Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MENGAJARKAN RESILIENSI KEPADA ANAK PERSPEKTIF ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Parenting Islami

Dosen Pengampu : Dr. Nikmah Rahmawati M.Si

Anggota Kelompok 5 :

1. Muhammad Arya Fattahillah (2007016150)


2. Nurma Erlyna (2007016162)
3. Risqi Ainuna (2007016166)
4. Siska Damayanti (2007016174)

0 0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami karena telah
memberikan kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah yang berjudul Resiliensi
Kepada Anak Perspektif Islam.

Makalah Resiliensi Kepada Anak Perspektif Islam ini disusun guna memenuhi tugas
Ibu Dr. Nikmah Rahmawati M.Si pada mata kuliah Parenting Islam di Universitas Islam
Negeri Walisongo. Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
Nikmah Rahmawati M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Parenting Islami karena tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan terkait bidang yang
kami tekuni.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

0 0
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................2

1.3 Tujuan.........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resiliensi......................................................................................................3

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Resliensi........................................................................4

2.3 Aspek-aspek Resiliensi...............................................................................................5

2.4 Faktor Resiliensi Akademik.......................................................................................7

2.5 Komponen Resiliensi Akademik................................................................................9

2.6 Pembentukan dan Pengembangan Resiliensi Akademik..........................................10

2.7 Resiliensi Akademik Tinjauan Psikologi Islam........................................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................14

3.2 Saran...........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................15

ii

0 0
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap anak menjalani perjalanan hidup yang bervariasi. Hidup bahagia, semuanya
ada, dan dengan mudah mendapatkannya juga dirasakan oleh beberapa anak. Tapi di sisi lain,
terdapat kondisi yang berbeda, jauh dari bahagia dan serba bisa disana, juga tidak sedikit
yang mengalaminya. Baik karena kendala ekonomi dan psikologis. Salah Salah satunya
adalah alasan ketidakhadiran satu orang tua ditambah kondisi orang tua lainnya tidak mampu
secara finansial. Jadi, membuat anak harus melalui hal-hal pahit dalam hidup seperti tinggal
di panti asuhan. Kondisi tersebut membuat mental dan psikologis anak akan mengalami
guncangan yang membuatnya membutuhkan hambatan (power tangguh) lebih untuk
menghadapi tantangan ke depan dengan kondisi latar belakang yang kurang beruntung
seperti anak-anak lainnya.

Tidak semua remaja bisa merasakan semua aspek seperti dukungan keluarga, fasilitas
yang memadai, dan kondisi keluarga sangat nyaman sehingga remaja sebagai seorang anak
akan sangat mungkin menjadi remaja yang berkepribadian positif dan berprestasi. Tekanan
dalam hidup dan masalah yang mereka hadapi tapi jauh dari keluarga, banyak yang membuat
para remaja ini kurang mampu bertahan dalam hidup jadi mereka hanya berjalan apa adanya
keberadaan tanpa dedikasi yang tinggi untuk menjadi remaja yang berprestasi dan bermanfaat
bagi yang lain. Oleh karena itu, Bimbingan dan Konseling juga harus melihat dan peka
terhadap kondisi dan latar belakang di belakang siswa sehingga konselor dapat menyesuaikan
bimbingan yang akan diberikan. Sebagai yang dikatakan oleh Sutina (2013;8) bahwa
bimbingan diberikan agar individu dapat menyesuaikan diri secara harmonis dengan
lingkungannya, baik lingkungan maupun lingkungannya keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Menurut James. P Coyle (2011 ; 4) dalam jurnal “Keluarga Tangguh Membuat


Bantuan Tangguh Anak-anak” menjelaskan bahwa sebuah penelitian tentang ketahanan,
ketahanan keluarga dapat membentuk ketahanan seorang anak. Ketika dilihat disfungsi
keluarga yang baik dengan cara apa pun, maka itu juga akan mempengaruhi perkembangan
psikologi anak.

Sikap daya tangguh (resiliensi) mewakili 2 faktor pada saat yang sama itu adalah
bekerja lebih keras dari yang lain dan semangat dan kepribadian kompetitif. Anak-anak di

0 0
panti asuhan memang membutuhkan usaha yang lebih keras dari ke teman-temannya yang
lain karena latar belakang di belakangnya jadi anak-anak ini harus hidup panti asuhan jauh
dari keluarga.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Resiliensi?

