Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KONSEP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan mata kuliah


Keperawatan Anak 1

Dosen Pembimbing : Ns, Deswita, M.Kep., Sp Kep.An

Disusun Oleh :

Najma Kemala 2011312010

Anggi Regina Budiman 2011312001

Salsabilla Rahmadani 2011312004

Yunita Trisca 2011312007

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Pertumbuhan
Dan Permbangan Pada Anak Usia Sekolah”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
limpahkan kepada Nabi besar alam, Muhammad SAW. Adapun tujuan makalah ini disusun
untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak I.

Dengan harapan makalah ini bisa menambah pengetuahuan, menambah wawasan dan
mendatangkan manfaat.

Saya menyadari bahwasanya dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh sebab itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah
yang bersangkutan guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi saya untuk lebih baik lagi
di masa yang akan datang.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................


1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................................................
1.3 Manfaat Penulisan.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................

2.1 Konsep Tumbuh Kembang..............................................................................................


2.1.1 Pengertian Anak Usia Dini.................................................................................
2.1.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah….....................................................

BAB III PROMOSI DAN MASALAH KESEHATAN...........................................................

3.1 Promosi Kesehatan...........................................................................................................

3.2 Masalah Kesehatan Fisik Dan Psikologis........................................................................

BAB VI PENUTUP….................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang Masalah


Latar Belakang Studi tentang perkembangan dan pertumbuhan manusia
merupakan usaha yang terus berlangsung dan berkembang. Seiring dengan
perkembangan nya, studi tentang perkembangan dan pertumbuhan manusia telah menjadi
sebuah disiplin ilmu dengan tujuan untuk memahami lebih dalam tentang apa dan
bagaimana proses perkembangan dan pertumbuhan manusia baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
Sampaidengansaatinikajianmengenaiperkembangandanpertumbuhanmanusiatelahbanyak
menunjukkanmanfaat yang signifikan.

Dan salah satu manfaat dari berkembangnya disiplin ilmu tentang perkembangan
manusia ini adalah pendidikan. Dan jika kita berbicara pendidikan tentunya unsur yang
mutlak adaialah manusiaitusendiri.Nah, dalamhalinikajianataupunteori-
teorimengenaiperkembangandanpertumbuhanmanusiasangatdibutuhkanolehduniapendidi
kan.Pendidikanialahusahasadar orang dewasa /
pendidikuntukmembantumembimbingpertumbuhandanperkembangananakkearahkedewas
aan.Definisipendidikandiatasmengisyaratkanbahwa agar setiappendidikbaik orang
tuamaupun guru memahamibenarhakikatpertumbuhandanperkembangananak agar
dapatmembimbingataumengarahkanmerekakearahkedewasaan yang diharapkan.

2. TujuanPenulisan
1) Untukmemahamikonseptumbuhkembanganakusiasekolah
2) Untukmengetahuiperkembangananaksecarafisikmaupun non fisik
3) Untukmengetahuipromosikesehatan,masalahfisikdanpsikologis yang
seringterjadiselamausiasekolah
3. ManfaatPenulisan
1) meningkatkanpengetahuandanwawasanmengenaitumbuhkembanganakkhususnya
mengenaifleksibilitaspadamasaanaksekolah
2) Sebagaisaranaedukasidaninformasiserta agar menyadaripentingnyafleksibilitas
trunk
dalammelakukansegalahaldandiharapakandapatmeningkatkanderajatkesehatanbag
ikesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
Pertumbuhan adalah perubahan fisik dan peningkatan ukuran. Pertumbuhan dapat
diukur secara kuantitatif. Indikator pertumbuhan meliputi tinggi badan, berat badan,
ukuran tulang, dan pertumbuhan gigi. Pola pertumbuhan fisiologis sama untuk
semua orang, akan tetapi laju pertumbuhan bervariasi pada tahap pertumbuhan dan
perkembangan berbeda. Perkembangan adalah peningkatan kompleksitas fungsi dan
kemajuan keterampilan yang dimiliki individu untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Perkembangan merupakan aspek perilaku dari pertumbuhan, misalnya
individu mengembangkan kemampuan untuk berjalan, berbicara, dan berlari dan
melakukan suatu aktivitas yang semakin kompleks (Behrman, Kliegman, & Arvin,
2000; Supartini, 2004; Potter & Perry, 2005; Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson,
Winkelstein, & Schwartz, 2009; Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
Istilah pertumbuhan dan perkembangan keduanya mengacu pada proses dinamis.
Pertumbuhan dan perkembangan walaupun sering digunakan secara bergantian,
keduanya memiliki makna yang berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan
merupakan proses yang berkelanjutan, teratur, dan berurutan yang dipengaruhi oleh
faktor maturasi, lingkungan, dan genetik (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
2.1.1 Pengertian Anak Usia Sekolah
Anak usia antara 6-12 tahun, periode ini kadang disebut sebagai masa anak-anak
pertengahan atau masa laten, masa untuk mempunyai tantangan baru. Kekuatan
kognitif untuk memikirkan banyak faktor secara simultan memberikan kemampuan
pada anak-anak usia sekolah untuk mengevaluasi diri sendiri dan merasakan
evaluasi teman-temannya. Dapat disimpulkan sebagai sebuah penghargaan diri
menjadi masalah sentral bagi anak usia sekolah (Behrman, Kliegman, & Arvin,
2000).
Menurut Buku Data Penduduk yang ditebirkan oleh Kementerian Kesehatan
Indoneisa (2011), anak usia sekolah adalah anak-anak yang berusia 7- 12 tahun
(Depkes, 2011), periode pubertas sekitar usia 12 tahun merupakan tanda akhir masa
kanak-kanak menengah (Potter & Perry, 2005; Wong, Hockenberry- Eaton, Wilson,
Winkelstein, & Schwartz, 2009). Menurut Wong (2009), anak usia sekolah atau
anak yang sudah sekolah akan menjadi pengalaman inti anak. Periode ini anak-anak
dianggap mulai bertanggungjawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan
orangtua mereka, teman sebaya, dan orang lain. Usia sekolah merupakan masa anak
memperoleh dasar-dasar pengatahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada
kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, Hockenberry-
Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). Periode pra-remaja atau pra-
pubertas terjadi pada tahap perkembangan usia sekolah, periode pra-remaja atau pra-
pubertas menandakan berakhirnya periode usia sekolah dengan usia kurang lebih 12
tahun, ditandai dengan awitan pubertas (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
Menurut Kriswanto (2006), Amaliyasari & Puspitasari (2008), pola perkembangan
anak, usia yang paling rawan adalah usia anak SD (10-12 tahun). Pada usia 10-12
tahun, mereka ini sedang dalam perkembangan pra-remaja, yang mana secara fisik
maupun psikologis pada masa ini mereka sedang menyongsong pubertas.
Perkembangan aspek fisik, kognitif, emosional, mental, dan sosial anak SD
membutuhkan cara-cara penyampaian dan intensitas pengetahuan tentang seks dan
kesehatan reproduksi yang berbeda dengan tahap-tahap usia yang lain (Kriswanto,
2006; Amaliyasari & Puspitasari, 2008).

