Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH RESILIENSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Diri


Dosen pengampu : Ira Hidayati, S.Psi,. MA

Disusun Oleh:
Kelompok 2

Aldina Rilanda
Aulia Damayanti 2031060310
Devi Triani
Meliyana 2031060297

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN & STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pengembangan Diri dengan judul
“RESILIENSI” yang diberikan oleh Ibu Ira Hidayati, S.Psi,. MA.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
didalamnya sehingga kami sangat menerima saran dan kritik sehingga kami dapat menjadi lebih
baik kedepannya.

Akhir kata, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan baik bagi kami maupun para pembaca.
Kami meminta maaf apabila terdapat kesalahan pada penulisan makalah ini dimana tidak ada
unsur kesengajaan di dalamnya. Sekian, Terimakasih

Bandar Lampung, Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisin Resiliensi...............................................................................3
B. Tiga Aliran Resiliensi...........................................................................4
C. Komponen - komponen Resiliensi.......................................................5
D. Faktor – faktor yang mempengaruhi Resiliensi....................................6
E. Proses Terbentuknya Resiliensi............................................................7
F. Kelebihan dan Kekurangan dari Terapi Eksistensial............................8

BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................9
B. Saran.....................................................................................................10

Daftar Pustaka
Review
Latar belakang
Ide terkait resiliensi individu dalam menghadapi kondisi yang tidak nyaman sudah ada
sejak lama, seperti dalam kitab suci, mitos, cerita rakyat, seni, dan literatur di berbagai agama,
budaya, dan berbagai negara yang menggambarkan sosok pahlawan. Orang-orang besar di masa
lalu, seperti Nabi Ibrahim yang lahir dari keluarga penyembah berhala, Nabi Musa yang sejak
bayi sudah diburu Raja Fir’aun, Nabi Yusuf yang sejak kecil telah dimusuhi saudaranya, Nabi
Muhammad yang yatim dan dimusuhi oleh orang-orang satu suku bangsanya adalah contoh
orang-orang yang sukses melewati berbagai kesulitan, tantangan, permusuhan, dan tetap gigih
menggapai cita-citanya. Contoh-contoh lain bertebaran di berbagai agama, budaya, dan negara.
Di awal perkembangan psikologi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, terdapat ketertarikan
dalam memahami adaptasi individu terhadap lingkungan, baik dari teori seleksi alam hingga
teori psikoanalisis. Pada abad ke-20 banyak studi yang membahas konstruk psikologi, seperti
motivasi, kompetensi, dan self-efficacy yang berfokus pada aspek positif dalam perkembangan
manusia. Akan tetapi, pada abad ke-20 juga secara kontras banyak kajian terkait anak dan remaja
dengan masalah atau lingkungan yang berbahaya di mana fokus kajian berada pada analisis
risiko dan intervensi terhadap simptom (Snyder & Lopez, 2002).Lois Murphy, pada tahun 1962,
menyatakan penentangannya terhadap banyaknya kajian yang berfokus pada sisi negatif anak
dengan masalah tanpa mempertimbangkan adanya individual differences. Satu dekade kemudian,
kajian sistematis terkait resiliensi hadir dalam ilmu psikologi dan banyak dilakukan dari kasus
anak dengan masalah dan psikopatologi. Para psikolog dan psikiater tertarik untuk mengkaji
anak dengan risiko permasalahan yang serius sepanjang waktu, seperti adanya faktor keturunan
secara genetik (misalnya parkinson, skizofrenia), permasalahan kehamilan (misalnya kelahiran
prematur), atau kondisi lingkungan mereka (misalnya kemiskinan). Observasi yang dilakukan
menunjukkan bahwa anak-anak yang berada pada permasalahan yang memiliki risiko tinggi
tetap mampu berkembang dengan baik. Hal ini kemudian menjadi acuan dalam memahami
fenomena “mampu beraktivitas dengan baik di tengah risiko yang ada” (Snyder & Lopez, 2002).
Berdasarkan publikasi yang telah dilakukan sebelumnya tentang resiliensi terkait fenomena
tersebut, keberhasilan anak menghadapi hidup dengan risiko tinggi biasa dikenal dengan
beberapa istilah, seperti “stress-resistant”, “invulnerable”, dan “resilient”. Pada akhirnya
“resilient” adalah istilah yang biasa dan banyak digunakan dalam menggambarkan kondisi
individu dengan kondisi yang kokoh menghadapi beragam kesulitan ini.
BAB 1

