Anda di halaman 1dari 30

Mata kuliah: Dosen Pengampu:

Kesehatan Jiwa Ikwanisifa, M.Psi., Psikolog

“STRESS DAN PERILAKU PEMECAHAN MASALAH”

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1:
1. ANISA (11960123482)
2. AULIA SAKINAH (11960124666)
3. KUSNUL KHOTIMAH (11960120907)
4. MAYA DEWIVA (11960124822)
5. UMI KALSUM S (11960120900)
KELAS 5-D

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karuniannya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami mengucapkan terimakasih
kepada ibu Ikwanisifa, M.Psi., Psikolog selaku Dosen pengampu dalam tugas ini karena telah
membantu dan memberi pengertian dalam melaksankan tugas ini dan kepada teman–teman
yang telah memberikan dukungan dan semangat.
Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah Kesehatan Mental dengan
tema yang berkaitan dengan “STRESS DAN PERILAKU PEMECAHAN MASALAH”
dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari sumber-sumber bacaan dari
beberapa buku sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Dan harapan kami
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Akhirul Kalam, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu
kami mohon maaf apabila ada salah penulisan kata sehingga dibutuhkan kritik dan saran yang
membangun agar kamidapat memperbaiki kesalahan tersebut.

Wasalamu’alaikum Wr.Wb

Pekanbaru, 21 September 2021

Kelompok 1

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 1


DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 4
1.3 Tujuan Masalah ................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 5
2.1 Stres .................................................................................................................... 5
A. Pengertian stres .............................................................................................. 5
B. Sumber stres ................................................................................................. 6
C. Tahap-tahap stres ........................................................................................... 7
D. Jenis-jenis stress ............................................................................................. 9
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres ........................................................ 10
F. Indikasi gejala stres........................................................................................ 11
G. Dampak stres pada individu .......................................................................... 15
2.2 Perilaku Pemecahan Masalah .............................................................................. 16
A. Penyesuaian Yang Bersifat Mengurangi Simtom Stres..............................................17
B. Pendekatan Problem Solving Terhadap Stres ................................................ 18
C. Strategi Perilaku Menghadapi Stres ............................................................. 19
2.3 Video Pembelajaran Terkait Stres ....................................................................... 27
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 28
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stress dan ketidakpuasan merupakan aspek yang tidak dapat dihindari oleh individu. Siapapun
bisa terkena stress baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Stress merupakan salah satu respon
psikologi manusia saat dihadapkan pada suatu tekanan atau tuntutan baik dalam diri sendiri
maupun dari luar, yang dianggap sulit untuk di hadapi. Stress secara alami terjadi kepada setiap
individu dan menjadi bagian tidak terhindarkan dalam kehidupan. Stress menjadi bentuk respon
pertahanan seseorang dalam beradaptasi yang membuatnya berfikir dan berusaha keras dalam
menyelesaikan suatu masalah (Potter & Perry, 2005 dalam Bingku dkk, 2014).
Stress muncul dari berbagai sumber, sumber itu antara lain adalah peristiwa hidup, kesibukan
sehari-hari, dan factor social budaya. Para psikolog telah meneliti bahwa dampak serangkaian
peristiwa hidup serta kemungkinan pengaruhnya terhadap kesehatan mental dan fisik (Wilburn &
Smith, 2005). Menurut Nakin (2003), pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan
penggunaan langkah-langkah tertentu (heurestik), yang sering disebut sebagai model atau
langkah-langkah pemecahan masalah, untuk menemukan solusi suatu masalah.
Pemecahan masalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mengurangi rasa
stress yang di derita. Model pemecahan masalah dapat berlangsung bila seseorang dihadapkan
oleh suatu persolalan yang didalamnya terdapat sejumlah kemungkinan jawaban. Upaya
menemukan kemungkinan jawaban itu merupakan suatu proses pemecahan masalah. Proses iti
sendiri dapat belangsung melalui diskusi, atau suatu penemuan melalui pengumpulan data, baik
diperoleh dari percobaan atau data dari lapangan.
Pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia. Kenyataan menunjukkan
bahwa sebagian besar kehidupun munusia berhadapan dengan masalah- masalah. Oleh sebab itu
kita perlu mencari penyelesaian nya. Jika gagal dengan satu cara dalam menyelesaikan masalah
maka harus mencoba dengan cara lain untuk menyelesaikan masalah tersebut dan harus berani
menghadapi masalah untuk menyelesaikan masalahnya.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan stress?
2. Apa saja sumber stress?
3. Apa tahap-tahap stress?
4. Apa jenis-jenis stress?
5. Apa faktor yang mempengaruhi stress?
6. Apa indikasi gejala stress?
7. Apa dampak stress pada individu?
8. Apa perilaku pemecahan masalah?
9. Apa penyesuaian yang bersifat mengurangi simtom stress?
10. Apa pendekatan problem solving terhadap stress?
11. Apa strategi menghadapi stress?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian stress
2. Untuk mengetahui sumber stress
3. Untuk mengetahui tahap-tahap stress
4. Untuk mengetahui jenis-jenis stress
5. Untuk mengetahui factor-faktor penyebab stress
6. Untuk mengetahui penyesuaian yang bersifat mengurangi simtom stress
7. Untuk mngetahui dampak stress pada individu
8. Untuk mengetaui perilaku pemecahan masalah
9. Untuk mengetahui penyesuaian yang bersifat mengurangi simtom stress
10. Untuk mengetahui pendekatan problem solving terhadap stress
11. Untuk mengetahui strategi menghadapi stress

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 STRES

A. Pengertian Stres

Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan
kedokteran. Menurut Hans Selye (dalam, Hahn & Payne, 2003) menjelaskan stres adalah respon
yang tak spesifik dari tubuh terhadap berbagai tuntutan yang ada, dimana respon tersebut dapat
berupa respon fisik atau emosional.

“Stres” bisa diartikan berbeda bagi tiap-tiap individu. Sebagian individu mendefinisikan stres
sebagai tekanan, desakan atau respon emosional. Para psikolog juga mendefinisikan stres dalam
berbagai bentuk. Stres bisa mengagumkan, tetapi bisa juga fatal. Semuanya tergantung kepada
para penderita. Lazarus dan Folkman, 1984 menyatakan, stres psikologis adalah sebuah hubungan
antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai hal yang membebani
atau sangat melampaui kemampuan seseorang dan membahayakan kesejahteraannya.

