PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang mempunyai tahap perkembangan yang mana ia akan melewati masa
remaja, yaitu masa antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Hurlock, 1994). Masa
remaja, kata dia, dimulai pada usia 13 hingga 18 tahun. Seseorang akan mengalami berbagai
perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional saat mendekati masa remaja. Kata latin
adolescare berarti “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kedewasaan”, sedangkan istilah
bahasa Inggris untuk remaja adalah adolescence (Santrock, 2003). Orang-orang secara
psikologis terintegrasi ke dalam budaya orang dewasa pada masa remaja, namun mereka
ragu-ragu untuk mengakui bahwa mereka setara dengan orang dewasa dibandingkan dengan
orang yang lebih tua (Ali, 2001).
Remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rentan mengalami kemunduran emosi yang
dapat berujung pada gangguan kepribadian seperti menjauhkan diri dari lingkungan sekitar
dan tidak mampu membangun hubungan yang bermakna, menurut Lusiawati (2013).
Menurut Rahma (2011), remaja yang baru berada di panti asuhan cenderung lebih pendiam,
tidak suka bergaul dengan temannya, dan akan bersembunyi jika melihat orang asing. Hal ini
menyebabkan remaja yang tinggal di panti asuhan kesulitan menyesuaikan diri dengan teman
dan orang-orang di lingkungannya.
Rahma (2011) menegaskan bahwa agar remaja yang tinggal di panti asuhan dapat
menyesuaikan diri, diperlukan keterlibatan yang terus-menerus. Rahma (2011)
menambahkan bahwa pengalaman dari lingkungan, termasuk dukungan orang-orang terdekat,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penyesuaian diri remaja. Menurut
Kumalasari dan Ahyani (2012), remaja banyak memerlukan bantuan dari orang-orang
disekitarnya. Remaja yang tinggal di panti asuhan diketahui menerima sebagian besar
dukungan sosialnya dari teman sebaya dan pengasuhnya di lingkungan sosial panti asuhan
(Rahma, 2011).
Meski Woro Wiloso Salatiga sudah beberapa tahun tinggal di panti asuhan, namun
hasil wawancara dengan pengasuh di panti asuhan yang diawasinya menunjukkan bahwa ada
remaja tertentu yang belum bisa menyesuaikan diri. Hasil wawancara Diketahui bahwa tujuh
dari sepuluh remaja di panti asuhan cenderung lebih pendiam, lebih pendiam, dan beberapa
dari mereka menghindari kenalan baru. Masyarakat harus melakukan penyesuaian karena
kurang mampu berinteraksi sosial dengan orang lain. Banyak orang berjuang untuk
menemukan kebahagiaan dalam hidup karena ketidakmampuan mereka menyesuaikan diri
dengan lingkungan, keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Namun menurut tiga anak yang
tinggal di panti asuhan, subjek mengakui bahwa ketika dia pertama kali tiba, teman-temannya
memberikan sambutan hangat, yang membantu subjek akhirnya merasa betah berada di panti
tersebut. Orang tersebut mengklaim bahwa hal ini membantu kemampuan mereka.
Beradaptasi dan beradaptasi dengan baik.
Menurut pihak keluarga, seorang anak berusia 13 tahun kabur dari panti asuhan "A"
di Semarang, menurut rilis berita dari panti asuhan tersebut. Anak merasa tidak nyaman
dengan lingkungannya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya
(Subaru Merdeka, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan Yancey (1998), penyakit
emosional sangat umum terjadi pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Anak-anak yang
ditampung di panti asuhan menderita kehausan emosional, yaitu kerinduan akan kasih sayang
dan perhatian.
Agar anak-anak yang tinggal di panti asuhan dapat terus beradaptasi dan sehat,
mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Anak-anak asuh seringkali
datang ke panti asuhan setelah melalui masa-masa sulit dan pergolakan hidup yang
signifikan. Di sini, penyesuaian mengacu pada kapasitas mereka untuk menyesuaikan diri
dengan kebiasaan dan standar baru di lingkungan panti asuhan. Transisi yang berhasil dapat
membantu anak-anak muda merasa lebih nyaman di lingkungan baru mereka, membina
hubungan positif dengan staf dan penghuni lain, dan mengembangkan rasa percaya diri.
Kepercayaan diri, menurut penelitian oleh Julian Ford, Ph.D., yang diterbitkan dalam “The
Impact of Adversity on Children: Sebuah Tinjauan.” Penyesuaian positif juga dapat
membantu mereka mengatasi dampak buruk dari peristiwa traumatis sebelumnya. Oleh
karena itu, kemampuan untuk menyesuaikan diri secara efektif sangat penting untuk
mendorong adaptasi dan pertumbuhan berkelanjutan anak-anak di panti asuhan.
