Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Siswa Dengan Gangguan Retardasi Mental (Down Syndrom)

DOSEN PENGAMPUH MATA KULIAH :


Musfirah, S.Pd, M.Pd

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2

SRI FADILA 1947141023


SITTI NURJANNAH 1947141025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KAMPUS V PAREPARE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah Anak Berkebutuhan Khusu tentang
Siswa Dengan Gangguan Retardasi Mental (Down Syndrom) dengan baik meskipun
banyak kekurangannya. Serta, kami juga berterima kasih kepada Ibu selaku dosen
mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus yang telah memberikan tugas makalah
kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai anak berkebutuhan khusus dan juga kami
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat yang bersifat membangun. Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Selasa, 7 Juli 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Gangguan Retardasi Mental (Down Syndrom) ................................ 3
B. Penyebab gangguan Retardasi Mental (Down Syndrom) ............................... 4
C. Karakteristik Psikologi dan Perilaku Gangguan Retardasi Mental
(Down Syndrom) ............................................................................................ 5
D. Strategi Pendidikan Bagi Siswa Gangguan Retardasi Mental
(Down Symdrom)............................................................................................ 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 12
B. Saran ............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelainan kromosom merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian
publik dan para ilmuwan pada saat ini. Kelainan kromosom yang diderita dapat
berupa kelainan jumlah atau kelainan struktur kromosom. Kelainan jumlah dapat
berupa hilang atau bertambahnya satu kromosom. Misalnya monosomi, trisomi,
triploidi. Sedangkan kelainan struktur dapatterjadi dikarenakan delesi, duplikasi,
translokasi, inversi, ring. Selain kelainan struktur dan jumlah, keadaan mosaik juga
merupakan salah satu jenis kelainan kromosom. Kelainan kromosom ini dapat
diturunkan dari orang tua ataupunterjadi secara de novodan berkontribusi besar
terhadap terjadinya cacat lahir pada bayi.
Anak berkebutuhan khusus (Special Needs Children) adalah anak yang memiliki
keterbatasan atau keluar biasaan, baik fisik, mental, intelektual, sosial, maupun
emosional. Keadaan ini akan mempengaruhi secara signifikan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak normal yang
seusia dengannya. Salah satu penyandang ABK adalah anak down syndrome yang
memiliki hambatan dan keterlambatan dalam hampir seluruh aspek perkembangan,
yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Banyak orang tua yang memiliki anak down syndrome tidak dapat menerima
keberadaannya, baik secara psikologis maupun sosial, bahkan ada orang tua yang
cenderung menyembunyikan anak penyandang down syndrome, hingga anak tidak
memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkup sosialnya. Sebagian orang
tua juga berpikir bahwa karena keterbatasannya, anak penyandang down syndrome
tidak dapat mandiri, sehingga anak diasuh dengan pola asuh over protektif dengan
melindungi anak secara berlebihan atau over toleransi, anak tidak dilatih dan
dibiasakan untuk mandiri.

1
Anak down syndrome memang memiliki karakteristik khusus yang berbeda
dengan rata-rata anak seusianya, karenanya memerlukan penanganan khusus, namun
bukan berarti mereka tidak dapat berkembang sama sekali, mereka juga dapat
tumbuh kembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dengan cara
mendapat stimulasi yang tepat dari lingkungan terdekat dengan anak, terutama
lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak.
Anak juga memerlukan intervensi dini yang didesain sedemikian rupa untuk
mengoptimalkan pengalaman belajar anak selama periode perkembangan paling
krusial, yaitu pada usia dini. Intervensi yang diberikan harus holistikintegratif.
Intervensi dini dapat dilakukan dengan sebelumnya melakukan konsultasi
dilanjutkan dengan erapi sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan penangan yang
komprehensif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan retardasi mental (Down Syndrom)?
2. Apa saja penyebab gangguan retardasi mental (Down Syndrom)?
3. Apa saja karakteristik psikologi dan perilaku gangguan retardasi mental
(Down Syndrom)?
4. Bagaimana strategi pendidikan bagi siswa gangguan retardasi mental (Down
Symdrom)?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian gangguan retardasi mental (Down Syndrom).
2. Untuk memahami penyebab gangguan retardasi mental (Down Syndrom).
3. Untuk mengetahui karakteristik psikologi dan perilaku gangguan retardasi
mental (Down Syndrom).
4. Untuk mengetahui strategi pendidikan bagi siswa gangguan retardasi mental
(Down Symdrom).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Gangguan Retardasi Mental (Down Syndrom)