2. Apa Saja Faktor yang Dapat Mempengaruhi Resiliensi?

3. Apa Saja Aspek-aspek Resilensi?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Definisi Resiliensi

2. Mengetahui Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resliensi

3. Mengetahui Aspek-aspek Resiliensi

0 0
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resiliensi

Resiliensi merupakan kemampuan luar biasa yang dimiliki individu untuk menghadapi
berbagai kesulitan, untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dan semua karakter
positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis, mengutip perkataan Wolins
dari jurnal (Azmi, 2017). Connor & Davidson (2003), mengatakan bahwa resiliensi adalah
kemampuan individu dalam menhadapi suatu kondisi yang sulit atau suatu penderitaan. Block
& Kreman (dalam Xianon & Zhang, 2007) berpendapat bahwa resiliensi yang dimiliki
individu bermanfaat sebagai alat untuk bertahan/survive serta adaptasi dengan keadaan stress
dan penderitaan yang dialami individu.
Menurut Block (Papalia, 2001) resiliensi dideskripsikan sebagai salah satu tipe
kepribadian dengan ciri-ciri yaitu, memiliki kemampuan penyesuaian yang baik (adaptasi),
mandiri, percaya diri, pandai berbicara, penuh perhatian, peduli dan fokus dengan tugas.
Individu yang memiliki resiliensi yang baik mampu memulihkan kondisinya dari trauma,
tahan banting dengan peristiwa-peristiwa negatif, dan dapat beradaptasi dengan stress dan
kondisi yang sangat sulit (Holaday & McPhearson, 1997). Dapat disimpulkan bahwa
resiliensi adalah bagaimana proses pendampingan anak oleh orang tua agar mampu
menghadapi tantangan dan bangkit dari keterpurukan sehingga dapat sukses di kehidupan
mendatang.
Sebagaimana di jelaskan dalam al-Quran tentang bangkit dari keterpurukan (resiliensi):

‫الضس ّرا ُء َوُز ۡلِزلُس ۡسوا َح ٰتّى يَُقس ۡسوَلالرُّسس ۡو ُؕل‬


‫م‬ ّ ‫الب َ ۡاَسس ا ُء َو‬ َ ‫الَ سجس ّن َة َولَ ّم ا ي َس ۡساتُِك ۡم ّمَثسُسلالّذ‬
ۡ ‫ِيۡن َخَلسسوۡ ا م ِۡنَ ۡبقلِكُ ۡم م َّسس ۡت ُهم‬ ۡ ‫خلوا‬
ُ ُ‫اَ ۡم حَِسبۡ تُ ۡم َا ۡن تَس ۡسد‬
ٰ ٰ
‫َصراللّّ قَر ِ يٌۡب‬ َۡ ‫هِ اَ َ ۤل اِّنن‬ ؕ ّّ‫َصرالل‬ ٗ ‫ن َٰامنُ ۡو ا َم َع‬
ُ ۡ ‫ه َ ٰتمى ن‬ َ ۡ‫َوالّذِي‬

Artinya: Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka
ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul
dan orang orang bersamanya berkata „kapankah datang pertolongan allah?‟ ingatlah
sesungguhnya pertolongan allah itu dekat, (QS Al Baqarah, ayat; 214).
Kemudian dalam QS Al Baqarah : 155-156 Allah berfirman :
ّ ‫لَلم َٰو ِل َولَٱلنف ُِس َو‬
ِّ َ‫ٱلث َمر َِٰت ۗ َوب‬ ‫وع َونَقل ٍۢص مّ َن ٱل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ ُ ‫َ َولنَب‬
١٥٥ ‫ٱلص ٰسِبرِ َين‬
ّ ‫شر‬ ِ ُ‫للَونّكم بِ َشلى ٍۢء مَّنٱل َخولِف َوٱلج‬
١٥٦‫ون‬ ِ ّ‫ِين إِ َذا أَ َصٰسبَتل ُهم م‬
َ ُ‫صيَب ٌۭة َقالُٓو۟اِ إنّا ِّلِ َِوإنّا ِإ َليلِّ َٰر ِجع‬ ّ
َ ‫ٱلذ‬

0 0
Artinya: Dan kami menguji kamu dengan dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah buahan, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar ◌ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun’, (QS Al Baqarah, ayat: 155-156)
Dari ayat diata tersebut dapat diartikan bahwa tak ada satupun orang di dunia ini yang
tidak diberi masalah oleh Allah. Dengan menyerahkan segala apa yang terjadi kepada Allah
dan segala apa yang ada di dunia ini adalah milikNya membuat jiwa seseorang akan merasa
tenang dan menghindarkan diri dari sikap kekecewaan dan putus asa. Dan hanya orang orang
yang mampu bertahan untuk menyelesaikan masalah dan mampu bangkit kembali yang akan
mendapatkan kesenangan dari Allah sebagai balasan atas keberhasilannya menghadapi
masalah. Dari situ dapat dipahami bahwa resiliensi dalam Islam merupakan sebuah
kewajiban, dengan memiliki resiliensi berarti seorang hamba telah teruji keimanannya dan
ketangguhannya sebagai seorang muslim.