2.1.1 Tahap Tumbuh-Kembang Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun)


1. Pertumbuhan Fisik
Pertumbuhan selama periode ini rata-rata 3-3,5 kg dan 6cm atau 2,5 inchi
pertahunnya. Lingkar kepala tumbuh hanya 2-3 cm selama periode ini, menandakan
pertumbuhan otak yang melambat karena proses mielinisasi sudah sempurna pada
usia 7 tahun (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). Anak laki-laki usia 6 tahun,
cenderung memiliki berat badan sekitar 21 kg, kurang lebih 1 kg lebih berat
daripada anak perempuan. Rata-rata kenaikan berat badan anak usia sekolah 6 – 12
tahun kurang lebih sebesar 3,2 kg per tahun. Periode ini, perbedaan individu pada
kenaikan berat badan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Tinggi badan
anak usia 6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tinggi badan yang
sama, yaitu kurang lebih 115 cm. Setelah usia 12 tahun, tinggi badan kurang lebih
150 cm (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011). Habitus tubuh (endomorfi,
mesomorfi atau ektomorfi) cenderung secara relatif tetap stabil selama masa anak
pertengahan. Pertumbuhan wajah bagian tengah dan bawah terjadi secara bertahap.
Kehilangan gigi desidua (bayi) merupakan tanda maturasi yang lebih dramatis,
mulai sekitar usia 6 tahun setelah tumbuhnya gigi- gigi molar pertama. Penggantian
dengan gigi dewasa terjadi pada kecepatan sekitar 4/tahun. Jaringan limfoid
hipertrofi, sering timbul tonsil adenoid yang mengesankan membutuhkan
penanganan pembedahan (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000; Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009; Kozier, Erb, Berman,
& Snyder, 2011).
Kekuatan otot, koordinasi dan daya tahan tubuh meningkat secara terus- menerus.
Kemampuan menampilkan pola gerakan-gerakan yang rumit seperti menari,
melempar bola, atau bermain alat musik. Kemampuan perintah motorik yang lebih
tinggi adalah hasil dari kedewasaan maupun latihan; derajat penyelesaian
mencerminkan keanekaragaman yang luas dalam bakat, minat dan kesempatan
bawaan sejak lahir. Organ-organ seksual secara fisik belum matang, namun minat
pada jenis kelamin yang berbeda dan tingkah laku seksual tetap aktif pada anak-
anak dan meningkat secara progresif sampai pada pubertas (Behrman, Kliegman, &
Arvin, 2000).

2. Perkembangangan Kognitif
Perubahan kognitif pada anak usia sekolah adalah pada kemampuan untuk berpikir
dengan cara logis tentang disini dan saat ini, bukan tentang hal yang bersifat
abstraksi. Pemikiran anak usia sekolah tidak lagi didominiasi oleh persepsinya dan
sekaligus kemampuan untuk memahami dunia secara luas. Perkembangan kognitif
Piaget terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: (1) Tahap sensoris-motorik (0-2 tahun);
(2) Praoperasional (2-7 tahun); (3) Concrete
operational (7-11 tahun); dan (4) Formal operation (11-15 tahun).
1) Concrete operational (7 – 11 tahun)
Fase ini, pemikiran meningkat atau bertambah logis dan koheren. Anak mampu mengklasifikasi
benda dan perintah dan menyelesaikan masalah secara konkret dan sistematis berdasarkan apa
yang mereka terima dari lingkungannya. Kemampuan berpikir anak sudah rasional, imajinatif,
dan dapat menggali objek atau situasi lebih banyak untuk memecahkan masalah. Anak sudah
dapat berpikir konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang lalu serta menyadari kegiatan
yang dilakukan berulang-ulang, tetapi pemahamannya belum mendalam, selanjutnya akan
semakin berkembang di akhir usia sekolah atau awal masa remaja.

1) Formal operation (11 – 15 tahun)


Tahapan ini ditunjukkan dengan karakteristik kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan dan kemampuan untuk fleksibel terhadap lingkungannya. Anak remaja
dapat berpikir dengan pola yang abstrak menggunakan tanda atau simbol dan
menggambarkan kesimpulan yang logis. Mereka dapat membuat dugaan dan
mengujinya dengan pemikiran yang abstrak, teoritis, dan filosifis. Pola berpikir logis
membuat mereka mampu berpikir tentang apa yang orang lain juga memikirkannya
dan berpikir untuk memecahkan masalah (Supartini, 2004).
Menurut Piaget, usia 7–11 tahun menandakan fase operasi konkret. Anak mengalami perubahan
selama tahap ini, dari interaksi egosentris menjadi interaksi kooperatif. Anak usia sekolah juga
mengembangkan peningkatan mengenai konsep yang berkaitan dengan objek-objek tertentu,
contohnya konservasi lingkungan atau pelestarian margasatwa. Pada masa ini anak-anak
mengembangkan pola pikir logis dari pola pikir intuitif, sebagai contoh mereka belajar untuk
mengurangi angka ketika mencari jawaban dari suatu soal atau pertanyaan. Pada usia ini anak
juga belajar mengenai hubungan sebab akibat, contohnya mereka tahu bahwa batu tidak akan
mengapung sebab batu lebih berat daripada air (Piaget, J., 1996; Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2011).
Kemampuan membaca biasanya berkembang dengan baik di akhir masa kanak-kanak dan bacaan
yang dibaca anak biasanya dipengaruhi oleh keluarga. Setelah usia 9 tahun, kebanyakan anak
termotivasi oleh dirinya sendiri. Mereka bersaing dengan diri sendiri dan mereka senang
membuat rencana kedepan, mencapai usia 12 tahun, mereka termotivasi oleh dorongan di dalam
diri, bukan karena kompetisi dengan teman sebaya. Mereka senang berbicara, berdiskusi
mengenai berbagai subjek dan berdebat (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
Tabel 2.1 – Fase Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Fase dan Tahap Usia Perilaku Signifikan
Fase Sensorimotor Lahir – 2
tahun
Tahap 1
Lahir – 1 Sebagian besar tindakan bersifat reflex.
Penggunaan Refleks
bulan
Persepsi mengenai berbagai
Tahap 2
1 – 4 bulan kejadian terpusat pada tubuh.
Reaksi
Objek merupakan ekstensi diri.
SirkulerPrimer
Mengenali lingkungan eksternal.
Tahap 3
Reaksi Sirkuler dan 4 – 8 bulan Membuat perubahan secara aktif di dalam

Sekunder lingkungan.
Tahap 4 Dapat membedakan tujuan dari cara
8 – 12 bulan
Koordinasi Skema pencapaian tujuan tersebut.
Sekunder
Mencoba dan menemukan tujuan serta
Tahap 5
12 – 18 bulan cara baru untuk mencapai tujuan.
Reaksi Sirkuler Tersier
Ritual merupakan hal penting.
Menginterprestasi lingkungan dengan
Tahap 6
18 – 24 bulan kesan mental.
Penemuan Arti yang
Melakukan permainan imajinasi dan
Baru
imitasi.
Menggunakan pendekatan egosentrik
untuk mengakomodasi tuntutan
lingkungan.
Fase Prakonseptual 2 – 4 tahun
Semua hal bermakna dan berkaitan
dengan “aku.”
Mengekplorasi lingkungan.
Bahasa berkembang
dengancepat.
Megasosiasikan kata denganobjek.
Pola pikir egosentrik berkurang.
Fase Pemikiran Intuitif 4 – 7 tahun
Memikirkan sebuah ide pada satu waktu.
Melibatkan orang lain di
lingkungan tersebut.
Kata-kata mengekspresikan pemikiran.
Menyelesaikan masalah yang konkret.
Fase Operasi Konkret 7 – 11 tahun Mulai memahami hubungan seperti
ukuran. Mengerti kanan dan kiri.
Sadar akan sudut pandang orang.
Fase Operasi Formal 11 – 15 tahun Menggunakan pemikiran yang rasional.
Pola pikir yang deduktif dan futuristic.

