Anda di halaman 1dari 70

MAKALAH PSIKOLOGI

PENILAIAN, MENGATASI, DAN HASIL ADAPTASI


(Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas kelompok Mata Kuliah psikologi yang
diberikan
oleh Dosen Ibu Juliyanti S.Kep.,Ners.,M.Si)

Disusun Oleh :
1. Allika Laira Rizqia Putri (1440122016)
2. Fahmi Labib (1440122026)
3. Fernando (1440122053)
4. Fira hukunala(1440122055)
5. Meri Asni (1440122056)
6. Nurlatifah Rangkuti (14401220021)
7. Rani Indriyani (1440122042)
8. Ranti hermawati (1440122003)
9. Sinta Ratnasari (1440122018)
10. Widya nurlianti (1440122001)

D-3 KEPERAWATAN 2022


INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG

Jl. Raya Kopo No.161, Situsaeur, Kec. Bojongloa Kidul, Kota Bandung, Jawa
Barat 40232

2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul ‘’BAB 7 Penilaian,Mengatasi,Hasil Adaptasi’’
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Psikologi .

Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang penilaian


mengatsi adaptasi para pembaca dan juga bagi kami mengucapkan terima kasih
kepada oleh Dosen Ibu Juliyanti S.Kep.,Ners.,M.Si selaku Dosen Mata Pelajaran
psikologi .

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.Kami menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna.

Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Bandung ,25 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 1
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORI ............................................................................... 3
2.1 Penilaian, Mengatasi, dan Hasil Adaptasi ........................................ 3
2.2 Fungsi Sosial ..................................................................................... 6
2.2.1 Efektivitas Dalam Pertemuan Khusus ..................................... 7
2.2.2 Fungsi Sosial Dalam Jangka Panjang ................................... 15
2.3 Moral ............................................................................................... 21
2.3.1 Emosi dan Kesejahteraan Dalam Jangka Pendek .................. 22
2.3.2 Hubungan Antara Kesejahreraan Jangka Pendek dan
Semengat Jangka Panjang..................................................... 24
2.4 Kesehatan Somatik .......................................................................... 35
2.4.1 Sifat Umum dan Sifat Khusus ............................................... 37
2.4.2 Mengatasi dan Hasil Kesehatan ........................................... 44
2.5 Komentar Penutup ........................................................................... 58
2.6 Ringkasan ....................................................................................... 60
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 64
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 64
3.2 Saran ............................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1....................................................................................................................... 54

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi.
Mengatasi atau penanganan adalah proses menguasai tentang cara bagaimana
suatu masalah dapat diatasi dan ditangani. Sementara hasil adaptasi adalah
hasil dari bagaimana cara seseorang dalam mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk dapat bertahan hidup. Dalam hal ini penilaian, mengatasi, dan
hasil adaptasi menjadi satu kesatuan dalam sebuah penelitian.
Isu yang menjadi perhatian besar para peneliti di bidang ini adalah
bagaimana penilaian dan koping memengaruhi tiga kelas utama hasil adaptasi
dari fungsi sosial, moral, dan kesehatan somatik. Secara keseluruhan,
hubungan antara moral, fungsi sosial, dan kesehatan somatik sangat kompleks.
Penting untuk diketahui bahwa fungsi yang baik di satu bidang mungkin
berhubungan langsung dengan fungsi yang buruk di bidang lain dan bahwa
fungsi yang baik di satu bidang tidak selalu berarti bahwa orang tersebut
berfungsi dengan baik di semua bidang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses penilaian mengatasi dan hasil adaptasi terhadap stress?
2. Jelaskan apa itu fungsi sosial?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan moral?
4. Bagaimana kaitan kesehatan somatik terhadap penyakit stres?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Pembaca dapat memahami tentang penilaian, mengatasi, dan hasil adaptasi.
2. Pembaca dapat mengetahui apa fungsi sosial.
3. Pembaca dapat memahami apa itu moral.
4. Pembaca dapat mengetahui kaitan antara kesehatan somatik terhadap
penyakit stress.

1
2

1.4 Manfaat Penulisan


1. Pembaca memahami apa itu penilaian, mengatasi, dan hasil adaptasi
sehingga menunjang pembelajaran mengenai penilaian, mengatasi, dan
hasil adaptasi.
2. Makalah ini dapat digunakan sebagai masukan data untuk melakukan
upaya-upaya dalam peningkatan pengetahuan pembaca.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Penilaian, Mengatasi dan Hasil Adaptasi


Terlepas dari bagaimana mereka didefinisikan atau dikonseptualisasikan,
kepentingan utama dari proses penilaian dan koping adalah bahwa mereka
mempengaruhi hasil adaptasi. Tiga jenis dasar hasil yang berfungsi dalam
pekerjaan dan kehidupan sosial, moral atau kepuasan hidup, dan kesehatan
somatik. Sederhananya, kualitas hidup dan apa yang biasanya kita maksud
dengan kesehatan mental dan fisik terkait dengan cara orang mengevaluasi dan
mengatasi tekanan hidup. Tugas bab ini adalah menguraikan mekanisme
melalui penilaian dan koping dapat mempengaruhi hasil adaptasi pada
individu.
Dalam meletakkan dasar diskusi kami, kami ingin menekankan bahwa
kami tidak memandang stres sebagai sesuatu yang maladaptif dan merusak.
Stres besar yang kadang-kadang disebut sebagai krisis menyebabkan beberapa
orang memanfaatkan sumber daya adaptif yang tidak pernah mereka duga
sebelumnya. Orang-orang seperti itu dapat memperoleh kekuatan dari stres
yang dapat digunakan dalam krisis berikutnya dan mereka tampaknya tumbuh
dari stres. Dengan cara yang sama, orang-orang dan anak-anak dilindungi dari
jenis stres tertentu cenderung menjadi lebih rentan terhadap stres di kemudian
hari karena mereka gagal mempelajari keterampilan mengatasi yang
diperlukan untuk kehidupan sehari-hari (lih. Murphy & Moriarty , 1976). Kita
juga tahu bahwa hidup tanpa stres akan menjadi latihan dalam kebosanan, yang
memiliki konsekuensi somatik negatifnya sendiri (lih. Frankenhaeuser, 1976).
Memang, orang sering mencari stres, meskipun kita hanya memiliki
pemahaman dasar tentang ini (lihat Klausner, 1968; Zuckerman, 1979); mereka
mengambil risiko tinggi, seperti menyelam dari pesawat, mengadu diri dengan
elemen, dan terlibat dalam sejumlah aktivitas lain yang mendustakan
pandangan pengurangan ketegangan yang ketat tentang aktivitas manusia. Jadi,

3
4

seharusnya pertanyaannya bukan apakah stres itu baik atau buruk, tetapi lebih
pada seberapa besar, jenis apa, pada waktu apa selama perjalanan hidup, dan
dalam kondisi sosial dan pribadi apakah stres itu berbahaya atau membantu.
Perbedaan yang sama antara positif dan negatif berlaku untuk emosi.
Konsep adaptasi dalam biologi mengacu pada kapasitas spesies, dan individu
hewan, untuk bertahan hidup dan berkembang. Melalui seleksi alam, muncul
bentuk-bentuk biologis yang berfungsi dengan sukses yang mampu
mengekstraksi mata pencaharian dari lingkungan fisik dan sosial. Di antara
mamalia, emosi mungkin memainkan peran adaptif yang positif dalam proses
evolusi ini. Misalnya, kemarahan melibatkan dorongan untuk menyerang
lingkungan, dengan demikian menjatuhkan lawan, membuat lawan mundur,
atau sebaliknya mengubah hubungan yang merusak yaitu lingkungan menjadi
lebih baik. Rasa takut sering memiliki fungsi yang berharga dalam bertahan
hidup dengan membangkitkan pelarian atau penghindaran. Bahkan depresi
telah dianalisis dari sudut pandang ini dalam Bowlby (1969, 1973) tentang
perpisahan dan kehilangan dan dalam analisis kesedihan Averill (1968).
Sementara emosi adaptif dan impuls mereka mungkin melampaui sasaran dan
menciptakan penyakit mereka sendiri, seperti dalam "penyakit adaptasi," tanpa
mereka pertanyakan apakah spesies yang sekarang bertahan dan berkembang,
termasuk manusia, akan berhasil berevolusi. Kita tidak boleh disesatkan oleh
konsekuensi negatif dari ini dan emosi lainnya untuk mengecilkan fungsi
positif mereka dalam adaptasi manusia.
Kami juga ingin menekankan bahwa kami memperhatikan semua aspek
kesehatan fisik, psikologis, dan sosial. Terlalu sering satu aspek hasil adaptasi
ditekankan tanpa memperhatikan yang lain. Di Bidang kedokteran perilaku
yang muncul, misalnya, terlalu disibukkan dengan penyakit somatik dan terlalu
sedikit memperhatikan kriteria kesehatan adaptasi lainnya seperti fungsi sosial
(misalnya, dalam keluarga dan di tempat kerja) dan moral atau kepuasan hidup.
Studi oleh Tobin dan Lieberman (1976) dan Rosow (1967) menunjukkan,
misalnya, bahwa banyak orang tua yang sakit fisik dan tidak mampu menilai
status kesehatan dan keadaan hidup mereka dengan cukup positif. Mereka
5

senang dan berfungsi dengan baik. Gambaran yang terdistorsi tentang status
adaptasi akan tercipta dalam penelitian di atas jika hanya kriteria somatik yang
dipertimbangkan.
Masing-masing dari tiga hasil adaptasi jangka panjang utama dengan
yang menjadi perhatian kita yaitu fungsi sosial, moral, dan kesehatan somatik
yang memiliki pasangannya dalam hasil jangka pendek dari pertemuan yang
penuh tekanan. fungsi sosial dalam efektivitas yang dengannya tuntutan
pertemuan tertentu dikelola; moral dalam pengaruh positif dan negatif yang
dialami seseorang selama dan setelah pertemuan dan kesehatan somatik dalam
perubahan fisiologis yang dihasilkan oleh pertemuan yang penuh tekanan. Baik
hasil jangka pendek dan jangka panjang dari pertemuan stres dengan demikian
dapat dipahami sebagai komponen yang efektif, afektif, dan fisiologis.
Paralelisme antara hasil jangka pendek dan jangka panjang tidak berarti
ada hubungan satu sama lainnya antara hasil dari setiap pertemuan yang
diberikan dan mitra jangka panjangnya. Ketidakpuasan dan pengaruh negatif
dalam transaksi satu orang di lingkungan mengatakan sedikit atau tidak sama
sekali tentang apakah orang tersebut secara umum tidak puas. Demikian pula,
berbicara tentang seseorang yang berfungsi secara efektif dalam pertemuan
tertentu tidak memberikan bukti yang cukup tentang fungsi sosial yang baik
secara keseluruhan. Misalnya, anak yang dapat menangani lingkungan sosial
ghetto dalam kota mungkin kurang memiliki pemahaman dan sumber daya
untuk berfungsi dengan baik dalam konteks pekerjaan kelas menengah. Orang
tersebut harus diamati berulang kali dalam berbagai konteks agar kita dapat
menilai sifat-sifat umum seperti moral dan fungsinya.
Untuk memahami bagaimana proses penilaian dan koping pada akhirnya
memengaruhi hasil adaptasi jangka panjang, oleh karena itu, pertama-tama kita
harus memahami bagaimana proses ini memengaruhi hasil jangka pendek dari
pertemuan yang penuh tekanan. Oleh karena itu, kita akan membahas masing-
masing hasil adaptasi utama dalam konteks pertemuan stres jangka pendek
dengan hasil adaptifnya dan dalam jangka panjang.
6

2.2 Fungsi Sosial


Fungsi sosial sering dikonseptualisasikan dari perspektif sosiologis
sebagai cara di mana individu memenuhi berbagai perannya, misalnya, sebagai
orang tua, pasangan, pemegang pekerjaan, atau anggota masyarakat. Fungsi
sosial yang lebih jarang didefinisikan secara psikologis sebagai kepuasan
dengan hubungan interpersonal dan/atau dalam hal disposisi dan keterampilan
yang diperlukan. Dalam pandangan kami, masing-masing perspektif ini
terbatas dalam memahami fungsi sosial sebagai hasil adaptasi, namun masing-
masing memberikan pemahaman tentang konsep yang sangat kompleks ini.
Sehubungan dengan perspektif sosiologis, misalnya, tidak ada satu set
harapan budaya yang seragam dengan satu peran; sebaliknya, ada banyak
harapan (Platt, 1981). Hal ini diilustrasikan dalam sebuah studi oleh Gross,
Mason, dan McEachern (1958) yang menunjukkan bahwa audiens yang
berbeda atau kelompok referensi memiliki harapan yang heterogen dan sering
bertentangan mengenai peran pengawas sekolah. Harapan peran juga bervariasi
sesuai dengan peran (atau posisi) lain yang ditempati oleh individu. Harapan
seorang suami terhadap perilaku istrinya dapat bervariasi tergantung pada
apakah dia seorang ibu yang bekerja atau ibu rumah tangga, dan harapan
seorang istri terhadap perilaku suaminya dapat bervariasi tergantung pada
jumlah waktu yang dia habiskan untuk pekerjaan itu.
Sedikit teori yang ada tentang fungsi sosial dari perspektif psikologis,
meskipun kepentingannya tampaknya diakui secara universal. Alfred Adler
(lihat Ansbacher & Ansbacher, 1956) pertama kali mengemukakan bahwa
motif hubungan sosial muncul dari masa ketergantungan masa kanak-kanak
yang panjang. Posisi Adler digaungkan oleh ahli teori pembelajaran penguatan
asosiatif yang menganggap bahwa anak belajar untuk menginginkan
persetujuan sosial, misalnya, dengan mengaitkan ketegangan dorongan primer
yang berkurang (misalnya, lapar, haus) dengan kehadiran ibu yang
mendukung. Adler kemudian mengubah argumennya, menyatakan bahwa
"kepentingan sosial" adalah karakteristik spesies bawaan, sebuah pendirian
yang tidak berbeda dengan keyakinan etologis modern bahwa membentuk
7

ikatan sosial memiliki nilai kelangsungan hidup dan berkembang pada spesies
yang lebih tinggi. Erikson (1963), dalam pembahasannya tentang tahap-tahap
perkembangan psikologis, menekankan bahwa orang dewasa yang muncul
harus berjuang untuk rasa identitas individu, yang tergantung pada pencapaian
tempat di dunia kerja, hubungan dengan orang lain, dan institusi sosial. Dari
sudut pandang ini, merasa menjadi bagian dari dunia sosial adalah tema
psikologis yang esensial dalam semua kehidupan kita. Oleh karena itu, kualitas
fungsi sosial dan pekerjaan harus diketahui sebagian melalui mata individu
dalam bentuk kepuasan dengan hubungan sosial mereka, misalnya, bukan
hanya melalui mata orang lain dalam masyarakat (lihat juga Renne, 1974).
Fungsi sosial dengan demikian dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
sejarah seseorang dengan implikasinya mengenai ketergantungan, otonomi,
kepercayaan, keintiman, dan sebagainya, di satu sisi, dan, di sisi lain, nilai-nilai
budaya dan harapan mengenai peran sosial dan bagaimana mereka harus
diberlakukan. Karakteristik yang bertahan lama dari orang dan lingkungan
orang tersebut memainkan peran utama dalam menentukan dengan siapa
individu akan memiliki hubungan, fungsi dari hubungan ini, dan bagaimana
hubungan ini akan dialami secara subyektif dan diekspresikan dalam perilaku.
Meskipun faktor-faktor pribadi dan budaya mendorong seseorang
menuju konstelasi peran dan hubungan sosial tertentu, namun faktor-faktor
tersebut dikembangkan, diubah, dan dipertahankan melalui pertemuan
kehidupan sehari-hari. Efektivitas pengelolaan peristiwa sehari-hari ini
merupakan penentu utama kualitas keseluruhan fungsi sosial seseorang.

