Anda di halaman 1dari 24

Pelajar yang Tidak Biasa

Diajukan untuk memehuni tugas matakuliah Psikologi Pendidikan


Dosen Pengampu : Annisa Rizky Andriany, M.Psi.,Psikolog

Disusun oleh :

Abdillah Azzam Kamil 1908015051


Fawwaz Muhammad 1908015
Muhammad Zaki Muntaha 1908015056
Tommy Sugiarto 1908015197

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2021
Pelajar yang Tidak Biasa
1. Siapa Anak yang Menderita Ketidakmampuan Itu?
Kurang lebih 11 persen anak dari usia enam sampai tujuh belas tahun di AS mendapatkan
pendidikan atau pelayanan khusus. Tabel berikut menunjukkan perkiraan persentase
anak-anak yang mengalami gangguan, yang memperoleh pendidikan khusus (U.S.
Department of Education, 2000). Dalam kelompok ini, lebih dari se- paruhnya menderita
gangguan atau ketidakmampuan belajar (learning disability). Juga ada banyak murid
yang mengalami gangguan bicara atau bahasa (19 persen dari kelompok anak yang
menderita gangguan kemampuan), retardasi mental (11 persen), atau gangguan emosional
serius (8 persen).

Ketidakmampuan belajar 2.817.148 50,8%


Gangguan Bicara dan Bahasa 1.074.548 19,4
Retardasi Mental 611.076 11,0
Gangguan Emosional 463.262 8,4
“Gangguan Bermacam-macam” 107.763 1,9
Gangguan Pendengaran 70.883 1,3
Gangguan Ortopedik 69.495 1,3
Gangguan Kesehatan Lainnya 220.831 4,0
Gangguan Penglihatan 26.132 0,5
Autisme 53.576 1,0
Buta-Tuli 1.609 > 0,1
Cidera Otak Traumatik 12.933 0,2
Kelambatan Perkembangan 11.910 0,2
TOTAL 5.541.166

Table berikut mempersentasikan anak penderita ketidakmampuan yang mendapat pendidikan


khusus pada tahun ajaran 1998-1999. Anak yang menderita banyak gangguan (multiple
disabilities) dikelompokkan dalam satu golongan gangguan tersendiri.

Dahulu istilah “ketidakmampuan” (disability) dan “cacat” (handicap) dapat dipakai bersama-
sama, namun kini kedua istilah itu dibedakan. Disability adalah keterbatasan fungsi yang
membatasi kemampuan seseorang. Handicap adalah kondisi yang dinisbahkan pada
seseorang yang menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh
masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri (Lewis, 2002). Para pendidik lebih
sering menggunakan istilah “children with disabilities" (anak yang menderita
gangguan/ketidakmampuan) ketimbang “disabled children" (anak cacat). Tujuannya adalah
memberi penekanan pada anaknya, bukan pada cacat atau ketidakmampuannya. Anak-anak
yang menderita ketidakmampuan juga tidak lagi disebut sebagai “handicapped” (penyandang
cacat), walaupun istilah handicapping condition masih digunakan untuk mendeskripsikan
hambatan belajar dan hambatan fungsi dari seseorang yang mengalami ketidakmampuan.
Misalnya, ketika anak yang menggunakan kursiroda tidak memiliki akses yang memadai
untuk ke kamar transportasi, dan sebagainya, maka ini disebut sebagai handicapping
condition. Kita akan mengelompokkan ketidakmampuan dan gangguan (disorder) sebagai
berikut: gangguan organ indra (sensory), gangguan fisik, retardasi mental, gangguan bicara
dan bahasa, gangguan belajar (learning disorder), attention deficit hyper activity disorder, dan
gangguan emosional dan perilaku.

A. Gangguan Indera
Ketikdakmampuan yang disebabkan karena kerusakan penglihatan dan pendengeran.

Gangguan Penglihatan (Tuna Netra)


Tuna netra adalah kondisi seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan kurang
dari 6/21 atau anak yang hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh
orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter. Anak tuna netra bisa dikelompokkan
menjadi dua: buta dan low vision. Seseorang dikatakan buta jika sama sekali tidak
bisa menerima rangsang cahaya dari luas (visus=0) dan dikatakan low vision jika
masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar tetapi ketajamannya lebih dari
6/21 atau orang yang hanya mampu membaca headline surat kabar.
1. Klasifikasi anak tuna netra
Berdasarkan pemeriksaan secara klinik, anak dengan gangguan penglihatan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Buta, yaitu seseorang dengan ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 atau
yang bidang penglihatannya <20 derajat
b. Seseorang yang mampu melihat lebih baik dengan perbaikan ketajaman
penglihatan antara 20/70-20/200
Anak dengan gangguan penglihatan untuk keperluan pembelajaran dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu anak buta dan lemah penglihatan. Anak yang mengalami kebutaan dapat
mengoptimalkan indera yang lain dalam proses pembelajaran, sementara untuk anak dengan
lemah penglihatan dapat menggunakan sisa penglihatan untuk memperoleh keterampilan yang
dibutuhkan. Menurut Samuel A. Kirk dan Gallagher (dalam Muljono Abdurrachman dan Sudjadi
S, 1996:45) menggolongkan anak buta menjadi beberapa golongan antara lain:
a. Anak yang mengalami buta total atau yang memiliki persepsi cahaya sampai dengan
2/200 dan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya mampu melihat gerak tangganya
b. Anak yang mengalami buta dengan ketajaman penglihatan 5/200 pada jarak 3 kaki di
depannya tidak mampu menghitung jarinya
c. Orang dengan ketajaman penglihatan sampai 10/200 yang tidak dapat membaca huruf
besar seperti pada judul berita koran
d. Seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih namun tidak mampu
membaca huruf 10 point