PEMBAHASAN

Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi stressor internal maupun


eksternal yang dialami seseorang (Conor & Davidson, 2003). Setiap orang akan selalu
dihadapkan dengan berbagai stressor dalam hidupnya dan tidak menutup kemungkinan muncul
masa-masa sulit yang membuatnya harus bisa bertahan hidup. Atribut dari resiliensi terdiri atas
“strategi positif coping untuk mengatasi stres (seperti secara aktif mencari permasalahan,
mencari jalan alternatif untuk mengelompokkan stres), sebuah kemampuan untuk beradaptasi
terhadap lingkungan yang membuat stres, dan kemampuan untuk menjaga kesehatan mental dan
fisik selama periode stres berlangsung (Leon & Halbesleben, 2014).

Resiliensi merupakan sebuah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan bertahan,


serta tetap teguh dalam kondisi yang sulit (Reivich & Shatte, 2002). Seseorang yang resilien
akan berusaha untuk meregulasi emosinya, berusaha agar tetap tenang walau berada di bawah
tekanan (Reivich & Shatte, 2002; Bluth, Campo, Futch, & Gaylord, 2016) kemudian
mengeskpresikan emosinya secara tepat. Semua orang dapat melakukan resiliensi, meskipun
resiliensi ini terjadi tidak secara otomatis dan stabil, tetapi resiliensi merupakan kombinasi yang
kompleks dari berbagai faktor yang terdapat pada kesulitan dan kondisi situasi saat kesulitan itu
terjadi (Buikstra, et al., 2010). Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang tidak akan pernah lepas
dari permasalahan, stressor atau bahkan mendapat pengalaman hidup yang buruk. Beberapa
menjadi masa-masa sulit bagi seseorang. Pengalaman-pengalaman buruk seseorang ini
menuntutnya dapat bertahan dan melewati dengan baik, jika tidak akan menimbulkan beberapa
permasalahan lain. Hal ini juga dapat menyebabkan resiko berkembangnya gangguan mental
seperti depresi, kecemasan, dan posttraumatic disorders (Davydov, Stewart, & Chaudieu, 2010)

Sebuah studi menunjukkan bahwa seseorang yang resilien dapat menjaga atau
memulihkan kesehatan fisik dan psikologisnya melalui penurunan konsekuensi-konsekuensi
negatif yang didapatkan dari masa sulitnya (Conor & Davidson, 2003). Resiliensi ini merupakan
sebuah proses yang menunjukkan adaptasi seseorang secara positif dari stres atau pengalaman
traumatiknya (Sills, Cohan, & Stein, 2006). Maka dari itu resiliensi ini sangat bermanfaat untuk
kesehatan mental seseorang. Semakin resilien seseorang maka semakin baik juga seseorang
mengurangi faktor-faktor resiko yang dapat menganggu mentalnya (Davydov. Stewart, &
Chaudieu, 2010). Beberapa faktor yang dapat membentuk seseorang untuk menjadi resilien yaitu
kompetensi personal, mempercayai insting dan toleransi terhadap afek negatif, penerimaan
positif terhadap perubahan, kontrol, dan pengaruh spiritual (Conor & Davidson, 2003).
Kemampuan ini tidak hanya akan terjadi pada orang dewasa saja, tetapi juga bisa terjadi pada
anak-anak. Dalam review ini akan dibahas dalam berbagai karakteristik subjek termasuk kategori
usia anak-anak.
Salah satu manfaat dari resiliensi adalah dapat menurunkan kecemasan (Shi, Liu, Wang,
& Wang, 2015). Selain itu, resiliensi mempengaruhi afek positif dan mengurangi afek negatif,
sehingga membuat seseorang menjadi lebih bahagia (Lü, Wang, Liu, & Zhang, 2014). Resiliensi
juga dapat membantu meningkatkan kepuasan hidup (Liu, Wang, Zhou, & Li, 2014) untuk itulah
seseorang dapat memiliki harapan untuk mencapai subjective well-being dalam hidupnya (Satici,
2016). Setiap orang memiliki cara sendiri untuk menjadi resilien terhadap kesulitannya.
Kemampuan seseorang untuk menjadi resilien ini juga terkait dengan kepribadian atau
personality yang melekat pada orang tersebut. Ada banyak teori yang menjelaskan kepribadian
seseorang terbentuk. Salah satunya teori yang disampaikan oleh Robert McCrae dan Paul Costa
yaitu big five factors (sering ditulis big five personality). Faktor-faktor penyusun kepribadian
model ini yaitu extraversion, neuroticism, openess, agreeableness, dan conscientiousness (Costa
& McCrae, 1992). Dalam bukunya Schultz & Schultz (2009) mendeskripsikan masing-masing
faktor tersesbut, seperti neuroticism ini mempunyai ciri seseorang yang mudah cemas, merasa
tidak aman, mudah merasa tegang dan gugup. Extraversion mempunyai ciri-ciri yaitu mudah
bersosialisasi, banyak bicara, ceria dan hangat, dan penuh kasih sayang. Openess dideskripsikan
dengan orisinal, tidak tergantung, kreatif, dan berani. Agreeableness dideskripsikan sebagai
seseorang yang baik hati, berhati lembut, dapat dipercaya, dan sopan. Sedangkan
conscienstiousness dideskripsi-kan sebagai seseorang yang memiliki sifat peduli, dapat
diandalkan, pekerja keras, dan terorganisasi.
Pengertian resilience

Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata resilience yang berarti daya lenting atau
kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Aprilia, 2013).
Menurut American Psychological Association (APA), resiliensi adalah proses adaptasi
dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau bahkan sumber-sumber signifikan
yang dapat menyebabkan individu stres (Southwick dkk., 2014).
Connor dan Davidson (2003) yang menyatakan bahwa resiliensi adalah kualitas
kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan.
Wagnild dan Young (Losoi dkk, 2013), resiliensi didefinisikan sebagai suatu kemampuan
individu untuk pulih kembali dari kondisi yang tidak nyaman dan sebagai karakteristik
kepribadian positif yang meningkatkan kemampuan individu dalam beradaptasi dan menghadapi
emosi negatif dari stres.
Snyder dan Lopez (2002) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan adaptasi yang
baik ketika individu berada di bawah kondisi yang merugikan atau tidak menyenangkan.
Rutten dkk (2013) yang menyatakan bahwa resiliensi sebagai sebuah proses yang dinamis dan
adaptif yang membantu mempertahankan kondisi individu atau kembali kekondisi semula
dengan cepat dari kondisi stres atau tertekan.
Connor dan Davidson (2003) mengemukakan lima aspek yang dapat membangun
resiliensi pada diri individu, yaitu :
a. kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan,
b. percaya kepada orang lain, memiliki toleransi pada emosi negatif dan tegar dalam
menghadapi stres,
c. penerimaan yang positif terhadap perubahan dan menjalin hubungan yang aman dengan
orang lain,
d. kontrol diri, dan
e. spiritualitas. Pertama, kompetensi personal, standar yang tinggi, serta keuletan.
Snyder dan Lopez (2002) mengemukakan bahwa terdapat dua pendekatan atau model dalam
menjelaskan bagaimana resiliensi dapat berkembang dalam diri individu, yaitu variable-focused
models dan person-focused models.
1. Variable-focused models
Variable-focused models menyebutkan bahwa resiliensi terbentuk dari interaksi
antara karakteristik individu, lingkungan, dan pengalaman-pengalaman yang membuat
individu memiliki kekuatan sebagai indikator baiknya kemampuan adaptasi ketika
dihadapkan dengan risiko atau kesulitan yang berat. Model ini dapat menggambarkan
interaksi satu arah atau secara independen antara aset, risiko, faktor protektif, atau faktor
risiko dengan individu atau suatu kelompok berisiko.
2. Person-focused models
Person-focused models mengidentifikasi resiliensi individu dan berusaha
memahami bagaimana perbedaannya atau dibandingkan dengan orang lain ketika
menghadapi situasi sulit sampai dengan mengalami perkembangan. Dalam studinya
terdapat tiga pendekatan dalam memahami bagaimana individu bisa menjadi resilien
ketika dihadapkan dengan situasi sulit. Pertama, memahami kondisi seseorang dalam
situasi natural untuk mengetahui kemampuannya dalam menilai, memahami,
memecahkan, dan belajar dari masalah. Kedua, memahami bagaimana individu menjadi
resilien selama berada di situasi yang penuh risiko. Ketiga, membandingkan resiliensi
individu satu dengan individu lain yang berada pada situasi yang berbeda, misal yang
berada pada situasi penuh risiko, rendah risiko, dan pergaulan yang maladaptif. Model ini
lebih berfokus untuk mengidentifikasi interaksi aset, risiko, faktor protektif, dan faktor
risiko secara holistik dalam memahami bagaimana terbentuknya resiliensi (Snyder &
Lopez, 2002). Dalam menentukan resiliensi, model ini menggunakan empat kuadran
untuk mengidentifikasi sejauh mana kemampuan individu. Pengelompokan kuadran
resiliensi menggunakan dua kriteria, yaitu level risiko/kesulitan dan level
kompetensi/adaptasi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Segala sesuatu terjadi karena terlibatnya berbagai faktor. Resiliensi yang dimiliki individu
dibentuk oleh berbagai faktor yang mengantarkan individu memiliki kapasitas bertahan dalam
kondisi sulit, beradaptasi dengan kondisi tersebut, sekaligus menggerakkan ke kemajuan di masa
depan. Usia dan gender, status sosial ekonomi, karakteristik kepribadian, religiositas,
kebersyukuran, koping stres, efikasi diri, kecerdasan emosi, optimisme, gaya pola asuh, dan
dukungan sosial adalah sejumlah faktor yang mengantarkan individu, keluarga, dan komunitas
memiliki kapasitas yang kita sebut resiliensi.

