Penerbit
Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi)
Universitas Negeri Malang (UM)
Jl Semarang No 5 Malang 65145
Telp/Fax (0341) 551312/ (0341-579700
Deteksi Hambatan
Perkembangan Anak & Remaja:
Telaah Literatur Dan Studi Pendahuluan
Penerbit
Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPsi)
Universitas Negeri Malang (UM)
Jl Semarang No 5 Malang 65145
Telp/Fax (0341) 551312/ (0341-579700
i
Daftar 1si
Halaman
Kata Pengantar………………………………………… i
Daftar Isi ……………………………………………… ii
ii
DETEKSI DAN STIMULASI
ASPEK KOGNITIF DOWN SYNDROME
DENGAN MENGGUNAKAN METODE
GAME PUZZLE
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Down Syndrome (DS) adalah suatu kelainan genetik
yang dibawa sejak bayi lahir dan terjadi akibat dari
abnormalitas kromosom yang tidak dapat memisahkan diri
selama proses meiosis sehingga terjadi individu dengan
jumlah 47 kromosom. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan
perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual,
serta terjadi gangguan dalam fungsi fisiologis tubuh. Game
puzzle dapat menjadi suatu metode untuk memberikan
intervensi bagi anak down syndrome untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, motorik halus, dan menambah
pengetahuan. Tujuan dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan
kemampuan kognitif pada anak Down Syndrome serta
mendeskripsikan program intervensi kemampuan kognitif
pada anak Down Syndrome menggunakan game puzzle.
Teknik sampling menggunakan purposive sampling.
Instrumen penelitian untuk melakukan deteksi dini dengan
mengklasifikasikan down syndrome menggunakan behavioral
checklist berdasarkan beberapa karakteristik yaitu fisik,
kogntif, dan kepribadian.
PENDAHULUAN
Anak yang mengalami Down Syndrome (DS)
merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang
mengalami keterbelakangan perkembagan fisik dan mental.
Down Syndrome adalah suatu kelainan genetik yang dibawa
sejak bayi lahir. Kelainan tersebut terjadi saat bayi dalam
masa embrio dimana saat itu terjadi kesalahan pembelahan
sel yang disebut nondisjunction embrio yang normalnya
menghasilkan dua salinan kromosom 21 tetapi justru
menghasilkan salinan tiga kromosom 21 akibatnya bayi
memiliki 47 kromosom dan bukan 46 kromosom seperti
normalnya (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Menurut
Gunarhadi (2005) Down Syndrome (DS) adalah suatu
METODE
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah anak Down Syndrome yang
berusia 2 hingga 7 tahun dengan karakteristik fisik yang
langsung dapat terlihat. Penelitian ini menggunakan 3 subjek
untuk melakukan deteksi dini dalam menentukan beberapa
klasifikasi Down Syndrome. Selanjutnya dipilih satu subjek
untuk diberikan program stimulasi untuk meningkatkan
kemampuan kognitif anak Down Syndrome dengan
menggunakan game puzzle.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menggunakan: (1) behavioral
checklist Down Syndrome yang disusun berdasarkan
beberapa karakteristik yaitu fisik, kogntif, dan kepribadian.
Instumen ini dapat diisi dengan memberikan checklist pada
pilihan “Ya” atau “Tidak” untuk menjawab beberapa
karakteristik yang muncul pada subjek penelitian.
Pemberian skor pada pilihan jawaban “Ya” adalah 1 dan
“Tidak” adalah 0. Sedangkan norma yang digunakan disusun
berdasarkan beberapa klasifikasi yaitu skor <10 tergolong
klasifikasi ringan; skor 11-20 tergolong klasifikasi sedang;
skor 21-29 klasifikasi berat; dan skor >30 tergolong
klasifikasi parah. Selain itu, terdapat instrumen untuk
mengetahui faktor penyebab, keadaan anak saat lahir, dan
tahap perkembangan anak Down Syndrome dengan
melakukan wawancara kepada orang tua. (2) Observasi,
merupakan proses penggalian data yang dilakukan langsung
oleh penulis dengan cara melakukan pengamatan mendalam
terhadap individu sebagai objek observasi dalam konteks
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil observasi yang menunjukkan
karakteristik fisik, kognitif, dan kepribadian dengan
menggunakan behavioral checklist diperoleh bahwa subjek M
termasuk dalam klasisifikasi sedang dengan total skor 16.
Sedangkan subjek S dengan total skor 21 dan R dengan total
skor 24 termasuk dalam klasifikasi berat. IQ subjek M
termasuk dalam kategori mild mental retardation (ringan, IQ
55-70). Sedangkan IQ subjek S dan R termasuk dalam
kategori moderate mental retardation (sedang, IQ 40-55).
Subjek M cukup mudah dapat memahami arahan dari orang
lain tetapi masih kesulitan berbicara dan memiliki
kemampuan bahasa yang rendah. Subjek M cukup dapat
bersosialisasi, terbuka dan bersahabat dengan orang lain.
Subjek S cukup dapat memahami arahan orang lain tetapi
masih kesulitan dalam berbicara dan memiliki kemampuan
berbahasa yang rendah.
Subjek S memiliki emosi yang lemah dan cenderung
hiperaktif dan agresif. Subjek S dapat bersosialisasi dan
bersahabat dengan orang lain namun kurang terbuka
dengan orang lain khususnya orang yang baru dikenal.
Sedangkan subjek R masih mengalami kesulitan dalam
berbicara, kemampuan berbahasa yang rendah, dan
kesulitan dalam memahami arahan orang lain. Subjek R juga
memiliki emosi yang lemah, cenderung hiperaktif tanpa
disertai sikap agresif, kurang dapat bersosialisasi, kurang
bersahabat, dan kurang terbuka dengan orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
terhadap Ibu subjek, menunjukkan temuan yang menarik
yakni subjek M, S, dan R memiliki riwayat keluarga dengan
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab down syndrome dipengaruhi oleh faktor
keturunan dan faktor lingkungan, seperti paparan asap
rokok, dan kurangnya asupan makanan bergizi dari sayuran
serta buah-buahan. Dari ketiga subjek dapat diketahui
bahwa 1 subjek tergolong klasifikasi sedang, dan 2 subjek
lainnya tergolong kedalam klasifikasi berat. Karakteristik
fisik pada keseluruhan subjek penelitian sangat menonjol
dan dapat langsung teramati dengan menunjukkan beberapa
ciri yang identik dengan down syndrome.
Kemampuan kognitif dari ketiga subjek menunjukkan
bahwa 1 subjek berada pada skor IQ mild mental retardation
(ringan) dan 2 subjek berada pada skor IQ moderate mental
retardation (sedang). Sedangkan, anak down syndrome
memiliki kepribadian yang lebih terbuka dan bersahabat
dengan orang lain. Down syndrome berkaitan erat dengan
terbatasnya kemampuan kognitif, maka dari itu metode
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
kognitif, motorik halus, dan menambah wawasan pada anak
down syndrome adalah dengan memberikan program
stimulasi berupa game puzzle.
Daftar Pustaka
Gunahardi. (2005). Penanganan Anak Syndrome Down Dalam
Lingkungan Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Infodatin (Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI): Antara Fakta
dan Harapan Sindrom Down. Kementerian Kesehatan
RI Pusat Data dan Informasi. Jakarta Selatan. Diakses
pada tanggal 2 November 2019.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus Jilid 1. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI, Depok.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development :
Perkembangan Masa Hidup Jilid I. (B. Widyasinta,
Penerjemah) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Selikowitz, M. (2001). Mengenal Sindrom Down. Jakarta:
Arcan.
Vanesia, Kenzia Chrisantia. (2012). Gambaran Stres dan
Coping pada Ibu yang Memiliki Anak Penyandang
Down Syndrome: Studi Kasus Pada SLB Cahaya Jaya.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi.
Universitas Bina Nusantara: Jakarta.
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Perkembangan anak mengalami peningkatan yang pesat
pada usia 0-5 tahun, sehingga ahli psikologi perkembangan
menamai dengan masa golden age. Maknanya adalah pada usia ini
anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup
cepat sehingga anak mudah dalam menerima stimulus dari
lingkungan sekitar. Pemberian perhatian terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak merupakan hal yang dibutuhkan.
