Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TUNA NETRA

DOSEN PEMBIMBING :
1. Dr. Drs. CAHYO YUWONO, M.Pd.
2. DWI TIGA PUTRI, S. Pd., M.Pd.

DISUSUN OLEH:
1.M. HANNAN DZAKIRIN (6103422064)
2. ALDIHAWA DISLIVEA (6103422066)
3.AHMAD KHOIRUL UMAM (6103422079)

PRODI PENDIDIKAN JASMANI SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi taufik, hidayah, serta
inayah-Nya sehingga kita semua masih bisa beraktivitas sebagaimana seperti biasanya termasuk
juga dengan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang
berjudulTuna Netra yang terdapat pada matakuliah Pendidikan jasmani Anak Berkebutuhan
KhususPendidikan Jasmani olahraga Universitas Negeri Semarang.
Dalam makalah ini, penulis membahas tentang Pendidikan anak berkebutuhan khusus yang
dimana membahas tentang Tuna Netra, apa aja yang dibahas mualai dari ap aitu tunanetra penyebab
terjadinya serta masih banyak pembahasan lainya yang disajikan dalam bentuk makalah. Makalah
ini disusun agar para pembaca bisa menambah wawasan serta memperluas tentang ABK Tuna
Netra.
Dan tidak lupa permohonan maaf dari penulis apabila terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam bentuk apapun yang terdapat dalam makalah ini.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua orang tua pastinya menginginkan anaknya terlahir secara normal, baik
normal secara fisik maupun normal secara psikis. Namun keinginan tersebut hanyalah
sekedar keinginan saja, karena pada kenyataannya tak jarang anak terlahir dalam kondisi tak
normal baik secara fisik maupun secara psikis. Tapi bagaimana pun, mereka adalah seorang
anak yang juga tidak ingin dilahirkan sebagai anak cacat. Kita sebagai orang tua, mau tidak
mau harus menerimanya dengan ikhlas meskipun sangat sulit untuk mengikhlaskannya. Kita
harus memahami apa yang mereka butuhkan karena tidak semua kegiatan dapat mereka
lakukan, dan kita yang mempunya fisik yang normal hendaknyalah membantu dan
membimbing mereka. Kita juga harus mendidik mereka agar mereka tumbuh tidak sebagai
anak yang cacat, melainkan seperti kebanyakan anak lainnya yang tumbuh berbeda,
meskipun pada kenyataanya berlainan. Seperti hal nya yang diatur dalam UUD 1945 pasal
31 ayat 1 bahwa : “Tiap-tiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pengajaran“,
jelas disitu tertuang bahwa tidak ada kata diskriminasi dalam proses pembelajaran, baik
mereka anak normal maupun anak berkebutuhan khusus.
Anak tunanetra merupakan anak yang mengalami keterbatasan penglihatan. Akibat
keterbatasan itu, anak mengalami ketidakmampuan penglihatan sehingga tidak berfungsi
sebagai saluran penerima informasi secara visual setelah dikoreksi dan membutuhkan
layanan pendidikan khusus. (Hallahan & Kauffman, 2009: 380; Gargiulo, 2006: 482).
Pelayanan khusus ini diperlukan bagi mereka yang menyandang tunanetra, tanpa adanya
perbedaan satu sama lain. Anak tunanetra membutuhkan komunikasi khusus untuk dapat
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Roos et al., n.d.) . Anak dengan tunanetra juga
bukan menjadi keinginannya, banyak faktor yang dapat menyebabkan ketunanetraan
tersebut. Mereka pastinya ada rasa berbeda dengan teman lainnya mereka pasti akan
berpikir apakah mereka bisa diterima di lingkungan dengan keterbatasannya? Maka dari itu
Pemerintah sudah selayaknya memberi perhatian penuh bagi pendidikan anak berkebutuhan
khusus contohnya tunanetra. Anak berkebutuhan khusus merupakan sumber daya bangsa
Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan akan dapat berperan, bukan hanya sebagai
obyek pembangunan namun sebagai subyek Pembangunan (Kemenkes, 2010). Agar mereka
tidak merasa terasingkan dan terdiskriminasi dalam pendidikan formal khususnya. Anak
tuna netra memeiliki suatu ciri khas tertentu yaitu mereka tidak bisa bermain sesuka
mereka. Dibutuhkannya pendampingan khusus bagi mereka yang menyandang tunanetra.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan tunanetra ?
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya ketunanetraan ?
3. Bagaimanakah karakteristik anak dengan ketunanetraan ?
4. Bagaimana pembelajaran olahraga yang tepat untuk anak tunanetra
5. Bagaiamanakah dengan setrategi dan modifikasi pembelajaran ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tunanetra
2. Menjelaskan penyebab terjadinya tunanetra
3. Menyebutkan karakteristik anak tunanetra
4. Menjelaskan pembelajaran yang tepat untuk anak tunanetra
5. Menjelaskan setrategi dan modifikasi pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tunanetra