1. Usia dan Gender

Gender laki-laki atau perempuan tentu memiliki karakteristik yang berbeda baik secara
psikologis maupun fisik dan tentunya mempengaruhi bagaimana cara individu tersebut
menyikapi suatu kesulitan dalam hidup. Setiap gender memiliki tantangan atau tuntutan yang
dibentuk dari struktur sosial dan norma yang ada di mana individu tersebut tinggal. Kondisi ini
akan menentukan sejauh mana risiko dan kesulitan yang dapat muncul selama perjalanan hidup
individu tersebut. Psikologi Resiliensi Sejumlah penelitian pun dilakukan untuk melihat
perbedaan resiliensi berdasarkan usia dan gender. Goroshit dan Eshel (2013) meneliti tentang
faktor demografik yang mempengaruhi resiliensi komunitas dan negara. Hasilnya menunjukkan
bahwa semakin tua usia seseorang dapat menjadi prediktor terhadap resiliensi komunitas dan
negaranya. Sambu dan Mhongo (2019) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh usia dan
gender terhadap resiliensi warga Kenya yang mengalami trauma sebagai pengungsi di negaranya
sendiri. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden yang berusia 56-77 tahun
memiliki tingkat resiliensi yang tinggi, usia 35-55 tahun memiliki tingkat resiliensi sedang, dan
usia di bawah 35 tahun memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi. Kemudian, laki-laki
memiliki skor resiliensi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan faktor protektif
perempuan cenderung menggunakan keluarga dan komunitas, sedangkan laki-laki menggunakan
faktor protektif yang ada dalam dirinya sendiri. Harris (2016) dalam penelitiannya menguji efek
gender terhadap 94 resiliensi orang dewasa dalam menghadapi daily non-traumatic stressors.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gender memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
resiliensi dalam menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Responden perempuan menunjukkan
lebih resilien dibandingkan laki-laki dalam menghadapi daily non-traumatic stressors. Mwangi
dan Ireri (2017) melakukan penelitian terhadap perbendaan gender terhadap resiliensi akademik
pada 390 siswa Sekolah Menengah Pertama di Kenya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa siswa perempuan memiliki resiliensi akademik lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki.
Ludin (2018) meneliti tentang community disaster resilience kepada 386 orang korban bencana
alam banjir di Malaysia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat
resiliensi yang signifikan berdasarkan gender di mana perempuan memiliki skor resiliensi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
5.2 Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi (SSE) memiliki penjelasan dalam bagaimana isu kesehatan mental dapat
terjadi pada individu. SSE adalah konsep luas yang merujuk pada posisi seseorang, keluarga,
rumah tangga, atau kelompok dalam mendapatkan penghormatan untuk bisa merasakan sesuatu
yang berharga dalam hidup bermasyarakat. Stepleman, Wright, dan Bottonari (2008) dalam
tulisannya yang berjudul “Socioeconomic Status: Risks and Resilience” menjelaskan terdapat
dua model untuk melihat hubungan antara kesehatan mental dan SSE. Pertama, model social
causation menjelaskan tentang meningkatnya tingkat stres pada individu dipengaruhi oleh
rendahnya lingkungan SSE yang dimiliki sehingga berisiko terhadap tingginya tingkat gangguan
psikologis. Rendahnya SSE dapat memperburuk kesehatan fisik dan emosi karena paparan stres
yang tinggi namun tidak diimbangi dengan kesempatan untuk mengakses layanan psikologis.
Kedua, model social selection menekankan pada faktor genetik dan lingkungan menjadi
predisposisi terhadap gangguan psikologis yang diderita oleh individu. Hal ini kemudian
membuat individu tidak bisa memenuhi ekspektasi dalam norma sosial, tidak mendapatkan
pekerjaan, atau tidak memiliki hubungan sosial yang efektif. Kedua model tersebut saling
mempengaruhi dalam membentuk pribadi individu sehingga tidak ada faktor tunggal dalam
