran.

66 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....


Alat Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan diturunkan dari aspek-
aspek conduct disorder berdasarkan DSM V. Daftar
pertanyaan dikembangkan dari alat ukur BASC3 oleh
Reynold dan Kamphaus (2013). Daftar pertanyaan dan
gambar disesuaikan dengan tahap perkembangan anak
Sekolah Dasar dan kondisi normatif anak Indonesia.
Dihasilkan 14 skenario cerita yang membuat anak memilih
sesuai dengan apa yang dia pernah lakukan. Jawaban
berbentuk Skala Likert untuk melihat kecenderungan
munculnya perilaku. Jawaban anak akan dibandingkan
dengan norma anak seusia dan dilihat berdasarkan tiga
karakteristik yaitu: ringan, sedang atau berat menurut
BASC3. Selain itu, untuk memperkuat hasil penelitian,
penulis juga menggunakan lembar observasi.

Analisis Data
Analisi data menggunakan analisis data deskriftif
menggunakan teknik presentase. Sementara prosedur
skoring dan norma untuk kategorisasi ditampilkan pada
tabel 1 dan 2 di bawah ini.

Tabel 1 Prosedur Skoring


Aspek Prosedur Skoring
Agresi pada orang dan barang Total skor / 21 x 100
Merusak barang Total skor / 6 x 100
Mencuri Total skor / 9 x 100
Melanggar aturan Total skor / 6 x 100

Berdasarkan pedoman yang sudah dirumuskan,


kemudian data conduct disorder dikelompokkan ke dalam
tiga klasifikasi yaitu: ringan, sedang dan berat, sebagaimana
ditampilkan pada tabel 2 di bawah ini.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 67


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Tabel 2: Klasifikasi Data Conduct Disorder
Presentase Kategori
67 % – 100% Tinggi
35 % – 67% Sedang
0% – 34 % Rendah

Prosedur Penelitian
Setiap anak mendengarkan cerita interaktif dari
penulis. Selain itu, cerita ditambahkan gambar pendukung.
Setiap anak juga diminta mewarnai beberapa gambar
tersebut. Pada akhir kegiatan anak diminta memilih perilaku
yang akan pernah atau perilaku yang biasanya dilakukan.
Jawaban anak dicatat di lembar skoring. Penulis juga
mengobservasi bagaimana pilihan anak dalam mewarnai
gambar cerita tersebut.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil tes kecenderungan conduct disorder
pada 15 anak pada siswa Sekolah Dasar di lembaga sosial
anak X di Kota X, ditemukan 14 anak (93,33%) yang berada
pada kategori sedang, Lembaga X adalah Lembaga yang
bergerak di bidang Sosial Anak dan menaungi anak-anak
yang kurang mampu. Lembaga ini bergerak di bidang
pendidikan, kesehatan dan kerohanian.
Hasil penelitian menunjukan kecenderungan conduct
disorder (CD) pada kategori sedang pada anak dengan
kondisi sosio-ekonomi menengah ke bawah. Terdapat
temuan yang menarik yaitu terdapat seorang anak dengan
inisial VE yang memiliki kecenderungan tinggi untuk conduct
disorder dengan skor 67,65%. Untuk perincian tingkat
kemampuan membaca dan persentase tiap aspek akan
dideskripsikan sebagai berikut:

Tabel 3. Data Kecenderungan Conduct Disorder

68 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....


Kecenderungan Presentase Frekuensi
Conduct Disorder
Tinggi 67 % – 100 % 1
Sedang 34 % – 66 % 14
Rendah 0 % – 33 % 0

Berdasarkan Tabel 3, tidak terdapat anak dengan


kecenderungan CD dalam kategori rendah, selain itu, 14
anak masuk dalam kategori sedang atau memiliki
kecenderungan CD dari 34% hingga 66% dan satu orang
anak berinisial VE dengan katageori tinggi, yaitu
kecenderungan CD yang tinggi yaitu 67,65%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 14
siswa menunjukkan kecenderungan CD dalam kategori
yang “sedang” yaitu: SI dengan skor 34,12%, DI dengan skor
35,51%, YA dengan skor 35,51%, TI dengan skor 39,68%,
VE dengan skor 39,68%, AN dengan skor 38,09%, ZI
dengan skor 35,51%, AL dengan skor 36,90%, FE dengan
skor 40,87%, HA dengan skor 38,09%, TH dengan skor
39,68%, BE dengan skor 32,73%, EV dengan skor 39,68%,
AX dengan skor 32,73%.

Tabel 4. Kategorisasi Kecenderungan Condusct Disorder


Kecenderungan Condusct
Aspek Disorder
Tinggi Sedang Rendah
1 Agresi pada orang 1 14 0
dan hewan
2 Merusak Barang 0 5 10
3 Mencuri 1 13 1
4 Melanggar aturan 0 5 10
serius

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 69


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Tabel 4 memberikan informasi bahwa aspek agresi
pada orang dan hewan adalah yang paling menyumbung
kecenderungan conduct disorder (CD). Pada aspek tersebut
terdapat 14 anak (93,3%) dalam kategori sedang dan 1
(6,66%) anak dalam kategori tinggi. Selanjutnya pada aspek
mencuri terdapat 1(6,66%) anak dalam kategori tinggi, 13
anak (86,66%) dalam ketgori sedang dan 1 (6,66%) anak
dalam kategori rendah. Untuk aspek merusak barang dan
melanggar aturan serius, terdapat 5 anak (33,33%) dalam
kategori yang sedang dan 10 anak (66,66%) dalam kategori
yang rendah.

DISKUSI & IMPLIKASI


Temuan penelitian dengan menggunakan aspek-aspek
conduct disorder dari DSM V yang kemudian dispesifikan
dengan alat ukur BASC3 (Reynold & Kamphaus, 2013),
dideskripsikan sebagai berikut:

Deskripsi Conduct Disorder: Agresi pada orang


dan barang
Pada aspek ini anak diminta untuk memilih perilaku
dari 7 cerita. Di aspek ini terdapat 14 anak yang masuk
kategori sedang yaitu SI, YA, DI, TI, AN, ZI, AL, FE, HA,
TH, BE, EV, AI dan AX. Dengan skor masing-masing pada
aspek ini adalah 47,61%, 47,61%, 47,61%, 47,61%, 47,61%,
52,38%, 47,61%, 47,61%, 52,38%, 52,38%, 47,61%, 47,61%,
47,61%, 47,61%. Data menunjukkan bahwa umumnya anak
menunjukan kecenderungan perilaku agresi saat menemui
orang baru dengan penampilan aneh, agresi pada hewan dan
memukul seseorang yang membuat mereka kesal.
Hasil temuan penelitian tidak sesuai dengan
perkembangan emosi anak pada masa middle childhood.
Anak pada usia ini seharusnya sudah lebih mahir dalam
regulasi diri terhadap emosi (Santrock, 2007). Selain itu,
anak pada periode ini seharusnya lebih mampu
mengungkapkan emosinya pada orang lain dengan tidak
70 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....
menyakiti atau berbuat sesuatu yang negatif. Selain itu, anak
juga mulai mengembangkan kemampuan berempati secara
tulus, sehingga tidak melukai orang lain untuk mendapatkan
keinginannya.

Deskripsi Conduct Disorder: Merusak Barang


Pada aspek ini anak diminta untuk memilih perilaku
dari 2 cerita. Pada aspek ini terdapat 5 anak yang masuk
kategori sedang yaitu SI, TI, VE, FE dan TH. Dengan skor
masing-masing pada aspek ini adalah 33,33%. Umumnya
dalam aspek ini anak tertarik pada api dan benda tajam dan
menyalurkan kekesalan mereka menggunakan benda-benda
tersebut. Perilaku tersebut tidak sesuai dengan
perkembangan emosi anak yang seharusnya pada masa
kanak-kanak tengah (middle childhood). Salah satu
kompetensi emosi anak pada usia ini adalah meningkatnya
kemampuan untuk menekan emosi-emosi negatif
(Santrock, 2007). Kemampuan regulasi diri terhadap emosi
dan empati seharusnya membuat anak memilih melakukan
hal yang positif untuk meredakan perasaan negatif yang
dirasakan.

Deskripsi Conduct Disorder (Mencuri)


Pada aspek ini anak diminta untuk memilih perilaku
dari 3 cerita. Pada aspek ini terdapat seorang anak dalam
kategori tinggi, yaitu VE dengan skor 77,77%. Selain itu
terdapat 13 anak yang masuk kategori sedang dan 1 lainnya
dalam kategori rendah. Kecenderungan conduct disorder
pada aspek ini ditandai dengan pecurian sesuatu yang
dianggap remeh atau mencuri sesuatu dari seseorang yang
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 71
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
memang tidak disukai anak. Perilaku tersebut tidak sesuai
dengan perkembangan emosi anak yang seharusnya pada
masa middle childhood.
Anak pada usia ini idealnya sudah mulai
mengembangkan kemampuan berempati secara tulus
(Santrock, 2007). Anak yang memiliki empati, maka anak
akan mengerti perasaan orang lain saat barangnya dicuri.
Hal ini juga sesuai dengan perkembangan moral Kohlberg
yatu individualism, yang menekankan tujuan instrumental
dan pertukaran. Anak merasa harus mendapat pertukaran
yang adil sehingga dirinya merasa perlu mencuri barang
orang yang membuatnya kesal.

Deskripsi Conduct Disorder (Melanggar Aturan)


Pada aspek ini anak diminta untuk memilih perilaku
dari 2 cerita. Data menunjukkan pada aspek ini terdapat 5
anak yang masuk kategori sedang, yaitu AN, ZI, HA, AI, dan
BE, dengan skor masing-masing pada aspek ini adalah 50%.
Kecenderungan conduct disorder (CD) pada aspek ini
ditandai dengan melanggar aturan demi menghindari
sesuatu yang tidak mereka sukai. Perilaku tersebut tidak
sesuai dengan perkembangan moral Kohlberg. Pada masa
ini anak seharusnya melakukan sesuatu yang baik agar
mereka menerima sesuatu yang baik juga.
Untuk mengatasi conduct disorder salah satunya
dikemukakan Datyner, dkk. (2016) menyatakan bahwa
novel emosional dapat digunakan untuk mengembangkan
empati pada anak dengan conduct disorder. Penelitian
tersebut lebih spesifik memang digunakan untuk anak
dengan conduct disorder yang memiliki keterbatasan dalam
perilaku pro-sosial. Metode yang digunakan adalah dengan
melatih dan memberi penghargaan pada anak tersebut.
Relevan dengan hasil penelitian maka, program yang
direkomendasikan yaitu: (a) meningkatkan perhatian pada
isyarat wajah kritis (misalnya: ekspresi mikro) menandakan
kesulitan pada anak, orang tua, dan orang lain untuk
meningkatkan pengenalan emosi dan label (b) meningkatkan
72 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....
pemahaman emosional dengan menghubungkan emosi
dengan konteks, dan mengidentifikasi konteks dan situasi
yang menimbulkan kemarahan dan frustrasi anak; (c)
mengajarkan perilaku prososial dan empatik melalui cerita
sosial, pemodelan orang tua, dan permainan peran; (d)
meningkatkan pelabelan emosional dan perilaku prososial
melalui penguatan positif; dan (e) meningkatkan toleransi
frustrasi anak melalui pemodelan, bermain peran, dan
memperkuat penggunaan strategi belajar kognitif-perilaku
anak untuk mengurangi timbulnya perilaku agresif.
Kazdin (1997) melakukan intervensi pada anak
conduct disorder dengan menggunakan Parent Management
Training (PMT). Program intervensi ini difokuskan pada
orang tua dalam menghadapi anak. Pelatihan PMT bertujuan
untuk menghasilkan interaksi antara anak dan orang tua
yang lebih efektif. Orang tua akan dilatih untuk mengatur
perilaku anaknya dengan menggunakan strategi psikologis
oleh tenaga professional.
Merujuk pada pendapat Kazdin (1997) program
intervensi yang direkomendasikan adalah program stimulasi
dengan menggunakan metode pengembangan empati
dengan menggunakan cerita bergambar. Metode Parent
Management Training (PMT) dinilai baik karena melibatkan
orang tua, tetapi terlalu sulit karena harus melibatkan
tenaga professional. Sementara itu, metode Datyner, dkk.
(2016) dianggap kurang sesuai dengan norma di Indonesia
di mana anak SD dalam konteks pendidikan di Indonesia
lazimnya belum suka membaca novel dan masih suka
melihat gambar saat mendengarkan cerita. Gambar
membantu anak dalam mewujudkan situasi sosial yang
dimaksud dalam cerita, oleh karena itu penulis merancang
program stimulasi empati dan emosi anak melalui cerita
bergambar dengan tema cerita sehari-hari, khususnya
terkait dengan kehidupan sosial dan emosional.

KESIMPULAN
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 73
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Conduct Disorder (CD) merupakan gangguan perilaku
yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam
perkembangan emosi. Hal tersebut ditandai dengan
perilaku agresi terhadap orang dan hewan, merusak barang,
mencuri dan melanggar aturan. Fokus penelitian ini adalah
melakukan deteksi diri munculnya CD pada anak sekolah
dasar atau dalam masa perkembangan usia kanak-kanak
tengah (middle childhood), Pengukuran pada penelitian ini
menggunakan aspek dari DSM V yang dispesifikan di BASC3
dan dikembangkan dengan cerita bergambar dan pilihan
perilaku.
Berdasarkan hasil deteksi dini ditemukan bahwa
sebagian besar anak SD dalam naungan Lembaga X memiliki
kecenderungan conduct disorder dalam kategori sedang.
Aspek agresi pada orang dan hewan adalah yang paling
menyumbung kecenderungan CD. Pada aspek tersebut
terdapat 14 anak (93,33%) dalam kategori sedang dan 1
anak (7,14%) dalam kategori tinggi. Sebagian besar anak
menunjukan kecenderungan perilaku agresi saat menemui
orang baru dengan penampilan aneh, agresi pada hewan dan
memukul seseorang yang membuat mereka kesal.
Selanjutnya pada aspek mencuri terdapat 1 anak dalam
kategori tinggi, 13 anak (86,66%) dalam ketegori sedang dan
1 anak dalam kategori rendah. Untuk aspek merusak barang
dan melanggar aturan serius, terdapat 5 anak (33,33%)
dalam kategori yang sedang dan 10 anak (66,66%) dalam
kategori yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini
disarankan pada guru di sekolah untuk menggunakan cerita
bergambar untuk menstimulasi empati dan perilaku
prososial anak dalam usaha membantu mengatasi hambatan
emosi yang memicu conduct disorder (CD).

Daftar Pustaka

Daytner, A., Kimonis, E. R., Hunt, E. & Armstrong, K.


(2016). Using a Novel Emotional Skills Module to
Enhance Empathic Responding for a Child with

74 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....