Retardasi mental atau disabilitas intelektual adalah gangguan intelektual yang
ditandai dengan kemampuan mental atau intelegensi di bawah rata-rata. Orang
dengan retardasi mental mempelajari kemampuan baru, namun lebih lambat.
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensi yang kurang (subnormal)
sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). biasanya terdapat
perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah
intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo=kurang
atau sedikit dan fren=jiwa) atau tuna mental (Muhith, 2015).
Retardasi mental menurut DSM-IV memiliki tiga kriteria. Kriteria yang pertama
adalah fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata, yaitu ≤ 70, diperoleh
melalui administrasi tes intelegensi yang sudah baku, seperti WISC 3rdEdition,
Stanford-Binet 4 thEdition dan Kaufman Assessment Battery for Children. Fungsi
umum intelektual didefinisakan sebagai IQ atau Intelegensi Quatient. “Intelegensi
adalah kemampuan sesorang untuk dapat beradaptasi, mencapai sesuatu,
menyelesaikan masalah, menginterpretasikan stimulus yang ada sehingga dapat
mengubah prilakunya dan kumpulan pengetahuan atau dapat memberi respon pada
soal-soal tes intelegensi” (Robinson & Robinson, dalam DSM-IV, 1976:41).
Kemampuan tersebut diukur melalui tes IQ. Adanya keterbatasan fungsi IQ tersebut,
akan menyebabkan anak belajar dan berkembang lebih lamban dibandingkan anak
lainnya.
Sindrom Down merupakan salah satu bentuk retardasi mental berat yang terkait
dengan usia ibu saat hamil.
Istilah Down syndrome pertama kali diperkenalkan oleh Dokter
berkewarganegaraan dari Inggris, yaitu Dr. John Langdon Down pada tahun 1866.

3
Down Syndrome atau Sindrom Down merupakan kelainan genetik disebabkan oleh
kelebihan kromosom 21 yang memiliki tiga kromosom (trisomi 21). Kelebihan
kromosom pada penderita Down Syndrome mengubah keseimbangan genetik tubuh
dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta
gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh. Down Syndrome terjadi sekitar 1 dari 700
kelahiran bayi dan lebih sering terjadi pada ibu hamil berusia di atas 35 tahun
(Pienaar, 2012; Abdullah, 2016).

B. Penyebab Terjadinya Gangguan Retardasi Mental (Down Syndrom)


Down Syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23
kromosom manusia.Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-
pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita Down Syndrome, kromosom
nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom.
Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan kegoncangan pada sistem
metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan Down Syndrome.
Gunarhadi (2005: 28) menyatakan “peluang beresiko melahirkan anak Down
Syndrome terjadi apabila seorang ibu berusia 35 tahun lebih , pada usia tersebut ibu
memiliki peluang beresiko melahirkan anak Down Syndrome dengan perbandingan 1
diantara 400 bayi lahir. Pada usia ibu 45 tahun lebih dari 35 kelahiran terjadi satu
bayi lahir dengan Down Syndrome. Namun bukan berarti anak Down Syndrome
terlahir dari ibu berusia 35 tahun keatas.
Stray (dalam Gunarhadi,2005:29) menambahkan 80% anak Down Syndrome
lahir dari ibu yang berusia kurang dari 35 tahun. Selain itu, masih terdapat anggapan
bahwa anak Down Syndrome terlahir dari kurangnya asupan gizi disaat ibu hamil.
Dengan ketidakjelasan anggapan itu dipatahkan , bahwa Down Syndrome tidak
mengenal strata sosial, baik dari kalangan atas , menengah maupun bawah.
Menurut Gunarhadi (2005 : 27) faktor penyebab Down Syndrome antara lain:
1) Hubungan faktor oksigen dengan Down Syndrome