2.2.1 Efektivitas Dalam Pertemuan Khusus


Pandangan tradisional tentang efektivitas koping berpusat pada
sifat atau disposisional dan melibatkan sifat-sifat orang yang
mendefinisikan kompetensi, biasanya tanpa mengacu pada situasi
tertentu yang harus dihadapi orang tersebut atau tindakan yang tujuannya
diwujudkan. Sebuah alternatif dari pendekatan sifat dominan adalah
dengan melihat lingkungan sebagai penyedia seperangkat sumber daya,
8

kendala, dan tuntutan untuk digunakan atau ditanggapi oleh orang atau
masyarakat (lih. Klausner, 1971; SB Sarason, 1977). Perspektif terakhir
ini tercermin dalam penelitian tentang tekanan lingkungan oleh Lawton
(1977, 1980) dan Moos (1975) dan dalam upaya untuk mengarahkan
intervensi korektif atau preventif terhadap sistem lingkungan (misalnya,
Stokols, 1977). Scheidt (1976), misalnya, mengamati bahwa atribut
taksonomi dari situasi lingkungan yang mungkin diharapkan dihadapi
oleh lansia diperlukan untuk menilai kompetensi mereka.
Baik sifat maupun perspektif lingkungan saja tidak cukup untuk
mempelajari efektivitas, karena koping yang efektif bergantung pada
hubungan antara tuntutan situasi dan sumber daya orang tersebut
(Schonpflug, in press) dan pada proses penilaian dan koping yang berdiri
di antara keduanya. Isu sentral yang muncul dari rumusan ini adalah: Apa
yang dimaksud dengan penilaian dan penanganan yang efektif?
Dalam Bab 5 kami berpendapat bahwa strategi koping pada
dasarnya tidak baik atau buruk. Sebuah strategi yang efektif dalam satu
situasi bisa menjadi tidak efektif di situasi lain, dan sebaliknya.
Efektivitas strategi koping tergantung pada sejauh mana itu sesuai
dengan tuntutan internal dan / atau eksternal situasi. Hal yang sama
berlaku untuk penilaian. Penilaian ancaman, kerugian, tantangan, atau
penilaian yang tidak relevan atau tidak berbahaya, tidak dengan
sendirinya sesuai atau tidak pantas, efektif atau tidak efektif. Kesesuaian
dan keefektifannya bergantung pada apa yang sebenarnya terjadi, dan
penilaian apa pun harus selalu dibuat dalam konteks pertemuan. Namun,
kita dapat mengidentifikasi beberapa karakteristik mendasar dari proses
penilaian dan penanganan yang harus menjadi dasar evaluasi kesesuaian
dan kemanjuran.
Efektivitas penilaian. Dalam setiap pertemuan dengan lingkungan,
masalah utama bagi orang tersebut adalah membuat serangkaian
penilaian realistis tentang implikasinya terhadap kesejahteraannya.
Sebuah penilaian yang mengarah pada hasil yang tepat dan efektif harus
9

sesuai atau setidaknya mendekati aliran peristiwa. Ketidaksesuaian


antara penilaian dan apa yang sebenarnya terjadi dapat mengambil dua
bentuk dasar: apakah orang tersebut akan menilai bahaya, ancaman, atau
tantangan dalam hal dan cara di mana mereka tidak menerapkannya; atau
penilaian akan mencerminkan kegagalan untuk mengenali bahaya,
ancaman, atau tantangan dalam kasus di mana mereka harus diakui (lih.
Caplan, 1983; French, Rodgers, & Cobb, 1975; Van Harrison, 1978).
Studi Mekanik (1962) tentang siswa yang mempersiapkan ujian
doktoral sebelumnya sudah memberikan contoh kesalahan. Mekanik,
akan diingat menunjukan bahwa saat ujian semakin dekat dan stress
meningkat, siswa merespon dengan kecemasan yang meningkat terhadap
berbagai komunikasi yang sebenarnya biasa saja. Misalnya, penyebutan
oleh anggota fakultas bahwa buku tertentu mungkin layak dibaca
membuat mereka panik mencari buku tersebut, dan setelah ujian sebelum
hasilnya diketahui dari fakultas salam caria saat mereka lulus. Diaula
ditafsirkan sebagai kelompok kinerja yang buruk dan mungkin
mengalami kegagalan.
Studi Lucas (1969) tentang penambang batu bara menggambarkan
jenis kesalahan dimana ada kegagalan untuk mengenali bahaya atau
ancaman. Laporan para penambang yang diwawancarai setelah
penyelamatan dari ledakan tambang dan jebakan berikutnya menunjukan
bahwa mereka gagal mengenali bahaya kehabisan air dan kebutuhan
untuk melestarikannya saat mereka mencari jalan keluar. Meskipun
terputus, para penambang rupanya tidak melihat adanya kemungkinan
terjebak dalam waktu lama. Setelah dua hari mencari jalan keluar,
persediaan air mereka habis dan mereka terpaksa minum air seni untuk
bertahan hidup.
Efektivitas koping juga tergantung pada kecocokan antara
penilaian kedua sumber daya dan aliran peristiwa. Dalam deskripsinya
tentang seorang paruh baya dalam studi lapangan stres dan koping pada
usia 45 hingga 64 tahun yang disebutkan sebelumnya. Banner (1982)
10

memberikan gambaran tentang apa yang dapat terjadi ketika penilaian


kedua salah. Seseorang ini tidak ditampilkan seperti yang mereka
harapkan. Sebaliknya, posisi itu diisi oleh seorang wanita yang pernah
menjadi teman sebayanya, dan kekecewaan besar serta kemarahannya
atas penghinaan ini terlihat dalam wawancara bulanan sealama setahun.
Meskipun penilaian utama dalam hal ini tampak kuranf lebih tepat dan
dapat dimengerti (yaitu, dia memang telah dilewati), penilain kedua yang
salah memimpin pria ini ke strategi koping tanpa harapan. Alih-alih
menemukan cara untuk menerima hal yang tak terelakn atau mengambil
pekerjaan lain, dia mulai mempermalukan psaing wanitanya disetiap
kesempatan, dengan hasil bahwa dia berulang kali menjelekan dirinya
sendiri dengan demikian memperpanjang masalah yang berakibat wajar
dari kemarahan dan kekecewaan. Sepanjang tahun tidak ada perbaikan
yang diamati dalam cara dia mengatasi dan dalam hasil emosional dan
perilaku dalam usahanya. Pada akhir penelitian, situasi kerja telah
memburuk ke titik dimana tidak mungkin lagi baginya untuk tetap
tinggal.
Dalam kasus ekstrim, ketidaksesuaian antara penilaian pertama dan
kedua serta aliran kejadian yang sebenarnya dapat menjadi jelas dan
nyata. Misalnya sesorang yang paranoid yang melihat ancaman padahal
sebenarnya tidak ada lalu mengambil tindakan sesuai dengan penilaian
itu, kemungkinan besar akan merugikan orang lain. Sebaliknya, seorang
wanita denga benjolan di payudara yang tidak melihat ancaman atau
bahaya sehingga dapat membahayakan dirinya sendiri. Kebanyakan
ketidaksesuaian, bagaimanapun, tidak ekstrim dan sulit untuk
diidentifikasi. Selain itu, kemungkinan besar sebagian besar penilaian
tidak sesuai dengan alur peristiwa dengan sempurna. Dua karakteristik
dari perjumpaan yang penuh tekanan keraguan dan pola komitmen
seseorang karenanya kerentanan selektif membawa kita pada prinsip ini.
Sebagian besar situasi stres bersifat keraguan sampai batas tertentu
baik informasi yang hilang, atau ada yang tidak jelas, atau keduanya. Para
11

penambang yang dijelaskan oleh Lucas, misalnya beroprasi tanpa


informasi lengkap tentang jebakan mereka. Mengingat latar belakang
orang-orang itu dan apa yang telah mereka dengar dari laporan masa lalu
tentang bencana tambang, penilaian awal mereka masuk akal. Hanya
ketika mereka memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai sejauh
mana mereka terjebak, mereka menyadari bahwa mereka mungkin
kehabisan air. Secara umum, semakin besar keraguan semakin banyak
ruang untuk ketidak cocokan antara penilaian dan apa yang akhirnya
terjadi.
Kerentanan juga mempengaruhi kecocokan antara penilaian dan
aliran peristiwa. Kerentanan adalah kesiapan seseorang untuk bereaksi
terhadap jenis situasi teretntu sebagai stress. Seperti yang ditunjukan
pada bab 3, kerentanan berjalan seiring dengan komitmen semakin kuat
komitmennya yaitu semakin seseorang peduli, semakin rentan dia
terhadap ancaman tertentu. Satu orang mudah tertekan karena dievaluasi
oleh orang lain, dan seterusnya. Dalam tahap kasus, kerentan adalah
fungsi dari nilai atau komitmen dipegang teguh. Bahkan dalam situasi
yang biasanya tidak menimbulkan kesusahan, orang yang rentan lebih
mungkin menilai ancaman karena nilai dari komitmen ini. Banner (1982)
misalnya, menggambarkan pria lain berusia 52 tahun yang mengalami
stress psikologi berkelanjutan di pekerjaanya. Baginya, sumber
kerentanan adalah rasa kompetensinya yang rapuh, yang membuatnya
menilai hampir setiap tuntutan pekerjaan sebagai ancaman. Setiap
kejadian dalam pekerjaan adalah ujian pribadi di mana dia tidak boleh
melakukan pekerjaannya dengan cara yang patut dicontoh, dilihat dari
pujian yang dia terima, kriteria kinerja yang objektif, dan tawaran
pekerjaan. Posisi yang lebih bertanggung jawab di lokasi lain (yang dia
tolak).
Karena keraguan dan kerentanan merupakan bagian dari
pertemuan yang penuh tekanan, ketidaksesuaian antara proses penilaian
dan aliran peristiwa yang sebenarnya menyatu. Pernyataan kritis
12

menyangkut tingkat ketidak cocokan dan penerapannya untuk mengatasi


hasil petemuan, dan jika ada kecenderungan untuk mengulangi penilaian
yang tidak realistis, adaptasi orang tersebut dalam jangka panjang.
Efektivitas koping dalam bab 6 kita membahas dua fungsi koping
yang sangat penting dihampir setiap jenis pertemuan penuh stress.
Regulasi kesusahan (koping yang berfokus pada emosi) dan pengelolaan
masalah yang menyebabkan kesusahan (koping yang berfokus pada
masalah). Menangkal efektivitas koping didasarkan pada kedua fungsi
tersebut. Seseorang yang mengelola masalah secara efektif tetapi dengan
biaya emosional yang besar tidak dapat dikatakan mengatasi secara
efektif (cf. schonpflug, dalam pers). Misalnya, keputusan untuk
menempatkan orang tua yang sudah lanjut usia disebuah institusi dapat
dibuat secara efektif menurut kriteria Janis dan Mann (1977) untuk
penganbilan keputusan yang baik, namun putra dan putri yang
bertanggung jawab untuk pindah dapat dibiarkan dengan perasaan
kehilangan rasa bersalah dan rasa putus asa. Koping yang efektif
mencakup pengelolaan perasaan negatif tersebut. Perhatikan bahwa
koping yang efektif dalam hal ini tidak berarti ahwa perasaan posistif
akan muncul, hanya perasaan negative yang akan dikelola.
Demikian pula, seseorang yang berhasil mengatur emosinya secara
penuh tetapi tidak mengatasi sumber masalahnya tidak dapat dikatakan
koping efektif. Sebuah badan penelitian yang berkembang misalnya,
memberitahu kita bahwa salah satu fungsi alkohol adalah untuk
mengurangi tekanan emosional (e.g., Levenson, Sher, Grossman,
Newman, & Newlin, 1980; Sher & Levenson, 1982). Bentuk
penanggulangan ini membawa risiko tinggi alkoholisme dan
kemungkinan akan menghambat upaya yang berfokus pada masalah dan
dalam jangka panjang dapat merusak kesehatan dan meningkatkan
pengaruh depresi (see Anehensel & Huba, 1983). Selain itu, seseorang
dapat mengatasi secara efektif dan menangani emosi secara memadai
dalam konteks misalnya, pertempuran militer tetapi membayar harga
13

dengan gangguan emosional. Dalam konteks berbeda, seperti ketika


Verteran yang dipulangkan karena menderita “dampak duka” (Shatan,
1974).
Setiap pertemuan tentu saja memiliki potensi untuk diatasi secara
efektif. Seperti yang telah kita jelaskan berkali-kali dalam hal ini,
masalah-masalah yang mendasari jeis-jenis stres perhitungan yang tidak
dapat dirubah. Oleh karena itu, jika orang dicegah untuk mengatasi
secara efektif dalam contoh tertentu itu tidak berarti bahwa mereka
adalah orang yang tidak efektiv. Menurut Pearlin dan Schooler (1978.)
Ada masalah manusia yang penting, seperti yang telah kita lihat
dalam pekerjaan, yang tidak merespon terhadap masalah koping
individu. Mengatasi ini mungkin memerlukan intervitas oleh kelompok
daripada oleh individu. Banyak masalah yang berasala dari pengaturan
yang berakar kuat dalam organisasi sosial dan ekonomi dapat
memberikan efek yang kuat bagi kehidupan pribadi tetapi tidak tahan
terhadap upaya pribadi untuk mengubahnya. Oleh karena itu, mengatasi
kegagalan tidak selalu mencerminkan kekurangan individu; dalam arti
sebenarnya mereka mungkin mewakili kegagalan sistem sosial dimana
individu-individu (p.18)

Agar koping efektif, juga harus ada kecocokan atau kesesuaian


yang baik antara upaya koping dan agenda lainnya. Agenda-agenda ini
mengacu pada nilai-nilai, tujuan, komitmen, keyakinan, dan gaya koping
yang disukai sehingga menyebabkan konflik jika strategi koping yang
diperlukan dalam pertemuan tertentu diterapkan. Agenda-agenda ini di
identifikasi dalam bab 6 sebagai kendala yang membentuk proses koping
yang sebenarnya. Ketika strategi koping yang dilakukan bertentangan
dengan nilai-nilai pribadi yang dipegang teguh misalnya, setrategi
tersebut menghadirkan sumber stress baru kepada orang tersebut. Selain
itu, strategi yang tidak sesuai dengan nilai atau tujuan tersebut cenderung
digunakan dengan enggan atau tanpa keyakinan dan cenderung gagal.
14

Koping yang efektif sebagian merupakan fungsi dari kecocokan


yang baik antara pilihan koping dan agenda lain dalam kehidupan
seseorang menjadi lebih dikenal luas antara terapi dengan orientasi
perilaku. Mengajarkan seseorang untuk berperilaku berbeda untuk
meningkatkan keterampilan koping bagaimanapun tidak cukup untuk
mengurangi sters jika perilaku tersebut menyebabkan konflik. Banyak
terapi sekarang mencoba untuk mengubah keyakinan yang membatasi
perilaku klien mereka, sehingga perubahan perilaku disertai dengan
perubahan yang mendasarinya nilai (lihat bab 11).
Pentingnya kecocokan antara cara seseorang benar-benar
mengatasi dan gaya koping yang disukainya dibahas dalam bab 3 disana
telah di tunjukan bahwa bagi orang yang lebih memilih penghindaran,
diberi informasi atau peran dalam perawatan mereka yang dapat
meningkatkan penderitaan atau sebaliknya tidak dapat melibatkan
mereka dalam suatu situasi yang dapat meningkatkan penderitaan bagi
mereka yang lebih suka kewaspadaan atau penentangan. Ketidakcocokan
antara gaya koping yang disukai dan koping yang benar-benar digunakan
dalam situasi tertentu kemungkinan akan mengurangi efektivitas koping
dengan cara yang sama seperti ketidaksesuaian antara koping dan agenda
lain dimana strategi tersebut dapata diterapkan dengan enggan dan/atau
dengan tidak kompeten (cf. speismen et al., 1964).

Jika kita ingin secara akurat mengevaluasi koping dalam setiap


pertemuan, kita juga memerlukan sistem untuk mengklasifikasikan
berbagai kemungkinan yang berkaitan dengan hasil idealnya, proses
yang digunakan akan mengarah pada penyelesaian permanen tanpa
menimbulakn konflik tambahan. Jenis resolusi ini akan ditandai dengan
berhentinya usaha dan mobilisasi serta keadaan efektif positif yang
ditandai dengan emosi seperti lega, senang, puas, atau gembira. Hasil
yang ideal bagaimanapun diaman masalah diselesaikan dan tidak ada sisa
15

emosi negative, mungkin tidak khas, sehingga membuat evaluasi


mengenai koping menjadi lebih kompleks.
Kita juga perlu membedakan antara hasil pertemuan satu kali saja
atau yang diupayakan oleh beberapa keadaan tambahan dan pertemuan
yang dihasilkan dari konflik berbahaya dan berulang. Misalnya bukanlah
solusi penuh ketika seorang suami dan istri menyelesaikan pendapat
tentang pembagian tugas sebelum mereka meninggalkan rumah untuk
bekerja jika konflik yang mendasarinya belum terselesaikan. Mereka
mungkin telah memutuskan dalam hal ini bahwa satu atau yang lainnya
akan berbelanja bahan makanan atau berhenti di bank dalam perjalanan
pulang, tetapi pendapat yang sama kemungkinan akan muncul kembali
di lain waktu jika pertanyaan yang lebih luas tentang pembagian tugas,
keyakinan tentang perilaku peran, dan lain sebagainya. Pola ini dimana
pertemuan penuh tekanan yang sama terulang terus menerus menunjukan
satu alasan mengapa efek yang tampak dalam satu pertemuan mungkin
tidak menunjukan fungsi keseluruhan yang baik.

