Anda di halaman 1dari 13

RESILIENSI

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Positif

Dosen Pengampu: Lukmawati, M.A.

Disusun oleh Kelompok 6:

1. Irna Afifah Amanda Sari (2030901171)

2. Alya Rizky Nur Kamila W. (2030901179)

3. Siti Saluna Nurhaliza (2030901175)

4. Mei Dwi Yanti (2030901168)

5. Yustika Pratiwi (2030901176)

6. Ghaliyatul NingTiyas (2030901180)

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 3

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4

C. Tujuan Penelitian............................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 5

A. Konsep Resiliensi .............................................................................................................. 5

B. Ciri-Ciri Individu yang Resilien ........................................................................................ 6

C. Cara Membentuk Pribadi yang Resilien............................................................................ 7

BAB III. PENUTUP ............................................................................................................... 12

1. Simpulan .......................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13


KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan kesehatan dan kesempatan
sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik. Makalah dengan judul Resiliensi ini
bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca.
Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah ikut
berkontribusi secara maksimal. Meski demikian, kami meyakini masih banyak yang perlu
diperbaiki dalam penyusunan makalah ini, sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari
pembaca sekalian sebagai bahan evaluasi kami.
Demikian, besar harapan kami agar makalah ini dapat menjadi bacaan yang bermanfaat.

Palembang, 21 Mei 2022


Kelompok 5
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani hidup, tidak semua momen adalah momen bahagia, sekalipun orang
yang berbahagia. Semua orang pasti pernah mengalami penderitaan karena rasa bahagia
seseorang tidak tergantung pada seberapa banyak momen bahagia dalam hidup, melainkan
seberapa tinggi kita memiliki kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Akan tetapi,
manusia cenderung larut dalam kesedihan ketika ditimpa musibah, padahal peristiwa buruk
tidak selamanya akan menetap, ia justru dapat memberikan kebaikan dan pelajaran.
Kemampuan untuk bangkit dari kesedihan adalah salah satu kunci kebahagiaan, dan kunci itu
disebut juga dengan nama resiliensi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan resiliensi?
2. Apa saja ciri-ciri individu yang resilien?
3. Bagaimana cara membentuk pribadi yang resilien?

C. Tujuan Penelitian
1. Memahami definisi dan konsep resiliensi.
2. Mengetahui ciri-ciri individu yang resilien.
3. Mengetahui cara membentuk pribadi yang resilien.
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Resiliensi
Pada dasarnya manusia itu selalu memiliki sisi positif yang perlu untuk kita
kembangkan. Salah satu sisi positif tersebut adalah kemampuan untuk bangkit, resiliensi
mampu membuat kita berporoses “menjadi” (being) dan berkembang dalam kesulitan atau
tertekan dalam hidup yang di jalani. Rasiliensi mampu mendorong seseorang untuk
memberikan penilaian yang baik bahkan lebih sekedar baik dalam menghadapi suatu
permasalahan. Hal tersebut dapat embuat kita mampu mecegah atau meminimalisir pengaruh
yang dapat merusak kita ketika kita mengalami musibah. Contohnya resiliensi dapat
menghindari dari penyakit fisik yang tercipta dari stress yang berkepanjangan akibat musibah
yang terjadi. Resiliensi dapat membuat kita tetap setabil baik secara fisik maupun psikis untuk
mendapatkan pengalaman dan esmosi positif, meskipun dihadapi pada situasi traumatic
(saputra, dkk, 2017).
Resiliensi (resilience) menurut reivich dan shatter (2002) merupakan kapasitas
seseoranguntuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelolah tekanan atau tuntutan hidup kebiasaan atau
kemampuan untuk penyesuaian dan tetap teguh dalam situasi rumit. Resiliensi (resilience)
mempunyai makna yaitu daya pegas, daya kenyal atau kegembiaraan. Istilah resiliensi awal
mula pengucapan oleh block dengan nama Ego-resilience yang diartikan sebagai kemampuan
umum yang melebihi kemampuan adptasi yang tinggi dan fleksible saat dihadapkan pada
tekanan internal atau eksternal (Tristiadi & Istiqomah, 2020).
Wolff mengartikan resiliensi sebagai sikap (trait). Trait ini ialah kapasitas tersembunyi
yang muncul untuk menghadapi kehancuran individu dan melindungi individu dari segala
rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai inteligensi yang baik, mudah menyesuaikan
diri,sosial temperament dan berkepribadian yang menarik dan akhirnya memberi kontribusi
secara konsisten pada penghargaan pada diri sendiri, kompentensi dan perassan ia beruntung.
Individu tersebut merupakan individu yang resiliensi. Menurut Emmy E Wenner (dalam
Nofrans, dkk, 2017) dan sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk
menggambarkan 3 fenomena yakni;
1. Perkembangan positif (nyata) yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks
beresiko tinggi (high-risk) seperti anak yang hidup dalam kemiskinan (kekurangan)
kronis atau perlakuan kasar orang tua.
2. Kompetensi yang dimugkinkan muncul di bawah tekanan yang berkepanjangan seperti
peristiwa-peristiwa di sekitar perceraian orang tua mereka.
3. Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara dan
kampkonsentrasi.