4
Down Syndrome terjadi bukan karena faktor luar, Down Syndrome terjadi karena
kekurangan kromosom akibat dari kecelakaan yang bersifat genetika yang bisa
dideteksi melalui pemeriksaan amniosintesis. Para dokter menekankan bahwa
Down Syndrome tidak terkait dengan segala yang dilakukan oleh orang tua baik
sebelum ataupun selama kehamilan. Down Syndrome terjadi bukan karna
makanan atau minuman yang dikonsumsi ibunya ketika hamil, tidak juga
perasaan traumatis, bukan pula ibu dan ayah melakukan atau menyesali
perbuatannya yang telah dialami.
2) Hubungan faktor endogen dengan Down Syndrome
Down Syndrome disebabkan karena adanya kromosom ekstra dalam setiap sel
tubuh, faktor penyebab lain yang menimbulkan resiko tingginya resiko
mempunyai anak Down Syndrome adalah umur orang tua. Semakin tua umur
ibu, semakin pula ibu memiliki peluang untuk melahirkan anak Down Syndrome.
Peningkatan peluang melahirkan anak Down Syndrome terjadi apabila ibu
berusia 35 tahun keatas. Usia berpengaruh terhadap peluang memiliki anak
Down Syndrome, seorang ayah yang berusia 50 tahun terbukti menunjukan
pengaruh terhadap konsepsi (pembuahan) janin dengan Down Syndrome (Stray
dalam Gunarhadi 2005 : 9) Angka kejadian anak yang lahir menjadi Down
Syndrome dikaitkan dengan usia ibu saat kehamilan:
a) 15-29 tahun - 1 kasus dalam 1500 kelahiran hidup.
b) 31-34 tahun – 1 kasus dalam 800 kelahiran hidup.
c) 35-39 tahun – 1 kasus dalam 270 kelahiran hidup.
d) 40-44 tahun – 1 kasus dalam 100 kelahiran hidup.
e) Lebih dari 45 tahun -1 kasus dalam 50 kelahiran hidup.

C. Karakteristik Psikologi dan Perilaku Gangguan Retardasi Mental (Down


Syndrom)

5
Anak dengan Down Syndrome termasuk dalam kelompok anak berkebutuhan
khusus, dan ada beberapa kondisi mental psikologi yang perlu diperhatikan.
Berikut ini beberapa karakteristik Down Syndrome :
1. Kemampuan atau daya pikirnya lambat dan kurang berkembang dan oleh
karenanya mengalami gangguan belajar (Learning Disability). Artinya, butuh
waktu yang lama untuk memproses informasi dan mempelajari keterampilan
baru. Untuk menguasai sebuah keterampilan, anak/orang dengan down
sindrom harus mempelajarinya secara bertahap dalam langkah-langkah yang
sangat sederhana. Misal memakai baju, harus diajarkan langkah memasukkan
ke lubang tangan, mengaitkan kancing, dan seterusnya.
2. Anak dengan Down Sindrom rentan mengalami gangguan kecemasan. Salah
satu bentuknya adalah melakukan gerakan atau perilaku yang sama secara
berulang dan terus menerus.
3. Perilaku impulsif, langsung melakukan sesuatu yang diinginkan/dipikirkan
tanpa mempertimbangkan situasi dan konsekuensinya.
4. Kadang kurang memperhatikan kesehatan. Akibatnya, banyak dari mereka
yang meninggal dalam usia muda.
5. Suasana hati atau mood tidak stabil
6. Tidak jarang mengalami depresi, lalu menarik diri dari lingkungan, tidak mau
bergaul, dan kehilangan minat pada lingkungan sekitar.
7. Mengalami gangguan tidur, seperti mudah mengantuk disiang hari.
8. Dementia, gangguan neuropsikologis yang ditandai dengan menurunnya
kemampuan berpikir. Pikun, bisa termasuk salah satu gejalanya.

D. Strategi Pendidikan Bagi Siswa Gangguan Retardasi Mental (Down Symdrom)


1. Melirik Sekolah Inklusif
Seperti pesan yang disisipkan dalam “De ar Future Mom”, salah satu
kecemasan orangtua anak down syndrome terkait dengan pendidikan yang
akan diberikan kepadanya. Sebagian orangtua memilih untuk menempatkan