Menurut Robert S. Fieldman stress adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai
sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa
itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stress
dapat saja positif (misalnya: merencanakan perkawinan) atau negatif (contoh: kematian keluarga).
Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung
pada respon yang diberikan oleh individu.

Stres adalah reaksi atau respons psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Stres
dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas
berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subyektif terhadap stress
(WHO, 158).

Suatu stimulus yang sama akan direspons secara berlainan oleh individu yang berbeda.
Artinya, tidak semua stimulus akan direspons menjadi stress oleh semua individu. Hal itu
dikarenakan adanya perbedaan setiap individu dalam mensikapi setiap situasi, kemampuan

5
meredam stimulus, dan pengalaman hidupnya. Selain itu, tingkat kepekaan (sensitivitas) dan daya
toleransi individu terhadap stimulus yang dapat menimbulkan stress juga ikut berpengaruh. Pada
dasarnya setiap individu memiliki ambang rangsang terhadap stress yang berbeda-beda dalam
setiap situasi. Suatu stimulus pada saat tertentu akan menimbulkan stress, tetapi pada situasi yang
berbeda tidak menimbulkan stres.

Stres adalah reaksi seseorang baik secara fisik maupun secara psikis apabila ada perubahan
dari lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri. Contoh, saat remaja
menghadapi ujian, saat seorang ibu mehadapi anaknya yang sakit, saat ayah memiliki beban
pekerjaan yang berat, dan sebagainya. Reaksi positif dari stres bisa memotivasi orang untuk
berusaha. Sedangkan stres yang terlalu berat atau berlangsung lama menimbulkan reaksi negatif
dan keluhan pada seseorang (dalam yuliani, reni. 2020)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa stres sebagai reaksi seseorang secara fisik maupun secara
psikis dalam rangka menilai suatu peristiwa sebagai suatu yang menuntut, mengancam,
menantang, ataupun membahayakan. Peristiwa yang memunculkan stress tersebut dapat bersifat
positif atau negative dan semuanya tergantung kepada para penderita.

B. Sumber Stress (Stressor)

Menurut sunaryo dalam Hidayah stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan
menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologis nonspesifik yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Berikut yang termasuk kedalam sumber stress
(stressor) (Erliana, F. 2013).

1. Stressor biologik dapat berupa; mikroba; bakteri; virus dan jasad renik lainnya, hewan,
binatang, bermacam tumbuhan dan mahluk hidup lainnya yang dapat mempengaruhi
kesehatan misalnya; tumbuhnya jerawat (acne), demam, digigit binatang dll, yang
dipersepsikan dapat mengancam konsep diri individu.
2. Stressor fisik dapat berupa; perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografi; yang meliputi
letak tempat tinggal, domisili, demografi; berupa jumlah anggota dalam keluarga, nutrisi,
radiasi kepadatan penduduk, imigrasi, kebisingan dll.

6
3. Stressor kimia; dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan glukosa sedangkan dari
luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian alkohol, nikotin, cafein, polusi udara,
gas beracun, insektisoda, pencemaran lingkungan, bahan-bahan kosmetika, bahan-bahan
pengawet, pewarna dan lain-lain.
4. Stressor sosial psikologi, yaitu labeling (penamaan) dan prasangka, ketidakpuasan
terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya, perkosaan) konflik peran, percaya diri yang
rendah, perubahan ekonomi, emosi yang negatif, dan kehamilan.
5. Stressor spiritual; yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai ketuhanan.

C. Tahap-Tahap Stress

Menurut Dr. Robert J. Van Amberg sebagaimana dikemukakan oleh Prof Dadang Hawari
dalam Sunaryo membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut (dalam Erliana, F. 2013):

1. Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan
perasaan-perasaan sebagai berikut:
a. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting)
b. Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya
c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari
cadangan energi semakin menipis.
2. Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak/respon terhadap stresor yang semula menyenangkan
sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang dan timbul keluhan-
keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari,
karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan
tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang
mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang
berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut:
a. Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar
b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang
c. Lekas merasa lelah menjelang sore hari
7
d. Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort)
e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar)
f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
g. Tidak bisa santai.
3. Stres tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan
keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang
semakin nyata dan mengganggu, yaitu:
a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan maag, buang air
besar tidak teratur (diare)
b. Ketegangan otot-otot semakin terasa
c. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat
d. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early
insomnia) atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia)
atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia)
e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa akan jatuh dan serasa mau pingsan). Pada
tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh
terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh
kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami
defisit.
4. Stres tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul:
a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit
b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi
membosankan dan terasa lebih sulit
c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)
d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari
e. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan. Seringkali
menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan
f. Daya konsentrasi daya ingat menurun
8
g. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa
penyebabnya.
5. Stres tahap 5
bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V, yang ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan psychological
exhaustion)
b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan
sederhana
c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder)
d. Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung
dan panik.
6. Stres tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic
attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini
berulang dibawa ke unit gawat darurat bahkan ICCU, meskipun pada akhirnya
dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap
VI ini adalah sebagai berikut:
a. Debaran jantung teramat keras
b. Susah bernapas (sesak napas)
c. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran
d. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
e. Pingsan atau kolaps (collapse). Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana
digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan
oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stresor psikososial
yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.

D. Jenis-Jenis Stres

Stres psikologis (psychological stress), merupakan istilah dalam membahas stres yang
dihubungkan dengan bagaimana kita menerima & beradaptasi dengan dorongan & peristiwa yang

9
sifatnya membuat individu merasakan stres. Pembedaan jenis stres berdasar efeknya (Berne, Selye,
1991 dalam Dewi, Kartika Sari, 2012):

1. Distress (stres negatif)


Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak
menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa
cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis
yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Seperti: tuntutan
yang tidak menyenangkan atau berlebihan yang menguras energi individu sehingga
membuatnya menjadi lebih mudah jatuh sakit.
2. Eustress (stres positif)
Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman
yang memuaskan. Hanson mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-
hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress juga dapat meningkatkan
motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.
Contohnya seperti: tantangan yang muncul dari tanggung jawab yang meningkat, tekanan
waktu, dan tugas berkualitas tinggi.
3. Hyperstress
Yaitu stres yang berdampak luar biasa bagi yang mengalaminya. Meskipun dapat bersifat
positif atau negatif tetapi stres ini tetap saja membuat kita terbatasi kemampuan
adaptasinya. Contohnya adalah stres akibat serangan teroris.
4. Hypostress
Merupakan stres yang muncul karena kurangnya stimulasi. Contohnya, stres karena bosan
atau karena pekerjaan yang rutin.