Penelitian mengenai efikasi diri dalam menyesuaikan diri dengan siswa baru
dilakukan oleh Irfan dan Suprapti (2014), Fitri dan Kustanti (2020), dan temuan penelitian ini
didasarkan pada karakteristik yang hampir sama. Temuan tersebut menunjukkan adanya
hubungan antara penyesuaian diri siswa dan efikasi diri, yaitu semakin tinggi tingkat efikasi
diri maka semakin tinggi pula tingkat efikasi diri penyesuaian pada siswa baru; sebaliknya,
semakin rendah tingkat efikasi diri maka semakin rendah pula tingkat penyesuaian diri siswa
baru.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana remaja yang tinggal di
panti asuhan berhubungan dengan dirinya dalam hal penyesuaian diri dan efikasi diri.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Secara khusus, penelitian tentang efikasi diri dan kemampuan beradaptasi dalam
psikologi pendidikan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kumpulan literatur di
bidang penelitian psikologi pendidikan dan memajukan pemahaman ilmiah secara umum.
2. Secara Praktisi
a. Bagi Objek Penelitian
Untuk membantu remaja beradaptasi dengan lingkungan barunya, penelitian ini dapat
menawarkan perspektif dan informasi yang membantu mengidentifikasi bagaimana setiap
remaja menyesuaikan diri dengan tekanan dan perubahan yang menyertainya.
Penelitian ini diyakini dapat membantu panti asuhan yang menerapkan terapi efikasi
diri dan penyesuaian diri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyesuaian Diri
1. Defenisi Penyesuaian Diri
Runyon dan Haber (1984) mendefinisikan penyesuaian sebagai suatu proses yang
didefinisikan oleh kapasitas individu untuk mengatasi keadaan dan kondisi yang terus
berubah agar merasa selaras dengan lingkungannya dan menemukan pemenuhan
kebutuhannya. Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara keadaan pribadi dan kebutuhan lingkungan.
Hal ini dilakukan guna mengubah perilaku seseorang agar lebih selaras dengan
lingkungannya.
Selain itu, penyesuaian diri merupakan proses normal dan dinamis yang berupaya
untuk mengubah perilaku seseorang guna membentuk keadaan interpersonal dan lingkungan
yang lebih sesuai (Honggowiyono, 2015). Semiun (2006), sebaliknya, menyatakan bahwa
penyesuaian adalah proses yang unik bagi setiap orang dan memerlukan penggunaan strategi
perilaku dan mental untuk mencoba menyelesaikan berbagai emosi yang bersaing serta
menyeimbangkan emosi tersebut dengan kebutuhan lingkungan hidup mereka.
Peneliti menggunakan definisi Runyon dan Haber (1984) sebagai pedoman dalam
memilih alat ukur, sesuai dengan definisi penyesuaian diri yang telah dibahas sebelumnya.
Definisi Runyon dan Haber (1984) menekankan pentingnya memahami hubungan antara citra
diri individu dan perubahan ekspektasi sosial, yang merupakan salah satu alasan penulis
menggunakannya. Topik ini menawarkan pemahaman yang lebih baik tentang reaksi
masyarakat terhadap keadaan yang terus berubah. Konsep ini menangkap nuansa realitas
penyesuaian diri dengan menekankan keselarasan antara persepsi seseorang terhadap diri
sendiri dan standar masyarakat.
Berikut beberapa aspek penyesuaian diri menurut Runyon dan Haber (1984):
Pendapat seseorang terhadap dirinya sendiri berkorelasi dengan memiliki citra diri
yang positif. Orang-orang mempunyai persepsi yang baik tentang diri mereka sendiri, yang
terlihat baik dalam penilaian mereka sendiri maupun penilaian orang lain.
Orang dapat mengekspresikan emosinya dan melakukan pengendalian emosi yang tepat jika
mereka mampu mengomunikasikan perasaannya.
Manusia adalah makhluk sosial dengan interaksi interpersonal yang sehat. Orang
dengan keterampilan penyesuaian diri yang kuat mampu membangun hubungan yang
bermakna.
a. Aspek emosional
B. Selfie Efficacy
1. Defenisi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah ukuran keyakinan seseorang terhadap
kemampuannya untuk melakukan tindakan yang diperlukan sehubungan dengan skenario
yang mungkin terjadi. Menurut Maryati (2008), efikasi diri adalah gambaran mental realitas
yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang seseorang yang dibentuk oleh pengalamannya
baik di masa lalu maupun masa kini.