Conduct Disorder with Limited Prosocial Emotions.
(2016), Vol. 15(1) 35 –52. Amerika: SAGE.
Frick, P. J. (2016). Current Reaserch in Conduct Disorder
on Children and Adolescents. South African Journal
of Psychology. Vol. 46(2) 160 –174.
Hertinjung, W. S. & Partini. (2010). Dinamika Sosial
Ekonomi: Gangguan Perilaku Anak SD Ditinjau dari
Ekspresi Emosi Ibu. Vol 6 Edisi 1. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Reinolds, C. R. & Kamphaus, R. W. (2013). BASC3:
Conduct Disorder.
Rini, I. R. S. (2010). Mengenali Gejala dan Penyebab
Conduct Disorder. PSYCHO IDEA, Tahun 8 No.1,
Feb 2010 ISSN 1693-1076.
Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development,
Perkembangan masa hidup: Edisi ke 13, Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 75


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
DETEKSI DINI HAMBATAN MEMBACA
PERMULAAN PADA ANAK USIA SEKOLAH

Fitria Nur Indra, Ines Widya Puspita,


Intan Ayu Lasmana F.

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Membaca permulaan merupakan ketrampilan dasar
yang diajarkan ketika anak memasuki usia sekolah.
Memasuki usia sekolah anak akan diajak untuk membaca
nyaring mulai dari suku kata sampai beberapa kalimat. Akan
tetapi, tidak semua anak memiliki kemampuan yang baik
dalam proses belajar membaca. Hambatan ini akan
mempengaruhi performa anak dalam membaca termasuk
dalam hal kecepatan membaca dan pemahaman bacaan.
Dengan demikian, sangat penting untuk melakukan langkah
deteksi awal terhadap hambatan dalam membaca.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai deteksi dini atau screening awal terhadap
hambatan membaca permulaan pada anak usia sekolah.
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 SDN
Ardimulyo 1 Kota X, berjumlah 22 siswa (N= 22 siswa).
Alat ukur yang digunakan merujuk pada aspek EGRA (Early
Grade Reading Asessment). Kemudian peneliti
mengembangkan kelima subtes yang ada pada EGRA. Tes
ini dilakukan secara individual dan membutuhkan waktu
kurang lebih 15 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kemampuan
membaca permulaan pada kelas 1 (A) berada pada kategori
cukup baik dalam pengenalan huruf, kelancaran membaca

76 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....


dan pemahaman bacaan; (2) Terdapat tiga siswa berada
dalam kategori kurang dalam ketrampilan
membacapermulaan; (3) Aspek kata tidak bermakna berada
pada kategori kurang, dengan presentase 45 %, dan aspek
kelancaran membaca nyaring dan pemahaman bacaan
berada pada kategori baik, dengan presentase 85 %.
Setelah melakukan screening awal direkomendasikan
rancangan stimulasi perkembangan menggunakan metode
pembelajaran Fernald yang akan diaplikasikan ke dalam
media pembelajaran scrabble. Scrabble dipilih karena
permainan ini dapat membantu mengembangkan language
skill siswa dan juga membantu anak dalam pembelajaran
simbol, serta meningkatkan kreativitas, terutama
meningkatkan kosakata baru dalam permainan.

Kata kunci: hambatan membaca, EGRA, Scrabble

PENDAHULUAN
Masa kanak-kanak pertengahan (middle childhood)
merupakan periode perkembangan yang berlangsung antara
usia 6 tahun sampai 11 tahun (Santrock, 2012). Periode ini
juga sering disebut sebagai usia sekolah. Karakteristik anak
pada usia ini ditandai dengan dengan hal-hal berikut: anak
mulai belajar ketrampilan dasar seperti membaca, menulis
dan berhitung. Ketiga ketrampilan dasar tersebut mulai
diajarkan pada anak saat mereka memasuki sekolah dasar.
Sebelum memasuki sekolah dasar anak biasanya sudah
diajarkan mengenal huruf abjad, mengenal angka, dan
berhitung, bahkan mereka sudah diajarkan untuk menulis
permulaan.
Ketika anak memasuki tingkat awal sekolah dasar,
pengajaran yang diberikan adalah keterampilan membaca
permulaan. Membaca merupakan aktivitas yang melibatkan
fisik dan psikologis (Departemen Pendidikan Nasional,
2009). Dari aspek fisik melibatkan koordinasi gerakan mata

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 77


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
dalam menangkap tulisan, sedangkan aspek psikologis
berperan dalam kemampuan mamahami kata atau kalimat.
Dalam konteks pendidikan di SD, guru akan mengajak
anak untuk membaca nyaring sebagai tahap awal dalam
belajar membaca. Membaca nyaring merupakan aktivitas
membaca yang dilakukan dengan suara atau vocal yang
keras dan jelas, tetapi tidak berteriak (Departemen
Pendidikan Nasional, 2009; Kemendikbud, 2017). Dalam
belajar membaca awal, anak diajari membaca nyaring suku
kata atau kata, kemudian diajarkan membaca kalimat.
Setelah itu anak akan diajak untuk membaca lancar dengan
membaca 2-3 kalimat, tapi tetap harus dibaca dengan
nyaring.
Faktanya, tidak semua anak memiliki ketrampilan
membaca yang baik, hal ini terjadi karena terdapat beberapa
faktor yang menghambat keterampilan membaca anak,
salah satunya karena adanya gangguan disleksia (dyslexia).
Disleksia (dyslexia) merupakan kesulitan seseorang dalam
memahami bacaan, pengenalan kata dan ejaan yang ditulis
(Kring, dkk, 2012). Disleksia sendiri masuk dalam kategori
kesulitan belajar.
Lembaga statisik UNESCO mengungkap bahwa
sekitar 617 juta anak dan remaja di seluruh dunia tidak
mencapai tingkat minimum dalam membaca
(cnnindonesia.com, 22 September 2017). Dalam artikel
tersebut menjelaskan bahwa ada sekitar 387 juta anak usia
sekolah dasar yang mengalami gangguan disleksia. Menurut
Riyani T Bondan, Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI),
menyatakan bahwa 10–15% anak di dunia menyandang
disleksia. Di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 50 juta
anak mengalami disleksia (Latief, 24 Agustus 2010).
Hal yan ironis adalah: adanya fakta ini, namun kurang
diimbangi dengan pemahaman orangtua, artinya tidak
banyak orang tua dan guru yang mengenal disleksia, bahkan
bagi penderita sendiri terkadang tidak tahu bahwa dirinya
mengalami disleksia. Kesulitan membaca pada anak disleksia
ini menyebabkan mereka sulit dalam mengikuti pelajaran di
sekolah. Karena itu, tak jarang orang tua lebih memilih
78 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
memasukkan anak mereka ke sekolah khusus (Latief, 29
September 2016). Sebenarnya anak yang mengalami
disleksia dapat bersekolah di sekolah umum karena mereka
memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata (Kring,
dkk., 2012), namun demikian anak-anak ini membutuhkan
pendekatan dan penanganan khusus (Latief, 2 Agustus
2010). Pemberian penanganan sedini mungkin akan
membantu anak mengatasi masalah disleksia yang
dialaminya, sehingga anak mampu mengikuti pembelajaran
yang ada di sekolah, oleh karena upaya deteksi dini terkait
disleksia urgen untuk dilakukan.
Deteksi dini merupakan upaya screening yang
dilakukan dengan tujuan menemukan adanya penyimpangan
atau hambatan pada perkembangan anak. Melalui deteksi
dini dapat diketahui penyimpangan atau hambatan pada
perkembangan anak sehingga upaya intervensi atau
stimulasi dapat diberikan untuk meminimalisir dampak dari
hambatan tersebut. Deteksi ini dalam penelitian ini
dilakukan pada sekolah dasar kelas awal, dengan
pertimbangan pembelajaran membaca permulaan diajarkan
pada kelas awal (kelas rendah).
Asesmen yang digunakan dalam melakukan screening
pada keterampilan membaca permulaan terinspirasi dari
aspek yang ada pada Early Grade Reading Assesment (EGRA).
EGRA merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data awal, mendeteksi dan
mendiagnosa kesulitan yang dialami oleh anak-anak di kelas
awal dalam membaca sehingga hasil dari data instrumen
dapat digunakan untuk menyusun program intervensi
terkait hambatan dalam membaca. Instrumen Early Grade
Reading Assesment (EGRA) terdiri dari 5 subtes yang
digunakan untuk mengevalusi keterampilan membaca
permulaan.
Learning disability atau kesulitan belajar menurut
Kring, Johnson, Davidson & Neale (2012) merupakan suatu
kondisi dimana seseorang menunjukkan masalah dalam
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 79
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
bidang akademik tertentu seperti bahasa, ucapan, atau
motorik yang bukan dikarenakan gangguan perkembangan
intelektual atau kesempatan pendidikan yang kurang.
Sementara itu, menurut Ali & Rafi (2016) kesulitan belajar
merupakan ketidakmampuan belajar mengacu pada
keterbelakangan, kelainan atau keterlambatan aspek
perkembangan seperti proses bicara, bahasa, membaca,
ejaan, menulis, atau aritmatika.
Menurut Kring, Johnson, Davidson & Neale (2012)
biasanya rata-rata anak yang mengalami kesulitan belajar,
kemajuan mereka di sekolah cenderung lebih lambat
dikarenakan kurang dalam mempelajari ketrampilan khusus
yang ditentukan seperti membaca atau mengeja.
Jenis-jenis kesulitan belajar menurut Kring, Johnson,
Davidson & Neale (2012) terbagi menjadi 2, yaitu: (a)
Dyslexia, merupakan kesulitan dengan pemahaman
membaca, pengenalan kata, dan ejaan tertulis; (b)
Dyscalculia, merupakan kesulitan dalam memproduksi atau
memahami angka, jumlah, atau operasi aritmatika dasar.
Ciri-ciri kesulitan belajar menurut DSM V (2013)
adalah sebagai berikut:
a. Kesulitan belajar paling tidak ditunjukkan oleh gejala-
gejala di bawah ini setidaknya 6 bulan.
1) Pembacaan kata yang tidak akurat atau lambat dan
susah payah.
2) Kesulitan memahami arti dari apa yang dibaca
3) Kesulitan dengan ejaan
4) Kesulitan dengan ekspresi tertulis
5) Kesulitan menguasai pengertian angka, fakta angka
atau perhitungan
6) Kesulitan dalam penalaran matematis
b. Keterampilan akademik yang terpengaruh secara
substansial dan kuantitatif di bawah yang diharapkan
untuk usia kronologis individu dan menyebabkan
gangguan signifikan dengan akademik atau aktivitas
sehari-hari.
c. Kesulitan belajar tidak dicatat dengan lebih baik oleh
kecacatan intelektual, tidak dikoreksi ketajaman visual
80 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
atau pendengaran, gangguan mental atau neurologis
lainnya, kesulitan psikososial, kurangnya kemahiran
dalam bahasa pengajaran akademis, atau instruksi
pendidikan yang tidak memadai.
d. Kesulitan belajar dimulai selama usia sekolah tetapi tidak
menutup kemungkinan terkena pada individu yang lebih
dari usia sekolah dan terkena dampak akademik melebihi
keterbatasan individu tersebut.
Disleksia menurut Hulme & Snowling (2016) adalah
istilah yang paling sering digunakan untuk anak-anak yang
mengalami kesulitan dalam memecahkan kode. Anak-anak
yang mengalami disleksia biasanya sulit untuk mengenali
kata-kata yang dibacanya, sehingga membacanya menjadi
cenderung lambat. Sementara itu, menurut Lylon & Elbro
(dalam Saadah & Hidayah, 2013) disleksia merupakan
kesulitan dalam belajar membaca dan ketidaksesuaian
antara hasil membaca dengan potensi umum atau
intelektual pada usianya. Jadi, disleksia dapat didefinisikan
sebagai kesulitan dalam mengenali kata-kata yang dibaca
atau belajar dalam membaca, serta ketidaksesuaian antara
hasil membaca dengan potensi umum atau intelektualnya.
Ciri-ciri disleksia menurut DSM IV-TR (2000) adalah
sebagai berikut:
1) Prestasi membaca yang terukur secara individual, dan
ketepatan membaca dibawah usia kronologis. Hal ini
terlihat dari penyimpangan membaca (distortions),
penggantian huruf atau kata dalam membaca (subsitions),
penghilangan huruf dalam membaca (ommisions)
2) Gangguan prestasi membaca juga berpengaruh pada
prestasi akademik dan atau kegiatan harian yg berkaitan
dengan kemampuan membaca
3) Jika terdapat gangguan penglihatan, biasanya muncul
hambatan dalam membaca
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi disleksia.
Menurut Lidwina (2012) faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 81
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
1) Faktor pendidikan
Metode whole-word dalam mengajarkan anak membaca
merupakan salah satu yang menyebabkan disleksia,
karena dalam mengajarkan anak membaca metode
whole-word mengajarkan kata-kata sebagai satu kesatuan,
bukan sebagai bentuk bunyi dari suatu tulisan. Belajar
membaca menggunakan metode fonetik akan lebih
mudah dalam mempelajari kata-katanya dan mengenali
kata-kata asing secara tertulis sebagaimana pelafalannya.

2) Faktor psikologis
Berdasarkan beberapa penelitian memasukkan disleksia
ke dalam gangguan psikologis sebagai akibat dari
tindakan kurang disiplin, sering pindah sekolah, tidak
memiliki orang tua, kurang kerja sama dengan guru atau
karena penyebab lain. Karena penyebab-penyebab
tersebut dapat memungkinkan anak memiliki masalah
dalam belajar.
3) Faktor biologis
Sejumlah penelitian meyakini bahwa penyimpangan
fungsi bagian-bagian tertentu dalam otak mengakibatkan
disleksia. Area-area tertentu dari otak anak yang
mengalami disleksia perkembangannya cenderung lebih
lambat dibanding anak normal. Anak laki-laki biasanya
lebih banyak yang mengalami disleksia daripada anak
perempuan.
4) Kecelakaan
Disleksia juga dapat disebabkan oleh kerusakan pada
saraf otak atau selaput otak, sehingga otak kiri bagian
belakang terganggu. Biasanya kerusakan ini disebabkan
oleh infeksi atau kecelakaan. Karena kerusakan ini, otak
tidak dapat berfungsi untuk mengenali image yang
ditangkap indra penglihatan karena adanya gangguan
sambungan otak kiri dan kanan. Gangguan ini ada yang
berpendapat disleksia ada pula yang berpendapat sebagai
aleksia.
Tujuan penelitian ini: (1) melakukan upaya deteksi dini
terhadap anak-anak yang mengalami keterlambatan
82 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
membaca (disleksia); (2) merekomendasikan program
stimulasi untuk mengatasi disleksia.

METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini terdiri atas siswa kelas
1 SDN Ardimulyo 1 Kota (X) yang keseluruhannya
berjumlah 22 siswa (N=22 siswa). Alasan menggunakan
kelas 1 SD karena menurut Piaget (2011) usia 7-11 tahun
perkembangan kognitif anak berada pada tahap operasional
konkret, yang ditandai dengan anak-anak mulai
memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan dalam
memori jangka pendek, kesadaran metalinguistik serta
meningkatnya pengetahuan kosakata sehingga kemampuan
membaca sudah mulai difokuskan di kelas 1 sebagai kelas
awal.