2.2.2 Fungsi Sosial Dalam Jangka Panjang


Fungsi sosial dalam jangka panjang jelas merupakan perpanjangan
dari gagasan efek koping, dan memang sedikit berbeda dari itu kecuali
dalam tingkat awal atau umum yang dijelaskan oleh istilah hasil adaptasi.
Misalnya, untuk mencapai fungsi keseluruhan yang baik, cara seseorang
menilai peristiwa secara umum setidaknya harus cenderung sesuai
dengan alur peristiwa. Banyak hubungan yang dapat menahan kesalahan
penilaian sesekali, tetapi hubungan apapun akan diuji berat jika penilaian
yang tidak dapat sering terjadi. Karena permasalan sosial, tidak hanya
aka ada pola koping yang berfokus pada masalah yang buruk, tetapi juga
kesalahan pahaman dan perasaan sakit hati.
Bahkan ketika penilaian melakukan pekerjaan yang relatif baik
dalam mencocokkan aliran peristiwa dari waktu ke waktu, orang yang
cenderung secara konsisten lebih terancam daripada ditantang cenderung
16

memiliki masalah dengan fungsi sosial. Ancaman dapat mendorong


penarikan atau operasi defensif yang mengubah orang tersebut ke dalam
atau mendorong perilaku agresif dan bermusuhan. Salah satu respon
menghambat fungsi sosial yang efektif. Tantangan, di sisi lain,
mendorong usaha dan keterbukaan dan meningkatkan kemungkinan
komunikasi yang baik dan pemecahan masalah. Kedua prinsip di atas
juga berlaku untuk berfungsi di tempat kerja, yang kami sertakan di
bawah rubrik fungsi sosial.
Dari perspektif yang lebih luas dan lebih sosiologis, kita dapat
bertanya tentang hubungan antar peran dan bagaimana fungsi dalam satu
peran sosial dapat dipengaruhi oleh berfungsinya peran sosial lainnya.
Ada sejumlah pertanyaan menarik yang berkaitan dengan arah upaya
tersebut. Apakah fungsi dalam keluarga memengaruhi fungsi pekerjaan
atau apakah fungsi pekerjaan memengaruhi fungsi keluarga (Kanter,
1977; Macoby, 1976; Seidenberg, 1973), dan/atau apakah keluarga
berfungsi sebagai sumber daya untuk menyangga efek stres kerja (Burke
& Bendung, 1979; Rumah, 1979)?
Masalah metodologis.Secara umum, kriteria yang digunakan untuk
mengevaluasi fungsi sosial bersifat arbitrer dan validitas ekologisnya
dipertanyakan (bnd. Platt, 1981). Misalnya, penyesuaian sosial secara
operasional didefinisikan pada Skala Penyesuaian Sosial Normatif
(NSAS) (Barrabee, Barrabee, & Finesinger, 1955) sebagai sejauh mana
kinerja seseorang sesuai dengan norma "ideal", dijelaskan sebagai "apa
yang harus kita lakukan ." Pada Wawancara Terstruktur dan Berskala
untuk Menilai Maladjustment (SSIAM) (Gurland, Yorkston, Stone, &
Frank, 1974), penyesuaian sosial didefinisikan sebagai sejauh mana
kinerja subjek mencapai penyesuaian "wajar", suatu keadaan yang tidak
memerlukan perlakuan. Dan pada Skala Penyesuaian Sosial (SAS)
(Weissman & Paykel, 1974), penyesuaian dianggap sejauh mana subjek'
Kinerjanya mencapai norma "ideal" atau "statistik". "Ideal", "norma",
dan "tingkat" penyesuaian yang masuk akal" diturunkan dalam kasus
17

NSAS dari studi ilmiah sosial dan pengalaman peneliti sendiri; dalam
kasus SSIAM, dari norma yang ditetapkan oleh empat praktisi
psikoterapis. dan pada SAS dari ekspektasi penulis tentang peringkat
rata-rata untuk populasi umum (Untuk tinjauan kritis komprehensif
instrumen ini, lihat Platt, 1981.) dari norma-norma yang ditetapkan oleh
empat praktisi psikoterapis; dan pada SAS dari ekspektasi penulis
tentang peringkat rata-rata untuk populasi umum. (Untuk tinjauan kritis
yang komprehensif dari instrumen ini, lihat Platt, 1981.)
Tak satu pun dari norma memperhitungkan harapan kelompok
referensi subjek mengenai kelayakan peran atau bagaimana peran harus
dilakukan. Misalnya, norma-norma "ideal" yang digunakan pada NSAS
di bidang pekerjaan sama sekali mengabaikan keadaan di mana orang
tersebut bekerja. Perubahan pekerjaan untuk pekerjaan yang lebih miskin
dengan demikian secara otomatis dinilai pada akhir subskala perubahan
pekerjaan yang tidak sesuai, terlepas dari apakah perubahan itu
merupakan pilihan bebas atau berdasarkan keadaan yang meringankan.
Demikian pula, ekspresi ketidakpuasan terhadap pekerjaan seseorang
dianggap sebagai bukti "ketidaksesuaian" terlepas dari apakah ekspresi
itu wajar atau tidak masuk akal, yang biasa dipegang oleh orang lain, dan
sebagainya. Pada SSI AM seseorang dinilai sebagai orang yang tidak
dapat menyesuaikan diri atau menyimpang jika dia telah memutuskan
pekerjaan dalam empat bulan sebelum wawancara. Dan di SAS, seperti
yang dikatakan Platt (1981) secara ringkas dunia ideal dicirikan oleh
harmoni, kebahagiaan dan konsensus, dan dihuni oleh pria dan wanita
yang secara konsisten tertarik, aktif, ramah, memadai, bebas rasa
bersalah, tidak tertekan, dan sebagainya. Jika mereka menunjukkan
sesuatu yang kurang dari minat dalam pekerjaan mereka, mereka tidak
dapat menyesuaikan diri, (hal. 106)
Kelompok norma, yang dasarnya dipertanyakan, digunakan untuk
menilai kinerja individu, terlepas dari konteksnya.
18

Isu-isu yang terlibat dalam definisi dan evaluasi fungsi sosial


menggema yang dibahas dalam Bab 5 tentang koping. Di sana kami
menyatakan bahwa koping harus didefinisikan secara independen dari
hasilnya jika ingin digunakan untuk memprediksi hasil. Begitu juga
fungsi sosial perlu didefinisikan secara independen dari hasil (yaitu,
fungsi "baik" atau "buruk"). Platt (1981) menunjukkan bahwa beberapa
peneliti menjadi lebih sadar akan masalah fungsi sosial yang
membingungkan dengan hasilnya dan mencoba untuk mengembangkan
instrumen yang menggambarkan (tetapi tidak secara evaluatif) fungsi
sosial (misalnya, Platt, Weyman, Hirsch, & Hewett, 1980; Remington &
Tyrer, 1979). Apakah fungsi sosial baik atau buruk, adaptif atau
maladaptif, kualitas tinggi kualitas buruk, dapat dinilai hanya dengan
mempertimbangkan konteks sosial di mana orang tersebut beroperasi,
termasuk berbagai peran atau posisi yang diduduki orang tersebut dan
harapan orang lain yang signifikan sehubungan dengan perilakunya.
Upaya ekstensif untuk menganalisis dan menilai fungsi sosial telah
dilakukan oleh Seri Percobaan Asuransi Kesehatan Rand (Donald &
Ware, 1982) di mana 11 item kuesioner memberikan tiga ukuran terpisah
yang memprediksi apa yang disebut "kesejahteraan positif". 11 item
dikelompokkan menjadi dua subskala, kontak sosial dan partisipasi
kelompok. Kesejahteraan positif, variabel kriteria, terdiri dari peringkat
kesehatan fisik dan mental, keadaan afektif positif, dan kepuasan umum
terhadap kehidupan. Kesimpulan penting dari penelitian ini adalah
bahwa aspek kesehatan ini berbeda secara konseptual dan empiris, dan
bahwa kesejahteraan sosial dapat dipisahkan dari kesehatan fisik dan
mental. Lebih-lebih lagi, kesejahteraan sosial adalah
multidimensifrekuensi kontak sosial harus dibedakan dari sumber daya
sosial dan evaluasi subjektif dari hubungan sosial. Para penulis
menunjukkan, misalnya, bahwa ukuran sumber daya sosial memprediksi
kesehatan mental lebih baik daripada ukuran kontak sosial. Peringatan di
atas sesuai dengan keprihatinan kita sendiri tentang konsep fungsi sosial
19

yang kompleks. Selanjutnya, sedikit jika ada upaya yang dilakukan untuk
memeriksa proses fungsi sosial dan untuk mengevaluasi seberapa baik
proses ini bekerja kecuali secara tidak langsung dalam ukuran statis
kontak dan sumber daya sosial, suatu pendekatan yang agak mirip
dengan pemeriksaan jaringan sosial. Kami akan berbicara lebih banyak
tentang jejaring sosial dan dukungan di Bab 8.
Status penelitian empiris. Perspektif yang kami tawarkan untuk
berpikir tentang fungsi sosial jangka panjang menyentuh sejumlah
pertanyaan empiris yang telah sedikit dipelajari. Pertanyaan pertama
menyangkut stabilitas perbedaan individu dalam fungsi, yang kedua efek
dari tekanan hidup utama pada fungsi jangka panjang, dan yang ketiga
efek mediasi variabel orang pada penilaian dan koping dan dengan
demikian pada fungsi jangka panjang.
Temuan bahwa orang yang berfungsi dengan baik (atau buruk)
dalam krisis juga berfungsi dengan baik (atau buruk) sebelumnya adalah
yang paling umum, tetapi tidak mengesankan, yang relevan dengan
stabilitas fungsi. Contoh kasus adalah pengamatan bahwa pasien mental
dengan riwayat fungsi yang baik sebelumnya memiliki prognosis terbaik
untuk perbaikan dan pelepasan (lih. Phillips, 1968), seperti yang
ditemukan oleh Andreason et al. (1972) bahwa pasien yang menunjukkan
penyesuaian yang buruk terhadap krisis luka bakar yang parah-yaitu,
menunjukkan perilaku regresif, depresi berat, delirium, dan perilaku
tidak terkendali-memiliki riwayat masalah fisik dan psikopatologi.
Dengan demikian, tampaknya ada tingkat stabilitas yang adil dalam
berfungsi dalam jangka panjang. Temuan seperti itu, bagaimanapun,
jangan membantu kami menguraikan apa itu tentang orang yang
berfungsi dengan baik yang bertanggung jawab atas hasil positif yang
berkelanjutan. Temuan semacam itu juga tidak membantu kita campur
tangan untuk mencegah hasil yang buruk.
Kondisi yang membedakan peristiwa stres yang melukai individu
dari peristiwa yang menghasilkan peningkatan kekuatan atau ketahanan
20

masih belum jelas. Kemungkinan termasuk tingkat keparahan stres,


waktu perkembangannya, jenisnya, dan ada atau tidak adanya sejumlah
sumber daya pribadi dan sosial. Sehubungan dengan waktu, misalnya,
Koocher, O'Malley, Gogan, dan Foster (1980) mengamati efek destruktif
dari menderita kanker sebelum usia 18 tahun. Banyak gejala sisa
psikologis yang tersisa, mungkin karena ketidakpastian tentang masa
depan bahwa ini penyakit tertentu tampaknya menghasilkan. Koocher
dkk. juga menemukan bahwa mereka yang memiliki penyesuaian yang
lebih baik berfungsi lebih baik secara sosial dan memiliki lebih banyak
keterampilan membantu diri sendiri dan fungsi intelektual yang lebih
baik daripada mereka yang dinilai kurang dapat menyesuaikan diri.
Mengesampingkan sejenak tautologi potensial yang terlibat dalam
langkah-langkah penyesuaian dan sumber daya pribadi dan sosial, kita
kembali melihat tema bahwa orang-orang yang tampaknya disatukan
dengan baik lebih baik dalam menangani pengalaman hidup yang
berpotensi traumatis daripada mereka yang sumber dayanya kurang
memadai.
Beberapa penelitian telah mempertimbangkan sifat-sifat yang
mempengaruhi fungsi ketika ada stres. Meninjau sejumlah besar studi
tentang bagaimana orang menilai dan menangani kegagalan dalam
pengaturan prestasi seperti ruang sekolah, Dweck dan Wortman (1982)
mengamati bahwa beberapa orang secara konsisten tampaknya membuat
respons maladaptif terhadap kegagalan, sedangkan yang lain bereaksi
secara adaptif. Yang pertama dicirikan oleh ketakutan yang tinggi akan
kegagalan, kecemasan ujian yang tinggi, dan rasa tidak berdaya secara
umum; yang terakhir menanggapi kegagalan sebagai sinyal untuk
mengubah strategi koping mereka daripada melihat kegagalan sebagai
tanda ketidakmampuan atau ketidakmampuan mereka. Sejalan dengan
itu, Gilmore (1978), meninjau studi tentang locus of control dan perilaku
adaptif pada anak-anak dan remaja, menunjukkan bahwa internal,
21

dibandingkan dengan eksternal, berfungsi secara lebih positif, efektif,


dan cara adaptif dalam situasi pencapaian dan nonprestasi.

2.3 Moral
Moral berkaitan dengan bagaimana perasaan orang tentang diri mereka
sendiri dan kondisi kehidupan mereka. Hal ini terkait dengan cara yang agak
tidak jelas untuk mengakui kebahagiaan (McDowell & Fraught, 1982; Wilson,
1967), kepuasan (Campbell, Converse, & Rodgers, 1976), dan kesejahteraan
subjektif (Bradburn, 1969; Costa & McCrae, 1980; Diener , dalam pers).
Semua istilah ini telah digunakan kurang lebih secara bergantian, dan
semuanya berkaitan dengan moral. Kualitas multidimensi dari konsep ini
tercermin dalam laporan Bryant dan Veroff (1982) tentang struktur
kesejahteraan psikologis. Menggunakan analisis faktor konfirmatori dari data
dari dua sampel perwakilan nasional yang sangat besar, penulis
mengidentifikasi tiga dimensi utama kesejahteraan psikologis:
ketidakbahagiaan, ketegangan, dan ketidakmampuan pribadi. Dimensi
menyentuh semua definisi di atas, yaitu, kebahagiaan yang diakui, kepuasan,
dan kesejahteraan subjektif.
Meskipun definisi moral, atau apa pun menyebutnya, sangat bervariasi,
pendekatan yang berbeda tampaknya memiliki makna yang tumpang tindih
(Costa & McCrae, 1980), yang sebagian besar berhubungan erat dengan afek
atau emosi. Namun, sangat penting untuk membedakan antara emosi dan rasa
sejahtera yang dialami seseorang dalam pertemuan yang penuh tekanan dan
moral dalam jangka panjang. Emosi positif dan negatif yang dialami selama
pertemuan yang penuh tekanan adalah refleksi dari evaluasi sesaat seseorang
terhadap kesejahteraannya. Sejauh evaluasi ini didasarkan pada dimensi seperti
kepuasan/ketidakpuasan, kebahagiaan/ketidakbahagiaan, atau harapan/takut,
afek yang dialami dalam perjumpaan sejajar dengan afek yang dialami ketika
seseorang berbicara tentang moral jangka panjang. Namun ada perbedaan.
Pengaruh dalam pertemuan tertentu kemungkinan besar berada di latar depan
dan bergeser saat pertemuan itu berlangsung (Folkman & Lazarus, dalam pers);
22

moral dalam jangka panjang cenderung lebih merupakan keadaan afektif latar
belakang yang relatif bertahan lama. Costa dan McCrae (1980), yang
membedakan seperti yang kita lakukan antara kebahagiaan sesaat dan
kebahagiaan dalam jangka panjang, melihat perbedaan dalam hal kontribusi
relatif dari faktor orang dan situasi. Mengutip Epstein (1977), mereka menulis:
Hanya sedikit yang akan menentang posisi bahwa, bagi orang normal,
penentu utama kebahagiaan sesaat adalah situasi khusus di mana individu
menemukan dirinya sendiri. Pelecehan sosial menyakiti perasaan kita, sakit
gigi membuat kita sengsara, pujian membangkitkan semangat kita, makan
makanan enak membuat kita puas. Kontribusi kepribadian pada salah satu dari
perasaan ini tidak diragukan lagi kecil. Namun seiring waktu, efek kecil tapi
terus-menerus dari sifat muncul sebagai sumber variasi sistematis dalam
kebahagiaan, sedangkan faktor penentu situasional yang bervariasi kurang
lebih secara acak cenderung saling meniadakan. (hal. 699)
Dari perspektif teori stres dan koping, pertanyaan kunci menyangkut
bagaimana proses penilaian dan koping memengaruhi emosi positif dan
negatif, atau kesejahteraan subjektif, dalam pertemuan stres tertentu, serta
hubungan antara kesejahteraan dalam jangka pendek. pertemuan dan moral
dalam jangka panjang.

2.3.1 Emosi dan Kesejahteraan dalam Jangka Pendek


Emosi dan penilaian tentang kesejahteraan dalam jangka pendek
harus dilihat dari perspektif yang berorientasi pada proses: emosi dan
penilaian bersifat dinamis dan berubah pada setiap tahap pertemuan.
Pada awalnya, seseorang cenderung mengalami berbagai emosi positif
dan negatif yang tampaknya kontradiktif (lihat juga Bab 9). Penilaian
tantangan akan bernada positif, tetapi masih mengandung beberapa
emosi ancaman; keinginan dapat bercampur dengan rasa takut,
keyakinan dengan keraguan. Sebaliknya, penilaian ancaman cenderung
melibatkan beberapa emosi positif juga; ketakutan dapat dilunakkan oleh
beberapa harapan, kesedihan dengan kenyamanan.
23

Saat perjumpaan yang penuh stres terungkap, koping menjadi


sangat penting sebagai mekanisme yang melaluinya rasa sejahtera yang
positif dapat dipertahankan dalam menghadapi kondisi yang merugikan.
"Kognisi yang menenangkan" dari Mekanik (1962), yang kami jelaskan
di Bab 6, adalah contoh bagus dari strategi yang membantu
meningkatkan semangat. Perbandingan positif (misalnya, Pearlin &
Schooler, 1978; Taylor, 1983) adalah contoh bagus lainnya. Taylor,
misalnya, menjelaskan bagaimana korban kanker menggunakan
perbandingan positif untuk menempatkan wajah yang baik pada situasi
yang buruk (lihat juga Bulman & Wortman, 1977; Dunkel-Schetter &
Wortman, 1982). Penulis mengutip pernyataan dari tiga wanita, yang
masing-masing menemukan alasan berbeda untuk tidak merasa seburuk
mungkin tentang keganasannya. Satu menyatakan, " Saya menjalani
operasi yang relatif kecil [lumpektomi daripada mastektomi]. Betapa
mengerikannya bagi wanita yang menjalani mastektomi. Saya tidak bisa
membayangkan, sepertinya itu akan sangat sulit." Yang lain berkata,
"Orang-orang yang sangat saya sayangi adalah gadis-gadis muda ini.
Kehilangan payudara saat Anda masih sangat muda pasti mengerikan.
Saya 73, untuk apa saya membutuhkan payudara?" Yang ketiga berkata,
"Jika saya belum menikah, saya pikir hal ini akan benar-benar terjadi
pada saya. Saya tidak bisa membayangkan berkencan atau apa pun
mengetahui Anda memiliki hal ini dan tidak tahu bagaimana memberi
tahu seseorang tentang hal itu" (hal. 1166).
Penilaian hasil pertemuan melibatkan penilaian tentang seberapa
sukses tujuan yang diinginkan dicapai dan seberapa puas orang tersebut
dengan kinerjanya. Sehubungan dengan kesejahteraan, masalah utama
adalah hubungan antara harapan dan hasil pertemuan.
Linsenmeier dan Brickman (1980) memberikan tinjauan penelitian
yang rumit dan komprehensif tentang peran harapan dalam arti kepuasan
dengan kinerja seseorang. Mereka berargumen bahwa meskipun
berkinerja baik umumnya lebih memuaskan daripada berkinerja buruk,
24

semakin rendah harapan, semakin puas orang tersebut. Singkatnya,


mereka menyarankan bahwa orang akan puas dengan diri mereka sendiri
dan apa yang mereka capai sejauh pencapaian mereka melebihi apa yang
mereka harapkan untuk dicapai, dan kecewa jika itu tidak sesuai dengan
apa yang mereka harapkan. Mereka mengutip banyak penelitian yang
mendukung posisi ini, dan mengutip Bertrand Russell (1968) yang
mengatakan bahwa orang yang meremehkan diri mereka sendiri
cenderung terus-menerus dikejutkan oleh kesuksesan, sedangkan mereka
yang melebih-lebihkan diri sendiri cenderung sama seringnya dikejutkan
oleh kegagalan.
Akibatnya, kepuasan tergantung pada lebih dari hasil kinerja; itu
juga tergantung pada harapan mengenai hasil kinerja. Orang-orang
dengan harapan yang lebih rendah lebih mungkin untuk melihat kinerja
mereka dengan kepuasan daripada orang-orang dengan harapan yang
lebih tinggi. Harapan yang terlalu tinggi cenderung merusak penilaian
orang tersebut atas kinerjanya dan memperpendek perasaan baik yang
mungkin berasal darinya.