2. Perkembangan kognitif anak tuna netra


Perkembangan kognitif erat hubungannya dengan kemampuan intelegensi dan
indera penglihatan. Melalui indera penglihatan, seseorang dapat dengan mudah
menerima informasi dari luar. Keterbatasan pada indera penglihatannya tidak
memungkinkan menerima rangsang dari luar melalui indera penglihatan. Namun,
adanya dorongan kebutuhan bagi anak tuna netra untuk mengenal dunia
menjadikan indera pendengaran dan menggambarkan tentang arah, sumber, jarak,
ukuran, bentuk, kedalaman, warna dan dinamikanya. Melalui indera penciuman,
anak tuna netra mampu mengenal seseorang, lokasi objek, dan membedakan
objek tersebut
3. Perkembangan motorik anak tuna netra
Perkembangan motorik anak tuna netra lebih lamban dibanding anak normal. Hal
ini dapat dilihat dari bagaimana cara anak tuna netra berjalan dan menggerakkan
tangan. Saat berjalan, anak dengan gangguan penglihatan tampak kaku, tegang,
lamban, pelan, was-was, memakai tangan untuk aktivitas yang belum familiar dan
gerak tubuh kurang harmonis.
Dalam perkembangan motorik sangat dibutuhkan koordinasi fungsional antara
neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot), fungsi psikis (kognitif,
afektif, dan konatif) dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Kondisi
sistem neuromuscular pada anak tuna netra bisa jadi tidak bermasalah, tapi fungsi
psikisnya terhambat sehingga akan mempengaruhi perkembangan motoriknya.
4. Perkembangan emosi anak tuna netra
Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan emosi seseorang adalah kematangan,
intelektual, kelenjar endokrin dan proses belajar. Anak dengan gangguan
penglihatan mengalami hambatan emosi karena kemampuan yang terbatas dalam
proses belajarnya. Pada masa awal kanak-kanak anak tuna netra mungkin
mencoba untuk menyatakan emosinya, namun tidak efisien dikarenakan anak tuna
netra tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara
tepat. Pola emosi yang dimiliki anak tuna netra ini mengakibatkan salah
penafsiran. Kondisi emosi anak tuna netra sulit untuk diketahui karena hambatan
bahasa yang dimiliki. Emosi anak tuna netra hanya dapat diamati melalui gerak
motorik dan ekspresi wajahnya.
Perkembangan emosi anak tuna netra semakin terhambat jika mengalami
deprivasi emosi, yakni keadaan di mana anak tuna netra kurang kesempatan untuk
menghayati pengalaman yang menyenangkan misalnya kasih sayang,
kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Apabila anak tuna netra mendapatkan
sikap kurang bersahabat dari lingkungan akan timbul pola emosi tidak seimbang,
negatif dan berlebihan seperti takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati
dan sedih berlebihan.
5. Perkembangan sosial anak tuna netra
Bagi anak tuna netra tidaklah mudah untuk bersosialisasi. Perkembangan sosial
anak tuna netra tergantung pada perlakuan dan penerimaan lingkungan baik
keluarga, sekolah maupun masyarakat. Hambatan dikarenakan keterbatasan
penglihatan sering mereka alami. Kurangnya motivasi, takut mengadapi
lingkungan, rendah diri, malu, acuh, kurangnya kesempatan untuk belajar
membuat perkembangan sosial anak tuna netra terhambat.
Masa sosialisasi anak tuna netra sesungguhnya terjadi pada saat sekolah. Saat
transisi anak tuna netra dari rumah ke sekolah sering menimbulkan masalah.
Ketidaksiapan mental anak tuna netra menghadapi berbagai sikap lingkungan
akan membuat kegagalan dalam mengembangkan kemampuan sosialisasinya dan
memunculkan sikap ketidakberdayaan, putus asa, menghindari kontak sosial,
menarik diri dan apatis.
6. Perkembangan kepribadian anak tuna netra
Kepribadian anak tuna netra masih sering di perdebatkan, banyak penelitian
menjelaskan ada kecenderungan anak tuna netra mengalami gangguan
kepribadian yang dicirikan seperti, introvesi, neurotic, frutasi, dan rigiditas
(kekakuan) mental. Namun demikian, terdapat penelitian yang menjelaskan tidak
terdapat perbedaan kepribadian anak tuna netra dengan anak awas. Gambaran
sifat anak tuna netra menurut Sukini Pradopo (dalam Sutjihati Soemantri,
1996:69) adalah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga. Sementara Sommer adalah
memiliki sifat takut berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri,
menyalahkan orang lain, tidak mengakui keterbatasannya.

Gangguan Pendengaran (Tuna Rungu)


Anak dengan gangguan pengdengaran sering di sebut dengan tuna rungu atau
hearing impairment. Seseorang di katakan tuna rungu apabila mengalami
kesulitan mendengar ringan sampai berat dan di golongkan ke dalam termasuk
tuli dan kurang dengar. Andreas dwidjosumarto (dalam Permanarian Somad dan
Tati Hernawati, 1996:29) menjelaskan bahwa anak tuna rungu adalah keadan
hilangnya pendengaran yang mangakibatkan seseorang tidak mampu untuk
menangkap berbagai rangsangan terutama yang berasal dari indera pendengaran.
Orang yang mengalami gangguan pendengaran total atau sebagian akan
mengalami gangguan komunikasi karena kurangnya perbendaharan bahasa.
Keterbatasan ini menimbulkan perasaan terasing pada diri anak tuna rungu.
Anak tuna rungu mengalami masalah pendengaran memiliki tiga kelainan, karena
tidak dapat mendengar, mereka menjadi kesulitan memahami bahasa saat
berkomunikasi dan tak bisa berpikir seperti anak normal (Chua dalam Jamila K.A.
Muhammad, 2008:65).
1. Klasifikasi anak tuna rungu
Menurut Samuel A. Kirk (dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati,
1996: 29), klasifikasi anak tuna rungu di bagi menjadi dua:
- Tuli, yakni jika mengalami kehilangan pendengaran sehingga menghambat
proses informasi bahasa melalui pendengaran baik, baik memakai alat
pendengaran atau tidak;
- Kurang dengar, yaitu bila seseorang mengalami kehilangan sebagian
pendengaran dan masih mempunyai sisa pendengaran bila memakai alat
bantu.
2. Perkembangan bahasa dan bicara anak tuna rungu
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia untuk melakukan hubungan
dengan sesama. Seseorang dapat saling bertukar pikiran dan mengambil
bagian dalam kehidupan sosial mereka. Bahasa memiliki fungsi penting
sebagai media untuk berkomunikasi. Bahasa dapat berperan antara lain:
a. Alat berhubungan dengan sesama
b. Alat mengungkapkan perasaan kebutuhan dan keinginan
c. Alat pengatur dan menguasai tingkah laku orang lain
d. Pemberian informasi untuk memperoleh pengetahuan
Perkembangan bahasa dan komunikasi anak tuna rungu tidak mungkin sampai
pada penguasaan bahasa melalui pendengarannya, melainkan melalui penglihatan
dan memanfaatkan sisa pendengaran bagi anak tuna rungu sebagian. Untuk anak
tuna rungu, berkomunikasi harus menggunakan semua aspek yang ada pada sang
anak. Media yang dapat digunakan untuk media komunikasi anak tuna rungu
antara lain:
a. Bagi anak tuna rungu yang memiliki sisa pendengaran dan mampu berbicara
tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana
penerimaan dari pihak anak tuna rungu
b. Menggunakan tulisan dan membaca
c. Menggunakan bahasa isyarat
3. Metode komunikasi anak tuna rungu
a. Metode oral
Metode oral adalah salah satu cara yang di gunakan untuk melatih anak
tuna rungu dapat berkomunikasi secara verbal dengan orang lain.
Tentunya hal ini memerlukan bantuan dari lingkungan sekitarnya.
b. Metode ujaran
Membaca ujaran adalah kegiatan pengamatan visual dari bentuk dan
gerakan bibir lawan bicara saat proses percakapan. Membaca ujaran juga
sering disebut dengan membaca bibir (lip readind). Saat membaca ujaran
sangat perlu untuk mengamati ekspresi muka lawan bicara dan
pengetahuan bahasa turut berperan. Namun, membaca ujaran memiliki
kelemahan antara lain:
1) Tidak semua bunyi terlihat melalui bibir.
Tidak semua huruf saat berkomunikasi dihasilkan oleh artikulator
karena bisa saja dihasilkan oleh artikulator bagian dalam mulut
misalnya k,x, dan s
2) Ada kesamaan bentuk pada bibir untuk beberapa huruf misalnya huruf
bilabial (p, b, m) dan dental (t, d, n)
3) Harus selalu berhadapan dengan lawan bicara dengan jarak tidak boleh
terlalu jauh
4) Penerangan harus cukup
5) Ucapan dan bentuk tata bahasa harus jelas
6) Saat berbicara tak boleh terlalu cepat atau lambat
7) Pengucapan kata tidak boleh di kulum atau di telan
Keterampilan membaca ujaran ini sebaiknya dimiliki sebelum berbicara dan berkembang pada
awal kehidupan anak. Saat belajar membaca ujaran hatus sabar dan tekun karena membaca
ujaran jarang menampakkan hasil dalam waktu singkat. Membaca ujaran sebaiknya memakai
kata-kata yang sudah dikenal dan memakai objek yang diminati anak serta materi belajar yang
singkat dan menarik perhatian anak.
c. Metode manual
Metode manual adalah cara mengajar anak tuna rungu untuk
berkomunikasi dengan orang lain menggunakan isyarat atau ejaan jari.
Menggunakan modalitas gesti-visual anak tuna rungu menangkap
informasi yang diberikan oleh orang lain, bahasa isyarat memiliki
beberapa komponen antara lain:
1) Ungkapan badaniah
Ungkapan badaniah adalah semua ekspresi badan, muka (mimik),
pantomimik, dan gesti yang dilakukan seseorang secara wajar dan
alamiah. meski ungkapan badaniah dapat digunakan sebagai media
komunikasi, namun tidak dapat digolongkan sebagai bahasa dalam arti
yang sebenarnya.
2) Bahasa isyarat lokal
Bahasa isyarat lokal adalah ungkapan dalam bentuk bahsa isyarat
konvensional yang berfungsi sebagai pengganti kata. Bahasa isyarat
asli pada umumnya dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a) Bahasa isyarat alamiah
Bahasa isyarat alamiah yaitu isyarat yang berkembang di kalangan
anak tuna rungu secara alamiah yang pengenalan dan pemakainnya
terbatas. Bahas isyarat alamiah biasanya dipakai di lingkungan
keluarga atau sekolah seperti di daerah Wonosobo, Santi Rama,
dan SLB lain yang memakai metode oral.
b) Bahasa isyarat konseptual
Bahasa isyarat konseptual banyak dipakai sebagai bahasa
pengantar di sekolah. Salah satu SLB di Indonesia yang memakai
bahasa ini adalah SLB/B Zinnia yang diberi nama BASINDO
(Bahasa Isyarat Indonesia). Bahasa isyarat konseptual memiliki
perbedaan dalam beberapa hal, yaitu dalam struktur bahasa,
perbendaharaan kata, dan peraturannya. Pemakaian bahasa isyarat
ini kurang diterima dalam pendidikan tuna rungu karena akan
membuat anak tuna rungu menguasai bahasa berbeda dari
masyarakat lain sehingga akan menghambat penyesuaian dengan
masyarakat luas.
3) Bahasa isyarat formal
Bahasa isyarat formal adalah bahasa nasional dalam isyarat yang
memakai kosa kata isyarat dengan struktur bahasa sama persis dengan
bahasa lisan. Bahasa isyarat formal dikembangkan sejak tahun 1970-
an untuk mengatasi kelemahan bahasa isyarat konseptual.
d. Ejaan jari
Ejaan jari atau abjad jari adalah salah satu komponen yang
menunjang terhadap terhadap bahasa isyarat. Beberapa hal yang perlu
diketahui dalam abjad jari antara lain:
1) Jenis ejaan
Ejaan jari dibedakan menjadi tiga jenis:
a) Ejaan jari menggunakan satu tangan (oneheanded)
Thomas Hopkin Gallaudet adalah toko yang mengambangkan
ejaan jari di Amerika, yang secara resmi dinamai American
Manual Alphabet. Adapun di Prancis ejaan jari dipakai oleh
pengikut De’L Epee yaitu Sicard
b) Ejaan jari menggunakan dua tangan (twoheanded)
Sistem ejaan jari memakai dua tangan sesungguhnya telah
dikembangkan ratusan tahun lalu di London. Setelah berkembang
lantas dipakai oleh berbagai negara seperti Inggris, Australia,
India, Scotlandia, dan negara Persemakmuran Inggris lainnya.
c) Ejaan jari campuran aitu perpaduan menggunakan satu tangan dan
dua tangan
2) Implikasi ejaan jari dalam pendidikan
Sistem ejaan jari meliputi kegiatan ekspresif (mengungkapkan pesan)
dan reseptif (menerima pesan) dari orang lain dengan membaca jari.
Beberapa masalah dan implikasi dari sistem ejaan jari antara lain:
a) Sistem ejaan jari sebagai media komunikasi
Sistem ejaan jari bagi anak tuna rungu tidak hanya menjadi kode
bahasa tetapi juga menjadi media komunikasi ketiga yang di kuasai
oleh anak setelah bahasa lisan dan bahasa tulisan.
b) Sistem ejaan jari sebagai media penguasaan bahasa
Ejaan jari dapat membantu anak tuna rungu secara visual
memahami bahasa dan sebagai pelengkap dalam kemampuan
membaca ujaran. Rochester (dalam Permanarian Somad dan Tati
Hernawati, 1955:161) menjelaskan bahwa pemakaian ejaan jari
dapat digunakan setelah anak yang mengalami keterbatasan
pendengaran mencapai taraf penguasaan bahasa dan membaca
ujaran.