3. Perkembangan Moral

Perkembangan moral anak menurut Kohlberg didasarkan pada perkembangan kognitif anak dan
terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu: (1) preconventional; (2) conventional; (3)
postconventional.
1) Fase Preconventional

Anak belajar baik dan buruk, atau benar dan salah melalui budaya sebagai dasar dalam peletakan
nilai moral. Fase ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap satu didasari oleh adanya rasa egosentris
pada anak, yaitu kebaikan adalah seperti apa yang saya mau, rasa cinta dan kasih sayang akan
menolong memahami tentang kebaikan, dan sebaliknya ekspresi kurang perhatian bahkan
mebencinya akan membuat mereka mengenal keburukan. Tahap dua, yaitu orientasi hukuman
dan ketaatan dan ketaatan, baik dan buruk sebagai suatu konsekuensi dan tindakan. Tahap
selanjutnya, yaitu anak berfokus pada motif yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan. Anak
menjalankan aturan sebagai sesuatu yang memuaskan mereka sendiri, oleh karena itu hati-hati
apabila anak memukul temannya dan orangtua tidak memberikan sanksi. Hal ini akan membuat
anak berpikir bahwa tindakannya bukan merupakan sesuatu yang buruk.

2) Fase Conventional

Pada tahap ini, anak berorientasi pada mutualitas hubungan interpersonal dengan kelompok.
Anak sudah mampu bekerjasama dengan kelompok dan mempelajari serta mengadopsi norma-
norma yang ada dalam kelompok selain norma dalam lingkungan keluarganya. Anak
mempersepsikan perilakunya sebagai suatu kebaikan ketika perilaku anak menyebabkan mereka
diterima oleh keluarga atau teman sekelompoknya. Anak akan mempersepsikan perilakunya
sebagai suatu keburukan ketika tindakannya mengganggu hubungannya dengan keluarga,
temannya, atau kelompoknya. Anak melihat keadilan sebagai hubungan yang saling
menguntungkan antar individu. Anak mempertahankannya dengan menggunakan norma tersebut
dalam mengambil keputusannya, oleh karena itu penting sekali adanya contoh karakter yang
baik, seperti jujur, setia, murah hati, baik dari keluarga maupun teman kelompoknya.
3) Fase Postconventional

Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip yang dimiliki dan yang
diyakini. Segala tindakan yang diyakininya dipersepsikan sebagai suatu kebaikan. Ada dua fase
pada tahapan ini, yaitu orientasi pada hukum dan orientasi pada prinsip etik yang umum. Pada
fase pertama, anak menempatkan nilai budaya, hukum, dan perilaku yang tepat yang
menguntungkan bagi masyarakat sebagai sesuatu yang baik. Mereka mempersepsikan kebaikan
sebagai susuatu yang dapat mensejahterakan individu. Tidak ada yang dapat mereka terima dari
lingkungan tanpa membayarnya dan apabila menjadi bagian dari kelompok mereka harus
berkontribusi untuk pencapaian kelompok. Fase kedua dikatakan sebagai tingkat moral tertinggi,
yaitu dapat menilai perilaku baik dan buruk dari dirinya sendiri. Kebaikan dipersepsikan ketika
mereka dapat melakukan sesuatu yang benar. Anak sudah dapat mempertahankan perilaku
berdasarkan standard moral yang ada, seperti menaati aturan dan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Menurut Kohlberg, beberapa anak usia sekolah masuk pada tahap I tingkat pra-konvensional
Kohlberg (Hukuman dan Kepatuhan), yaitu mereka berupaya untuk menghindari hukuman, akan
tetapi beberapa anak usia sekolah berada pada tahap 2 (Instumental–Relativist orientation).
Anak-anak tersebut melakukan berbagai hal untuk menguntungkan diri mereka. (Kozier, Erb,
Berman, & Snyder, 2011).
Tabel 2.2 – Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Tingkat Tahap Usia Rata-rata
I. Prakonvensional 1. Orientasi Hukuman dan Todler – usia
Individu berespons terhadap peraturan Kepatuhan 7 tahun.
budaya mengenai label baik-buruk, Takut terhadap hukuman,
benar atau salah. Peraturan yang bukan rasa hormat terhadap
terbentuk secara eksternal menentukan otoritas merupakan alasan
tindakan yang benar atau salah. Individu terbentuknya keputusan,
memahaminya dalam istilah hukuman, perilaku, dan konformitas.
penghargaan, atau pertukaran kebaikan.
Prasekolah – usia
Fokus egosentrik 2. Orientasi Relativist sekolah.
Instrumental
Konformitas didasarkan pada
kebutuhan egosentris dan
narsisistik. Tidak ada rasa
keadilan, loyalitas, dan terima
kasih. “saya bersedia
melakukan sesuatu asalkan
saya mendapatkan imbalan atau
karena hal tersebut
menyenangkan Anda.”
I. Prakonvensional 1. Orientasi Hukuman dan Todler – usia
Individu berespons terhadap peraturan Kepatuhan 7 tahun.
budaya mengenai label baik-buruk, Takut terhadap hukuman,
benar atau salah. Peraturan yang bukan rasa hormat terhadap
terbentuk secara eksternal menentukan otoritas merupakan alasan
tindakan yang benar atau salah. Individu terbentuknya keputusan,
memahaminya dalam istilah hukuman, perilaku, dan konformitas.
penghargaan, atau pertukaran kebaikan.
Prasekolah – usia
Fokus egosentrik 2. Orientasi Relativist sekolah.
Instrumental
Konformitas didasarkan pada
kebutuhan egosentris dan
narsisistik. Tidak ada rasa
keadilan, loyalitas, dan terima
kasih. “saya bersedia
melakukan sesuatu asalkan
saya mendapatkan imbalan atau
karena hal tersebut
menyenangkan Anda.”
II. Konvensional 3. Orientasi Persetujuan Usia sekolah –
Individu memikirkan upaya untuk Interpersonal dewasa.
mempertahankan harapan dan peraturan Keputusan dan perilaku (sebagian besar
keluarga, kelompok, Negara, serta didasarkan pada kekhawatiran wanita berada pada
masyarakat. Perasaan bersalah telah akan reaksi orang lain. Individu tahap ini).
berkembang dan mempengaruhi menginginkan persetujuan dan
perilaku. Individu menerima nilai penghargaan dari orang lain.
konformitas, loyalitas, dan berupaya Respons empati,
aktif dalam yang
mempertahankan tata tertib dan didasarkan pada
control pemahaman

sosial. tentang perasaan orang lain,


Konformitas berarti perilaku yang baik merupakan faktor penentu
atau sesuatu yang dapat menyenangkan terbentuknya keputusan dan
dan membantu orang lain, dan hal perilaku. (“Saya dapat
tersebut disetujui. menempatkan diri saya pada
posisi Anda.”)
Remaja dan dewasa
Fokus Sosial 4. Orientasi Hukum dan (sebagian besar pria
Tata Tertib berada pada tahap
Individu ingin menerapkan ini).
peraturan yang berasal dari
otoritas dan alasan
terbentuknya keputusan dan
perilaku adalah bahwa
peraturan dan tradisi sosial dan
seksual menuntut respons
tersebut. (“Saya bersedia
melakukan sesuatu karena itu
adalah tugas saya dan
begitulah hukumnya.”)
III. Postkonvensional 5. Orientasi Legalistik Usia pertengahan
Individu hidup secara otonom dan Kontrak Sosial atau lansia.
mendefinisikan nilai-nilai serta prinsip- Peraturan sosial bukan
prinsip moral yang membedakan antara merupakan satu-satunya dasar
identifikasi pribadi dengan nilai-nilai utama terbentuknya keputusan
kelompok. Individu hidup menurut dan perilaku. Sebab, individu
prinsip-prinsip yang disetujui secara meyakini adanya prinsip moral
universal dan yang dianggap sesuai yang lebih tinggi sperti
untuk kehidupannya. kesetaraan, keadilan, atau
proses yang seharusnya.
Usia pertengahan
Fokus bersifat universal 6. Orientasi Prinsip Etis atau lansia.
Universal Beberapa
Keputusan dan perilaku orang
didasarkan pada peraturan yang mencapai atau
terinternalisasi, lebih kepada mempertahankan
hati nurani bukan hukum tahap ini.
sosial, dan juga berdasarkan Contohtahap ini
prinsip- prinsip etis dan abstrak terlihat
pilihan dalam
pribadi yang bersifat universal, situasi krisis atau
komprehensif, dan konsisten. ekstrem.
Catatan: Dari Health Promotion Strategies Through the Life Span, 7th ed., (hlm. 252-253), oleh
R. B. Murray dan J. P. Zentner, 2001, Upper Saddle River, NJ: Merril/Prentice Hall.