Efikasi diri adalah keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri untuk melakukan
perilaku yang diharapkan. Ini adalah penilaian individu mengenai seberapa baik mereka
dapat berfungsi dalam skenario tertentu (Alwisol, 2009). Menurut Bandura (2005), efikasi
diri mengacu pada keyakinan individu terhadap kapasitasnya untuk menggunakan berbagai
bentuk kendali atas perilakunya sendiri dan keadaan eksternal.
Mengingat konsep efikasi diri yang telah dibahas sebelumnya, definisi Bandura
(1997) menjadi acuan peneliti dalam memilih alat pengukuran. Penulis mengadopsi definisi
Bandura (1997) karena beberapa alasan. Menurut definisi Bandura, mengatur dan
melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan untuk mencapai tujuan sangat bergantung pada
keyakinan individu. Masalah ini menunjukkan bahwa efikasi diri terkait dengan kemampuan
aktual untuk melakukan tindakan dan keyakinan. Hal ini menunjukkan pemahaman yang
lebih besar tentang bagaimana perilaku dipengaruhi oleh efikasi diri. Lebih lanjut, konsep
efikasi diri Bandura dapat diterapkan pada berbagai profesi, seperti manajemen, psikologi
klinis, pendidikan, dan lain-lain. Konsekuensinya, konsep ini dapat diterapkan dalam
berbagai situasi untuk memahami bagaimana persepsi seseorang terhadap keterampilannya
berdampak tindakan dan pencapaian mereka
Besaran, juga dikenal sebagai level, menggambarkan tingkat kesulitan pekerjaan atau
masalah yang diyakini dapat ditangani oleh seseorang karena merasa kompeten. Gagasan ini
berkaitan dengan seberapa sulit orang berpikir suatu tugas, dan seberapa besar keyakinan
mereka bahwa mereka dapat menyelesaikannya. Orang biasanya memulai dengan tugas yang
Anda rasa bisa Anda selesaikan.
b. Alegori
Generalitas adalah rentang pencapaian atau penguasaan individu terhadap suatu tugas
atau masalah dalam keadaan tertentu. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, konsep ini
berkaitan dengan serangkaian informasi yang dianggap mampu dikuasai seseorang untuk
menyelesaikan berbagai aktivitas. Orang bisa mendeklarasikannya membatasi diri mereka
pada satu set keterampilan atau percaya pada berbagai kemampuan
c. Kekuatan
Kekuatan adalah ukuran seberapa kuat atau lemah perasaan seseorang terhadap
tingkat keterampilan yang dirasakannya. Gagasan ini menunjukkan seberapa kuat atau lemah
perasaan seseorang mengenai proyeksi kemampuannya untuk menyelesaikan aktivitas yang
menantang. Gagasan ini berkaitan dengan seberapa gigihnya seseorang yakin bahwa dirinya
akan berhasil menyelesaikan tugas yang ada, yang ditunjukkan dengan kuatnya kemauan
berjuang dan sikap pantang menyerah. Kepercayaan diri Landasan bagi orang untuk bekerja
keras dalam bisnisnya, meskipun ada tantangan, adalah individu yang kuat.
Panti Asuhan merupakan suatu fasilitas yang berfungsi sebagai rumah atau orang tua
pengganti bagi anak-anak terlantar, dengan penekanan pada pemenuhan kebutuhan sosial,
emosional, dan fisik anak asuh. Selain menjamin tumbuh kembang anak berjalan wajar,
lembaga ini juga memberikan berbagai peluang bagi pengembangan kepribadian anak sesuai
harapan sebagai bagian dari cita-cita bangsa bagi generasi penerus (Departemen Sosial RI,
2010). Panti Asuhan berfungsi sebagai sarana yang membantu pertumbuhan dan
perkembangan psikis dan fisik anak yang tidak berkeluarga atau tidak tinggal berkeluarga,
menurut Ida Ayu Ratih Tricahyani dkk. (2016). Hal ini sejalan dengan pernyataan tersebut.
Panti Asuhan merupakan suatu wadah yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak yang tidak mempunyai rumah atau tidak mampu tinggal bersama keluarganya,
menurut Ayu Nuzulia Rahma (2011). Dalam setiap panti asuhan biasanya terdapat seorang
pengasuh yang menggantikan orang tua kandung dan bertanggung jawab dalam menyayangi,
mengasuh, dan mengasuh anak-anak yang berada di panti asuhan tersebut (Ida Ayu Ratih
Tricahyani, 2016). Oleh karena itu, dalam hal memenuhi kebutuhan anak-anak yang sedang
berkembang dalam keluarga, panti asuhan dapat dipandang sebagai pengganti keluarga.