3) Ejaan jari berfungsi untuk menunjang perkembangan kemampuan


membaca dan menulis
Anak tuna rungu akan terbantu dalam perkembangan bahasa jika
sudah menguasai ejaan jari. Penguasaan ejaan jari sedikit banyak juga
akan menunjang kemampuan anak tuna rungu dalam membaca dan
menulis. Ejaan jari adalah pelengkap untuk mengisyaratkan kata-kata
yang belum ada dan tidak dapat diisyaratkan.

4. Perkembangan kognitif anak tuna rungu


Intelegensi yang dimiliki anak tuna rungu pada hakekatnya berpotensi sama
dengan anak normal, namun karena keterbatasan dalam pendengaran
memengaruhi kemampuan berbahasa, keterbatasan informasi dan daya
abstraksi anak. Pada umumnya tingkat kerendahan intelegensi anak tuna
rungu bukan berasal dari intelektualnya yang rendah namun disebabkan
intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Membimbing
anak tuna rungu meningkatkan kemampuan berbahasa akan membantu
perkembangan intelegensi anak tuna rungu.
Para ahli berbeda pendaoat tentang kemampuan intelektual anak tuna rungu.
Beberapa ahli menyatakan bahwa kemampuan kognitif berhubungan erat
dengan bahasa, sementara ahli yang lain berpendapat bahwa tingkat
intelegensi anak tuna rungu tidak harus lebih rendah dari anak normal. Fruth
yang dikutip oleh Sri Murdiani (1987:32) menyatakan bahwa anak tuna rungu
menunjukkan kelemahan memahami konsep berlawanan dan konsep
berlawanan tersebut sangat tergantung dari pengalaman bahasa, misalnya
panas-dingin
5. Perkembangan emosi anak tuna rungu
Keterbatasan berbahasa anak tuna rungu sering menyebabkan salah penafsiran
ke arah negatif. Hal ini berakibatkan adanya tekanan emosi bagi mereka yang
menimbulkan sikap menutup diri, bertindak agresif, dan memperlihatkan
kebimbangan.
6. Perkembangan sosial anak tuna rungu
Anak tuna rungu juga memerlukan interaksi dengan sesama. Namun
keterbatasan dalam menerima dan menyampaikan informasi membuat tingkat
keberterimaan yang rendah dari teman sebayanya. Penilaian anak tuna rungu
sebagai orang yang kurang dalam berkarya membuat mereka merasa kurang
berharga sehingga suka menyendiri dan memiliki sifat egosentris.
7. Perkembangan kepribadian anak tuna rungu
Kepribadian anak tuna rungu dapat dilihat dari penyesuaian mereka dengan
lingkungan karena pada hakikatnya kepribadian adalah keseluruhan sikap dan
sifat seseorang yang menentukan cara-cara yang unik dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Perkembangan kepribadian anak tuna rungu adalah
pertemuan beberapa aspek dalam diri mereka yaitu ketidakmampuan
menerima rangsang pendengaran, kemiskinan dalam berbahasa,
ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi sehingga menghambat
perkembangan kepribadian.