Instrumen Penelitian
Instrumen yang dapat digunakan untuk pengukuran
fonologis dalam membaca yang telah terstandarisasi dan
tersedia dalam penelitian Marshall, Dorothy & Catherine
(2013) adalah: (a) Comprehensive Test of Phonological
Processing (CTOPP, Wagner, Torgesen & Rashotte ,1999)
yang digunakan secara luas untuk evaluasi dalam membaca.
Aspek yang diukur meliputi Phonological Awareness,
Phonological Memory dan Rapid Naming dari usia 5 sampai 24
tahun; (b) Test of Auditory Processing Skills, 3rd Edition (TAPS-
3, Brownell, 2005), dan subtes diagnostik dari kognitif
global & tes prestasi termasuk dengan subtes Word Attack
dan Word Identification dari Woodcok Johnson-III Cognitve and
Achievment Batteries (W-J-III Woodcock, McGrew &
Marther, 2011); the Differential Ability Scales, Second Edition
(DAS-II, Elliot, 2007) & Kaufman Test of Educational
Achievment, Second Edition (KTEA-II, Kaufman, 2004).

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 83


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Mengkaji instrumen yang telah ada, dalam penelitian
ini penulis menetapkan untuk menggunakan instrumen
EGRA (Early Grade Reading Asessment) dengan
pertimbangan bahwa instrumen ini telah menyesuaikan
dengan standar pendidikan yang telah ada di Indonesia
khususnya pada kelas tingkat awal, dikarenakan instrumen
ini disusun berdasarkan hasil kolaborasi antara pemerintah
Amerika dengan pemerintah Indonesia. Tes ini dilakukan
secara individual dan membutuhkan waktu kurang lebih 15
menit. Menurut USAID (2015) EGRA (Early Grade Reading
Asessment) merupakan tes terstandar yang sudah digunakan
di 50 negara dengan 30 bahasa yang berbeda. EGRA
merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan data awal, mendeteksi dan mendiagnosa
kesulitan yang dialami oleh anak-anak di kelas awal dalam
membaca. Hasil pengumpulan data dapat digunakan untuk
menyusun program stimulasi atau intervensi terkait
hambatan dalam membaca pada anak.
EGRA (Early Grade Reading Asessment) terdiri dari 5
sub-tes: (1) pengetahuan huruf yakni untuk mengidentifikasi
huruf (letter knowledge). Tes ini digunakan untuk mengukur
kemampuan dalam mengidentifikasi dan membedakan
huruf. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Dalman (2014)
bahwa di tahap awal membaca permulaan anak dikenalkan
dengan huruf A/a hingga Z/z. Huruf tersebut perlu
dilafalkan anak sesuai dengan bunyinya; (2) membaca kata
yang umum didengar dan bermakna (familiar word reading)
digunakan untuk mengukur kemampuan membaca tanpa
mengeja dan pemahaman makna dari suatu kata yang
sepadan dalam aspek pemahaman kosakata dari Skanovich
(dalam Byrne, 1996) yaitu kemampuan individu untuk
memahami arti kata yang telah diperoleh; (3) membaca kata
yang tidak memiliki arti untuk mengukur kesadaran fonemik
siswa (invented word decoding); (4) kelancaran dalam
membaca secara nyaring untuk mengukur kelancaran dalam
membaca teks (oral reading fluency).
Menurut Baso, Efendi & Barasandji (tanpa tahun) saat
membaca permulaaan siswa SD kelas 1 diajarkan untuk
84 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
membaca bacaan kurang lebih 10 kalimat dengan 3-5 kata
menggunakan lafal dan intonasi yang tepat serta membaca
kalimat-kalimat sederhana dan memahami isinya; (5)
menyimak untuk mengukur kemampuan dalam mengikuti
dan memahami isi cerita (listening comprehension).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
dikembangkan penulis sesuai dengan kriteria dan aspek
yang ada dalam tes EGRA dengan norma perhitungan hasil
analisis data yang digunakan adalah analisis non-statistik.
Menurut Arikunto (2010) analisis non-statistik adalah
mencari proporsi, presentase dan rasio. Untuk
menganalisis data yang telah terkumpul penulis
mengembangkan sendiri prosedur skoring dan norma tes
dengan menghitung skor jawaban benar yang diperoleh
siswa, diubah menjadi hasil presentase, kemudian hasil
presentase dalam setiap aspek dalam instrumen tersebut
akan dikategorisasikan menjadi empat kategori yakni baik,
sedang, kurang, sangat kurang.

Analisis Data Penelitian


Analisis data menggunakan data deskriftif teknik
persentase. Prosedur skoring mengikuti formula berikut:

Prosedur Skoring

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟


𝑥100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛

Kategori skoring:
76-100% : Baik
51-75% : Cukup
26-50% : Kurang
0-25% : Sangat kurang

Prosedur Penelitian
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 85
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Prosedur tes yang dilakukan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut: Siswa kelas 1 akan diuji dengan tes yang
berisi 5 subtes yang berbeda. Untuk subtes 1 siswa diminta
menyebutkan huruf yang ada dalam tes sebanyak-
banyaknya selama kurang lebih 60 detik. Setelah itu, akan
beralih ke subtes 2 yakni membaca kata bermakna
sebanyak-banyaknya tanpa dieja selama kurang lebih 60
detik. Subtes 3 siswa diminta menyebutkan sebanyak-
banyaknya kata tak bermakna tanpa dieja dengan waktu 60
detik. Subtes 4 adalah membaca dengan nyaring beserta
menjawab pertanyaan. Subtes ke 5 siswa diberikan instruksi
untuk menyimak cerita yang disampaikan oleh peneliti dan
menjawab pertanyaan yang tertera dalam bacaan.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil tes permulaan membaca yang telah
diujikan kepada (N = 22 siswa) kelas 1A di SDN Ardimulyo,
didapatkan jumlah rata- rata hasil skor persentase sebesar
65% yang berada pada kategori cukup, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1A berada pada tingkat cukup baik, utamanya dalam
pengenalan huruf, kelancaran membaca dan pemahaman
bacaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata
hasil tes membaca permulaan tiap individu dideteksi bahwa
terdapat 3 siswa yakni AL dengan skor 39%, DE dengan
skor 37%, RAK dengan skor 44% yang diasumsikan memiliki
kategori yang “kurang” dalam keterampilan membaca
permulaan. Tingkat kemampuan membaca dan persentase
tiap aspek akan dideskripsikan sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Skor Rata- Rata Tingkat Kemampuan


Membaca Permulaan (N=22)

Tingkat Kemampuan
Presentase Frekuensi (%)
Membaca

86 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....


Sangat kurang 0 – 25% 0 (0%)
Kurang 26% – 50% 3 (13.63%)
Cukup 51% – 75% 14 (63.63%)
Baik 76% – 100% 5 (22,27%)

Berdasarkan tabel 1 di atas, kategori tingkat


kemampuan membaca permulaan dengan kategori “sangat
kurang” hasilnya nihil (0), kategori kurang lancar membaca
sebanyak 3 siswa yakni subjek AL dengan skor 39%, DE
dengan skor 37%, RAK dengan skor 44%.
Sebanyak 14 siswa menunjukkan tingkat kemampuan
membaca permulaan dalam kategori yang “cukup” yakni:
AM dengan skor 53%, AN dengan skor 72%, AR dengan
skor 63%, BA dengan skor 73%, FE dengan skor 65%, GE
dengan skor 63%, KAF dengan skor 56%, MI dengan skor
58%, SA dengan skor 60%, SE dengan skor 61%, TR dengan
skor 52%, VI dengan skor 67%, YA dengan skor 72%, ZAS
dengan skor 74%. Sedangkan sebanyak 5 siswa sudah
menunjukkan penguasaan kemampuan membaca
permulaan dalam kategori yang “baik” dalam membaca
yaitu: DZ dengan skor 85%, GR dengan skor 84%, NA
dengan skor 77%, RAI dengan skor 88% dan ZAL dengan
skor 80%.

Tabel 2. Skor Kemampuan Membaca Permulaan Per-


Aspek

Rata-rata Skor
Aspek Kategori
Persentase
Aspek 1 Pengenalan huruf 60% Cukup
Aspek 2 Kata bermakna 58% Cukup
Kata tak
Aspek 3 42% Kurang
bermakna
Kelancaran
Aspek 4 85% Baik
membaca nyaring

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 87


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
dan pemahaman
bacaan
Aspek 5 Menyimak 79% Baik

Berdasarkan Tabel 2 di atas, di aspek 1 untuk


pengenalan huruf menunjukkan rata-rata skor sebesar 60%
yang berada pada kategori cukup, aspek 2 kata bermakna
sebesar 58% dalam kategori cukup, sedangkan untuk aspek
3 kata tak bermakna sebesar 42% dalam kategori kurang,
untuk aspek 4 kelancaran membaca nyaring dan
pemahaman bacaan sebanyak 85% yang berada dalam
rentang baik serta aspek 5 sebesar 79% berada dalam
kategori baik.

Tabel 3. Kemampuan membaca Permulaan (Per Aspek)

Tingkat Kemampuan Membaca


Aspek Sangat
Kurang Cukup Baik
kurang
1 Pengenalan 0 4 15 3
huruf
2 Kata bermakna 3 7 5 7
3 Kata tak 3 13 4 2
bermakna
4 Kelancaran 0 2 3 17
membaca
nyaring dan
pemahaman
bacaan
5 Menyimak 0 3 5 14

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa distribusi


frekuensi siswa di aspek 1 dengan jumlah terbanyak untuk
mengidentifikasi huruf berada pada kategori “cukup baik”
88 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
yakni sebanyak 15 siswa, untuk aspek 2 membacakan
kosakata bermakna berada di kategori “kurang” dan “baik”
dengan masing-masing frekuensi sebanyak 7 siswa, di aspek
3 kemampuan ritme dalam membaca melambat saat
membaca kosakata tak bermakna diperkuat dengan hasil
frekuensi siswa yang berada pada kategori “kurang” yakni
sebanyak 13 siswa, sedangkan untuk aspek 4 terkait
kelancaran membaca berada pada kategori “baik” sebanyak
17 siswa. Sementara itu, untuk aspek 5 menunjukkan bahwa
kemampuan menyimak berada pada tingkat yang “baik”
yakni sebanyak 14 siswa karena antusiasme siswa.

DISKUSI & IMPLIKASI


Penelitian ini menggunakan instrumen aspek-aspek
dari tes EGRA (Early Grade Reading Assessment) untuk
mendeteksi membaca permulaan pada siswa SDN
Ardimulyo 1 Kota X. Aspek-aspek pada tes EGRA yakni
meliputi:

Pengenalan huruf
Pada aspek ini anak diminta untuk menyebutkan
sejumlah huruf yang telah disediakan dalam waktu 60 detik.
Pada aspek ini terdapat 4 anak yang masuk kategori kurang
yaitu AL, DE, KAF, dan TR. Dengan skor masing-masing
pada aspek ini adalah 47%, 46%, 42%, dan 50%. Kebanyakan
dalam aspek ini anak mengalami kesulitan dalam
membedakan huruf (I) besar dan huruf (I) kecil serta sering
terbalik dalam menyebutkan huruf V dan huruf F. Beberapa
siswa juga kurang mampu mengidentifikasi huruf Q dan juga
masih sering terbalik dalam menidentifikasi huruf (p) dan
huruf (q).
Hal ini sejalan dengan definisi hambatan membaca
yang dikemukakan oleh Nevid, Rathus, & Greene (2005)
bahwa hambatan membaca mengacu pada anak-anak yang
mengalami keterampilan buruk dalam mengenali kata-kata
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 89
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
dan memahami bacaan. Mereka biasanya salah dalam
mempersepsikan huruf-huruf yang terlihat mirip (seperti
“w” dan “m” atau “b” dan “d”). Anak-anak yang masuk ke
dalam kategori kurang dalam aspek ini cenderung salah
dalam mengenali huruf dan salah dalam mempersepsikan
huruf yang terlihat mirip seperti huruf “p” dan huruf “q”.

Kata bermakna
Pada aspek ini anak diminta untuk menyebutkan kata-
kata yang tersedia pada lembaran tanpa dieja dalam waktu
60 detik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek
ini hanya 3 anak yang masuk kategori sangat kurang, yaitu
AM, DE, dan RAK dengan skor masing-masing 15%, 10%,
dan 25%. Sebenarnya dalam aspek kata bermakna ini anak-
anak sudah cukup mampu untuk membaca tanpa mengeja,
hanya memerlukan waktu yang sedikit lebih lama.
Terkadang ada pula yang salah membaca seperti “taman”
dibaca “teman”. Namun demikian, secara keseluruhan
anak-anak sudah cukup mampu untuk membaca tanpa
mengeja.
Menurut Rich Mayer (dalam Santrock, 2011) agar
anak dapat membaca tulisan itu terdapat 3 proses kognitif
yang terlibat yaitu: 1) memahami unit-unit suara dalam kata-
kata, 2) mengkodekan kembali kata-kata, dan 3) mengkases
arti kata. Dengan membaca kata yang bermakna maka akan
membantu anak-anak dapat membaca suatu bacaan, karena
mereka telah mendengar atau dapat membayangkan arti
dari kata tersebut.

Kata tidak bermakna


Pada aspek ini sama seperti aspek kata bermakna,
yaitu anak diminta untuk membaca kata-kata yang telah
tersedia pada lembaran dalam waktu 60 detik. Bedanya
pada aspek ini adalah kata yang dibaca tidak memiliki makna
sama sekali, seperti kata “Hatim” dan “Salek”. Di aspek ini
juga terdapat 3 anak yang masuk ke dalam kategori kurang
yaitu AM, DE, dan SA dengan masing-masing kategori 15%,
90 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
10%, dan 19%. Kebanyakan anak merasa kesulitan untuk
membaca dengan ritme yang cepat karena kata-kata yang
disajikan kurang lazim didengar. Sehingga mereka
membutuhkan waktu yang agak lama untuk membaca,
khusunya pada kata “Kalua”.
Seperti yang dikemukakan oleh Saadah & Hidayah
(2013) bahwa ciri-ciri anak mengalami kesulitan belajar
adalah salah satunya ditandai dengan membaca dengan
kecepatan yang cukup lambat. Hasil penelitian berbasis
teknik observasi, ditemukan di aspek ke 3 ini, anak-anak
cenderung lambat dalam membaca kata tidak bermakna
karena kata-kata yang disajikan kurang lazim didengar,
sehingga membuat mereka membutuhkan waktu yang agak
lama dalam membaca.