Paradigmanya bersumber pada pandangan yang muncul dari lapangan psikologi ataupun
sosiologi adapun bagaimana seseorang baik anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari
masalah, trauma, atau stress akibat dari masalah yang dialaminya. Ada individu yang mampu
bertahan dan bangkit dari keadaan yang buruk. Tetapi, tidak banyak pula individu yang gagal
keluar dari keadaan buruk tersebut (Wahidah, 2019).

Sementara itu resiliensi akademik ialah istilah yang mempresentasikan kemampuan


seseorang dalam menghadapi berbagai tugas akademik dalam lingkungan sekolah Mengetahui
lebih lanjut tentang bagaimana resiliensi akademik dapat berhasil, akan memberikan
sumbangan besar terhadap usaha yang dapat dilakukan untuk memberikan pendampingan
proses belajar siswa dan studi mahasiswa secara tepat. Para ilmuwan psikologi saat ini
merasakan adanya beberapa kelemahan mendasar dari teori-teori psikologi modern maka dari
itu perlu mengajukan satu alternatif psikologi. Inilah yang kemudian memuncul alternatif
psikologi Islami. Psikologi Islam mendapat pandangan yang khas mengenai manusia, tentang
penciptaan manusia dan hakekat manusia yang tertuang dalam Al Quran dan Hadits, baik
tersurat (jelas maknanya) maupun tersirat (perlu penafsiran) serta menawarkan problem
solving atas segala probematika kehidupannya. Tertera dalam resiliensi akademik yang
merupakan kemampuan yang dimiliki individu yang tidak gagal ketika menghadapi tekanan
dan masalah dalam atmosfir pembelajaran (Wahidah, 2019).

Beranjak dari paradigma tersebut, keterangan terhadap resiliensi akademik prespektif


psikologi Islam membuat hal yang menarik. Selain untuk melihat metode Islamisasi ilmu yang
berkembang, juga untuk mencari aspek-aspek resiliensi akademik dalam Islam yang berdasar
pada al Qur'an dan Hadits. Resiliensi akademik perspektif psikologi Islam juga untuk
mewariskan alternatif bagi kritik yang dilakukan terhadap psikologi modem yang melepaskan
diri dari nilai-nilai ketuhanan (Wahidah, 2019).