B. Gangguan/Ketidakmampuan Fisik
Fisik adalah faktor penting dalam pembentukan gambaran tubuh dan dalam
perkembangan self-concept. Seseorang yang memiliki keterbatasan motorik dan fisik
akan mempengaruhi gambaran diri seseorang. Tuna daksa sering diartikan sebagai
keadaan yang rusak atau terganggu karena gangguan bentuk atau hambatan tulang,
otot, sendi dalam fungsinya yang normal. Tuna daksa dalam kepustakaan asing
disebut dengan Physical and health impairment dikarenakan gangguan fisik juga ada
kaitannya dengan kesehatan seperti cerebral palsy, epilepsi dan spina bifida. Keadaan
tuna daksa dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan.
Krik (1962:p.242) menjelaskan bahwa kesalahan pada otak baik luka atau infeksi
dapat mengakibatkan kelainan pada fisik, emosi atau fungsi mental. Anak tuna daksa
dapat di kelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelainan sistem serebral (cerebral
system) dan kelainan sistem otot dan rangka (musculoskeletal system).

1. Klasifikasi
Penggolongan anak tuna daksa berdasarkan jenis gangguan atau kerusakan fisik
yang dialami dan kesehatan dibedakan menjadi:
a. Cerebral plasy, yaitu ketidakmampuan fungsi motorik yang diakibatkan oleh
kerusakan otak.
b. Spina bifida, yaitu keadaan dimana terjadi kerusakan bawaan pada
perkembangan urat syaraf tulang belakang.
c. Muscular dystrophy, yaitu suatu keadaan melemahnya dan mengurusnya otot-
otot tubuh sedikit demi sedikit.
d. Osteogenesis imperfecta, yaitu kondisi tulang yang tidak sempurna. Biasanya
karena keturunan yang ditandai tulang mudah patah, pertumbuhan kerangka
tulang tidak sempurna.
e. Epilepsi, yaitu kegiatan elektrik yang tak normal pada otak dan dapat
mengganggu gerak anak, penglihatan, tingkah laku dan kesadaran.

2. Perkembangan kognitif anak tuna daksa


Telah dilakukan berbagai macam tes untuk mengetahui tingkat intelegensi anak
tuna daksa seperti Standford-Binet, WISC dan CPM. Beberapa jenis tes lain yang
telah dimodifikasi misalnya Haeussermann Test (untuk anak tuna grahita ringan),
Illiois Test (The Psycholinguistic Ability), Peabody Picture Vocabulary Test.
Namun demikian, menentukan tingkat intelegensi bagi anak tuna grahita tetaplah
sulit karena jenis keterbatasan anak tuna daksa berbeda-beda. Ada anak tuna
daksa yang lemah dalam persepsi, sebagian lain lemah dalam bicara dan ada yang
lemah dalam peragaan. Jenis tes yang dibutuhkan anak tuna daksa juga berbeda-
beda. Beberapa anak cocok dengan tes peragaan, tetapi anak yang lain hanya
cocok dengan tes lisan.
Berikut ini adalah hasil penelitian terhadap 148 anak tuna daksa berusia 3-16
tahun yang dilakukan Lee (dalam Sutjihati Soemantri, 1996:105) dengan
menggunakan test Binet:
a. IQ anak tuna daksa berkisar 35-138
b. IQ rata-rata (mean) anak tuna daksa 57
c. Anak polio memiliki rata-rata intelegensi IQ 92
d. IQ rata-rata anak TBC 88
e. Anak berkelainan konginental rata-rata IQ 61
f. IQ rata-rata anak spastik 69
g. Anak yang berkelainan pada pusat syaraf rata-rata IQ 74
Sebagian anak tuna daksa yang mengalami keterbatasan tidak langsung mengaruhi
kesulitan belajar dan perkembangan intelegensinya. Hal ini berbeda dengan anak
Cerebral Palsy, keterbatasan yang dimiliki secara langsung mempengaruhi proses belajar,
perkembangan intelegensi, komunikasi persepsi dan kontrol gerak.
3. Perkembangan bahasa dan bicara anak tuna daksa
Perkembangan bahasa dan bicara anak tuna daksa berbeda-beda. Pada anak polio,
perkembangan bahasa dan bicaranya tidak jauh berbeda dengan anak normal. Hal
ini berbeda dengan anak cerebral palsy yang mengalami gangguan bicara karena
keterbatasan dalam koordinasi gerak motorik organ bicaranya akibat kerusakan
atau kelainan sistem neuromotor sehingga mengakibatkan kesulitan artikulasi,
phonasi dan sistem respirasi. Anak cerebral palsy biasanya mengalami gangguan
psikologik, mudah tersinggung, merasa terasing dari lingkungan, dan kurang
berkonsentrasi.
4. Perkembangan emosi anak tuna daksa
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ke-tuna-daksaan terjadi
sangat mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak yang mengalami
keterbatasan fisik sejak kecil perkembangan emosinya lebih stabil dari pada anak
yang mengalami kelainan fisik saat dewasa.
5. Perkembangan sosial anak tuna daksa
Perkembangan sosial anak tuna daksa sangat tergantung dengan sikap keluarga
dan lingkungan terhadap anak tuna daksa. Orang tua yang terlalu melindungi
(over protection) atau bahkan menolak kehadiran (rejection) dapat menimbulkan
rasa ketergantungan, takut, dan cemas menghadapi lingkungan. Hal ini tentunya
tidak baik untuk anak tuna daksa.
6. Perkembangan kepribadian anak tuna daksa
Masalah kepribadian anak tuna daksa pada dasarnya sama dengan anak normal.
Anak tuna daksa memerlukan konsep diri yang baik agar memiliki kepribadian
yang baik pula. Sehubungan dengan kepribadian atau penyesuaian diri, anak tuna
daksa memiliki dua permasalahan antara lain:
a) Penyesuaian diri dalam mempertahankan konsep diri yang baik dan
memperluas ruang gerak sang anak
b) Problem dalam memahami bahwa tuna daksa adalah hambatan yang dapat
dipecahkan untuk mencapai tujuan

C. Retardasi Mental
Retardasi Mental (tuna grahita) adalah istilah untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Secara harfiah tuna berarti merugi dan grahita adalah
pikiran. Kauffman dan Hallahan (dalam Sutjihati Somantri, 1996:84) menyebut bahwa
keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata yang disertai
ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan. Adapun
AAMD menjelaskan bahwa retadasi mental adalah kondisi intelektual di bawah rata-rata dengan
IQ dibawah 84 yang muncul sebelum usia 16 tahun dan menunjukkan adanya hambatan dalam
perilaku adaptif.
1. Klasifikasi
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, Geneva tahun
1994. Klasifikasi retardasi mental tergolong menjadi 4, yaitu:

Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-70


Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik (educable). Anak
mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara
sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri
secara independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung
kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan
utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam
membaca dan menulis. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan
akademik, mereka tidak ada masalah. Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial,
akan terlihat bahwa mereka mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah
perkawinan atau mengasuh anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya.
Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih (trainable). Pada
kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan
bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan
ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan
pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih bisa belajar
dasardasar membaca, menulis dan berhitung.
Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental sedang dalam hal
gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama
adalah pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motor yang bermakna
atau adanya defisit neurologis.
Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas kemampuannya dalam
mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal
mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.