Remaja yang tinggal di panti asuhan antara usia 11 dan 18 tahun dikenal sebagai
remaja panti asuhan. Mereka mungkin tidak memiliki orang tua yang bisa merawat mereka,
atau mereka mungkin kehilangan orang tua. Mereka akhirnya tinggal di panti asuhan karena
berbagai alasan, antara lain kematian atau perceraian orang tua, keuangan keluarga yang tidak
memadai, perselisihan dalam rumah tangga, atau keadaan lain yang membuat orang tua tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya (Kawitri , dkk 2020). Remaja yang berada
di panti asuhan seringkali menunjukkan ciri-ciri yang membedakan mereka dengan remaja
yang tinggal bersama keluarga aslinya. Berikut adalah beberapa ciri-ciri yang mungkin
ditunjukkan oleh remaja di panti asuhan:
1. Dukungan Keluarga yang Terbatas: Remaja yang ditempatkan di panti asuhan sering
kali kekurangan dukungan keluarga yang stabil dan konsisten. Berbeda dengan
remaja yang tinggal bersama keluarga, mereka mungkin tidak memiliki orang tua atau
anggota keluarga lain yang dapat memberikan dukungan fisik, finansial, atau
emosional (Afifatun Nafisah, dkk., 2018).
2. Pengalaman atau pembatasan yang traumatis: Banyak anak muda yang berada di panti
asuhan telah mengalami pengalaman traumatis atau pembatasan yang dapat
berdampak pada perkembangan mereka. Pengalaman kekerasan, penelantaran, atau
kehilangan orang tua mungkin termasuk dalam kategori ini (Putri dkk., 2013).
3. Dukungan Sosial yang Terbatas: Ada kemungkinan bahwa teman sebaya atau
komunitas tidak memberikan dukungan sosial yang cukup kepada remaja asuh.
Kurangnya koneksi yang solid atau memuaskan mungkin menjadi penyebab perasaan
terisolasi atau kesepian.
4. Terbatasnya Dukungan Pendidikan: Ketersediaan sumber daya pendidikan bagi
remaja di panti asuhan mungkin terbatas. Ada kemungkinan bahwa mereka tidak
memiliki akses terhadap bantuan atau nasihat akademis yang mereka perlukan untuk
mencapai tingkat pendidikan yang mereka inginkan.
5. Dukungan Kesehatan Mental yang Terbatas: Mungkin ada pembatasan pada layanan
kesehatan mental yang tersedia bagi remaja di panti asuhan. Kemungkinan besar
mereka kekurangan dukungan untuk mengatasi masalah kesehatan mentalnya atau
tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan mental yang diperlukan
(Shintaningtyas & Wibawa, 2020).
Setiap remaja di panti asuhan adalah individu dengan kebutuhan dan pengalaman
yang berbeda. Staf di panti asuhan, keluarga asuh, dan masyarakat semuanya memberikan
dukungan, yang memungkinkan anak-anak mengatasi hambatan dan tumbuh menjadi orang
dewasa yang kuat dan mandiri. Dalam situasi ini, efikasi diri dan kemampuan beradaptasi
adalah ide kuncinya. Efikasi diri memengaruhi cara orang menilai kapasitas mereka untuk
beradaptasi terhadap perubahan. Transisi yang mulus membantu kenyamanan dan
pengembangan keterampilan sosial mereka. Remaja yang tinggal di panti asuhan biasanya
menunjukkan ciri-ciri yang terkait dengan efikasi diri dan penyesuaian diri yang tidak
memadai, seperti rendahnya kepercayaan diri, pengalaman terkait trauma, ketakutan akan
perubahan, masalah kesehatan emosional atau mental, dan kurangnya dukungan sosial.
D. Kerangka Berpikir
Bagi anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau kerabat yang mampu
mengasuhnya, panti asuhan berfungsi sebagai lembaga yang memberikan perlindungan,
pendidikan, dan pengasuhan (Adinda Adinda, 2024). Remaja yang tinggal di panti asuhan
menghadapi banyak kendala, antara lain dukungan keluarga yang tidak memadai, sumber
daya yang terbatas, dan ketidaksetujuan masyarakat dari komunitas tetangga (Ibda, 2022).
Dalam situasi ini, efikasi diri memainkan peran penting dalam membantu mereka mengatasi
tantangan dan mencapai tujuan mereka. Remaja di panti asuhan dapat meningkatkan
motivasinya, mengatasi tantangan dengan pandangan positif, dan menciptakan teknik
penyesuaian diri yang berguna dengan meningkatkan efikasi diri (Rahma, 2011). Oleh
karena itu, efikasi diri sangat penting untuk mengatasi hambatan dan meningkatkan peluang
keberhasilan dan kebahagiaan bagi remaja yang tinggal di panti asuhan.