Dari segi bahasa kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. Menurut
(VII. BAB II, n.d.)
tuna berarti rugi atau rusak. Sedangkan kata netra memiliki arti penglihatan. Dengan
demikian tunanetra kerusakan penglihatan. Dalam literatur bahasa inggris istilah tunanetra
juga disebut dengan “Visual Impairment (Kerusakan Penglihatan)” atau “Sight Loss
(Kehilangan Penglihatan)”. Dari kutipan Dr. Asep Supena, M.Psi mengatakan bahwa
tunanetra (Visual Imprairment) adalah “mereka yang mengalami gangguan hambatan
penglihatan secara signifikan (berarti). Sehingga membutuhkan layanan pendidikan atau
pembelajaran yang khusus”. Contohnya penggunaan sistem baca tulis braille, alat pembesar
bahan bacaan dan bentuk modifikasi lainnya.
Ukuran ketajaman penglihatan dalam ilmu medis diperoleh melalui tes dengan
menggunakan kartu snellen. Kartu snellen ada 3 macam : yaitu kartu bentuk E, bentuk
Abjad, bentuk gambar-gambar. Bentuk gambar-gambar dianggap kurang efektif karena
tidak semua gambar dikenal oleh anak-anak. Anak-anak dengan hambatan penglihatan
adalah anak-anak yang kurang beruntung dalam memfungsikan indra penglihatannya,
namun bukan berarti mereka tidak memiliki hak dan kurang beruntung dalam belajar,
bermain dan berinteraksi sosial dengan masyarakat lainnya. Mereka mempunyai hak dan
kesempatan serta kesetaraan hak yang sama dengan anak yang lainnya, hanya saja mereka
memerlukan pelayan yang khusus untuk aktivitas dalam keseharian mereka.
Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan

Tingkat ketajaman penglihatan yang dihasilkan dari tes Snellen, dapat dikelompokan
menjadi berbagai tingkatan. Dari sudut pandang medis seseorang dapat dikatakan megalami
tunanetra jika memiliki visus dua puluh per dua ratus atau kurang dan memiliki lantang
pandangan kurang dari dua puluh derajat (E. Kokasih., 2012). Hasil tes Snellen 20/20 feet
atau 6/6 meter menunjukan bahwa penglihatannya normal. Gangguan penglihatan yang
ringan atau yang mempunyai ketajaman antara 6/6 meter - 6/16 m atau 20/20 feet -20/50
feet, tidak dikelompokkan pada tunanetra atau bahkan masih dapat dikatakan normal
sedangkan yang mengalami gangguan penglihatan yang cukup berat atau kurang dari 6/20m
atau 20/70 feet, sudah dikategorikan tunanetra. Dengan demikian, klasifikasi tunanetra
berdasarkan ketajaman penglihatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
 Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20 m - 6/60 m atau 20/70 feet -20/200 feet.
Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya dikatakan tunanetra (low
vision). Pada taraf ini, para penderita masih mampu melihat dengan bantuan alat khusus.
 Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau
kurang.Tingkat ketajaman seperti ini sudah dikatakan tunanetra berat atau secara umum
dapat dikatakan buta (bind). Kelompok ini masih dapat terbagi menjadi dua yaitu
kelompok tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan. Dan Kelompok tunanetra
yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
 Tunanetra yang memiliki visus 0. Pada taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu
lagi melihat rangsangan cahaya atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun.
Kelompok ini sering disebut buta total (totally blind).
a) Berdasarkan saat terjadinya ketunanetraan
 Tunanetra sebelum dan sejak lahir. Kelompok ini terdiri dari orang yang mengalami
ketunanetraan pada saat dalam kandungan atau sebelum usia satu tahun.
 Tunanetra batita. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia
dibawah tiga tahun.
 Tunanetra balita. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia antara
3-5 tahun.
 Tunanetra pada usia sekolah. Kelompok ini meliputi anak yang mengalami
ketunanetraan pada usia anak 6 -12 tahun.
 Tunanetra remaja. Adalah orang yang mengalami ketunanetraan pada saat usia remaja
atau antara usia 13-19 tahun.
 Tunanetra dewasa. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada usia dewasa atau
usia 19 tahun keatas.