2. Perkembangan kognitif anak tuna grahita


Kognisi menurut Mussen, Conger, dan Kagan (dalam Sutjihati Somantri, 1996:90) adalah
perpaduan paling sedikit dari lima proses yaitu persepsi, memori, pemunculan ide-ide,
evaluasi, penalaran, dan proses-proses sejumlah unit yaitu skema, gambaran, simbol,
konsep, dan kaidah-kaidah. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa meski anak tuna
grahita memiliki mental age (MA) yang sama dengan anak normal, keterampilan
kognitifnya berbeda. Karena anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam
memecahkan masalah, sedangkan anak tuna grahita bersifat trial dan eror.
Keakuratan anak tuna grahita dalam memberikan respon juga kurang dari anak normal.
Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjawab soal. Proses belajar-
mengajar anak tuna grahita pun jauh lebih baik jika memakai mediasi modelling dan
latihan terdistribusi. Berkaitan dengan memori, anak tuna grahita berbeda dengan anak
normal pada short term memory dan immediate memory, sedangkan dalam long term
memory keduanya tampak tidak jauh berbeda.
3. Perkembangan bahasa anak tuna grahita
Myklebust mengartikan bahasa sebagai perilaku simbolik yang mencakup kemampuan
mengikhtisarkan, memakai kata-kata yang berarti dan menggunakan kata-kata tersebut
untuk berfikir dan mengeskpresikan ide, maksud, dan perasaan. Selain itu, Myklebust
juga mengemukakan lima tahapan abstraksi yang meliputi sensori, persepsi,
perumpamaan, simbolisasi dan konseptualisasi yang saling melengkapi dan berhubungan
langsung dengan pengalaman.
Perkembangan bahasa memiliki 3 tahapan, yaitu:
a) Inner language
Inner language adalah aspek bahasa yang pertama berkembang dan muncul kira-kira
pada usia 6 bulan. Pada tahap ini muncul perkembangan konsep sederhana seperti dapat
memahami hubungan yang lebih kompleks, bermain dalam situasi yang bermakna, dapat
menyusun perbot dalam rumah-rumahan.
b) Receptive language
Receptive language akan muncul saat anak berusia 8 bulan. Anak sedikit demi sedikit
mulai mengerti apa yang dikatakan orang kepadanya. Anak akan merespon apabila
namanya di panggil dan mulai mengerti dengan perintah. Menjelang umur 4 tahun anak
lebih mahir mendengar selanjutnya proses penerimaan memberikan perluasan kepada
sistem bahasa verbal
c) Expressive language
Aspek perkembangan bahasa yang terakhir adalah bahasa ekspresif; kira-kira muncul saat
anak berusia satu tahun. Perkembangan bahasa erat hubungannya dengan kognisi. Hal ini
salah satu yang mengakibatkan perkembangan kognisi anak tuna grahita terhambat dan
lebih lamban dibanding anak normal. Anak tuna grahita lebih banyak memakai kata-kata
positif dan berbentuk tunggal, sering memakai kata-kata umum, dan jarang memakai kata
ganti. Anak tuna grahita umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan
ritme.
4. Perkembangan emosi sosial dan kepribadian anak tuna grahita
Perkembangan emosi anak tuna grahita tidaklah sebaik anak normal. Bagi anak tuna
grahita (berat) tidak dapat mengekspresikan emosinya dengan baik. Pada anak tuna
grahita (sedang) emosinya terbatas pada emosi-emosi sederhana. Anak tuna grahita
(ringan) mampu memperlihatkan emosi yang dirasakan namun tidak sekaya anak normal.
Anak tuna grahita mampu mengekspresikan kesedihan tetapi sukar mengekspresikan rasa
terharu. Mereka mampu mengekspresikan rasa gembira namun sulit mengungkapkan
kekaguman.
Penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Children’s Personality
Questionare menjelaskan bahwa anak tuna grahita memiliki beberapa keterbatasan: Pada
naak tuna grahita pria ditunjukkan dengan tidak matangnya emosi, depresi, bersikap
dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang dan merusak. Pada anak tuna
grahita wanita ditunjukkan dengan mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang
bisa menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan. Anak tuna grahita sangat
tergantung pada orang lain. Berbeda dengan anak normal, anak tuna grahita sering ditolak
dalam kelompok dan kurang memahami posisinya dalam kelompok. Dalam berteman
anak tuna grahita memiliki kecenderungan berteman dengan yang lebih muda dari
usianya, tanggung jawab sosial tidak mampu di pikul dengan bijaksana.

D. Gangguan Bicara dan Bahasa


Gangguan berbicara mempengaruhi bagaimana seseorang berbicara. Orang yang mengalami
gangguan berbicara sebenarnya tahu apa yang akan disampaikannya, namun mereka
mengalami kesulitan dalam memproduksi bunyi yang mengakibatkan komunikasinya
terganggu. Dalam studi tentang gangguan bahasa dan bicara (Speech Language Pathology),
secara umum gangguan berbicara meliputi, gangguan kefasihan, gangguan artikulasi, dan
gangguan suara dan problem bahasa (seperti kesulitan menerima informasi dan
mengekspresikan bahasa).
1. Gangguan Kefasihan
Penderita yang mengalami gangguan kefasihan berbicara (Fluency disorder) biasanya
mengalami kegagapan, pengulangan kata-kata, latah, atau memperpanjang bunyi,
silaba, atau kata tertentu. Gangguan kefasihan umum terjadi pada anak-anak, misalnya
menambahkan bunyi ‘oh’, mengganti kalimat (seperti ‘mama pergi – mama kepasar),
mengulangi frasa (seperti ‘aku mau permen’). Seiring bertambahnya usia dan
pengetahuannya tentang bahasa, gangguan kefasihan tersebut bisa hilang. Namun
demikian, gangguan tersebut bisa saja bertahan hingga dewasa yang dapat
menghambatnya dalam interaksi sosial.

Gagap biasanya diderita oleh anak-anak dan biasanya hilang seiring pertambahan
usianya. Namun demikian, tidak sedikit orang dewasa yang menderita gagap. Orang
yang gagap sebenarnya tahu bahwa tuturan yang dihasilkannya tidak benar, namun
mereka tidak mampu mengendalikan ujarannya. Selain gangguan komunikasi, orang
yang mengalami kegagapan juga dapat mengalami gangguan psikologis seperti minder
dan enggan bergaul.

Belum ada yang tahu penyebab yang pasti mengapa seseorang mengalami kegagapan.
Namun, para ahli menemukan bahwa 50% penderita gagap memiliki riyawat anggota
keluarga yang mengalami kegagapan. Hal ini menunjukan bahwa gagap merupakan
gangguan yang dibawa secara genetis. Para peneliti tersebut juga menemukan bahwa
laki-laki lebih banyak menderita gagap dari pada perempuan. Selain gagap, gangguan
kefasihan juga dapat berupa gangguan psikogenik seperti berbicara manja, berbicara
kemayu, dan latah.
2. Gangguan artikulasi
Artikulasi bunyi melibatkan organ bicara seperti lidah, gigi, bibir, dan palatal. Gangguan
artikulasi dapat diakibatkan oleh kangker mulut dan tenggorokan, kecelakaan, bawaan
lahir (seperti tanda lahir), atau faktor lain yang mengakibatkan rusaknya organ bicara.
Orang yang mengalami gangguan artikulasi biasanya bermasalah dalam melafalkan
bunyi atau melafalkan bunyi dengan keliru. Perubahan bunyi b menjadi w, seperti pada
pelafalan ‘wambut’ untuk kata ‘rambut’, penghilangan bunyi, seperti pada pelafalan
‘and’ untuk kata ‘hand’, salah pengucapan, seperti pada pelafalan ‘tsutsu’ untuk kata
‘susu’. Beberapa kesalahan artikulasi juga dipengaruhi oleh faktor bahasa ibu dan dialek
daerah.