2.2 Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Resiliensi


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi karakter resiliensi menurut Barankin &
Khanlou Khanlou & Wray, diantaranya yaitu faktor individual, faktor keluarga, dan faktor
lingkungan sosial.
- Faktor individual
Faktor individu memerlukan suatu karakter, kekuatan belajar, konsep diri, emosi, cara
berpikir, keterampilan adaptif, dan keterampilan sosial. kombinasi dari setiap individu
dan pengalaman belajar yang diperoleh melalui intraksi dan peluang yang diperoleh
melalui intraksi yang diberikan oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat membantu
membentuk resiliensi individu. Selain itu, resiliensi individu juga dapat terbentuk
melalui keberhasilan dari setiap fase menumbuh kembangkan.
- Faktor keluarga
Kekuatan yang dimiliki oleh setiap keluarga dan tantangan yang dihadapinya akan
selalu berubah dengan seiring waktu. Faktor keluarga memiliki keterkaitan dengan
faktor individu dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di mana akan
berdampak pada resiliensi masing-masing anggota keluarga dan keluarga secara
keseluruhan24. Faktor keluarga mencakup kasih sayang, hubungan orang tua,
komunikasi,pola asuh,dan dukungan dari keluarga.
- Faktor lingkungan sosial

0 0
Faktor lingkungan sosial mempengaruhi faktor resiliensi individu dan keluarga.
Faktor lingkungan sosial diantaranya keadilan sosial, saling menghormati semua
melalui praktik, kebijakan, dan hukum. (Barankin dan Khanlou). Faktor lingkungan
sosial yaitu keterlibatan individu dalam lingkungan sosialnya.

2.3 Aspek aspek Resiliensi


Menurut Daniel dan Wassel (2002), terdapat enam aspek resiliensi yang dapat
membangun resiliensi pada anak, yaitu keamanan dasar, pendidikan, persahabatan, bakat dan
minat, nilai positif, serta kompetensi sosial.
 Peran orang tua dalam membangun aspek keamanan dasar dalam resiliensi anak
Peran orang tua pada aspek ini diantaranya adalah memberikan pemahaman mengenai
sifat berani dalam bertindak serta selalu berupaya untuk membangkitkan semangat
anak. Menurut Hart (2007), keamanan dasar menjadi hal yang penting dalam
membangun resiliensi pada anak. Orang tua menempatkan diri dibelakang anak
dengan menjaga keamanannya agar berani dalam melakukan hal-hal baru dikehidupan
bermasyarakat. Sehingga anak merasa aman dan nyaman karena merasa memiliki
pelindung. Hal tersebut dimaksudkan supaya anak dapat memiliki rasa percaya diri,
sehingga tidak berpengaruh buruk pada kehidupan sosialnya ketika dewasa kelak.
Rasa percaya diri muncul karena anak merasa ada orang tua yang selalu berdiri
dibelakang dan mendukung mereka.
 Peran orang tua dalam membangun resiliensi anak dalam aspek Pendidikan
Orang tua memberikan motivasi pada anak agar memiliki kemauan belajar yang besar,
sehingga kemampuannya dalam berbahasa semakin berkembang. Menurut Vygotsky
(dalam Santrock, 2007) dalam hal berbicara, anak bukan saja digunakan untuk
komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu mereka memahami dan menyelesaikan
tugas. Selain itu, orang tua juga memberi fasilitas penunjang, sehingga dalam
prosesnya anak akan lebih mudah memahami maksud dari suatu pelajaran. Fasilitas
tersebut nantinya juga diharapkan dapat membantu anak dalam meningkatkan minat
belajar mereka yang akan berdampak pada hasil belajar dan meningkatkan kreativitas
anak.
 Peran orang tua dalam membangun aspek persahabatan pada resiliensi anak
Orang tua berperan dalam mendorong anak untuk bersahabat dengan siapapun asal
teman tersebut memiliki sikap yang baik, mendorong anak untuk selalu bersikap
tolong-menolong dengan teman-temannya, serta mengintervensi hal yang dianggap