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stress

Sesuatu yang merupakan akibat pasti memiliki penyebab atau yang disebut stressor, begitupula
dengan stress, seseorang bisa terkena stress karena menemui banyak masalah dalam kehidupannya.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, stress dipicu oleh stressor. Tentunya stressor tersebut
berasal dari berbagai sumber, yaitu (Musradinur, 2016):

10
1. Lingkungan yang termasuk dalam stressor lingkungan di sini yaitu:
a. Sikap lingkungan, seperti yang kita ketahui bahwa lingkungan itu memiliki nilai negatif
dan positif terhadap prilaku masing-masing individu sesuai pemahaman kelompok
dalam masyarakat tersebut. Tuntutan inilah yang dapat membuat individu tersebut
harus selalu berlaku positif sesuai dengan pandangan masyarakat di lingkungan
tersebut.
b. Tuntutan dan sikap keluarga, contohnya seperti tuntutan yang sesuai dengan keinginan
orang tua untuk memilih jurusan saat akan kuliah, perjodohan dan lain-lain yang
bertolak belakang dengan keinginannya dan menimbulkan tekanan pada individu
tersebut.
c. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), tuntutan untuk selalu update
terhadap perkembangan zaman membuat sebagian individu berlomba untuk menjadi
yang pertama tahu tentang hal-hal yang baru, tuntutan tersebut juga terjadi karena rasa
malu yang tinggi jika disebut gaptek.
2. Diri sendiri
a. Kebutuhan psikologis yaitu tuntutan terhadap keinginan yang ingin dicapai
b. Proses internalisasi diri adalah tuntutan individu untuk terus-menerus menyerap
sesuatu yang diinginkan sesuai dengan perkembangan.
3. Pikiran
a. Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan dan pengaruhnya pada diri
dan persepsinya terhadap lingkungan.
b. Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara penyesuaian yang biasa dilakukan
oleh individu yang bersangkutan.

F. Indikasi Gejala Stres

Individu yang mengalami stress akan berperilaku lain dibandingkan dengan tujuannya yang
tidak mengalami stress. Oleh karena itu, kondisi individu yang mengalami stress gejala-gejalanya
dapat dilihat baik secara fisik maupun secara psikologis.