Gangguan artikulasi pada anak-anak masih dianggap normal, namun seiring


perkembangannya, jika gangguan artikulasi masih terjadi, maka hal tersebut sudah
dapat dianggap sebagai sebuah kelaianan atau penyakit. Walaupun gangguan artikulasi
pada anak-anak tidak menghambatnya dalam berkomunikasi, namun pada usia sekolah
biasanya mereka menjadi bahan tertawaan teman-temannya.

Selain faktor organ wicara, faktor neurologis juga dapat mengakibatkan gangguan
artikulasi. Dysarthria adalah gangguan motorik yang diakibatkan oleh lesi pada otak di
daerah yang bertanggung jawab untuk perencanaan, eksekusi, dan pengendalian
gerakan oto yang dibutuhkan untuk berbicara. Dysarthria umumnya ditemukan pada
orang yang pernah mengalami stroke, tumor, dan penyakit degenerative seperti
Parkinson. Orang yang mengalami Dysarthria biasanya mengalami serak atau parau,
bahkan tidak dapat berbicara sama sekali. Penderita biasanya berbicara pelan, tidak
jelas, dan sulit dimengerti karena kesalahan artikulasi konsonan. Indikasi lain Dysarthria
biasanya penderita berbicara melalui hidung dan seperti bergumam. Namun demikian,
gejalanya tergantung pada lokasi dan kadar kerusakan sistem saraf.

Gangguan saraf lain yang dapat menimbulkan gangguan bicara adalah Apraxia atau
dikenal dengan motorik-fonetik, yaitu gangguan yang diakibatkan oleh kerusakan bagian
otak yang berhubungan dengan proses biacara yang mengakibatkan ketidakmampuan
menerjemahkan bentuk gramatikal kedalam susunan fonetik yang benar.Penderita
biasanya mengalami kesulitan, susunan fonetis, irama dan waktu, atau berbicara
sesuatu yang berbeda dari yang dimaksudkannya.

Apraxia pada anak-anak (Developmental Apraxia of Speech), ditandai dengan


keterlambatan bicara. Anak-anak yang mengalami gangguan ini tidak melewati tahap
babbling. Seiring bertambahnya usia, pada saat dewasa mereka mengalami kesulitan
dalam mengucapkan frasa yang atau kalimat yang panjang. Anak yang mengalami
masalah dengan kemampuan otaknya dalam pengolahan dan penyampaian sinyal yang
dibutuhkan untuk berbicara. Diantara faktor yang menyebabkan keterlambatan bicara
pada anak antara lain, gangguan pedengaran, gangguan pada otot bicara, keterbatasan
kemampuan kognitif, mengalamai gangguan pervasive, dan kurangnya komunikasi dan
interaksi dengan orang tua dan lingkungannya. (Sastra, 2011)

Apraxia pada orang dewasa (Acquire Apraxia) agak berbeda dengan Apraxia pada anak-
anak karena mereka telah memiliki bahasa. Gangguan pada orang dewasa biasanya
ditandai dengan ketidakmampuannya dalam menyusun kata atau silaba dengan benar.
Mereka biasanya sadar akan kesalahannya dan berusaha mengulangi tuturannya
dengan benar, seperti pada contoh berikut ini

O-o-on . . . on . . . on our cavation, cavation, cacation . . oh darn . . . vavation, oh, you


know, to Ca-ca-caciporenia . . . no, Lacifacnia, vafacnia to Lacifacnion.... On our vacation
to Vacafornia, no darn it . . . to Ca-caliborneo . . .

Apraxia pada orang dewasa dapat disebabkan oleh stroke, tumor, atau penyakit lain
yang dapat mempengaruhi otak.

Apraxia pada orang dewasa


(Acquire Apraxia) agak berbeda
dengan Apraxia pada
anak-anak karena mereka
telah memiliki bahasa.
Gangguan pada orang dewasa
biasanya ditandai dengan
ketidakmampuannya dalam
menyusun kata atau silaba
dengan benar. Mereka biasanya
sadar akan kesalahannya dan
berusaha mengulangi
tuturannya dengan benar,
seperti pada contoh berikut ini
3. Gangguan suara
Gangguan suara meliputi gangguan nada, gangguan kualitas bunyi, dan gangguan
kenyaringan. Gangguan suara biasanya dapat berupa kemonotanan nada, parau, serak,
bunyi yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, atau kualitas bunyi nasal seseorang.
Gangguan suara dapat diakibatkan oleh, kecelakaan, kerusakan atau penyakit pada
tenggorokan. Kerusakan atau penyakit pada tenggorokan dapat menyebabkan pita
suara tidak bekerja dengan baik sehingga menyebabkan ngangguan suara.

Spasmodic dysphonia merupakan gangguan suara disebabkan oleh kejangnya pita suara.
Hal tersebut menggangu aliran udara pada pita suara sehingga menghasilkan bunyi
tersendat, gemetar, suara merintih. Kejang pada pita suara juga dapat menyebabkan
Aphonia (hilangnya suara), puberphonia (rentang suara yang sangat tinggi) dan
dysphonia (penurunan kualitas suara).

4. Gangguan bahasa
Gangguan bahasa adalah kerusakan signifikan dalam bahasa seperti reseptif atau bahasa
ekspresif anak. Gangguan bahasa dapat menyebabkan problem belajar serius (Bernstein
& Tiegerman-Farber, 2002). Perawatan oleh ahli terapi bahasa biasanya bisa
memperbaiki gangguan bahasa si anak, namun problem ini biasanya tidak bisa hilang
sama sekali (Goldsten & hockenberger, 1991).
Gangguan bahasa mencakup tiga kesulitan:
a. Kesulitan menyusun pertanyaan untuk memperoleh informasi yang diharapkan
b. Kesulitan memahami dan mengikuti perintah lisan
c. Kesulitan mengikuti percakapan, terutama ketika percakapan itu berlangsung cepat
dan kompelks.
Kesulitan-kesulitan ini berkaitan dengan gangguan bahasa reseptif maupun ekspresif.

Bahasa reseptif adalah penerimaan dan pemahaman atas bahasa. Anak menderita gangguan
bahasa reseptif akan kesulitan untuk menerima informasi. Informasi masuk tetapi otak akan
sulit untuk memprosesnya secara efektif, yang menyebabkan anak kelihatan cuek atau
bengong saja.

Bahasa ekspretif berkaitan dengan kemampuan menggunakan bahasa untuk


mengekspresikan pikiran dan berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa anak bisa dengan
mudah memahami apa yang diucapkan orang lain, namun mereka kadang kesulitan untuk
memberi tanggapan atau mengekspresikan pendapatnya. Problem dalam pembicaraan ini
adalah gangguan yang umum terjadi. Ada beberapa ciri anak yang menderita gangguan
bahasa ekspresif oral (Boyles & Contadino, 1997):
a. Mereka mungkin tampak malu dan menahan diri, dan punya problem dalam
berinteraksi secara sosial
b. Mereka mungkin menunda memberi jawaban
c. Mereka mungkin kesulitan menemukan kata yang tepat
d. Pemikiran mereka mungkin ruwel dan tidak tertata, sehingga memusingkan
pendengarnya.