0 0
dapat menghambat persahabatan anak. Persahabatan dapat membantu anak dalam
mempelajari keterampilan lain dalam kehidupan sosial seperti kompetisi dan
kerjasama saat berinteraksi. Hal ini karena anak-anak akan merasa lebih senang
apabila bermain dengan temannya daripada hanya sendiri
 Peran orang tua dalam membangun resiliensi anak pada aspek bakat dan minat
Orang tua berperan dalam memotivasi anak untuk lebih menggali minat dan bakatnya,
memberikan fasilitas penunjang, juga senantiasa mendorong imajinasi anak. Bakat
dan minat yang dimiliki seorang anak berbeda satu dengan yang lainnya, meski
tekadang beberapa anak memiliki kesamaan bakat dan minat. Bakat dan minat yang
dimiliki oleh anak dapat diketahui dengan cara mengamati setiap aktivitas yang
dilakukan anak di lingkungan sekitar. Menurut Jamaris (2006) kreativitas yang
dimiliki anak dapat lebih berkembang dengan adanya dukungan kondisi lingkungan
yang kondusif, seperti memperlihatkan pada anak bahwa fantasi yang ditampilkannya
memiliki nilai tertentu; memberikan kesempatan untuk memunculkan perilaku yang
kreatif.
 Peran orang tua dalam membangun aspek nilai positif resiliensi pada anak
Peran orang tua dalam membangun resiliensi anak pada aspek nilai positif,
diantaranya seperti mendorong anak untuk berperilaku prososial, memiliki sifat
bertanggung jawab, suka membantu teman, dan mendorong anak untuk saling
menyayangi serta menghargai orang lain. Anak diharapkan dapat memiliki
pemahaman yang baik tentang orang lain, memiliki rasa empati yang besar terhadap
sesama, membiasakan diri untuk selalu bersikap ramah kepada orang lain, hal-hal
tersebut dimaksudkan agar nantinya dapat membantu menghambat munculnya
tindakan negatif pada anak (Papalia, 2010). Dalam menunjukkan perilaku prososial,
orang tua akan memberikan pemahaman mengenai aturan yang jelas dan prinsip untuk
berperilaku baik sesuai norma yang berlaku dimasyarakat.
 Peran orang tua dalam membangun resiliensi anak dalam aspek kompetensi sosial
Peran orang tua diantaranya adalah mendorong anak untuk dapat memiliki rasa
percaya diri, memahami siapa dirinya, mendorong otonomi diri dan kontrol diri, serta
mendorong anak untuk dapat memberi perhatian pada orang lain. Kompetensi sosial
memiliki kontribusi pada sisi harga diri anak. Dimana diri anak sendirilah yang
memiliki otoritas penuh dalam mengintegrasikan pemikiran, perasaan, dan perilaku
untuk mencapai tugas-tugas social, yang hasilnya dapat dihargai oleh orang banyak

0 0
dan budaya lingkungannya. Otonomi menggambarkan kemampuan individu yang
independen (Salkind, 2010)

2.4 Faktor Resiliensi Akademik

Secara global resiliensi dipengaruhi oleh dua hal yaitu: Pertama kemampuan adaptasi,
dan Kedua, besarnya resiko yang dihadapi. Kedua faktor tersebut harus ada balansitasnya,
berjalan seiring dan bersamaan untuk bisa risilien. Hal ini juga berlaku bagi resiliensi
akademik dalam kancah pendidikan untuk berbagai tingkat pendidikan. Siswa dan mahasiswa
yang resilien memiliki perfoma akademik yang baik dan kapasitas untuk menjadi resilien
secara akademik dapat dipengaruhi beberapa faktor.

Grotberg menjelaskan faktor faktor resiliensi yang dapat membantu individu


mengatasi berbagai adversities, dengan mengelompokkannya menjadi 3 faktor yaitu :
Pertama External support, External support merupakan faktor-faktor diluar individu yang
dapat meningkatkan kemampuan resilien. Grotberg menjelaskan sebagai I HAVE, yaitu: Satu
atau lebih angggota keluarga yang dapat dipercaya dan mencintai individu tersebut, satu atau
lebih individu di luar keluarga yang dapat dipercaya, memiliki batasan bertingkah laku. Good
role models punya andil besar, Role models yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa
yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar
individu mengikutinya. Akses untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan sosial
yang dibutuhkan juga penting, selain itu keluarga komunitas yang stabil. Selain dukungan
dari orang-orang terdekat seperti suami, istri, orang tua, dan anak, kadangkala seorang
individu juga membutuhkan dukungan dan cinta dari orang lain yang dianggap mampu
memberikan kasih sayang yang mungkin tidak dapat diperoleh dari orang-orang terdekat.
Faktor External support ini diperjelas dalam QS Al Baqoroh: 83.