B. Penyebab Terjadinya Ketunanetraan


Penyebab terjadinya tunanetra pada dasarnya sangat beraneka ragam, bak itu dari pre-
natal (sebelum kelahiran) dan post-natal (setelah kelahiran).
a. Prenatal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan
masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
1. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan
bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra.
Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit
pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit
menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar
melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit
saja penglihatan pusat yang tertinggal.
2. Pertumbuhan anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat
disebabkan oleh:
1) Gangguan waktu ibu hamil.
2) Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama
pertumbuhan janin dalam kandungan.
3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar
air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem
susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat
terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola
mata itu sendiri.
5) Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga
hilangnya fungsi penglihatan.
b. Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau
setelah bayi lahir antara lain :
a) Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-
alat atau benda keras.
b) Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil
gonorhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit
dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c) Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
 Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
 Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
 Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata
menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
 Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata,
sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
 Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena
diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi
oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
 Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah
tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi
masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk
melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
 Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya
terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal.
Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi
oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator
terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan
pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka
pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala
(retina) dan tunanetra total.
d) Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda
keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.

C. Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan


Anak-anak tunanetra kehilangan masa belajar dalam hidupnya. Anak tunanetra yang
memiliki keterbatasan pengelihatan tidak mudah untuk bergerak dalam interaksi dengan
lingkungannya, kesulitan dalam menemukan mainan dan teman-temannya, serta mengalami
kesulitan untuk meniru orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. keterbatasan penglihatan
mereka. Menurut Ardhi Wijaya dalam seluk-beluk Tunanetra dan strategi pembelajarannya
anak tunanetra membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengenali lingkungannya. Hal
inilah yang dikhawtirkan akan memberikan dampak terhadap perkembangan, belajar,
ketrampilan sosial, dan perilakunya.
1. Karakteristik Kognitif
Kognitif adalah perkembangan pikiran untuk mengenali, memberi alasan rasional,
mengatasi dan memahami kesempatan penting (Setiarani & Suchyadi, n.d.) . Ketunanetraan
secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi.
Lowenfield menggambarkan dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan
kognitif. Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam
tiga area, antara lain :
 Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Keterbatasan pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-
organ yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra lebih mengandalkan indra
peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar,
walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal layaknya indra
pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam memperoleh informasi,
misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan
indra penglihatan.Sehingga hal iniberpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak
yang membutuhkan strategidan kemampuan anak dalam memahami informasi tersebut.
 Kemampuan untuk berpindah tempat
Indera penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa
dalam suatu lingkungan, tapi keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan
untukbergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari.
masih tidak utuh.
2. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga
berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademisnya, khususnya dalam bidang
membaca dan menulis. . Menurut (Samuel P. Hayes) pada Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi menjelaskan bahwa "kemampuan
inteligensi anak dengan hendaya penglihatan tidak secara otomatis menjadikan diri mereka
mempunyai inteligensi yang rendah. Sebagai contoh, ketika seorang yang normal
melakukan kegiatan membaca dan menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci
bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada
gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan
menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan dengan mempergunakan berbagai alternatif
media atau alat membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
3. Karakteristik Sosial dan Emosional
Social dan emosional merupakan perilaku dimana anak mampu menyesuaikan diri
dengan aturan yang berada di sekitarnya (Khairiah et al., 2018). Perilaku sosial secara tipikal
dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan
biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta
masukan dari orang lain yang berkompeten . sebagai contohnya, menurut Bandi Delphie,
seorang anak tunanetra memiliki pendengaran yang lebih sensitif, karena dengan indra
pendengaran saja dia dapat memperoleh informasi. Karena tunanetra mempunyai
keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering
mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Menurut
(Kajian tentang Ketunanetraan et al., 2009)
, karakteristik anak tunanetra yaitu: 1) rasa curiga terhadap orang
lain; 2) perasaan mudah tersinggung; 3) verbalisme; 4) perasaan rendah diri; 5) datan; 6)
suka berfantasi; 7) berpikir kritis; dan 8) pemberani. Karakteristik sosial dan emosional anak
tunanetra bisa dimaknai lebih lanjut sebagai berikut:
 Rasa curiga terhadap orang lain
Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap penerimaaninformasi visual
saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetratidak memahami ekspresi
wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melaluisuara saja. Hal ini mempengaruhi saat
teman bicaranya berbicara dengan oranglainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas,
sehingga dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain..
 Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh keterbatasan yang iaperoleh melalui
auditori/ pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan agarsaat berinteraksi dapat
membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudahtersinggung juga perlu diatasi
dengan memperkenalkan anak tunanetra denganlingkungan sekitar. Perasaan rendah diri
Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsepdirinya. Implikasi
keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untukbergaul dan berkompetisi dengan
orang lain. Hal ini disebabkan bahwapenglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam memperoleh informasi.Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak
awas. Perasaan tersebutakan sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak
untuk bermain bersama.
 Verbalisme
Pengalaman serta pengetahuan anak tunanetra pada konteks keabstrakan mengalami
keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti fatamorgana,
pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat dibuat media
konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konsep tersebut, sehingga hanya
dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang mengalami keterbatasan dalam
pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akan memiliki verbalisme, sehingga
pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja.
 Perasaan rendah diri
Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berdampak pada konsep dirinya. Dampak
keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk bergaul dan berkompetisi
dengan orang lain. Hal ini disebabkan karena penglihatan memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam memperoleh informasi. Sehingga anak akan memiliki perasaan rendah diri
dalam bergaul terutama dengan anak lain yang bisa melihat dengan jelas. Perasaan
tersebut akan sangat dirasakan apabila temannya menolak untuk bermain bersama.
 Adatan
Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk
adatan tersebut misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan kebelakang silih berganti,
menekan matanya,menggerakkan kaki saat duduk, menggelenggelengkankepala, dan lain
sebagainya. Suka berfantasi
 Suka berfantasi
Dampak dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra salah satunya suka berfantasi.
Jika dibandingkan dengan anak yang dapat melakukan kegiatan memandang, anak
tunanetra hanya dapat mendapat informasi dengan membayangkan atau berfantasi atas
suara, kata-kata, dan rangsangan yang dia dapatkan. Oleh karena itu, anak tunanetra
lebih suka berfantasi.
 Berpikir kritis
Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalamberpikir kritis
terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awasdalam mengatasi
permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapatmempengaruhi terutama
melalui informasi visual.