1. Gejala secara fisik individu yang mengalami stress, antara lain ditandai oleh sebagai
berikut (Waitz, Stromme, Railo, 1983 Dalam Sukadiyanto, 2010):
11
a. Gangguan jantung
Gangguan jantung, bagi individu yang mengalami stress ada indikasi detak jantungnya
lebih cepat (berdebardebar) daripada saat tidak mengalami stress. Ada juga individu
yang merasakan dada sebelah kiri terasa nyeri (di daerah sekitar puting susu),
meskipun hal tersebut tidak berlangsung terlalu lama, tetapi sesekali muncul lagi. Jika
rasa berdebar atau nyerinya hilang tidak berarti bahwa stress yang dialami individu itu
telah hilang. Untuk itu, diperlukan pencegahan agar stress tidak berlangsung lama,
sebab semakin lama stress bersarang dalam diri individu dapat menjadi salah satu
penyebab serangan jantung.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi (hipertensi) dapat diakibatkan oleh stress yang diderita individu,
sebab reaksi yang muncul terhadap impuls stress adalah tekanan darahnya meningkat.
Selain itu, umumnya individu yang mengalami stress sulit tidur, sehingga akan
berdampak pada tekanan darahnya yang cenderung tinggi. Bukan rahasia lagi bagi
individu yang memiliki hipertensi berpotensi untuk terserang stroke. Untuk itu,
disarankan setiap individu harap rajin mengecek tekanan darahnya baik sistolik
maupun diastoliknya, terutama bagi yang sudah berumur 40 tahun ke atas. Sistolik
adalah indikasi tekanan darah yang dipompakan ke luar dari jantung, sedangkan
diastolik adalah indikasi tekanan darah saat kembali ke bilik jantung.
c. Ketegangan pada otot
Ketegangan pada otot dapat juga diakibatkan oleh stress yang diderita individu. Pada
umumnya, ketegangan terjadi pada kelompok otot di daerah tengkuk, leher, bahu, dan
rahang. Ketegangan otot di sekitar tengkuk akan mengganggu suplai darah ke otak,
akibatnya kepala terasa nyeri karena kekurangan suplai darah. Jika kondisi seperti itu
berlangsung lama maka akan membahayakankesehatan individu. Untuk itu, diperlukan
relaksasi pada kelompok otot yang relatif mudah tegang akibat stress tersebut.
d. Sakit kepala
Sakit kepala dapat diakibatkan oleh stressyang diderita individu, hal itu berkaitan
dengan penjelasan di atas. Dampak dari ketegangan kelompok otot leher dan daerah di
sekitar kepala tersebut, jika berlangsung lama akan membahayakan kesehatan karena
suplai darah ke otak menjadi terganggu. Untuk itu, jika ada indikasi sakit kepala yang
12
diakibatkan karena terlalu banyak pikiran, maka selain segera periksakan ke dokter,
dapat juga dilakukan masase untuk merelaksasikan kelompok otot yang tegang
tersebut. Dengan masase akan membantu memperlancar peredaran darah ke seluruh
tubuh, sehingga setiap organ tubuh tercukupi kebutuhan darahnya.
e. Telapak tangan dan atau kaki terasa dingin
Telapak tangan dan kaki terasa dingin, juga dapat diakibatkan karena suplai darah ke
sel-sel otot lengan dan tungkai berkurang. Oleh karena suplai aliran darah ke otot-otot
tangan dan kaki berkurang maka mengakibatkan tangan dan kaki terasa dingin.
Indikasi lain individu yang mengalami stress ditandai dengan keluar keringat dingin
pada telapak tangan.
f. Pernapasan tersengal-sengal,
Pernapasan tersengal-sengal, dapat diakibatkan dari reaksi stress yang melanda
individu. Di atas telah dikemukakan bahwa stress mengakibatkan detak jantung
berdebar-debar, sehingga pernapasan menjadi tersengal-sengal. Pernapasan yang
normal adalah berirama dalam dan panjang saat menghela napas. Untuk itu, individu
yang mengalami stress harus mampu merasakan pernapasan baik pada saat menarik
maupun mengeluarkan udara. Oleh karena itu, latihan pernapasan merupakan salah
satu metode yang baik untuk terapi bagi individu yang mengalami stress.
g. Kepala terasa pusing,
Kepala terasa pusing dan perut terasa mual-mual, dapat diakibatkan oleh stress dan
ketegangan fisik yang lama. Keterkaitannya dengan stress seperti telah dijelaskan di
atas, di mana gangguan peredaran darah akan berpengaruh terhadap berbagai kondisi
fisiologis dan kondisi psikologis individu.
h. Mempengaruhi fungsi dan kerja usus lambung
Stress akan mempengaruhi fungsi dan kerja usus serta lambung. Kondisi tersebut akan
berdampak pada sistem pencernaan dan buang air besar menjadi terasa sakit
(sembelit). Contohnya individu yang suka marah-marah akan berdampak pada
kontraksi lambung yang akhirnyadapat mengakibatkan iritasi lambung. Untuk itu,
disarankan individu, terutama para guru atau dosen, jangan mudah marah agar tidak
mudah terlanda oleh stress dalam hidup ini, meskipun stress tidak dapat dihindari
sepenuhnya.
13
i. Susah tidur,
Susah tidur dan stress merupakan hubungan yang bersifat timbal balik. Artinya, susah
tidur dapat diakibatkan karena stress dan stress dapat mengkibatkan susah tidur.
Padahal tidur yang berkualitas merupakan proses yang penting guna mengistirahatkan
(merecovery) kondisi fisik maupun psikis. Selain itu, pada saat individu tidur
merupakan proses pembangunan selsel yang rusak akibat akitifitas fisik. Untuk itu,
seyogyanya setiap individu dalam sehari semalam (24 jam) waktu tidurnya harus
teratur dan minimal berlangsung selama 7 – 8 jam.
j. Bagi wanita akan mengalami gangguan menstruasi
Gangguan menstruasi bagi wanita dapat juga ditimbulkan oleh faktor stress, yaitu
menstruasi menjadi tidak teratur,masasuburmenjadipendek bahkan menjadi tidak
subur lagi. Meskipun belum ada data penelitian yang valid, ada kecenderungan wanita
yang sering mengalami stress akan sulit untuk mendapatkan keturunan. Adapun
keluhan para wanita yang mengalami stress pada saat menstruasi adalah timbul rasa
nyeri, sakit perut, mual-mual, dan pusing.
k. Gangguan seksual (impotensi)
Individu yang mengalami stress ada kecenderungan menurun libidonya. Ji- ka
tingkatstressindividu lebih berat cenderung akan mengalami impoten. Apalagi
penyebab munculnya stress karena faktor perselingkuhan, maka pasangan suami istri
tersebut hampir pasti tidak memiliki libido lagi di antara keduanya.
2. Gejala secara psikologis individu yang mengalami stress, antara lain ditandai oleh sebgai
berikut (Waitz, Stromme, Railo, 1983 Dalam Sukadiyanto, 2010):
a. Perasaan selalu gugup dan cemas,
Perasaan selalu gugup dan cemas, merupakan indikasi individu yang mengalami stress
saat menghadapi permasalahan. Jika individu selalu gugup setiap menghadapi masalah
antara lain seperti saat akan ujian mid semester, ujian, menghadap pimpinan, di mana
kondisi tersebut merupakan indikasi dari perasaan stress.
b. Peka dan mudah tersinggung
Individu yang mengalami stress perasaannya menjadi peka dan mudah tersinggung
(sensitif). Setiap hal yang adadisekitarnyadirasakan selalu mengawasi individu yang
mengalami stress. Pada hal kondisi lingkungan semua berjalan biasa dan tidak ada
14
syak wasangka terhadap individu yang sedang stress tersebut. Kondisi seperti itu dapat
menyebabkan individu yang mengalami stress selalu gelisah perasaannya, di mana
gejala secara fisik diwujudkan dengan berjalan mondar-mandir tanpa tujuan yang
jelas.
c. Gelisah dan kelelahan yang hebat
Penampilan yang tampak seperti orang yang gelisah dan kelelahan sekali merupakan
indikasi stress. Meskipun tidak sehabis bekerja keras individu yang stress tampak
seperti orang yang amat sangat kelelahan, sehingga enggan untuk melakukan berbagai
kegiatan fisik. Selain itu, individu yang stress perilakunya menjadi lamban,
kemampuan kerja dan penampilan juga menurun.
d. Perasaan takut,
Individu yang mengalami stress merasakan ketakutan yang tidak beralasan. Seringkali
perasaan takut itu dapat terbawa dalam mimpi-mimpi yang menyeramkan saat tidur
sehingga saat bangun tidur mestinya individu merasa segar, tetapi karena mimpi-
mimpi tersebut mengakibatkan saat bangun tidur menjadi terasa lelah.
e. Pemusatan diri yang berlebihan dan mengasingkan diri dari kelompok
Individu yang mengalami stress cenderung banyak merenung atau memusatkan diri
yang berlebihan dan mengasingkan dirinya dari kelompok. Kondisi seperti ini akan
diikuti oleh individu dengan perilaku mengasingkan diri dari kelompok atau
lingkungannya. Oleh karena itu, jika tidak cepat diambil tindakan untuk terapi,
individu tersebut cenderung akan cepat naik kelas dari stress menjadi depresi. Individu
yang mengalami stress akan kehilangan spontanitas dan keceriaan. Individu yang
mengalami stress tampilan wajahnya selalu kusam, cemberut, dan tatapan matanya
kosong, sehingga tidak dapat gembira menghadapi situasi lingkungan. Ada
kecenderungan muncul perasaan takut, bersalah, dan merasa tidak bermanfaat bagi
siapapun

G. Dampak Stres Pada Individu

Pada umumnya, individu yang mengalami ketegangan akan mengalami kesulitan dalam
memanajemen kehidupannya, sebab stress akan memunculkan kecemasan (anxiety) dan sistem

15
syaraf menjadi kurang terkendali. Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga
mendorong sekresi hormon adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormonhormon
lainnya. Individu yang berada dalam kondisi stress, kondisi fisiologisnya akan mendorong
pelepasan gula dari hati dan pemecahan lemak tubuh, dan bertambahnya kandungan lemak dalam
darah (Waitz, Stromme, Railo, 1983:2).