B. Ciri-Ciri Individu yang Resilien


Pribadi yang resilien bukan berarti pribadi yang semata-mata tidak pernah mengalami
masalah atau emosi negatif seperti marah, cemas, kecewa atau mungkin depresi dalam
kehidupannya. Namun, pribadi yang resilien adalah pribadi yang mampu mengelola setiap
masalah bahkan menjadikan masalah yang dialaminya sebagai potensi untuk membuat dirinya
berkembang. Berdasarkan pendapat Reivich & Shatte (dalam Widuri, 2012) memaparkan
aspek yang menjelaskan ciri pribadi yang resilien, yaitu:
1. Emotion regulation (pengaturan emosi), maksudnya mampu mengelola emosi secara stabil
dan mampu menjadikan emosi tersebut menjadi sebuah tantangan positif. Contoh:anda
merasa marah kepada teman karena mendapatkan nilai ujian yang lebih tinggi dan
menganggap teman tidak setia kawan. Adanya perasaan marah dan kecewa tersebut perlu
untuk di netralisir agar emosi negatif tidak menjadi berlebihan, dengan mengubah pola
pikir dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai motivasi dan semangat bagi diri untuk
belajar lebih giat lagi, sehingga mendapatkan nilai bagus tanpa harus menyalahkan orang
lain.
2. Impuls control (kontrol terhadap impuls), maksudnya mampu mengendalikan dorongan
dari dalam diri agar tidak bersikap impulsif.
3. Optimism (optimisme), maksudnya menjalankan atau menyelesaikan permasalahan
dengan bijak. Contoh: apabila terjadi suatu masalah, tidak fokus siapa yang salah
melainkan fokus untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.
4. Causal analysis (menganalisa masalah), maksudnya mampu menganalisa penyebab dalam
suatu permasalahan yang terjadi secara akurat.
5. Emphaty (empati), maksudnya seseorang dapat merasakann kondisi psikologis dan
emosional orang lain. Emphaty timbul karena kita lebih dahulu pernah merasakan apa yang
orang lain rasakan, terutama dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami. Contoh:
orang yang pernah mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, ia akan lebih empati
kepada mereka yang mengalami kecelakaan yang sama karna orang tersebut telah
merasakan sakitnya.
6. Self Efficacy (efikasi diri), maksudnya mempunyai keyakinan diri dapat menyelesaikan
tugas atau permasalahan yang sedang dihadapi.
7. Reaching Out (pencapaian), maksudnya seseorang telah mengeluarkan batas kemampuan
yang sebenernya dan merasakaan senang atas pencapaian yang telah dilakukaannya.
C. Cara Membentuk Pribadi yang Resilien
Kemajuan zaman menawarkan berbagai kemudahan sekaligus berbagai masalah. Untuk
itu orang tua perlu mempersiapkan anak agar mampu menghadapi berbagai masalah dan
hambatan dengan kemampuan bertahan yang baik dan bangkit kembali. Untuk membentuk
resiliensi tersebut, orang tua perlu berempati, berkomunikasi dan bersikap positif pada anak,
melatih anak agar dapat membuat keputusan dan memecahkan masalah, membantu anak
bersikap realistis, menumbuhkan kedisiplinan, hingga melibatkan anak dalam berbagai
kegiatan sosial. Menurut Brooks dan Goldstein (dalam Novianti, 2018) ada sepuluh sikap yang
perlu dimiliki oleh orang tua yang mendukung terbentuknya resiliensi pada anak:
1. Empati
Empati merupakan landasan dari segala hubungan, baik hubungan antara orang tua dan
anak, suami istri, maupun guru dan murid. Empati bukan berarti orang tua setuju dengan semua
sikap yang dilakukan anak, tetapi lebih kepada upaya menghargai dan memahami sudut
pandang anak. Tetapi bisa lebih sulit untuk berempati ketika orang tua sedih, marah, atau
kecewa pada seorang anak.
2. Berkomunikasi Secara Efektif dan Mendengarkan Secara Aktif
Empati memberi warna pada cara orang tua berkomunikasi dengan anak. Seperti
mengatakan "kamu selalu tidak menghormati" atau "kamu selalu berdebat". Seni komunikasi
memiliki implikasi sikap yang penting bagi beberapa komponen perilaku yang berkaitan
dengan resiliensi, yaitu keterampilan sosial, empati, pemecahan masalah, dan kemampuan
mengambil keputusan.
3. Mengubah Skenario Negatif
Orang tua biasanya mendekati anak-anaknya dalam jangka waktu berminggu-minggu
atau bahkan bertahun-tahun. Ternyata orang tua tetap melakukan tindakan tidak produktif pada