Kedua faktor Inner Strength (I AM). Merupakan sesuatu yang dimiliki individu yang
akan berkembang sepanjang waktu. Grotberg menjelaskannya sebagai kualitas yang dimiliki
individu yang dijelaskan sebagai I am. Diantaranya adalah kepercayaan diri atas kemampuan
pribadi, optimis, disukai banyak orang, memiliki keinginan untuk meraih prestasi dimasa
depan, empati dan kualitas diri lainnya. Faktor I am ini merupakan kekuatan yang berasal dari
diri individu itu sendiri. Seperti tingkah laku, perasaan, dan kepercayaan yang terdapat
didalam diri seseorang. Faktor I am ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: Pertama,
Bangga pada diri sendiri. Individu memiliki rasa bangga terhadap dirinya sendiri serta

0 0
mengetahui dan menyadari bahwa dirinya adalah seseorang yang penting. Selain itu,
seseorang juga tidak akan membiarkan orang lain menghina ataupun meremehkannya. Oleh
karena itu, individu harus mampu bertahan dan menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapinya. Salah satu yang dapat membantu mereka untuk bertahan dalam menghadapi
masalah adalah kepercayaan diri yang tertanaman dalam diri masing-masing individu. Kedua,
Perasaan dicintai dan sikap yang menarik. Seseorang dapat mengatur sikap ketika
menghadapi respon-respon yang berbeda-beda ketika berbicara dengan orang lain. Kemudian
individu akan mampu bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya.
Individu mampu merasakan mana yang benar dan mana yang salah serta ingin ikut di
dalamnya. Ketiga, Mencintai, empati, altruistic. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka
individu tersebut akan peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi pada orang dicintainya.
Adanya ketidaknyamanan dan penderitaan jika orang yang dicintai terkena masalah,
kemudian adanya keinginan untuk menghentikan penderitaan tersebut. Keempat, Mandiri dan
bertanggung jawab. Tanggung jawab berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajibannya. Tiap-tiap manusia sebagai makhluk Allah bertanggung jawab atas
perbuatannya sesuai dengan Qs. Al-Mudatsir ayat . Manusia mempunyai kebebasan untuk
melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Individu juga harus mampu menerima
segala konsekuensi dari tindakan tersebut. Seseorang mampu mengerti dan memahami
batasanbatasan terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan.

Ketiga, Problem Solving (I CAN). Yang termasuk dalam hal ini adalah kemampuan
memunculkan ide ide baru, mampu menyelesaikan tugas, menggunakan humor untuk
meredakan ketegangan, mampu menyampaikan pemikiran dan perasaan ketika
berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan berbagai masalah (akademik,
pekerjaan, personal dan sosial), mampu mengendalikan tingkah laku (perasaan, impuls) serta
mampu meminta bantuan ketika dibutuhkan, mengukur temperamen diri sendiri dan orang
lain.

0 0
2.5 Komponen Resiliensi Akademik

Penafsiran Resiliensi mencakup tujuh komponen, yaitu: regulasi emosi, pengendalian


impuls, optimisme, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek
positif (Reivich dan Shatte, 2002), hal ini juga berlaku bagi resiliensi akademik, yang
dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Regulasi emosi, adalah kemampuan untuk tetap tenang
dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi
dapat mengendalikan dirinya apabila sedang marah dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih,
atau kesal sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi,
baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan
dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu
yang resilien.

Kedua, Pengendalian impuls, merupakan kemampuan mengendalikan keinginan,


dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan
pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang
cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran. Individu mudah kehilangan kesabaran,
mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu
penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada
munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

Ketiga, Optimisme, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu
memiliki harapan di masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya. Dibandingkan
dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, tidak
mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih
berprestasi dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya dapat
menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.

Keempat, Empati, menggambarkan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda


psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu
mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain.

Kelima, Analisis penyebab masalah, yaitu merujuk pada kemampuan individu untuk
secara akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan individu. Jika individu
tidak mampu memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu
akan membuat kesalahan yang sama.

0 0
Keenam, Efikasi diri, merupakan keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri
sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen
dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi
yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi
akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena
memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat
menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami.

Ketujuh, Peningkatan aspek positif, Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi


peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam
hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko
yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat
gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan
lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan
kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.