Efikasi diri merupakan keyakinan bahwa seseorang mampu mengatasi hambatan dan
menyadari potensi yang dimilikinya (Sisca Rachmawati, Dede Rahmat Hidayat, 2021). Hal
ini sangat berkaitan dengan bagaimana remaja di panti asuhan menyesuaikan diri. Menurut
Noviandari dan Kawakib (2016), persepsi diri remaja mengenai kemampuan mengatasi
hambatan dan mencapai tujuan mungkin dipengaruhi oleh tingkat efikasi diri. Remaja yang
tinggal di panti asuhan yang memiliki rasa harga diri yang kuat biasanya lebih siap untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan mengatasi hambatan. Selain itu, motivasi
remaja untuk mencoba hal-hal baru dan terlibat dalam kegiatan pengembangan keterampilan
dipengaruhi oleh efikasi diri mereka dalam memenuhi kebutuhan sosial dan emosional untuk
transisi yang sukses (Preska & Wahyuni, 2019). Oleh karena itu, remaja yang berada di panti
asuhan dapat memperoleh manfaat besar dari efikasi diri dalam membantu mereka
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan mengatasi segala hambatan yang mungkin
mereka hadapi.
Remaja di panti asuhan yang banyak percaya pada dirinya sendiri akan lebih mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan dengan baik (Rahma, 2011). Mereka
mempunyai keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan berbagai masalah,
jika masalah tersebut muncul. Namun, remaja dari panti asuhan yang memiliki efikasi diri
yang buruk mungkin merasa tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah yang mereka
hadapi, sehingga dapat menghambat kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri (Rahma,
2011). Pada remaja yang tinggal di panti asuhan, efikasi diri dan penyesuaian diri
mempunyai hubungan yang cukup besar (Firmansyah & Sovitriana, 2021). Oleh karena itu,
sangat penting bagi organisasi dan panti asuhan untuk memberikan dukungan dan arahan
yang diperlukan bagi anak-anak panti asuhan untuk tumbuh dalam kemanjuran diri dan
penyesuaian diri.
E. Hipotesis
Hipotesis penelitian menyatakan adanya korelasi yang baik antara efikasi diri dan
penyesuaian diri. Semakin baik penyesuaian yang dilakukan maka semakin kuat pula efikasi
diri, sebaliknya semakin buruk penyesuaian maka semakin rendah efikasi diri.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu X dan Y.
Efikasi diri seorang individu mengacu pada keyakinan diri mereka dalam kemampuan
mereka untuk menangani tugas-tugas yang cukup menantang untuk mereka pilih, artinya
mereka harus melakukan aktivitas itu sendiri. Hal ini dilakukan agar masyarakat berhasil
menerapkan berbagai kegiatan Bandura dan mencapai tujuannya (1997). Skala efikasi diri
yang dibuat oleh Marddiyah, A. Digunakan untuk mengukur efikasi diri dalam penelitian ini.
Dampak Efikasi Diri Siswa Terhadap Hasil Belajar IPA Kelas VI MIN 14 Al-Azhar Asy
Syarif Indonesia (Skripsi Sarjana, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) berpijak
pada empat dimensi efikasi diri Bandura (1997): Besaran atau Level, Umum, Kekuatan, dan
Umum. Efikasi diri meningkat dengan skor Skala yang lebih tinggi dan sebaliknya.
2. Penyesuaian Diri
Setiap orang mengalami proses adaptasi ketika ditempatkan pada situasi baru. Proses
ini melibatkan penyeimbangan kebutuhan mereka dengan kebutuhan lingkungan baru
sehingga emosi dan tindakan mereka selaras dengan lingkungan sekitar. Lima dimensi
penyesuaian yang diusulkan Runyon & Haber (1984)—persepsi terhadap realitas,
kemampuan mengatasi stres dan kecemasan , citra diri yang positif, kemampuan
mengekspresikan emosi dengan sukses, dan memiliki hubungan interpersonal yang positif—
digunakan untuk mengukur penyesuaian dalam penelitian ini. Penyesuaian diri dinilai dalam
penelitian ini menggunakan skala penyesuaian diri yang dibuat oleh M. D. Pratiwi & L.
Harahap (2023). Hubungan penyesuaian diri anak di Panti Asuhan Adh Dhuhaa Sukaharjo
usia 11 sampai 15 tahun dengan perkembangan emosi dan komunikasi interpersonal
(Disertasi Doktor, Uin Raden Mas Said). Penyesuaiannya semakin tinggi semakin tinggi skor
skalanya, dan sebaliknya.