anaknya karena merasa bahwa sikap yang harus diubah adalah anak, bukan orang tua. Orang
tua harus bisa bereksplorasi dan berani memikirkan sikap apa saja yang bisa dilakukan dengan
cara yang berbeda agar tidak terus menerus menguras tenaga dengan sia-sia.
4. Mencintai Anak Sehingga Mereka Merasa Istimewa dan Dihargai
Prinsip dasar dalam membangun resiliensi pada anak adalah setidaknya satu orang
(lebih baik jika ada beberapa orang) yang percaya betapa berharganya anak. Jangan pernah
meremehkan kekuatan yang dimiliki salah satu orang tua untuk mengarahkan anak agar lebih
produktif, sukses dan mencapai kepuasan dalam hidup. Sebagai orang tua, sangat penting untuk
membantu anak Anda merasa istimewa dan dihargai. Salah satu pendekatan sikap yang dapat
dilakukan adalah dengan menjadwalkan “waktu khusus” untuk berinteraksi dengan anak agar
anak mendapatkan perhatian penuh dan orang tua dapat menyampaikan berbagai hal positif
yang berguna dalam membentuk kepribadian anak.
5. Terima Anak Apa Adanya dan Bantu Mereka Memiliki Aspirasi yang Realistis
Setiap anak unik sejak lahir. Beberapa anak memiliki temperamen yang 'mudah' seperti
penurut, tidak cengeng dan senang. Dan juga seorang anak dengan temperamen yang 'sulit'.
Anak seperti itu mudah tersinggung, sulit dibujuk ketika marah. Ketika orang tua mampu
menerimanya, mereka akan mampu menyusun harapan dan cita-cita sesuai dengan
temperamen anak. Menerima anak apa adanya dan menghormati temperamennya yang berbeda
tidak berarti bahwa orang tua mengizinkan perilaku yang tidak pantas dan tidak dapat diterima,
melainkan memahami perilaku tersebut dan membantu anak mengubahnya dengan tidak
mengganggu harga diri anak.
6. Membantu Anak Meraih Kesuksesan dengan Mengenali dan Memperkuat Kompetensinya
Resilience Ana tidak mengabaikan masalah sikap yang mereka hadapi, tetapi mereka
mengenali dan fokus pada kekuatan sikap mereka. Perlu digarisbawahi bahwa perasaan
berharga, harapan, dan ketangguhan anak dapat terbentuk berdasarkan pengalaman
keberhasilan anak dalam aspek kehidupannya.
7. Membantu Anak Sadar Bahwa Kesalahan adalah Pengalaman yang Dapat Dipetik Pelajaran
Terdapat perbedaan sikap yang signifikan antara anak resilien dan anak non resilien
dalam melihat kesalahan. Dengan sikap pesimis ini, mereka menghindari tantangan, merasa
tidak mampu dan menyalahkan orang lain atas masalah mereka. Jika orang tua ingin mendidik
anaknya menjadi tangguh, maka anak harus didorong untuk mengembangkan cara pandang
yang sehat terhadap kesalahan sejak dini.
8. Mengembangkan Tanggung Jawab Sosial dan Sensitivitas
Ketahanan anak memiliki rasa tanggung jawab. Cara bersikap yang benar adalah
dengan memberikan kesempatan untuk merasakan kesuksesan, terutama dalam melakukan
perubahan positif terhadap dunia. Orang tua melibatkan anak dalam kegiatan amal seperti
memberi makan orang yang kurang mampu, yang berarti mengembangkan harga diri dan
kepekaan sosial pada anak.
9. Mengajarkan Anak Memecahkan Masalah dan Mengambil Keputusan
Anak resilien memiliki harga diri yang tinggi dan percaya bahwa mereka dapat
mengarahkan diri sendiri. Anak yang resilien mampu mendefinisikan masalah dan juga
mempertimbangkan berbagai solusi dan belajar dari hasil yang diperoleh.
10. Mendisiplinkan Anak Dengan Mengembangkan Disiplin Diri dan Harga Diri
Penting dalam menerapkan disiplin pada anak dalam mendisiplinkan mereka secara
nyata. Cara orang tua mendisiplinkan anak dapat mengembangkan bahkan melemahkan harga
diri, salah satu tujuan utama penerapan disiplin adalah menciptakan lingkungan yang aman,
serta mengembangkan pengendalian diri dan disiplin pada anak.
Terdapat aspek-aspek Resiliensi yang membangun resiliensi menurut Reivich & Shatte
(dalam Ambarwati & Pihasniwati, 2017) yaitu:
1. Emotional Awareness and Regulation
Emotional Awareness and Regulation berkaitan dengan kemampuan untuk
mengendalikan emosi dan tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Untuk membangun
resiliensi setiap individu perlu mengendalikan emosinya dan tetep tenang apabila berada pada
kondisi yang menekan dan tenang dalam menghadapinya.