Kelancaran membaca nyaring dan pemahaman


Pada aspek ini anak diminta untuk membaca nyaring
beberapa kalimat yang telah disediakan. Selanjutnya setelah
membaca anak diminta untuk menjawab pertanyaan yang
diberikan. Pada aspek ini hanya terdapat 2 anak yang masuk
ke dalam kategori kurang yaitu AL dan DE dengan masing-
masing skor 50% dan 50%. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa sebagaian besar anak membuat kesalahan dalam
membaca kata “Ia” dan kata “pretzel”. Anak-anak
terkadang juga masih terbalik-balik dalam menjawab
pertanyaan yang diberikan.
Menurut Rukayah (dalam Mar’ah, tanpa tahun)
seorang anak dapat dikatakan memiliki kemampuan
membaca nyaring apabila ia dapat membaca dengan lafal dan
intonasi yang jelas, benar dan wajar, serta dalam membaca
harus memperhatikan tanda baca yang ada dalam bacaan
tersebut. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis di
aspek ke 4 ini anak-anak kebanyakan sudah benar dalam
tanda baca, hanya saja dalam beberapa kata cenderung salah
dalam membaca seperti kata “Ia” dan “pretzel”. Selain

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 91


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
melakukan kesalahan dalam mempersepsikan kata, anak-
anak juga cenderung terbolak-balik dalam menjawab
pertanyaan yang diberikan.

Menyimak
Pada aspek ini anak diminta untuk mendengarkan
kalimat yang dibacakan, kemudian anak diminta untuk
menjawab pertanyaan yang diberikan. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana anak dalam mendengarkan
dan memahami bacaan yang diberikan. Pada aspek
menyimak terdapat 3 anak yang masuk ke dalam kategori
kurang yaitu AL, MI dan TR dengan masing-masing kategori
40%, 50% dan TR 30%. Kebanyakan anak-anak sudah
mampu menjawab pertanyaan dengan baik, namun ada
beberapa yang kurang mampu dalam menjawab karena
fokusnya teralihkan atau karena gangguan teman lain.
Seperti contoh di soal pertama seharusnya jawabannya
adalah taman bermain, akan tetapi beberapa anak
menjawab beranekaragam seperti: taman, hotel dan pasar.
Kemampuan menyimak atau pemahaman
mendengarkan ini memiliki fungsi untuk menambah
kesadaran meta-linguistik dan pengetahuan terkait sintaksis
yang nantinya akan dapat bermanfaat untuk penambahan
kosa kata saat membaca (Santrock, 2011). Pada aspek ini
secara umum anak-anak sudah cukup baik dalam
kemampuan untuk mendengarkan dan memahami.
Kendalanya adalah terkait kemampuan fokus, maksudnya
anak mudah teralihkan perhatian ketika mendapat gangguan
dari teman-temannya.
Metode pembelajaran stimulasi untuk anak disleksia
terdiri atas metode: (a) Metode Fernald: yaitu suatu
metode pengajaran membaca multi-sensoris yang sering
dikenal sebagai metode VAKT (Visual: dengan melihat dan
mempelajari huruf, auditory :mendengar bunyi suara dan
mengucapkan, kinesthetic dan tactile: menelusuri contoh
tulisan; (b) Metode Gillingham: merupakan pendekatan
terstruktur taraf tinggi dengan aktivitas pertama diarahkan

92 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....


pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-
huruf tersebut disertai teknik menjiplak yang digunakan
dalam mempelajari berbagai huruf; (c) Metode Analisis
Glass: suatu metode pengajaran melalui pemecahan sandi
kelompok huruf dalam kata. Dalam metode ini dikenalkan
kelompok-kelompok huruf sambil melihat kata secara
keseluruhan (Abdurrahman 2012).
Menurut Rief & Judith (2010) pembelajaran untuk
anak disleksia juga dapat diberikan dengan merancang
kegiatan yang menyenangkan. Dalam stimulasi dapat
digunakan media permainan yang membuat anak tertarik
untuk belajar mengidentifikasi huruf. Berikut beberapa
aktivitas yang dapat membantu anak terkait hambatan
membaca yakni: (a) membuat kartu bingo untuk belajar
dengan kosakata yang tertulis di kartu bingo; (b) membuat
potongan-potongan puzzle; (c) magnet huruf untuk
menyusun kata; (d) bermain games (seperti hangman,
scrabble, boggle) untuk meningkatkan kemampuan mengeja
dan membaca; (e) memilih huruf, yaitu anak membuat
kosakata dengan huruf awal yang dipilih; (f) membuat kartu
memori game.
Berdasarkan kajian literatur, upaya untuk melakukan
rancangan program stimulasi dengan menggunakan metode
pembelajaran Fernald. Alasan yang mendasari digunakan
metode ini karena dinilai sesuai untuk melatih kemampuan
fonologis dalam membaca anak, dengan melibatkan
berbagai aspek sensoris seperti visual, mendengar, dan
meraba huruf sehingga apabila dapat diajarkan secara
berulang sehingga dapat menstimulasi kognitif anak untuk
mengkoding simbol huruf dari ingatan jangka pendek ke
dalam ingatan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan Nurdayati & Purwandari
(2009) menyatakan bahwa metode multisensori dapat
mengembangkan fungsi seluruh sensori terkait visual,
perabaan, auditori dan pengucapan, oleh karenanya anak

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 93


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
menjadi terlibat secara aktif dan interaktif dalam
pembelajaran di kelas.
Metode pembelajaran Fernald akan diaplikasikan ke
dalam media pembelajaran scrabble, yakni salah satu jenis
permainan papan yang dimanfaatkan beberapa sekolah
sebagai kurikulum penunjang kegiatan akademik siswa serta
untuk mengembangkan language skill siswa (Hinebaugh,
2009). Media scrabble dipilih karena menurut Sadiman
(2011) permainan ini dapat dipakai untuk tujuan pendidikan
dengan mengubah sedikit alat ataupun persoalannya. Selain
itu scrabble merupakan permainan kata yang terdiri dari
ubin dan huruf- huruf yang dapat membantu anak dalam
pembelajaran simbol, sehingga selain melatih konstruksi
kognitif juga dapat melatih motorik halus dalam menyusun
huruf- huruf dalam sebuah papan permainan scrabble serta
meningkatkan kreativitas dalam membuat kosakata baru
dalam permainan.
Penelitian yang relevan terkait intervensi disleksia
dilakukan oleh Saadah & Nurul (2013). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa permainan scrabble dapat menjadi
salah satu alternatif media dalam meningkatkan kemampuan
membaca anak disleksia. Untuk menguji pengaruh yang
efektif, diperlukan faktor motivasi dan dukungan positif dari
pihak orang tua, keluarga, guru pada anak disleksia.

KESIMPULAN
Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi dimana
seseorang menunjukkan masalah dalam bidang akademik
tertentu seperti bahasa, ucapan, atau motorik, bukan
dikarenakan gangguan perkembangan intelektual atau
kesempatan pendidikan yang kurang. Kesulitan belajar
terbagi menjadi dyslexia dan dyscalculia. Fokus penelitian ini
mengacu pada deteksi dini kemampuan membaca
permulaan pada siswa kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Hal ini
mengingat bahwa kemampuan membaca mulai difokuskan

94 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....


di kelas 1 Sekolah Dasar sebagai kelas awal. Pengukuran
kemampuan membaca permulaan dalam penelitian ini
menggunakan instrumen EGRA.
Berdasarkan hasil screening awal diketahui bahwa
rata-rata siswa kelas 1 (A) SDN X memiliki kemampuan
membaca permulaan yang cukup baik. Dilihat dari tiap
diketahui bahwa siswa berada dalam kategori baik dalam
aspek kelancaran membaca nyaring dan pemahaman bahasa
dan aspek menyimak. Namun demikian, berdasarkan hasil
amatan menunjukkan perhatian siswa kadangkala teralihkan
karena gangguan dari teman-temannya sehingga
menyebabkan siswa kurang bisa menjawab pertanyaan
dengan tepat. Data penelitian menunjukkan bahwa ditinjau
dari aspek berada dalam kategori baik dalam aspek
kelancaran membaca nyaring dan pemahaman bahasa serta
pada aspek menyimak, berada pada kategori baik. Hal ini
diduga aspek kelancaran dalam membaca kata bermakna
kemungkinan disebabkan karena anak sudah sering
mendengar kata-kata tersebut.
Bila dilihat dari aspek kata tidak bermakna siswa
berada pada kategori cukup. Hal ini terjadi karena kata yang
disajikan dalam aspek ini merupakan kata yang asing atau
kata yang kurang lazim didengar baik dalam percakapan
maupun bacaan, sehingga hal ini mempengaruhi kecepatan
anak dalam membaca dengan waktu yag sudah disajikan.
Meskipun rata-rata kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1 (A) SD (X) berada dalam kategori cukup baik,
terdapat beberapa siswa yang berada pada kategori kurang
dalam kemampuan membaca permulaan.
Upaya untuk membantu siswa mengatasi hambatan
membaca, penulis merekomendasikan program stimulasi
dengan menggunakan media pembelajaran scrabble.
Penelitian ke depan diharapkan dapat dilakukan pengujian
efektivitas media pembelajaran scrabble berbasis penelitian
penelitian eksperimen.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 95


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (2012). Anak Berkesulitan Belajar: Teori,
Diagnosis dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Sana & Mohammed Rafi. (2016). Learning Disabilities:
Characteristics and Instructional Approaches:
International Journal of Humanities Social Sciences and
Education (IJHSSE). 3 (4). 111-115,
http://dx.doi.org/10.20431/2349-0381.0304013.
Anonim. (2015). Pelatihan Penyegaran EGRA bagi Asesor.
Jakarta: USAID PRIORITAS.
APA. (2000). DSM IV TR (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV Text Revision). Washington DC:
American Psychiatric Assosiation.
APA. (2013). DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders V). Washington DC: American
Psychiatric Assosiation.
Baso, Siti Aisa, Efendi & Sahrudin. Tanpa tahun. Peningkatan
Kemampuan Siswa Membaca Permulaan Melalui
Metode SAS di Kelas II SDN Pinotu. FKIP Universitas
Tadulako: Jurnal Kreatif Tadulako (Online). 2 (1), 28-
51.
Byrness, J.P. (1996). Cognitive Developmental and Learning,
Instructional Context. Boston: Allyn and Bacon.
Cnnindonesia.com. 22 September (2017). UNESCO: 617
Juta Anak dan Remaja Sulit Baca dan Matematika.
(online). CNN Indonesia,
(https://m.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20170922085349-282-243265/ unesco-617-
juta-anak-dan-remaja-sulit-baca-dan-matematika).
Dalman, (2014). Keterampilan Membaca. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

96 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....


Departemen Pendidikan Nasional. (2009). Panduan untuk
Guru Membaca dan Menulis Permulaan untuk Sekolah
Dasar Kelas 1,2,3. Jakarta: Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah &
Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak Dan
Sekolah Dasar.
Hinebaugh, J.P. (2009). A Board Game Education. United
States Amerrica: Rowman & Littlefield Education.
Hulme, Charles & Margaret J. Snowling. (2016). Reading
Disorders and Dyslexia. Current Opinion in
Pediatrics. 28 (6), 731-735. DOI:
10.1097/MOP.0000000000000411.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
(2017). Modul Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan. Kementerian Pendidikan Kebudayaan.
Kring, Ann M. Sheri L. Johnson, Gerald Davidson & John
Neale. (2012). Abnormal Psychology (Twelfth Edition).
USA: John Wiley & Sons, Inc.
Latief. 24 Agustus (2010). Mereka (Tetap) Anak Pintar…
KOMPAS.com (online),
(https://amp.kompas.com/nasional/read/2010/08/24/
11200242/twitter.com).
Latief. 29 September (2016). Bukan Sekolah Khusus yang
Diperlukan Penyandang Disleksia… KOMPAS.com
(online),
(https://edukasi.kompas.com/read/2016/09/29/18170
071/
bukan.sekolah.khusus.yang.diperlukan.penyandang.di
sleksia.).
Latief. 2 Agustus (2010). Anak Disleksia Bisa Masuk Sekolah
Umum. KOMPAS.com (online),

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 97


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
(https://edukasi.kompas.com/read/2010/08/02/13273
095/ Anak. Disleksia.Bisa.Masuk.Sekolah.Umum).
Lidwina, Soeisniwati. (2012). Disleksia Berpengaruh Pada
Kemampuan Membaca dan Menulis: Jurnal STIE
Semarang. 4 (3), 9-17.
Mar’ah, Nani Atul. Tanpa Tahun. Meningkatkan
Kemampuan Membaca Nyaring Pada Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Cooperative
Learning di Kelas II SDN Inpres Sidoharjo Kecamatan
Moilong Kabupaten Banggai: Jurnal Kreatif Tadulako. 4
(12), 199-213.
Marshall, Dorothy & Catherine Christo. (2013).
Performance of School Age Reading Disabled
Students on the Phonological Awareness Subtests of
the Comprehensive Test of Phonological Processing:
UnMASC Anxiety, (Online). California University:
Multi-Health Systems Inc.
Nevid, J. S., Rathus, S.A. & Greene, B. (2005). Psikologi
Abnormal, Edisi kelima, Jilid 2. Terjemahan Tim
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Nurdayati & Purwandari. (2009). Metode Multisensori
untuk Mengembangkan Kemampuan Membaca Anak
Disleksia di SD Inklusi: Jurnal ISSN. 179-190.
Rief & Judith. (2010). The Dysleksia Checklist. Apractical
References for Parents and Teachers. United States:
Jossey-Bass.
Saadah, Varia Nihayatus & Nurul Hidayah. (2013). Pengaruh
Permainan Scrabble Terhadap Peningkatan
Kemampuan Membaca Anak Disleksia: Jurnal Fakultas
Psikologi (Emphaty). 1 (1), 39-52.
Sadiman, A, R. Rahardjo, Anung. Haryono, Harjito. (2011).
Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

98 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....


Santrock, John W. (2011). Perkembangan Masa Hidup.
Terjemahan Benedictine Wisdyasinta. Jakarta:
Erlangga.
Suharsimi, Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Jakarta: Rineka Cipta.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 99


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
DETEKSI DAN PENANGANAN
BODY DYSMORPHIC DISORDER (BDD)
PADA REMAJA PEREMPUAN

Amelia Hanum A., Ervyna Widya P.,


Faesol Akbar S.

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Citra tubuh merupakan hal yang penting pada masa
remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja
perempuan memiliki citra tubuh yang negatif dibanding laki-
laki sehingga dapat mengarah pada gangguan tubuh
dismorfik. Gangguan tubuh dismorfik merupakan salah satu
jenis gangguan somatoform yang kurang disadari dan
penderitanya. Indikasi BDD: terpaku pada kerusakan fisik
yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan hingga menyebabkan terganggunya kehidupan
sosial. Agar tidak berdampak lebih buruk, maka diperlukan
upaya deteksi dan penanganan BDD sejak dini.
Tujuan Penelitian ini adalah melakukan langkah
deteksi kecenderungan citra tubuh yang dapat mengarah
kepada gangguan tubuh dismorfia (Body Dysmorphic
Disorder) pada remaja putri (mahasiswi). Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Partisipan
yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 30 mahasiswi
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
Teknik sampling menggunakan simple random sampling
artinya semua memiliki peluang yang sama sama untuk
menjadi subjek penelitian. Instrumen penelitian yang
digunakan untuk mendeteksi gejala gangguan tubuh
dismorfik (Body Dysmorphic Disorder) berupa kuesioner
yakni Cosmetic Procedure Screening Questionnaire (COPS).

100 | Deteksi dan Penanganan Body Dysmorphic Disorder....


Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perolehan
skor dari 30 subjek penelitian terkait citra tubuh pada
remaja putri (mahasiswi) di Universitas X diperoleh skor
terrendah 8 dan skor tertinggi 48; (2) 2 dari 30 subjek,
(6,66%) terindikasi mengalami gangguan tubuh dismorfik
(Body Dysmorphic Disorder) dengan skor 40 dan 48; (3)
Perasaan khawatir yang tinggi terhadap citra tubuh pada
kedua subjek yang terindikasi gangguan tubuh dismorfik
(Body Dysmorphic Disorder) adalah pada bagian wajah.
Implikasi penelitian ini: dengan dilakukan langkah deteksi
dini Body Dysmorphic Disorder pada remaja putri, maka
penanganan dapat dilakukan lebih dini. Direkomendasikan
untuk dilakukan program intervensi dengan nama: Program
‘’30 Tanpa Alasan’’ yang merujuk pada teori belajar sosial
Bandura, diduga efektif untuk mengurangi BDD pada
remaja putri.

Kata kunci: gangguan tubuh dismorfik (Body Dysmorphic


Disorder), remaja putri

PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, berlangsung mulai usia 10
hingga 21 tahun. Pada masa tersebut terjadi perubahan yang
signifikan dalam aspek kognitif, hormonal, sosio-emosi dan
fisik. Perubahan-perubahan tersebut mendorong remaja
untuk lebih memperhatikan citra tubuhnya. Hasil penelitian
Berman, dkk (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa
terdapat perbedaan gender sehubungan dengan persepsi
remaja mengenai tubuhnya. Umumnya remaja perempuan
merasa kurang puas dengan tubuhnya dan memiliki citra
tubuh yang negatif dibanding remaja laki-laki. Ditinjau dari
perkembangan kognitif, cara berpikir pada masa remaja
menjadi lebih abstrak dan idealistik dan cara berpikir
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 101
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
tersebut sering kali mengarahkan kognisi remaja untuk
membandingkan dirinya dengan orang lain. (Piaget dalam
Santrock, 2011).
Perasaan kurang puas dan citra diri yang cenderung
negatif pada remaja perempuan mendorong remaja
perempuan menjadi lebih terobsesi pada penampilannya
dan berusaha untuk menutupi kekurangan yang ada pada
dirinya dengan usaha-usaha tertentu seperti memeriksa
penampilannya berulang kali, diet, berolahraga,
menggunakan make up hingga melakukan operasi plastik.
Namun, jika obsesi tersebut berlebihan hingga mengganggu
kehidupan sehari-hari maka hal tersebut dapat merujuk
pada gangguan tubuh dismorfik.
Asosiasi Psikiatri Amerika (dalam Nevid dkk, 2003)
menyatakan bahwa gangguan dismorfik merupakan salah
satu jenis gangguan somatoform ditandai dengan dengan
gejala yang menonjol yakni terpaku pada kerusakan fisik
yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan. Mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder 5 (DSM-5) diketahui bahwa gangguan
tersebut dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan
umumnya berada pada masa remaja, dengan preokupasi
yang cenderung berbeda-beda.
Remaja perempuan cenderung kurang puas dan
terobsesi pada penampilannya daripada remaja laki-laki
diperkuat dengan data statistik di Amerika Serikat (dalam
Nurlita & Lisiswanti, 2016), bahwa dari 30.000 orang 93 %
wanita dan 87% laki-laki dinyatakan peduli terhadap
penampilan dan berupaya memperbaiki penampilannya.
Dapat disimpulkan bahwa remaja perempuan memiliki citra
tubuh yang lebih negatif daripada remaja laki-laki sehingga
mereka lebih terobsesi pada penampilan dan melakukan
usaha-usaha untuk memperbaiki penampilannya. Bila hal
tersebut dilakukan secara berlebihan dan mengganggu
dalam kehidupan sehari-hari maka dimungkinkan akan
mengarah pada gangguan tubuh dismorfik.
Gangguan tubuh dismorfik dianggap sebagai gangguan
yang tersembunyi, karena masyarakat masih kurang
102 | Deteksi dan Penanganan Body Dysmorphic Disorder....
menyadari beberapa gejala-gejala yang muncul serta
dimungkinkan berakibat fatal seperti bunuh diri.
Berdasarkan fakta ini, mendesak kiranya untuk melakukan
deteksi dini, agar dapat diberikan langkah preventif atau
program intervensi yang tepat.
Upaya deteksi dini dan screening kemungkinan
seorang remaja mengidap BDD dapat dilakukan dengan
melakukan deteksi dengan menggunakan instrumen berupa
kuesioner yaitu Cosmetic Procedure Screening Questionnaire
(COPS). Tujuan penelitian ini adalah (1) melakukan upaya
screening untuk mendeteksi gangguan tubuh dismorfik
(BDD) (2) memberikan rekomendasi program stimulasi
atau intervensi untuk mengatasi gangguan tubuh dismorfik.

METODE
Subjek penelitian
Partisipan pada penelitian ini adalah 30 mahasiswi
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas X, yang berusia ≤
21 tahun. Alasan penulis menetapkan partisipan tersebut
karena mahasiswi yang berusia ≤ 21 masih berada dalam
rentang masa remaja.

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk
mendeteksi kecenderungan individu mengalami gangguan
tubuh dismorfik (Body Dysmorphic Disorder) adalah Cosmetic
Procedure Screening Questionnaire (COPS). Cosmetic Procedure
Screening Questionnaire (COPS) merupakan instrumen
berbentuk kuesioner dan dikembangkan oleh Veale, Ellison,
Werner & Dodhia (2012). Kuesioner tersebut terdiri dari
10 aitem, dengan ketentuan skoring sebagai berikut:
jawaban aitem diberi skor 0 hingga 8, sehingga dengan
demikian skor yang diperoleh subjek berada pada rentang
skor 0-72. Metode skoring dilakukan dengan menjumlahkan

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 103


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
skor aitem dari aitem nomor dua hingga nomor 10. Bila
individu yang memperoleh skor ≥ 40 mengindikasikan
bahwa individu tersebut mengalami gangguan dismorfik
tubuh (BDD).

Analisis data
Analisis data menggunakan analisis deskriptif, berbasis
distribusi frekuensi, dengan menggunakan teknik
persentase.

HASIL PENELITIAN
Tabel berikut menggambarkan data kecenderungan
BDD yang diukur menggunakan alat ukur Cosmetic
Procedure Screening Questionnaire (COPS), yang memuat
informasi berikut: usia, skor COPS serta bagian tubuh yang
paling dikhawatirkan dan ingin diperbaiki.

Tabel 1: Hasil Screening BDD pada Mahasiswi (N=30)

Nama Usia Hasil Bagian Tubuh


FN 19 8 Wajah
AK 18 8 Paha
ADW 18 12 Dahi
EA 18 12 Hidung
F 20 12 Lemak dagu
E 21 14 Tubuh
DH 18 16 Wajah
AY 18 16 Paha
BM 18 18 Bibir
DP 17 18 Tubuh
DN 19 18 Hidung
KR 21 18 Tubuh
DN 20 18 Lemak dagu
DM 18 18 Tubuh
DH 17 20 Tubuh
104 | Deteksi dan Penanganan Body Dysmorphic Disorder....
FR 19 22 Mata
FR 19 22 Paha
ER 18 22 Mata
AN 18 24 Kaki
DW 18 26 Kulit
JP 20 26 Paha
W 19 30 Jari
ER 18 32 Wajah
BT 19 32 Bokong
WP 20 32 Kulit
FK 18 34 Paha
FD 18 38 Tubuh
DA 18 40 Wajah
LR 19 48 Wajah

Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa: (1)


Perolehan skor dari 30 subjek penelitian terkait citra tubuh
bergerak pada skor terendah 8 dan skor tertinggi 48; (2)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2 dari 30 subjek
(6.66%) terindikasi mengalami gangguan tubuh dismorfik
(Body Dysmorphic Disorder) dengan perolehan skor 40 dan
48; (3) Kekhawatiran terhadap citra tubuh yang berlebih
pada kedua subjek yang terindikasi gangguan tubuh
dismorfik (Body Dysmorphic Disorder) yakni pada bagian
wajah.

DISKUSI & IMPLIKASI


Berman, dkk. (dalam Santrock, 2011) menyatakan
bahwa terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan gender sehubungan dengan persepsi
remaja mengenai tubuhnya. Secara umum, remaja
perempuan merasa kurang puas dengan tubuhnya dan
memiliki citra tubuh yang negatif dibanding remaja laki-laki.
Selain itu, cara berpikir pada masa remaja menjadi lebih
abstrak dan idealistik, sehingga memberi dampak pada
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 105
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
remaja untuk berpikir dengan cara membandingkan dirinya
dengan orang lain. (Piaget dalam Santrock, 2011). Hal
tersebut yang menjelaskan temuan penelitian ini yakni
ditemukan 2 dari 30 mahasiswi (6,66%) terindikasi
mengalami gangguan dismorfik tubuh (BDD).
Hasil penelitian Rahmania & Ika (2012) memperkuat
temuan bahwa remaja putri yang memiliki self esteem tinggi
maka akan menggambarkan dirinya secara positif,
sebaliknya, remaja putri yang memiliki self esteem rendah
akan beranggapan bahwa dirinya memiliki kekurangan dan
menyebabkan perasaan tidak puas akan tubuhnya terutama
dalam hal penampilan. Sebagai akibat lebih lanjut maka
dilakukan upaya-upaya untuk memperbaikinya seperti
dengan diet ketat, olahraga yang berlebihan, memeriksa
penampilannya berulang kali yang mengindikasikan yang
bersangkutan mengalami gangguan tubuh dismorfik.
Body Dismorphic Disorder (BDD) atau biasa disebut
gangguan dismorfik tubuh merupakan salah satu jenis dari
gangguan somatoform, ditandai dengan pandangan yang
berlebihan terhadap salah satu bagian tubuh yang
mengalami ketidaksempurnaan atau kecacatan (Kaplan &
Sandock, 2010). Hal ini selaras dengan temuan penelitian
yang menunjukkan bahwa 2 dari 30 subjek yang terindikasi
gangguan tubuh dismorfik (Body Dysmorphic Disorder)
ditandai adanya kekhawatiran yang berlebih pada citra
tubuhnya terutama pada bagian wajah.
Implikasi dari penelitian ini adalah dapat digunakan
sebagai salah satu upaya untuk mendeteksi kecenderungan
gangguan tubuh dismorfik pada komunitas terutama pada
remaja perempuan pada level pendidikan SMA, karena
remaja perempuan memiliki citra tubuh yang cenderung
negatif dibandingkan remaja laki-laki. DSM-5 juga
menjelaskan bahwa onset gangguan tubuh dismorfik
mayoritas muncul pada usia remaja. Selain untuk
mendeteksi kecenderungan gangguan tubuh dismorfik pada
remaja putri, penulis juga merekomendasikan program ‘’30
Tanpa Alasan’’ yang dapat digunakan sebagai salah satu cara
untuk mereduksi tingkat keparahan gangguan tubuh
106 | Deteksi dan Penanganan Body Dysmorphic Disorder....
dismorfik pada subjek yang terindikasi menderita gangguan
BDD.
Program tersebut merupakan program
pengembangan dan merujuk pada teori belajar sosial
Bandura serta terinspirasi dari fortune cookies yang berasal
dari Jepang. Pada program tersebut subjek yang terindikasi
gangguan tubuh dismorfik akan diberikan toples yang berisi
30 gulungan kertas yang terdiri dari 10 kertas kata-kata
motivasi, 10 kertas link video dan 10 kertas tantangan.
Subjek diminta untuk mengambil 2 gulungan kertas tiap
harinya selama 15 hari berturut-turut. Pada pelaksanaan
program ini, penulis berperan sebagai pengingat (reminder)
subjek melalui media sosial dan pada akhir program peneliti
akan memberikan post test berupa kuesioner yaitu Cosmetic
Procedure Screening Questionnaire (COPS) yang juga
digunakan dalam screening. Hal tersebut bertujuan untuk
mengetahui efektivitas program ‘’30 Tanpa Alasan’’ dalam
mereduksi gangguan tubuh dismorfik pada subjek.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) skor BDD
yang diperoleh dari 30 subjek penelitian terkait citra tubuh
bergerak dari skor 8-48; (2) 2 dari 30 subjek (6.66%)
terindikasi mengalami gangguan tubuh dismorfik (Body
Dysmorphic Disorder) dengan skor 40 dan 48; (3) Hasil
penelitian menunjukkan bahwa area yang menjadi
kekhawatiran terhadap citra tubuh yang berlebih pada
kedua subjek yang terindikasi gangguan tubuh dismorfik
(Body Dysmorphic Disorder) yakni pada bagian wajah.
Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah perlu
dilakukan upaya intervensi untuk mereduksi tingkat
keparahan gangguan tubuh dismorfik pada subjek yang
terindikasi menderita gangguan tersebut dengan
menerapkan program ‘’30 Tanpa Alasan’’ yang merujuk
pada teori belajar sosial Bandura serta terinspirasi dari

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 107


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
fortune cookies. Efektivitas program intervensi yang
direkomendasikan perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan menguji keberterimaan program intervensi yang
dikembangkan serta menguji efektivitasnya dengan
menggunakan penelitian eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5 (DSM-


5).
Kaplan, M.D., & Saddock. (2010). Sinopsis Psikatri. Jilid 2.
Binarupa.
Nevid, Jeffrey S dkk. (2005). Psikologi Abnormal. Terjemahan
Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Nurlita, Dessy dkk. (2016). Body Dysmorphic Disorder.
Medical Journal of Lampung University, (Online), 5 (5):
80-85
(http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority
/article/view/928.
P.N. Rahmania & C.Y. Ika. 2012. Hubungan antara Self
Esteem dengan Kecenderungan Body Dysmorphic
Disorder pada Remaja Putri. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental. 1(2) 110-117.
Veale, D., Ellison, N., Werner, T., Dodhia, R., Serfaty, M. &
Clarke, A. (2012). Development of a Cosmetic
Procedure Screening Questionnaire (COPS) for Body
Dysmorphic Disorder. Journal of Plastic Reconstructive
and Aesthetic Surgery, 65:530 532.

108 | Deteksi dan Penanganan Body Dysmorphic Disorder....


UPAYA PREVENTIF
DISORIENTASI SEKSUAL PADA
REMAJA PUTRI MELALUI PSIKO-EDUKASI

Ameliya Alfirdosi, Ferdhia S. Salsabila,


Nabilah M. Maulani

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi,
Universitas Negri Malang

Abstrak
Tingginya angka penyimpangan seksual pada remaja
menginspirasi orang tua untuk menjauhkan anak dari segala
bentuk pergaulan yang kurang sehat. Salah satu institusi
pendidikan agama yang dinilai orang tua dapat melindungi
anak dari pergaulan bebas adalah pesantren. Akan tetapi
batasan yang tegas di pesantren justru menimbulkan
masalah baru yaitu disorientasi seksual. Penelitian ini
merupakan salah satu upaya prevensi terkait disorientasi
seksual pada remaja melalui psikoedukasi di Pesantren Al-
Ishlahiyah Malang. Metode penelitian yang digunakan adalah
dengan wawancara. Upaya penerapan program prevensi
menggunakan desain penelitan One Groups Pretest Only.
Bentuk prevensi yang yang direkomendasikan dalam
penelitian ini adalah psikoedukasi kesehatan reproduksi,
dampak, dan pemahaman terkait orientasi seksual.