membentuk resiliensi. Kesehatan mental individu juga dipengaruhi oleh faktor risiko yang
dimilikinya. Faktor-faktor risiko ini yang membuat individu membutuhkan usaha dan waktu
yang lebih lama untuk bangkit kembali dari keterpurukan atau kesulitan yang dihadapinya.
Faktor-faktor risiko tersebut dapat dilihat dari tiga level, yaitu komunitas/sistem, keluarga dan
sosial, serta idnvidiu. Pada level komunitas/sistem, akses terhadap layanan kesehatan dapat
menentukan kesehatan mental individu. Individu yang berasal dari SSE yang rendah cenderung
kurang menggunakan layanan kesehatan dikarenakan oleh beberapa hal, seperti tidak memiliki
cukup uang atau asuransi dan stigma terhadap orang yang menjalani layanan psikologis.
Kemudian, masalah lingkungan tempat di mana individu tinggal juga mempengaruhi kesehatan
mentalnya. Kelompok minoritas memiliki risiko tinggal dalam tempat yang padat, berpolusi,
angka kejahatan tinggi, dan rendahnya fasilitas pendidikan dan lapangan pekerjaan untuk
mereka. Kondisi-kondisi tersebut berbeda dengan kelompok mayoritas yang cenderung lebih
mudah mendapatkan lingkungan yang lebih baik. Selain itu, pengalaman mendapatkan
diskriminasi atau rasisme juga menentukan kemampuan individu untuk menjadi resilien.
Diskriminasi dan rasisme membuat individu menjadi semakin rentah mengalami dampak negatif
baik secata fisik maupun psikologis dan akses terhadap layanan kesehatan. 64 Psikologi
Resiliensi Pada level keluarga atau sosial terdapat sejumlah kondisi yang dapat mempengaruhi
anak atau anggota keluarga lain mengalami permasalahan dalam kesehatan mental. Kondisi-
kondisi ini yang kemudian menjadi faktor risiko yang dapat mempengaruhi resiliensi individu
ketika dihadapkan dengan kesulitan dalam hidup. SSE rendah, orangtua yang kurang
mendapatkan edukasi/pendidikan, dan orangtua tunggal membuat anggota anak atau anggota
keluarga lainnya berisiko mengalami permasalahan fisik dan psikologis. Selain itu, keluarga
yang berada dibawah garis kemiskinan dan sering berpindah-pindah tempat tinggal juga
memiliki risiko yang sama terhadap kondisi individu. Kondisi-kondisi keluarga tersebut
memiliki korelasi terhadap risiko kecemasan, depresi, rentan mengalami stres, dan pesimis dalam
memandang masa depan. Kemudian, keluarga yang saling memberikan dukungan sosial dan pola
asuh yang suportif antara orangtua dan anak memiliki korelasi positif terhadap kondisi psikologis
individu dimasa yang akan datang. Pada level pribadi atau individu terdapat sejumlah aspek yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan resiliensi individu, seperti status
pernikahan/hubungan, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan. Individu yang memiliki
kepuasan dalam pernikahan menunjukkan kondisi psikologis yang lebih baik, faktor protektif
dalam resiliensi, dan menurunkan risiko mengalami stres. Tingkat pendidikan dan status
pekerjaan memiliki korelasi yang kompleks terhadap resiliensi dan stres yang dialami oleh
individu. Hal ini ditentukan dengan faktor-faktor lain yang menyertainya. Tingkat pendidikan
dan status pekerjaan dapat menjadi faktor protektif dan faktor risiko dalam waktu yang
bersamaan terkait hubungannya dengan isu kesehatan mental. Goroshit dan Eshel (2013) dalam
penelitiannya kepada 435 masyarakat Israel tentang bagaimana gambaran resiliensi komunitas
dan negara yang dimiliki. Temuan dari penelitian ini adalah semakin komunal sebuah komunitas
memiliki korelasi positif terhadap resiliensi komunitas namun tidak pada resiliensi negara. Bulut,
dkk (2018) melakukan penelitian kepada 1025 siswa kelas 10 dan 11 dari lima sekolah berbeda
yang berada di salah satu kota tertinggal di Turki. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana kondisi resiliensi remaja dilihat dari berbagai faktor demografi. Hasil
penelitian tersebut menemukan bahwa remaja yang berasal dari ekonomi rendah, memiliki
catatan kriminal, dan performa