D. Pembelajaran olahraga bagi Anak dengan Ketunanetraan

Pembelajaran berasal dari kata belajar yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu. Pendidikan sangat mempengaruhi kedidupan manusia dalam
seluruh aspek kehidupannya (77-158-1-SM, n.d.).Pembelajaran olahraga meliputi metodik aktivitas
ritmik. Aktivitas ritmik mempunyai tugas menyalurkan hasrat bergerak menjadi gerakan yang tak
terhambat, dan membuat gerakan sebebas dan serileks mungkin, sehingga terciptalah gerakan yang
sewajarnya. Menurut J. David Smith, dalam Sekolah Inklusi anak tunanetra belajar dengan bertindak,
pembelajaran anak tunanetra ditekankan adanya keterlibatan siswa secara aktif untuk praktik.
Aktivitas ritmik merupakan salah satu metode praktik yang dapat digunakan untuk menyiapkan
badan/fisik agar dapat menguasai latihan-latihan yang diperlukan dalam seni gerak, menuju ke balet
atau tari-tarian (Woeryati S, 1991). Sedangkan metodik mengajar aktivitas ritmik mengikuti alur: A.
Latihan pemanasan, bertujuan: 1. memenuhi hasrat bergerak anak 2. Membawa/menyiapkan suhu
badan anak yang optimal 3. Memperluas gerak sendi 4. Menghindari cidera B1. Latihan tubuh, pada
bagian ini mengandung unsur-unsur normalisasi, bertujuan menghilangkan ketegangan-ketegangan
otot, meliputi 4 unsur, yaitu: 1. Latihan pelemasan, untuk melemaskan sendi-sendi, memperbesar
elastisitas pembungkusan (capsul) dan tali sendi. 2. Latihan penguluran, untuk memperpanjang otot-
otot dan tali sendi, sehingga menambah kemungkinan suatu gerakan (fleksibilitas). 3. Latihan
penguatan, untuk menguatkan otot-otot setempat terutama yang lemah, misalnya otot perut, pinggang,
dengan melakukan gerak lambat-lambat, menambah beban, atau memperpanjang tangan beban. 4.
Latihan pelepasan, terutama menghilangkan ketegangan dan memperbaiki koordinasi otot, serta
mempertinggi perasaan otot, artinya dalam suatu gerakan harus dapat dirasakan otot mana yang hrs
bekerja dan otot mana yang hrs relaksasi. B.2. Latihan keseimbangan, adalah bertujuan untuk
mempertinggi perasaan keseimbangan dan menambahkan perasaan kinestetis. Setiap latihan, dimana
pemeliharaan keseimbangan lebih sukar daripada sikap berdiri tegak, disebut latihan keseimbangan.
B.3. Latihan kekuatan dan ketangkasan, maksud latihan ini adalah agar gerakan- gerakan dapat
dilaksanakan dengan wajar dan ekonomis serta untuk mempercepat reaksi, mempertinggi koordinasi
otot. Sangat berguna untuk latihan pembentukan gerak dalam mencapai prestasi. Latihan
pembentukan gerak secara fungsional dapat dibagi menjadi: 7 1. Gerak kekuatan, terutama untuk
menguatkan dalam arti kemampuan seseorang utnuk melawan beban. 2. Gerak kecepatan, terutama
berhubungan dengan ketangkasan, misalnya kecepatan bereaksi, kecepatan bergerak, kecepatan
mengubah arah. 3. Gerak mendadak (ekspolsif), misalnya gerak meloncat, menumpu, memukul. 4.
Gerak tahan lama (endurance) terutama gerakan yang dilakukan dalam waktu lama. B.4. Latihan jalan
dan lari, latihan ini terutama untuk membentuk gerak dan mencapai prestasi. Pembentukan gerak
terutama gerak tahan lama, dengan banyak latihan lari dan jalan, dituntut ketangkasan yang lebih
banyak. Bentuk latihannya jalan, lari, atau kombinasi keduanya, dengan unsur endurance. B.5. Latihan
lompat/loncat, bertujuan untuk membentuk gerak dan meningkatkan prestasi, daya tahan jantung paru.
Bentuk latihannya adalah lompat, loncat, atau kombinasi keduanya. C. Latihan penenangan, tujuannya
terutama membawa suhu tubuh anak kembali ke suhu normal, membawa anak kesuasana tenang,
merilekskan kembali otot-otot. Bentuk latihan hendaknya yang menekankan perhatian dan
ketenangan, tidak begitu banyak menggunakan tenaga

E. Strategi Pembelajaran olahraga bagi Anak Tunanetra


Sebagai contoh: KD: Mempraktikkan keterampilan dasar gerak ritmik yang berorientasi pada
arah dan ruang secara berpasangan, menggunakan atau tanpa musik, serta nilai kerjasama,
dan disiplin. Maka materi dapat dipilih berupa maat dan irama, memperkenalkan berbagai
irama musik atau lagu untuk mengiringi siswa bergerak berpasangan dalam ruang yang
dibatasi. Gerak dasar yang diajarkan adalah pola langkah satu.
Pola langkah 1 (satu) adalah langkah yang selalu jatuh pada ketukan hitungan satu,
seperti langkah pada jalan kaki biasa. Ketika melangkah berjalan biasa, maka dapat
diumpamakan bahwa berjalan dengan hitungan satu pada setiap langkahnya. Hitung
satu ketika kaki kiri melangkah, dan hitung satu juga ketika kaki kanan melangkah.
Jadi selalu dihitung seperti langkah di bawah ini:
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan

Satu Satu Satu Satu Satu

Dengan pola langkah satu, peserta didik dapat menikmati pembelajaran irama atau aktivitas
ritmik melalui:
Bergerak bebas di dalam ruangan dengan iringan lagu yang dinyanyikan bersama.
Nyanyikanlah sebuah lagu, misalnya Sorak-Sorak Bergembira. Minta anak untuk
menyanyikan bersama sambil melakukan pola langkah satu di sekeliling ruangan.
Pergerakan bebas, boleh maju, mundur, atau berbelok-belok dengan radius empat langkah
dari posisi awal, sehingga tidak saling bertabrakan.