Deteksi dini merupakan salah satu hal yang penting untuk
dipehatikan dalam tumbuh kembang anak. Pemberian intervensi
dengan menggunakan metode story telling merupakan suatu
alternatif bagi anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan, termasuk perkembangan bahasa.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan deteksi dini
keterlambatan perkembangan bahasa pada anak dengan
menggunakan teknik observasi checklist di salah satu daycare kota
Malang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga anak yang
mengalami keterlambatan perkembangan bahasa ekspresif.
METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif digunakan agar mendapatkan data
yang akurat maka peneliti turun langsung ke lapangan dan
berbaur dengan subjek dalam jangka waktu tertentu
disebut dengan observasi partisipatif.
Partisipan
Karakteristik subjek dalam penelitian ini yaitu anak
yang berumur 2 tahun sampai 3 tahun, berjenis kelamin
perempuan atau laki-laki, diduga mengalami gangguan
keterlambatan bahasa ekspresif. Lokasi penelitian
bertempat di Griya Imut Care Malang, yang merupakan salah
satu tempat daycare di Malang. Jumlah populasi anak di Griya
Imut Care berjumlah 26 anak dengan rentang usia 1 tahun
hingga 6 tahun. Namun, sesuai dengan tujuan penelitian,
penulis membatasi hanya pada anak dengan rentang usia 2
hingga 3 tahun. Subjek penelitian dalam penelitian ini
berjumlah 10 anak yang memiliki rentang usia 2 hingga 3
tahun.
Prosedur penelitian: (a) melakukan pra-skrining
untuk melihat kondisi lapangan dan mengetahui subjek
mana yang mengalami tanda-tanda gangguan keterlambatan
berbahasa. Pra-skrining menggunakan KPSP (Kuesioner Pra
Skrining Perkembangan) yang disusun oleh IDAI dan
DEPKES, yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan
anak normal sesuai umurnya atau ada penyimpangan.
Pemeriksaan KPSP adalah penilaian perkembangan anak
dalam empat sektor perkembangan yaitu, bicara/bahasa,
motorik kasar, motorik halus, dan sosialisasi/kemandirian,
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil skrining atau deteksi awal,
observasi dan wawancara dengan pengasuh daycare,
diperoleh data mengenai perkembangan bahasa anak usia 2
hingga 3 tahun. Sebelumnya dilakukan skrining melalui KPSP
(kuesioner pra-skrining perkembangan) sesuai dengan
umurnya masing-masing untuk mengetahui usia
perkembangan anak. Dari 10 anak yang berusia 2 hingga 3
tahun ditemukan tiga anak yang mengalami kecenderungan
keterlambatan bahasa ekspresif, dua subjek berumur 2
tahun dan satu subjek berumur 3 tahun. Keterlambatan
bahasa ditunjukkan dengan ciri-ciri yaitu sebagai berikut: (a)
pada anak usia 2 tahun pada indikator pengurangan kosa
26 | Deteksi Keterlambatan Perkembangan Bahasa…..
kata; anak hanya dapat mengucapkan kurang dari 50 kata,
anak sulit mengganti kosa kata dengan tepat, anak tidak
dapat menyebutkan gambar yang ditunjukkan dengan benar
(minimal 3 gambar).
Pada indikator keterbatasan struktur kalimat, anak
tidak dapat menggunakan kata kerja/kata benda/kata ganti,
dan tidak dapat mengucapkan kalimat yang terdiri dari dua
jenis kata. Sedangkan pada indikator penurunan dalam
pembicaraan, anak kesulitan dalam menceritakan atau
mengulang suatu kejadian, menyampaikan sesuatu
menggunakan isyarat dengan menunjuk-nunjuk, dan 80%
perkataan anak tidak dapat dipahami. (b) pada anak yang
berumur 3 tahun ditunjukkan dengan ciri-ciri
keterlambatan bahasa sebagai berikut: pada indikator
pengurangan kosa kata, anak tidak dapat menyebut kurang
dari 250 kata serta sulit mengganti kosa kata yang tepat.
Merujuk pada indikator keterbatasan struktur
kalimat, ditunjukkan dengan indikasi berikut: tidak dapat
menggunakan kata penghubung dan kata kerja, kata ganti,
tidak dapat menggunakan 3 jenis kata dalam satu kalimat,
tidak dapat mengulang 3 digit angka. Pada indikator
penurunan dalam pembicaraan, ditandai adanya kesulitan
dalam menceritakan ulang peristiwa, menyampaikan
sesuatu menggunakan isyarat dengan menunjuk-nunjuk, dan
60-70% perkataan tidak dapat dipahami.
Faktor yang melatarbelakangi subjek mengalami
keterlambatan bahasa diantaranya yaitu: faktor kecerdasan,
status sosial ekonomi, gaya pengasuhan, penggunaan dua
bahasa atau lebih, dan kesehatan. Pada keadaan subjek lebih
dipengaruhi pada gaya pengasuhan yang cenderung jarang
melakukan komunikasi dua arah oleh orang tua maupun
pengasuh.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
ditemukan tiga subjek yang memiliki ciri-ciri sesuai
karakteristik keterlambatan bahasa ekspresif. Dua
diantaranya berumur 2 tahun dan satu anak lainnya
KESIMPULAN
Periode 36 bulan pertama atau usia 3 tahun
merupakan masa kritis dalam perkembangan bahasa anak.
Hartanto (2010) mengungkapkan bahwa kecepatan
perkembangan bahasa pada masa ini tidak pernah diulang
dimasa yang lain. Sehingga diperlukan intervensi sedini
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Autism Spectrum Disorder atau biasa disingkat ASD
adalah salah satu gangguan yang dapat dialami oleh anak,
ketika mengalami beberapa ciri-ciri seperti yang terdapat
pada DSM V. Biasanya, anak autis bersekolah di Sekolah
Luar Biasa (SLB) atau dapat pula bersekolah di sekolah
inklusi. Sekolah inklusi yaitu sekolah yang terdiri dari anak-
anak normal dan anak berkebutuhan khusus, di mana
mereka belajar dan berinteraksi bersama seperti misalnya
SDN Percobaan 1 Malang. Anak autis yang bersekolah di
sekolah inklusi dituntut untuk dapat pula beradaptasi
dengan lingkungan sekitar termasuk dengan teman-
temannya. Proses adaptasi yang terjadi dapat berjalan
dengan baik apabila anak memiliki ketrampilan sosial yang
mumpuni. Keterampilan sosial ini termasuk interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku. Sebagai upaya membantu anak
autis dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
terutama ketika berada di sekolah inklusi, penulis
melakukan deteksi dini terlebih dahulu terhadap rentang
tingkat level keparahan kondisi ketrampilan sosial anak
autis yang menjadi subjek penelitian. Tujuan dari penelitian
PENDAHULUAN
Secara umum, anak autis mengalami hambatan di
semua aspek perkembangan yaitu kognitif, fisik, dan sosio-
emosional. Menurut DSM-V, Gangguan Spektrum Autisme
(ASD) adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan
kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta perilaku
yang terbatas dan berulang (restricted and repititive behavior)
yang dapat mengganggu performa anak dalam aktivitas
sehari-hari. Anak-anak yang termasuk dalam kriteria
diagnosis autism spectrum disorder berdasarkan DSM V ada
lima kriteria, diantaranya: (1) Mengalami defisit yang terus-
34 | Deteksi Hambatan Perkembangan Sosial…..
menerus ketika berkomunikasi dan berinteraksi sosial di
berbagai situasi, (2) Pola perilaku, minat, atau kegiatan yang
berulang dan terbatas, (3) Gejala autisme harus ada pada
periode tahapan perkembangan awal (tetapi mungkin tidak
terlalu terlihat sepenuhnya sampai terdapat tuntunan sosial
yang melebihi batasan yang ada, atau gejala tersebut dapat
ditutupi oleh strategi yang dipelajari di kemudian hari), (4)
Gejala autisme menyebabkan gangguan signifikan secara
klinis di bidang sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya
yang berfungsi saat ini, (5) Gangguan ini tidak lebih baik
dijelaskan oleh kecacatan intelektual (gangguan
perkembangan intelektual) atau keterlambatan
perkembangan secara global.