4. Perkembangan Spiritual

Menurut Fowler, anak usia sekolah berada pada tahap 2 perkembangan spiritual, yaitu pada
tahapan mitos–faktual. Anak-anak belajar untuk membedakan khayalan dan kenyataan.
Kenyataan (fakta) spiritual adalah keyakinan yang
diterima oleh suatu kelompok keagamaan, sedangkan khayalan adalah pemikiran dan gambaran
yang terbentuk dalam pikiran anak. Orangtua dan tokoh agama membantu anak membedakan
antara kenyataan dan khayalan. Orangtua dan tokoh agama lebih memiliki pengaruh daripada
teman sebaya dalam hal spiritual (Fowler, J. W., 1981; Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
Pada saat anak tidak dapat memahami peristiwa tertentu seperti penciptaan dunia, mereka
menggunakan khayalan untuk menjelaskannya. Pada masa ini, anak usia sekolah dapat
mengajukan banyak pertanyaan menegnai Tuhan dan agama dan secara umum meyakini bahwa
Tuhan itu baik dan selalu ada untuk membantu. Sebelum memasuki pubertas, anak-anak mulai
menyadari bahwa doa mereka tidak selalu dikabulkan dan mereka merasa kecewa karenanya.
Beberapa anak menolak agama pada usia ini, sedangkan sebagian yang lain terus menerimanya.
Keputusan ini biasanya sangat dipengaruhi oleh orang tua (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2011).
Tabel 2.3 – Tahap Perkembangan Spiritual Menurut Fowler
Tahapan Usia Deskripsi
0. 0 – 3 tahun Bayi tidak mampu merumuskan
Tidak terdiferensiasi konsep
mengenai diri sendiri atau lingkungan.
Suatu kombinasi gambaran dan kepercayaan
1. 4 – 6 tahun yang diberikan oleh orang lain yang dipercaya,
Intuitif – proyektif yang digabungkan dengan pengalaman dan
imajinasi anak sendiri.
Dunia fantasi dan khayalan pribadi; simbol-
2. 7 – 12 tahun simbol mengacu pada sesuatu yang khusus;
Mitos – factual kisah-kisah dramatic dan mitos digunakan
untuk menyampaikan maksud-maksud spiritual.
3. Remaja atau Dunia dan lingkungan mendasar yang tersusun
Sintetik – konvensional dewasa atas pengharapan dan penilaian orang lain;
fokus
interpersonal.
4. Setelah 18 tahun Membangun sistemtem pribadi yang eksplisit;
Individualisasi – refleksif kesadaran diri yang tinggi.
5. Setelah 30 tahun Kesadaran akan kebenaran yang berasal dari
Paradoksial – konsolidatif berbagai sudut pandang.
6. Mungkin tidak Menjadi perwujudan prinsip cinta dan keadilan.
Universalizing akan pernah

Catatan: Dari Life Maps: Conversation in the Journey of Faith, oleh J. Fowler dan
S. Keen, 1985, Waco, TX: Word Books; dan How to Help Your Child Have a Spiritual Life: A
Parent’s Guide to Inner Development, oleh A. Hollander, 1980, New York: A and W Publisher.

5. Perkembangan Psikoseksual

Freud menggambarkan anak-anak kelompok usia sekolah (6–12 tahun) masuk dalam tahapan
fase laten. Selama fase ini, fokus perkembangan adalah pada aktivitas fisik dan intelektual,
sementara kecenderungan seksual seolah ditekan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011). Teori
Perkembangan Psikoseksual anak menurut Freud terdiri atas fase oral (0–11 bulan), fase anak
(1– 3 tahun), fase falik (3–6 tahun), dan fase genital (6–12 tahun).
1) Fase Laten (6-12 tahun)

Selama periode laten, anak menggunakan energy fisik dan psikologis yang merupakan media
untuk mengkesplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui aktivitas fisik maupun sosialnya.
Pada fase laten, anak perempuan lebih menyukai teman dengan jenis kelamin perempuan, dan
laki-laki dengan laki-laki. Pertanyaan anak tentang seks semakin banyak dan bervariasi,
mengarah pada sistemtem reproduksi. Orangtua harus bijaksana dalam merespon pertanyaan-
pertanyaan anak, yaitu menjawabnya dengan jujur dan hangat. Luanya jawaban orangtua
disesuaikan dengan maturitas anak. anak mungkin dapat bertindak coba-coba dengan teman
sepermainan karena seringkali begitu penasaran dengan seks. Orangtua sebainya waspada
apabila anak tidak pernah bertanya mengenai seks. Peran ibu dan ayah sangat penting dalam
melakukan pendekatan dengan anak, termasuk mempelajari apa yang sebenarnya sedang
dipikirkan anak berkaitan dengan seks.

2) Fase Genital (12-18 tahun)

Menurut Freud, tahapan akhir masa ini adalah tahapan genital ketika anak mulai masuk fase
pubertas. Ditandai dengan adanya proses pematangan organ reproduksi dan tubuh mulai
memproduksi hormon seks.
Tabel 2.4 – Teori Psikoseksual Menurut Freud
Tahap – Usia Karakteristik Implikasi
Saat makan memberikan
kesenangan serta perasaan
Sumber kenikmatan utama bayi aman dan nyaman pada
Fase Oral (Lahir – melibatkan aktivitas berorientasi anak.
18 bulan) mulut (mehisap dan menelan). Saat makan harus menjadi
saat yang menyenangkan
Konflik utama: penyapihan. bagi anak dan pemberian
makan harus diberikan pada
saat yang dibutuhkan.
Anak mendapatkan kepuasan Pengontrolan dan
sensual dengan menahan atau pengeluaran feses
Fase Anal (12 – 18 melepaskan feses. Zona kepuasan memberikan kesenangan dan
bulan 3 anak adalah daerah anal (Kepuasan perasaan kontrol bagi anak.
tahun) sensual, kendali diri). Toilet training merupakan
aktivitas penting dan harus
Konflik utama: toilet training. menjadi pengalaman yang
menyenangkan bagi anak.
Anak menjadi lengket dengan Anak mengidentifikasi diri
orangtua dari jenis kelamin mereka dengan orangtua
Fase Phallic berlainan kemudian yang berjenis kelamin
(3 – 6 tahun) mengidentifikasinya berbeda dan kemudian
dengan orangtua berjenis menjalani hubungan di luar
kelamin sama. Superego lingkungan keluarga.
berkembang. Zona kepuasannya Dukung identitas diri anak.
bergeser pada daerah
genital.
Dukungan anak untuk
Energy dignakan untuk aktivitas melakukan aktivitas rekreasi
Fase Latency (6 fisisk dan intelektualitas. Impuls fisik dan intelektual.
tahun – pubertas) seksual yang muncul cenderung Dukung anak untuk
ditekan. Membangun hubungan berolahraga dan melakukan
dengan teman sebaya yang berjenis aktivitas lain bersama
kelamin sama. dengan teman
sebaya yang berjenis
kelamin sama.
Kemunculan kembali dorongan
seksual tahap phallic, disalurkan
Fase Genital dengan seksualitas masa dewasa. Dukungan proses pemisahan
(Pubertas – Energy diarahkan untuk anak dari orangtua,
kedewasaan) kematangan dan fungsi seksual pencapaian kemandirian,
yang utuh dan perkembangan dan pembuatan keputusan.
keterampilan
dibutuhkan untuk menghadapi
lingkungan.
Catatan: Dari Health Promotion Strategies Through the Life Span, 7th ed., (hlm. 238), oleh R. B.
Murray dan J. P. Zentner, 2001, Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall.