6
anaknya di sekolah luar biasa (SLB) atau pendidikan nonformal, sedangkan
sebagian lainnya tidak ragu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah biasa.
Pilihan kedua dapat muncul setelah sembilan tahun silam,
Kemendiknas mengeluarkan peraturan No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Lewat peraturan ini, penyandang
disabilitas dapat bersekolah di sekolah umum yang ditunjuk oleh
Pemkot/Pemkab untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Kurikulum
yang diterapkan di sekolah tersebut akan disesuaikan bagi penyandang
disabilitas berdasarkan minat dan bakatnya dan akan ada tenaga pengajar
terlatih yang akan menangani mereka.
Selain sekolah yang ditunjuk Pemkot/Pemkab, inisiatif untuk
merangkul penyandang disabilitas juga bisa datang dari pihak swasta.
Kebanyakan dari sekolah inklusi negeri lebih menerima siswa dengan
keterbatasan fisik. Kalaupun menerima siswa dengan keterbelakangan mental,
sekolah macam itu menerapkan syarat seperti batas IQ minimal yang tidak
sanggup ditembus anak-anak down syndrome. Opsi pun beralih ke swasta,
tetapi hal ini mendatangkan kendala lain seperti perkara biaya sekolah yang
lebih tinggi dibanding sekolah negeri. Sikap pilih-pilih siswa yang
ditunjukkan pihak sekolah juga terlihat dalam sebuah kasus di Australia.
Tahun 2015, Joel Deane pernah hendak mendaftarkan anaknya yang
mengidap down syndrome ke sekolah biasa di Australia. Alih-alih diterima
dengan baik, ia malah mendapat respons pihak sekolah yang mengecewakan.
2. Belajar di Sekolah Luar Biasa
SLB lebih sering dipilih oleh orangtua anak pengidap down syndrome
karena ada anggapan bahwa tempat tersebut memiliki staf pengajar yang
kompeten dan fasilitas yang cukup baik. Bukan hanya penguasaan materi saja
yang menjadi syarat pengajar SLB, tetapi juga pendekatan-pendekatan yang
berbeda saat mengajar siswa mereka dibanding dengan peserta didik tidak

7
berkebutuhan khusus. Ane Tewiane, Wakil Kepala Sekolah SLB C1 Dharma
Asih Depok, Jawa Barat, mengisahkan pengalamannya mengajar anak down
syndrome. SLB ini menampung 53 siswa down syndrome, mulai dari level
SD sampai SMA. Usia mereka mulai dari 8 hingga 20 tahun. “Sekarang lagi
ujian SMA, sudah dua hari ini satu siswa mengikutinya. Ya walaupun hanya
seorang yang ikut, persiapannya sama kayak sepuluh anak yang ikut ujian.
Kami bikin soal sendiri, validasi ke gugus, lalu ke dinas, lalu ada pengawas
juga yang periksa ke sini. Terus tadi, kami butuh dua jam untuk membujuk
siswa yang akan ujian tersebut untuk masuk ke ruangan,” terang Ane.
Disinggung soal jumlah pengajar di sekolah tersebut, Ane mengatakan ada
delapan orang yang bertugas di bagian C1, sudah termasuk kepala sekolahnya.
“Seharusnya satu guru mengajar 5 siswa, tapi kenyataannya di sini saya
mengajar 10 siswa dalam satu kelas,” imbuh Ane. Kemudian soal ruangan,
kelas-kelas di SLB yang tahun ini genap berusia 40 tahun tersebut dipakai
secara bergantian: pagi hari oleh siswa SLB C dan C1, siang hari oleh siswa
SLB B. Mengenai kerja sama dengan psikolog, Ane mengatakan bahwa
psikolog biasanya datang pada awal tahun ajaran baru atau pengujung tahun
saja. "Nggak setiap bulan atau setiap minggu gitu. Bentuknya juga pertemuan
aja, bukan pendampingan setiap kegiatan," kata Ane.
3. Pilihan Pendidikan Nonformal
Jika orangtua tidak ingin menyekolahkan anaknya di SLB, pengidap
down syndrome masih bisa mengecap pendidikan di lembaga nonformal,
seperti di Center of Hope yang dibentuk Aryanti Rosihan Yacub. Sebelumnya,
perempuan ini lebih dulu mendirikan Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI)
sejak 21 April 1999. Kala itu, informasi soal down syndrome masih begitu
terbatas sehingga fokus kegiatan ISDI adalah sharing pengalaman dan
pengetahuan antar-orangtua yang memiliki anak down syndrome.
Sepuluh tahun sejak ISDI berdiri, Aryanti merasa perlu membekali
anak-anak down syndrome dengan keterampilan khusus agar mereka pun bisa