Kata kunci: Disorientasi Seksual, Remaja, Pesantren

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 109


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
PENDAHULUAN
Kualitas dan kesuksesan bangsa di masa depan sangat
ditentukan oleh generasi saat ini. Remaja merupakan salah
satu generasi yang akan menjadi penerus cita-cita bangsa,
oleh karena itu, masyarakat sangat mengharapkan remaja
tumbuh menjadi pribadi yang penuh tanggung jawab dan
mampu mengembangkan potensinya maupun tugas
perkembangannya, baik yang terkait aspek fisik, emosional,
sosial, kognitif, maupun moral-spiritual.
Salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh
remaja adalah masalah seksualitas. Pada masa ini ditandai
adanya rasa keingintahuan yang tinggi diantaranya yaitu
masalah seksualitas (Sumiatin, dkk., 2017). Keingintahuan
remaja sendiri disebabkan oleh masa perkembangan remaja
yang memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan
kematangan pada sistem reproduksi. Fenomena di
lapangan menunjukkan adanya problematik seksualitas yang
membutuhkan perhatian khusus. Data penelitian Kesehatan
Dasar (2010) menunjukkan bahwa 4,8 % remaja pada usia
10-14 tahun melakukan hubungan seks di luar nikah,
sebesar 0,5 % sampai 1,5% diantaranya mengalami
kehamilan. Sementara itu, data lain menunjukkan sebesar
41,8% remaja usia 15-19 tahun melakukan hubungan
seksual di luar nikah, dan 13% diantaranya mengalami
kehamilan.
Tingginya angka penyimpangan seksual pada remaja
menginspirasi orang tua untuk menjauhkan anak dari segala
bentuk pergaulan yang kurang sehat. Salah satu institusi
pendidikan agama yang diminati oleh para orang tua untuk
melindungi anak dari pergaulan bebas adalah pesantren.
Pesantren memiliki akses elektronik maupun alat
komunikasi yang sangat terbatas. Di sisi lain, pesantren
dianggap sebagai pendidikan ideal karena selain ilmu umum
anak juga dapat mempelajari ilmu agama. Pesantren
merupakan berbasis asrama dengan batasan yang sangat
tegas antara santri putra maupun santri putri, oleh karena

110 | Upaya Preventif Disorientasi Seksual....


itu kondisi ini memberi dampak hubungan yang intens antar
santri.
Selain memiliki dampak positif, namun demikian,
menurut Setyawati & Zakiyah (2016) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa pondok pesantren tak terlepas dari
masalah kesehatan reproduksi dan seksual lainnya, seperti
melakukan hubungan seksual dengan sesama santri,
persoalan kesehatan reproduksi terkait kebersihan organ
reproduksi seperti gatal-gatal disekitar kelamin maupun
keputihan.
Dikutip dari health Liputan6.com, menurut Dr.
Boyke Dian Nugraha, SPOG menyatakan bahwa
penyimpangan seksual seperti homo-seksual dan lesbian
paling banyak terjadi di pondok pesantren. Hal ini
mengingat sekolah khusus laki-laki dan perempuan
mengkondisikan remaja berorientasi pada satu jenis
kelamin, hal ini memberi peluang di pesantren ditengarai
ada indikasi kasus penyimpangan seksual. Hal itu menjadi
penanda bahwa santri kurang mendapatkan pendidikan
seksual yang dibutuhkan.
Tingginya penyimpangan seksual pada remaja dan
kerentanan pesantren terhadap perilaku disorientasi
seksual, mendorong penulis tertarik mengembangkan
rancangan prevensi disorientasi seksual pada remaja melalui
psikoedukasi di pesantren khususnya pesantren putri Al-
Ishlahiyah Malang.
Golinko (dalam Jahja, 2011) menyatakan istilah
remaja berasal dari bahasa Latin yakni adolescene, yang
artinya to grow atau to grow maturity. Sementara itu, Papalia
dan Olds (dalam Jahja, 2011), mendefinisikan masa remaja
sebagai masa transisi perkembangan antara masa kanak-
kanak dan dewasa. Umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal
dua puluh tahun. Menurut Anna Freud (dalam Jahja, 2011),
pada masa remaja terjadi proses perkembangan yang

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 111


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan
perkembangan psiko-seksual.
Klasifikasi periode perkembangan remaja menurut
Gunarsa & Gunarsa (dalam Putro, 2017) adalah sebagai
berikut: (1) Masa Remaja Awal: biasanya termasuk dalam
kelompok anak Sekolah Menengah Pertama, dengan ciri-
ciri: (a) tidak stabil atau lebih emosional, (b) mempunyai
banyak masalah, (c) masa yang kritis, (d) mulai tertarik pada
lawan jenis, (e) munculnya rasa kurang percaya diri (f) suka
mengembangkan pikiran baru, gelisah, suka berkhayal dan
suka menyendiri; (2) Masa Remaja Madya (Pertengahan),
biasanya termasuk dalam kelompok anak yang duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas dengan ciri-ciri: (a) sangat
membutuhkan teman, (b) cenderung bersifat narsistik atau
kecintaan pada diri sendiri, (c) berada dalam kondisi
keresahan dan kebingungan, karena pertentangan yang
terjadi dalam diri, (d) berkeinginan besar mencoba segala
hal yang belum diketahuinya, (e) keinginan menjelajah ke
alam sekitar yang lebih luas; (3) Masa Remaja Akhir, ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) aspek-aspek psikis dan
fisiknya mulai stabil, (b) meningkatnya berfikir realistis,
memiliki sikap pandang yang sudah baik, (c) lebih matang
dalam cara menghadapi masalah, (d) ketenangan emosional
bertambah, lebih mampu menguasai perasaan, (e) sudah
terbentuk identitas seksual yang stabil (f) lebih banyak
perhatian terhadap lambang-lambang kematangan.
William Kay (dalam Jahja, 2011), mengemukakan
tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai berikut: (1)
menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya,
(2) mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau
figur-figur yang mempunyai otoritas, (3) mengembangkan
ketrampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan
teman sebaya, baik secara individual maupun kelompok, (4)
menemukan model yang dijadikan identitas pribadinya, (5)
menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan
terhadap kemampuannya sendiri, (6) memperkuat self-
control (kemampuan mengendalikan diri) berdasarkan pada
nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup, (7) mampu
112 | Upaya Preventif Disorientasi Seksual....
meninggalkan reaksi dan sikap dan perilaku kekanak-
kanakan.
Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut
Havighurst (dalam Gunarsa, 2001) adalah sebagai berikut:
(1) menerima kenyataan terjadinya perubahan fisik yang
dialaminya dan dapat melakukan peran sesuai dengan
jenisnya secara efektif dan merasa puas terhadap keadaan
tersebut, (2) belajar membangun interaksi dan peranan
sosial dengan teman sebaya, baik teman sejenis maupun
lawan jenis sesuai dengan jenis kelamin masing-masing, (3)
mencapai kebebasan dari ketergantungan terhadap orang
tua dan orang dewasa lainnya, (4) mengembangkan
kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang
kehidupan bermasyarakat, (5) mencari jaminan bahwa suatu
saat harus mampu berdiri sendiri dalam bidang ekonomi
guna mencapai kebebasan ekonomi, (6) mempersiapkan
diri untuk menentukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan
bakat dan kesanggupannya, (7) memahami dan mampu
bertingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, (8)
memperoleh informasi tentang pernikahan dan
mempersiapkan diri untuk berkeluarga.
Eccles, dkk. dan Igartua, dkk. (dalam Alhamdu, 2016),
menjelaskan identitas seksual sebagai suatu persepsi
individu tentang peran seksual dirinya yang dipengaruhi
oleh kematangan individu. Lebih lanjut, Dilorio, dkk. dan
Igartua,dkk. (dalam Alhamdu, 2016) mengartikan perilaku
seksual sebagai suatu sikap dan tindakan untuk melakukan
kontak seksual dengan orang lain (laki-laki, wanita, atau
keduanya). Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa
perilaku seksual merujuk pada aktivitas dan tindakan
seksual dari seseorang.
American Psychological Association (2008) juga
mendeskripsikan orientasi seksual sebagai sebuah kondisi
emosional yang bertahan lama, romantis, dan daya pikat
seksual untuk berhubungan dengan orang lain (laki-laki,
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 113
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
wanita, atau keduanya). Selain itu, orientasi seksual merujuk
pada suatu perasaan dan konsep diri dari individu. Artinya,
hal yang individu rasakan tentang orientasi seksualnya
berpeluang untuk diekpresikan atau tidak diekpresikan
dalam bentuk perilaku seksualnya, karena hal tersebut juga
berhubungan dengan bagaimana konsep diri yang dimiliki
oleh seseorang. Cara seseorang melihat dan memikirkan
tentang dirinya juga dapat mempengaruhi orientasi
seksualnya, apakah hal tersebut akan ditampakkan atau
tidak ditampakkan dalam bentuk perilaku.
Secara umum, orientasi seksual mencakup tiga hal,
yakni heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Hetero-
seksual merupakan suatu kecenderungan untuk melakukan
daya pikat seksual secara emosional dan romantik dengan
orang lain yang mempunyai jenis kelamin yang berbeda
dengan dirinya. Dalam kasus ini, aktivitas seksual dilakukan
dengan orang lain yang mempunyai jenis kelamin yang
berbeda, seperti laki-laki dengan perempuan atau
sebaliknya. Sedangkan, homoseksual adalah suatu
kecenderungan untuk melakukan daya pikat seksual secara
emosional dan romantik dengan orang yang mempunyai
jenis kelamin yang sama, atau aktivitas seksual yang
dilakukan terjadi antara laki-laki dan laki-laki yang disebut
gay, atau antara wanita dengan wanita yang dikenal dengan
sebutan lesbian. Selanjutnya, istilah biseksual dipakai untuk
menjelaskan kecenderungan untuk melakukan daya pikat
seksual secara emosional dan romantik yang terjadi antara
keduanya, yaitu laki-laki dan juga wanita. Disimpulkan
bahwa biseksual mempunyai posisi antara dua
kecenderungan yakni heteroseksual dan homoseksual.
Santrock (2006), menyatakan orientasi seksual
berkembang selama rentang kehidupan, akan tetapi
fenomena tersebut baru muncul ketika individu memasuki
masa remaja. Hal ini berhubungan dengan tahap
perkembangan yang dikemukakan oleh Ericson, yaitu fase
identitas dan kebingungan peran. Menurut Ericson (dalam
Arnett, 2004; Santrock 2006), menjelaskan bahwa masa
remaja juga dikenal sebagai masa “storm and stress”, karena
114 | Upaya Preventif Disorientasi Seksual....
pada tahap ini remaja menemukan sesuatu yang baru
didalam kehidupan remaja, yakni secara bersamaan ada
perubahan fisik yang cepat dan ketidak-nyamanan secara
psikologis.
Di sisi lain, remaja juga berhadapan dengan hal yang
baru dalam kehidupan sosialnya. Remaja menyadari dirinya
bukan lagi anak-anak, tetapi mereka juga belum mampu
untuk mengekpresikan kemampuan dan potensi mereka
dengan benar, karena orang-orang disekitar mereka juga
belum menerima dan tidak/belum mengakui mereka sebagai
orang dewasa. Mereka mendapatkan sesuatu yang aneh
dengan diri dan hidup mereka, tetapi mereka tidak dapat
mengerti hal tersebut dengan pasti.
Kondisi ini menjadi problem ketika pada periode
kritis ini tidak ada orang yang membimbing dan membantu
remaja, maka kemungkinan ada kendala dalam menemukan
identitas diri, tetapi juga identitas seksual dan orientasi
seksual. Terkait dengan hal ini terdapat penelitian terkait
orientasi seksual pada remaja (Tucker dkk., 2008; Igartua
dkk., 2009; Berlan dkk., 2010; Ott, 2010).
Telaah literatur memberikan penjelasan
psikodinamika yang menjelaskan berkembangnya orientasi
seksual. Freud (dalam Santrock, 2006) serta Sigelman dan
Rider (2009) menyatakan bahwa orientasi seksual akan
dimulai pada tahap genital yaitu tahap pubertas atau remaja.
Pada tahap ini, individu akan mengidentifikasi orientasi
seksualnya secara tidak sadar sebagai akibat dari
pengalaman-pengalaman yang terjadi dan ditekan ketika
periode kanak-kanak dan akan ditampakkan kembali pada
tahap ini.
Pandangan ini didukung oleh Davis & Petretic-
Jackson, Corliss, dkk. & Eccles, dkk. (dalam Alhamdu, 2016)
hasil penelitian menunjukkan adanya bukti bahwa
pengalaman-pengalaman yang terjadi di masa kanak-kanak
akan mempengaruhi orientasi seksual mereka di masa
dewasa, bahkan juga akan mempengaruhi perilaku seksual
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 115
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
yang menyimpang. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Davis & Petretic-Jackson (2000) bahwa dampak dari
pelecehan dan kekerasan seksual terhadap interpersonal
dan hubungan seksual. Ditemukan bahwa dampak dari
pelecehan dan kekerasan seksual pada masa kanak-kanak
akan mempengaruhi orientasi seksual dan disfungsi seksual
dengan kecenderungan menjadi homo-seksual dan
biseksual, bahkan dapat menimbulkan penyimpangan
seksual seperti pedophilia, sadisme, sodomi, dan lain
sebagainya. Upaya preventif untuk mencegah disorientasi
seksual pada remaja urgen untuk dilakukan, salah satunya
melalui proses psiko-edukasi.
Psikoedukasi merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan untuk
mencegah munculnya gangguan psikologis di suatu
kelompok, komunitas dan masyarakat (Kusumastuti, 2017).
Psiko-edukasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini
adalah psiko-edukasi kesehatan reproduksi yaitu
pendidikan seks, dengan mengkaji seksualitas manusia, tidak
hanya fokus pada dimensi biologis saja.
Tujuan pendidikan seks adalah mendorong
ketrampilan, sikap, kecenderungan, perilaku dan refleksi
kritis terhadap pengalaman pribadi (Reiss & Halstead,
2006). Selain itu, Forrester (dalam Makol-Abduh, dkk.,
2009) menjelaskan bahwa remaja memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan seks, sebagai sarana untuk
melindungi diri terhadap penyalahgunaan dan eksploitasi,
kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual
dan HIV/AIDS.
Program pendidikan seks sudah menjadi program
gerakan internasional yang bertugas mendukung hak remaja
untuk mendapatkan informasi yang akurat dan relevan
tentang seksualitas, sehingga dapat membantu remaja
membuat keputusan dari perilaku seksual mereka (Kirby,
2011). Tujuan kesehatan reproduksi remaja (Wahyudi,
2000) yaitu: a) menurunkan resiko kehamilan dan
pengguguran yang tidak dikehendaki, b) menurunkan resiko
IMS/HIV-AIDS, c) informasi mengenai organ reproduksi
116 | Upaya Preventif Disorientasi Seksual....
dan proses reproduksi serta pentingnya menjaga organ
reproduksi dengan baik.
Tujuan penelitian ini melakukan upaya pemetaan
pemahaman remaja terkait orientasi seksual dan upaya
implementasi kesehatan reproduksi berbasisi psiko-edukasi
untuk mencegah masalah disorientasi seksual.