6. Perkembangan Psikososial

Erikson mengidentifikasi masalah sentral psikososial pada masa ini sebagai krisis antara
keaktifan dan inferioritas. Perkembangan kesehatan membutuhkan peningkatan pemisahan dari
orangtua dan kemampuan menemukan penerimaan dalam kelompok yang sepadan serta
merundingkan tantangan- tantangan yang berada diluar (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000).
Pendekatan Erikson dalam membahas proses perkembangan anak adalah dengan menguraikan
lima tahapan perkembangan psikososial, yaitu: percaya versus tidak percaya (0–1 tahun),
Otonomi versus rasa malu dan ragu (1–3 tahun), Inisiatif versus rasa bersalah (3–6 tahun),
Industry versus inferiority (6–12 tahun), Identitas versus kerancuan peran (12–18 tahun).
1) Industry versus inferiority (6-12 tahun)

Anak akan belajar untuk bekerjasama dengan bersaing dengan anak lainnya melalui kegiatan
yang dilakukan, baik dalam kegiatan akademik maupun dalam pergaulan melalui permainan
yang dilakukan bersama. Otonomi mulai berkembang pada anak di fase ini, terutama awal usia 6
tahun dengan dukungan keluarga terdekat. Perubahan fisik, emosi, dan sosial pada anak yang
terjadi mempengaruhi gambaran anak terhadap tubuhnya (body image). Interaksi sosial lebih luas
dengan teman, umpan balik berupa kritik dan evaluasi dari teman atau lingkungannya
mencerminkan penerimaan dari kelompok akan membantu anak semakin mempunyai konsep diri
yang positif. Perasaan sukses dicapai anak dengan dilandasi adanya motivasi internal untuk
beraktivitas yang mempunyai
tujuan. Kemampuan anak untuk berinteraksi sosial lebih luas dengan teman dilingkungannya
dapat memfasilitasi perkembangan perasaan sukses (sense of industry).
Perasaan tidak adekuat dan rasa inferiority atau rendah diri akan berkembang apabila anak terlalu
mendapat tuntutan dari lingkungannya dan anak tidak berhasil memenuhinya. Harga diri yang
kurang pada fase ini akan mempengaruhi tugas-tugas untuk fase remaja dan dewasa. Pujian atau
penguatan (reinforcement) dari orangtua atau orang dewasa terhadap prestasi yang dicapainya
menjadi begitu penting untuk menguatkan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu.
2) Identitas versus kerancuan peran (12-18 tahun)

Anak remaja akan berusaha untuk menyesuaikan perannya sebagai anak yang sedang berada
pada fase transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Mereka menunjukkan perannya dengan
bergaya sebagai remaja yang sangat dekat dengan kelompoknya, bergaul dengan mengadopsi
nilai kelompok dan lingkungannya, untuk dapat mengambil keputusannya sendiri. Kejelasan
identitas diperoleh apabila ada kepuasan yang diperoleh dari orangtua atau lingkungan tempat ia
berada, yang membantunya melalui proses pencarian identitas diri sebagai anak remaja,
sedangkan ketidakmampuan dalam mengatasi konflik akan menimbulkan kerancuan peran yang
harus dijalankannya (Supartini, 2004).
Menurut Erikson, tugas utama anak usia sekolah adalah pada fase industry versus inferiority.
Pada masa ini, anak-anak mulai membentuk dan mengembangkan rasa kompetensi dan
ketekuanan. Anak usia sekolah termotivasi oleh berbagai kegiatan yang membuatnya merasa
berguna. Mereka berfokus pada
upaya menguasai berbagai keterampilan yang akan membuat mereka berfungsi di dunia dewasa.
Meskipun berjuang keras untuk sukses, anak pada usia ini selalu dihadapkan pada kemugkinan
gagal yang dapat menimbulkan perasaan inferior. Anak-anak yang dapat mencapai sukses pada
tahap sebelumnya akan termotivasi untuk tekun dan bekerjasama dengan anak-anak yang lain
untuk mencapai tujuan umum (Erikson, E. H., 1963; Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
Tabel 2.5 – Delapan Tahap Perkembangan Menurut Erikson
Tahap – Usia Tugas Pokok Indikator Resolusi Positif Indikator Resolusi Negatif
Bayi Percaya versus Belajar untuk mempercayai Tidak percaya, menarik diri,
(lahir-18 bln) tidak percaya orang lain. mengasingkan diri.
Kendali diri tanpa kehilangan Kendali diri kompulsif atau
Kanak-kanak Otonomi harga diri. kepatuhan.
Awal versus rasa Kemampuan untuk Kurang kemauan
(18 bln-3 th) malu dan ragu bekerjasama dan ketidakpatuhan
dan mengekspresikan
diri sendiri.
Mempelajari sejauh mana sikap Kurang kepercayaan diri.
Kanak-kanak asertif dan tujuan Pesimisme, takut
Akhir Inisiatif versus mempengaruhi lingkungan. membuat kesalahan.
(3-5 th) rasa bersalah Memulai kemampuan Kendali dan
untuk mengevaluasi pembatasan aktivitas
perilaku diri yang berlebihan.
diri
sendiri.
Mulai untuk menciptakan, Putus harapan, merasa diri
Usia Sekolah Industri versus mengembangkan, dan biasa-biasa saja.
(6-12 th) inferioritas memanipulasi sesuatu. Menarik diri dari
Mengembangkan rasa teman sekolah dan
kompetensi dan ketekunan. teman sebaya.
Identitas versus Sadar akan diri sendiri. Perasaan bingung, tidak
Remaja (12-20 kebingungan Bermaksud untuk mampu membuat keputusan
th) peran mengaktualisasikan dan mungkin terdapat perilaku
kemampuan diri. anti-sosial.
Memiliki hubungan yang intim Hubungan impersonal.
Dewasa Muda Keakraban dengan orang lain. Menghindari komitmen dalam
(18-25 th) versus isolasi Memiliki komitmen terhadap hubungan, karier, atau gaya
pekerjaan dan hubungan. hidup.
Dewasa (25-65 Generativitas Kreativitas, produktivitas, Mengikuti kata, memikirkan
th) versus kepedulian terhadap orang lain. diri sendiri, dan kurang minat
stagnasi serta komitmen.
Lanjut Usia (65 Integritas Penerimaan terhadap kelebihan Merasakehilangan,
th - wafat) versus putus dan keunikan diri sendiri. memandang rendah orang lain
asa Penerimaan akan kematian.
Catatan: Dari Childhood and Society, 2nd ed., (pp. 247-274), oleh E. Erikson, 1963, New York:
W. W. Norton. Hak Cipta tahun 1950, © 1963 oleh W. W. Norton & Company, Inc., diperbarui
© 1978, 1991 oleh Erik H. Erikson.