3. Karakteristik Kepribadian

Kepribadian individu menentukan bagaimana cara ia menyelesaikan kesulitan dan menggunakan


kemampuannya dalam menghadapi kesulitan. Oleh karena itu, karakteristik kepribadian
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap resiliensi individu. Menurut McCrae dan Costa
(2003), terdapat lima ciri (trait) dalam kepribadian yang kemudian dikenal dengan istilah Big
Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan
conscientiousness. Disetiap ciri yang ada kemudian juga memiliki facet atau ciri yang lebih
spesifik dan merupakan aspek dari setiap ciri kepribadian yang ada. Ciri kepribadian neurotcism
menggambarkan individu yang memiliki permasalahan dengan emosi negatif, seperti rasa tidak
aman dan rasa khawatir. Individu yang memiliki tingkat neurotcism yang rendah cenderung akan
lebih bahagia dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat
neurotcism yang tinggi. Selain itu, ciri kepribadian neurotcism memiliki kesulitan dalam
menjalin hubungan, berkomitmen, self-esteem yang rendah, dan memiliki koping yang
maladaptif. Ciri kepribadian neurotcism memiliki enam facet, yaitu anxiety (kecemasan), self-
consciousness (menunjukkan emosi malu, insecure, terlalu sensitif, dan mudah merasa rendah
diri), depression (kerentanan mengalami depresi), anger hostility (amarah untuk bermusuhan),
impulsiveness (tidak mampu mengendalikan dorongan atau keinginan), dan vulnerability
(kecenderungan tidak mampu menghadapi stres, mudah menyerah, dam bergantung dengan
orang lain). Ciri kepribadian extraversion menggambarkan individu yang memiliki kuantitas
dalam interaksi sosial, level aktivitas, dan kebutuhan akan dukungan orang lain. Individu yang
memiliki tingkat extraversion yang tinggi cenderung terbuka, ramah, dan menikmati hubungan
interper- 66 Psikologi Resiliensi sonal. Kemudian, individu yang memiliki tingkat extraversion
rendah atau introvert cenderung tertutup dan lebih menikmati waktu sendiri. Selain itu, ciri
kepribadian extraversion memiliki emosi yang positif, energik, ambisius, dan tertarik pada
banyak hal. Ciri kepribadian extraversion memiliki enam facet¸yaitu warmth (kehangatan dalam
bergaul), gregariousness (cenderung memiliki banyak teman dan berinteraksi dengan orang
banyak), activity (mengikuti berbagai kegiatan karena memiliki semangat dan energi yang
tinggi), assertiveness (cenderung tegas melalui perilaku asertif), excitement-seeking (cenderung
menyukai sensasi dan mengambil risiko), dan positive emotion (memiliki emosi positif seperti
bahagia atau cinta). Ciri kepribadian openness to experience merujuk pada kesediaan melakukan
penyesuaian terhadap situasi atau ide yang baru. Hal ini ditandai dengan individu yang mudah
bertoleransi, cenderung lebih mudah menyelesaikan masalah karena terbuka terhadap
pengalaman baru, kreatif, fokus, mampu menyerap informasi, serta mampu untuk waspada pada
berbagai perasaan, pemikiran, dan impulsivitas. Individu yang memiliki ciri kepribadian
openness to experience digambarkan sebagai individu yang memiliki nilai imajinasi,
broadmindedness, dan a world of beauty. Sebaliknya, individu yang tingkatnya rendah memiliki
nilai kepatuhan, konservatif, keamanan bersama, dan tidak menyukai perubahan. Ciri
kepribadian openness to experience memiliki enam facet, yaitu fantasy (imajinasi yang aktif dan
tinggi), aesthetic (apresiasi tinggi pada seni dan keindahan), feelings (menyadari dan kemudian
menyelami perasaannya sendiri), action (keinginan melakukan hal baru), ideas (berpikiran
terbuka dan tidak konvensional), dan values (kesiapan dalam menguji ulang nilainilai sosial,
politik, dan agama). Ciri kepribadian agreeableness juga dapat disebut dengan social adaptability
atau social likability ditandai dengan individu yang ramah, mudah mengalah, menghindari
konflik, dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu yang memiliki
tingkat kepribadian agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai individu yang penyayang,
gemar membantu, dan mudah memaafkan sedangkan rendahnya tingkat agreeableness membuat
individu cenderung agresif dan sulit untuk diajak kooperatif. Ciri kepribadian agreeableness
memiliki enam facet, yaitu trust (percaya kepada orang lain), straight-forwardness (berterus
terang dan