2.6 Pembentukan dan Perkembangan Resiliensi Akademik

Grotberg menjelaskan proses pembentukan kemampuan resiliensi melalui lima tahap


resilience building blocks yang dimulai sejak anak berusia dini,31 yaitu trust (usia 1 tahun),
autonomy (2-3 tahun), initiative (4-5 tahhun), industry (6-11 tahun), identity (usia remaja)
dimana tahap tersebut individu akan mengembangkan I Have, I Am dan I Can. Tahap-tahap
tersebut diterangkan sebagai berikut : Pertama, Trust. Merupakan tahap resiliensi yang paling
dasar, trust adalah trait yang mengindikasikan bahwa individu dapat mempercayai orang lain
berkaitan dengan hidupnya, kebutuhan-kebutuhannya dan perasaanperasaannya. Trust juga
mengindikasikan bahwa individu dapat mempercayai diri sendiri, kemampuan-kemampuan
pribadi dan masa depannya. Kedua, Autonomy. Merupakan tahap pembentukan resiliensi
kedua, autonomy menunjukkan kesadaran individu bahwa dirinya terpisah dari orang lain.
Kesadaran ini memungkinkan individu untuk memahami bahwa individu mendapatkan
respons dari lingkungannya dan sebaliknya. Ketiga, Initiative. Pada tahap ini, individu mulai
mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya untuk menjadi orang yang resilien.
Individu mengembangkan inisiatif, menuntaskan penyelesaian tugas-tugas, ingin membantu
anggota keluarga dan teman dalam melakukan berbagai aktivitas. Keempat, Industry.
Kemampuan individu untuk meningkatkan kemampuan sosialnya sangat dibutuhkan dalam

10

0 0
tahap ini. Seorang individu mempunyai keinginan untuk sukses dan memiliki self image
untuk berprestasi, ingin mendapat pengakuan dari orang sekitarnya,guru, orang tua, teman
sebaya bahwa individu telah berusaha keras untuk menunjukkan prestasi. Kelima Identity.
Merupakan tahap terakhir dari resiliensi building blocks menurut grotberg, pada tahap ini
individu mencampai identitas yang mencangkup dua hal penting, yaitu kematangan seksual
dan mengembangkan kapabilitas mental yang tinggi untuk menganalisis dan merefleksikan
diri.

2.7 Resiliensi Akademik Tinjauan Psikologi Islam

Permasalahan psikologis dan sosial yang rentan dialami siswa dan mahasiswa
membutuhkan suatu faktor protektif yang dapat menjaga kesejahteraan siswa dan mahasiswa,
seperti resiliensi akademik. Menurut McGillivray dan Pidgeon (2015), resiliensi merupakan
salah satu faktor protektif yang dapat mengurangi tekanan dan juga dampak negatif yang
dapat ditimbulkan dari suatu permasalahan. Resiliensi memiliki hubungan positif dengan
kesejahteraan sosial dan kesejahteraan subjektif. Hal ini kemudian dapat meningkatkan
kesehatan mental dan kemampuan dalam menyesuaikan diri siswa dan mahasiswa dalam
menjalani kehidupan di sekolah dan kampus.

Resiliensi merupakan kualitas kemampuan individu dalam menghadapi kesulitan atau


permasalahan. Spiritualitas merupakan faktor internal yang memengaruhi resiliensi akademik
yang dapat dilihat dalam baiknya kondisi afeksi, fungsi kognitif, dan kemampuan sosial
individu dengan lingkungan akademik. Salah satu wujud dari baiknya spiritualitas yang
dimiliki individu adalah kemampuan dalam memaafkan. Pemaafan merupakan serangkaian
perubahan dalam motivasi prososial individu setelah mengalami suatu permasalahan.
Menurut Nashori, pemaafan dilihat sebagai kemampuan individu dalam
menumbuhkembangkan aspek kognitif, afektif, dan hubungan interpersonal dengan orang
lain yang telah melakukan suatu pelanggaran secara tidak adil dan diikuti dengan kesediaan
individu untuk meninggalkan hal-hal negatif yang bersumber dari hubungan interpersonal
dengan orang lain.

Pemaafan merupakan strategi koping yang adaptif dan dapat mendukung individu
dalam menghadapi permasalahan. Pemaafan merupakan salah satu metode koping yang biasa
digunakan dalam menghadapi tekanan dalam hidup.

Pemaafan dalam Al-Qur’an sendiri diturunkan menjadi dua kategori, yaitu meliputi
sifat Allah SWT sebagai zat yang Maha Pengampun dan perintah bagi manusia untuk

11

0 0
memaafkan, baik demi untuk kebajikan atau untuk mendapatkan rahmat-Nya.43 Pribadi yang
pemaaf merupakan salah satu ciri dari individu yang bertakwa kepada Allah SWT. Adapun
hal ini tersurat dalam QS. Ali Imran ayat 133-134 yang artinya, “Dan bersegeralah kamu
mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik
diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memafkan
(kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebajikan”