1. Perubahan Pra-Pubertas atau Pra-Remaja

Periode transisi antara masa kanak-kanak dengan dan adolesens sering dikenal dengan istilah
pra-remaja oleh professional dalam ilmu perilaku, oleh yang lain dikenal dengan istilah pra-
pubertas, masa kanak-kanak lanjut, adolesens awal, dan puber. Ketika mulai terjadi perubahan
fisik, seperti pertumbuhan rambut pubis dan payudara pada wanita, anak menjadi lebih sosial dan
pola perilakunya lebih sulit diperkirakan. Perubahan pada sistem reproduksi dan endokrin
mengalami sedikit perubahan sampai pada periode pra-pubertas. Selama masa pra-pubertas, yaitu
memasuki usia 9–13 tahun fungsi endokrin semakin meningkat secara perlahan. Perubahan pada
fungsi endokrin menyebabkan peningkatn produksi keringat dan semakin aktifnya kalenjar
sebasea (Potter & Perry, 2005; Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
Periode persiapan ini sering meliputi eksperimentasi berdandan oleh anak perempuan, minat
dalam musik dan bertingkah seperti idola yang sedang populer diantara adolesens yang lebih
besar, baik anak laki-laki amupun perempuan biasanya membentuk “teman baik” dengan orang
tempat berbagi perasaan secara intim. Perasaan ketertarikan pada lawan jenis terbentuk pada fase
ini. Pada masa ini mereka sering membentuk hubungan dengan orang dewasa lain daripada
orangtuanya yang membuat mereka menerima informasi mengenai menjadi dewasa (Potter &
Perry, 2005). Anak-anak pada kelompok pra-pubertas seringkali melakukan eksperimental
seksual, masturbasi adalah bentuk eksperimental seksual yang sering dilakukan oleh anak-anak
usia pra-pubertas (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000).

2.1.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah

Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan diluar sekolah. Anak belajar di sekolah,
tetapi membuat latihan pekerjaan rumah yang mendukung hasil belajar disekolah. Aspek
perilaku banyak dibentuk melalui penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan, dan
identifikasi. Anak-anak pada masa ini harus menjalani tugas-tugas perkembangan, yaitu:
1) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum.

2) Membentuk sikap sehat mengenai dirinya sendiri.

3) Belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya.

4) Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.

5) Mengembangkan keterampilan dasar: membaca, menulis, dan berhitung.

6) Mengembangkan pengertian atau konsep yang diperlukan untuk kehidupan sehari-


hari.
7) Mengembangkan hati nurani, nilai moral, tata dan tingkatan nilai sosial.

8) Meperoleh kebebasan pribadi.

9) Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga- lembaga


(Gunarsa, D. & Gunarsa, Y., 2008).

BAB III

PROMOSI DAN MASALAH KESEHATAN

3.1 Promosi Kesehatan


Promosi Kesehatan yang didapatkan oleh anak usia sekolah dapat memengaruhi
kesuksesan masa depan siswa, guru, dan anggota masyarakat sekolah. Perkembangan awal
perilaku kesehatan yang positif akan mengarahkan pada kesehatan dan kesejahteraan yang lebih
baik sehingga memberika keuntungan bagi pelajar dalam banyak hal termasuk kemampuan
mereka untuk belajar dan berprestasi secara akademis (Chomitz, Slining, McGowan, Mitchell,
Dawson &Hacker, 2009). karakteristik program promosi kesehatan yaitu :

Dukungandarikepalasekolahdandewanpengurusyangberkomitmen
terhadapkesehatan,pendidikandanpembangunanmasing-masinganak
melaluipengembangankebijakankesehatandankesejahteraan,struktur
kurikulum,dandanaprogrambeasiswa;

1. Penggunaanbangunansekolahdanwaktusetelahjamsekolahselesai/
libursekolah(malamharidanakhirpekan)untukmendukungprogram
ekstrakurikuler,seperti,olahraga,rekreasi,dansebagainya;
2. Menyediakanmakanansehatdikafetariasekolah;
3. Bimbingandandukungandariparagurusaatmengajardanmemperkuat
kebiasaankesehatanpositifsepanjangharidisekolah;
4. Keterlibatanaktifolehperawatsekolahatautimperawatankesehatan
untukmemastikanbahwaanaktelahmelakukanpemeriksaanyang
sesuaidantelahdiidentifikasiuntukditindaklanjutiberdasarkanriwayat
kesehatanatauhasiltesfisikmereka;dan
5. Menerapkanprogrampendidikanjasmaniprogresifyangmengajarkan
keterampilankebugarandanistirahatyangcukup;

3.2 Masalah Kesehatan Fisik dan Psikologis


Pada masa ini pertumbuhan dan pertambahan berat badan mulai melambat. Tinggi
badan bertambah sedikitnya 5 cm per tahun. Anak mulai masuk sekolah dan mempunyai
teman yang lebih banyak sehingga sosialisasinya lebih luas. Mereka terlihat lebih mandiri.
Mulai tertarik pada hubungan dengan lawan jenis tetapi tidak terikat. Menunjukkan
kesukaan dalam berteman dan berkelompok dan bermain dalam kelompok dengan jenis
kelamin yang sama tetapi mulai bercampur.
Perilaku hidup bersih dan sehat adalah perilaku kesehatan yang dilakukan atas
kesadaran sehingga setiap orang dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam kegiatan – kegiatan kesehatan di masyarakat. Pada tatanan sekolah
terdapat 8 indikator untuk perilaku hidup bersih dan sehat yaitu : jajan di kantin sekolah,
mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun, menggunakan jamban sehat,
mengikuti kegiatan olahraga dan aktivitas fisik di sekolah, memberantas jentik nyamuk,
tidak merokok di sekolah, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap
bulan, serta membuang sampah pada tempatnya (Depkes RI, 2007).
Anak usia sekolah merupakan kelompok usia yang kritis karena pada usia tersebut
seorang anak rentan terhadap masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang dihadapi oleh
anak usia sekolah pada dasarnya cukup kompleks dan bervariasi. Peserta didik pada
tingkat Sekolah Dasar (SD) misalnya, masalah kesehatan yang muncul biasanya berkaitan
dengan kebersihan perorangan dan lingkungan, sehingga isu yang lebih menonjol adalah
perilaku hidup bersih dan sehat, seperti cara menggosok gigi yang benar, mencuci tangan
pakai sabun, dan kebersihan diri lainnya (Mikail, 2011).
Laporan Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) Nasional tahun 2007, dapat disimpulkan
bahwa perilaku yang menyangkut kebersihan dapat mempengaruhi kesehatan. Banyak
penyakit yang dapat disebabkan karena perilaku hidup bersih dan sehat yang masih kurang
seperti diare, kecacingan, masalah periodontal, filariasis, demam berdarah dan muntaber.
Masalah kebersihan diri yang cukup banyak dialami oleh murid sekolah dasar yaitu : 86%
murid yang bermasalah pada gigi, 53% tidak biasa potong kuku, 42% murid yang tidak
biasa menggosok gigi, dan 8% murid yang tidak mencuci tangan sebelum makan. Selain
itu data penyakit yang diderita oleh anak sekolah terkait perilaku seperti cacingan adalah
sebesar 60 – 80 %, dan caries gigi sebesar 74,4 %. Kompleksnya masalah kesehatan anak
sekolah perlu ditanggulangi secara komprehensif dan multisektor (Depkes RI, 2008).
Selain rentan terhadap masalah kesehatan, anak usia sekolah juga berada pada kondisi
yang sangat peka terhadap stimulus sehingga mudah dibimbing, diarahkan, dan
ditanamkan kebiasaan – kebiasaan yang baik, termasuk kebisaan untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat.
Pada umumnya, anak – anak seusia ini juga memiliki sifat selalu ingin menyampaikan
apa yang diterima dan diketahuinya dari orang lain, terutama pada anak usia 9-12 tahun
yang dalam tingkatan SD biasanya berada pada kelas 4-6 (Sunaryo, 2004). Menurut
Samatowo (2006) anak – anak pada usia tersebut berada pada kelas tinggi, yang memiliki
rasa ingin tahu, ingin belajar, dan minat terhadap sesuatu. Selain itu, 4 anak pada kelas
tinggi ini telah mulai mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab pribadi serta telah
menunjukkan sikap kritis dan rasional.