METODE
Desain Penelitian
Desain digunakan dalam penelitian ini adalah “One
Groups Pretest Only” yaitu desain penelitian dengan
membandingkan pretest sebelum diberi perlakuan dan
Pretest akan diberikan pemahaman orientasi seksual dan
kesehatan reproduksi pada santri putri di pesantren X.

Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah santriwati berusia remaja di
Pesantren X Kota Malang, dengan alasan bahwa pesantren
ini merupakan salah satu pesantren putri yang terkenal
dengan jumlah santri yang cukup banyak, yakni 130
santriwati dari segala usia. Kemudian dari 130 responden
dipilih 15 subjek yang sesuai dengan karakteristik yang
ditetapkan.

Instrumen Penelitian
Setelah pretest dan wawancara dilakukan, santri akan
diberikan program intervensi berupa materi mengenai sex
education. Materi dirancang dengan tujuan menambahkan
dan menguatkan pemahaman terkait orientasi seksual dan
kesehatan reproduksi. Materi tersebut diberikan dengan
bahasa yang mudah dipahami bagi remaja, sehingga
diharapkan mampu menjadi upaya preventif terjadinya
disorientasi seksual pada santri di pesantren tersebut.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 117


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
analisis data deskriftif dengan teknik persentase.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan screening awal yang disebarkan melalui
link google form, diketahui bahwa pada dasarnya santriwati
usia remaja di Pesantren X telah memahami tentang
kesehatan reproduksi dan sebagian besar tidak merasa ragu
bahwa mereka mau untuk belajar terkait pendidikan
seksual (sex education). Namun demikian, diperoleh temuan
bahwa terdapat 12,5% santri yang belum memahami cara
menjaga kesehatan reproduksi dan 37,5% menyatakan
hanya tertarik untuk mempelajari seksualitas pada
perempuan saja. Selain itu, 12,5% cenderung menghindari
artikel atau tayangan mengenai seksualitas, 25% jarang
mempelajari informasi terkait pendidikan seksual, dan
12,5% menyatakan bahwa jarang mendapatkan informasi
terkait pendidikan seksual dari lingkungan sekitar.

DISKUSI & IMPLIKASI


Bila ditelaah lebih lanjut, terkait pemahaman bahwa
pendidikan seksualitas juga mengarah pada pengetahuan
terkait HIV/AIDS, sebanyak 25% menunjukkan bahwa
Pemahaman santri terkait hal tersebut masih terbatas,
Responden menyatakan bahwa pemahaman mereka
tentang HIV/AIDS terbatas pada penggunaan jarum suntik
saja. Ditemukan pula adanya indikasi bahwa memang ada
ketertarikan pada sesama jenis, yakni sebanyak 12,5%, dan
37,5% menunjukkan indikasi bahwa belum memahami
adanya batasan perilaku antara sesama remaja perempuan.
Berdasarkan data-data tersebut, kemudian dikaji dan
dianalisis untuk menemukan data terkait informasi yang
dibutuhkan remaja, dalam format pendidikan seks.
Beberapa informasi tersebut mencakup: (1) Pentingnya
pemahaman terkait pendidikan seksual dan kesehatan
118 | Upaya Preventif Disorientasi Seksual....
reproduksi secara menyeluruh (2) Informasi mengenai
organ reproduksi pada perempuan dan laki-laki, (3)
Orientasi seksual dan batasan perilaku baik itu sesama jenis
maupun lawan jenis, (4) Dampak yang terjadi apabila
terdapat perilaku yang berlebihan baik sesama jenis maupun
lawan jenis, (5) Informasi terkait HIV/AIDS.
Berdasarkan temuan data awal tersebut kemudian
penulis mengemas pendidikan seks, dalam bentuk power
point yang disebarkan melalui google drive sehingga dapat
dibaca oleh setiap subjek dan dapat diakses pula oleh rekan
santriwati lainnya sebagai informasi baru yang edukatif.
Respon dari subjek cukup baik, dibuktikan dengan data yang
menyatakan bahwa 75% remaja menyatakan bahwa materi
yang dijelaskan dalam power point cukup praktis dan baru.
Sebanyak 50% menyatakan bahwa pengetahuan ini
membuat mereka lebih sadar bahwa ada batasan-batasan
dan cara tertentu untuk berperilaku dengan rekan, baik itu
sesama jenis maupun lawan jenis.
Rekomendasi untuk penelitian ke depan penting
untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan
mengembangkan materi pendidikan seks yang dikemas
berbasis psiko-edukasi sesuai dengan kebutuhan remaja
dalam setting pesantren sebagai upaya untuk mencegah
penyimpangan disorientasi seksual. Selanjutnya materi sex
education perlu dilakukan expert judgement, selanjutnya diuji
efektivitas pengaruh sex education untuk mengurangi dis-
orientasi seksual santri.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
keseluruhan santri berusia remaja di Pesantren (X)
memiliki pemahaman yang cukup baik terkait pendidikan
seks, khusunya pemahaman terkait orientasi seksual.
Namun demikian, beberapa diantaranya masih memerlukan

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 119


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
informasi lebih lanjut terkait program prevensi untuk
mencegah orientasi seksual yang tidak sehat.
Rekomendasi untuk penelitian ke depan penting
untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan
mengembangkan materi pendidikan seks yang dikemas
berbasis psiko-edukasi sesuai dengan kebutuhan remaja
dalam setting pesantren sebagai upaya untuk mencegah
penyimpangan perilaku seksual khususnya disorientasi
seksual. Selanjutnya, penelitaian lanjutan untuk uji
efektivitas produk yang dikembangkan yakni sex education
model perlu dilakukan uji dengan desain eksperimen yang
sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Alhamdu, A. (2016). Orientasi Seksual; Faktor, Pandangan


Kesehatan dan Agama. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji
Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama. (Online). 16
(1). 120–140. http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/
JIA/article/view/503. Diakses pada 30 Oktober 2019.
Gunarsa, S.D. & Gunarsa, Y.S. (2001). Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E.B. (1997). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Hurlock. E.B. (1993). Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta:
Erlangga.
Jahja, Y. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
Kusumastuti, W. (2017). Pengaruh Metode Psiko-edukasi
Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja
Putri. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi. (Online). 2 (2).
155–166. http://journals.ums.ac.id/index.php/
indigenous/article/view/4461. Diakses pada 30
Oktober 2019.
Mappiare, A. (2000). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha
Nasional.
120 | Upaya Preventif Disorientasi Seksual....
Makol-Abduh, dkk. (2009). Parent’s attitudes toward
inclusion of sexuality education in malaysian school.
International journal about parents in education.
(Online). 3 (1). 42 – 56. http://www.ernape.net/
ejournal/index.php/IJPE/article/viewFile/84/62.
Diakses pada 30 Oktober 2019.
Putro, K.Z. (2017). Memahami Ciri dan Tugas
Perkembangan Remaja. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-
ilmu Agama. (Online). 17 (1). 25 – 32.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/aplikasia/article/
view/1362/1180. Diakses pada 30 Oktober 2019.
Reiss, M. & Halstead, J.M. (2006). Pendidikan Seks Bagi
Remaja (terjemahkan oleh M. Taufiekurakhman).
Yogyakarta: Alenia Press.
Setyawati & Zakiyah. (2016). Pelatihan Pencegahan
Merosotnya Moral Santri Melalui Belajar Seksualitas
Dengan Kajian Kitab Kuning Dan Kesehatan
Reproduksi Remaja Di Pondok Pesantren Romlah
Assodiyah Kecamatan Ciolongok. Jurnal ISLAMADINA.
(Online). 17 (2). 21 – 30.
http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/ISLAMADI
NA/article/view/1323. Diakses pada 30 Oktober
2019.
Sumiatin, T., dkk. (2017). Pengaruh Persepsi Remaja
Tentang Perilaku Seks Terhadap Niat Remaja Dalam
Melakukan Perilaku Seks Beresiko. Jurnal
Keperawatan. (Online). 8 (1). 96 – 101.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/iss
ue/view. Diakses pada 30 Oktober 2019.
Wahyudi. (2000). Modul Kesehatan Reproduksi Remaja.
Yogyakarta: PKBI.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 121


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
DETEKSI DAN UPAYA PENANGANAN
ADIKSI GAME ON LINE PADA REMAJA

Estisuci Eka Arnitasari


Inayah Sherly Restika Putri
Mutiara Watiningsih

Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Internet Gaming Disorder (IGD) merupakan perilaku
individu yang ditandai dengan perilaku: memainkan game
online secara terus menerus dan biasanya dimainkan
dengan orang lain dimana perilaku tersebut dapat
mengarahkan individu-individu ke arah distress psikologis.
IGD dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yakni:
faktor biologi, psikologi, dan sosial. Selain itu IGD juga
dapat menimbulkan dampak fisik, psikologis, dan sosial bagi
indivudu-individu yang mengalaminya. Metode yang
digunakan untuk mendeteksi individu yang mengalami
Internet Gaming Disorder adalah The Development of
Indonesian Online Game Addcition Questionnaire. Pencegahan
Internet Gaming Disorder (IGD) dapat dilakukan dengan tiga
cara yakni: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier. Dari beberapa pencegahan yang ada,
digunakan pencegahan primer yang dimana salah satu
strateginya berupa pendidikan (education) Penelitian ini
menggunakan instrumen The Development of Indonesian
Online Game Addcition Questionnaire. Partisipan yang terlibat
dalam penelitian ini berjumlah 25 orang. Analisis data
menggunakan analisis deskriftif teknik persentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4
orang (16%) yang terindikasi mengalami Internet Gaming
Disorder (IGD) dalam kategori rendah, 10 orang (40%)

122 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....


masuk dalam kategori sedang, serta 11 orang (44%) masuk
dalam kategori tinggi. Implikasi temuan perlu dikembangkan
upaya intervensi untuk mengurangi Internet Gaming Disorder
(IGD), dengan pendekatan psiko-edukasi, mengingat jumlah
individu yang mengalami IGD 44% berada kategori tinggi.

Kata Kunci: internet gaming disorder, remaja.

PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa
anak-anak menuju masa dewasa. Menurut Hurlock (1980)
remaja merupakan masa dimana muncul berbagai macam
perubahan. Perubahan yang ada pada individu pada masa
remaja meliputi perubahan fisik dan seksual, perubahan
emosi, perubahan sosial, serta perubahan psikis. Selain itu,
masa remaja juga ditandai adanya pencarian identitas dan
periode penuh gejolak, oleh karena itu remaja biasanya
lebih sering menghabiskan waktunya untuk mencari
kesenangan ataupun tantangan, salah satunya adalah game
on line.
Kementrian Kesehatan Indonesia menyatakan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan seseorang dapat
mengalami kecanduan game online adalah mereka yang
secara psikologis gemar mencari tantangan (dilansir dalam
depkes.go.id), oleh karena itu individu yang sedang berada
pada masa remaja memiliki peluang mengalami adiksi game
online, dibandingkan dengan masa sesudahnya. Hal ini
diperkuat dengan data survei bahwa pengguna terbesar
adalah berkisar pada usia 15-19 tahun (Pratomo, 2019).
Berdasarkan survei oleh Kominfo menginformasikan
bahwa anak-anak milenial lebih banyak menghabiskan
waktunya menggunakan internet untuk mengakses game
online yakni dari 142 juta jiwa penduduk di Indonesia
hampir 30 juta jiwa pengguna internet merupakan anak-

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 123


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
anak milenial yang menggunakan internet secara aktif untuk
bermain game online (Luhtfi, 2019).
Berdasarkan American Psychiatric Association (APA)
internet gaming disorder merupakan penggunaan game online
atau video game secara terus-menerus dimana hal tersebut
dapat menjadikan individu yang memainkannya mengalami
distress yang signifikan. Sedangkan menurut Feng, dkk.
(2017) internet gaming disorder adalah suatu kondisi pada
individu yang menggunakan atau memainkan game online
secara terus-menerus dan berulang-ulang, dan umumnya
dilakukan dengan orang lain, serta secara klinis merupakan
gangguan atau distress. Merujuk pada pandangan tersebut
disimpulkan bahwa internet gaming disorder merupakan
perilaku individu yang memainkan game online secara terus-
menerus, bersama dengan orang lain, serta berpeluang
mengarah ke distress psikologis.
Menurut DSM V kriteria internet gaming disorder yang
harus terpenuhi lima (atau lebih) dalam waktu 12 bulan
antara lain :
1) Terokupasi dengan game internet, artinya individu yang
kecanduan memikirkan sesi bermainnya sebelumnya dan
mengantisipasi sesi bermain berikutnya. Dengan kata lain
game internet menjadi bagian yang mendominasi
hidupnya.
2) Menunjukkan gejala putus obat saat game internet tidak
bisa dimainkan (kesedihan, kecemasan, mudah marah;
namun tidak menunjukkan gejala fisik akibat obat).
3) Toleransi, kebutuhan untuk terus meningkatkan waktu
bermain untuk memuaskan kebutuhannya.
4) Sudah mencoba untuk mengontrol perilaku bermainnya,
namun mengalami kegagalan.
5) Kehilangan minat pada hobi atau hiburan lain yang
sebelumnya diminati.
6) Terus-menerus bermain game internet meskipun
mengetahui bahwa dirinya mengalami masalah
psikologis.
7) Pernah membohongi keluarga, terapis, atau orang lain
tentang lama waktu bermain.
124 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....
8) Menggunakan game internet untuk lari atau meringankan
mood negatif (seperti rasa bersalah atau rasa tidak
berdaya).
9) Pernah membahayakan atau kehilangan hubungan
signifikan/dekat, pekerjaan, pendidikan, atau kesempatan
berkarir karena merasa harus berpartisipasi dalam game
internet.
Gangguan internet gaming diorder tidak termasuk permainan
online yang berhubungan dengan berjudi, penggunaan
internet untuk bekerja, dan penggunaan internet untuk
hiburan lainnya (media sosial, porno, dll).
Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia faktor
yang menyebabkan individu mengalami kecanduan game
online yaitu faktor biologi, faktor psikologi, dan faktor sosial.
Faktor biologi yaitu setiap individu memiliki
neurotransimter yang berbeda-beda, individu yang memiliki
neurotransmiter tinggi biasanya memiliki kecenderungan
lebih mudah mengalami kecanduan terhadap game online.
Faktor psikologis yaitu individu yang pada dasarnya secara
psikologis senang mencari tantangan, lebih cenderung
mengalami kecanduan game online, karena pada game online
biasanya selalu terdapat tantangan pada setiap levelnya.
Faktor sosial yaitu salah satunya adalah pola asuh orang tua
yang memberikan game pada anak sejak usia dini sehingga
membentuk pola pikir pada anak bahwa game merupakan
tempat untuk mendapatkan kesenangan.
Internet Gaming Disorder yang terjadi pada individu
dapat berdampak secara fisik, psikologis, maupun sosial.
Menurut Heryana (2018) dampak yang ditimbulkan dari
internet gaming disorder antara lain: (a) suasana hati yang
mudah berubah, (b) gangguan pada pola tidur, (c)
mengalami depresi dan kecemasan, (d) kondisi fisik yang
mengalami penurunan, (e) pola makan menjadi buruk, (f)
semakin asyik dengan dunianya sendiri, melupakan dunia
nyata dan tidak bersosialisasi, (g) terganggunya
produktivitas kerja dan pekerjaan yang sedang dijalani.
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 125
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Internet gaming disorder cenderung memberi dampak
negatif kepada individu, oleh karena itu penting untuk
melakukan gerakan preventif atau pencegahan agar individu
tidak mengalami internet gaming disorder. Menurut King &
Dalfabbro (2019) terdapat tiga bentuk pencegahan internet
gaming disorder yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder, dan pencegahan tersier.
Strategi pencegahan primer berupa pendidikan,
membuat regulasi atau kebijakan, teknologi, meningkatkan
kesadaran, dan lingkungan. Pencegahan sekunder atau
pencegahan selektif yaitu berupaya menghindari internet
gaming disorder. Strategi pencegahan sekunder dengan
melakukan deteksi dini secara rutin, pemeriksaan
kesehatan, serta program pendidikan di sekolah.
Pencegahan tersier berupa pencegahan pada individu yang
terindikasi mengalami permasalahan game online. Strategi
pencegahan tersier berupa kelompok dukungan, pelayanan
kesehatan mental dan rawat jalan, rehabilitasi psiko-sosial,
serta edukasi psikologis.
Tujuan dari penelitian ini adalah: melakukan deteksi
terkait internet gaming disorder pada siswa, serta upaya
preventif atau kuratif yang dapat direkomendasikan terkait
internet gaming disorder.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif, dengan fokus mendeskripsi
perilaku internet gaming disorder siswa.