Kondisi tersebut akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak
dialihkan dari sistem pencernaan ke dalam otot-otot, sehingga produksi asam lambung meningkat
dan perut terasa kembung serta mual. Oleh karena itu, stress yang berkepanjangan akan berdampak
pada depresi yang selanjutnya juga berdampak pada fungsi fisiologis manusia, di antaranya gagal
ginjal dan stroke.

Pada dasarnya, penyakit disfungsi secara fisiologis itu diakibatkan oleh terganggunya kondisi
psikologis seseorang. Sebagai contoh, perilaku agresif dan defensif individu dapat disebabkan oleh
akumulasi stress yang tidak mampu dikenali dan dieliminir oleh individu.

Selain itu, kondisi sosial ekonomi individu yang serba kekurangan dan lingkungan hidup
(seperti di desa dan di kota besar) juga berpotensi melahirkan stress. Hal itulah salah satu faktor
yang memunculkan berbagai kejahatan di kota-kota besar. Sebagai dampak dari kondisi
masyarakat atau individu yang stress mudah memunculkan bentuk perilaku agresif karena berbagai
faktor kesenjangan kondisi dan status masyarakat yang mencolok. Pada sisi lain, perilaku generasi
muda di kotakota besar yang mengarungi hidup dengan mengkonsumsi miras dan narkoba
merupakan bentuk defensif dari kondisi stress yang menimpa dirinya. Secara garis besar dampak
stress dapat menimpa pada kondisi fisik dan kondisi psikologis individu. Seperti telah dijelaskan
pada indikasi gejala stress di atas. Berikut ini dampak stress terhadap fisik individu (Sukadiyanto,
2010).

16
2.2 PERILAKU PEMECAHAN MASALAH

Memahami orang lain dengan berbagai macam perbedaan sangat sulit untuk dilakukan
sehingga terkadang menimbulkan stres. Stres merupakan kondisi yang menunjukkan adanya
tekanan fisik dan psikis akibat tuntutan dalam diri dan lingkungan. Masing-masing individu
memiliki berbagai macam perilaku pemecahan masalah dalam hal mengatasi stres yang berbeda-
beda. Ada yang menghindari sumber stres untuk mengatasi rasa tertekan, ada pula yang mencari
cara untuk menyelesaikan masalah (problem-solving) yang menyebabkan stress, dan ada pula
dengan menggunakan coping religious untuk menghadapi stresnya. Strategi perilaku pemecahan
masalah yang digunakan oleh individu dalam mengatasi stres inilah yang disebut coping stres yaitu
suatu proses pemulihan kembali dari pengaruh pengalaman stres atau reaksi fisik dan psikis yang
berupa perasaan tidak enak, tidak nyaman atau tertekan yang sedang dihadapi individu yang
meliputi strategi kognitif dan perilaku yang digunakan untuk mengelola situasi penuh stres dan
emosi negatif yang tidak menguntungkan (Andriyani, Juli. 2019).

A. Penyesuaian Yang Bersifat Mengurangi Simtom Stres


1. Yang bersifat tak disadari: seringkali dilakukan adalah defense mechanisms (mekanisme
pertahanan diri atau ego).
 MEKANISME PERTAHANAN DIRI. Merupakan reaksi awal dalam kehidupan
manusia untuk menjaga diri mereka dari kelebihan dosis intensif dari adanya stres
17
psikologis. Mekanisme pertahanan diri digunakan oleh self (=ego, dalam
Psikoanalisa) untuk melindungi dari segala ancaman. Sifatnya kebanyakan tak
disadari, otomatis muncul saat individu menghadapi ancaman baik dengan kesadaran
minimum atau tidak sama sekali. Tujuannya meredakan ketegangan akibat stres.
Biasanya muncul karena terpicu adanya: kecemasan, konflik, atau frustrasi.
Kemunculannya berbeda antar individu (ada yang saat benar-benar terdesak, ada
yang jadi bagian kesehariannya). Patologis bila ada self-deception (pengingkaran
atau pembohongan diri), disamping distorsi realita, kepercayaan berlebihan pada
nasib.
2. Yang bersifat disadari: membicarakannya dengan orang lain; melakukan pekerjaan lain
yang mengurangi simtom stres; tertawa.

B. Pendekatan Problem-Solving Terhadap Stres

Merupakan jenis penyesuaian terhadap stres yang bersifat disadari, berupaya menghilangkan
sumber stres, tidak tergesa-gesa dan lebih terarah serta ada strategi tertentu, sehingga lebih efektif.
Jenisnya (Dewi, Kartika Sari, 2012):

1. Memodifikasi diri agar lebih toleran terhadap stress


a. Toleransi terhadap tekanan. Membiasakan diri bekerja di bawah stres dengan
meningkatkan kemampuan dan keterampilan.
b. Toleransi terhadap frustrasi. Berusaha lebih independen terhadap lingkungan
mencoba memahami sumber frustrasi kita belajar untuk menunda pemuasaan atau
kesenangan.
c. Toleransi terhadap konflik. Menyadari adanya konflik mencari segi positif terbanyak
dan efek emosionalnya.
d. Toleransi terhadap kecemasan. Mencoba tetap merasakan kecemasan tanpa
mengurangi performa kita menggali lebih banyak pengalaman dan belajar
menghadapi situasi yang membuat kita cemas.
2. Memodifikasi situasi yang menimbulkan stress
Dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada tugas:

18
 Pendekatan Asertif. Merupakan pendekatan yang menekankan pada usaha-usaha
individu untuk mengekspresikan hak dan keinginan tanpa merebut hak orang lain.
 Pendekatan Menarik Diri. Dapat dilakukan apabila sumber stres tidak dapat
dihilangkan dengan asertif dan kompromi. Strategi sementara untuk mengatasi
stres yang dapat berakibat memperburuk kesehatan individu tersebut. Misal: cuti
kuliah untuk mengumpulkan biaya kuliah.
 Berkompromi. Biasa digunakan apabila agen sumber stres memiliki otoritas lebih
tinggi dari kita, atau sama-sama seimbang. Baik-buruknya sangat tergantung pada
sejauhmana kepuasan dapat diperoleh individu, dan sebesar apa usaha yang
dilakukan untuk mengurangi stres.