Bergerak bebas dengan iringan musik irama mars. Irama Mars adalah irama yang biasanya
berciri ketukan 2/4 sehingga ketukannya pendek-pendek atau cepat dan bersuasana riang
serta bersemangat. Pilihan musik mars dapat dengan mudah di dapat di toko kaset dengan
mimilih kaset lagu-lagu perjuangan.
Kegiatan ritmik dengan irama Mars dapat divariasikan sebagai berikut:
1) Awali dengan dengan bertepuk tangan sambil berdiri diam ketika mendengar
irama musik mars.
2) Berjalan di tempat sambil bertepuk tangan, dengan gerak pertama diawali oleh kaki kiri.
3) Berjalan ke depan bersamaan dengan iringan musik, kedua lengan diayun di samping
badan.

4) Berjalan ke depan dengan menekankan pada upaya merubah gerakan langkah kaki
dengan pola langkah-tutup-langkah seolah-olah salah langkah.
5) Berjalan ke depan 8 kali, ke belakang 8 kali, ke samping kiri 8 kali dan ke samping
kanan 8 kali.

Gerak Jalan Beregu dengan pola langkah satu. Gerak jalan sebagai bagian dari baris
berbaris adalah bagian integral juga dari pelajaran aktivitas ritmik. Dengan gerak jalan
teratur, pada dasarnya anak sedang mengatur irama sedemikian rupa, sehingga diperlukan
koordinasi, kepekaan, serta kedisiplinan. Jadikan aktivitas ritmik ini untuk meningkatkan
dan mengajarkan kemampuan baris berbaris, minimal dalam kemampuan gerak jalan,
yang dapat divariasikan dengan berbagai cara, dari mulai gerak jalan langkah biasa, langkah
tegap, dan langkah rapat dengan mengangkat lutut cukup tinggi.
Beberapa variasi yang dapat dilakukan ketika melakukan gerak jalan adalah sebagai berikut:

Beberapa variasi yang dapat dilakukan ketika melakukan gerak jalan adalah sebagai berikut:

a) Dalam formasi melingkar, berbaris dalam satu banjar, kemudian 2 berbanjar,


dan 3 berbanjar.
b)

c) Dalam formasi empat persegi, anak berbaris dalam satu banjar, kemudian 2
berbanjar, dan 3 berbanjar. Buatlah belokan pada sudut persegi, ketika
berbaris 2 atau 3 berbanjar, dengan cara mereka yang berada di bagian dalam
barisan melakukan semacam sebuah pivot untuk
menyesuaikan diri dengan yang ada di bagian luar barisan.
Kedalaman materi (scope) sangat tergantung dari karakteristik peserta didik, sangat
mungkin materi ini hanya sampai pada Bergerak bebas di dalam ruangan dengan iringan
lagu yang dinyanyikan bersama.

Hal terpenting dalam mengajar aktivitas ritmik pada peserta didik tuna netra adalah perintah
atau aba-aba yang jelas, dengan orientasi arah gerak berpusat pada peserta didik.

a. Langkah DasarMaju
Sikap Awal: Berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar dengan jarak kurang lebih satu
kaki dan kedua tangan bebas di samping badan.

Hitungan 1: Langkahkan kaki kiri ke depan satu langkah.


Hitungan 2: Langkahkan kaki kanan ke depan satu langkah sejajar dengan kaki kiri
tetapi agak ke depan sedikit.
Selanjutnya diteruskan oleh kaki kiri hingga hitungan ke 8 dan kembali ke sikap awal.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Sikap awal Hit 1 Hit 2 Hit 3


Gambar 1

b. Langkah Dasar Mundur.


Sikap Awal: Berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar dengan jarak kurang lebih satu
kaki dan kedua tangan bebas di samping badan.
Hitungan 1: Langkahkan kaki kiri ke belakang atau mundur satu langkah.
Hitungan 2: Langkahkan kaki kanan ke belakang atau mundur satu langkah tidak
sejajar dengan kaki kiri tetapi lebih ke belakang sedikit.
Selanjutnya diteruskan oleh kaki kiri hingga hitungan ke 8 dan kembali ke sikap awal.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.
Sikap awal Hit 1 Hit 2 Hit 3
Gambar 2

c. Langkah Dasar Samping Kiri


Sikap Awal: Berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar dengan jarak
kurang lebih satu kaki dan kedua tangan bebas di
samping badan.
Hitungan 1: Langkahkan kaki kiri ke samping kiri satu langkah.
Hitungan 2: Langkahkan kaki kanan ke samping kiri satu langkah
rapat dengan kaki kiri.
Selanjutnya diteruskan oleh kaki kiri hingga hitungan ke 8 dan kembali ke
sikap awal. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Sikap awal Hit 1 Hit 2 Hit 3