a. Masalah Kesehatan Fisik


a) Obesitas
Kelebihan berat badan merupakan kondisi saat akumulasi lemak tubuh
abnormal atau dalam jumlah yang berlebih dan dapat mengganggu kesehatan.
Perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks sederhana yang sering
dilakukan untuk mengetahui dan mengklasifikasikan status gizi orang dewasa, dengan
cara berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2 ).
Perhitungan IMT pada anak umur 5-18 tahun memerlukan pertimbangan usia
dalam penentuan status gizinya. Oleh karena itu, penentuan status gizi pada anak
disepakati menggunakan indikator IMT menurut Umur (IMT/U). Anak dengan
ambang batas (Z-Score) ≥ +1 SD sampai dengan +2 SD dikategorikan sebagai berat
badan lebih atau overweight dan anak dengan nilai Z-Score ≥ +2 SD dikategorikan
sebagai obesitas (WHO, 2018). Prevalensi berat badan lebih di dunia meningkat
hampir tiga kali lipat sejak tahun 1975.
Prevalensi overweight dan obesitas pada anak dan remaja usia 5-19 tahun telah
meningkat secara drastis dari angka 4% di 3 tahun 1975 menjadi lebih dari 18% di
tahun 2016. Lebih dari 340 juta anak dan remaja usia 5-19 tahun mengalami
overweight dan obesitas. Peningkatan prevalensi tersebut terjadi baik pada laki-laki
maupun perempuan (WHO, 2018). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013, prevalensi overweight dan obesitas pada anak di dunia meningkat dari 4,2% di
tahun 1990 menjadi 6,7% di tahun 2010, dan diperkirakan akan mencapai 9,1% di
tahun 2020 (Kemenkes, 2013).
Obesitas tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tapi juga berdampak pada
kesehatan mental (Hasdianah dkk., 2014). Kegemukan dan obesitas berhubungan
dengan kejadian hiperlipidemia, hipertensi atau tekanan darah tinggi, toleransi glukosa
abnormal, dan infertilitas. Sedangkan gangguan psikologis yang dimaksud ialah
peningkatan frekuensi terjadinya depresi pada anak yang obesitas (Dehghan et al.,
2005)

b) Diare dan cacingan


Pada dasarnya banyak penyakit akan menyerang seseorang di antaranya karena
unsur-unsur dari bagian tubuh yang belum terjamin kebersihannya. Kuku yang kotor
dan tidak terawat misalnya maka akan menjadi media bagi bibit penyakit dapat masuk
ke dalam tubuh seseorang, contohnya saja adalah penyakit yang menyerang alat
pencernaan seperti cholera, diare, typhus (Iswanto, 2007).
Diare dan cacingan sangat erat kaitannya dengan kebersihan tangan dan kuku,
kebersihan kuku merupakan salah satu komponen kecil yang sangat penting namun
seringkali diabaikan oleh anak sekolah, karena diusia tersebut 4 merupakan usia
dimana anak cenderung tidak memperdulikan penampilan dan kebersihan dirinya.
Sebagian besar anak SD memiliki masalah kebersihan diri, disebutkan bahwa
sejumlah 53% dari murid tidak biasa untuk memotong kuku. Perilaku kurangnya
menjaga kebersihan kuku ini dapat menjadi masalah kesehatan yang serius dan dapat
menurunkan angka kualitas kesehatan anak usia sekolah dasar (Susenas, 2004).
Adapun saran kepada pihak sekolah dan orangtua ialah untuk mendukung anak
dalam melakukan aktivitas fisik dengan cara menyediakan sarana dan prasarana serta
mempromosikan gaya hidup yang sehat.
Sekitar 79 persen sekolah di Indonesia kekurangan akses airbersih
yangmemadai, lebih dari 44 persen kekurangan sarana toilet,dan lebih dari 50 persen
tidak memiliki sarana mencuci tangan.Bagi murid perempuan khususnya,
permasalahan sanitasi dankebersihan menghambat akses pendidikan karena separuh
sekolah di Indonesia kekurangan toilet terpisah untuk lelaki dan perempuan serta
sarana kebersihan yang memadai bagi murid perempuan jika sedang mengalami
menstruasi. Akibatnya, sebuah studi menemukan bahwa hampir satu dari setiap enam
murid perempuan kehilangan satu atau lebih hari belajar selama periode menstruasi
mereka yang terakhir.

c) Influenza
Influenza (flu) adalah penyakit pernapasan menular yang disebabkan oleh virus
influenza yang dapat menyebabkan penyakit ringan sampai penyakit berat (Abelson,
2009). Setiap orang sudah mengenal dan sudah pernah menderita penyakit ini. Bila
terserang penyakit ini pekerjaan sehari-hari akan terhalang, karena gejala penyakit ini
ialah rasa tidak enak badan, demam, rasa pegal linu, lemas, lesu, bersin-bersin dan
terasa nyeri di otot-otot dan sendi (Prabu, 1996).
Pada anak dengan influenza B dapat menjadi lebih parah dengan terjadinya
diare 4 serta nyeri abdomen. Kebanyakan orang dapat sembuh dari gejala-gejala ini
dalam waktu kurang lebih satu minggu tanpa membutuhkan perawatan medis yang
serius. Waktu inkubasi yaitu dari saat mulai terpapar virus sampai munculnya gejala
kurang lebih dua hari (Abelson, 2009). Pada masa inkubasi virus tubuh belum
merasakan gejala apapun. Setelah masa inkubasi gejala-gejala mulai dirasakan dan
berlangsung terus-menerus kurang lebih selama satu minggu. Hal ini akan memicu
kerja dari sistem imun tubuh yang kemudian setelah kurang lebih satu minggu tubuh
akan mengalami pemulihan hingga akhirnya benar-benar sembuh dari influenza
(Spickler, 2009).

d) Tipes
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi.1 Penyakit menular ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di
dunia dan menyebabkan 216.000– 600.000 kematian.2 Studi yang dilakukan di daerah
urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa
insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia
Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia
Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100
kasus per 100.000 penduduk.
Imunisasi pada anak usia pra sekolah dan sekolah direkomendasikan untuk
daerah dimana tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat khususnya pada
kelompok umur ini. Program vaksinasi tifoid juga diimplementasikan bersamaan
dengan upaya pengendalian lain, seperti promosi kesehatan, pelatihan petugas medis
untuk diagnosis dan pengobatan serta peningkatan kualitas air dan sanitasi.
e) Campak
.Penyakit campak masih merupakan penyebab kematian bayi dan anak dinegara
berkembang dan juga terus berjangkit di negara maju.(Center of Disease Control and
Prevention (CDC), 2018) Penyakit campak sangat berpotensi untuk menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB), apabila terdapat 5 atau lebih kasuscampak dalam waktu 4
minggu secara berturut-turut, terjadi mengelompok dan adanya hubungan
epidemiologis. (Kemenkes RI, 2011).
Imunisasi merupakan proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh
dengan cara memasukkan vaksin yakni virus atau bakteri yang dilemahkan, dibunuh,
atau bagian-bagian dari bakteri (virus) tersebut telah dimodifikasi. (Williams, 2003)
Imunisasi rutin untuk campak diberikan pada saat anak umur 9- 12 bulan, dan
imunisasi lanjutan (booster) akan diberikan pada anak usia sekolah yakni imunisasi
campak satu kali pada anak kelas 1 SD atau sederajat dilaksanakan pada saat BIAS
(Bulan Imunisasi Anak Sekolah), untuk melindungi anak terhadap campak selama 10
tahun setelah peberian booster. (Kemenkes RI, 2005).