2.3.2 Hubungan Antara Kesejahteraan Jangka Pendek dan Semangat


Jangka Panjang
Costa dan McCrae (1980) menunjukkan dilema lama sehubungan
dengan moral, yaitu, bahwa korelasi antara kondisi objektif kehidupan
seseorang, misalnya, status keuangan dan kesehatan, dan kebahagiaan
subjektif rendah dan tidak konsisten. Menggambar pada teori tingkat
adaptasi (Helson, 1959), mereka menyarankan bahwa pengalaman
subjektif dari suatu peristiwa tergantung pada perbedaan antara tingkat
input sekarang dan masa lalu daripada pada tingkat absolut. Dengan
demikian, pembiasaan akan membuat kondisi ekstrim seperti kekayaan
atau kemiskinan tampak normal bagi orang tersebut, yang menyebabkan
kondisi ini dianggap biasa atau setidaknya ditoleransi. Ini menyiratkan
25

bahwa seseorang akan mengevaluasi kondisi kehidupan yang ada, baik


yang positif maupun negatif, berdasarkan norma pribadi daripada
mengevaluasinya secara absolut atau objektif. Ini mungkin mengapa
orang tua yang berada dalam kondisi fisik yang buruk mungkin melihat
diri mereka sehat (misalnya, Tobin & Lieberman, 1976) dan merasa puas
dengan kesehatan mereka meskipun memiliki penyakit serius. Analisis
ini, tentu saja, berimplikasi pada koping, karena kecenderungan untuk
memberikan cahaya positif pada hal-hal yang paling baik dilihat dari
sudut pandang penilaian kembali defensif, suatu bentuk koping yang
berfokus pada emosi.
Kekuatan peristiwa langsung untuk mempengaruhi moral mungkin
juga sangat bergantung pada bagaimana mereka mengikat ke dalam
faktor latar belakang seperti tujuan hidup, komitmen jangka panjang, dan
sistem kepercayaan (lih. Lefcourt, Miller, Ware, & Schenk, 1981).
Psikolog yang peduli dengan emosi sering sangat memperhatikan faktor
suasana hati sebagai latar belakang di mana peristiwa langsung
disandingkan. Salah satu alasan mengapa laboratorium sangat tidak
memuaskan dalam mempelajari emosi adalah bahwa seseorang jarang
dapat memperhitungkan interpenetrasi stimulus "figur" dan suasana hati
atau komitmen "dasar" dalam menilai kondisi stimulus sebagai faktor
dalam respons emosional ( lih Klos & Penyanyi, 1981).
Namun, dalam jangka panjang, moral positif harus bergantung
pada kecenderungan yang konsisten untuk menilai pertemuan sebagai
tantangan, atau untuk menilai bahaya dan ancaman sebagai sesuatu yang
dapat dikelola dan bahkan produktif untuk pertumbuhan, dan untuk
menoleransi pengalaman negatif (dulu disebut toleransi frustrasi;
misalnya, Rosenzweig, 1944). Salah satu kendala untuk penelitian
tentang topik ini adalah bahwa apa yang disebut Norman Vincent Peale
sebagai kekuatan berpikir positif secara tradisional tampak defensif dan
patogen bagi psikiater dan psikolog klinis. Prasangka ini adalah salah
26

satu alasan mengapa hanya ada sedikit studi serius tentang peran
komitmen agama dalam adaptasi secara keseluruhan.
Semangat juga harus bergantung pada keefektifan dalam mengatasi
berbagai pertemuan terluas. Orang-orang yang merupakan rekan kerja
yang kompeten harus mengalami lebih sedikit stres atau tidak terlalu
tertekan oleh tekanan hidup yang biasa, karena mereka menangani situasi
sedemikian rupa untuk mencegah stres atau menguranginya ketika itu
terjadi. Sejauh orang efektif dalam sebagian besar konteks, frekuensi dan
intensitas mobilisasi yang diperlukan harus lebih sedikit, dan mereka
harus mengalami lebih sedikit pengurasan energi mereka. Ini seharusnya
berkontribusi pada kepuasan yang lebih besar, karena tujuan pribadi lebih
mudah diwujudkan, dan ketidakpuasan lebih sedikit daripada jika
penanggulangannya menuntut korban yang tinggi. Kualifikasi untuk
gagasan bahwa rekan kerja yang kompeten mengalami lebih sedikit stres
daripada yang tidak kompeten adalah bahwa yang pertama, yang sangat
mampu, dapat menangani lebih dari yang terakhir (misalnya, "Bila Anda
ingin sesuatu selesai, mintalah orang sibuk orang"). Ini adalah masalah
harapan yang diangkat oleh Linsenmeier dan Tukang batu (1980). Di sisi
lain, itu adalah hipotesis yang masuk akal bahwa rekan kerja yang
kompeten akan mengalami lebih banyak kepuasan melalui aktualisasi
yang lebih besar dari tujuan pribadi dan jangkauan yang lebih besar dari
bala bantuan yang mereka terima.
Masalah metodologis.Selain masalah di atas, ada banyak masalah
metodologis seputar penilaian moral. Pertama, bahkan ketika dipisahkan,
sebagian besar ukuran moral menggabungkan emosi-emosi yang berbeda
menjadi satu indeks afektif positif dan negatif tunggal, meninggalkan
ketidakjelasan bagian mana yang dimainkan oleh kualitas dan intensitas
emosi spesifik yang berbeda. Apakah emosi negatif utama seseorang
adalah kemarahan, kesedihan/depresi, atau rasa bersalah mungkin sangat
penting dalam menilai moral secara keseluruhan selain seberapa baik dia
mengatasi masalah hidup. Kedua, sulit untuk menentukan sejauh mana
27

pernyataan informan tentang keadaan emosional mereka dapat diterima


begitu saja, dan sejauh mana pernyataan tersebut mungkin
mencerminkan penilaian kembali yang bersifat defensif. Ketiga, selama
periode kehidupan apa penilaian moral harus dilakukan, dan seberapa
stabil penilaian ini selama periode dan lintas periode? Sejauh negara yang
dilaporkan mencerminkan atribut kepribadian yang stabil, akan ada
beberapa tingkat stabilitas; sejauh perubahan kondisi kehidupan
merupakan faktor yang signifikan, atau bahwa perubahan kepribadian
yang relevan terjadi selama perjalanan hidup, penilaian pada satu periode
kehidupan harus berbeda dalam beberapa derajat dari pada periode lain.
Keempat, karena istilah-istilah seperti kepuasan, kebahagiaan, perasaan
positif, moral, dan sebagainya, memiliki banyak konotasi yang berbeda-
beda menurut budaya, ideologi, dan agama, kita dibiarkan tidak yakin
tentang istilah-istilah yang harus digunakan dalam menilai moral dan
sejauh mana di mana beberapa variasi dalam respons adalah produk dari
konotasi yang beragam ini. Peneliti yang berharap untuk menilai moral
atau kepuasan hidup harus diperhatikan dengan isu-isu seperti itu (lihat
Bradburn, 1969; Campbell, 1976; Costa & McCrae, 1980; Wilson, 1967;
Zautra & Goodhart, 1979)
Ketidakberdayaan yang dipelajari: kasus khusus.Dalam Bab 1
kami menunjukkan bahwa ekspektasi kontrol dapat diperlakukan sebagai
hasil dari pertemuan yang penuh tekanan atau serangkaian pertemuan
semacam itu. Ketidakberdayaan yang dipelajari adalah kasus khusus dari
jenis hasil ini. Oleh karena itu penting untuk memasukkannya ke dalam
diskusi kita tentang efek stres dan mengatasi pada moral, karena depresi,
yang secara tradisional dipandang sebagai konsekuensi dari
ketidakberdayaan, adalah keadaan ketidakpuasan jangka panjang atau
moral yang rendah. Karena volume pekerjaan pada ketidakberdayaan
yang dipelajari, akan sia-sia dan kontraproduktif untuk menawarkan
ulasan. (Untuk ulasan dan kritik lihat Abramson et al., 1978; Buchwald,
Coyne, & Cole, 1978; Costello, 1978; Garber & Seligman, 1980; Journal
28

of Abnormal Psychology, 1978, 87, No. 1; Overmeier, Patterson, &


Wielkiewicz, 1980; Wolpe, 1979; Wortman & Brehm, 1975; Wortman
& Dintzer, 1978.) Tujuan kami di sini adalah untuk menganalisis isu-isu
inti dari sudut pandang stres dan teori koping.
Teori ketidakberdayaan yang dipelajari berasal dari pekerjaan
laboratorium dengan anjing dan hewan infrahuman lainnya yang gagal
menghindari sengatan listrik, meskipun respons penghindaran melompat
ke tempat yang aman sudah tersedia (Overmeier & Seligman, 1967;
Seligman & Maier, 1967). Ini "defisit kinerja," seperti yang kemudian
disebut, dapat ditafsirkan dalam beberapa cara, termasuk neurofisiologis
(lih. Weiss, Glazer, & Pohorecky, 1976), tetapi salah satu yang menarik
bagi kami adalah interpretasi kognitif: hewan telah belajar melalui
pengkondisian sebelumnya bahwa mereka tidak berdaya dalam
menghadapi kejutan "tak terkendali", dan karena itu menyerah mencoba
mengatasi perilaku dan bukannya meringkuk secara pasif di dalam
kandang.
Konsep ketidakberdayaan yang dipelajari kemudian ditawarkan
sebagai penjelasan dari depresi manusia (Seligman, 1975). Namun,
ketika model itu diuji dengan manusia, temuannya tampak tidak
konsisten dan tidak meyakinkan. Kondisi yang tidak terkendali tidak
selalu menghasilkan kepasifan, suasana hati yang tertekan, dan
penurunan kinerja, tetapi kadang-kadang menimbulkan kecemasan dan
upaya yang menyegarkan. Subyek depresi tidak menampilkan jenis
kognisi atau atribusi yang dihipotesiskan dari teori. Sekarang ada
proliferasi studi tentang korelasi kognitif depresi, banyak yang
melaporkan temuan yang tidak konsisten dengan formulasi
ketidakberdayaan yang dipelajari yang ada (misalnya, Cutrona, 1983;
Dobson & Shaw, 1981; Gong-Guy & Hammen, 1980; Gotlib &
Asarnow, 1979; Hammen & Cochran, 1981; Hammen & deMayo, 1982;
Hammen, Krantz, & Cochran, 1981; Lewinsohn, Mischel, Chaplin, &
29

Barton, 1980; Miller, Klee, & Norman, 1982; Peterson, Schwartz, &
Seligman, 1981; Zuroff, 1981).
Desain penelitian laboratorium dari mana konsep
ketidakberdayaan yang dipelajari muncul (Seligman, 1974, 1975)
menggunakan shuttlebox, yang memiliki dua kompartemen yang
dipisahkan oleh penghalang. Lantai adalah jaringan listrik di mana
kejutan dapat diberikan di kedua sisi. Setelah terpapar pada salah satu
dari tiga kondisi—kejutan yang dapat dikontrol, kejutan yang tidak dapat
dikendalikan, atau kondisi kontrol tanpa perlakuan—hewan diberi
kesempatan untuk menghindari kejutan, yang ditandai dengan stimulus
yang dikondisikan. Hewan yang melompati penghalang ke kompartemen
lain menghindari kejutan atau melarikan diri jika lompatan dilakukan
setelah kejutan dimulai. Pada percobaan berikutnya, hewan tersebut
harus melompat kembali melewati penghalang untuk menghindari atau
menghindari kejutan.
Seekor anjing yang tidak berpengalaman berlari-lari dengan panik
ketika kejutan dimulai sampai ia secara tidak sengaja melompati
penghalang dan lolos dari kejutan itu. Dalam percobaan berikutnya,
anjing itu melarikan diri lebih cepat, sampai ia belajar untuk menghindari
kejutan sepenuhnya ketika diberi isyarat. Anjing yang telah menjalani
pelatihan sebelumnya dengan syok yang tak terhindarkan berperilaku
sangat berbeda dari anjing yang terpapar perawatan lain. Mereka segera
berhenti berlari dan melolong ketika kejutan diberikan sebelum latihan
menghindari dan duduk atau berbaring merengek sampai kejutan itu
berakhir. Mereka tidak melewati penghalang untuk melarikan diri tetapi
tampaknya menyerah dan secara pasif menerima kejutan itu. Menurut
teori ketidakberdayaan yang dipelajari, anjing telah belajar bahwa
penghentian shock tidak bergantung pada perilaku mereka. Mereka telah
belajar bahwa mereka tidak berdaya, dan harapan negatif ini terus bekerja
bahkan ketika mereka berhasil melakukan penghindaran atau respon
melarikan diri.
30

Formulasi asli dari ketidakberdayaan yang dipelajari memiliki


keanggunan dan kesederhanaan yang menipu sebagai penjelasan dari
depresi manusia dan kegagalan untuk mengatasinya. Berasal dari
paradigma pembelajaran penguatan dorongan, premis dasarnya adalah
pengalaman yang sering atau terus-menerus dengan kurangnya
kontingensi antara tindakan dan hasil—kondisi dasar
ketidakberdayaan—menghasilkan keyakinan umum bahwa seseorang
tidak berdaya menghadapi dunia, yang mengakibatkan depresi.
Keanggunan dari ide ini adalah bahwa sejarah dari jenis pengalaman ini
mengarah pada depresi. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai
pengkondisian keyakinan yang memiliki implikasi mendalam bagi
perilaku dan emosi selanjutnya.
Apa yang menipu tentang kesederhanaan dan keanggunan ini
adalah bahwa tidak ada cara untuk memeriksa sejarah penguatan orang
yang mengalami depresi dibandingkan dengan seseorang yang tidak
mengalami depresi. Studi hewan awal dengan satu contoh
ketidakberdayaan dikatakan analog dari sejarah ketidakberdayaan yang
dipelajari dalam depresi manusia. Premis itu harus gagal, karena itu
mengharuskan kita untuk percaya bahwa itu hanyalah masalah
penjumlahan dari pengalaman negatif kurangnya kontingensi antara
usaha dan hasil yang menghasilkan keyakinan ketidakberdayaan sendiri.
Apa yang tidak dipertimbangkan adalah bahwa banyak orang yang
memiliki riwayat pengalaman atau pengkondisian negatif tetap optimis
dan berkomitmen, sedangkan banyak dengan riwayat positif menjadi
depresi. Seperti yang kami catat sebelumnya, paradoks penelitian
kepuasan hidup adalah bahwa ada sedikit hubungan antara hidup di
bawah kondisi dan kepuasan yang secara objektif menguntungkan atau
tidak menguntungkan (lih. Costa & McCrae, 1980). Konsep
ketidakberdayaan yang dipelajari yang sederhana, sekarang semuanya
dibuang, bersifat parokial, menggoda dalam keanggunannya tetapi tidak
berhubungan dengan literatur dan pengamatan lain. Dari sudut pandang
31

kognitif, bukan hanya sejarah seseorang yang diperhitungkan tetapi


bagaimana peristiwa itu ditafsirkan. Faktor-faktor kritis yang
membentuk proses tidak dibahas oleh teori ketidakberdayaan yang
dipelajari, juga tidak diketahui hari ini, meskipun ada beberapa upaya
spekulasi (misalnya, Silver & Wortman, 1980a; Wortman, 1976;
Wortman & Dintzer, 1978).
Tampaknya nasib semua upaya ekstrem pada keanggunan,
kesederhanaan, dan positivisme dalam psikologi runtuh dalam
menghadapi kompleksitas manusia dan membutuhkan modifikasi untuk
mengakomodasi berbagai faktor penentu. Inilah tepatnya yang terjadi
pada teori ketidakberdayaan yang dipelajari yang asli; reformulasi teori
saat ini memiliki sedikit kemiripan dengan aslinya (misalnya, Abramson
et al., 1978; Garber et al., 1980; Hollon & Garber, 1980). Reformulasi ini
sangat bersandar pada teori atribusi, yang tanpa malu-malu bersifat
kognitif dan dibangun di atas premis bahwa seseorang menafsirkan
dengan cara yang tampaknya istimewa faktor-faktor yang bertanggung
jawab atas peristiwa dan hasil. Dalam teori yang dirumuskan ulang,
orang tersebut menemukan bahwa respons tertentu dan hasilnya adalah
independen, yang mengarah pada atribusi tentang penyebab dari apa
yang terjadi.
Para ahli teori ketidakberdayaan yang dipelajari sekarang
mengatakan, dalam konser dengan analisis atribusi tradisional emosi (lih.
Weiner, 1974, 1980; Weiner, Graham, & Chandler, 1982; Weiner,
Russell, & Lerman, 1978, 1979), bahwa ketika hasil negatif dianggap
sebagai produk dari upaya seseorang (internalitas), akan ada kehilangan
harga diri dan kemungkinan depresi yang lebih besar daripada jika
hasilnya dilihat sebagai hasil dari faktor eksternal. Jika atribusi tersebut
dipandang sebagai hasil dari faktor orang yang stabil, biaya
ketidakterkendalian akan menjadi kronis juga. Selain itu, ada faktor
atribusi tambahan dari "globalitas," yaitu, generalisasi ketidakberdayaan
32