Gambar 3
d. Langkah Dasar Samping Kanan
Sikap Awal: Berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar deagan jarak
kurang lebih satu kaki dan kedua tangan bebas di
samping badan.
Hitungan 1: Langkahkan kaki kanan ke samping kanan satu langkah.
Hitungan 2: Langkahkan kaki kiri ke samping kanan satu langkah
rapat dengan kaki kanan
Selanjutnya diteruskan oleh kaki kanan hingga hitungan ke 8 dan kembali
ke sikap awal. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.
Hit 3 Hit 2 Hit 1 Sikap awal

Gambar 4

e. Langkah Dasar Di tempat


Sikap Awal: Berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar dengan jarak
kurang lebih satu kaki dan kedua tangan bebas di
samping badan.
Hitungan 1: Angkat kaki kiri setinggi betis dan letakkan kembali di
samping kaki kanan.
Hitungan 2: Angkat kaki kanan setinggi betis dan letakkan kembali
di samping kaki kiri.
Selanjutnya diteruskan oleh kaki kiri hingga hitungan ke 8 dan
kembali ke sikap awal.. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Sikap awal Hit 1 Hit 2 Hit 3


Gambar 5
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Anak tunanetra merupakan anak yang mengalami keterbatasan penglihatan.


Akibat keterbatasan itu, anak mengalami ketidakmampuan penglihatan
sehingga tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi secara visual
setelah dikoreksi dan membutuhkan layanan pendidikan khusus. Layanan
pendidikan khusus dalam bidang pembelajaran olahraga meliputi metodik
aktivitas ritmik. Aktivitas ritmik mempunyai tugas menyalurkan hasrat
bergerak menjadi gerakan yang tak terhambat, dan membuat gerakan sebebas
dan serileks mungkin, sehingga terciptalah gerakan yang sewajarnya.
Pembelajaran anak tunanetra ditekankan adanya keterlibatan siswa secara aktif
untuk praktik. Aktivitas ritmik merupakan salah satu metode praktik yang
dapat digunakan untuk menyiapkan badan/fisik agar dapat menguasai latihan-
latihan yang diperlukan dalam seni gerak, menuju ke balet atau tari-tarian.
Sedangkan metodik mengajar aktivitas ritmik mengikuti alur: A. Latihan
pemanasan, bertujuan: 1. Memenuhi hasrat bergerak anak 2.
Membawa/menyiapkan suhu badan anak yang optimal 3. Memperluas gerak
sendi 4. Menghindari cidera.

B. Saran
Dengan kesimpulan yang telah didapatkan, maka anak berkebutuhan
khusus, khususnya anak tunanetra sudah seharusnya diperhatikan,
terkhusus dalam bidang pendidikan keolahragaan. Karena keterbatasan
yang dimiliki anak bukan untuk ditinggalkan dan ditelantarkan, melainkan
bisa jadi aset negara. Anak berkebutuhan khusus jika diajar dengan metode
yang tepat, bakat yang dia miliki seperti dalam bidang olahraga akan dapat
dikembangkan. Sehingga dapat ikut olimpiade-olimpiade dan
membanggakan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : PT


Refika Aditama
Kartadinata, Sunaryo. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Surabaya : Dikti
Gargiulo, R. 2006. Special Education in Contemporarry Society. USA: McMillan.
Dunlap, L. 2009. An Introduction To Early Childhood Special Education Birth To
Age Five. United States of America: PEARSON.
Hallahan, D & Kauffman, J.M., 2009. Exceptional Learners an introduction to
Special Education eleventh edition. USA: Pearson.
E Kosasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Yrama
Widya, 2012).
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting
Pendidikan Inklusi (Bandung: Refika Adhitama, 2006). 116.
Ardhi Wijaya. Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya (Jogjakarta:
Javalitera. 2012). 25.
J. David Smith, Sekolah Inklusif. Konsep dan Penerapan Pembelajaran terj. Denis
dan Ny. Erica (Bandung Nuansa, 2012), 244-245.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta Balai
Pustaka, 2002), Cetakan Ke 2 Edisi Ke 111. 17.
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan., 116-117.