b. Masalah Kesehatan Psikologi


Masalah mental emosional merupakan distress psikologik. Kondisi ini adalah
suatu keadaan yang mengidentifikasi seseorang mengalami perubahan psikologis,
dimana pada orang yang mengalami gangguan mental emosional ini dapat
disembuhkan sampai pulih seperti semula, namun dapat terjadi pada semua orang
(Kemenkes RI, 2013). Masalah mental emosional pada anak usia sekolah dapat berupa
sulit mengikuti pembelajaran, mudah bosan, sering mengeluh sakit, gangguan makan,
gangguan tidur, kelakuannya seperti anak usia dibawahnya, dan perilaku beresiko
seperti berkelahi (Soemardi, 2016).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya masalah mental
emosional pada anak antara lain : faktor individu, keluarga, peristiwa hidup, sosial, dan
faktor sekolah (IDAI, 2013). Sekolah merupakan lingkungan yang sengaja dibentuk
untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kehidupan nyata. Sekolah mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan anak (Desmita, 2011).
Sekolah merupakan salah satu komunitas yang penting pada masa usia sekolah
karena di sekolah anak mendapatkan pelajaran. Sekolah dapat mempengaruhi
perkembangan emosi anak oleh sebab itu sekolah juga dapat menyebabkan stress,
depresi, dan kecemasan yang merupakan beberapa gejala dari gangguan mental
emosional pada anak (Prawira. 2012).
Gejala lainnya pada anak dengan masalah mental emosional itu juga dapat
dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sekitar apabila anak tersebut menarik diri
dari lingkungannya, tidak mau berinteraksi dengan temannya, mudah marah, sering
gelisah, sering menangis tanpa henti, sehingga terjadinya sampai mengakibatkan
konflik dengan keluarga dan lingkungan sekolahnya (Waterman, 2016).
Masalah mental emosional merupakan distress psikologik. Kondisi ini adalah
suatu keadaan yang mengidentifikasi seseorang mengalami perubahan psikologis,
dimana pada orang yang mengalami gangguan mental emosional ini dapat
disembuhkan sampai pulih seperti semula, namun dapat terjadi pada semua orang
(Kemenkes RI, 2013). Masalah mental emosional pada anak usia sekolah dapat berupa
sulit mengikuti pembelajaran, mudah bosan, sering mengeluh sakit, gangguan makan,
gangguan tidur, kelakuannya seperti anak usia dibawahnya, dan perilaku beresiko
seperti berkelahi (Soemardi, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Mubasyiroh, Putri, & Tjandrarini (2015)
menyatakan bahwa anak perempuan lebih cenderung banyak mengalami gejala mental
emosional dengan persentse 54,5% dari pada anak laki-laki. Anak-anak dengan
gangguan mental terutama depresi, memiliki resiko lebih tinggi untuk melakukan
bunuh diri. Gangguan emosional perilaku dan mental mempengaruhi anak-anak dan
keluarga disemua komunitas, dimana 1 dari 10 anak memiliki penyakit jiwa yang
cukup serius untuk menggangu fungsi mereka di rumah, sekolah dan di sekitar teman
sebaya (Children’s Defense Fund, 2010).
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya masalah mental
emosional pada anak antara lain : faktor individu, keluarga, peristiwa hidup, sosial, dan
faktor sekolah (IDAI, 2013). Sekolah merupakan lingkungan yang sengaja dibentuk
untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kehidupan nyata. Sekolah mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan anak (Desmita, 2011). Sekolah
merupakan salah satu komunitas yang penting pada masa usia sekolah karena di
sekolah anak mendapatkan pelajaran. Sekolah dapat mempengaruhi perkembangan
emosi anak oleh sebab itu sekolah juga dapat menyebabkan stress, depresi, dan
kecemasan yang merupakan beberapa gejala dari gangguan mental emosional pada
anak (Prawira. 2012).
Gejala lainnya pada anak dengan masalah mental emosional itu juga dapat
dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sekitar apabila anak tersebut menarik diri
dari lingkungannya, tidak mau berinteraksi dengan temannya, mudah marah, sering
gelisah, sering menangis tanpa henti, sehingga terjadinya sampai mengakibatkan
konflik dengan keluarga dan lingkungan sekolahnya (Waterman, 2016). Handono dan
Bashori (2013), dalam penelitian hubungan antara penyesuaian diri dan dukungan
sekolah terhadap stress lingkungan pada santri baru dengan subjek sebanyak 46 orang
mendapatkan hasil semakin tinggi tingkat penyesuaian diri dan dukungan sosial maka
semakin rendah tingkat stress lingkungannya, begitupun sebaliknya. Penelitian terkait
yang dilakukan Mubasyiroh, Puri dan Tjandrarini (2015) mengenai determinen gejala
mental emosional pelajar SMP-SMA di Indonesia tahun 2015 menyatakan bahwa
peran orang tua dan pertemanan sangat penting dalam mempengaruhi mental
emosional pelajar, serta diperlukan pendamping seperti orang tua dan sekolah

BAB IV

PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pertumbuhanadalahperubahanfisikdanpeningkatanukuran.Pertumbuhandapatdiuk
ursecarakuantitatif.Indikatorpertumbuhanmeliputitinggibadan, beratbadan,
ukurantulang, danpertumbuhangigi.

Anakusiaantara 6-12 tahun, periodeinikadangdisebutsebagaimasaanak-


anakpertengahanataumasalaten, masauntukmempunyaitantanganbaru.
Kekuatankognitifuntukmemikirkanbanyakfaktorsecarasimultanmemberikankema
mpuanpadaanak-
anakusiasekolahuntukmengevaluasidirisendiridanmerasakanevaluasiteman-
temannya.
Dapatdisimpulkansebagaisebuahpenghargaandirimenjadimasalahsentralbagianaku
siasekolah

2. SARAN
Dari
pembuatanmakalahinidiharapkandapatmenambahwawasandanpengetahuanpemba
camaupunpenulis, agar dapatmenerapkannya di
dalamkehidupansehariharisehinggailmu yang di dapatberguna.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, Ferry. (2020). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KLB CAMPAK
ANAK USIA SEKOLAH DASAR.JurnalIlmiahIlmuKesehatan. Vol .8, No.1, hal 1-11.

Nurmala, Ira. 2018. PromosiKesehatan. Surabaya: Airlangga University Press.

United Nations Children’s Fund. 2020. SituasiAnak di Indonesia – Tren, Peluang,


danTantanganDalamMemenuhiHak-HakAnak. Jakarta: UNICEF Indonesia.

Oktaviani, Vivi. (2018). HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DI LINGKUNGAN


SEKOLAH DENGAN MASALAH MENTAL EMOSIONAL PADA ANAK USIA
SEKOLAH . JOM FKp, Vol. 5 No. 2

Purba, Ivan Elisabeth. (2016). Program PengendalianDemamTifoid di Indonesia:


tantangandanpeluang. Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, 99 - 108.

Anda mungkin juga menyukai