dari konteks tertentu ke konteks kehidupan secara keseluruhan


(Abramson, Garber, & Seligman, 1980).
Semakin seseorang berharap untuk tidak memiliki kendali,
semakin besar defisit kognitif, emosional, dan motivasi yang mengarah
pada perilaku nonadaptif dan depresi. Defisit kognitif adalah bahwa
orang tersebut gagal untuk memperhatikan bahwa respons kopingnya
mungkin terkait dengan hasil yang menguntungkan. Defisit motivasi
mengacu pada kepasifan dalam menghadapi kondisi ketidakberdayaan.
Defisit emosional tidak lagi sekadar depresi, seperti dalam rumusan
aslinya, tetapi bisa berupa kecemasan; sekarang hanya ketika orang
tersebut melihat situasi tanpa harapan ada depresi (Garber et al., 1980).
Tema ini membuat teori yang direvisi lebih sesuai dengan ahli teori
panggung yang berpendapat bahwa nonkontingensi dapat meningkatkan
kekuatan usaha untuk sementara waktu (misalnya, Horowitz, 1976;
Klinger, 1977; Shontz, 1975; Wortman & Brehm, 1975). Apa yang
menciptakan keputusasaan, namun, masih jauh dari jelas dalam
pendekatan kognitif mana pun terhadap depresi (misalnya, Beck, 1967).
Reformulasi ini masih gagal sebagai penjelasan moral dalam
situasi tak terkendali dalam tiga cara penting. Pertama, analisis atribusi
ketidakberdayaan tidak dapat dikaitkan dengan hasil sampai makna
atribusi seperti yang ditafsirkan dari sudut pandang kesejahteraan
seseorang diperhitungkan. Poin ini dibahas lebih lanjut dalam Bab 9.
Kedua, formulasi yang direvisi dari ketidakberdayaan yang
dipelajari memberikan sedikit perhatian pada koping. Keberhasilan
koping dalam menghadapi kehilangan kendali atas hasil mungkin
memerlukan proses yang sangat kognitif dan perilaku yang dianggap
sebagai patologis atau patogen dalam beberapa konteks dan yang, dalam
banyak kasus, sangat mirip dengan defisit emosional dan motivasi yang
menjadi perhatian teori ketidakberdayaan yang dipelajari. Apa yang oleh
para ahli teori ketidakberdayaan yang dipelajari dianggap sebagai
kepasifan yang diinduksi ketidakberdayaan, yaitu, defisit motivasi —
33

dan depresi, defisit emosional — mungkin merupakan akomodasi adaptif


terhadap kurangnya kontrol atas lingkungan atau, seperti yang akan kita
katakan, orang yang bermasalah- hubungan lingkungan. Termasuk dalam
akomodasi ini adalah proses koping kognitif yang sama yang kita tangani
di bawah koping yang berfokus pada emosi,
Misalnya, satu pilihan yang tersedia bagi orang yang menghadapi
lingkungan yang tidak terkendali adalah melakukan apa yang disarankan
oleh Pearlin (1980b), yang dikutip sebelumnya, yaitu, melepaskan
komitmen yang tidak dapat diperbaiki dan menyusun kembali prioritas.
Pearlin berkata:
Kontrol makna biasanya sangat bergantung pada penggunaan
selektif tujuan dan kegiatan yang dihargai secara sosial. . . . Jika seorang
pria dihadapkan pada ketegangan yang intens dalam pekerjaannya, dia
dapat menghindari tekanan dengan menurunkan pekerjaan ke tempat
yang terpinggirkan dalam hidupnya, sebaliknya berkomitmen pada
dirinya sendiri, misalnya, untuk menjadi suami atau ayah yang baik.
Dengan demikian, orang dewasa tidak jarang akan memindahkan peran-
peran di mana ada pengalaman menyakitkan ke pinggiran penting,
membuat lebih sentral mereka yang relatif bebas dari kesulitan. Dalam
mengatur ulang prioritas mereka, orang meredam stres dengan
merendahkan pentingnya area di mana kegagalan dan konflik terjadi,
(hal. 185)

Wortman dan Dintzer (1978), juga menulis Kami percaya bahwa banyak
perilaku yang terkait dengan ketidakberdayaan (menyerah, kehilangan
minat pada hasil, dan/atau motivasi untuk mengejarnya) adalah
maladaptif hanya ketika hasil yang dipertanyakan dapat dikendalikan
atau dimodifikasi. Jika hasilnya benar-benar tidak terkendali, perilaku ini
mungkin sangat fungsional (lih. Weiss, 1971). (hal. 87)
Orang dapat hidup di bawah kondisi yang sangat negatif yang tidak
dapat dikontrol secara efektif, namun tetap optimis dan terlibat. Mereka
34

menemukan cara untuk merasionalisasi kondisi mereka, kadang-kadang


bahkan mempertahankan harapan bahwa segala sesuatunya akan berubah
atau tidak akan seburuk yang ditakuti. Diskusi menarik Janoff-Bulman
dan Brickman (1982) tentang reaksi orang-orang Yahudi Eropa pada
tahun 1930-an yang melewatkan kesempatan untuk melarikan diri dari
Nazi Jerman adalah contohnya. Dari perspektif ketidakberdayaan yang
dipelajari, perilaku ini mungkin terlihat seperti ketidakberdayaan dan
menyerah. Namun, perilaku yang sama ini dapat dengan mudah dianggap
sebagai upaya koping kognitif untuk mengakomodasi apa yang tampak
seperti penyimpangan sementara, dengan interpretasi bahwa budaya
Jerman yang sangat maju tidak akan meninggalkan pandangan yang
beradab — pada dasarnya, sikap yang ramah,
Ketiga, sebagian besar penulis cenderung memperlakukan emosi,
terutama ketidakberdayaan, keputusasaan, dan depresi, sebagai tahap
akhir dalam urutan adaptasi yang dapat mencerminkan maladaptasi.
Namun, jika seseorang mengambil pandangan yang lebih besar—dan
lebih lama—, depresi dan emosi lainnya biasanya merupakan langkah
menuju keadaan dan proses lain. Seperti yang dicatat oleh Klinger
(1977), depresi biasanya bersifat sementara, seperti halnya kemarahan,
rasa bersalah, kecemasan, dan sebagainya. Bahkan perasaan positif
setelah pencapaian
dari beberapa tujuan yang telah lama dicari biasanya dibatasi dalam
durasi dan intensitas, karena pencapaian tersebut terbukti hanya
merupakan stasiun jalan menuju sesuatu yang lain. Jadi orang sering
melihat mahasiswa pascasarjana yang bereaksi dengan depresi ringan
setelah memperoleh gelar doktor. Gelar telah ditaksir terlalu tinggi
sebagai titik akhir dan ternyata hanya merupakan sumber kepuasan
sementara yang akan diikuti oleh langkah selanjutnya dalam memulai
karir (Lazarus, Kanner, & Folkman, 1980).
Wortman dan Brehm (1975), mencari integrasi teori "reaktansi"
dengan teori ketidakberdayaan yang dipelajari, juga mendalilkan proses
35

dua tahap untuk mengelola kondisi dan hasil yang tidak dapat
dikendalikan, yaitu, penyegaran dan depresi. Namun, mereka tidak
berasumsi bahwa urutan ini tidak berubah, tetapi menyarankan bahwa
keduanya dapat terjadi pada awalnya tergantung pada kondisi dan
riwayat tertentu. Seperti dalam kebanyakan pandangan pembelajaran
sosial, analisis mereka terhadap proses dengan demikian terkait dengan
faktor kembar nilai dan harapan.
Meninjau buku Garber dan Seligman (1980), Synder (1982)
menyatakan bahwa "... kami masih kekurangan pemahaman yang
memadai tentang konsekuensi dari pengalaman dengan hasil yang tidak
terkendali" (hal. 11). Memang, kami belum tahu bagaimana memprediksi
bagaimana seseorang akan mengatasi kondisi yang membawa hasil ini,
atau dengan hasil itu sendiri, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Ini adalah pertanyaan penelitian penting untuk masa depan jika kita ingin
mengatasi masalah kontrol atau kurangnya kontrol atas lingkungan dan
hubungannya dengan hasil seperti moral. (Untuk kritik terhadap konsep
ketidakberdayaan yang dipelajari yang direvisi dalam bentuk atribusinya,
lihat Coyne, 1982; Coyne & Gotlib, 1983; Zuroff, 1980.)

2.4 Kesehatan Somatik


Tema penting dari analisis stres, koping, dan kesehatan yang
mendominasi pemikiran dalam kedokteran perilaku adalah bahwa keadaan
emosional dari semua jenis dan intensitas menyertai penilaian bahaya,
ancaman, dan tantangan. Kaitannya dengan penyakit adalah hubungan
konvensional bahwa perubahan tubuh besar-besaran dikaitkan dengan emosi,
terutama emosi yang kuat dan negatif seperti ketakutan dan kemarahan. Tema
inilah yang membuat karya Selye (1956, 1976) tentang fisiologi stres yang
sangat berpengaruh besar dalam pengobatan perilaku dan psikosomatik.
Bahwa stres, emosi, dan koping merupakan faktor penyebab penyakit
masih merupakan premis, meskipun diasumsikan secara luas (lihat Plaut &
Friedman, 1981). Kepercayaan pada premis ini menyebabkan pertumbuhan
36

penelitian yang luar biasa selama tahun 1960-an dan 1970-an yang berusaha
menghubungkan peristiwa kehidupan dengan penyakit. Kasus empiris perlu
dibuat, dan ukuran peristiwa kehidupan menawarkan janji penilaian stres yang
objektif. Pada umumnya, kami menerima premis bahwa stres, emosi, dan
koping terkait secara kausal terkait dengan penyakit, meskipun buktinya
kurang jelas dan kurang sepenuhnya dijabarkan secara lengkap daripada yang
disadari secara umum. Kebanyakan orang yang bekerja dalam kedokteran
psikosomatik, kedokteran perilaku, psikologi kesehatan, dan bidang terkait
juga menerima premis ini pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, karena
sebagian besar mendefinisikan bidang ini (lihat juga Engel, 1974, 1977).
Sebuah tinjauan penelitian tentang faktor psikososial dan kerentanan penyakit
menular oleh Jemmott dan Locke (1984) menyajikan kasus empiris yang cukup
kuat bahwa premis ini masuk akal, setidaknya sehubungan dengan peran
mediasi yang dimainkan oleh kompetensi kekebalan dalam hubungan stres-
infeksi.
Tanpa menantang premis, sosiolog medis telah berurusan dengan salah
satu dilema metodologis dalam membuat kasus empiris untuk hubungan antara
penyakit, stres, emosi, dan mengatasi dengan memeriksa apa yang disebut
perilaku penyakit kecenderungan untuk mencari atau menghindari perawatan
medis untuk gejala, atau untuk melebih-lebihkan atau mengecilkan pentingnya
mereka. Perilaku penyakit merupakan fenomena yang menarik dalam dirinya
sendiri; pola bervariasi, misalnya, antara budaya, dan subkultur, sebagai fungsi
dari variabel sosiodemografi, dan di antara individu (lihat, misalnya, Mechanic,
1978, untuk akun representatif, dan karya Rundall & Wheeler, 1979). Dari
sudut pandang kami, fakta perilaku penyakit menimbulkan masalah. Jika
mengeluh tentang gejala, atau gagal untuk mengeluh, tergantung pada nilai-
nilai, keyakinan, dan pola pribadi mengatasi dari pada penyakit itu sendiri,
maka perilaku sebenarnya dari pasien adalah sumber kebisingan dalam sistem,
sehingga lebih sulit untuk menguraikan apakah yang dilihat adalah penyakit
atau hanya manifestasi lahirlah perilaku nilai-nilai, keyakinan, dan aktivitas
koping yang hubungannya dengan penyakit bervariasi.
37

2.4.1 Sifat Umum dan Sifat Khusus


Kontroversi teoretis yang saat ini mendominasi pemikiran tentang
faktor psikologis dan sosial dalam kesehatan dan penyakit menyangkut
dua cara menyeluruh dalam melihat peran emosi atau stres dalam
penyakit, yang satu menekankan generalitas, yang lain spesifisitas atau
kekhususan. Posisi umum, yang lebih luas dianjurkan, muncul sebagai
penangkal kegagalan teori spesifisitas, populer dari sekitar tahun 1920
hingga 1940 (lihat Lipowski, 1977, untuk tinjauan sejarah singkat),
untuk mendukung hubungan yang diusulkan antara sebagian besar
ketidaksadaran dan pusat konflik. proses psikodinamik dan penyakit
tertentu seperti bisul, radang usus besar, asma, dan migrain (misalnya,
Alexander, 1950; Alexander, French, & Pollack, 1968).
Konsep Selye tentang Sindrom Adaptasi Umum memberikan
dorongan untuk teori-teori umum karena ia berpendapat untuk respons
pertahanan tubuh yang seragam terhadap segala jenis tuntutan
lingkungan, termasuk psikososial. Hormon-hormon yang disekresikan
dalam sindrom ini terbukti memiliki efek besar pada sistem jaringan
dan aktivitas setiap sel dalam tubuh, dan efek ini dapat dengan mudah
menjelaskan peningkatan kerentanan umum terhadap berbagai macam
penyakit. Penekanan pada reaksi tubuh umum terhadap tuntutan
lingkungan yang beragam membuatnya mudah untuk bergerak menuju
konsep penyakit di mana sifat spesifik dari permintaan, pada dasarnya,
psiko- atau sosiodinamikanya, tidak terlalu penting. Dengan
pencurahan hormon stres katabolik yang berkelanjutan, tubuh
Resistensi akan cukup melemah untuk meningkatkan kemungkinan
infeksi dan kerusakan jaringan, atau yang disebut Selye sebagai
penyakit adaptasi. Alasan satu penyakit daripada yang lain terjadi
tergantung pada perbedaan individu dalam pengkondisian psikologis
masa lalu atau pada kerentanan berbasis genetik atau konstitusional.
Teori generalitas, pada dasarnya, dibangun di sekitar dua konsep
yang berkaitan dengan tuntutan di satu sisi dan tanggapan di sisi lain:
38

(1) Semua tuntutan kurang lebih secara kualitatif setara dalam


menghasilkan mobilisasi fisiologis — mekanisme pertahanan bawaan
yang adalah bagian dari warisan filogenetik kita—yang muncul ketika
keseimbangan tubuh terganggu (ini mengalir dari karya awal ahli
fisiologi Prancis Claude Bernard; lihat Cannon, 1932); dan
(2) bahwa mobilisasi, atau respons defensif ini, meningkatkan
kerentanan umum terhadap semua penyakit, bukan penyakit spesifik.
Singkatnya, jika seseorang terus-menerus dibombardir dengan tuntutan
stres, respons pertahanan tubuh akan meningkatkan risiko setiap dan
semua proses penyakit; dan jika tidak ada penghentian yang
memungkinkan pemulihan kondisi seluler yang diperlukan untuk
kesehatan, orang tersebut pada akhirnya akan menyerah.
Pada intinya, Selye dan ahli fisiologi lainnya memperlakukan
kondisi stimulus atau tuntutan lingkungan—apa yang disebut Selye
sebagai "stressor"—tanpa referensi rinci untuk memediasi proses
psikososial. Dengan demikian, teori umum kerentanan penyakit
biasanya melemparkan masalah dalam hal stres seperti peristiwa
kehidupan atau tuntutan kronis hidup sehari-hari yang menghasilkan
stres atau respon emosional. Proses psikologis yang menciptakan
respons emosional dari tuntutan lingkungan (lihat juga Bab 2 dan 9)
Pergerakan menuju teori generalitas pada tahun 1940-an dan
1950-an memiliki padanan dalam psikofisiologi emosi. Seperti yang
kita catat di Bab 2, konsep emosi dimasukkan ke dalam konsep gairah
dan dorongan, membuat emosi paling baik menjadi konsep yang
sederhana mulai dari intensitas tinggi hingga rendah di mana gagasan
tentang berbagai jenis emosi ditinggalkan. Pendekatan ini sesuai
dengan teori umum tentang faktor psikososial dalam penyakit di mana
kualitas emosi dan psikodinamikanya tidak diperhitungkan dalam
proses yang terlibat dalam gangguan berbasis emosi. Yang penting
adalah keadaan gairah yang berlebihan, singkatnya, gangguan
homeostasis.
39