C. Strategi Perilaku Menghadapi Stres


a. COPING STRESS
a. Pengertian Coping Stress
Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan seseorang
untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh
stres (Yani, 1997). Menurut Sarafino (2002), coping adalah usaha untuk menetralisasi
atau mengurangi stres yang terjadi. Dalam pandangan Haber dan Runyon (1984), coping
adalah semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif atau positif) yang dapat mengurangi
kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stress (dalam Maryam, Siti,
2017).
Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang dialami
seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis
maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus terjadi, ia akan
melakukan suatu tindakan untuk mengatasinya. Tindakan yang diambil individu
dinamakan strategi coping. Strategi coping sering dipengaruhi oleh latar belakang
budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep
diri, faktor sosial dan lainlain sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam
menyelesaikan masalahnya.
Dari beberapa pengertian coping yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa coping merupakan: (1) respon perilaku dan fikiran terhadap stres; (2) penggunaan
19
sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan sekitarnya; (3) pelaksanaannya
dilakukan secara sadar oleh individu; dan (4) bertujuan untuk mengurangi atau mengatur
konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan di luar dirinya (internal or external
conflict), sehingga dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Perilaku coping dapat
juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi berbagai
tuntutan (internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan mengganggu
kelangsungan hidupnya.

b. Jenis-Jenis Strategi Coping Stress

Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan,
menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang dimiliki. Sumberdaya
coping yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi strategi coping yang akan dilakukan
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan (dalam Maryam, Siti, 2017).

Strategi Coping Menurut Lazarus dan Folkman (1984). Lazarus dan Folkman (1984)
juga secara umum membagi strategi coping menjadi dua macam yakni (dalam Maryam,
Siti, 2017):

1) Emotion focused coping


Strategi coping berfokus pada emosi adalah melakukan usaha-usaha yang bertujuan
untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara
langsung. Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan bila
individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat
menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi
situasi tersebut, contohnya masih dalam penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al.
(1998), yakni strategi coping yang digunakan rumahtangga dalam mengatasi masalah
pangan akibat banjir besar di Bangladesh berpusat pada emosi adalah mengharapkan
bantuan, simpati dan belas kasihan dari masyarakat dan pemerintah. Yang termasuk
strategi coping berfokus pada emosi adalah:
(a) Positive reappraisal (memberi penilaian positif) adalah bereaksi dengan
menciptakan makna positif yang bertujuan untuk mengembangkan diri
termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Contohnya, seseorang
20
yang melakukan positive reappraisal akan selalu berfikir positif dan mengambil
hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan
orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya.
(b) Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu bereaksi
dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang
dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
Contohnya, seseorang yang melakukan accepting responsibility akan
menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagai nama mestinya dan
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialaminya.
(c) Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan
regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya, seseorang yang
melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah akan selalu berfikir sebelum
berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan sesuatu tindakan secara
tergesa-gesa
(d) Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan.
Contohnya, seseorang yang melakukan coping ini dalam penyelesaian
masalah, terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang
sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolaholah tidak pernah
terjadi apa-apa.
(e) Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah
yang dihadapi. Contohnya, seseorang yang melakukan coping ini untuk
penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar dan
bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang negatif seperti tidur
terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan tidak mau bersosialisasi dengan
orang lain.
Carver, Scheier dan Weintraub menyebutkan aspek-aspek strategi coping dalam
emotion-focused coping antara lain (dalam Andriyani, Juli, 2019):
 Dukungan sosial emosional, yaitu mencari dukungan sosial melalui
dukungan moral, simpati atau pengertian.

21
 Interpretasi positif, artinya menafsirkan transaksi stres dalam hal positif harus
memimpin orang itu untuk melanjutkan secara aktif pada masalah-terfokus di
tindakan penanggulangan.
 Penerimaan, sesuatu yang penuh dengan stres dan keadaan yang memaksanya
untuk mengatasi masalah tersebut.
 Penolakan, respon yang kadang-kadang muncul dalam penilaian utama. Hal
penolakan ini sering dinyatakan bahwa penolakan berguna, meminimalkan
tekanan dan dengan demikian memfasilitasi coping atau bisa dikatakan
bahwa penolakan hanya menciptakan masalah tambahan kecuali stresor
menguntungkan dapat diabaikan.
 Religiusitas, sikap individu dalam menenangkan dan menyelesaikan masalah
secara keagamaan.