Ciri-ciri penting dari gangguan spektrum autisme
adalah gangguan persisten pada komunikasi sosial dan
interaksi sosial (Kriteria A), dan pola berulang yang dibatasi
perilaku, minat, atau aktivitas (Kriteria B). Gejala-gejala ini
muncul sejak anak usia dini dan membatasi kesehariannya
(Kriteria C dan D). Prevalensi ASD yang ada di Indonesia
belum ditemukan data yang pasti.
Menurut Dokter Rudy, yang merujuk pada Incidence
dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder), terdapat 2
kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus
per 1000 penduduk (BMJ, 1997). Sementara itu, penduduk
Indonesia yaitu 237,5 juta dengan laju pertumbuhan
penduduk 1,14% (BPS, 2010), oleh karena itu diperkirakan
penyandang ASD di Indonesia yakni 2,4 juta orang dengan
pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun.
Kesulitan pada keterampilan sosial dan interaksi
sosial adalah ciri khas ASD, meskipun kesulitan-kesulitan
tersebut berbeda dari satu anak ke anak lainnya dan
tergantung batas tertentu sesuai usia dan functioning level
anak. Prastini (dalam Rizki, 2017) mengatakan bahwa
ketrampilan sosial merupakan elemen utama untuk
mengadakan hubungan sosial dengan lingkungan yang
didalamnya meliputi kegiatan interaksi sosial,
METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang siswi
yang terdiagnosis autism spectrum disorder, bernama R dan
sedang duduk di bangku kelas 1 SDN X di kota Malang.
Sekolah tersebut merupakan salah satu Sekolah Dasar yang
telah menerapkan kelas inklusi di kota Malang sejak tahun
2004. Penulis menggunakan teknik purposive sampling,
dikarenakan hanya subjek tertentu dengan syarat
memenuhi kriteria yang bisa dijadikan sampel dalam
penelitian ini.
Instrumen Penelitian
Prosedur Penelitian
Sebelum mengambil data, penulis memberikan
formulir persetujuan kepada orangtua/wali murid untuk
memberikan ijin kepada anaknya yang ASD ikut
HASIL PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Prosedur skoring dilakukan dengan cara memberi
skor individual dengan menghitung jumlah skor seluruh
pernyataan atau item, baik favorabel dan unfavorabel. Skor 1
atau 0 ini diperoleh dari dikotomisasi kategori respons per
item (lihat Tabel 1). Menginterpretasi skor masing-masing
responden dengan kriteria yang mendapat skor > ½ k, di
mana k sebagai jumlah pernyataan/item skala sikap, maka
responden tersebut dapat dikatakan favorabel atau setuju
dengan topik skala sikap. Penulis menggunakan skala Likert
pada instrumen yang diadaptasi yaitu Collidge Autistic
Symptoms Survey (CASS) pada 2 responden guru
pendamping khusus (shadow) dari subjek R (lihat Tabel 2).
Berdasarkan tabel skoring pada 25 item per individu,
diperoleh informasi bahwa skor 1 dapat ditafsirkan sebagai
indikasi adanya sikap favorabel, sedangkan skor 0
merupakan indikasi sikap tak favorabel.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”.
Washington DC: American Psychiatric Publishing.
Washington DC.
Bohlander, A.J. & Varley, C.K. (2012). Social Skills Training
for Children with Autism, no. 59,165-174. Dari
pediatric.theclinics.com.
Coolidge, F.L. (2016). Coolidge Autistic Symptoms Survey.
(Online),
(http://coolidgetests.org/sample/CASS_Sample.php),
diakses 7 September 2019.
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Attention-deficit hyperactivity disorder atau ADHD
merupakan salah satu gangguan perkembangan dengan
gejala utama yaitu: (1) kurang perhatian, (2) hiperaktif dan
(3) impulsif. Gangguan ini dialami oleh setidaknya 8%-12%
anak di seluruh dunia. Sejumlah penelitian yang telah
dilakukan mengungkapkan bahwa dance/movement therapy
(DMT) atau terapi gerakan tari dapat menurunkan gejala-
gejala ADHD, salah satunya adalah hiperaktif.
Hiperaktivitas pada anak dengan ADHD ditandai dengan
level aktivitas yang tinggi dan hampir selalu bergerak.
Upaya deteksi adanya gangguan ADHD dilakukan
dengan mengembangkan alat ukur mengacu pada kriteria
diagnostik dalam DSM-IV-TR. Program intervensi yang
dirancang untuk mengurangi ADHD adalah program terapi
gerakan tari yang diberi nama “Tari Gembira”. Namun
demikian, program intervensi yang direkomendasikan perlu
dilakukan uji efektivitas untuk penelitian selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah orangtua/wali
murid di Taman Penitipan Anak (TPA) X di Kota Malang
berjumlah 25 anak. Rentang usia dari partisipan adalah 25-
41 tahun. Dalam penelitian ini, partisipan diperkenankan
untuk tidak menulis nama secara terang (inisial) dengan
tujuan menjaga kerahasiaan identitas responden. Kriteria
utama dari partisipan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Bersedia dengan sukarela menjadi subjek penelitian, (2)
Memiliki anak dengan rentang usia 4-7 tahun.
Analisis Data
Data penelitian diperoleh dari kuesioner penelitian
deteksi ADHD pada anak, dianalisis dengan mengacu pada
kriteria diagnostik menurut DSM-IV-TR (APA, 2000), di
mana: (1) enam (atau lebih) gejala tidak perhatian
(inattention), hiperaktif dan impulsivitas telah berlangsung
selama setidaknya 6 bulan hingga pada tingkatan yang
maladaptif dan inkonsisten dengan tahapan perkembangan,
(2) beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau kurang
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur Deteksi ADHD
Peneliti mengunjungi TPA X di kota Malang
menyesuaikan jadwal pulang siswa di TPA. Kemudian,
penulis menyerahkan kuesioner penelitian pada kepala
sekolah TPA X di kota Malang untuk disebarkan kepada
orangtua murid. Responden yang terlibat dalam penelitian
ini, berjumlah 25 orang. Selanjutnya orangtua diminta untuk
mengisi kuesioner. Daftar pertanyaan (kuesioner) dalam
penelitian ini terdiri dari dua macam sub-pernyataan yang
masing-masing berjumlah sembilan pernyataan. Pernyataan
di sub pertama merujuk pada gangguan perhatian
sedangkan pertanyaan sub kedua merujuk pada gangguan
hiperaktif dan impulsivitas. Kuesioner yang telah diisi
KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa dari 25 partisipan penelitian yang memiliki anak
dengan rentang usia 4-7 tahun, terdapat: (1) 5 anak yang
memenuhi enam atau lebih kriteria gejala kurang perhatian
(inattention); (2) 1 anak yang memenuhi kriteria gejala
hiperaktivitas & impulsivitas; (3) 1 anak yang memenuhi
kriteria gejala kurang perhatian (inattention), hiperaktivitas
dan impulsivitas; serta (4) 18 anak yang tidak memenuhi
kriteria dari gejala kurang perhatian (inattention), gejala
hiperaktivitas & impulsivitas, gejala kurang perhatian
(inattention) hiperaktivitas & impulsivitas. Instrumen untuk
mendeteksi gangguan ADHD, dikembangkan oleh penulis
dengan mengacu pada karakteristik diagnostik menurut
DSM-IV-TR.
Dance/movement therapy (DMT) atau terapi gerakan
tari merupakan salah satu aktivitas fisik yang dapat
direkomendasikan untuk menurunkan hiperaktivitas pada
anak yang mengalami gangguan perkembangan ADHD,
khususnya dimungkinkan untuk diterapkan pada 25 anak,
usia 2-5 tahun, di Sekolah X di Malang.