Subjek penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja dengan rentangan
usia 14-18 tahun yang aktif bermain game mobile online pada
kelompok belajar rumahan di Desa Petak Kecamatan Bagor
Kabupaten Nganjuk. Teknik sampling menggunakan
metode incidental sampling. Total subjek yang terlibat dalam
penelitian ini berjumlah 25 orang, usia 14-18 tahun.
126 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....
Instrumen Penelitian
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan alat ukur yang berupa skala psikologis. Alasan
penggunaan skala psikologis dalam penelitian ini karena
skala psikologi mampu mengukur indikator perilaku, selain
itu respon jawaban subjek tidak dikategorikan menjadi
benar dan salah. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
ini adalah The Development of Indonesian Online Game
Addcition Questionnaire yang kemudian diadaptasi oleh
penulis dengan menggunakan skala model Likert.

Tabel 1: Daftar Pertanyaan Game On Line Addiction


No. Pernyataan SS S TS STS
1 Saya memikirkan game online
sepanjang hari
2 Waktu bermain game online
saya bertambah (misalnya
dari 1 jam menjadi 2 jam
setiap kali main)
3 Saya bermain game online
untuk melarikan diri dari
masalah
4 Orang lain gagal saat
mencoba membantu saya
mengurangi waktu bermain
game online
5 Saya merasa tidak enak ketika
tidak dapat bermain game
online
6 Bermain game online
membuat hubungan saya
dengan orang lain (keluarga,
teman, dll) menjadi
bermasalah

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 127


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
7 Waktu yang saya habiskan
untuk bermain game online
membuat saya kekurangan
jam tidur

Analisis Data
Data dianaliisis menggunakan teknik statistik
deskriftif, dengan tujuan menggambarkan responden yang
mengalami adiksi game on line, menggunakan teknik
persentase.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Karakteristik responden yang terlibat dalam
penelitian ini digambarkan sebagai berikut: remaja
perempuan dengan presentase 32% dengan rentang usia
15-18 tahun dan remaja laki-laki dengan persentase 68%
dengan rentang usia 14-17 tahun. Total responden dalam
penelitian ini berjumlah 25 orang.

Tabel 1: Deskripsi Data Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Jumlah Responden Persentase


Perempuan 8 orang 32%
Laki-laki 17 orang 68%
Total 25 orang 100%

Ditinjau dari usia, responden yang terlibat dalam


penelitian ini digambarkan sebagai berikut: 4% remaja
berusia 14 tahun, 28% remaja berusia 15 tahun, 32% remaja
berusia 16 tahun, 32% remaja berusia 17 tahun dan 4%
remaja berusia 18 tahun. Berdasarkan data usia, dapat
disimpulkan sebagian besar responden berada pada rentang
usia 16-17 tahun.

128 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....


Tabel 2: Deskripsi Data Rentang Usia Responden (N=25)

Usia Jumlah Responden Presentase


14 tahun 1 orang 4%
15 tahun 7 orang 28%
16 tahun 8 orang 32%
17 tahun 8 orang 32%
18 tahun 1 orang 4%
Total 25 orang 100%

Hasil analisis data yang diperoleh melalui Indonesian


Online Game Addiction Questionnaire, dengan 4 pilihan
jawaban yaitu, SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak
Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju). Alat ukur terdiri dari
7 aitem. Skor responden bergerak dari skor 8-26.
Kemudian sebaran skor dikelompokkan dalam tiga
klasifikasi yaitu: tinggi, rendah dan sedang. Tabel 3
menggambarkan data deskriptif data game on line addiction.

Tabel 3: Hasil Penelitian Game on Line (N= 25 Subjek)


Aitem
Subjek Total Klasifikasi
1 2 3 4 5 6 7
KFT 2 3 2 2 2 2 2 15 Sedang
TY 2 2 3 2 2 3 4 18 Tinggi
FB 2 1 4 2 3 1 4 17 Tinggi
IM 2 2 3 1 1 1 1 11 Rendah
SPTH 2 3 4 3 3 2 3 20 Tinggi
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 129
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
PST 2 2 1 3 2 2 2 14 Sedang
HDR 3 3 4 3 3 2 3 21 Tinggi
DR 2 3 2 2 2 1 2 14 Sedang
NBL 2 3 2 2 3 3 2 17 Tinggi
ASY 3 3 3 2 3 2 3 19 Tinggi
DVD 1 2 2 2 2 3 3 15 Sedang
IGY 2 2 4 2 2 2 3 17 Tinggi
RCH 1 2 4 1 1 1 3 13 Rendah
RN 2 2 3 2 2 2 1 14 Sedang
PTR 3 4 4 3 4 3 2 23 Tinggi
ZHN 2 2 3 1 2 2 1 13 Rendah
HSN 2 2 3 2 3 3 3 18 Tinggi
IT 4 3 3 4 4 4 4 26 Tinggi
AL 2 2 3 2 2 2 1 14 Sedang
IZH 1 2 1 1 1 1 1 8 Rendah
YDH 2 2 3 2 2 2 2 15 Sedang
AY 1 1 3 1 1 3 4 14 Sedang
AKH 2 3 3 1 2 1 3 15 Sedang
RHN 2 3 2 2 3 2 3 17 Tinggi
LGG 2 2 3 2 2 2 3 16 Sedang

Berdasarkan data pada tabel 3, diperoleh temuan


sebagai berikut: 4 orang (16%) yang masuk dalam kategori
rendah, 10 orang (64%) berada pada kategori sedang dan
11 orang (44%) yang masuk dalam kategori tinggi.

Tabel 4: Klasifikasi Perilaku Adiksi Game Line (N=25)


Tingkatan Interval Nilai Frekuensi Persentase
Rendah 8 – 13,70 4 16%
Cukup 13,71 – 16,66 10 40%
Tinggi 16,67 – 26 11 44%

Berdasarkan data pada tabel 4 di atas memberikan


informasi bahwa: sebagian besar responden (44%) perilaku
130 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....
adiksi game berada pada klasifikasi tinggi, dan kasifikasi
sedang (40%), hanya sebagian kecil berada pada kategori
rendah sebanyak (16%). Hasil penelitian memberikan
implikasi pentingnya penanganan atau intervensi adiksi
game dengan penedekatan psikologis yang tepat.

Perilaku adiksi game yang tergolong tinggi sebesar


(44%), bila ditinjau dari jenis kelamin menghasilkan temuan
yang menarik, sebagaimana dituangkan pada tabel 5 berikut
ini.

Tabel 5: Adiksi game on-line kategori tinggi, ditinjau dari


jenis kelamin
Jenis Kelamin Kategori Tinggi Frekuensi
Laki-laki 6 54,54%
Perempuan 5 45,45%
Total 11 orang 100 %

Merujuk pada tabel 5, adiksi game on line pada


kategori tinggi sebagian besar dialami pada jenis kelamin
laki-laki (54,54%), namun demikian proporsi yang hampir
seimbang juga dialami oleh sebagian besar remaja
perempuan (45,45%). Hal ini berarti bahwa adiksi game on
line tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Namun demikian,
dibutuhkan analisis lebih lanjut apakah perbedaan adiksi
game on line signifikan secara statistik.

DISKUSI & IMPLIKASI


Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 dari 25
subjek penelitian (44%) terbukti berada pada kategori
tinggi. Maknanya adalah remaja yang mengalami sdiksi
game-on line tergolong tinggi. Ditinjau dari jenis kelamin,
terjadi pada remaja laki-laki maupun perempun, dengan

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 131


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
proporsi hampir seimbang. Ditinjau dari usia berada pada
rentang usia 14-18 tahun. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa 52% para remaja yang adiktif game
online ini, merupakan bentuk pelarian mereka dari masalah
yang tengah mereka hadapi (escape mechanism). Sebagian
besar dari responden (40%) juga menyetujui bahwa waktu
yang mereka habiskan untuk bermain game online
membuat mereka menjadi kekuarangan jam tidur. Selain itu
39% subjek juga menyetujui jika mereka yang mengalami
adiksi game online, akan menambah waktu mereka dalam
bermain game online sampai 1-2 jam setiap kali bermain.
Sejumlah responden (17%) menyatakan tidak setuju jika
mereka selalu berpikir tentang game online yang sering
mereka mainkan sepanjang hari. Menurut subjek, mereka
merasa masih mampu untuk memanajemen waktu mereka
saat bermain game online. Sebagian besar subjek (50%)
menyatakan tidak setuju jika mereka tidak mampu menahan
diri untuk bermain game online. Sebagian besar (52%)
subjek juga menyatakan jika hubungan mereka dengan
orang-orang disekitar (keluarga, teman) baik-baik saja.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian
Sanditaria, dkk (2012) yang menyatakan bahwa sebanyak
62% responden anak usia sekolah mengalami adiksi bermain
game online. Bermain game cenderung mempengaruhi
pikiran seorang “gamer” menjadikan aktivitas ini menjadi
yang paling penting dalam hidupnya, serta mendominasi
pikiran, perasaan, dan perilakunya. Hasil temuan yang sama
selaras dengan hasil penelitian Suplig (2017) yang
menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami kecanduan
game online lebih memilih menikmati dunia maya dalam
menghadapi masalahnya dari pada menghadapi masalah dan
kekawatiran dalam dunia nyata. Dengan kata lain gamer
berpikir lebih menyenangkan dan dapat melupakan masalah
yang dihadapi melalui game dari pada menghadapi masalah
dalam dunia nyata.

132 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....


KESIMPULAN
Internet gaming disorder merupakan perilaku individu
yang memainkan game online secara terus-menerus dan
biasanya dimainkan dengan orang lain dimana perilaku
tersebut dapat mengarahkan individu menuju distress
psikologis. Internet gaming disorder dapat terjadi karena
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu faktor biologi,
psikologi, dan sosial. Selain itu internet gaming disorder juga
menimbulkan dampak fisik, psikologis, dan sosial bagi
individu yang mengalaminya.
Pencegahan internet gaming disorder dapat dilakukan
melalui tiga cara yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder dan pencegahan tersier. Dari pencegahan primer
salah satu strateginya adalah pendidikan (education). Hasil
dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 orang (16%)
terindikasi mengalami internet gaming disorder kategori
rendah, 10 orang (40%) kategori sedang dan 11(44%)
orang kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa
sebagian besar remaja (14-18 tahun) mengalami internet
gaming disorder kategori tinggi. Temuan ini memberikan
implikasi pentingnya dilakukan langkah prevensi dan
intervensi untuk mengurangi internet gaming disorder,
dengan pendekatan psiko-edukasi. Rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya, perlu dilakukan langkah intervensi
yang tepat dengan desain eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and


Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition.
London: American Psychiatric Publishing.
Feng, W., D. Ramo, S. Chan & J. Bourgeois. (2017). Internet
Gaming Disorder: Trends in Prevalence 1998-2016.
Addictive Behaviors. 75, 17-24.
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 133
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Heryana, Ade. (2018) Kecanduan Games Online (Internet
Gaming Disorder). Internet Gaming Disorder.
Hurlock, B. Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Terjemahan oleh Istidariwanti & Soedjarwo. Jakarta;
Erlangga.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kenali Faktor-
Faktor Penyebab Kecanduan Game Online.
Depkes.go.id. (Online).
(http://www.depked.go.id/article/view/18070600010/
kensali-faktor-faktor-penyebab-kecanduan-g\ame-
online.html), diakses pada 31 Oktober 2019.
King, P. H. & P. Delfabbro. (2019). Internet Gaming Disorder:
Theory, Treatment, and Prevention (pp. 1-21). London:
Academic Press.
Luhtfi, Ahmad. (2019). 30 Juta Anak Milineal Gemar
Bermain Game Setiap Hari. Kompas.com. (Online)
(https://techno.okezone.com/read/2019/03/28/326/2
036223/30-juta-anak-milenial-gemar-bermain-game-
setiap-hari), diakses pada 31 Oktober 2019.
Pratomo, Yudha. (2019). APJII: Jumlah Pengguna Internet di
Indonesia Tembus 171 Juta Jiwa. Kompas.com.
(Online)
(https://tekno.kompas.com/read/2019/05/16/032600
37/apjii-jumlah-pengguna-internet-di-indonesia-
tembus-171-juta-jiwa), diakses pada 31 Oktober
2019.
Sanditaria, Winsen, Fitri, Siti Yuyun Rahayu & Mardhiyah,
Ai. (2012). Adiksi Bermain Game Online Pada Anak Usia
Sekolah Di Warung Internet Penyedia Game Online
Jatinangor Sumedang. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas
Padjadjaran. http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article
/download/745/791.

134 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....


Suplig, Maurice Andrew. (2017). Pengaruh Kecanduan Game
Online Siswa SMA Kelas X Terhadap Kecerdasan Sosial
Sekolah Kristen Swasta Di Makassar. JURNAL
JAFFRAY. Vol. 15 (2), 177-200.
https://media.neliti.com/media/publications/257119-
pengaruh-kecanduan-game-online-siswa-sma-
076d064a.pdf. (Online). Diakses 30 November 2019.

Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 135


Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan

Anda mungkin juga menyukai