8
berprestasi layaknya anak-anak lain. Lewat Center of Hope-lah, ia mendidik
anak-anak dengan materi yang diracik sendiri olehnya dan sejumlah pengurus
lain. Seiring waktu, Aryanti mengajukan materi pendidikan nonformal yang
dikreasikannya ke Kemendiknas sampai akhirnya materi tersebut disahkan
dan kegiatan belajar-mengajar di sana diberi izin untuk diteruskan. Untuk
pelajaran Bahasa, siswa Center of Hope lebih diarahkan pada kemampuan
berbicara. Sementara untuk pelajaran Matematika, mereka lebih mengarahkan
siswa untuk menguasai kemampuan berhitung sederhana seperti ketika
berbelanja di supermarket. Bila mereka ingin berkegiatan seni atau olahraga,
Center of Hope memfasilitasinya dengan membuka program ekstrakurikuler
renang, senam, hip-hop, karate, dan angklung. Beragam program
ekstrakurikuler yang ditawarkan Center of Hope tidak lepas dari kebutuhan
fisik pengidap down syndrome. “Otot mereka kan cenderung lemah, jadi
lewat kegiatan-kegiatan ini mereka bisa melatih fisik dan menjaga
staminanya,” jelas Aryanti.
Kembali Pada Kebutuhan Anak Menurut Elizabeth Wahyu Margareth
Indira, psikolog di Lembaga Psikologi Terapan Talenta, Semarang, pilihan
tempat menyekolahkan anak down syndrome harus dikembalikan lagi pada
kebutuhan mereka masing-masing. “Bila anak mengalami gangguan mental
berat, sebaiknya memang di SLB dengan pertimbangan guru serta sarana dan
prasarananya lebih siap. Namun, bila kondisinya memungkinkan, anak down
syndrome bisa juga dimasukkan ke sekolah inklusi,” jabar perempuan yang
akrab disapa Ira ini. Dengan bergabung bersama anak-anak lain yang tidak
berkebutuhan khusus, anak down syndrome bisa mendapat stimulasi,
mengamati, dan belajar dari teman-teman yang karakternya berbeda dengan
dirinya. Kebutuhan anak juga bisa diketahui dari hasil pemeriksaan oleh
psikolog atau dokter. Ira mengatakan, tekniknya bisa melalui wawancara
dengan orangtua atau pengasuh, observasi, dan tes kepada anak. Dari hasil
pemeriksaan tersebut akan terlihat kekurangan dan kelebihan anak sehingga

9
dapat diprediksi apakah ia mampu mengikuti pendidikan atau tidak.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom Down merupakan salah satu bentuk retardasi mental berat
yang terkait dengan usia ibu saat hamil. Down Syndrome terjadi karena
kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia.Pada manusia
normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya
menjadi 46. Pada penderita Down Syndrome, kromosom nomor 21 tersebut
berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah
yang berlebihan tersebut mengakibatkan kegoncangan pada sistem
metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan Down Syndrome
Adapun karakteristik down syndrome yaitu kemampuan atau daya
pikirnya lambat dan kurang berkembang dan oleh karenanya mengalami
gangguan belajar (learning disability, anak dengan down sindrom rentan
mengalami gangguan kecemasan. Salah satu bentuknya adalah melakukan
gerakan atau perilaku yang sama secara berulang dan terus menerus,perilaku
impulsif, kadang kurang memperhatikan kesehatan, suasana hati atau mood
tidak stabil, tidak jarang mengalami depresi, dan mengalami gangguan tidur
B. Saran
Demikian makalah ini, kami menyadari makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,kami mengharapkan
kritik dan saran guna perbaikanmakalah berikutnya. Dan semoga makalah ini
dapat berguna bagi semua.

11
DAFTAR PUSTAKA

Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus jilid

kesatu. Jakarta: LPSP3 UI

Prabowo, Hendro. (2008). Psikologi pendidikan. Jakarta: Gunadarma

Raysa Ramayumi, Adnil Edwin Nurdin dan Siti Nurhajjah.2014. Karakteristik

Penderita Retardasi Mental Di SLB Kota Bukittinggi. Vol 37 (3)

https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/memilih-pendidikan-untuk-anak-down-

syndrome-cGun

12

Anda mungkin juga menyukai