“Tari Gembira” merupakan program terapi yang
dikembangkan oleh penulis terdiri dari 3 tahap yaitu: (1)
pemanasan, (2) pelaksanaan, dan (3) pendinginan. Conners
DAFTAR PUSTAKA
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Conduct Disorder merupakan pola perilaku yang tidak
sesuai dengan norma sosial untuk rata-rata seusianya. Anak
masa sekolah dasar yang memiliki hambatan perkembangan
pada aspek emosi akan memiliki kecenderungan untuk
mendapat gangguan ini. Bentuk Conduct Disorder cukup luas
yaitu seperti mencuri, melanggar aturan dan agresi
terhadap orang, binatang dan barang. Hambatan ini
mempengaruhi anak dalam perkembangan emosi hingga
muncul pada kecenderungan perilaku. Akibat lebih lanjut
perkembangan kehidupan sosial anak akan terganggu baik
dengan teman sebaya maupun dengan yang lebih luas. Oleh
karena itu penting untuk melakukan deteksi dini dalam
mendeteksi hambatan dalam perkembangan emosi
khususnya conduct disorder.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi
mengenai deteksi dini terhadap kecenderungan Conduct
Disorder. Subjek dalam penelitian ini adalah anak Sekolah
Dasar yang tergabung dalam Lembaga X yang bergerak di
bidang sosial anak. Di Kota X berjumlah 15 anak (N=15
anak). Pengukuran digunakan menggunakan turunan aspek
dari alat ukur BASC3 (Reynold & Kamphaus, 2013). Daftar
pertanyaan dan gambar disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak sekolah dasar dan kondisi normatif
anak Indonesia. Tes ini dilakukan secara individual dan
membutuhkan waktu 10 menit.
PENDAHULUAN
Sesuai dengan tugas perkembangannya, anak sekolah
dasar berkembang baik secara fisik, kognitif dan sosio-
emosional dibanding masa prasekolah. Aspek
perkembangan sosio-emosional pada periode middle
childhood ini ditandai dengan berkembangnya pemahaman
tentang emosi, regulasi diri hingga cara untuk menghadapi
tekanan (coping stress). Selain itu anak juga memasuki tahap
perkembangan moral yang kedua menurut Korlberg.
(dalam Santrock, 2011), yaitu tahap individualisme, tujuan
instrumental dan pertukaran. Pada tahap tersebut anak
berusaha memuaskan kepentingannya sendiri dan
mendapatkan balasan dari orang lain sesuai dengan yang
mereka lakukan.
Akan tetapi, fakta menunjukan bahwa tidak semua
anak melalui masa perkembangan tanpa masalah dan
hambatan. Perkembangan aspek sosio-emosi, tidak jarang
anak mengalami gangguan perilaku yang kemudian disebut
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 63
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
conduct disorder. Secara umum, conduct disorder merupakan
pola perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial untuk
rata-rata seusianya. Bentuk conduct disorder cukup luas yaitu
seperti mencuri, melanggar aturan dan agresi terhadap
orang, binatang dan barang.
Data di lapangan mengindikasikan adanya fenomena
yang menarik, bahwa pada tahun 2018 terdapat sejumlah
kasus tawuran yang dilakukan anak SD di Indonesia
(mediaindonesia.com156541). Tindakan kekerasan
tersebut dipicu oleh masalah sepele yaitu perbedaan
pendapat dan perasaan out-group. Selain itu, anak-anak
tersebut juga menggunakan senjata tajam dalam melakukan
tindak kekerasan. Kasus tawuran pada anak SD
menunjukan kecenderungan conduct disorder yang merujuk
pada perilaku agresif. Hal ini menarik untuk dikaji melalui
langkah deteksi dan upaya penanganan conduct disorder pada
periode kanak-kanak tengah (middle childhood).
Berdasarkan perspektif perkembangan, masa kanak-
kanak tengah ditinjau dari aspek perkembangan sosio-
emosional, anak-anak sudah mengembangkan konsep diri
(self-concept) dan penghargaan diri (self-esteem). Selain itu,
anak juga mulai mengembangkan pemahaman terkait
perspektif orang lain. Perkembangan moral pada anak-anak
tengah, umumnya berada di Sekolah Dasar lebih
berkembang dibanding dengan perode sebelumnya
Santrock mengungkapkan (2011) terdapat enam aspek
perkembangan emosi yang meningkat pada periode ini
yaitu: (1) meningkatnya pemahaman emosi yang lebih
kompleks, (2) meningkatnya pemahaman bahwa pada suatu
kondisi anak dapat mengalami lebih dari satu emosi, (3)
meningkatnya kecenderungan untuk lebih menyadari
kejadian yang menimbulkan reaksi emosi, (4) meningkatnya
kemampuan untuk menekan dan mengungkapkan reaksi-
reaksi emosi negatif, (5) mulai menggunakan strategi inisiatif
diri untuk mengarahkan kembali perasaan (6) meningkatnya
kemampuan untuk berempati secara tulus.
Anak pada periode kanak-kanak tengah (middle
childhood), ditinjau dari perkembangan moral masuk pada
64 | Deteksi Conduct Disorder Usia Kanak....
tahap perkembangan moral level 1 tahap kedua. Level satu
yaitu level prakonvensional di mana belum terbentuk
internalisasi sehingga dengan demikian moral dibentuk dari
hadiah dan hukuman eksternal, sedangkan pada tahap
kedua pada level ini yaitu individualism, tujuan dan
petukaran individu. Pada tahap tersebut anak berusaha
memuaskan kepentingannya sendiri dan mendapatkan
balasan dari orang lain sesuai dengan yang mereka lakukan
(Santrock, 2011).
Menurut DSM-IV, conduct disorder adalah pola
perilaku yang menetap dan berulang, ditunjukkan dengan
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang
dianut oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan norma
sosial untuk rata-rata seusianya. Pada pembahasan ini,
perilaku tawuran yang dilakukan anak SD merupakan
perilaku di luar norma anak seusianya. Seseorang baru
dapat dikatakan memenuhi kriteria ini jika anak
menunjukkan 3 gejala spesifik selama sekurang-kurangnya
12 bulan dan paling tidak 1 gejala muncul selama lebih dari
6 bulan terakhir. Gangguan perilaku (conduct disorder)
terbagi dalam 3 tingkatan yaitu: ringan (mild), sedang
(moderate) dan berat (severity).
Berdasarkan DSM V, terdapat 4 gejala conduct disorder
yakni: (1) agresi pada orang dan hewan, (2) merusak barang,
(3) berbohong atau mencuri, (4) pelanggaran serius
terhadap peraturan misalnya: membolos, melarikan diri
dari rumah. Ditinjau dari DSM V ini, maka kasus tawuran
memenuhi gejala conduct disorder.
Menurut Kearey (dalam Rini, 2010) aspek-aspek yang
menjadi penyebab munculnya perilaku conduct disorder
adalah karakteristik kepribadian, temperamen dan
karakter, fungsi kognitif, organis dan neurologis, dinamika
keluarga, faktor sosial dan lingkungan. Lazimnya aspek yang
terganggu pada anak dengan conduct disorder adalah aspek
emosi. Untuk itu diperlukan deteksi yang dapat mengukur
aspek emosional anak. Lebih spesifiknya anak-anak dengan
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 65
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
conduct disorder akan memiliki karakteristik yang kurang
dalam empati, perasaan bersalah dan emosi prososial lain
yang penting (Frick, 2016).
Berdasarkan karakteristik perkembangan fisik,
kognitif dan sosio-emosi anak sekolah dasar belum bisa
untuk memahami asesmen formal dengan bentuk daftar
pertanyaan, oleh karena itu, buku cerita bergambar
diharapkan mampu menjadi jawaban dalam melakukan
deteksi dini terhadap kecenderungan conduct disorder pada
anak Sekolah Dasar.Buku cerita dirancang untuk mengukur
aspek emosi pada anak dengan memunculkan kejadian
sehari-hari yang dialami anak. Konsep ini sudah diterapkan
oleh Daytner dkk (2016), tetapi tidak menggunakan
gambar. Untuk tujuan penelitian ini, penulis
mengembangkan konsep serupa tetapi menggunakan
gambar ilustrasi untuk mempermudah anak dalam
mengungkap aspek emosi dalam dirinya.