Anak laki-laki dan perempuan berusia antara 13 dan 18 tahun yang bersedia
mengikuti penelitian merupakan populasi remaja panti asuhan.
2. Sampel
Dalam penelitian ini, seratus remaja Panti Asuhan Woro Wiloso Salatiga dijadikan
sebagai sampel.
3. eknik Sampling
E. Alat Ukur
1. Self Efficacy
Skala efikasi diri yang terdiri dari tiga elemen yang dikemukakan oleh Bandura
(1997) digunakan dalam penelitian ini. Dibuat oleh Maddiyah, A. Pengaruh Self-Efficacy
Terhadap Hasil Belajar IPA Peserta Didik Kelas VI MIN 14 Al-Azhar Asy Syarif Indonesia
(Skripsi Sarjana, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). (2) Luasnya. (3)
Kekuatan. Ada empat kemungkinan tanggapan, mulai dari sangat positif hingga sangat
negatif: TS (Tidak Sesuai), SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai).
Tabel 3.1
Sebaran skala Self Efficacy
Memiliki keyakinan 16 2
penguasaan materi 4
pembelajaran
Memiliki kemampuan 15 3
memecahkan masalah dan 14
menemukan solusi 17
2. Penyesuaian Diri
Skala penyesuaian diri yang dibuat oleh Pratiwi, M.D., & Harahap, L. (2023)
digunakan dalam penelitian ini. Penyesuaian diri anak usia 11 sampai 15 tahun di Panti
Asuhan Adh Dhuhaa Sukaharjo berkorelasi dengan kematangan emosi dan komunikasi
interpersonal (Disertasi Doktor, Uin Raden Mas Said). Hubungan ini didasarkan pada 5
aspek yang dikemukakan oleh Runyon & Haber (1984), yang pertama adalah persepsi
terhadap realitas. (2) Kapasitas untuk mengelola kecemasan dan ketegangan. (3) Pandangan
positif terhadap diri sendiri. (4) Kapasitas ekspresi emosi yang efektif. (5) Pertahankan
hubungan interpersonal yang positif. Terdapat empat alternatif tanggapan, mulai dari sangat
positif hingga sangat negatif: TS (Tidak Sesuai), SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), dan STS
(Sangat Tidak Sesuai).
Tabel 3.2
Tahap uji validitas dan reliabilitas digunakan untuk melaksanakan uji instrumen
angket. MengujiUntuk mencapai hasil penelitian yang valid dan reliabel, diperlukan
instrumen yang dapat diandalkan dan valid (Sugiyono, 2019).
1. Pemeriksaan Validitas
Menurut Azwar (2021), memastikan apakah skala dapat memberikan hasil. Prosedur
pengujian validitas atau validasi diperlukan untuk memperoleh hasil yang akurat sesuai
dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2021). Dalam penelitian ini validitas isi (content validity)
digunakan sebagai uji validitas. Menurut Hendriadi (2017), validitas isi ditentukan dengan
mengevaluasi kesesuaian atau relevansi tes dengan penilaian ahli atau analisis logis oleh
panel ahli yang berkualifikasi. Sejauh mana suatu tes secara akurat menangkap kemampuan
siswa dalam kaitannya dengan tujuan pembelajaran yang harus dipenuhi disebut validitas isi
(Ida & Musyarofah, 2021). Berdasarkan data empiris, Azwar (2012) mengembangkan Rasio
Validitas Isi (CVR) yang dapat digunakan untuk menilai validitas isi item. Dalam metode ini,
sekelompok spesialis yang dikenal sebagai spesialis Subjek (SME) diminta untuk
mengidentifikasi elemen-elemen skala yang penting untuk mengoperasionalkan konstruksi
teoritis skala tersebut.
2. Uji Reliabilitas
Pendekatan studi korelasional akan dimodifikasi untuk menguji hubungan antara dua
varian kelompok dengan menggunakan analisis data untuk mengetahui hubungan antara
efikasi diri dan penyesuaian diri. Hasilnya, korelasi Pearson Product Moment akan
digunakan untuk menganalisis data. Berdasarkan variasi data yang ada, korelasi ini dapat
digunakan untuk menggambarkan hubungan antara faktor efikasi diri dan penyesuaian diri.
Paket perangkat lunak statistik Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) 25 akan
digunakan untuk membantu analisis data.
Analisis regresi kondisi linier dipenuhi dengan menggunakan uji asumsi standar.