Abdullah, I. (2016). Pengembangan Kurikulum Teori & Praktik. Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada.
Ahmadi, R. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ali, M., & Ansori, M. (2006). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ananta, B., & Aksin, N. (2018). Olahraga Kegemaranku Catur. Klaten: PT Intan
Pariwara.
Aprilia, K. N. (2018). Analisis penerapan prinsip-prinsip latihan terhadap
peningkatan kondisi fisik atlet bulu tangkis PPLOP Jawa Tengah tahun
2017/2018. Journal Power Of Sports, 1(1), 55.
https://doi.org/10.25273/jpos.v1i1.2210
Azmi, Z., Saripurna, D., & Anwar, B. (2013). Aplikasi jaringan Syaraf Tiruan
Untuk Pengenalan Pola Pembukaan Permainan catur. Jurnal Ilmiah
Saintikom, 12(2), 139–152.
Chairunnisa, C. (2016). Manajemen Pendidikan dalam Multi Perspektif. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Gunawan, I. (2016). Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktek. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Gunawan, I., & Benty, D. (2017). Manajemen Pendidikan Suatu Pengantar
Praktik. Bandung: Alfabeta.
Kaynar, Ö. (2019). Investigation of Talent Selection Methods in Different Sports
Branches. 6(12), 44–
48. https://doi.org/10.11114/jets.v6i12a.3925
Kurniati., Sopandi, A.A., Z. (2019). Pengaruh Analisis Tugas terhadap
Keterampilan Menggosok Gigi Anak Tunanetra. Jurnal Pendidikan
Kebutuhan Khusus, Volume III, 24–29.
Magdalena, I., Fatharani, J., Oktavia, S. A., & Amini, Q. (2020). Peran Guru dalam
Mengembangkan Bakat Siswa. Jurnal Pendidikan Dan Dakwah, 2, 61–69.
Muslih, M. (2016). Pengaruh Lingkungan Keluarga Dan Lingkungan Sekolah
Terhadap Prestasi
Belajar Siswa Kelas 6 SDN Limbangan. Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia,
5(8), 555. https://doi.org/10.36418/syntax-literate.v5i8.1526
Mustaqim. (2008). Psikologi Pendidikan. Fakultas Tarbiyah.
Petersen, S. (2018). Talent development in Chinese and Swiss music students.
International Journal of Music Education, 36(2), 230–243.
https://doi.org/10.1177/0255761417729544
Rahmayanti, V. (2016). Pengaruh Minat Belajar Siswa dan Persepsi atas Upaya
Guru dalam Memotivasi Belajar Siswa terhadap Prestasi Belajar Bahasa
Indonesia Siswa SMP di Depok. SAP (Susunan Artikel Pendidikan), 1(2),
206–216. https://doi.org/10.30998/sap.v1i2.1027
Sanjaya, W. (2008). Pembelajaran Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Prenada Media Group.
Sugiyono. (2017). Metode penelitian pendidikan:(pendekatan kuantitatif, kualitatif
dan R & D). Bandung: CV. Alfabeta.
Sumiati. (2018). Peranan Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa.
Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(2), 145–164.
Wibisono, A. G. (2019). Menggapai Prestasi & Kesuksesan. Sukoharjo: CV
Sindunata.
Widjaya, A. (2012). Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya.
Yogyakarta: Javalitera.

Abbas Sukardi, Wawancara, Jakarta, 24 Agustus 2008.


Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al
Haitam, 2001).
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2003).
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, Cet I (Jakarta:Kencana, 2004).
J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,Bandung:
Penerbit Nuansa. 2006.
Jalaluddin, Teologi pendidikan, Cet 3, Jakarta: PT Raja grafindo, 2003.
Mashoedah,”Media Pembelajaran Huruf Braille,”
dariblog.uny.ac.id/mashoedah, 30 November 2008.
Muhaimin, Nuansa Baru pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006).
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi
Anak berkebutuhan Khusus, Cet
II,Jakarta: PT Rineka Cipta,2003
Qur’an Tajwid (Jakarta: Maghfirah
Pustaka, 2006) .
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terjemahan As’ad Yasin. Jakarta:
gema Insani press. 2001
Utami Munandar, Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat, cet I
(Jakarta: PT Rineka Cipta,1999).
Wall,W.D, Anak-anak cacat Yang menyimpang,Cet I,Diterjemahkan oleh R.
Bratantyo (Jakarta:Balai Pustaka)
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995).
Zuhairini, Abdul Ghafur, Slamet As. Yusuf, Metodik Khusus Pendidikan Agama,
(Usaha Nasional: Surabaya, 1983). http://sepucuktunasbangsa.blogspot.com/20
11/01/kurikulum-dan-pendidikaninklusif-bagi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_kh usus

Anda mungkin juga menyukai