Baru-baru ini, Sindrom Adaptasi Umum, seperti konsep gairah


umum, mulai menunjukkan kekurangan yang serius sebagai cara untuk
memahami emosi atau stres, gangguan stres, dan komponen
psikososialnya. Kami telah membahas penelitian tentang masalah ini di
Bab 2. Seperti yang kami catat di sana, penelitian oleh Mason dan
rekan-rekannya (Mason, 1975a; Mason et al., 1976) dengan pola
hormonal telah menghadirkan tantangan besar terhadap posisi umum.
Pertama, ketika mereka menghilangkan ancaman sebagai pengganggu,
monyet dan manusia menunjukkan pola sekresi hormonal yang sangat
berbeda terhadap berbagai pemicu stres fisik seperti puasa, panas,
dingin, dan olahraga; kedua, respons kortikosteroid adrenal mungkin
sensitif terutama atau hanya terhadap ancaman psikologis, faktor yang
biasanya dikacaukan dengan rangsangan berbahaya secara fisik,
daripada serangan fisik pada homeostasis. Selain itu, bukti Mason
memberikan beberapa dukungan pada gagasan bahwa setiap emosi—
marah, takut, dll.—memiliki pola respons hormonalnya sendiri-sendiri.
Kesulitan metode penelitian, terutama yang membuat sulit untuk
membedakan satu kualitas emosi dari yang lain, melanggengkan
kontroversi tentang generalitas versus spesifisitas. Masalahnya masih
jauh dari terselesaikan (lihat, misalnya, Ekman et al., 1983; Ursin,
1980).
Kami berpendapat, bagaimanapun, bahwa gairah umum atau
mobilisasi tidak memadai sebagai satu-satunya konsep interpretatif
yang mendasari hubungan kausal antara emosi (dan kondisi yang
menyebabkannya) dan penyakit somatik. Pernyataan Selye (1974)
tentang eustress dan kesusahan (lihat juga Lazarus, 1976) juga
menyiratkan bahwa respons tubuh terhadap keadaan emosional yang
berbeda mungkin sangat berbeda karena mempengaruhi hasil adaptasi.
Banyak ahli epidemiologi sosial saat ini (misalnya, Antonovsky,
1979; Cassel, 1976; Syme, in press) mendukung gagasan bahwa
pengalaman stres bekerja dengan meningkatkan kerentanan umum
40

seseorang terhadap penyakit. Versi teori umum ini menggeser konsep


penyebab penyakit dari ide Koch, Pasteur, dan Lister bahwa agen
bakteri tertentu terlibat dalam penyakit tertentu. Sejak itu kami telah
mengetahui bahwa kehadiran agen lingkungan yang berbahaya saja
sering kali tidak menghasilkan penyakit. Menjadi sakit juga tergantung
pada keadaan fisik hewan, yang sering disebut "resistensi inang", yang
dapat dipengaruhi oleh stres atau gangguan emosional. Gagasan tentang
kemampuan organisme untuk menangkal penyakit jelas merupakan
gagasan yang masuk akal, tetapi untuk menginterpretasikan semua
onset penyakit dalam kaitannya dengan resistensi pejamu berarti terlalu
banyak menanyakan konsep kerentanan umum. "Umum" telah menjadi
istilah yang terlalu luas dan gagal untuk diperhitungkan proses
psikofisiologis yang membedakan penyakit jantung, katakanlah, dari
kanker, radang usus besar, infeksi, atau hipertensi.
Kita dapat menggambarkan cacat utama dari model umum
dengan temuan klasik bahwa merokok meningkatkan semua penyebab
kematian, yaitu kematian akibat berbagai penyakit seperti kanker paru-
paru, emfisema, penyakit kardiovaskular, gangguan hati dan ginjal, dan
infeksi pernapasan. , yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan
flu atau pneumonia, dan sebagainya. Data dengan tegas menunjukkan
bahwa mereka yang merokok lebih mungkin meninggal karena satu
atau lain penyakit ini daripada mereka yang tidak merokok.
Menggabungkan semua hasil penyakit menciptakan alasan kuat untuk
merokok sebagai penyebab tetapi mengabaikan beragam rute yang
meningkatkan risiko kematian dini.
Rute yang beragam ini penting untuk dipahami karena
mempengaruhi jenis penyakit yang diderita orang dan kemungkinan
mendapatkannya. Seseorang yang merokok diduga rentan terhadap
keganasan, sedangkan yang lain rentan terhadap emfisema, atau
hipertensi, dengan bahaya stroke atau oklusi koroner. Masih ada orang
lain yang tampaknya tidak memiliki efek kesehatan yang terukur dari
41

merokok. Kami tidak dapat memahami variasi ini dengan model umum,
atau dengan mitranya dalam epidemiologi, model kerentanan umum,
karena mekanisme penyakit bervariasi dari orang ke orang dan dengan
demikian melibatkan variabel individu atau kelompok tertentu yang
tidak dijelaskan oleh model ini.
Konsep kerentanan umum mungkin sangat ditingkatkan dengan
menempatkan penyakit ke dalam kelas yang luas, seperti infeksi, patah
tulang atau cedera kepala akibat kecelakaan, penyakit kardiovaskular,
dan jenis kanker yang berbeda. Misalnya, meskipun bukti masih lemah
dan kontroversial, satu jenis kanker mungkin disebabkan oleh cacat
dalam proses pengawasan kekebalan, sedangkan yang lain mungkin
dihasilkan atau diperburuk oleh cacat dalam respons kekebalan
terhadap agen asing setelah mereka terdeteksi (misalnya, Schwartz,
1975).
Klasifikasi hasil penyakit, bagaimanapun, hanya dapat
memberikan sebagian dari jawabannya. Perhatian harus diberikan pada
proses yang terlibat dalam penyebab penyakit utama yang dimulai
dengan variabel sosial, berlanjut ke psikologis dan akhirnya ke setiap
tahap tingkat fisiologis. Memang inilah yang coba dilakukan oleh para
ahli teori kekhususan pada tingkat psikologis dengan formulasi
psikodinamik mereka, tetapi upaya ini tidak pernah berlanjut ke analisis
yang masuk akal pada tingkat fisiologis; konsep mereka terlalu terbatas,
seperti yang akan segera terlihat, dan basis data mereka kurang. Jadi,
masih mungkin bahwa kemarahan dapat menciptakan pola kerentanan
yang berbeda terhadap penyakit daripada emosi lainnya, seperti yang
disarankan dalam kasus hipertensi. Tetapi bahkan membedakan antara
emosi tidak cukup, karena meninggalkan berbagai pola koping yang
digunakan di bawah tekanan, yang masing-masing memiliki
konsekuensi yang sangat berbeda untuk penyakit somatik.
Doktrin asli spesifisitas dalam etiologi penyakit berfokus pada
lingkungan sebagai pengaruh kausal. Faktor utama dalam doktrin ini
42

adalah penemuan abad ke-19 bahwa bentuk bakteri tertentu


menyebabkan penyakit tertentu. Seperti yang kami tunjukkan di Bab 1,
sekarang kita tahu bahwa kondisi pejamu juga mempengaruhi
kerentanan terhadap pneumonia, tuberkulosis, dan penyakit lain yang
dihasilkan oleh bakteri dan virus (lih. Dubos, 1959). Gagasan bahwa
penyakit tergantung, tidak hanya pada invasi kekuatan lingkungan yang
tidak bersahabat, tetapi juga pada kondisi total orang tersebut,
dinyatakan dalam istilah seperti rawan penyakit, resistensi inang,
sumber daya resistensi (Antonovsky, 1979), atau kesehatan. (Bakan,
1968).
Versi psikoanalitik dari doktrin kekhususan tidak hanya mengacu
pada penyebab lingkungan tertentu, tetapi pada generasi keadaan dan
proses kompleks yang melibatkan pola emosional yang berbeda dan
menangani pada orang tertentu di lingkungan tertentu.Pandangan ini
mirip dengan doktrin asli kekhususan dalam emosi tertentu, seperti
kemarahan atau ketakutan, atau pola koping tertentu, menghasilkan
risiko penyakit khusus mereka sendiri. Sebagai contoh, hipotesis umum
tentang hipertensi hal itu terkait dengan cara kemarahan yang ditangani.
Pandangan psikoanalitik berbeda dari doktrin asli kekhususan karena
agen kausal tidak dilihat sebagai lingkungan yang ketat, tetapi sebagai
interaksi antara seseorang dengan proklusi tertentu (agenda pribadi,
kerentanan khusus, gaya koping) dan lingkungan yang memaksakan
tuntutan dan kendala yang konstan atau berulang yang relevan dengan
kecendrungan tersebut.
Meskipun kehilangan kepercayaan di antara para ahli teori dan
peneliti dalam versi kuno dari spesifisitas psikosomatis yang mencari
kepribadian maag, kepribadian migrain, dan sejenisnya, beberapa
penjelasan tentang penyakit tertentu masih mengacu pada konsep
kekhususan dalam bentuk hipotesis tentang masalah yang luas dan
menyeluruh seperti ketergantungan atau ketidakberdayaan (misalnya,
Weisman, 1956). Misalnya, penerapan spesifisitas yang diperluas dapat
43

ditemukan dalam tesis Engel(1968) bahwa banyak penyakit berasal dari


kehilangan atau berkabung diri dalam konteks kecenderungan
psikologis untuk menjadi sangat bergantung pada orang lain. Dalam
kasus ini, kerugian akan ditafsirkan sebagai ancaman utama bagi
keamanan. Orang-orang ini merasa ditinggalkan, tidak berdaya, dan
kurang harapan, yang menuntun mereka untuk menyerah mencoba
berdamai dengan keadaan hidup mereka (lihat juga Schmale, 1972; dan
Schmale & Iker, 1966, yang melihat kanker sebagai produk dari jenis
psikodynamic ini). Bukan hanya kerugian itu sendiri yang sangat
penting; dalam istilah kami, dampaknya juga tergantung pada watak
orang tersebut untuk menilainya sebagai ancaman signifikan terhadap
kesejahteraannya,atau untuk mengatasinya dengan cara tertentu. Para
ahli teori tersebut, misalnya, yang melihat kerentanan psikologis ini
sebagai faktor penting dalam kanker (atau dalam depresi, jika kita
mempertimbangkan moral daripada penyakit somatik) telah
mengadopsi varian hipotesis spesifisitas dalam bentuk yang lebih luas.
Appraisal Depue, Monroe, dan Schachman (1979) telah membuat
analisis pencarian konsep generalitas dan spesifisitas dan berpendapat
bahwa gagasan penilaian menawarkan cara yang efektif untuk melihat
faktor psikososial dalam penyakit dari sudut pandang yang sangat
umum tanpa mengorbankan pola individu kerentanan psikologi. Watak
kologis psikismterhadap ketergantungan sebagai dasar penyakit tidak
perlu dibatasi,mereka menyatakan, karena berbagai peristiwa yang
lebih luas dapat dinilai sebagai stres,tergantung pada kecenderungan
seseorang untuk mengevaluasi kecendrungan sebagai
ancaman.Kecenderungan untuk menilai peristiwa sebagai ancaman
memang dapat dikaitkan dengan kebutuhan ketergantungan; namun
demikian, salah satu dari sejumlah besar kerentanan, yangberbeda dari
orang ke orang karena sejarah dan agenda mereka yang beragam, dapat
memilik idampak emosional yang serupa. Spesifisitas, oleh karena itu,
terletak pada faktor-faktor orang yang mengarah pada proses umum,
44

yaitu, penilaian kognitif. Menyimpulkan posisi ini, Depue et al.menulis:


Oleh karena itu, proses penilaian dapat memberikan jalan umum akhir
untuk sejumlah variabel orang dan psikososial yang memodifikasi
dampak lingkungan psikososial. Dalam menerapkan model ini pada
inisiasi penyakit, faktor yang menyatukan semua variabel ini adalah
proses penilaian karena memodifikasi intensitas dan duras irespons
kologis terhadap ancaman di lingkungan. Faktor pemersatu dilihat dari
segi ancaman psikologis karena respons inilah yangmemulai apa , bagi
beberapa ahli teori, mediator utama lingkungan psikososial — emosi
dan penyerta biologisnya, (hal. 16).
Dalam pernyataan ini, Depue et al. telah menjadikan emosi
sebagai mediator utama penyakit somatik, meskipun mereka tidak
berspekulasi tentang hubungan antara emosi dan penyakit tertentu.
Mereka melanjutkan dengan menyarankan bahwa penilaian ancaman
mengarah pada pola koping yang, pada gilirannya, mungkin memiliki
ikatan spesifik mereka sendiri dengan penyakit atau kelompok penyakit
tertentu. Dalam pandangan kami,penekanan yang terakhir bahkan lebih
penting dalam etiologi penyakit psikososiobiologis.

2.4.2 Mengamati dan Hasil kesehatan


Mari kita sekarang mengalihkan fokus dari penilaian ancaman
dan emosi sebagai pengganggu keseimbangan tubuh dan prekursor
penyakit ke upaya mengatasi yang mereka rangsang dan bagaimana
upaya ini mempengaruhi kesehatan dalam jangka panjang. Perhatikan
bahwa kami tidak menanyakan bagaimana orang mengatasi penyakit.
Kami bertanya tentang beragam rute di mana cara orang mengatasi
peristiwa kehidupan sehari-hari dapat memengaruhi kesehatan mereka.
Ada kelangkaan studi sistematis yang membahas pertanyaan ini
secara langsung; biasanya dianggap secara tidak langsung dengan
menyimpulkan koping sebagai mediator hubungan antara variabel
anteseden dan kesehatan. Beberapa penelitian yang meneliti hubungan
45

antara koping dan kesehatan umumnya gagal mencapai tujuan karena


mereka tidak mempertimbangkan jalur di mana koping mempengaruhi
kesehatan.
Penggunaan inferensi dalam mengidentifikasi koping sebagai
mediator hubungan antara variabel anteseden dan kesehatan dapat
dirusak oleh karya Kobasa dan rekan-rekannya pada kepribadian
construct of hardiness sebagai moderator efek stres hidup pada penyakit
(lihat terutama Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi, & Courington, 1981;
Kobasa, Maddi, & Kahn, 1982). Desain dasar dari pencarian ulang ini
adalah untuk membandingkan dua kelompok, satu dengan stres tinggi,
seperti yang diyakini oleh daftar peristiwa kehidupan Holmes dan Rahe,
yang telah jatuh sakit, yang lain dengan stres tinggi tetapi bebas dari
penyakit. Kekerasan sebagai konstruksi kepribadian diukur dengan
sejumlah skala yang saling diselingisebagai penyadapan tiga
karakteristik kepribadian: komitmen, kecenderungan untuk menilai
tuntutan sebagai menantang daripada mengancam, dan memiliki rasa
kontrol atas nasib seseorang.Bersama-sama sifat-sifat ini dianggap
sebagai variabel kekerasan. Ditemukan dalam penelitian ini bahwa
orang-orang yang dicirikan sebagai hardy kurang rentan untuk
mengembangkan penyakit di bawah stress.
Masalah dengan rangkaian penelitian ini dapat diilustrasikan oleh
artikel Kobasa tahun 1979. Disini dia menyimpulkan proses atau gaya
koping berdasarkan ukuran kepribadian yang membedakan kelompok
eksekutif dengan kekerasan tinggidari kelompok kekerasan rendah dari
kelompok kekerasan rendah. Dia menyarankan, misalnya, bahwa
eksekutif yang tangguh akan melemparkan dirinya secara aktif ke
dalam situasi baru. Namun, Kobasa tidak menawarkan data yang
menggambarkan proses koping sebenarnya dari kedua kelompok. Dasar
untuk inferensi sangat goyah karena pertanyaan mengenai validitas
skala kepribadian yang digunakan untuk mengukur kekerasan.
Komitmen, untuk example, diukur secara negatif dalam hal
46

keterasingan: skor rendah pada skala alientasi dianggap setara dengan


komitmen. Demikian pula, tantangan diukur secara negatif oleh skala
keamanan. Apakah timbangan ini mengukur komitmen dan tantangan,
atau apakah mereka paling baik dianggap sebagai mengukur
keterasingan dan keamanan? Dan sejauh mana langkah-langkah hasil
penyakit dikacaukan dengan tor indica emosionaldari keterasingan?
Pertanyaan-pertanyaan ini semakin meresahkan tanpa adanya data
observasional yang mungkin mendukung interpretasi penulis. Pola
yang sama dengan spekulasi yang lebih luas tentang koping terbukti
dalam analisis selanjutnya (Kobasa & Puccetti, 1983).
Kelompok studi lain lebih dekat untuk memeriksa hubungan-
hubungan antara koping dan kesehatan secara lebih langsung. Sebagai
contoh, sebuah studi yang sering dikutip oleh Aldrich dan Mendkoff
(1963) menunjukkan dengan kuat bahwa bagaimana orang tua yang
dipindahkan dari satu situasi kesituasi lain mengatasi pengalaman stres
mempengaruhi kematian mereka. Mereka yang merespons secara
filosofis menunjukkan tingkat kematian sangat kecil , diikuti oleh
mereka yang merespons dengan kemarahan. Orang tua dengan hasil
paling buruk , yaitu, kematian pasca-kolokasi yang tinggi, bereaksi
dengan penyangkalan dan depresi atau telah berfungsi sebelum dan
sesudah relokasi pada tingkat psikotik, yang dalam hal ini mungkin
berarti mereka pikun. Meskipun penelitian ini tidak menjelaskan
bagaimana proses koping sebenarnya mempengaruhi tingkat kematian,
namun studi ini sangat melibatkan koping.
Sebuah studi selanjutnya (Janoff-Bulman & Marshall, 1982),
meskipun sangat kurang detali, melaporkan bahwa subjek usia yang
dilembagakan yang telah menilai situasi mereka dengan baik, seperti
yang ditunjukkan oleh laporan positif mereka tentang
kesejahteraan,memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi tiga tahun
kemudian dibandingkan dengan subjek yang telah menyatakan evaluasi
yang sangat negatif terhadap kesejahteraan mereka dalam penilaian
47

awal. Temuan ini tampaknya sejajar dengan pengamatan Aldrich dan


Mendkoff bahwa orang tua yang marah memiliki tingkat kematian yang
lebih rendah daripada mereka yang menggunakan penyangkalan atau
bereaksi dengan depresi. Dalam sebuah studi terkait dengan pasien
kanker stadium akhir, Weisman dan Worden (1975) melaporkan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih pendek untuk pasien yang merespons
dengan penarikan diri, keterasingan, dan depresi dibandingkan dengan
mereka yang melestarikan dan menggunakan hubungan sosial dengan
teman dan keluarga. Serangkaian penelitian yang berkembang mulai
menunjukkan bahwa penerimaan pasif, ketidakberdayaan, dan depresi
menghasilkan pandangan yang lebih buruk untuk bertahan hidup di usia
tua daripada kemarahan, keluhan, atau berjuang untuk tetap hidup atau
untuk mengendalikan keadaan seseorang (lihat Lieberman & Tobin,
1983; Turner, Tobin, & Lieberman,1972; dan Derogatis, Abeloff, &
Melisaratos, 1979, tentang kelangsungan hidup kanker). Penelitian di
atas menunjukkan bahwa kematian, yang secara obvimerupakan yang
terakhir dalam penyakitsomatik, memang dapat tunduk pada efek
mediasi dari jenis emosi dan koping yang dominan.
Pada skala keparahan penyakit yang lebih rendah, kami mencatat
karya Weiner, Singer, dan Reiser (1962)di mana hipertensi tampaknya
berurusan dengan fitur yang mengganggu secara emosional dari
pandangan inter diagnostik dengan menceritakan kisah-kisah yang
tidak terlibat dan tidak emosional kepada pewawancara dan
menampilkan respons kardiovaskular minimal, dibandingkan dengan
normotensives, yang jauh lebih reaktif. Temuan ini membuat para
peneliti mengusulkan bahwa penderita hipertensi mengatasi stres
wawancara dengan mengendalikan atau menekan aspek yang
mengancamnya , sehingga melindungi diri mereka sendiri. Sebuah studi
selanjutnya oleh Sapira, Scheib, Moriarty, and Shapiro (1971)
mengkonfirmasi temuan ini dengan pengamatan bahwa penderita
hipertensi cenderung menyangkal signifikansi emosiona ldari peristiwa
48