Untuk memastikan bahwa temuan persamaan regresi tidak memihak dan konsisten, dilakukan
uji asumsi klasik. Tes tersebut akan digunakan untuk mengolah data sebagai berikut:
Uji Normalitas
Tujuan uji normalitas adalah untuk mengidentifikasi data akurat yang diperoleh dari
populasi atau distribusi normal. Sebagai langkah awal sebelum beralih ke prosedur inferensi
statistik, tahap uji normalitas memverifikasi apakah suatu kumpulan data populasi normal
(Koh & Ahad, 2020). Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan sebagai uji normalitas dalam
penyelidikan ini. Sederhananya, kesesuaian kumpulan data untuk pola distribusi teoretis
tertentu ditentukan oleh uji Kolmogorov-Smirnov (Berger & Zhou, 2014). Uji Kolmogorov-
Smirnov dilakukan dengan menggunakan SPSS 25.0 oleh peneliti. Terdapat standar seperti
yang tercantum di bawah ini: • Nilai sisa didistribusikan secara teratur jika signifikansinya
lebih besar dari 0,05; jika signifikansinya kurang dari 0,05 maka nilai residunya tidak.
Uji Linearitas
Untuk memastikan sifat hubungan yang terjalin antar variabel yang diteliti, diperlukan
uji linearitas. Uji linearitas ini menurut Agung Budi Santoso (2018) digunakan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan linier yang substansial antara kedua variabel yang diteliti.
Dengan menggunakan SPSS 25.0 peneliti menggunakan Uji Linearitas untuk mengetahui
linearitas penelitian ini. Jika nilai signifikansi variabel dicapai pada linearitas yang kurang
dari 0,05, hal ini menunjukkan adanya hubungan linier antara variabel bebas dan variabel
terikat.
Uji Hipotesis
Temuan uji hipotesis akan menunjukkan apakah hipotesis tersebut disarankan untuk
diteliti lebih lanjut dan dapat diterima. Teknik analisis untuk pengujian hipotesis dalam
Analisis product moment digunakan dalam penelitian ini. Korelasi product moment Secara
sederhana dapat digambarkan sebagai teknik statistik yang menentukan derajat hubungan
antara dua variabel dengan mengalikan momennya (Agustian, 2023). Pengujian SPSS 25.0
digunakan dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis.
DAFTAR PUSTAKA
Adinda Adinda, Y. A. (2024). Peran Pengurus Panti Asuhan dalam Menunjang Keberlanjutan
Pendidikan Anak di Panti Asuhan An-Nur Pasanehan Candung. Journal Innovation in
Education (INOVED), 2(1), 89–98. https://doi.org/10.59841/inoved.v2i1.844
Agung Budi Santoso. (2018). Tutorial & Solusi Pengolahan Data Regresi. CV. Garuda Mas
Sejahtera.
Agustian. (2023). Korelasi Product Moment: Pengertian, Penerapan, Koefisien, Contoh Soal.
Rumuspintar.Com.
Azwar, S. (2021). Metode Penelitian Psikologi Edisi II Cetakan IV. In Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Berger, V. W., & Zhou, Y. (2014). Kolmogorov–Smirnov Test: Overview. In Wiley StatsRef:
Statistics Reference Online. https://doi.org/10.1002/9781118445112.stat06558
Departemen Sosial Republik Indonesia. (2010). Acuan umum pelayanan sosial anak di panti sosial
asuhan anak. Departemen Sosial.
Firmansyah, F., & Sovitriana, R. (2021). PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL
DI PANTI ASUHAN. Psikologi Kreatif Inovatif.
Ibda, F. (2022). Pentingnya Kesejahteraan Subjektif Pada Remaja Yatim Yang Tinggal Di Panti
Asuhan. Jurnal Intelektualita.
Ida, F. F., & Musyarofah, A. (2021). Validitas dan Reliabilitas dalam Analisis Butir Soal. AL-
MU’ARRIB: JOURNAL OF ARABIC EDUCATION. https://doi.org/10.32923/al-
muarrib.v1i1.2100
Kawitri, A. Z., Listiyandini, R. A., & Rahmatika, R. (2020). Peran Self-Compassion terhadap
Dimensi-dimensi Kualitas Hidup Kesehatan pada Remaja Panti Asuhan. Psympathic : Jurnal
Ilmiah Psikologi. https://doi.org/10.15575/psy.v7i1.4406
Koh, K. L., & Ahad, N. A. (2020). Normality for Non-normal Distributions. Journal of Science and
Mathematics Letters. https://doi.org/10.37134/jsml.vol8.2.7.2020
Preska, L., & Wahyuni, Z. I. (2019). Pengaruh Dukungan Sosial, Self-Esteem Dan Self-Efficacy
Terhadap Orientasi Masa Depan Pada Remaja Akhir. TAZKIYA: Journal of Psychology.
https://doi.org/10.15408/tazkiya.v22i1.8160
Sisca Rachmawati, Dede Rahmat Hidayat, A. B. (2021). Self-efficacy: Literatur review. Prosiding
Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling Universitas Negeri Malang.