Selain sipiritualitas, sifat (trait) kepribadian juga menjadi faktor internal yang dapat
memengaruhi resiliensi siswa dan mahasiswa. Fieldman mendefinisikan trait sebagai suatu
dimensi yang cenderung menetap dari suatu karakteristik kepribadian. Salah satu teori
kepribadian yang berkembang adalah the big five personality yang mengelompokkan trait
menjadi lima dan salah satunya adalah agreeableness. Agreeableness menggambarkan
bagaimana kualitas individu dalam melakukan hubungan interpersonal. McCrea dan Costa,
mengungkapkan bahwa individu dengan sifat agreeableness memiliki perilaku prososial
terhadap orang lain dan tidak bersikap antagonis, baik secara pikiran, perasaan, dan tindakan.
Individu yang memiliki sifat kepribadian agreeableness juga memiliki sikap kooperatif dan
berperilaku baik terhadap orang lain dan membuat individu mudah untuk menjadi resilien.

Islam dalam wadah psikologi Islam memberikan tuntunan kepada siswa dan
mahasiswa untuk tetap memiliki hubungan interpersonal yang baik bahkan kepada orang
yang tidak menyukai atau menyakiti. Adapun salah satu keutamaan yang diperoleh adalah
ditinggikan derajat individu oleh Allah SWT. Hal tersebut tertera dalam hadits yang berbunyi,
“Maukah aku ceritakan kepadamu mengenai sesuatu yang membuat Allah memuliakan
bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab: ‘Tentu.’ Rasul pun bersabda:
‘Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, kemudian memaafkan orang
yang berbuat dzalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu dan juga
menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu.’” (HR. Thabrani).

Al-qur’an sebagai petunjuk umat-Nya merupakan kitab yang mengatur kehidupan


manusia paling lengkap, demikian juga tentang bangkit dari keterpurukan atau kegagalan
secara akademik (resiliensi akademik). Dalam QS Al Baqarah ayat 214 Allah berfirman : ‫أَمل‬
ُ ‫رس س‬
‫ول َ اولَ سذِي َن‬ ُ ّ ‫سولال‬
َ ‫ض س َر ا ُء َوُزلِلزلُسسوا َحت َٰى يَقُس‬ ّ ‫البَألَس ا ُء َو‬
ّ ‫ال‬ ‫ِنلقَبلِ ُكلم ۖ م ََسلت ُهُم ل‬ َ ‫لخلوا اللّجَن َة َولّ َم ا َيألتِكُلم َمثَُلالَذ‬
‫ِين َخلَلوا مل‬ ُ ُ‫حَِسلب ُتلم َألن تَد‬
‫الِ ّقر ِ ٌيب‬
َ ‫َص َر‬ ‫الِ ۗ َأَل إَِنن ّل‬
َ ‫َص ُر‬ ‫“ ّامنُوا َمع َُّ َم ٰتَىن ّل‬Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu

12

0 0
sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai
cobaan), sehingga rasul dan orang orang bersamanya berkata ‘kapankah datang pertolongan
allah?’ ingatlah sesungguhnya pertolongan allah itu dekat”. Kemudian dalam QS Al Baqarah :
155-156 Allah berfirman : ‫الثّمر َ ِات ۗ َوبَ ّشس ِر‬ ّ ‫ال َولَاللنف ُِس َو‬ َ‫ِن ل‬ ٍ ‫وعَونَقل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ُ َُ‫َوّلنَب‬
َ ‫اللمس‬
ِ ‫سو‬ َ‫ص م‬ ِ ‫للونَكلم ِبش َل ي ٍء مَِنال َخس ولِف َوالجُس‬
٥١١ ﴿‫سون‬ ِ ‫صسيَبةٌ َسقسالُواِ إنَسسا َِلِ َِوإنَسسا ِإلَيلِسّ َر‬
َ ‫اج ُعس‬ َ ‫ِين إِ َذا َأ‬
ِ ‫صس اَبتل ُهمل ُم‬ َ ‫ ﴾الَسذ‬٥١١﴿ ‫ين‬ َ ‫ابّر‬
ِ ‫الص‬
َ ﴾ “Dan kami menguji kamu
dengan dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan, dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ◌ (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun’ ”.

Firman Allah tersebut dapat diartikan bahwa tak ada satupun orang didunia ini yang
tidak diberi masalah oleh Allah. Bagi pembelajar yang menyerahkan segala apa yang terjadi
kepada Allah dan segala apa yang ada di dunia ini adalah milikNya membuat jiwa pembelajar
akan merasa tenang dan menghindarkan diri dari sikap kekecewaan dan putus asa. Dan hanya
orang orang yang mampu bertahan untuk menyelesaikan masalah dan mampu bangkit
kembali yang akan mendapatkan kesenangan dari Allah sebagai balasan atas keberhasilannya
menghadapi masalah. Dari situ dapat dipahami bahwasannya resiliensi akademik dalam Islam
merupakan sebuah kewajiban bagi seorang pembelajar, dengan memiliki resiliensi akademik
berarti seorang pembelajar telah teruji keimanannya dan ketangguhannya sebagai seorang
pembelajar muslim. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwasannya Allah mencintai hambanya
yang kuat daripada hambanya yang lemah.