Tujuan penelitian ini: (1) melakukan deteksi conduct
disorder pada anak Sekolah Dasar (SD), (2) merancang
program stimulasi untuk mengurangi conduct disorder pada
anak Sekolah Dasar (SD).
METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
dalam Lembaga Sosial X yang berada di Bululawang Malang
Selatan, berpendidikan SD berjumlah 15 anak Alasan
penulis memilih anak SD (Sekolah Dasar) karena sesuai
dengan tahapan perkembangan sosio-emosinya.
Perkembangan sosio-emosional pada periode middle
childhood ini ditandai dengan berkembangnya pemahaman
tentang emosi, regulasi diri hingga cara untuk menangani
tekanan (coping stress). Selain itu, pada usia ini, anak juga
memasuki tahap perkembangan moral yang kedua menurut
Korlberg. Tahap tersebut yaitu tahap individualisme,
berorientasi pada tujuan instrumental dan pertukaran.
Analisis Data
Analisi data menggunakan analisis data deskriftif
menggunakan teknik presentase. Sementara prosedur
skoring dan norma untuk kategorisasi ditampilkan pada
tabel 1 dan 2 di bawah ini.
Prosedur Penelitian
Setiap anak mendengarkan cerita interaktif dari
penulis. Selain itu, cerita ditambahkan gambar pendukung.
Setiap anak juga diminta mewarnai beberapa gambar
tersebut. Pada akhir kegiatan anak diminta memilih perilaku
yang akan pernah atau perilaku yang biasanya dilakukan.
Jawaban anak dicatat di lembar skoring. Penulis juga
mengobservasi bagaimana pilihan anak dalam mewarnai
gambar cerita tersebut.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil tes kecenderungan conduct disorder
pada 15 anak pada siswa Sekolah Dasar di lembaga sosial
anak X di Kota X, ditemukan 14 anak (93,33%) yang berada
pada kategori sedang, Lembaga X adalah Lembaga yang
bergerak di bidang Sosial Anak dan menaungi anak-anak
yang kurang mampu. Lembaga ini bergerak di bidang
pendidikan, kesehatan dan kerohanian.
Hasil penelitian menunjukan kecenderungan conduct
disorder (CD) pada kategori sedang pada anak dengan
kondisi sosio-ekonomi menengah ke bawah. Terdapat
temuan yang menarik yaitu terdapat seorang anak dengan
inisial VE yang memiliki kecenderungan tinggi untuk conduct
disorder dengan skor 67,65%. Untuk perincian tingkat
kemampuan membaca dan persentase tiap aspek akan
dideskripsikan sebagai berikut:
KESIMPULAN
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 73
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Conduct Disorder (CD) merupakan gangguan perilaku
yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam
perkembangan emosi. Hal tersebut ditandai dengan
perilaku agresi terhadap orang dan hewan, merusak barang,
mencuri dan melanggar aturan. Fokus penelitian ini adalah
melakukan deteksi diri munculnya CD pada anak sekolah
dasar atau dalam masa perkembangan usia kanak-kanak
tengah (middle childhood), Pengukuran pada penelitian ini
menggunakan aspek dari DSM V yang dispesifikan di BASC3
dan dikembangkan dengan cerita bergambar dan pilihan
perilaku.
Berdasarkan hasil deteksi dini ditemukan bahwa
sebagian besar anak SD dalam naungan Lembaga X memiliki
kecenderungan conduct disorder dalam kategori sedang.
Aspek agresi pada orang dan hewan adalah yang paling
menyumbung kecenderungan CD. Pada aspek tersebut
terdapat 14 anak (93,33%) dalam kategori sedang dan 1
anak (7,14%) dalam kategori tinggi. Sebagian besar anak
menunjukan kecenderungan perilaku agresi saat menemui
orang baru dengan penampilan aneh, agresi pada hewan dan
memukul seseorang yang membuat mereka kesal.
Selanjutnya pada aspek mencuri terdapat 1 anak dalam
kategori tinggi, 13 anak (86,66%) dalam ketegori sedang dan
1 anak dalam kategori rendah. Untuk aspek merusak barang
dan melanggar aturan serius, terdapat 5 anak (33,33%)
dalam kategori yang sedang dan 10 anak (66,66%) dalam
kategori yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini
disarankan pada guru di sekolah untuk menggunakan cerita
bergambar untuk menstimulasi empati dan perilaku
prososial anak dalam usaha membantu mengatasi hambatan
emosi yang memicu conduct disorder (CD).
Daftar Pustaka
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Membaca permulaan merupakan ketrampilan dasar
yang diajarkan ketika anak memasuki usia sekolah.
Memasuki usia sekolah anak akan diajak untuk membaca
nyaring mulai dari suku kata sampai beberapa kalimat. Akan
tetapi, tidak semua anak memiliki kemampuan yang baik
dalam proses belajar membaca. Hambatan ini akan
mempengaruhi performa anak dalam membaca termasuk
dalam hal kecepatan membaca dan pemahaman bacaan.
Dengan demikian, sangat penting untuk melakukan langkah
deteksi awal terhadap hambatan dalam membaca.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai deteksi dini atau screening awal terhadap
hambatan membaca permulaan pada anak usia sekolah.
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 SDN
Ardimulyo 1 Kota X, berjumlah 22 siswa (N= 22 siswa).
Alat ukur yang digunakan merujuk pada aspek EGRA (Early
Grade Reading Asessment). Kemudian peneliti
mengembangkan kelima subtes yang ada pada EGRA. Tes
ini dilakukan secara individual dan membutuhkan waktu
kurang lebih 15 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kemampuan
membaca permulaan pada kelas 1 (A) berada pada kategori
cukup baik dalam pengenalan huruf, kelancaran membaca
PENDAHULUAN
Masa kanak-kanak pertengahan (middle childhood)
merupakan periode perkembangan yang berlangsung antara
usia 6 tahun sampai 11 tahun (Santrock, 2012). Periode ini
juga sering disebut sebagai usia sekolah. Karakteristik anak
pada usia ini ditandai dengan dengan hal-hal berikut: anak
mulai belajar ketrampilan dasar seperti membaca, menulis
dan berhitung. Ketiga ketrampilan dasar tersebut mulai
diajarkan pada anak saat mereka memasuki sekolah dasar.
Sebelum memasuki sekolah dasar anak biasanya sudah
diajarkan mengenal huruf abjad, mengenal angka, dan
berhitung, bahkan mereka sudah diajarkan untuk menulis
permulaan.
Ketika anak memasuki tingkat awal sekolah dasar,
pengajaran yang diberikan adalah keterampilan membaca
permulaan. Membaca merupakan aktivitas yang melibatkan
fisik dan psikologis (Departemen Pendidikan Nasional,
2009). Dari aspek fisik melibatkan koordinasi gerakan mata
2) Faktor psikologis
Berdasarkan beberapa penelitian memasukkan disleksia
ke dalam gangguan psikologis sebagai akibat dari
tindakan kurang disiplin, sering pindah sekolah, tidak
memiliki orang tua, kurang kerja sama dengan guru atau
karena penyebab lain. Karena penyebab-penyebab
tersebut dapat memungkinkan anak memiliki masalah
dalam belajar.
3) Faktor biologis
Sejumlah penelitian meyakini bahwa penyimpangan
fungsi bagian-bagian tertentu dalam otak mengakibatkan
disleksia. Area-area tertentu dari otak anak yang
mengalami disleksia perkembangannya cenderung lebih
lambat dibanding anak normal. Anak laki-laki biasanya
lebih banyak yang mengalami disleksia daripada anak
perempuan.
4) Kecelakaan
Disleksia juga dapat disebabkan oleh kerusakan pada
saraf otak atau selaput otak, sehingga otak kiri bagian
belakang terganggu. Biasanya kerusakan ini disebabkan
oleh infeksi atau kecelakaan. Karena kerusakan ini, otak
tidak dapat berfungsi untuk mengenali image yang
ditangkap indra penglihatan karena adanya gangguan
sambungan otak kiri dan kanan. Gangguan ini ada yang
berpendapat disleksia ada pula yang berpendapat sebagai
aleksia.