4. Religiusitas

Religiusitas menjadi faktor protektif pada kondisi psikologis seseorang. Menurut Nashori dan
Diana (2002), religiusitas adalah seberapa banyak pengetahuan, seberapa kokok keyakinan,
seberapa pelaksanaan ibadah dan akidah, serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang
dianut. Dalam konsep Islam, Ancok dan Nashori (2008) menjelaskan bahwa religiusitas
memiliki lima dimensi. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang Muslim terhadap
ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim
dalam mengerjakan kegiatan ritual seperti yang dianjurkan dalam agama Islam. Ketiga akhlak,
yaitu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam dalam hal
bagaimana berinteraksi atau berealisasi dengan dunia beserta isinya. Keempat pengetahuan
agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang
termuat dalam al-Qur’an. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam
menjalankan aktivitas beragama dalam agama Islam. Rahmawati (2014) menemukan bahwa
mahasiswa yang memiliki keyakinan atas agamanya, dan beribadah sembari mengevaluasi
kondisi keimanan dapat meningkatkan resiliensi. Makshin, dkk (2019) melakukan penelitian
tentang efektivitas journal of self-hisbah reflection dalam meningkatkan religiusitas dan
resiliensi pada usia remaja. Journal of self-hisbah reflection merujuk pada refleksi diri dan
implementasi nilai agama kepada lingkungan sosial, yaitu dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi
munkar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan melalui perilaku amar ma’ruf dan nahi munkar
mampu meningkatkan tingkat religiusitas dan resiliensi pada remaja. Sejumlah penelitian lain
mengungkapkan bahwa religiusitas juga memiliki korelasi yang signifikan terhadap kemampuan
seseorang bangkit kembali terhadap masalah dan kondisi kejiwaan tertentu. Feder, dkk.
(Mosqueiro, Rocha & Fleck, 2015) menyatakan bahwa religiusitas dapat menjadi sumber
resiliensi pada diri individu dalam menghadapi kesulitan dan pengalaman traumatis. Kasen,
Wickramaratne, Gameroff dan Weissman (2012) menemukan bahwa religiustias dapat
mengembangkan resiliensi pada orang-orang yang memiliki risiko depresi berat. Dehghani-
Firoozabadi, dkk (2017) menemukan bahwa sikap religius yang memiliki korelasi Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Resiliensi 69 positif terhadap resiliensi perempuan yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga. Jangi dan Sardari (2019) juga menyimpulkan bahwa religiusitas
efektif dalam meningkatkan resliensi pada pasien kanker.