Adinda Adinda, Y. A. (2024). Peran Pengurus Panti Asuhan dalam Menunjang Keberlanjutan
Pendidikan Anak di Panti Asuhan An-Nur Pasanehan Candung. Journal Innovation in
Education (INOVED), 2(1), 89–98. https://doi.org/10.59841/inoved.v2i1.844
Agustian. (2023). Korelasi Product Moment: Pengertian, Penerapan, Koefisien, Contoh Soal.
Rumuspintar.Com.
Azwar, S. (2021). Metode Penelitian Psikologi Edisi II Cetakan IV. In Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Berger, V. W., & Zhou, Y. (2014). Kolmogorov–Smirnov Test: Overview. In Wiley StatsRef:
Statistics Reference Online. https://doi.org/10.1002/9781118445112.stat06558
Departemen Sosial Republik Indonesia. (2010). Acuan umum pelayanan sosial anak di panti sosial
asuhan anak. Departemen Sosial.
Firmansyah, F., & Sovitriana, R. (2021). PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL
DI PANTI ASUHAN. Psikologi Kreatif Inovatif.
Ibda, F. (2022). Pentingnya Kesejahteraan Subjektif Pada Remaja Yatim Yang Tinggal Di Panti
Asuhan. Jurnal Intelektualita.
Ida, F. F., & Musyarofah, A. (2021). Validitas dan Reliabilitas dalam Analisis Butir Soal. AL-
MU’ARRIB: JOURNAL OF ARABIC EDUCATION. https://doi.org/10.32923/al-
muarrib.v1i1.2100
Kawitri, A. Z., Listiyandini, R. A., & Rahmatika, R. (2020). Peran Self-Compassion terhadap
Dimensi-dimensi Kualitas Hidup Kesehatan pada Remaja Panti Asuhan. Psympathic : Jurnal
Ilmiah Psikologi. https://doi.org/10.15575/psy.v7i1.4406
Koh, K. L., & Ahad, N. A. (2020). Normality for Non-normal Distributions. Journal of Science and
Mathematics Letters. https://doi.org/10.37134/jsml.vol8.2.7.2020
Preska, L., & Wahyuni, Z. I. (2019). Pengaruh Dukungan Sosial, Self-Esteem Dan Self-Efficacy
Terhadap Orientasi Masa Depan Pada Remaja Akhir. TAZKIYA: Journal of Psychology.
https://doi.org/10.15408/tazkiya.v22i1.8160
Sisca Rachmawati, Dede Rahmat Hidayat, A. B. (2021). Self-efficacy: Literatur review. Prosiding
Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling Universitas Negeri Malang.
Yancen, A.K. (1998). Building Positive Self – Image in Adolescents in Foster Care: The Use of Role
Models in an Interactive Group Approach. Adolescents, 33, 253–267.
LAMPIRAN
A. Sebaran skala Self Efficacy
No Aspek Indikator Item No Item
. F UF
1 Magnitude Memiliki keyakinan Jika kesulitan mengerjakan 1
atau Level dapat menyelesaikan tugas, saya membiarkannya
tugas yang sulit berlarut-larut
Saya mampu mengerjakan 10
tugas sekolah sampai larut
malam (begadang)
Saya tidak yakin akan 20
berhasil pada tugas yang sulit
Memiliki Saya memilih menerima 3
perencanaan dan ajakan bermain daripada
mengatur diri mengerjakan tugas yang sulit
Saya pusing saat menghadapi 9
tugas yang sulit
Saya bisa menyelesaikan 19
tugas yang sulit tanpa
bantuan orang lain
2 Strength Berusaha keras untuk Saya berhenti mengerjakan 2
menyelesaikan tugas soal yang tidak saya paham
Saya tidak yakin menjadi 12
juara kelas
Konsisten dalam Saya dapat memahami setiap 6
mencapai tujuan pekerjaan tugas yang
diberikan
Saya bosan mengerjakan 7
tugas yang diberikan
Saya takut jika mendapatkan 18
nilai buruk
Menjadikan Saya tidak akan melakukan 8
pengalaman sebagai kesalahan yang sama pada
dasar untuk saat mengerjakan tugas
meningkatkan Saya akan mengurangi jam 11
keyakinan bermain agar saya tidak
mendapatkan nilai buruk
3 Generality Memiliki keyakinan Saya yakin menguasai semua 13
penguasaan terhadap tugas yang diajarkan
tugas yang diberikan Saya takut jika ada ujian 5