Tujuan penelitian ini: (1) melakukan upaya deteksi dini
terhadap anak-anak yang mengalami keterlambatan
82 | Deteksi Dini Hambatan Membaca Permulaan....
membaca (disleksia); (2) merekomendasikan program
stimulasi untuk mengatasi disleksia.
METODE
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini terdiri atas siswa kelas
1 SDN Ardimulyo 1 Kota (X) yang keseluruhannya
berjumlah 22 siswa (N=22 siswa). Alasan menggunakan
kelas 1 SD karena menurut Piaget (2011) usia 7-11 tahun
perkembangan kognitif anak berada pada tahap operasional
konkret, yang ditandai dengan anak-anak mulai
memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan dalam
memori jangka pendek, kesadaran metalinguistik serta
meningkatnya pengetahuan kosakata sehingga kemampuan
membaca sudah mulai difokuskan di kelas 1 sebagai kelas
awal.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang dapat digunakan untuk pengukuran
fonologis dalam membaca yang telah terstandarisasi dan
tersedia dalam penelitian Marshall, Dorothy & Catherine
(2013) adalah: (a) Comprehensive Test of Phonological
Processing (CTOPP, Wagner, Torgesen & Rashotte ,1999)
yang digunakan secara luas untuk evaluasi dalam membaca.
Aspek yang diukur meliputi Phonological Awareness,
Phonological Memory dan Rapid Naming dari usia 5 sampai 24
tahun; (b) Test of Auditory Processing Skills, 3rd Edition (TAPS-
3, Brownell, 2005), dan subtes diagnostik dari kognitif
global & tes prestasi termasuk dengan subtes Word Attack
dan Word Identification dari Woodcok Johnson-III Cognitve and
Achievment Batteries (W-J-III Woodcock, McGrew &
Marther, 2011); the Differential Ability Scales, Second Edition
(DAS-II, Elliot, 2007) & Kaufman Test of Educational
Achievment, Second Edition (KTEA-II, Kaufman, 2004).
Prosedur Skoring
Kategori skoring:
76-100% : Baik
51-75% : Cukup
26-50% : Kurang
0-25% : Sangat kurang
Prosedur Penelitian
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 85
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
Prosedur tes yang dilakukan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut: Siswa kelas 1 akan diuji dengan tes yang
berisi 5 subtes yang berbeda. Untuk subtes 1 siswa diminta
menyebutkan huruf yang ada dalam tes sebanyak-
banyaknya selama kurang lebih 60 detik. Setelah itu, akan
beralih ke subtes 2 yakni membaca kata bermakna
sebanyak-banyaknya tanpa dieja selama kurang lebih 60
detik. Subtes 3 siswa diminta menyebutkan sebanyak-
banyaknya kata tak bermakna tanpa dieja dengan waktu 60
detik. Subtes 4 adalah membaca dengan nyaring beserta
menjawab pertanyaan. Subtes ke 5 siswa diberikan instruksi
untuk menyimak cerita yang disampaikan oleh peneliti dan
menjawab pertanyaan yang tertera dalam bacaan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil tes permulaan membaca yang telah
diujikan kepada (N = 22 siswa) kelas 1A di SDN Ardimulyo,
didapatkan jumlah rata- rata hasil skor persentase sebesar
65% yang berada pada kategori cukup, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemampuan membaca permulaan siswa
kelas 1A berada pada tingkat cukup baik, utamanya dalam
pengenalan huruf, kelancaran membaca dan pemahaman
bacaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata
hasil tes membaca permulaan tiap individu dideteksi bahwa
terdapat 3 siswa yakni AL dengan skor 39%, DE dengan
skor 37%, RAK dengan skor 44% yang diasumsikan memiliki
kategori yang “kurang” dalam keterampilan membaca
permulaan. Tingkat kemampuan membaca dan persentase
tiap aspek akan dideskripsikan sebagai berikut:
Tingkat Kemampuan
Presentase Frekuensi (%)
Membaca
Rata-rata Skor
Aspek Kategori
Persentase
Aspek 1 Pengenalan huruf 60% Cukup
Aspek 2 Kata bermakna 58% Cukup
Kata tak
Aspek 3 42% Kurang
bermakna
Kelancaran
Aspek 4 85% Baik
membaca nyaring
Pengenalan huruf
Pada aspek ini anak diminta untuk menyebutkan
sejumlah huruf yang telah disediakan dalam waktu 60 detik.
Pada aspek ini terdapat 4 anak yang masuk kategori kurang
yaitu AL, DE, KAF, dan TR. Dengan skor masing-masing
pada aspek ini adalah 47%, 46%, 42%, dan 50%. Kebanyakan
dalam aspek ini anak mengalami kesulitan dalam
membedakan huruf (I) besar dan huruf (I) kecil serta sering
terbalik dalam menyebutkan huruf V dan huruf F. Beberapa
siswa juga kurang mampu mengidentifikasi huruf Q dan juga
masih sering terbalik dalam menidentifikasi huruf (p) dan
huruf (q).
Hal ini sejalan dengan definisi hambatan membaca
yang dikemukakan oleh Nevid, Rathus, & Greene (2005)
bahwa hambatan membaca mengacu pada anak-anak yang
mengalami keterampilan buruk dalam mengenali kata-kata
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 89
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
dan memahami bacaan. Mereka biasanya salah dalam
mempersepsikan huruf-huruf yang terlihat mirip (seperti
“w” dan “m” atau “b” dan “d”). Anak-anak yang masuk ke
dalam kategori kurang dalam aspek ini cenderung salah
dalam mengenali huruf dan salah dalam mempersepsikan
huruf yang terlihat mirip seperti huruf “p” dan huruf “q”.
Kata bermakna
Pada aspek ini anak diminta untuk menyebutkan kata-
kata yang tersedia pada lembaran tanpa dieja dalam waktu
60 detik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek
ini hanya 3 anak yang masuk kategori sangat kurang, yaitu
AM, DE, dan RAK dengan skor masing-masing 15%, 10%,
dan 25%. Sebenarnya dalam aspek kata bermakna ini anak-
anak sudah cukup mampu untuk membaca tanpa mengeja,
hanya memerlukan waktu yang sedikit lebih lama.
Terkadang ada pula yang salah membaca seperti “taman”
dibaca “teman”. Namun demikian, secara keseluruhan
anak-anak sudah cukup mampu untuk membaca tanpa
mengeja.
Menurut Rich Mayer (dalam Santrock, 2011) agar
anak dapat membaca tulisan itu terdapat 3 proses kognitif
yang terlibat yaitu: 1) memahami unit-unit suara dalam kata-
kata, 2) mengkodekan kembali kata-kata, dan 3) mengkases
arti kata. Dengan membaca kata yang bermakna maka akan
membantu anak-anak dapat membaca suatu bacaan, karena
mereka telah mendengar atau dapat membayangkan arti
dari kata tersebut.
Menyimak
Pada aspek ini anak diminta untuk mendengarkan
kalimat yang dibacakan, kemudian anak diminta untuk
menjawab pertanyaan yang diberikan. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana anak dalam mendengarkan
dan memahami bacaan yang diberikan. Pada aspek
menyimak terdapat 3 anak yang masuk ke dalam kategori
kurang yaitu AL, MI dan TR dengan masing-masing kategori
40%, 50% dan TR 30%. Kebanyakan anak-anak sudah
mampu menjawab pertanyaan dengan baik, namun ada
beberapa yang kurang mampu dalam menjawab karena
fokusnya teralihkan atau karena gangguan teman lain.
Seperti contoh di soal pertama seharusnya jawabannya
adalah taman bermain, akan tetapi beberapa anak
menjawab beranekaragam seperti: taman, hotel dan pasar.
Kemampuan menyimak atau pemahaman
mendengarkan ini memiliki fungsi untuk menambah
kesadaran meta-linguistik dan pengetahuan terkait sintaksis
yang nantinya akan dapat bermanfaat untuk penambahan
kosa kata saat membaca (Santrock, 2011). Pada aspek ini
secara umum anak-anak sudah cukup baik dalam
kemampuan untuk mendengarkan dan memahami.