yang dilihatnya dalam sebuah film yang menggambarkan perilaku


hangat seorang dokter kepada pasien atau perilaku dingin dan kasar.
Dua penelitian di atas tampaknya menunjukkan bahwa hipertensi
menampilkan gaya menekan atau menyangkal materi yang signifikan
secara emosional yang dapat meningkatkan tekanan darah mereka.
Penafsiran ini bersifat paradoks, karena jika mereka berhasil dalam
gaya koping ini, seperti yang tampaknya mereka lakukan, lalu mengapa
mereka hipertensi? Salah satu penjelasannya bahwa penderita
hipertensi tidak menekan atau menyangkal sepanjang waktu, meskipun
mereka menggunakan strategi koping ini dalam dua percobaan yang
dilaporkan. Penjelasan ini tidak dapat diuji, karena pasien hanya terlihat
pada satu kesempatan, dan tidak mungkin untuk memeriksa naik
turunnya tekanan darah sebagai fungsi manipulasi eksperimental.
Penjelasan lain, yang mengacu pada model hidraulik, adalah bahwa
pola penyangkalan dan penekanan yang terus-menerus dapat
menyebabkan penumpukan kemarahan yang tidak dapat dilepaskan
yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan darah kronis.
Namun, penjelasan ini telah banyak didiskreditkan dalam beberapa
tahun terakhir, yang mendukung penjelasan umpan balik mental
lingkungan kognitif: kegagalan yang konsisten untuk mengekspresikan
kemarahan dan karenanya menangani penghinaan membuat orang
tersebut mengalami hubungan yang menimbulkan kemarahan berulang.
Sebagai alternatif, ekspresi kemarahan yang konsisten bahkan ketika itu
kontraproduktif menghasilkan hasil interpersonal yang negatif dan
mempersulit penyelesaian hubungan bermasalah, yang kemudian
terulang kembali. Temuan juga bisa merupakan hasil artefak
pengukuran. Misalnya, mungkin tekanan darah tidak berubah untuk
penderita hipertensi hanya karena tekanan darah dasar mereka sudah
setinggi mungkin, sebuah contoh dari hukum nilai awal dalam
psikofisiologi. Jadi kita harus waspada terhadap generalisasi dari studi
49

ini, yang diturunkan dari penilaian tunggal dengan prosedur yang cukup
primitif untuk mengevaluasi efek psikofisiologis.
Sebuah studi yang jauh lebih sehat, oleh Harburg et al. (1979),
berimplikasi pada kontrol kemarahan atau kondisi yang memicu
kemarahan pada hipertensi. Data kuesioner berbasis wawancara
diperoleh tentang bagaimana menangani kemarahan terkait pekerjaan
dalam menanggapi bos yang marah; Selain itu, tekanan darah diambil
sampelnya beberapa kali selama wawancara. Gaya koping termasuk
"marah-dalam" ("menjauh dari situasi"), "marah-out" ("protes
kepadanya secara langsung"; "laporkan dia ke serikat"), dan "reflektif"
("berbicara dengannya). dia tentang hal itu setelah dia menjadi
tenang"). Temuan menunjukkan bahwa gaya reflektif, di mana orang
tersebut menganalisis serangan sewenang-wenang oleh bos dan
menunda respons untuk diskusi nanti atau mencoba bernalar pada saat
itu, dikaitkan dengan tekanan darah rendah. Strategi impulsif seperti
mengabaikan atau menyangkal arti serangan (marah-dalam) atau
menyerang atau memprotes atasan (marah-keluar), di sisi lain,
tampaknya terkait dengan tekanan darah tinggi.
Studi tentang kemarahan, pengendalian amarah, dan hipertensi ini
hanyalah beberapa contoh bagaimana emosi dan koping dapat
berimplikasi pada penyakit. Penelitian ini, yang agak tumpang tindih
dengan penelitian tentang perilaku Tipe A, juga memiliki implikasi
substantif dan metodologis yang penting untuk stres, mengatasi, dan
penyakit yang dipertimbangkan secara lebih luas. Misalnya, studi oleh
Harburg et al. (1979) meninggalkan kita dengan pertanyaan yang belum
terjawab tentang bagaimana subjek benar-benar mengatasi pertemuan
dengan bos yang marah. Cara penelitian ini dirancang, kita hanya dapat
mengetahui bagaimana tanggapan mereka. Pembaca akan mengenali
tema ini; itu diuraikan dalam Bab 6 dan dibahas lebih lanjut dalam Bab
9. Jika kita ingin memahami hubungan mengatasi stres-penyakit, kita
harus melihat proses yang sedang berlangsung di mana orang bereaksi
50

dan mengelola pertemuan stres. (Untuk diskusi terkait lihat, misalnya,


ulasan oleh Diamond, 1982; dan juga penelitian oleh Barefoot,
Dahlstrom, & Williams, 1983; Long, Lynch, Machiran, Thomas, &
Malinow, 1982; Shekelle, Gale, Ost feld, & Ogelsby, 1983; Williams et
al., 1980; dan Williams et al., 1982.)
Pertanyaan kedua yang lebih luas muncul dari pertimbangan studi
di atas dan studi lain yang berhubungan dengan hipertensi dan penyakit
lainnya. Apa rute melalui mana koping dapat mempengaruhi kesehatan
somatik? Kami menawarkan tiga kemungkinan:
Pertama, koping dapat mempengaruhi frekuensi, intensitas,
durasi, dan pola reaksi stres neurokimia (1) dengan gagal mencegah
atau memperbaiki kondisi lingkungan yang berbahaya atau merusak;
(2) dengan gagal mengatur tekanan emosional dalam menghadapi
bahaya atau ancaman yang tak terkendali; dan (3) dengan
mengekspresikan seperangkat nilai dan gaya hidup yang sesuai
dan/atau gaya mengatasi yang dengan sendirinya secara konsisten
memobilisasi dengan cara yang berbahaya.
Kegagalan untuk mencegah atau memperbaiki kondisi yang
merusak lingkungan (1) di atas mengacu pada ketidakcukupan koping
yang berfokus pada masalah. Kegagalan tersebut mungkin karena
lingkungan yang keras dan/atau defisit dalam sumber daya koping yang
berfokus pada masalah. Terlepas dari alasannya, kegagalan dalam
mengatasi masalah yang berfokus bahkan dapat meningkatkan
keengganan situasi, sehingga memperburuk reaksi stres neurokimia.
Gagal mengatur tekanan emosional dalam menghadapi bahaya
atau ancaman yang tidak terkendali (2) di atas mengacu pada koping
yang berfokus pada emosi. Kemungkinan kegagalan di sini termasuk
ketidakefektifan strategi seperti menjauhkan atau memisahkan yang
memiliki tujuan pengurangan mobilisasi, atau penggunaan strategi
seperti menyalahkan diri sendiri yang cenderung mempertahankan atau
bahkan meningkatkan mobilisasi.
51

Tipe A adalah contoh dari serangkaian nilai dan gaya hidup yang
sesuai yang dapat mempengaruhi reaksi stres neurokimiawi-(3) di atas.
Seperti yang kita catat di Bab 5, Tipe A juga dapat dilihat sebagai gaya
mengatasi. Akibatnya, orang tersebut merespons (mengatasi) tekanan
dan insentif eksternal untuk menjadi efektif, ambisius, kompetitif, dan
sukses dengan memupuk gaya hidup yang sesuai dan
menginternalisasikannya. Risiko serangan jantung meningkat
(misalnya, Haynes, Feinleib, & Kannel, 1980) melalui mekanisme
fisiologis mediasi tertentu seperti tekanan darah tinggi (hubungan
sekarang kontroversial mengingat temuan oleh Rose, Jenkins, & Hurst,
1978) , kolesterol serum dan lipid lainnya, dan perubahan trombosit dan
fibrinogen yang mengakibatkan pembekuan darah lebih cepat.
Meskipun perubahan tubuh seperti itu mungkin juga meningkatkan
risiko penyakit lain, perubahan itu tampaknya sangat penting pada
penyakit jantung.
Contoh lain dari gaya penilaian dan koping yang berpotensi
maladaptif dikemukakan oleh Linden dan Feurstein (1981), yang
menggambarkan kecenderungan penderita hipertensi untuk cenderung
pada penilaian ancaman dan perilaku agresif atau marah dalam situasi
sosial. Mereka mengkonseptualisasikan gaya ini sebagai defisit dalam
kompetensi sosial. Glass (1977a; Glass et al., 1980) berpendapat bahwa
gaya yang bergantian antara upaya intens untuk mengendalikan
transaksi stres dan tidak berdaya ketika upaya koping gagal dikaitkan
dengan fluktuasi katekolamin yang cukup dramatis untuk
mempengaruhi patogenesis penyakit jantung koroner (Holroyd). &
Lazarus, 1982).
Selain itu, beberapa orang mengeluh berlebihan tentang gejala
dan penyakit (seperti dalam perilaku "peran sakit", atau cara penilaian
dan koping yang mencerminkan nilai-nilai budaya) atau, sebaliknya,
meminimalkan gejala atau menghindari perawatan medis (lihat
Mechanic, 1966b; Zborowski, 1969). Bahasa yang penuh warna telah
52

muncul untuk menggambarkan pola-pola ini, misalnya, "sumur yang


khawatir" dan "pengeluh yang menolak bantuan".
Kedua, koping dapat mempengaruhi kesehatan secara negatif,
meningkatkan risiko kematian dan kesakitan, ketika melibatkan
penggunaan zat berbahaya yang berlebihan seperti alkohol, obat-
obatan, dan tembakau, atau ketika melibatkan orang tersebut dalam
aktivitas yang berisiko tinggi terhadap jiwa dan anggota tubuh.
Seseorang mungkin merokok, minum, atau menggunakan obat-obatan
untuk mengurangi stres tetapi dengan demikian meningkatkan risiko
penyakit. Misalnya, pria yang berisiko terkena penyakit jantung
koroner dapat memulai atau memperburuk proses penyakit jika mereka
meningkatkan kebiasaan merokoknya dalam menanggapi stres
(Horowitz et al., 1979). Sebaliknya, orang dapat menggunakan perilaku
untuk mengurangi stres yang tidak memperburuk penyakit (misalnya,
olahraga yang bijaksana); dalam kasus ini, mengatasi tidak harus
meningkatkan masalah somatik dan bahkan mungkin menguranginya.
Penelitian Belloc (1973) dan Belloc dan Breslow (1972), misalnya,
menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara sejumlah
kebiasaan kesehatan umum, misalnya makan dan berolahraga secara
teratur, mengontrol berat badan, cukup tidur, tidak merokok, dan
menggunakan moderasi dalam minum dan kesehatan jangka panjang.
Mereka menemukan bahwa harapan hidup rata-rata dan kesehatan
umum jauh lebih baik bagi orang yang melaporkan enam atau tujuh
praktik ini daripada orang yang melaporkan kurang dari empat.
Meskipun hubungan sebab-akibat tidak ditunjukkan dengan jelas, tetap
ada implikasi kuat yang mendukung rute yang dihipotesiskan ini.
Faktanya, mungkin saja rute ketiga yang dijelaskan di bawah ini
mungkin lebih bergantung pada praktik yang berhubungan dengan
kesehatan daripada pada reaksi stres neurokimia yang dijelaskan dalam
rute pertama, yang umumnya dianggap penting oleh mereka yang
53

berpendapat untuk pengoperasian stres. dan faktor psikososial lainnya


dalam hasil kesehatan.
Ketiga, bentuk koping yang berfokus pada emosi dapat
mengganggu kesehatan dengan menghambat perilaku adaptif terkait
kesehatan/penyakit. Poin ini dibahas dalam hal penolakan atau
penghindaran, yang dapat berhasil menurunkan tekanan emosional
tetapi secara bersamaan mencegah orang tersebut secara realistis
mengiklankan masalah yang responsif terhadap tindakan yang sesuai.
Pola ini dijelaskan dalam sebuah studi oleh Katz et al. (1970). Melalui
penggunaan proses seperti penyangkalan, para wanita dalam penelitian
ini mampu meminimalkan signifikansi dari benjolan payudara dan
dengan demikian mengurangi tekanan psikologis mereka, tetapi proses
ini menunda pencarian perhatian medis yang penting. Kekhawatiran
serupa telah diungkapkan oleh Kinsman, Dirks, Jones, dan Dahlem
(1980) tentang upaya pengurangan kecemasan pada asma. Mereka
mencatat bahwa ketika penderita asma memfokuskan kecemasan
mereka secara langsung pada pernapasan, koping adaptif difasilitasi,
sedangkan tidak adanya kecemasan dapat mengurangi mobilisasi yang
diperlukan untuk mengatasi gejala berbahaya. Pengamatan Farberow
(1980) tentang perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung pada
penderita diabetes, dan penelitian Gold stein (1980) pada pasien
hemodialisis, juga merupakan ilustrasi. Pasien mencoba untuk
menyangkal implikasi serius dari penyakit, yang menakutkan, dan
karena itu gagal untuk melakukan apa yang ditentukan. Agar dapat
bertahan hidup dan hidup dengan baik, pasien diabetes dan gagal ginjal,
antara lain, harus tetap aktif bertanggung jawab atas berbagai aktivitas
sulit yang dikelola sendiri seperti diet, olahraga, pengobatan, dan
pengobatan (Surwit, Feinglos, & Scovern. , 1983).
54

Gambar 1. 1

Gambar 2.1

Pada Gambar 7.1, kami telah mencoba untuk meringkas dan


membedakan fitur penting dari model umum dan spesifisitas. Dalam
memeriksa gambar ini, pembaca harus mengingat bahwa dalam model
umum penyakit dapat dihasilkan melalui efek ketidakseimbangan
fisiologis pada proses kekebalan atau konsekuensi metabolik dari
hormon stres dengan cara yang dikemukakan oleh Selye. Demikian
pula, dalam model spesifisitas, penyakit dapat dihasilkan melalui pola-
pola tertentu dari gangguan fisiologis yang terkait dengan pola respons
emosional yang berbeda dengan cara yang disiratkan oleh Depue et al.
(1970) dikutip sebelumnya, dan/atau oleh efek perilaku langsung dari
mengatasi rute (2) dan (3) dibahas di atas. Pada gambar rincian rute
tersebut diabaikan demi membuat poin bahwa koping dapat secara
langsung mempengaruhi kesehatan melalui cara selain
ketidakseimbangan fisiologis.
55

Masalah metodologis. Kami menyimpulkan diskusi kesehatan


somatik dengan beberapa komentar tentang pengukuran status
kesehatan, yang mengandung banyak kesulitan seperti yang melekat
dalam pengukuran dua hasil adaptasi sebelumnya, moral dan fungsi
sosial. Hanya jika kriterianya adalah kematian, sebagian besar masalah
pengukuran dapat dihindarkan, meskipun kriteria ekstrem ini memberi
kita sedikit informasi tentang proses penyakit itu sendiri. Tiga kesulitan
menonjol dalam pengukuran status kesehatan. Yang pertama
menyangkut penggunaan laporan diri tentang kesehatan dan fungsi,
atau riwayat penyakit, versus penggunaan bukti laboratorium dan
klinis; yang kedua menyangkut bagaimana memperkirakan keseriusan
penyakit dengan memperhatikan dua nilai yang seringkali independen,
yaitu, dampak pada fungsi dan risiko kematian; dan yang ketiga
menyangkut variabilitas dan stabilitas kesehatan.
Sebagian besar penelitian tentang status kesehatan didasarkan
pada apa yang dilaporkan seseorang sebagai riwayat penyakitnya,
gejala yang ada, dan fungsinya. Salah satu alasan penggunaan laporan
diri adalah mahalnya biaya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan
lengkap, yang seperti diketahui secara luas, bukanlah dasar yang dapat
diandalkan untuk memperkirakan kesehatan. Banyak proses fisiologis
berbahaya yang cepat atau lambat mengarah pada penyakit klinis aktual
yang terlewatkan dalam pemeriksaan tersebut. Juga, bahkan tes objektif
dalam pemeriksaan medis sangat bergantung pada laporan verbal dari
penyakit dan pola gejala yang baru atau lalu. Pada dasarnya, diagnosis
dokter tentang penyakit yang sebenarnya membutuhkan konvergensi
antara apa yang dikatakan orang tersebut tentang fungsi dan gejalanya
serta bukti klinis atau bukti laboratorium.
Perkiraan status kesehatan berdasarkan laporan lisan dan
pemanfaatan perawatan kesehatan biasanya memiliki pers yang buruk.
Hal ini didasarkan secara realistis pada kesadaran akan ketidakakuratan
yang dihasilkan dari distorsi dalam memori dan dari nilai-nilai pribadi
56

dan budaya yang berbeda dan sistem kepercayaan tentang gejala dan
perawatan medis. Seperti yang kita catat sebelumnya, beberapa orang
membesar-besarkan kesulitan fungsi, perasaan, dan gejala dan tidak
perlu khawatir tentang mereka, sedangkan yang lain memperlakukan
mereka dengan tenang dan meremehkan mereka, kadang-kadang
bahkan ketika mereka sakit.
Terlepas dari kekurangan ini, semua indeks status kesehatan yang
diakui (misalnya, Belloc & Breslow, 1972, yang merupakan salah satu
yang paling dihormati; Belloc, Breslow, & Hochstim, 1971; dan Ware,
Brook, & Davies-Avery, 1980) kebutuhan sangat bergantung pada
laporan diri verbal tentang fungsi, riwayat penyakit, gejala, evaluasi
subjektif, dan keadaan afektif. Dalam studi validasi indeks Belloc dan
Breslow, Meltzer dan Hochstim (1970) menemukan ukuran, yang
digunakan dalam studi survei praktik kesehatan dan status kesehatan
oleh Laboratorium Populasi Manusia Alameda County, cukup andal,
sesuai dengan catatan medis objektif. , dan prediksi status kesehatan
dan kematian hampir satu dekade kemudian (Wingard, 1980). Temuan
ini tidak menghilangkan kekhawatiran yang sah tentang pengukuran
status kesehatan, tapi sarankan itu dengan segala permasalahannya, kita
dapat mengasumsikan bahwa tindakan tersebut memiliki alasan yang
masuk akal tentang derajat validitas.
Isu kedua, keseriusan penyakit, kurang mendapat perhatian.
Beberapa penyakit, seperti hipertensi, relatif tidak menimbulkan efek
pada fungsi atau dampak subjektifnya, tetapi mereka sangat
meningkatkan risiko kematian. Penyakit lain, seperti kolitis mukosa,
dapat menyebabkan penderitaan dan sangat membatasi fungsi normal
namun tidak memiliki efek terukur pada kematian. Kedua nilai, yaitu,
seberapa nyaman atau efektif orang dapat berfungsi dalam kehidupan
sehari-hari dan berapa lama mereka akan hidup, biasanya tidak
dipisahkan atau diberi bobot terkait dengan konsekuensinya. Harus ada
57