2) Problem focused coping


Strategi coping berfokus pada masalah adalah suatu tindakan yang diarahkan kepada
pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya
menilai masalah yang dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan.
Perilaku coping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika individu
merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap situasi tersebut atau
ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi, contoh penelitian
yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan
rumahtangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir besar di
Bangladesh adalah strategi coping berpusat pada masalah yaitu: melakukan pinjaman
dari bank, membeli makanan dengan kredit, mengubah perilaku makan dan menjual
aset yang masih dimiliki. Yang termasuk strategi coping berfokus pada masalah
adalah:
(a) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha
tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis
dalam menyelesaikan masalah. Contohnya, seseorang yang melakukan planful
problem solving akan bekerja dengan penuh konsentrasi dan perencanaan yang

22
cukup baik serta mau merubah gaya hidupnya agar masalah yang dihadapi secara
berlahan-lahan dapat terselesaikan.
(b) Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat
menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya, seseorang yang
melakukan confrontative coping akan menyelesaikan masalah dengan
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun
kadang kala mengalami resiko yang cukup besar.
(c) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak
luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.
Contohnya, seseorang yang melakukan seeking social support akan selalu
berusaha menyelesaikan masalah dengan cara mencari bantuan dari orang lain
di luar keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan profesional,
bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik.
Carver, Scheier dan Weintraub menyebutkan aspek-aspek strategi coping dalam
problem-focused coping antara lain (dalam Andriyani, Juli, 2019):
 Keaktifan diri, suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan atau
mengelabuhi penyebab stres atau memperbaiki akibatnya dengan cara
langsung.
 Perencanaan, memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres
antara lain dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang
langkah upaya yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.
 Penekanan kegiatan bersaing, individu dapat menekan keterlibatan dalam
kegiatan bersaing atau dapat menekan pengolahan saluran bersaing informasi,
dalam rangka untuk lebih berkonsentrasi penuh pada tantangan dan berusaha
menghindari untuk hal yang membuat terganggu oleh peristiwa lain, bahkan
membiarkan hal-hal lain terjadi, jika perlu, untuk menghadapi stresor.
 Kontrol diri, individu membatasi keterlibatannya dalam aktivitas kompetisi
atau persaingan dan tidak bertindak terburu-buru.
 Dukungan sosial instrumental, yaitu mencari dukungan sosial seperti nasihat,
bantuan atau informasi

23
c. Metode Coping Stress
Bell mengatakan ada dua metode coping yang digunakan individu dalam mengatasi
masalah psikologis yaitu (dalam Andriyani, Juli, 2019):
 Metode coping jangka panjang
Cara ini adalah konstruktif dan merupakan cara yang efektif dan realistis dalam
menangani problema psikologis untuk kurun waktu yang lama. Ada beberapa hal
kegiatan yang bisa dilakukan yaitu berbicara atau curhat dengan orang lain,
mencoba mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang
dihadapi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan
kekuatan supra natural, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan/
masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi yang
bermasalah atau mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
 Metode coping jangka pendek
Cara ini digunakan untuk mengurangi stres / ketegangan psikologis dan cukup
efektif untuk waktu sementara. Kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan
menggunakan alkohol atau obatobatan, melamun dan fantasi, mencoba melihat
aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin
bahwa semua akan kembali stabil, banyak tidur, banyak merokok, menangis atau
beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah Kedua metode ini
memberi pilihan bagi individu untuk mengatasi ketegangan dan menyesuaikan
diri dengan berbagai keadaan yang menimbulkan masalah baik yang berasal dari
lingkungan maupun dari internal diri sendiri. Setiap orang mempunyai
kemampuan yang digunakan untuk menjaga integritas baik fisik maupun
psikologis.

b. RELIGIOUS COPING
a. Pengertian Religious coping

Religious coping adalah salah satu metode coping dalam mengatasi permasalahan
individu yang sedang dialami dengan menggunakan pendekatan agama. Religious
coping merupakan upaya individu dalam menggunakan strategi kognitif atau perilaku

24
yang didasarkan pada keyakinan dan praktek aktivitas religiusnya dalam memfasilitasi
proses pemecahan masalah. Religious coping juga diharapkan dapat mencegah atau
meringankan dampak buruk dari situasi yang penuh stres dalam hal ini membantu
individu pada situasi yang menekan dalam kehidupannya (K. Pargamgent et al., 2011)
(dalam Mustakimah, siti, 2020).

Menurut K. I. Pargament, Koenig, dan Perez (2000) pengukuran religious coping


harus didasarkan secara teoritis pada pandangan fungsional agama dan perannya dalam
coping. Langkah-langkah religious coping harus menentukan bagaimana individu
memanfaatkan agama untuk memahami dan menangani sumber stress (dalam
Mustakimah, siti, 2020).

b. Strategi Religious Coping

Pargament (dalam Jannah, Erma Ro'idhotul 2016) dalam penelitiannya


mengidentifikasi tiga strategi koping religius, yaitu collaborative, self-directing, dan
deferring.

 Collaborative, yakni strategi koping yang melibatkan Tuhan dan individu dalam
kerjasama memecahkan masalah individu.
 Self-directing, artinya seorang individu percaya bahwa dirinya telah diberi
kemampuan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah.
 Deffering, artinya individu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dalam
memberikan isyarat untuk memecahkan masalahnya.

c. Pola Religious Coping

Pargament, Smith, Koenig, dan Perez (dalam Pargament, et al., 2001, Ano &
Vasconcelles, 2005) (dalam Utami, Muhana Sofiati 2012) menghipotesiskan dua pola
religious coping, yaitu:

(1) Religious coping positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu
keyakinan dimana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan
rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain. Bentuk religious coping positif ini

25
diasosiasikan dengan tingkat depresi yang rendah dan kualitas hidup yang lebih baik.
Religious coping positif sangat berhubungan dengan sikap optimis seseorang dalam
menghadapi masalah kehidupan.

(2) Religious coping negatif melibatkan ekspresi dari hubungan yang kurang aman dengan
Tuhan, pandangan yang lemah dan kesenangan terhadap dunia, serta tidak adanya
perjuangan religiusitas dalam pencarian makna. Religious coping negatif diasosiasikan
dengan distres, fungsi kognitif yang buruk, tingkat depresi yang tinggi dan kualitas hidup
yang buruk. Bentuk dari religious coping negatif meliputi penilaian negatif terhadap
agamanya dan juga munculnya sikap pasif pada individu ketika menghadapi suatu
masalah, yakni hanya menunggu solusi dari Tuhan tanpa aktif bertindak.

d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Religious Coping

Faktor-faktor yang mempengaruhi religious coping menurut Thouless (2000, hlm: 34)
meliputi (dalam Jannah, Erma Ro'idhotul 2016):

1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial)
Pendidikan sangat mempengaruhi penggunaan religious coping atau tidak dalam
hidup seseorang, terlebih pendidikan dari keluarga. Menurut Rasulullah saw fungsi
dan peran orangtua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak
mereka. Setiap bayi yang terlahir sudah memiliki potensi beragama, namun bentuk
keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan,
pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka (Jalaluddin, 1996, hlm: 204).
Apabila orang tua tidak memberikan contoh sikap atau didikan keagamaan pada anak
sehingga anak tidak memiliki pengalaman keagamaan maka ketika dewasa ia akan
cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. (Jalaluddin, 1996, hlm: 69). Lain
halnya jika orang tua telah memperkenalkan konsep keimanan kepada Tuhan dan
membiasakan anak pada ritual keagamaan sejak kecil, maka sikap keagamaannya
pun akan menjadi positif.