Kendalanya adalah terkait kemampuan fokus, maksudnya
anak mudah teralihkan perhatian ketika mendapat gangguan
dari teman-temannya.
Metode pembelajaran stimulasi untuk anak disleksia
terdiri atas metode: (a) Metode Fernald: yaitu suatu
metode pengajaran membaca multi-sensoris yang sering
dikenal sebagai metode VAKT (Visual: dengan melihat dan
mempelajari huruf, auditory :mendengar bunyi suara dan
mengucapkan, kinesthetic dan tactile: menelusuri contoh
tulisan; (b) Metode Gillingham: merupakan pendekatan
terstruktur taraf tinggi dengan aktivitas pertama diarahkan
KESIMPULAN
Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi dimana
seseorang menunjukkan masalah dalam bidang akademik
tertentu seperti bahasa, ucapan, atau motorik, bukan
dikarenakan gangguan perkembangan intelektual atau
kesempatan pendidikan yang kurang. Kesulitan belajar
terbagi menjadi dyslexia dan dyscalculia. Fokus penelitian ini
mengacu pada deteksi dini kemampuan membaca
permulaan pada siswa kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Hal ini
mengingat bahwa kemampuan membaca mulai difokuskan
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Citra tubuh merupakan hal yang penting pada masa
remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja
perempuan memiliki citra tubuh yang negatif dibanding laki-
laki sehingga dapat mengarah pada gangguan tubuh
dismorfik. Gangguan tubuh dismorfik merupakan salah satu
jenis gangguan somatoform yang kurang disadari dan
penderitanya. Indikasi BDD: terpaku pada kerusakan fisik
yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan hingga menyebabkan terganggunya kehidupan
sosial. Agar tidak berdampak lebih buruk, maka diperlukan
upaya deteksi dan penanganan BDD sejak dini.
Tujuan Penelitian ini adalah melakukan langkah
deteksi kecenderungan citra tubuh yang dapat mengarah
kepada gangguan tubuh dismorfia (Body Dysmorphic
Disorder) pada remaja putri (mahasiswi). Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Partisipan
yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 30 mahasiswi
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
Teknik sampling menggunakan simple random sampling
artinya semua memiliki peluang yang sama sama untuk
menjadi subjek penelitian. Instrumen penelitian yang
digunakan untuk mendeteksi gejala gangguan tubuh
dismorfik (Body Dysmorphic Disorder) berupa kuesioner
yakni Cosmetic Procedure Screening Questionnaire (COPS).
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, berlangsung mulai usia 10
hingga 21 tahun. Pada masa tersebut terjadi perubahan yang
signifikan dalam aspek kognitif, hormonal, sosio-emosi dan
fisik. Perubahan-perubahan tersebut mendorong remaja
untuk lebih memperhatikan citra tubuhnya. Hasil penelitian
Berman, dkk (dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa
terdapat perbedaan gender sehubungan dengan persepsi
remaja mengenai tubuhnya. Umumnya remaja perempuan
merasa kurang puas dengan tubuhnya dan memiliki citra
tubuh yang negatif dibanding remaja laki-laki. Ditinjau dari
perkembangan kognitif, cara berpikir pada masa remaja
menjadi lebih abstrak dan idealistik dan cara berpikir
Deteksi Hambatan Perkembangan Anak & Remaja : | 101
Telaah Litertur Dan Studi Pendahuluan
tersebut sering kali mengarahkan kognisi remaja untuk
membandingkan dirinya dengan orang lain. (Piaget dalam
Santrock, 2011).
Perasaan kurang puas dan citra diri yang cenderung
negatif pada remaja perempuan mendorong remaja
perempuan menjadi lebih terobsesi pada penampilannya
dan berusaha untuk menutupi kekurangan yang ada pada
dirinya dengan usaha-usaha tertentu seperti memeriksa
penampilannya berulang kali, diet, berolahraga,
menggunakan make up hingga melakukan operasi plastik.
Namun, jika obsesi tersebut berlebihan hingga mengganggu
kehidupan sehari-hari maka hal tersebut dapat merujuk
pada gangguan tubuh dismorfik.
Asosiasi Psikiatri Amerika (dalam Nevid dkk, 2003)
menyatakan bahwa gangguan dismorfik merupakan salah
satu jenis gangguan somatoform ditandai dengan dengan
gejala yang menonjol yakni terpaku pada kerusakan fisik
yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan. Mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder 5 (DSM-5) diketahui bahwa gangguan
tersebut dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan
umumnya berada pada masa remaja, dengan preokupasi
yang cenderung berbeda-beda.
Remaja perempuan cenderung kurang puas dan
terobsesi pada penampilannya daripada remaja laki-laki
diperkuat dengan data statistik di Amerika Serikat (dalam
Nurlita & Lisiswanti, 2016), bahwa dari 30.000 orang 93 %
wanita dan 87% laki-laki dinyatakan peduli terhadap
penampilan dan berupaya memperbaiki penampilannya.
Dapat disimpulkan bahwa remaja perempuan memiliki citra
tubuh yang lebih negatif daripada remaja laki-laki sehingga
mereka lebih terobsesi pada penampilan dan melakukan
usaha-usaha untuk memperbaiki penampilannya. Bila hal
tersebut dilakukan secara berlebihan dan mengganggu
dalam kehidupan sehari-hari maka dimungkinkan akan
mengarah pada gangguan tubuh dismorfik.
Gangguan tubuh dismorfik dianggap sebagai gangguan
yang tersembunyi, karena masyarakat masih kurang
102 | Deteksi dan Penanganan Body Dysmorphic Disorder....
menyadari beberapa gejala-gejala yang muncul serta
dimungkinkan berakibat fatal seperti bunuh diri.
Berdasarkan fakta ini, mendesak kiranya untuk melakukan
deteksi dini, agar dapat diberikan langkah preventif atau
program intervensi yang tepat.
Upaya deteksi dini dan screening kemungkinan
seorang remaja mengidap BDD dapat dilakukan dengan
melakukan deteksi dengan menggunakan instrumen berupa
kuesioner yaitu Cosmetic Procedure Screening Questionnaire
(COPS). Tujuan penelitian ini adalah (1) melakukan upaya
screening untuk mendeteksi gangguan tubuh dismorfik
(BDD) (2) memberikan rekomendasi program stimulasi
atau intervensi untuk mengatasi gangguan tubuh dismorfik.
METODE
Subjek penelitian
Partisipan pada penelitian ini adalah 30 mahasiswi
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas X, yang berusia ≤
21 tahun. Alasan penulis menetapkan partisipan tersebut
karena mahasiswi yang berusia ≤ 21 masih berada dalam
rentang masa remaja.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk
mendeteksi kecenderungan individu mengalami gangguan
tubuh dismorfik (Body Dysmorphic Disorder) adalah Cosmetic
Procedure Screening Questionnaire (COPS). Cosmetic Procedure
Screening Questionnaire (COPS) merupakan instrumen
berbentuk kuesioner dan dikembangkan oleh Veale, Ellison,
Werner & Dodhia (2012). Kuesioner tersebut terdiri dari
10 aitem, dengan ketentuan skoring sebagai berikut:
jawaban aitem diberi skor 0 hingga 8, sehingga dengan
demikian skor yang diperoleh subjek berada pada rentang
skor 0-72. Metode skoring dilakukan dengan menjumlahkan
Analisis data
Analisis data menggunakan analisis deskriptif, berbasis
distribusi frekuensi, dengan menggunakan teknik
persentase.
HASIL PENELITIAN
Tabel berikut menggambarkan data kecenderungan
BDD yang diukur menggunakan alat ukur Cosmetic
Procedure Screening Questionnaire (COPS), yang memuat
informasi berikut: usia, skor COPS serta bagian tubuh yang
paling dikhawatirkan dan ingin diperbaiki.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) skor BDD
yang diperoleh dari 30 subjek penelitian terkait citra tubuh
bergerak dari skor 8-48; (2) 2 dari 30 subjek (6.66%)
terindikasi mengalami gangguan tubuh dismorfik (Body
Dysmorphic Disorder) dengan skor 40 dan 48; (3) Hasil
penelitian menunjukkan bahwa area yang menjadi
kekhawatiran terhadap citra tubuh yang berlebih pada
kedua subjek yang terindikasi gangguan tubuh dismorfik
(Body Dysmorphic Disorder) yakni pada bagian wajah.
Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah perlu
dilakukan upaya intervensi untuk mereduksi tingkat
keparahan gangguan tubuh dismorfik pada subjek yang
terindikasi menderita gangguan tersebut dengan
menerapkan program ‘’30 Tanpa Alasan’’ yang merujuk
pada teori belajar sosial Bandura serta terinspirasi dari
DAFTAR PUSTAKA
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi,
Universitas Negri Malang
Abstrak
Tingginya angka penyimpangan seksual pada remaja
menginspirasi orang tua untuk menjauhkan anak dari segala
bentuk pergaulan yang kurang sehat. Salah satu institusi
pendidikan agama yang dinilai orang tua dapat melindungi
anak dari pergaulan bebas adalah pesantren. Akan tetapi
batasan yang tegas di pesantren justru menimbulkan
masalah baru yaitu disorientasi seksual. Penelitian ini
merupakan salah satu upaya prevensi terkait disorientasi
seksual pada remaja melalui psikoedukasi di Pesantren Al-
Ishlahiyah Malang. Metode penelitian yang digunakan adalah
dengan wawancara. Upaya penerapan program prevensi
menggunakan desain penelitan One Groups Pretest Only.
Bentuk prevensi yang yang direkomendasikan dalam
penelitian ini adalah psikoedukasi kesehatan reproduksi,
dampak, dan pemahaman terkait orientasi seksual.
METODE
Desain Penelitian
Desain digunakan dalam penelitian ini adalah “One
Groups Pretest Only” yaitu desain penelitian dengan
membandingkan pretest sebelum diberi perlakuan dan
Pretest akan diberikan pemahaman orientasi seksual dan
kesehatan reproduksi pada santri putri di pesantren X.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah santriwati berusia remaja di
Pesantren X Kota Malang, dengan alasan bahwa pesantren
ini merupakan salah satu pesantren putri yang terkenal
dengan jumlah santri yang cukup banyak, yakni 130
santriwati dari segala usia. Kemudian dari 130 responden
dipilih 15 subjek yang sesuai dengan karakteristik yang
ditetapkan.
Instrumen Penelitian
Setelah pretest dan wawancara dilakukan, santri akan
diberikan program intervensi berupa materi mengenai sex
education. Materi dirancang dengan tujuan menambahkan
dan menguatkan pemahaman terkait orientasi seksual dan
kesehatan reproduksi. Materi tersebut diberikan dengan
bahasa yang mudah dipahami bagi remaja, sehingga
diharapkan mampu menjadi upaya preventif terjadinya
disorientasi seksual pada santri di pesantren tersebut.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan screening awal yang disebarkan melalui
link google form, diketahui bahwa pada dasarnya santriwati
usia remaja di Pesantren X telah memahami tentang
kesehatan reproduksi dan sebagian besar tidak merasa ragu
bahwa mereka mau untuk belajar terkait pendidikan
seksual (sex education). Namun demikian, diperoleh temuan
bahwa terdapat 12,5% santri yang belum memahami cara
menjaga kesehatan reproduksi dan 37,5% menyatakan
hanya tertarik untuk mempelajari seksualitas pada
perempuan saja. Selain itu, 12,5% cenderung menghindari
artikel atau tayangan mengenai seksualitas, 25% jarang
mempelajari informasi terkait pendidikan seksual, dan
12,5% menyatakan bahwa jarang mendapatkan informasi
terkait pendidikan seksual dari lingkungan sekitar.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
keseluruhan santri berusia remaja di Pesantren (X)
memiliki pemahaman yang cukup baik terkait pendidikan
seks, khusunya pemahaman terkait orientasi seksual.
Namun demikian, beberapa diantaranya masih memerlukan
DAFTAR PUSTAKA
Endang Prastuti
endangprastuti12@gmail.com
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Internet Gaming Disorder (IGD) merupakan perilaku
individu yang ditandai dengan perilaku: memainkan game
online secara terus menerus dan biasanya dimainkan
dengan orang lain dimana perilaku tersebut dapat
mengarahkan individu-individu ke arah distress psikologis.
IGD dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yakni:
faktor biologi, psikologi, dan sosial. Selain itu IGD juga
dapat menimbulkan dampak fisik, psikologis, dan sosial bagi
indivudu-individu yang mengalaminya. Metode yang
digunakan untuk mendeteksi individu yang mengalami
Internet Gaming Disorder adalah The Development of
Indonesian Online Game Addcition Questionnaire. Pencegahan
Internet Gaming Disorder (IGD) dapat dilakukan dengan tiga
cara yakni: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier. Dari beberapa pencegahan yang ada,
digunakan pencegahan primer yang dimana salah satu
strateginya berupa pendidikan (education) Penelitian ini
menggunakan instrumen The Development of Indonesian
Online Game Addcition Questionnaire. Partisipan yang terlibat
dalam penelitian ini berjumlah 25 orang. Analisis data
menggunakan analisis deskriftif teknik persentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4
orang (16%) yang terindikasi mengalami Internet Gaming
Disorder (IGD) dalam kategori rendah, 10 orang (40%)
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa
anak-anak menuju masa dewasa. Menurut Hurlock (1980)
remaja merupakan masa dimana muncul berbagai macam
perubahan. Perubahan yang ada pada individu pada masa
remaja meliputi perubahan fisik dan seksual, perubahan
emosi, perubahan sosial, serta perubahan psikis. Selain itu,
masa remaja juga ditandai adanya pencarian identitas dan
periode penuh gejolak, oleh karena itu remaja biasanya
lebih sering menghabiskan waktunya untuk mencari
kesenangan ataupun tantangan, salah satunya adalah game
on line.
Kementrian Kesehatan Indonesia menyatakan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan seseorang dapat
mengalami kecanduan game online adalah mereka yang
secara psikologis gemar mencari tantangan (dilansir dalam
depkes.go.id), oleh karena itu individu yang sedang berada
pada masa remaja memiliki peluang mengalami adiksi game
online, dibandingkan dengan masa sesudahnya. Hal ini
diperkuat dengan data survei bahwa pengguna terbesar
adalah berkisar pada usia 15-19 tahun (Pratomo, 2019).
Berdasarkan survei oleh Kominfo menginformasikan
bahwa anak-anak milenial lebih banyak menghabiskan
waktunya menggunakan internet untuk mengakses game
online yakni dari 142 juta jiwa penduduk di Indonesia
hampir 30 juta jiwa pengguna internet merupakan anak-
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif, dengan fokus mendeskripsi
perilaku internet gaming disorder siswa.
Subjek penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja dengan rentangan
usia 14-18 tahun yang aktif bermain game mobile online pada
kelompok belajar rumahan di Desa Petak Kecamatan Bagor
Kabupaten Nganjuk. Teknik sampling menggunakan
metode incidental sampling. Total subjek yang terlibat dalam
penelitian ini berjumlah 25 orang, usia 14-18 tahun.
126 | Deteksi dan Upaya Penanganan Adiksi Game....
Instrumen Penelitian
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan alat ukur yang berupa skala psikologis. Alasan
penggunaan skala psikologis dalam penelitian ini karena
skala psikologi mampu mengukur indikator perilaku, selain
itu respon jawaban subjek tidak dikategorikan menjadi
benar dan salah. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
ini adalah The Development of Indonesian Online Game
Addcition Questionnaire yang kemudian diadaptasi oleh
penulis dengan menggunakan skala model Likert.
Analisis Data
Data dianaliisis menggunakan teknik statistik
deskriftif, dengan tujuan menggambarkan responden yang
mengalami adiksi game on line, menggunakan teknik
persentase.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Karakteristik responden yang terlibat dalam
penelitian ini digambarkan sebagai berikut: remaja
perempuan dengan presentase 32% dengan rentang usia
15-18 tahun dan remaja laki-laki dengan persentase 68%
dengan rentang usia 14-17 tahun. Total responden dalam
penelitian ini berjumlah 25 orang.
DAFTAR PUSTAKA