minat yang lebih besar dalam menilai fungsi sebagai bagian dari
pengukuran status kesehatan (misalnya, Rosow & Breslau, 1966).
Isu ketiga menyangkut variabilitas dan stabilitas kesehatan.
Sejauh kesehatan seseorang stabil, kemungkinan studi tentang stres dan
faktor koping dalam kesehatan terbatas pada korelasi atau prediktor
perbedaan antarindividu dalam kesehatan. Di sisi lain, jika ada banyak
variabilitas dalam individu dari waktu ke waktu atau di seluruh kondisi
kehidupan, kita dapat memeriksa kovariasi antara stres dan faktor
koping, seperti naik turunnya stres dan pola koping, dan berbagai gejala
kesehatan yang buruk. . Pendekatan ini akan menjadi penting dalam
menentukan signifikansi kausal dari stres dan faktor koping dalam
variasi kesehatan intraindividual. Jika stabilitas kesehatan dalam
kerangka waktu tertentu sederhana, maka dimungkinkan untuk
menerapkan kedua strategi tersebut.
Studi oleh Belloc (1973) dan Belloc dan Breslow (1972) yang
dikutip di atas menunjukkan bahwa harus ada tingkat stabilitas yang
adil dalam status kesehatan selama periode yang cukup lama; jika tidak,
tidak akan ada hubungan yang kuat antara kebiasaan kesehatan, status
kesehatan, dan kematian. Selain itu, Bayer, Whissel-Buechy, dan
Honzik (1980) telah mempelajari stabilitas dan status kesehatan dan
korelasi kepribadian kesehatan selama beberapa dekade dalam sampel
yang diikuti dari masa kanak-kanak hingga usia paruh baya. Mereka
menemukan stabilitas sedang, dengan peringkat kesehatan di kemudian
hari dapat diprediksi secara sederhana dari peringkat masa kanak-
kanak, dan lebih dari tahun-tahun remaja. Sejumlah ukuran kepribadian
juga cukup memprediksi status kesehatan di kemudian hari. Ciri-ciri
yang meramalkan kesehatan berkaitan dengan pengendalian diri,
konformitas, dan perasaan baik tentang diri sendiri. Dengan demikian,
tebakan yang baik adalah bahwa orang-orang yang dikendalikan dan
menyesuaikan diri mungkin adalah jenis orang yang sama yang
ditemukan Belloc dan Breslow untuk mengikuti kebiasaan kesehatan
58

yang baik dan yang selain itu mungkin mengalami lebih sedikit tekanan.
Tidak mengherankan, faktor-faktor kepribadian terbukti menjadi
prediktor yang lebih baik untuk status kesehatan ketika yang terakhir
itu variabel daripada stabil.
Ketika kita mempertimbangkan konsekuensi dari stres dan proses
koping untuk hasil kesehatan jangka panjang, kita harus mengingat
masalah di atas: masalah yang melekat dalam metode penilaian status
kesehatan saat ini, implikasi yang berbeda dari fungsi yang relatif tidak
terganggu di satu sisi dan risiko kematian di sisi lain, dan masalah
variabilitas atau stabilitas kesehatan dalam individu. Isu-isu ini relevan
dengan pembangunan teori tentang bagaimana stres dan koping
mempengaruhi hasil kesehatan, dan juga dengan harga yang mungkin
harus dibayar orang untuk gaya hidup tertentu yang berhubungan
dengan atau mengalir dari stres dan proses koping. Signifikansi terbesar
masalah ini, bagaimanapun, adalah sehubungan dengan penelitian
empiris dan apakah dan bagaimana stres dan koping mempengaruhi
kesehatan.

2.5 Komentar Penutup


Lebih dari sekali dalam bab ini kita telah membicarakan hubungan
kompleks antara moral, fungsi sosial, dan kesehatan somatik. Asumsi yang
paling umum adalah bahwa hasil adaptasi ini entah bagaimana terjalin dan
membentuk sifat umum adaptasi yang baik atau buruk: jika Anda berfungsi
dengan baik, Anda memiliki moral dan kesehatan somatik yang baik. Namun,
penting untuk memungkinkan kemungkinan bahwa hubungan di antara hasil-
hasil ini mungkin lebih kompleks dan bahwa hasil yang baik di satu bidang
dapat dibeli dengan mengorbankan yang lain.
Misalnya, keasyikan saat ini dengan perilaku dan gaya hidup Tipe A yang
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (lihat Bab 5) mengadopsi sebagai
nilai utamanya bahwa peningkatan risiko ini secara medis atau epidemiologis
tidak dapat didukung, dan bahwa setiap upaya harus dilakukan untuk
59

menurunkannya. dengan meninggalkan atau memodifikasi gaya tersebut.


Memang, bagi kebanyakan orang, kesehatan somatik adalah nilai utama yang
menjadi sandaran nilai-nilai lain. Meskipun kita tidak berselisih dengan
keinginan untuk menurunkan risiko medis, terlalu sedikit perhatian yang
diberikan pada nilai-nilai sosial dan psikologis yang terkait dengan perilaku
Tipe A dan konflik antara somatik, sosial, dan psikologis.
nilai yang dapat dibuat dengan memodifikasinya. Seorang pria yang
bergerak cepat dan kompetitif dapat diajari untuk bergerak lebih lambat, tidak
terlalu memaksakan waktu, dan bertindak kurang kompetitif, tetapi apa
pengaruhnya terhadap moralnya jika dia menghargai kecepatan dan persaingan
sebagai sesuatu yang diinginkan secara pribadi dan sosial?
Kita juga telah melihat di Bab 5 bahwa ada biaya dan manfaat yang rumit
terkait dengan berbagai cara untuk mengatasi seperti proses penolakan atau
menjaga jarak. Kontrol tekanan afektif dapat dibeli dengan mengorbankan
penundaan yang mahal dalam mencari perhatian medis (misalnya, Hackett &
Cassem, 1975; Katz et al., 1970; Staudenmayer et al., 1979). Dalam kasus ini
dan banyak lainnya, satu nilai, kesehatan somatik, berpotensi dikompromikan
oleh nilai lain, menjaga moral dengan meminimalkan kesusahan.
Poin yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa ketika kita
mempertimbangkan konsekuensi dari koping, kita harus memperhitungkan
bukan satu hasil adaptasi, tetapi banyak hasil. Hasil adaptasi utama dari setiap
transaksi yang melibatkan penanganan seringkali bergantung pada pertukaran
biaya dan manfaat yang rumit, atau nilai yang berbeda tentang apa yang positif
dan negatif, penting dan tidak penting. Isu empiris yang berkembang dari posisi
ini menyangkut hubungan di antara berbagai hasil, pilihan yang dibuat orang,
dan kondisi sosial, budaya, dan psikologis yang memengaruhi pilihan tersebut.
Anehnya, hanya sedikit perhatian yang diarahkan pada pertanyaan ini oleh para
pekerja di bidang hasil adaptasi somatik, sosial, dan psikologis yang
berpotongan. Perilaku dan kedokteran psikosomatik dan psikologi kesehatan
akan tetap ada parokial dan terbatas sejauh mereka terus membatasi kepedulian
60

mereka terhadap kesehatan somatik tanpa memperhatikan fungsi sosial dan


moral.
Materi yang telah kita diskusikan dalam bab ini berisi, sejauh ini,
implikasi praktis terpenting dari teori stres dan koping kita karena materi
tersebut mencoba menghubungkan penilaian kognitif dan proses koping
dengan hasil kesehatan. Sungguh ironis bahwa meskipun isu sentral dalam
psikologi kesehatan dan kedokteran perilaku saat ini adalah hubungan antara
stres dan kesehatan, hanya sedikit perhatian yang diberikan pada bagaimana
proses penilaian dan koping yang memediasi stres dapat mempengaruhi
kesehatan dalam semua jangka pendek dan jangka panjangnya. manifestasi,
sosial maupun psikologis. Analisis kami menunjukkan bahwa ada sejumlah
cara penilaian dan penanganan, masing-masing dengan set anteseden dan
mediasi variabel psikologis dan perilakunya sendiri, dapat memengaruhi hasil
kesehatan. Kita harus melampaui yang sederhana konsep yang telah menjadi
pusat pemikiran selama beberapa waktu, yaitu, ketidakseimbangan fisiologis
dan pemulihannya, dan pandangan seseorang secara lebih luas dalam fisiologis,
sosial, dan ketentuan psikologis.

2.6 Ringkasan
Isu yang menjadi perhatian besar para peneliti di bidang ini adalah
bagaimana penilaian dan koping memengaruhi tiga kelas utama hasil
adaptasi—fungsi sosial, moral, dan kesehatan somatik. Namun, untuk
memahami hubungan antara penilaian, penanganan, dan hasil adaptasi jangka
panjang ini, pertama-tama kita harus memahami bagaimana proses ini
memengaruhi hasil jangka pendek dari pertemuan yang penuh tekanan.
Fungsi sosial dapat didefinisikan sebagai cara individu
memenuhimengisi berbagai perannya, sebagai kepuasan dengan hubungan
interpersonal, atau dalam hal keterampilan yang diperlukan untuk
mempertahankan peran dan hubungan. Fungsi sosial seseorang secara
keseluruhan sangat ditentukan oleh keefektifan yang dengannya dia menilai
dan mengatasi peristiwa kehidupan sehari-hari. Efektivitas penilaian dalam
61

pertemuan tertentu ditentukan sebagian oleh kecocokannya dengan aliran


peristiwa. Ambiguitas dan kerentanan, yang hadir di sebagian besar pertemuan,
dapat membuat pertandingan ini sulit untuk dicapai. Koping yang efektif dalam
suatu pertemuan juga tergantung pada kecocokan antara penilaian sekunder,
yaitu opsi koping dan tuntutan koping aktual, dan antara strategi koping yang
dipilih dan agenda pribadi lainnya. Dalam mengatasi efektif, berfokus pada
masalah dan emosi bentuk-bentuk koping akan bekerja dengan cara yang saling
melengkapi dan tidak menghalangi satu sama lain.
Fungsi sosial dalam jangka panjang merupakan perpanjangan dari
efektivitas koping dalam banyak pertemuan khusus selama perjalanan hidup.
Masalah ada dalam penilaian fungsi sosial, banyak di antaranya berkaitan
dengan penilaian nilai tentang apa yang merupakan fungsi sosial yang baik.
Isu-isu empiris penting yang telah sedikit diteliti termasuk stabilitas fungsi
sosial, efek dari tekanan kehidupan utama pada fungsi, dan pengaruh variabel
orang.
Hasil jangka panjang dari moral sejajar dengan hasil jangka pendek dari
emosi yang dihasilkan dalam pertemuan tertentu. Emosi dalam pertemuan
tertentu bervariasi saat pertemuan berlangsung dan, pada hasil pertemuan,
mencerminkan penilaian tentang seberapa baik tujuan tercapai dan seberapa
puas orang tersebut dengan kinerjanya. Semangat dalam jangka panjang
mungkin bergantung pada kecenderungan untuk menilai pertemuan sebagai
tantangan/ untuk mengatasi hasil negatif dengan menempatkannya dalam sudut
pandang yang positif, dan, secara keseluruhan, secara efektif mengelola
berbagai tuntutan. Penilaian moral cenderung berfokus pada emosi negatif dan
positif secara umum; para peneliti belum membahas bagian peran yang
dimainkan oleh emosi tertentu. Ada juga masalah metodologis lain mengenai
data laporan diri dan makna konotatif dari kata-kata yang digunakan untuk
menggambarkan moral.
Ketidakberdayaan yang dipelajari dan depresi yang ditimbulkannya
relevan dengan masalah moral. Model asli, yang didasarkan pada eksperimen
hewan, tidak dapat menjelaskan perbedaan individu yang diamati dalam emosi
62

manusia dalam menanggapi peristiwa yang tidak dapat dikendalikan.


Reformulasi telah memperkenalkan mediator kognitif, tetapi mereka masih
belum lengkap karena mereka tidak memperhitungkan arti ketidakberdayaan,
dan mereka kurang memperhatikan koping.
Secara luas diasumsikan bahwa stres, emosi, dan koping merupakan
faktor penyebab penyakit somatik. Kontroversi utama bukanlah apakah asumsi
ini benar, tetapi apakah ada kesamaan atau kekhususan dalam hubungan antara
stres, emosi, dan penyakit somatik. Teori generalitas, yang didorong oleh
Sindrom Adaptasi Umum Selye, berpendapat bahwa semua tuntutan kurang
lebih secara kualitatif setara dalam menghasilkan mobilisasi fisiologis dan
bahwa mobilisasi ini meningkatkan kerentanan umum terhadap semua
penyakit. Sebuah versi epidemiologi dari teori umum adalah konsep "resistensi
tuan rumah." Model umum tidak dapat dengan mudah menjelaskan perbedaan
individu dalam pola respons fisiologis, hasil penyakit, dan model spesifisitas,
beberapa di antaranya menggabungkan penilaian kognitif dan koping, semakin
menonjol. Proses penilaian menyediakan jalur umum yang melaluinya variabel
orang dan lingkungan memodifikasi respons psikologis, dan karenanya emosi
dan penyerta biologisnya.
Studi tentang koping menunjukkan bahwa gaya koping yang berbeda
terkait dengan hasil kesehatan tertentu; kontrol kemarahan, misalnya, telah
terlibat dalam hipertensi. Tiga rute melalui mana koping dapat mempengaruhi
kesehatan termasuk mempengaruhi frekuensi, intensitas, durasi, dan pola
reaksi stres neurokimia; menggunakan zat berbahaya atau melakukan aktivitas
yang membahayakan orang tersebut; dan menghambat perilaku adaptif terkait
kesehatan/penyakit.
Pengukuran status kesehatan sebagai hasil memiliki banyak masalah
yang sama dengan pengukuran fungsi sosial dan moral, termasuk masalah
laporan diri dan penilaian mengenai definisi kualitas kesehatan.
Secara keseluruhan, hubungan antara moral, fungsi sosial, dan kesehatan
somatik sangat kompleks. Penting untuk diketahui bahwa fungsi yang baik di
satu bidang mungkin berhubungan langsung dengan fungsi yang buruk di
63

bidang lain dan bahwa fungsi yang baik di satu bidang tidak selalu berarti
bahwa orang tersebut berfungsi dengan baik di semua bidang.
64

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Isu yang menjadi perhatian besar para peneliti di bidang ini adalah
bagaimana penilaian dan koping memengaruhi tiga kelas utama hasil
adaptasi—fungsi sosial, moral, dan kesehatan somatic. Fungsi sosial dapat
didefinisikan sebagai cara individu memenuhimengisi berbagai perannya,
sebagai kepuasan dengan hubungan interpersonal, atau dalam hal
keterampilan yang diperlukan untuk mempertahankan peran dan hubungan
Fungsi sosial dalam jangka panjang merupakan perpanjangan dari
efektivitas koping dalam banyak pertemuan khusus selama perjalanan hidup.
Masalah ada dalam penilaian fungsi sosial, banyak di antaranya berkaitan
dengan penilaian nilai tentang apa yang merupakan fungsi sosial yang baik.
Isu-isu empiris penting yang telah sedikit diteliti termasuk stabilitas fungsi
sosial, efek dari tekanan kehidupan utama pada fungsi, dan pengaruh variabel
orang.
Hasil jangka panjang dari moral sejajar dengan hasil jangka pendek dari
emosi yang dihasilkan dalam pertemuan tertentu. Emosi dalam pertemuan
tertentu bervariasi saat pertemuan berlangsung dan, pada hasil pertemuan,
mencerminkan penilaian tentang seberapa baik tujuan tercapai dan seberapa
puas orang tersebut dengan kinerjanya.
Secara luas diasumsikan bahwa stres, emosi, dan koping merupakan
faktor penyebab penyakit somatik. Kontroversi utama bukanlah apakah
asumsi ini benar, tetapi apakah ada kesamaan atau kekhususan dalam
hubungan antara stres, emosi, dan penyakit somatik.
65

3.2 Saran
Saran kami untuk para pembaca setelah membaca dan memahami
makalah ini yaitu:
Mampu untuk belajar menyesuaikan diri dalam setiap lingkungan baru
dengan tidak merasa tertekan dalam setiap keadaan dan hindari perilaku
selalu mengucilkan diri.
Mampu mengelola perasaan negatif, rasa emosi, dan permasalahan dengan
tidak berlebihan.
Mampu mengontrol rasa paranoid yang berujung stres bahkan depresi.
Mampu mengontrol stres yang dapat mengakibatkan kita dalam posisi panik
berlebihan sehingga mampu membuat kita terjerumus dalam kegagalan
Selalu belajar dari kegagalan dan tidak menganggap bahwa kegagalan
adalah cermin kekurangan dalam diri sendiri.

Mampu menilai setiap peristiwa yang terjadi sesuai dengan kenyataan dan
sesuai dengan alur yang terjadi. (Jangan melebih²kan setiap peristiwa yang
terjadi).

Hindari pembicaraan atau obrolan yang dapat menyakiti hati dan perasaan
seseorang, sehingga orang tersebut akan mempermasalahkan obrolan
tersebut dengan hati dan pikiran mereka sendiri yang berujung stres.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan dapat di jadikan sebagai sumber pembelajaran maupun sumber
pengetahuan bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Lazarus,Richard.S dan Susan Folkman. 1984. Stress,Appraisal,and Coping. New York:


Springer Publishing Company, Inc.

66

Anda mungkin juga menyukai