2. Impulse Control
Impulse control merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk mengendalikan
keinginan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Dalam menumbuhkan
resiliensi individu harus bisa mengendalikan emosi, jika seorang individu tidak memiliki
impulse control maka akan mengalami perubahan emosi yang dapat mengendalikan pikiran
juga emosi seseorang.
3. Realistis Opimisme and Thinking Style
Seseorang perlu memiliki sifat realistis opimisme and thinking style untuk membangun
resiliensi, yang artinya bagaimana cara seorang individu untuk mempercayai bahwa segala hal
dalam kehidupan individu dapat berubah kearah yang lebih baik atau positif.
4. Flexible Thinking of Problem Solve
Untuk membangun resiliensi seseorang perlu memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapinya dapat disebut dengan flexible thinking of
problem solve artinya adalah kemampuan dalam mengidentifikasi penyebab dari permasalahan
secara akurat.
5. Self-Efficacy and Self-Accountability
Seseorang perlu self-efficacy and self-accountability dalam membangun resiliensi, self-
efficacy and self-accountability adalah percaya terhadap kemampuan yang dimiliki diri sendiri
dalam memilih dan memutuskan sesuatu, serta bertanggung jawab terhadap hal yang dipilih
tersebut.
6. Emphaty
Untuk membangun resiliensi seseorang perlu memiliki sifat empati agar ia dapat
memahami situasi dan juga kondisi. Empati berarti individu memiliki kemampuan individu
dalam memahami situasi dari perspektif orang lain. Seseorang yang memiliki empati malah
cendrung memiliki hubungan yang positif.
7. Reaching Out
Reaching out adalah kemampuan individu dalam meraih aspek positif serta memiliki
makna dan tujuan dari kehidupannya. Dalam membentuk resiliensi individu perlu memiliki
makna dan tujuan dari kehidupannya dikarenakan resiliensi bukan hanya kemampuan untuk
bangkit dari keterpurukan tapi juga untuk dapat mengambil aspek positif yang terjadi dalam
kehidupan.
BAB III. PENUTUP
1. Simpulan
Resiliensi (resilience) menurut reivich dan shatter (2002) merupakan kapasitas
seseoranguntuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelolah tekanan atau tuntutan hidup kebiasaan atau
kemampuan untuk penyesuaian dan tetap teguh dalam situasi rumit. Menurut Reivich & Shatte
(dalam Widuri, 2012) terdapat delapan ciri pribadi yang resilien, yaitu Emotion regulation,
Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self Efficacy, dan Reaching Out.
Brooks dan goldstein (dalam novianti, 2018) menyatakan bahwa ada sepuluh sikap
yang perlu dimiliki oleh orang tua yang mendukung terbentuknya resiliensi pada anak, yaitu
berempati pada anak, berkomunikasi secara efektif dan mendengarkan secara aktif, mengubah
skenario negatif, mencintai anak sehingga mereka merasa istimewa dan dihargai, terima anak
apa adanya dan bantu mereka memiliki aspirasi yang realistis, membantu anak meraih
kesuksesan dengan mengenali dan memperkuat kompetensinya, membantu anak sadar bahwa
kesalahan adalah pengalaman yang dapat dipetik pelajaran, mengembangkan tanggung jawab
sosial dan sensitivitas, mengajarkan anak memecahkan masalah dan mengambil keputusan, dan
mendisiplinkan anak dengan mengembangkan disiplin diri dan harga diri.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati & Pihasniwati. (2017). Dinamika Resiliensi Remaja yang Pernah Mengalami
Kekerasan Orang Tua. Psikologika, Vol 22. No 1.
https://journal.uii.ac.id/Psikologika/article/download/10667/8299 (diakses pada 21
Mei 2022).

Ardani Ardi Tristiadi & Istiqomah. (2020). Psikologi Positif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nofrans S. E, dkk. (2017). Berani berksrskter positif, Jakarta, PT Bumi Aksara.

Wahidah, E. Y. (2019). Resiliensi Akademik Perspektif Psikologi Islam. Proceeding National


Conference Psikologi UMG 2018, vol. 1 no. 1
http://journal.umg.ac.id/index.php/proceeding/article/view/902 (diakses 21 mei 2022).

Widuri, E. L. (2012). Regulasi Emosi dan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama.
Humanitas. August/ Agustus. 9(2), 150.

Anda mungkin juga menyukai