E. Gangguan Spektrum Autisme


Autisme adalah kondisi orang yang memiliki perhatian pada dunianya sendiri.
Autisme berasal dari kata autos artinya diri sendiri dan isme artinya paham. Autis
memiliki beberapa istilah: autism, autistic child, autistic disorder, PDD (Pervasive
Development Disorder/Autism Spectrum Disorders), PDD-NOS (Pervasive
Developmental Disorder Not Otherwise Specified-atypical). Asperger (Sindrom
Asperger), MSDD (Multisystem Development Disorder). Gejala autis dapat dilihat
sebelum anak berusia 3 tahun yang ditandai gejala seperti gangguan komunikasi,
interaksi, indrawi, pola bermain, dan perilaku emosi.
Bayi yang mengalami autis akan menolak sentuhan orang tua, tidak merespon
kehadiran orang tua, dan melakukan kebiasaan yang tidak dilakukan oleh bayi
normal. Sebagian anak autis juga mengalami gejala negatif skizofernia seperti
menarik diri dari lingkungan dan lemah dalam berfikir saat menginjak dewasa. Autis
timbul bersamaan dengan gangguan psikiatrik lain seperti sindrom Tourettes, obsesif-
kompulsif dan gangguan bipolar.

1. Aspek komunikasi anak autis


Anak autis memiliki beberapa permasalahan komunikasi:
a. Perkembangan bahasa lambat
b. Tidak memperhatikan perkataan orang lain
c. Anak autis jarang berbicara
d. Sulit untuk mengajaknya bicara
e. Kadang dapat mengatakan sesuatu namun hanya sebentar
f. Jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan
g. Suka mengucapkan bahasa yang tak bisa dipahami orang lain
h. Meniru perkataan orang lain
i. Dapat meniru kalimat atau lagi tanpa mengerti maksudnya
j. Suka menarik tangan orang lain jika menginginkan sesuatu.
2. Aspek interaksi sosial anak autis
a. Tidak suka berkumpul dengan orang lain
b. Menghindari kontak mata dan pandangan dengan orang lain
c. Suka menolak ajakan teman untuk bermain bersama
d. Suka duduk memojok dan tidak membaur dengan teman.
3. Gangguan indera anak autis
a. Sensitif dengan sentuhan
b. Tidak suka untuk dipeluk dan dipegang
c. Sensitif dengan bunyi terutama yang keras
d. Suka menjilat dan mencium benda disekitarnya
e. Kurang sensitif pada rasa sakit dan tidak memiliki rasa takut.
4. Pola bermain anak autis
a. Tidak suka bermain dengan teman seusianya
b. Tidak suka bermain mengikuti pola biasa
c. Menyukai benda yang berputar
d. Selalu membawa dan memegang objek yang disukai.
5. Tingkah laku anak autis
a. Bersekip hipoaktif atau hiperaktif
b. Melakukan gerakan sama dan selalu diulang-ulang
c. Kurang menyukai perubahan
d. Dapat duduk diam dan tanpa reaksi apapun.
6. Aspek koginif anak autis
Sebagian besar anak autis (75%) memiliki keterlambatan mental tetapi 10% justru
tergolong anak jenius. Anak autis yang jenius memiliki bakat dalam bidang
musik, seni, atau berhitung.
7. Emosi anak autis
a. Suka memperlihatkan emosi tanpa sebab misalnya menangis dan marah tanpa
sebab
b. Merusak objek disekitarnya jika emosi terganggu
c. Menyerang siapa saja yang mendekati saat emosi terganggu
d. Suka melukai diri sendiri
e. Tidak memiliki rasa simpati terhadap orang lain
f. Tidak memahami perasaan orang lain
8. Pengelompokkan anak autis
Secara garis besar anak autis dikelompokkan menjadi 3:
a. Autis persepsi
Autis persepsi adalah autis yang timbul sebelum lahir. Autis persepsi juga
sering disebut autis asli atau autis internal endogenous. Gejala yang bisa
diamati dari munculnya autis persepsi antara lain:
1) Muncul kecemasan karena rangsangan dari luar yang membuat tubuh
mengadakan mekanisme dan pertahanan yang akhirnya timbul
permasalahan baru
2) Apabila orang tua kurang tepat atau kebingungan dalam meberikan
tanggapan atas perilaku yang ditunjukkan anak akan dapat mengakibatkan
reaksi penolakan dari anak
3) Setelah terjadi penolakan dan sikap masa bodoh anak akan timbul
keinginan orang tua untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang
anak alami
4) Timbulnya sikap saling menyalahkan orang tua.
b. Autis reaktif
Anak yang mengalami autis reaktif sering membuat gerakan berulang-ulang
dan terkadang disertai dengan kejang. Gejala yang dapat diamati pada anak
autis reaktif adalah:
1) Terlihat sejak anak usia berusia 6-7 tahun sebelum anak memasuki tahap
psikologis
2) Mudah tersinggung dan rapuh terhadap permasalahan
c. Autis yang timbul kemudian
Autis ini timbul setelah anak agak besar. Memberikan bantuan latihan atau
pendidikan terhadap jenis autis ini sangatlah sulit karena anak sudah
mengalami pengalaman baru dan adanya kelainan jaringan otak sejak lahir.

F. Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) merupakan kelainan neurobehavioral yang


paling sering terjadi pada anak-anak, yang juga merupakan suatu keadaan kronis yang paling
sering berpengaruh pada anak-anak usia sekolah, dan merupakan gangguan mental yang
sering ditemukan pada anak-anak.
ADHD ditandai oleh 3 gejala utama yaitu inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Gejala
yang satu bisa jadi menonjol dibandingkan gejala lainnya, atau bisa juga terjadi kombinasi
dari gejala-gejala tersebut.

1. Definisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder


Menurut MIF Baihaqi (2008;2) ADHD di definisikan sebagai berikut:
Kondisi anak yang memperlihatkan simton-simton (ciri atau gejala) kurang
konsentrasi, hiperaktif, dan impulsive yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan
sebagian besar aktivitas mereka.
Sedangkan American Psychiatric Association (1994), dalam Djaja Rahardja (2006:102)
mengungkapkan definisi ADHD sebagai berikut:
Beberapa anak mempunyai masalah yang berat untuk mempertahankan
perhatiannya pada tugas-tugas, baik yang di berikan sekolah maupun diluar sekolah.
Anak-anak seperti ini diklasifikasikan sebagai anak yang mempunyai kelainan kurang
perhatian/attention deficit disorder (ADD). Anak-anak seperti ini juga sering
menunjukkan perilaku yang tidak mau diam (Hyperaktif), sehingga istilah kelainan
kurang perhatian dan hyperaktifitas/attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
2. Penyebab Attention Deficit Hyperactivity Disorder
Penyebab secara pasti timbulnya ADHD tidak dapat diketahui secara pasti, namun
demikian para ahli melakukan eksplorasi beberapa kemungkinan penyebab terjadinya
ADHD sebagai berikut:
a. Disfungsi Neurologis
Menurut Berquin et al (1998) dalam Djaja Rahadrja (2006:102) mengungkapkan
bahwa: Perbedaan anatomis dan adanya ketidakseimbangan kimia di dalam otak
adalah kemungkinan terjadinya ADHD.
b. Faktor Keturunan
Menurut Faraone & Doyle (2001) dalam Djadja Rahardja (2006:103), anak-anak yang
memiliki ADHD dua sampai delapan kali lebih kemungkinannya mempunyai orang
tua yang menunjukkan ADHD.
c. Faktor Lingkungan
Berbagai Kecelakaan yang terjadi baik sebelum, pada saat, atau sesudah kelahiran
dimungkinkan dapat menyebabkan ADHD. Faktor lingkungan yang lain adalah ibu
yang kecanduan alkohol atau rokok, bayi yang dilahirkan kurang berat badan, dan
bayi yang dilahirkan prematur.
3. Gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder
Diagnosis terkini ADHD menggunakan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fifth Edition (DSMV) yaitu terdapat gejala yang persisten dari inatensi
dan/atau hiperaktivitas dan impulsivitas yang mempengaruhi fungsional dan
perkembangan, dengan salah satu atau dua diantara gejala berikut:
a. Inatensi bila didapatkan enam atau lebih gejala inatensi pada anak-anak sampai usia
16 tahun, dan lima atau lebih gejala pada usia 17 tahun atau lebih; gejala ini
ditemukan sekurangkurangnya 6 bulan, antara lain:
- Sering gagal untuk memperhatikan sampai detail atau membuat kesalahan
dengan ceroboh dalam tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lain
- Sering kesulitan dalam memusatkan perhatian pada pekerjaan atau aktivitas
bermain
- Sering terlihat tidak mendengarkan pembicaraan langsung
- Sering tidak mengikuti perintah dan gagal dalam menyelesaikan pekerjaan
sekolah atau kewajiban di tempat kerja
- Sering mengalami kesulitan dalam mengorganisir pekerjaan dan aktivitas
- Sering menghindar, tidak menyukai atau malas untuk mengerjakan pekerjaan
yang membutuhkan usaha mental berkelanjutan (seperti pekerjaan sekolah
atau pekerjaan rumah)
- Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan atau aktivitas
(misalnya alat tulis, buku, pensil, dompet, kunci, kacamata, kertas, telepon
genggam)
- Sering kali mudah terganggu dengan stimulus eksternal
- Sering melupakan aktivitas sehari-hari.
b. Hiperaktivitas dan impulsivitas bila didapatkan enam atau lebih gejala untuk
anakanak sampai usia 16 tahun, dan lima atau lebih pada usia 17 tahun atau lebih;
gejala ini ditemukan sekurang-kurangnya 6 bulan, antara lain:
- Sering merasa gelisah dengan mengetuk tangan atau kaki atau menggeliat di
kursi
- Sering meninggalkan kursi pada situasi yang mengharuskan duduk
- Sering berlari kesana kemari di situasi yang tidak tepat (pada dewasa atau
remaja tidak mudah merasa lelah)
- Sering tidak dapat bermain atau terlibat dalam kegiatan santai dengan tenang
- Seringkali berperilaku seperti sedang mengendarai motor
- Sering bicara berlebihan
- Sering melontarkan jawaban sebelum pertanyaan selesai diajukan
- Sering kesulitan dalam menunggu gilirannya
- Sering menyela atau menganggu orang lain (misalnya pada percakapan atau
pada permainan, menggunakan barang orang lain tanpa meminta izin).
c. Impulsivity
- Sering membuka mulut atau menjawab sebelum pertanyaannya lengkap
- Sering kesulitan menunggu untuk berbelok
- Sering melakukan interupsi atau menggangu orang lain (seperti turut campur
dalam percakapan atau permainan).

G. Gangguan Emosional dan Perilaku


Anak tuna laras sering disebut dengan anak tuna sosial karena memiliki tingkah laku yang
menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat seperti mengganggu,
menyakiti orang lain, dan mencuri. Namun, sebutan tuna sosial ini masih banyak
dipertentangkan oleh para ahli.
Kauffman (dalam Sutjihati Soemantri, 1996:115) menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami
gangguan perilaku adalah anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada
kepuasan berarti. Namun, bukan berarti mereka tidak dapat diajarkan perilaku sesuai norma.
Anak tuna laras masih dapat diajarkan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan
memuaskan pribadinya.
1) Klasifikasi
Beberapa klasifikasi pada anak tuna laras antara lain dikemukakan oleh Telford dan
Sawyer (dalam Muljono Abdurrachman dan Sudjadi S, 1996:9) yang
mengklasifikasikan gangguan emosional berdasarkan kecemasan, penghindaran atau
pelarian, perilaku agresi atau tidak bersahabat.
a. Rasa cemas yang timbul dapat diakibatkan rasa takut terhadap suatu pengaruh
atau akibat di masa depan. Hal ini dapat berupa rasa cemas kronis, phobia dan
obsesi
b. Klasifikasi lari pada kenyataan dapat berupa schizophrenia, autisme infantil,
regresi, melamun dan berangan-angan
c. Agresi sifat seseorang yang tak bersahabat. Biasanya ditunjukkan dengan sikap
yang suka merusak
2) Ciri-ciri anak gangguan emosi
a. Tidak mampu berbicara dengan fasih walaupun usianya telah mencapai usia yang
cukup untuk mampu berbicara
b. Memiliki prestasi kognitif kurang baik
c. Memiliki perkembangan sosial yang kurang baik
d. Tingkah laku hiperaktif
e. Suka mengalihkan pembicaraan dan usil dengan orang lain
f. Suka menyendiri, melamun, dan marah
g. Tidak sabar dan sering gelisah
3) Tanda-tanda gangguan emosi
Tanda-tanda anak yang mengalami gangguan emosi berbeda-beda yang sangat
bergantung pada usia anak tersebut. Gejala yang biasa timbul pada anak gangguan
emosi adalah:
a. Kurang selera makan
b. Mual dan muntah-muntah
c. Sakit kepala dan perut
d. Pucat dan lelah
e. Sering melamun dan tidak aktif
f. Sukar untuk tidur malam
g. Suka buang air kecil di malam hari
h. Suka menggigit kuku dan menarik-narik rambut
4) Perkembangan kognitif anak tuna laras
Anak tuna laras memiliki tingkat intelegensi yang tidak jauh berbeda dengan anak
normal. Anak tuna laras ada yang memiliki intelegensi rendah, sedang dan ada yang
tinggi. Apabila terdapat anak tuna laras yang berprestasi rendah di sekolah, maka hal
itu dikarenakan mereka kehilangan minat, konsentrasi belajar dan gangguan emosi.
5) Perkembangan kepribadian anak tuna laras
Kepribadian merupakan struktur yang unik di dunia ini, tidak ada manusia yang
memiliki kepribadian yang sama sepanjang sejarah. Seseorang akan menampilkan
kepribadian dan tingkah laku demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila
kebutuhan yang diingkan tidak terpenuhi akan timbul konflik psikis pada diri
seseorang. Hal ini mengakibatkan frustasi dan perilaku yang menyimpang. Anak tuna
laras mengalami hal ini sehingga mengakibatkan interaksi dengan lingkungan kurang
baik.
6) Perkembangan emosi anak tuna laras
Anak tuna laras mengalami gangguan pada perkembangan emosinya. Emosi anak
tuna laras sering kurang stabil, tidak tepat dalam mengekspresikan dan kurang
mampu mengendalikan diri. Gangguan emosi anak tuna laras ini mengakibatkan
ketidak berhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
7) Perkembangan sosial anak tuna laras
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan interaksi sosial dengan lingkungannya.
Keterbatasan anak tuna laras dalam mengendalikan emosi mengakibatkan tingkat
keberterimaan lingkungan rendah. Namun, hal ini tak berarti mereka tidak punya
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain.
Dalam beberapa kasus, terdapat anak tuna laras yang mampu menjalin hubungan
sosial dengan temannya dan membentuk kelompok yang akrab. Selain karena
gangguan emosi misalnya agresif, cemas, menarik diri, dan impulsif.
Ketidakmampuan anak tuna laras berinteraksi dengan lingkungan juga dikarenakan
konsep diri yang salah pada diri sendiri dan lingkungannya.
2. Isu Pendidikan yang Berkaitan dengan Anak yang Menderita Ketidakmampuan
A. Aspek Hukum
B. Penempatan dan Pelayanan
C. Orang Tua sebagai Mitra Pendidikan
D. Teknologi
3. Anak-anak Berbakat
A. Karakteristik
B. Studi Terman Klasik
C. Mendidik Anak Berbakat

Anda mungkin juga menyukai