5. Koping Stres

Koping stres adalah proses di mana individu berusaha untuk mengatasi atau mengurangi stres
(Sarafino, 2006). Lazarus dan Folkman (1984) mengklasifikasikan koping stres menjadi dua,
yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Problem-focused coping adalah
perilaku pemecahan masalah yang berfokus pada masalah menggunakan strategi analisis, logika,
mencari informasi, dan berusaha menyelesaikan masalah secara positif. Emotional-focused
coping adalah pemecahan masalah yang berfokus pada emosi di mana melakukan regulasi
terhadap emosi yang muncul akibat stres atau masalah.
6. Efikasi diri (self-efficacy)
Efikasi diri adalah suatu keyakinan individu akan kemampuannya dalam mengatur dan
melaksanakan serangkaian perilaku atau tindakan yang diperlukan guna menyelesaikan suatu
tugas tertentu. Efikasi diri dipengaruhi oleh tiga dimensi, yaitu level, generality, dan strength.
Dimensi level merujuk pada tingkat kesulitan yang diyakini individu akan mampu mengatasinya.
Jika individu memiliki efikasi diri yang tinggi maka akan memiliki keyakinan berhasil dalam
melakukan suatu tugas dan sebaliknya. Dimensi generality adalah variasi situasi di mana
individu merasa yakin atas kemampuan dirinya. Jika individu memiliki efikasi diri yang tinggi
maka dirinya akan merasa bisa menyelesaikan beragam tugas yang ada dan sebaliknya. Dimensi
strength menjelaskan tentang seberapa kuat individu meyakini dirinya mampu menyelesaikan
suatu tugas. Semakin kuat keyakinan individu akan dirinya maka akan semakin tinggi efikasi diri
yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas.
7. Kecerdasan emosi
Kondisi emosi menjadi faktor yang signifikan dalam amenentukan apakah individu bisa resilien
atau tidak. Dalam konsep psikologi dikenal istilah kecerdasan emosi yang menitikberatkan pada
kemampuan individu dalam mengelola emosinya. Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam mengamati perasaan pribadi dan orang
lain, mengidentifikasi perasaan-perasaan tersebut, dan menggunakannya dalam memandu proses
berpikir dan bertindak terhadap sesuatu.
8. Optimisme
Snyder dan Lopez (2002) menjelaskan bahwa optimisme adalah suatu harapan yang ada pada
diri individu bahwa segala sesuatu akan berjalan menuju arah kebaikan. Saphiro (2003)
menambahkan optimisme sebagai kecenderungan untuk memandang sesuatu dari sisi baiknya
dan mengharapkan hasil yang paling memuaskan.

9. Kebersyukuran
Kata gratitude diambil dari akar Latin gratia, yang artinya kelembutan, kebaikan hati,
atau berterima kasih. Kata-kata yang terbentuk dari akar kata gratia berhubungan dengan suatu
kebaikan, kedermawaan, pemberian, keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan
sesuatu tanpa tujuan apapun (Emmons & McCullough, 2003).
Emmons dan McCullough (2003) mendefinisikan syukur sebagai sebuah perasaan atau
emosi, yang kemudian diimplementasikan dalam sikap, sifat moral yang baik, sifat kepribadian,
dan akan mempengaruhi bagaimana individu menanggapi suatu situasi.
Dari perspektif Islam, Al-Jauziyyah (2010) mendefinisikan bersyukur sebagai pengakuan
terhadap nikmat Allah SWT dengan sikap ketundukkan dan memuji atas yang telah diberikan-
Nya dengan menyebut atau mengingat atas nikmat-nikmat yang telah didapat serta mengerahkan
kemampuan yang dimiliki individu dalam ketaatan.
10. Gaya pola asuh
Resiliensi terbentuk dari interaksi antara faktor internal dan eksternal individu, salah
satunya adalah pola asuh yang diterima dalam keluarga.
Baumrind (Santrock, 2007) menjelaskan bahwa pola asuh orangtua adalah sikap atau
perilaku orangtua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih
sayang kepada anak. Pola asuh untuk kebutuhan anak dari orang tua seperti kebutuhan fisik
(makan dan minum),kebutuhan psikologis (rasa aman,kasih sayang dan perhatian).
Pola asuh orangtua dapat dilihat dari bagaimana dua dimensi yang menyusunnya, yaitu
dimensi kontrol dan dimensi responsivitas. Dimensi kontrol menjelaskan tentang tuntutan yang
diberikan oleh orangtiua kepada anak agar anak menjadi individu yang bertanggung jawab dan
dewasa. dimensi responsivitas meliputi kehadiran dukungan, kehangatan, dan kasih sayang yang
diberikan oleh orangtua kepada anak. Berdasarkan dua dimensi ini
Baumrind mengelompokkan terdapat empat jenis pola asuh, yaitu authoritative,
authoritarian, permissive, dan uninvolved.
1. Pola asuh authoritative ditandai dengan tingginya tingkat kontrol dan tuntutan
kedewasaan oleh orangtua dalam pengasuhan.
2. Pola asuh authoritarian atau otoriter ditunjukan dengan tingginya tingkat kontrol dan
rendahnya tingkat responsivitas orangtua kepada anak
3. Pola asuh permissive ditandai dengan tingginya tingkat responsivitas dan rendahnya
tingkat kontrol.
4. Pola asuh uninvolved adalah pola asuh yang ditunjukkan dengan sangat rendahnya
tingkat responsivitas dan tingkat kontrol kepada anak.
11. Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari
orang lain yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi individu.
Dukungan sosial dapat menjadi faktor eksternal yang dapat membantu seseorang menjadi
lebih resilien dalam situasi dan keadaan sulit yang membutuhkan adaptasi

Anda mungkin juga menyukai