26
2) Pengalaman
Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama pengalaman-
pengalaman mengenai: 1. Keindahan, Keselarasan, dan kebaikan di dunia lain 2.
Konflik moral (faktor moral) 3. Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
Pengalaman seorang individu atau pengalaman orang lain juga turut mempengaruhi
penggunaan religious coping pada seorang individu. Misalnya pengalaman Prof.
Mohammad Sholeh yang rutin melaksanakan ibadah sholat tahajud dan mendapat
manfaat dari ke ke-istiqomah beribadahnya tersebut menjadi salah satu faktor
penggunaan koping religius (dalam hal ini adalah sholat tahajud) bagi dirinya sendiri
dan bagi orang lain.
3) Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual)
Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Sikap
keagamaan adalah keputusan untuk menerima atau menolak terhadap ajaran suatu
agama. Keagamaan adalah apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu
menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. Faktor ini menyangkut
proses pemikiran secara verbal terutama dalam pembentukan keyakinan‐keyakinan
agama.

2.3 VIDEO PEMBELAJARAN TERKAIT STRES


Dapat diakses melalui link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=buZTOOTw7ME&t=116s

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stress bisa diartikan berbeda bagi tiap-tiap individu. Sebagian individu mendefenisikan
stress sebagai tekanan, desakan atau respon emosional. Para psikolog juga mendefenisikan stress
dalam berbagai bentuk. Stress bisa mengagumkan, tetapi bisa juga fatal. Semuanya tergantung
kepada para penderita. Lazarus dan Folkam, 1984 menyatakan, stress psikologis adalah sebuah
hubungan antara lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai hal yang membebani
atau sangat melampaui kemampuan seseorang dan membahayakan kesejahteraannya.

Stress ini bisa dari berbagai sumber yaitu: stressor biologic, stressor fisik, Stressor sosial
psikologik, stressor spiritual dan yang terakhir stressor kimia. Dan stress itu sendiri terdiri dari
6 (enam) tahap dan terdapat berbagai jenis tress dari yang positif, negatif,

Stress ini juga di pengaruhi oleh lingkungan, diri sendiri dan pikiran. , individu yang
mengalami ketegangan akan mengalami kesulitan dalam memanajemen kehidupannya, sebab
stress akan memunculkan kecemasan (anxiety) dan sistem syaraf menjadi kurang terkendali.
Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon
adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormonhormon lainnya. Individu yang
berada dalam kondisi stress, kondisi fisiologisnya akan mendorong pelepasan gula dari hati dan
pemecahan lemak tubuh, dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah.

Masing-masing individu memiliki berbagai macam perilaku pemecahan masalah dalam hal
mengatasi stres yang berbeda-beda. Ada yang menghindari sumber stres untuk mengatasi rasa
tertekan, ada pula yang mencari cara untuk menyelesaikan masalah (problem-solving) yang
menyebabkan stress, dan adapula individu dalam mengatasi stress dengan menggunakan
religious coping. Strategi perilaku pemecahan masalah yang digunakan oleh individu dalam
mengatasi stres inilah yang disebut coping stres yaitu suatu proses pemulihan kembali dari
pengaruh pengalaman stres atau reaksi fisik dan psikis yang berupa perasaan tidak enak, tidak
nyaman atau tertekan yang sedang dihadapi individu yang meliputi strategi kognitif dan perilaku
yang digunakan untuk mengelola situasi penuh stres dan emosi negatif yang tidak
menguntungkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Juli. 2019. Strategi Coping Stres Dalam Mengatasi Problema Psikologis. Jurnal At-
Taujih Bimbingan Dan Konseling Islam, Vol. 2, No. 2, Hal. 37-55.

Dewi, Kartika Sari. 2012. Buku Ajar Kesehatan Mental. Penerbit UPT Undip Press Semarang.

Erliana, F. 2013. Perbedaan Bentuk Reaksi Stres Mahasiswa Dan Anggota Militer Pada Peserta
Ekspedisi NKRI 2013 Koridor Sulawesi Sub Korwil-01 Kepulauan Sangihe. Skripsi: UIN Malang.

Jannah, Erma Ro'idhotul (2016) Koping Religius Pada Janda Dewasa Madya Pasca
Kematian Pasangan Hidup. Undergraduate Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Maryam, Siti. Strategi Coping: Teori Dan Sumberdayanya. Jurnal Konseling Andi Matappa, Vol.
1, No. 2, Hal. 101-107.

Musradinur. 2016. Stres Dan Cara Mengatasinya Dalam Perspektif Psikologi. Jurnal Edukasi, Vol.
2, No.2, Hal. 183-200.

Mustakimah, Siti. 2020. Hubungan Antara Religious Coping Dan Tingkat Stres Pada Mahasiswa
Tingkat Akhir Di Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran. Skripsi, Universitas Pajajaran.

Purnama, Rahmad. Penyelesaian Stress Melalui Coping Spiritual. Al-Adyan, Vol.XII, No.1, Hal.
70-83.

Sukadiyanto. 2010. Stress Dan Cara Menguranginya. Cakrawala Pendidikan, Vol. 29, No. 1, Hal.
55-66.

Siswanto. 2020. Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Penerbit CV Andi
Offset.

Utami, Muhana Sofiati. 2012. Religiusitas, Koping Religius, Dan Kesejahteraan Subjektif. Jurnal
Psikologi, Vol. 39, No. 1, Juni 2012: 46 – 66.

Yuliani, Reny. 2020. Kesehatan Jiwa Di Masyarakat. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa:
Kementrian Kesehatan RI.

https://www.youtube.com/watch?v=buZTOOTw7ME&t=116s

29

Anda mungkin juga menyukai