13

0 0
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Van Breda (dalam Anita Novianty, 2011;05) mengatakan bahwa Resiliensi adalah
kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari situasi stres, trauma, atau kejadian
mengejutkan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk pengembangan dan
pertumbuhan positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah suatu kemampuan
individu untuk bangkit kembali dari kondisi yang membuatnya tertekan dan mampu
mengatasi kesulitan dengan cara yang positif sekaligus beradaptasi dengan kondisi sulit ini.

3.2 Saran

Penyusun berharap makalah ini dapat dimanfaatkan dalam membantu penerapan resiliensi
pada anak.

14

0 0
DAFTAR PUSTAKA

Salkind, N. J. 2010. Teori-teori perkembangan manusia. Bandung: Nusa Media.


Maulana Azmi, “Resiliensisi Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Syndrome,”
PSIKOBORNEO 5, no. 2 (2017): 320–30.
Wahidin, “Peran Orang Tua Dalam Menunbuhkan Motifasi Belajar Pada Anak Sekolah
Dasar,” Jurnal PANCAR 3, no. 1 (2019).
Akhmada, Masyhuda Fahim. (2019). Uyun, Indria Nurul. PERAN ORANG TUA DALAM
MEMBANGUN RESILIENSI PADA ANAK USIA DINI.
Papalia, D. Olds, S.W., Feldman, R.D. (2004). Human development (edition 10). USA:
McGraw-Hill
Alam, Noor Imansyah Warna. Cahyono, Susilo Setyo. Peran Orang Tua/ Wali Murid dalam
Menumbuhkembangkan Karakter Resiliensi pada Anak Kelas V di Madrasah
Ibtidaiyah Negeri 6 Ponorogo
Jamaris, M. 2006. Perkembangan dan pengembangan anak usia taman kanak-kanak. Jakarta:
Gramedia.
Santrock, J. (2007). Life span development. USA: McGraw-Hill.
Hart, A. & Derek B. 2007. Resilient Therapy: Working with Children and Families. London:
Routledge.
Daniel, B. & Wassel S. 2002. The Early Years: Assessing and Promoting Resilience in
Vulnerable Childern I. London: Jessica Kingsley Publishers.
Connor & Davidson, (2003). Develompment of The New Resilience Scale : The Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression and Anxiety. Vol 18 (2) :
76-83. doi:10.1002/da.10113
Yu, X. & Zhang. J. (2007). Factor Analysis and Psychometric Evaluation of The Connor- and
Personality. 2007. 35 (1), 19-30. doi: 10.2224/sp.2007.35.1.19.
Connor, K. N. & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new resilience scale: The
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and anxiety. 18, hlm. 76-
82.

McGillivray, C. J. & Pidgeon, A. M. 2015. Resilience attribute among university students: A


comparative study of psychological distress, sleep disturbance and mindfullness.
European Scientific Journal. 11(5), hlm. 33-48.

15

0 0
McCullough, M. E. 2001. Forgiveness: Who does it and how do they do it? . Current
Directions in Psychological Science. 10(6), Hlm. 194-197.

Nashori, F. 2011. Meningkatkan kualitas hidup dengan pemaafan. Jurnal UNISIA. 13(75),
hlm. 214-226.

Scull, N. C. (2015). Forgiveness, revenge, and adherence to Islam as moderators for


psychological wellbeing and depression among survivors of the 1990 Iraqi invasion
of Kuwait. Journal of Muslim Mental Health. 9(1), hlm. 41-64.

Powell, R. 2011. Forgiveness in Islamic ethics and jurisprudence. Berkeley Journal of


Middle Eastern & Islamic Law. 4(1), hlm. 17-34.

Fieldman, R. S. 1993. Essential Of Understanding Psychology. New York: Mc Graw Hill

Deniz, M. E. & Satici, S. A. 2017. The relationship between big five personality traits and
subjective vitality. Anales de psicologia. 33(2), hlm. 218-224.

Grotberg, Opcit. 2003. Hlm 3-4 30

Grotberg, Opcit. 2003. Hlm. 10-11

Wahidah, E. Y. (2018). Resiliensi akademik perspektif psikologi islam. In Proceeding


National Conference Psikologi UMG 2018 (Vol. 1, Issue 1).

16

0 0

Anda mungkin juga menyukai